Apakah Menafkahi Orang Tua Adalah Misi yang Dipercayakan oleh Tuhan?

31 Mei 2024

Oleh Saudari Liu Hui, Tiongkok

Pada akhir September 2022, suami Ming Hui membawanya pulang dari rumah tahanan. Ming Hui telah dua kali ditangkap dan dianiaya oleh polisi karena percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Ini adalah kali kedua dia ditangkap, dan dia telah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Karena menghindari pengejaran polisi dan kemudian dijatuhi hukuman penjara, sudah 10 tahun dia tidak pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Ming Hui mendapati bahwa setahun yang lalu, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia, dan ibunya telah menjadi lumpuh. Begitu melihat ibunya, dia langsung tertegun. Ibunya, yang dahulu sehat dan kuat, kini berakhir di kursi roda. Ming Hui merasa berutang pada orang tuanya. Dia adalah anak bungsu di keluarganya, dan sejak dia kecil, ayahnya tak mengizinkannya melakukan tugas apa pun. Terutama, ibunya sudah sangat merawatnya dengan baik. Mereka bersusah payah membesarkannya, memberinya makanan, pakaian, dan pendidikan, namun ketika mereka membutuhkannya, dia sama sekali tidak menjadi putri yang berbakti. Dia teringat saat pertama kali ditahan di rumah tahanan. Ibu Ming Hui khawatir jika putrinya dipukuli dengan kejam oleh polisi, dan karena ini, dia tak bisa makan ataupun tidur. Ibunya melakukan apa pun yang dia bisa dan menghabiskan uang untuk mengeluarkannya. Saat memikirkan hal ini, Ming Hui berjalan mendekati ibunya. Dengan berurai air mata, ibunya berkata, "Akhirnya kau kembali. Tahukah kau betapa aku merindukanmu bertahun-tahun ini? Aku takut kau menderita dan diperlakukan dengan tidak adil di sana." Mendengar perkataan ibunya, Ming Hui merasa makin berutang pada ibunya. Air mata mengalir deras di pipinya, dan dia berpikir, "Orang seharusnya merawat orang tuanya di usia senja mereka, tetapi saat orang tuaku jatuh sakit dan butuh perhatianku, aku tak sempat berada di sisi mereka dan melayani mereka. Aku tak menyuapi mereka makanan ataupun memberi mereka obat, apalagi membantu mereka buang air. Aku tak pantas mendapatkan kebaikan yang mereka perlihatkan saat membesarkanku. Apa gunanya membesarkan putri seperti aku!" Makin Ming Hui memikirkannya, makin dia mencela dirinya sendiri. Di hari-hari berikutnya, Ming Hui menghabiskan setiap hari untuk merawat ibunya yang lumpuh. Dia ingin menebus utangnya selama bertahun-bertahun ini kepada ibunya. Belum lama Ming Hui berada di rumah, dua orang polisi setempat datang ke rumahnya dan memotret dirinya. Mereka juga berkata bahwa mereka harus datang menemuinya sebulan sekali. Ming Hui tahu betul bahwa setan-setan ini sedang memantau keberadaannya. Tak akan mungkin baginya untuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasnya di sana.

Suatu hari, pemimpin gereja mengirim sepucuk surat untuk Ming Hui dan bertanya apakah dia dapat melaksanakan tugasnya di tempat lain. Ming Hui merasa senang sekaligus gelisah saat menerima surat itu. Dia senang karena mengetahui bahwa dia masih memiliki kesempatan untuk melaksanakan tugasnya, tetapi gelisah karena dia mengkhawatirkan ibunya yang lumpuh dan sudah tua. Cukup sulit mendapat kesempatan untuk pulang ke rumah dan merawat ibunya. Jika dia pergi, entah kapan dia akan kembali. Mau tak mau, Ming Hui benar-benar merenung dan berpikir, "Orang tuaku sudah membesarkanku hingga dewasa. Ketika ayahku meninggal, aku tak ada di rumah. Jika ibuku meninggal dan aku tak ada di sisinya, apakah aku memiliki kemanusiaan? Belum lagi para tetangga menyebutku tak tahu berterima kasih. Ini akan membebani hati nuraniku selamanya! Bukankah orang tuaku bersusah payah membesarkanku agar aku bisa berada di sisi mereka dan merawat mereka di usia senja mereka? Beberapa tahun ini, aku ditangkap dan dianiaya oleh Partai Komunis karena percaya kepada Tuhan, dan aku tak pernah memiliki kesempatan untuk melayani mereka. Hati nuraniku sudah menegurku karena hal ini. Aku tak bisa meninggalkan ibuku sekarang." Setelah memikirkan hal ini, Ming Hui menulis sepucuk surat, menolak permintaan pemimpinnya. Setelah itu, hatinya menegur dirinya sendiri. Sebagai makhluk ciptaan, dia harus melaksanakan tugasnya, tetapi dia menolak tugas itu agar dapat tinggal di rumah dan merawat ibunya. Ini tak sesuai dengan kehendak Tuhan! Selama beberapa hari itu, Ming Hui sangat sedih dan terus mendoakan masalah ini. Dia teringat akan sebuah bagian dari firman Tuhan: "Orang yang memiliki kemanusiaan yang normal setidaknya harus memiliki hati nurani dan nalar. Bagaimana cara mengetahui apakah seseorang itu memiliki hati nurani dan nalar? Jika ujaran dan tindakan mereka pada dasarnya sesuai dengan standar hati nurani dan nalar, maka dari sudut pandang manusia, mereka adalah orang yang baik, dan mereka adalah orang yang mencapai standar yang dapat diterima. Jika mereka juga mampu memahami kebenaran dan bertindak sesuai dengan prinsip kebenaran, maka mereka memenuhi tuntutan Tuhan, yang lebih tinggi daripada standar hati nurani dan nalar. Ada orang-orang yang berkata: 'Manusia diciptakan oleh Tuhan. Tuhan memberi kita napas kehidupan, dan Tuhanlah yang membekali kita, memelihara kita, dan menuntun kita untuk bertumbuh dewasa. Orang yang berhati nurani dan bernalar tidak boleh hidup untuk dirinya sendiri atau untuk Iblis; mereka harus hidup untuk Tuhan, dan memenuhi tugas mereka.' Ini benar, tetapi ini hanyalah kerangka yang luas, hanyalah sebuah sketsa. Mengenai detail bagaimana hidup untuk Tuhan secara nyata, ini melibatkan hati nurani dan nalar. Jadi, bagaimana orang hidup bagi Tuhan? (Melaksanakan dengan baik tugas yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh makhluk ciptaan.) Benar. Saat ini, satu-satunya yang harus kaulakukan adalah melaksanakan tugas manusia, tetapi pada kenyataannya, untuk siapa engkau melakukannya? (Untuk Tuhan.) Itu adalah untuk Tuhan, itu adalah kerja sama dengan Tuhan! Amanat yang telah Tuhan berikan kepadamu adalah tugasmu. Itu sudah ditakdirkan, ditentukan sebelumnya, dan diatur oleh-Nya, atau dengan kata lain, Tuhanlah yang memberikan tugas ini kepadamu, dan ingin agar engkau menyelesaikannya" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Lima Syarat yang Harus Kaupenuhi Agar Dapat Masuk ke Jalur yang Benar dalam Kepercayaanmu kepada Tuhan"). Dari firman Tuhan, akhirnya Ming Hui memahami apa yang dimaksud dengan memiliki hati nurani dan kemanusiaan. Dia adalah seorang makhluk ciptaan, dan setiap hela napasnya adalah pemberian dari Tuhan. Semua yang dia miliki adalah perbekalan dari Tuhan untuknya. Dia mampu bertahan hingga hari ini tak terlepas dari kedaulatan dan perbekalan dari Tuhan, dan selama percaya kepada Tuhan bertahun-tahun ini, dia telah menikmati penyiraman dan perbekalan dari begitu banyak firman Tuhan. Jika dia benar-benar memiliki sedikit hati nurani dan nalar, dia harus melaksanakan tugasnya dengan baik untuk membalas kasih Tuhan. Dia tak boleh hanya memikirkan urusannya sendiri, hanya hidup untuk keluarganya, untuk orang tuanya, atau anak-anaknya. Ini berarti dia tidak memiliki hati nurani sama sekali. Kini, ibunya dirawat oleh kakak laki-laki dan kakak perempuannya, dan mereka melakukan itu terlepas dari dia ada di rumah atau tidak. Di hari-hari berikutnya, Ming Hui berdoa kepada Tuhan dan bersedia untuk tunduk pada penataan dan pengaturan-Nya serta melaksanakan tugasnya.

Pada bulan Februari 2023, Ming Hui bebas dari pengawasan polisi dan meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugasnya. Akhirnya dia berkumpul lagi dengan saudara-saudari, dan kegembiraan yang tak terlukiskan meluap di hatinya. Suatu hari, dia membaca artikel pendek tentang seorang wanita paruh baya yang mendengar bahwa ibunya jatuh sakit, jadi dia membelikan makanan dan pergi mengunjungi ibunya. Wanita ini sangat ingin membawa ibunya ke rumahnya dan merawat ibunya selama beberapa hari, tetapi keadaannya tak memungkinkan, dan dia hanya bisa mengucapkan beberapa kata yang hangat pada ibunya. Tentu saja Ming Hui teringat akan ibunya sendiri, dan suaranya tercekat oleh isak tangisnya. Melihat ini, seorang saudari yang bekerja sama dengan Ming Hui bergurau, "Ada apa? Apakah artikel ini menyayat hatimu?" Saat itu, Ming Hui tak mampu menanggapi saudari itu. Dia seolah melihat ibunya duduk di kursi roda, berharap melihat wajahnya, dan karena ini, air matanya menetes tanpa dia sadari. Sejak kecil, dia membuat ibunya mengkhawatirkan banyak hal. Setelah percaya kepada Tuhan, akibat penganiayaan oleh Partai Komunis yang terus-menerus, dua kali dia ditangkap dan dipenjarakan. Ibunya sering khawatir karenanya. Berkali-kali ibunya mengkhawatirkannya dan diam-diam menitikkan air mata, bahkan, mungkin Ming Hui-lah penyebab dari penyakit ibunya. Sekarang, ketika ibunya membutuhkan bantuannya, dia meninggalkan ibunya dan pergi untuk melaksanakan tugasnya. Makin Ming Hui memikirkannya, makin dia merasa berutang pada ibunya, dan dia mulai menangis. Dia menyadari bahwa dia hidup dalam emosinya lagi, dan dia cepat-cepat berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku kembali hidup dalam kekhawatiran akan ibuku. Kumohon, jagalah hatiku, dan biarkan aku memandang orang dan hal-hal berdasarkan firman-Mu, tanpa gangguan Iblis. Amin!"

Setelah itu, Ming Hui membaca bagian firman Tuhan, dan hatinya terasa agak lega. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Dengan membesarkanmu, orang tuamu hanya memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka, dan sudah seharusnya tidak dibayar, dan ini tidak boleh menjadi semacam transaksi. Jadi, engkau tidak perlu memperlakukan orang tuamu atau memperlakukan hubunganmu dengan mereka berdasarkan gagasan membalas jasa mereka. Jika engkau memperlakukan orang tuamu, membayar mereka, dan memperlakukan hubunganmu dengan mereka berdasarkan gagasan tersebut, ini tidak manusiawi. Sekaligus, kemungkinan besar engkau juga akan menjadi terkekang dan terikat oleh perasaan dagingmu, dan akan sulit bagimu untuk keluar dari keterikatan ini, bahkan sampai-sampai engkau mungkin akan tersesat. Orang tuamu bukanlah krediturmu, jadi engkau tidak berkewajiban untuk mewujudkan semua harapan mereka. Engkau tidak perlu memikul beban untuk memenuhi harapannya. Artinya, mereka boleh saja memiliki harapan sendiri. Engkau memiliki pilihanmu sendiri, memiliki jalan hidup dan takdir yang telah Tuhan tetapkan untukmu yang tidak ada kaitannya dengan orang tuamu. Jadi, ketika salah satu dari orang tuamu berkata: 'Engkau anak yang tidak berbakti, sudah bertahun-tahun tidak pulang untuk menengokku, dan sudah berhari-hari engkau tidak meneleponku. Aku sakit dan tidak ada yang merawatku. Aku benar-benar telah membesarkanmu dengan sia-sia. Engkau memang anak yang tidak peduli dan tidak tahu berterimakasih!' jika engkau tidak memahami kebenaran bahwa 'Orang tuamu bukanlah krediturmu', mendengar perkataan ini akan menyakitkan bagimu bagaikan pisau menghunjam jantung, dan hati nuranimu akan dibebani rasa bersalah. Setiap kata dengan sendirinya akan tertanam di hatimu dan membuatmu merasa malu menghadapi orang tuamu, merasa berutang kepada orang tuamu, dan dipenuhi perasaan bersalah terhadap mereka. Ketika orang tuamu mengatakan bahwa engkau anak yang tidak peduli dan tidak tahu berterima kasih, engkau akan benar-benar merasa: 'Mereka memang benar. Mereka membesarkanku hingga usia ini, dan mereka belum dapat menikmati keberhasilanku. Sekarang mereka sakit dan menginginkanku berada di sisi tempat tidur mereka, melayani dam menemaninya. Mereka membutuhkanku untuk membalas kebaikan mereka, dan aku tidak ada di sana. Memang benar, aku ini anak yang tidak peduli!' Engkau akan menggolongkan dirimu sendiri sebagai orang yang tidak peduli ─apakah itu masuk akal? Apakah engkau orang yang tidak peduli? Jika engkau selama ini tidak meninggalkan rumahmu untuk melaksanakan tugas di tempat lain, dan engkau berada di sisi orang tuamu, dapatkah engkau menghindarkan mereka dari sakit? (Tidak.) Dapatkah engkau mengatur hidup dan matinya orang tuamu? Dapatkah engkau mengatur kaya atau miskinnya orang tuamu? (Tidak.) Apa pun penyakit yang orang tuamu derita, itu bukanlah karena mereka terlalu lelah dalam membesarkanmu, atau karena mereka merindukanmu; mereka tentunya tidak akan terjangkit salah satu penyakit yang parah, serius, dan berpotensi mematikan karena dirimu. Itu adalah nasib mereka dan tidak ada kaitannya dengan dirimu. Betapa pun berbaktinya dirimu, yang terbaik yang dapat kaulakukan adalah sedikit mengurangi penderitaan dan beban daging mereka, sedangkan mengenai kapan mereka sakit, penyakit apa yang akan mereka derita, kapan mereka meninggal, dan di mana mereka meninggal─apakah semua hal ini ada kaitannya dengan dirimu? Tidak. Jika engkau berbakti, jika engkau bukan orang yang tidak peduli, dan engkau menghabiskan sepanjang hari dengan mereka, mengawasi mereka, apakah mereka tidak akan sakit? Apakah mereka tidak akan mati? Jika mereka harus sakit, bukankah mereka pasti akan sakit? Jika mereka harus mati, bukankah mereka pasti akan mati? Bukankah benar demikian? ... Sekalipun orang tuamu menyebutmu anak yang tidak peduli, setidaknya engkau sedang melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan di hadapan Sang Pencipta. Asalkan engkau bukanlah orang yang tidak peduli di mata Tuhan, itu sudah cukup. Tidak penting apa yang manusia katakan. Apa yang orang tuamu katakan mengenai dirimu belum tentu benar dan apa yang mereka katakan tidak ada gunanya. Engkau harus menjadikan firman Tuhan sebagai landasanmu. Jika Tuhan menganggapmu makhluk ciptaan yang memadai, tidaklah penting jika manusia menyebutmu orang yang tidak peduli, perkataan itu tidak akan berdampak apa pun. Hanya saja, orang akan terdampak oleh kata-kata hinaan seperti itu karena pengaruh hati nurani mereka, atau ketika mereka tidak memahami kebenaran dan tingkat pertumbuhan mereka kecil, serta suasana hati mereka akan menjadi sedikit buruk dan merasa sedikit tertekan, tetapi ketika mereka kembali ke hadapan Tuhan, semua ini akan dapat dibereskan, dan tidak akan lagi menimbulkan masalah bagi mereka" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Ming Hui bersyukur kepada Tuhan di dalam hatinya. Jika Tuhan tidak dengan jelas mempersekutukan kebenaran bahwa "Orang tuamu bukanlah krediturmu", dia pasti sudah percaya bahwa karena orang tuanya melahirkannya, bersusah payah untuk memberinya pendidikan, dan sangat mengkhawatirkannya, kebaikan yang mereka perlihatkan selama mengasuhnya lebih besar dari apa pun, dan dia harus membalas kebaikan mereka saat dewasa. Jika dia tak mampu melakukan ini, hati nuraninya akan menegurnya, dan orang lain akan menyebutnya tak tahu berterima kasih dan tak berbakti. Sebelumnya dia percaya, jika selama bertahun-tahun ini dia berada di rumah, dia pasti dapat merawat ayahnya dengan benar saat sedang sakit, dan ibunya tak akan begitu mengkhawatirkannya. Dengan begitu, mungkin ibunya tak akan jatuh sakit. Dia selalu berpikir bahwa penyakit ibunya berkaitan dengannya. Sekarang, dia membaca firman Tuhan yang berbunyi: "Dapatkah engkau mengatur hidup dan matinya orang tuamu? Dapatkah engkau mengatur kaya atau miskinnya orang tuamu? (Tidak.) Apa pun penyakit yang orang tuamu derita, itu bukanlah karena mereka terlalu lelah dalam membesarkanmu, atau karena mereka merindukanmu; mereka tentunya tidak akan terjangkit salah satu penyakit yang parah, serius, dan berpotensi mematikan karena dirimu. Itu adalah nasib mereka dan tidak ada kaitannya dengan dirimu." Ming Hui menyadari bahwa nasib setiap orang ada di tangan Tuhan. Dalam hidup ini, jatuh sakit atau meninggalnya seseorang telah ditentukan oleh Tuhan sejak dahulu. Sekalipun Ming Hui berada di sisi orang tuanya selama bertahun-tahun ini, itu tidak akan mengubah nasib mereka. Ming Hui memikirkan bagaimana setiap tahunnya ada begitu banyak orang tua yang, karena tekanan darah tinggi, perdarahan otak dan serangan jantung, meninggal akibat penyakit mendadak atau menderita hemiplegia akibat penyakit tersebut. Beberapa dari mereka memiliki anak yang membaktikan diri untuk merawat mereka, tetapi sebaik apa pun perawatan anak-anaknya, mereka tidak dapat mencegah orang tua mereka agar tidak jatuh sakit dan meninggal dunia. Hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah segera membawa orang tua mereka ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, namun mereka tak dapat menentukan apakah dokter dapat menyembuhkan orang tua mereka atau tidak. Menyadari hal ini, Ming Hui mengerti dengan jelas bahwa ibunya jatuh sakit seperti ini bukan karena merindukan dia atau kelelahan karena membesarkannya. Itu adalah nasib ibunya. Ming Hui merasa jauh lebih tenang.

Meskipun dia mengerti bahwa penyakit ibunya tidak berkaitan dengannya, begitu dia memikirkan semua yang telah dilakukan ibunya untuknya, dan bagaimana sekarang ibunya lumpuh dan memerlukan perawatan namun dia tak ada di sana, dia tetap merasa agak kecewa di dalam hatinya. Dia merasa berutang pada ibunya. Tak lama kemudian, dia membaca dua bagian firman Tuhan yang mengubah pendangannya terhadap masalah ini. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ada pepatah di dunia orang tidak percaya yang berbunyi: 'Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya'. Ada juga yang berikut: 'Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada binatang buas.' Betapa muluk-muluknya semua pepatah ini! Sebenarnya, fenomena yang disebutkan dalam pepatah pertama, bahwa gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya, memang benar-benar ada, ini adalah fakta. Namun, hal tersebut hanyalah fenomena di dunia binatang, semacam aturan yang telah Tuhan tetapkan bagi berbagai makhluk hidup yang dipatuhi oleh segala jenis makhluk hidup, termasuk manusia. Fakta bahwa semua jenis makhluk hidup mematuhi aturan ini makin menunjukkan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan. Tidak ada makhluk hidup yang dapat melanggar aturan ini, dan tidak ada makhluk hidup yang mampu melampauinya. Bahkan karnivor yang relatif ganas seperti singa dan harimau pun mengasuh keturunan mereka dan tidak menggigit mereka sebelum mereka menjadi dewasa. Ini adalah naluri binatang. Apa pun spesies mereka, baik mereka ganas atau jinak dan lembut, semua binatang memiliki naluri ini. Segala jenis makhluk, termasuk manusia, hanya dapat terus berkembang biak dan bertahan hidup dengan mematuhi naluri dan aturan ini. Jika mereka tidak mematuhi aturan ini, atau tidak memiliki aturan dan naluri ini, tidak mungkin mereka dapat berkembang biak dan bertahan hidup. Rantai biologis tidak akan ada, dan dunia ini pun tidak akan ada. Bukankah benar demikian? (Benar.) Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya memperlihatkan dengan tepat bahwa dunia binatang mematuhi aturan semacam ini. Semua jenis makhluk hidup memiliki naluri ini. Begitu keturunan dilahirkan, mereka dirawat dan diasuh oleh induk betina atau binatang jantan dari spesies tersebut sampai mereka menjadi dewasa. Semua jenis makhluk hidup mampu memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka kepada keturunan mereka, dengan sungguh-sungguh dan patuh membesarkan generasi berikutnya. Inilah yang terlebih lagi harus manusia lakukan. Manusia sendiri menyebut dirinya binatang yang lebih tinggi—jika mereka tidak mampu mematuhi aturan ini, dan tidak memiliki naluri ini, berarti manusia lebih rendah daripada binatang, bukan? Oleh karena itu, sebanyak apa pun orang tuamu mengasuhmu saat mereka membesarkanmu, dan sebanyak apa pun mereka memenuhi tanggung jawab mereka kepadamu, mereka hanya melakukan apa yang sudah seharusnya mereka lakukan dalam lingkup kemampuan manusia ciptaan—ini adalah naluri mereka" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). "Dari luar, tampaknya orang tuamulah yang melahirkan kehidupan jasmanimu, dan orang tuamulah yang memberimu nyawa. Namun, jika kita melihatnya dari sudut pandang Tuhan, dan dari esensi hal ini, kehidupan jasmanimu tidak diberikan kepadamu oleh orang tuamu, karena manusia tidak dapat menciptakan nyawa. Sederhananya, tak seorang pun mampu menciptakan napas manusia. Alasan mengapa daging setiap manusia dapat menjadi manusia adalah karena mereka memiliki napas tersebut. Nyawa manusia terletak pada napasnya, dan napas menandakan bahwa orang itu hidup. Manusia memiliki napas dan nyawa ini, dan sumber serta asal mula hal-hal ini bukanlah orang tua mereka. Hanya saja, cara manusia dihasilkan adalah dengan orang tua yang melahirkan mereka—pada dasarnya, Tuhan-lah yang mengaruniakan hal-hal ini kepada manusia. Oleh karena itu, orang tuamu bukanlah penguasa atas hidupmu, Penguasa atas hidupmu adalah Tuhan. Tuhan menciptakan umat manusia, Dia menciptakan nyawa umat manusia, dan Dia memberikan napas kehidupan kepada umat manusia, yang merupakan asal mula nyawa manusia. Oleh karena itu, bukankah kalimat 'Orang tuamu bukanlah penguasa atas hidupmu' mudah dipahami? Napasmu diberikan kepadamu bukan oleh orang tuamu, terlebih lagi kelangsungan hidupmu, itu bukan diberikan oleh orang tuamu. Tuhan memelihara dan mengendalikan setiap hari dalam hidupmu. Orang tuamu tidak dapat memutuskan bagaimana kehidupanmu setiap harinya, apakah setiap harinya bahagia dan berjalan lancar, siapa yang kautemui setiap harinya, atau di lingkungan apa engkau hidup setiap harinya. Hanya saja Tuhan menjagamu melalui orang tuamu—orang tuamu hanyalah orang-orang yang Tuhan utus untuk menjagamu. Ketika engkau dilahirkan, bukan orang tua yang memberimu nyawamu, jadi apakah nyawa yang diberikan orang tuamu yang memungkinkanmu hidup sampai sekarang? Tetap saja bukan. Asal mula nyawamu tetaplah dari Tuhan, bukan orang tuamu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Setelah membaca firman Tuhan, Ming Hui menghela napas lega. Seperti yang Tuhan firmankan, adalah benar bahwa "Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya", tetapi fakta ini hanya membuktikan bahwa semua hewan di dunia memikul tanggung jawab dan kewajiban untuk membesarkan anak mereka. Ini adalah hukum yang telah Tuhan rancang bagi semua makhluk hidup. Bahkan harimau atau singa yang buas sekalipun, ketika anak mereka masih kecil dan belum dewasa, mereka akan mencurahkan diri mereka untuk melindungi dan membesarkan anak mereka hingga mampu mandiri. Ini adalah hukum yang telah Tuhan ciptakan bagi mereka, dan ini juga merupakan insting mereka. Manusia adalah spesies yang lebih maju daripada hewan lainnya, memiliki hati dan roh, dan mereka seharusnya lebih mengerti caranya mematuhi hukum ini. Setinggi apa pun harga yang dibayar orang tua untuk anak mereka, mereka hanya memenuhi tanggung jawab serta kewajiban mereka, dan ini tak bisa disebut kebaikan sama sekali. Ming Hui menyadari bahwa sebelumnya, dia memahami "Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya" dengan cara yang tidak sesuai dengan kebenaran. Dia mengira ini berarti bahwa bahkan hewan tahu cara membalas kebaikan orang tua mereka yang telah membesarkan mereka, dan jika dia tak mampu melakukan ini, dia bahkan lebih buruk daripada hewan. Pemahaman seperti itu salah dan tidak sesuai dengan firman Tuhan. Orang tuanya melahirkan dan membesarkannya serta memberinya makanan, pakaian, dan pendidikan, semua itu adalah tanggung jawab dan kewajiban yang harus mereka penuhi sebagai orang tua. Tak seharusnya dia selalu merasa berutang pada orang tuanya, apalagi selalu berpikir bahwa dia harus membalas kebaikan mereka. Di luarnya, orang tuanya melahirkannya dan membesarkannya, tetapi ini telah ditentukan oleh Tuhan. Orang tua mengurus kehidupan anak mereka dan membesarkan mereka hingga dewasa, tetapi mengenai baik dan buruknya nasib anak mereka, dan ketika hal-hal tertentu terjadi pada anak mereka atau ketika kemalangan menimpa mereka, itu semua di luar kendali mereka. Ming Hui tiba-tiba teringat saat dia berusia lima atau enam tahun, ketika dia pergi bermain di tepi sungai bersama kakak perempuan yang dua tahun lebih tua darinya dan tidak sengaja jatuh ke parit yang dalam. Dia menelan banyak air dan hampir tenggelam. Sambil menangis, kakaknya menariknya keluar dari parit. Saat itu, walaupun dia tidak percaya kepada Tuhan, jika Tuhan tidak mengawasi dan menjaganya, dia pasti sudah berhenti bernapas dan kehilangan nyawanya sejak lama. Sebesar apa pun cinta orang tuanya pada dirinya, mereka tak memiliki kendali atas hidup atau matinya. Dia bisa bertahan hingga hari ini, itu sepenuhnya karena kepedulian dan perlindungan Tuhan. Dia harus memikirkan cara untuk membalas kasih Tuhan dan melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan. Inilah yang harus dilakukan orang yang memiliki hati nurani dan nalar.

Tak lama kemudian, Ming Hui membaca firman Tuhan ini: "Di hadapan Sang Pencipta, engkau adalah makhluk ciptaan. Hal yang harus kaulakukan dalam hidup ini bukanlah sekadar memenuhi tanggung jawabmu kepada orang tuamu, melainkan memenuhi tanggung jawab dan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Engkau hanya dapat memenuhi tanggung jawabmu kepada orang tuamu berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran, bukan melakukan apa pun bagi mereka berdasarkan kebutuhan emosionalmu atau kebutuhan hati nuranimu. ... Tentu saja, ada orang-orang yang akan berkata: 'Hal-hal yang Kaukatakan semuanya adalah fakta, tetapi menurutku orang yang bertindak seperti ini tidak memiliki kehangatan manusia. Hati nuraniku selalu merasa tertuduh, rasanya aku tidak tahan.' Jika engkau tidak tahan, puaskan saja perasaanmu; temani orang tuamu dan tetaplah tinggal di sisi mereka, layani mereka, berbakti, dan turuti perkataan mereka entah perkataan itu benar atau salah─jadilah seperti ekor kecil dan pelayan mereka, silakan saja melakukannya. Dengan demikian, tak seorang pun akan mengkritikmu di belakangmu, dan bahkan keluarga besarmu akan berkata betapa berbaktinya dirimu. Namun, pada akhirnya satu-satunya orang yang akan dirugikan adalah dirimu sendiri. Engkau mungkin telah mempertahankan reputasimu sebagai anak yang berbakti, engkau telah memuaskan kebutuhan emosionalmu, hati nuranimu tidak pernah merasa tertuduh, dan engkau telah membalas kebaikan orang tuamu, tetapi ada satu hal yang telah kauabaikan dan telah hilang darimu: engkau tidak memperlakukan dan menangani semua masalah ini berdasarkan firman Tuhan dan engkau telah kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Apa artinya? Artinya engkau telah berbakti kepada orang tuamu, tetapi engkau telah mengkhianati Tuhan. Engkau menunjukkan baktimu dan memuaskan kebutuhan emosional dari daging orang tuamu, tetapi engkau memberontak terhadap Tuhan. Engkau lebih memilih untuk menjadi anak yang berbakti daripada melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Ini adalah sikap yang paling tidak menghormati Tuhan. Tuhan tidak akan menganggapmu orang yang tunduk kepada-Nya atau orang yang memiliki kemanusiaan hanya karena engkau adalah anak yang berbakti, tidak pernah mengecewakan orang tuamu, memiliki hati nurani, dan memenuhi tanggung jawabmu sebagai seorang anak. Jika engkau hanya memuaskan kebutuhan hati nuranimu dan kebutuhan emosional dagingmu, tetapi tidak menerima firman Tuhan atau kebenaran sebagai dasar dan prinsip bagi caramu memperlakukan atau menangani masalah ini, berarti engkau memperlihatkan pemberontakan yang terbesar terhadap Tuhan. Jika engkau ingin menjadi makhluk ciptaan yang memenuhi syarat, engkau harus terlebih dahulu memandang dan melakukan segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan. Ini disebut memenuhi syarat, memiliki kemanusiaan, dan memiliki hati nurani. Sebaliknya, jika engkau tidak menerima firman Tuhan sebagai prinsip dan dasar bagi caramu dalam memperlakukan atau menangani masalah ini, dan engkau juga tidak menerima panggilan Tuhan untuk pergi dan melaksanakan tugasmu, atau engkau lebih memilih untuk menunda atau melewatkan kesempatan untuk melaksanakan tugasmu agar bisa tetap berada di sisi orang tuamu, menemani mereka, membahagiakan mereka, membuat mereka menikmati masa senja mereka, dan membalas kebaikan mereka, maka Tuhan akan menganggapmu sesuatu yang tidak memiliki kemanusiaan atau hati nurani. Engkau bukan makhluk ciptaan, dan Dia tidak akan mengakuimu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Ming Hui teringat akan saat pertama kali pemimpin gereja mengiriminya sepucuk surat, bertanya apakah dia bisa meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugasnya. Yang pertama kali dia pikirkan adalah dia berutang sangat banyak pada orang tuanya selama bertahun-tahun. Khususnya, sudah terlambat untuk menebus utangnya pada ayahnya. Jika dia meninggalkan ibunya juga, bahkan akan makin sulit untuk menjelaskan tindakannya. Agar hati nuraninya terasa sedikit lebih tenang dan agar para tetangganya menyebutnya berbakti, dia menolak tugasnya dan tinggal di rumah untuk merawat ibunya. Dia percaya bahwa inilah yang dimaksud dengan menjadi orang yang memiliki hati nurani dan kemanusiaan. Dari firman Tuhan, dia mengerti bahwa sebagai makhluk ciptaan yang napasnya adalah pemberian Tuhan dan menikmati semua perbekalan dari-Nya, dia harus membalas kasih Tuhan. Namun, ketika gereja membutuhkan dia untuk melaksanakan tugasnya, dia menolak itu demi merawat ibunya. Sekalipun dia benar-benar merawat ibunya dan orang lain memujinya karena berbakti, dia akan tetap menjadi orang yang tidak memiliki hati nurani atau kemanusiaan di hadapan Sang Pencipta. Memikirkan hal ini, Ming Hui tentu membenci dirinya sendiri, dan dia berpikir, "Jika aku tidak percaya kepada Tuhan dan belum membaca firman Tuhan, ini bisa dimaafkan. Sekarang, sudah bertahun-tahun aku percaya kepada Tuhan dan ada banyak firman-Nya yang sudah kubaca, namun pandanganku terhadap banyak hal masih sama seperti orang tidak percaya. Bukankah ini artinya aku adalah orang tidak percaya? Untuk mengikuti Tuhan Yesus, mengabarkan Injil kerajaan surga, dan menggembalakan gereja, Petrus meninggalkan orang tuanya dan keluarganya. Ada juga para misionaris asing yang meninggalkan keluarga mereka dan menyeberangi lautan untuk datang ke Tiongkok dan mengabarkan Injil kerajaan surga Tuhan Yesus kepada kita. Mereka juga memiliki orang tua, anak, dan kerabat. Namun, yang mereka pikirkan bukanlah keluarga mereka, bukan orang tua dan anak mereka, melainkan cara untuk memerhatikan kehendak Tuhan dan cara untuk membawa orang-orang yang hidup dalam dosa dan dirusak sedemikian dalamnya oleh Iblis ke hadapan Tuhan agar dapat menerima keselamatan dari-Nya. Merekalah orang-orang yang memiliki hati nurani dan kemanusiaan. Kini, akhir zaman telah tiba, dan pekerjaan Tuhan hampir selesai. Virus corona, banjir, peperangan, dan segala macam bencana telah menimpa kita. Masih ada banyak orang yang belum mendengar Injil pekerjaan Tuhan pada akhir zaman. Orang-orang ini setiap saat menghadapi bahaya tersesat dalam bencana. Sekarang aku berkesempatan untuk melaksanakan tugasku dan mengabarkan Injil kerajaan Tuhan. Bukankah ini adalah hal yang paling benar dan bermakna? Inilah hal yang seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki kemanusiaan! Apa pentingnya setinggi apa orang lain menilaiku? Sebagai makhluk ciptaan, yang paling penting hanyalah memenuhi tugasku dan menerima perkenan Sang Pencipta." Ming Hui membaca bagian firman Tuhan yang lain dan lebih memahami masalahnya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Karena dipengaruhi oleh budaya tradisional Tiongkok, gagasan tradisional di benak orang Tionghoa adalah mereka yakin bahwa orang haruslah berbakti kepada orang tua mereka. Siapa pun yang tidak berbakti kepada orang tua adalah anak yang durhaka. Gagasan ini telah ditanamkan dalam diri orang sejak masa kanak-kanak, dan diajarkan di hampir setiap rumah tangga, serta di setiap sekolah dan masyarakat pada umumnya. Orang yang pikirannya dipenuhi hal-hal seperti itu akan beranggapan, 'Berbakti kepada orang tua lebih penting dari apa pun. Jika aku tidak berbakti, aku tidak akan menjadi orang yang baik—aku akan menjadi anak yang durhaka dan akan dicela oleh masyarakat. Aku akan menjadi orang yang tidak punya hati nurani.' Benarkah pandangan ini? Orang-orang telah memahami begitu banyak kebenaran yang Tuhan nyatakan—pernahkah Tuhan menuntut orang untuk berbakti kepada orang tua mereka? Apakah ini adalah salah satu kebenaran yang harus dipahami oleh orang yang percaya kepada Tuhan? Tidak. Tuhan hanya mempersekutukan beberapa prinsip. Dengan prinsip apa firman Tuhan menuntut orang untuk memperlakukan orang lain? Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, dan bencilah apa yang Tuhan benci: inilah prinsip yang harus dipatuhi. Tuhan mengasihi orang yang mengejar kebenaran dan mampu mengikuti kehendak-Nya; orang-orang ini jugalah yang harus kita kasihi. Orang yang tidak mampu mengikuti kehendak Tuhan, yang membenci dan memberontak terhadap Tuhan—orang-orang ini dibenci oleh Tuhan, dan kita juga harus membenci mereka. Inilah yang Tuhan tuntut untuk manusia lakukan. ... Iblis menggunakan budaya tradisional dan gagasan moralitas semacam ini untuk mengikat pemikiran, pikiran, dan hatimu, membuatmu tak mampu menerima firman Tuhan; engkau telah dikuasai oleh hal-hal dari Iblis ini, dan dibuat tak mampu untuk menerima firman Tuhan. Ketika engkau ingin menerapkan firman Tuhan, hal-hal ini menyebabkan gangguan di dalam dirimu, dan menyebabkanmu menentang kebenaran dan tuntutan Tuhan, membuatmu tidak berdaya untuk melepaskan diri dari belenggu budaya tradisional ini. Setelah berjuang selama beberapa waktu, engkau berkompromi: engkau lebih memilih untuk menganggap gagasan tradisional tentang moralitas adalah benar dan sesuai dengan kebenaran dan karena itu engkau menolak atau meninggalkan firman Tuhan. Engkau tidak menerima firman Tuhan sebagai kebenaran dan engkau sama sekali tidak berpikir bagaimana agar engkau diselamatkan, merasa engkau masih hidup di dunia ini, dan hanya bisa bertahan hidup jika engkau mengandalkan orang-orang ini. Karena tidak mampu menanggung kritikan masyarakat, engkau lebih suka memilih melepaskan kebenaran dan firman Tuhan, menyerahkan dirimu kepada gagasan tradisional tentang moralitas dan pengaruh Iblis, lebih memilih untuk menyinggung Tuhan dan tidak menerapkan kebenaran. Bukankah manusia begitu menyedihkan? Apakah mereka tidak butuh diselamatkan oleh Tuhan? Ada orang-orang yang telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, tetapi masih tidak mengerti masalah tentang berbakti. Mereka sebenarnya tidak memahami kebenaran. Mereka tidak akan pernah mampu menerobos penghalang hubungan duniawi ini; mereka tidak memiliki keberanian ataupun keyakinan, apalagi tekad, jadi mereka tidak mampu mengasihi dan menaati Tuhan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). Seketika, firman Tuhan mencerahkan hati Ming Hui. Dia menyadari bahwa penolakannya untuk melepaskan ibunya berasal dari indoktrinasi dan pengaruh budaya tradisional yang telah Iblis tanamkan dalam dirinya. Dia hidup menurut racun Iblis "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya", "Orang tuamu membesarkanmu agar kau dapat merawat mereka saat mereka menua", dan "Jangan bepergian jauh saat orang tuamu masih hidup". Sejak kecil, dia sudah sering mendengar komentar orang seperti, "Anak si A benar-benar berbakti. Dia tahu caranya berbakti pada orang tuanya dan membalas kebaikan mereka. Dia benar-benar memiliki hati nurani! Sementara itu, anak si B tidak baik. Orang tuanya jatuh sakit tetapi dia tidak memedulikan mereka. Sungguh putra yang tak tahu berterima kasih. Dia sudah membuang hati nuraninya demi dirinya sendiri!" Perkataan ini telah tertanam di dalam hati Ming Hui. Dia mengutamakan baktinya kepada orang tuanya dan berpikir karena ibunya sakit, sebagai seorang putri, dia harus berada di sisi ibunya dan melayaninya. Jika dia tidak berada di sisi ibunya, berarti dia adalah putri yang tidak berbakti. Dia takut para tetangganya akan menyebutnya putri yang tidak tahu berterima kasih dan tidak memiliki kemanusiaan, maka dari itu, dia menolak tugasnya. Kemudian, meskipun dia mulai melaksanakan tugasnya lagi, dia masih merasa berutang pada ibunya. Dia menyadari bahwa dia telah terikat sangat erat dengan racun iblis ini. Pada saat itu, Ming Hui memikirkan bagaimana ibunya adalah orang tidak percaya. Tahun lalu, karena ibunya tidak sanggup menanggung siksaan dari penyakitnya, dia pergi menyembah roh-roh jahat. Selain tak dapat mencintai apa yang Tuhan kasihi dan membenci yang Tuhan benci, Ming Hui juga membiarkan kekhawatirannya terhadap ibunya memengaruhi tugasnya. Bukankah ini berarti dia tidak mampu membedakan yang jahat dan yang benar serta mengenali yang benar dan yang salah? Ming Hui membenci dirinya sendiri karena sangat buta dan bodoh! Dia menghela napas dan berpikir, "Untungnya, Tuhan mengungkapkan firman ini dan memberi tahu kita prinsip-prinsip yang harus diterapkan sehubungan dengan orang tua kita. Hanya karena hal ini, aku dapat melepaskan utangku pada ibuku dan fokus pada tugasku. Jika tidak, seumur hidup ini, aku hanya bisa dikendalikan oleh pemikiran tradisional yang Iblis tanamkan dalam diriku dan aku tidak akan ingin melaksanakan tugasku sama sekali. Pada akhirnya, aku akan kehilangan kesempatanku untuk diselamatkan dan aku akan menjadi menyedihkan."

Ming Hui membaca dua bagian firman Tuhan yang lain dan mempelajari bagaimana cara memandang orang tuanya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Pertama-tama, kebanyakan orang memilih untuk meninggalkan rumah demi melaksanakan tugas mereka karena di satu sisi, keadaan objektif mereka secara keseluruhan mengharuskan mereka untuk meninggalkan orang tua mereka. Mereka tidak dapat tinggal bersama orang tua mereka untuk merawat dan menemani mereka. Bukan berarti mereka dengan rela memilih untuk meninggalkan orang tua mereka; ini adalah alasan objektifnya. Di sisi lain, alasan subjektifnya, engkau pergi untuk melaksanakan tugasmu bukan karena engkau ingin meninggalkan orang tuamu dan untuk menghindari tanggung jawabmu, melainkan karena panggilan Tuhan terhadapmu. Agar dapat membantu pekerjaan Tuhan, menerima panggilan-Nya, dan melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, engkau tidak punya pilihan lain selain meninggalkan orang tuamu; engkau tidak dapat berada di sisi mereka untuk menemani dan merawat mereka. Engkau tidak meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu, bukan? Meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu dan harus meninggalkan mereka untuk menjawab panggilan Tuhan serta melaksanakan tugasmu—bukankah kedua hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Di dalam hatimu, engkau terikat secara emosional dengan orang tuamu dan memikirkan mereka; perasaanmu tidak kosong. Jika keadaan objektifnya memungkinkan dan engkau dapat tetap berada di sisi mereka sembari melaksanakan tugasmu, engkau tentunya mau untuk tetap berada di sisi mereka, merawat mereka dan memenuhi tanggung jawabmu secara teratur. Namun, karena keadaan objektif, engkau harus meninggalkan mereka; engkau tidak bisa tetap berada di sisi mereka. Bukan berarti engkau tidak mau memenuhi tanggung jawabmu sebagai anak mereka, melainkan karena engkau tidak bisa. Bukankah hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Jika engkau meninggalkan rumah agar tidak perlu berbakti dan memenuhi tanggung jawabmu, itu berarti engkau tidak berbakti dan tidak memiliki kemanusiaan. Orang tuamu telah membesarkanmu, tetapi engkau ingin secepat mungkin melebarkan sayapmu dan hidup mandiri. Engkau tidak ingin bertemu dengan orang tuamu dan sama sekali tidak peduli saat mendengar orang tuamu mengalami kesulitan. Sekalipun engkau memiliki sarana untuk membantu mereka, engkau tidak melakukannya. Engkau hanya berpura-pura tidak mendengar dan membiarkan orang lain mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan tentangmu—engkau sama sekali tidak mau memenuhi tanggung jawabmu. Ini berarti engkau tidak berbakti. Namun, hal inikah yang terjadi saat ini? (Tidak.) Banyak orang telah meninggalkan kabupaten, kota, provinsi, atau bahkan negara mereka untuk melaksanakan tugas mereka; mereka sudah berada jauh dari kampung halaman mereka. Selain itu, tidaklah nyaman bagi mereka untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka karena berbagai alasan. Sesekali, mereka menanyakan keadaan terkini orang tua mereka dari orang-orang yang kampung halamannya sama dan merasa lega setelah mendengar orang tua mereka masih sehat dan baik-baik saja. Sebenarnya, engkau bukannya tidak berbakti. Engkau belum mencapai taraf tidak memiliki kemanusiaan, di mana engkau bahkan tidak mau memperhatikan orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu terhadap mereka. Engkau harus mengambil pilihan ini karena berbagai alasan objektif, jadi engkau bukannya tidak berbakti. Inilah kedua alasannya. ... Selain itu, yang terpenting adalah setelah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan dan mendengarkan begitu banyak kebenaran, orang setidaknya harus memiliki sedikit pengertian dan pemahaman bahwa: nasib manusia ditentukan oleh Surga, hidup manusia ada di tangan Tuhan, dan dipelihara serta dilindungi Tuhan jauh lebih penting daripada memiliki anak-anak yang berbakti, mempedulikan, atau menemani mereka. Bukankah engkau merasa lega bahwa orang tuamu dilindungi dan dipelihara Tuhan? Engkau tidak perlu mengkhawatirkan mereka. Jika engkau khawatir, itu berarti engkau tidak memercayai Tuhan, imanmu kepada-Nya terlalu kecil. Jika engkau benar-benar merasa khawatir dan cemas terhadap orang tuamu, engkau harus sering berdoa kepada Tuhan, memercayakan mereka ke dalam tangan Tuhan, dan membiarkan Tuhan mengatur dan menata segala sesuatunya" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). "Sebagai anak, engkau harus mengerti bahwa orang tuamu bukanlah krediturmu. Ada banyak hal yang harus kaulakukan dalam hidup ini. Semuanya adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh makhluk ciptaan yang telah dipercayakan kepadamu oleh Tuhan Sang Pencipta dan tidak ada kaitannya dengan membalas kebaikan orang tuamu. Menunjukkan bakti kepada orang tuamu, membalas budi dan kebaikan mereka—semua ini tidak ada kaitannya dengan misi hidupmu. Dapat juga dikatakan bahwa tidaklah wajib untuk menunjukkan baktimu kepada orang tuamu, membalas budi, atau memenuhi tanggung jawabmu kepada mereka. Sederhananya, engkau dapat melakukannya dan memenuhi sedikit tanggung jawabmu jika keadaanmu memungkinkan; apabila tidak memungkinkan, engkau tidak perlu memaksakan diri untuk melakukannya. Ketika engkau tidak mampu memenuhi tanggung jawab berbakti kepada orang tuamu, itu bukan sesuatu yang mengerikan, ini hanya akan sedikit bertentangan dengan hati nuranimu, moralitas manusia, dan gagasan manusia. Namun setidaknya, hal ini tidak bertentangan dengan kebenaran, dan Tuhan tidak akan menghukummu karenanya. Setelah engkau memahami kebenaran, hati nuranimu tidak akan menuduhmu dalam hal ini" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Dari firman Tuhan, Ming Hui menyadari bagaimana ketidakmampuannya untuk merawat orang tuanya di rumah selama bertahun-tahun ini terutama disebabkan oleh penganiayaan dan penangkapan oleh Partai Komunis. Dia terpaksa kehilangan kesempatannya untuk tinggal di rumah dan merawat orang tuanya. Dia bukannya sengaja menghindar dari tanggung jawabnya untuk membantu mereka. Sekarang, dia memiliki catatan kriminal, dan polisi akan mendatangi rumahnya kapan pun untuk mengusiknya dan memantau keberadaannya. Tentu tidak ada cara baginya untuk percaya kepada Tuhan serta melaksanakan tugasnya di rumah, dan mau tak mau dia harus meninggalkan rumah. Sebagai makhluk ciptaan, melaksanakan tugas makhluk ciptaan lebih penting daripada berbakti pada orang tua. Ini adalah hal paling benar yang harus dilakukan dalam hidupnya, terlebih lagi ini adalah misinya. Dari firman Tuhan, Ming Hui menemukan jalan untuk menerapkan. Jika kondisinya memungkinkan dan dia memiliki kesempatan untuk merawat ibunya di rumah, dia dapat memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya sebagai putri dan merawat ibunya. Jika keadaannya tidak memungkinkan, dia tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri. Anak dan orang tua tidak saling berutang apa pun. Setelah menyadari hal ini, Ming Hui merasa seluruh tubuhnya menjadi rileks. Dia bersyukur kepada Tuhan di dalam hatinya. Firman Tuhanlah yang membantunya melihat dengan jelas bagaimana budaya tradisional merugikan orang-orang dan memahami bahwa sebagai makhluk ciptaan, hanya dengan melakukan tugasnya, hidup manusia akan bermakna dan membuat orang tersebut benar-benar memiliki hati nurani dan kemanusiaan. Di hari-hari berikutnya, Ming Hui mencurahkan segenap hatinya dalam tugasnya.

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait