Pendidikan yang Terlalu Ketat Telah Menyakiti Putriku

03 Juli 2024

Oleh Saudari Niuniu, Tiongkok

Orang tuaku bercerai ketika aku masih cukup muda. Aku dan kakak perempuanku tinggal bersama ayah kami, dan kehidupan kami benar-benar sulit. Kondisi keluarga kami berkekurangan, ditambah lagi nilaiku juga jelek, jadi aku putus sekolah saat SMP dan mulai bekerja. Karena berpendidikan rendah, aku hanya dapat melakukan beberapa pekerjaan kasar. Itu sangat melelahkan dan memalukan. Karena berpendidikan rendah, aku hanya bisa menjadi pekerja kelas bawah seumur hidupku. Jadi, setelah menikah dan memiliki putri pertama, aku berharap dia belajar dengan giat dan masuk ke universitas yang bagus di masa depan, bukan hanya agar dia memiliki masa depan yang baik, tetapi agar aku juga, sebagai ibunya, merasa bangga. Selama waktu itu, aku menjalankan bisnis kecil-kecilan di rumah bersama suamiku sambil mengasuh putriku. Ketika putriku berusia dua tahun, aku membeli beberapa buku tingkat dasar dari internet untuk kuajarkan kepadanya. Sembari memasak atau mencuci pakaian, aku mengajarinya Tiga Karakter Klasik atau melatihnya untuk menghafal puisi Tang. Terkadang, saat aku melafalkan satu kalimat, dia mampu memberitahukan kepadaku kalimat berikutnya yang telah dia hafalkan. Aku menyadari bahwa dia sangat cepat belajar, dan menurutku, putriku cukup pintar dan pasti akan unggul secara akademis di masa depan. Saat dia berusia empat tahun, aku memasukkannya ke TK. Setengah tahun kemudian, melihat bahwa dia tidak banyak belajar di kelas tingkat dasar, aku memindahkan dia ke kelas tingkat menengah, dan bahkan sebelum putriku menuntaskannya, aku memindahkan dia ke kelas tingkat akhir. TK pertama yang kupilih untuk putriku letaknya tak jauh dari rumah kami, tetapi belakangan aku mendapati bahwa putriku tidak banyak belajar di sana, dan aku berpikir, "Ini adalah saat bagi anak-anak untuk membangun fondasinya. Jika dia terus belajar di sini, itu akan menghambat prospek masa depannya." Jadi, setelah meminta seseorang untuk mencari tahu, aku menemukan TK yang bagus, tetapi agak jauh dari tempat tinggal kami. Aku mengantar jemput putriku ke sekolah setiap hari, dan selama waktu itu, aku berpikir, "Memasukkan putriku ke TK yang bagus akan bermanfaat bagi masa depannya. Tak peduli sesulit apa pun, ini sepadan." Agar putriku bisa mendapatkan nilai yang bagus, aku menghemat makanan dan pengeluaran lainnya, serta menghabiskan lebih dari 500 yuan untuk membeli sebuah pena pintar. Kupikir itu akan membantu meningkatkan nilainya. Kemudian, putriku mulai menginjak kelas satu. Karena dia terlalu suka bermain-main, aku membuat peraturan bahwa dia harus berlatih menulis karakter setiap hari seusai sarapan. Setelah itu, dia harus melafalkan satu bagian dari buku pelajarannya, kemudian barulah dia boleh bermain di luar. Melihat bahwa aku sudah mengatur seluruh jadwal belajar itu untuknya dan dia tidak boleh bermain sebelum selesai, dia menangis dan membuat keributan. Aku pun sangat marah dan menegurnya, dengan berkata, "Jika kau belajar dengan giat dan mampu mengerjakan semua pekerjaan rumah ini, aku tak akan perlu membuat peraturan ini. Bukankah peraturan ini demi kebaikanmu sendiri? Lihatlah putri orang itu. Kau lihat betapa bagus nilainya? Orang tuanya tak pernah ada di rumah, tetapi dia tetap tahu bagaimana caranya belajar dengan giat. Jika tidak giat belajar, kau bahkan tak akan bisa mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah nanti, apalagi memiliki masa depan yang cerah. Jika itu terjadi, dan kau tak punya makanan untuk dimakan, jangan datang kepadaku." Teguranku membuat putriku terdiam, dan dia dengan enggan menuruti tuntutanku dan belajar. Dengan demikian, di bawah kendaliku yang ketat, nilai putriku meningkat. Dia mendapat nilai 90-an dalam ujian, dan terkadang bahkan mendapat nilai 99. Namun, aku tetap menegurnya, dengan berkata, "Mengapa kau hanya mendapat 99, bukan 100?" Setelah itu, aku mendorong dia untuk giat belajar, membelikannya materi-materi untuk dia pelajari sebagai pelajaran tambahan di waktu luangnya agar dia bisa mendapat nilai 100 dalam ujiannya sesegera mungkin.

Pada bulan Juni 2021, putriku duduk di kelas dua, dan nilainya terus menurun, jadi aku memarahinya dengan berkata, "Mengapa nilai ujianmu terus menurun!" Aku juga menuduhnya tidak memperhatikan pelajaran di kelas. Di rumah, aku mengawasinya belajar, dan terkadang, aku memukulnya jika dia tidak mendengarkanku. Putriku ketakutan setiap kali melihatku, dia tak berani menentangku, dan hanya memukul dirinya sendiri. Dia juga tak mau dekat-dekat denganku. Dia bahkan memberi tahu neneknya bahwa aku tak menyayanginya. Saat itu, aku sangat marah, dan aku berkata kepada putriku, "Kau ini masih kecil, belum mengerti banyak hal. Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu sendiri. Saat seusiamu, aku bukanlah siswa berprestasi, sehingga aku tidak punya prospek masa depan dan hanya bisa menjadi warga kelas bawah. Kau harus menjadi siswa yang baik, kau tak boleh menjadi sepertiku." Putriku tak punya pilihan selain menuruti tuntutanku.

Belakangan, aku dipilih menjadi pemimpin gereja. Aku cukup sibuk dengan tugas kepemimpinanku, dan tidak punya banyak waktu untuk mengawasi putriku belajar di rumah. Nilainya menurun cukup banyak. Awalnya dia mendapat nilai 90-an, dan kemudian perlahan-lahan menurun hingga 70-an. Aku berpikir, "Jika terus seperti ini, bahkan mungkin dia tak akan bisa lulus SMP, apalagi masuk ke universitas yang bagus dan memiliki masa depan yang cerah. Jika putriku tidak memiliki masa depan yang baik, aku tidak akan bangga padanya." Jadi, aku menyibukkan diri dengan pekerjaan gereja di siang hari, dan aku mengajarkan pelajaran tambahan kepada putriku di malam hari. Namun, dia suka bermain dan tidak terlalu disiplin, sehingga nilainya makin menurun. Gurunya menelepon dan memberitahuku bahwa nilai putriku menurun drastis. Beliau juga berkata bahwa betapa pun sibuknya, aku tetap harus memperhatikan pendidikan putriku. Setelah mendengarkan perkataan guru putriku, aku mengeluh di dalam hati, kupikir aku tidak dapat mengawasi pendidikan putriku karena terlalu sibuk dengan tugasku, dan itulah yang menyebabkan nilai-nilainya menurun sangat drastis. Karena itu, aku tidak mau melaksanakan tugas kepemimpinan. Aku hanya mau berkumpul seminggu sekali, dan itu sudah kuanggap bagus. Dengan demikian, aku memiliki lebih banyak waktu untuk mengawasi putriku belajar di rumah. Pada sore itu, seorang pemimpin datang untuk berkumpul dengan kami, dan aku tak mau pergi. Aku tahu bahwa pemikiran seperti itu salah, dan aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, nilai putriku menurun drastis, dan aku khawatir jika terus seperti itu, prospek masa depannya akan terhambat. Karena alasan ini, aku tidak ingin melaksanakan tugas kepemimpinan. Aku tahu ini salah. Tolong bimbinglah aku dan tunjukkan kepadaku jalan untuk melakukan penerapan." Setelah berdoa, aku menghadiri pertemuan itu, dan di sana aku menceritakan keadaanku kepada pemimpin. Dia bersekutu denganku, juga mengingatkanku untuk pulang dan membaca firman Tuhan yang mengungkapkan cara orang tua mendidik anak-anaknya.

Sesampai di rumah, aku mencari firman Tuhan tentang topik ini dan membacanya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Setiap orang tua, atau orang-orang yang lebih tua, memiliki berbagai pengharapan, baik besar maupun kecil, terhadap anak-anak mereka. Mereka berharap anak-anak mereka akan belajar dengan giat, berperilaku sopan, berprestasi di sekolah, dan selalu mendapat nilai sempurna, dan tidak bermalas-malasan. Mereka ingin anak-anak mereka dihormati oleh guru dan teman sekelas, ingin nilai mereka selalu di atas 80. Jika anak-anak mereka hanya mendapat nilai 60, mereka akan dipukuli, dan jika nilai mereka kurang dari 60, mereka dihukum berdiri dengan posisi tubuh menghadap ke dinding dan merenungkan kesalahan mereka, atau mereka disuruh berdiri diam sebagai hukuman. Mereka tidak diperbolehkan makan, tidur, menonton TV, atau bermain komputer, dan pakaian serta mainan bagus yang dijanjikan sebelumnya tidak jadi dibelikan untuk mereka. Setiap orang tua memiliki berbagai harapan terhadap anak-anak mereka dan menaruh harapan yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Mereka berharap anak-anak mereka akan berhasil dalam hidup ini, mengalami kemajuan yang pesat dalam karier mereka, dan membawa kehormatan dan kemuliaan bagi leluhur dan keluarga mereka. Tidak ada orang tua yang ingin anak-anak mereka menjadi pengemis, petani, atau bahkan perampok dan bandit. Orang tua juga tidak ingin anak-anak mereka menjadi warga negara kelas dua setelah terjun ke tengah masyarakat, tidak ingin anak-anak mereka menjadi pemulung, pedagang kaki lima, pedagang asongan, atau dipandang rendah oleh orang lain. Entah harapan orang tua ini dapat diwujudkan oleh anak-anak mereka atau tidak, pada dasarnya, semua orang tua, memiliki segala macam harapan terhadap anak-anak mereka. Harapan mereka adalah proyeksi dari apa yang mereka anggap hal atau pengejaran yang luhur dan baik terhadap anak-anak mereka, memberi mereka harapan, berharap mereka mampu mewujudkan keinginan orang tua mereka. Lalu, apa yang tanpa sengaja tercipta dalam diri anak sebagai akibat keinginan orang tua tersebut? (Tekanan.) Keinginan orang tua menciptakan tekanan, dan apa lagi? (Beban.) Keinginan orang tua menjadi tekanan dan juga belenggu. Karena orang tua memiliki harapan terhadap anak-anak mereka, mereka akan mendisiplinkan, membimbing, dan mendidik anak-anak mereka berdasarkan harapan tersebut; mereka bahkan akan mengerahkan segala upaya atau membayar harga apa pun agar anak-anak mereka dapat mewujudkan harapan mereka. Sebagai contoh, orang tua berharap anak-anak mereka berprestasi di sekolah, menjadi juara kelas, selalu mendapat nilai ujian di atas 90, selalu menjadi juara satu, atau setidaknya, tidak pernah berada di bawah peringkat lima. Setelah mengungkapkan harapan ini, bukankah pada saat yang sama, orang tua juga melakukan pengorbanan tertentu untuk membantu anak-anak mereka mencapai tujuan tersebut? (Ya.) Agar anak-anak mereka dapat mencapai tujuan tersebut, anak-anak tersebut akan bangun pagi-pagi sekali untuk mengulang pelajaran dan menghafalkan pelajaran, dan orang tua mereka juga akan bangun pagi-pagi sekali untuk mendampingi mereka belajar. Pada hari-hari yang panas, mereka akan membantu mengipasi anak-anak mereka, membuatkan minuman dingin, atau membelikan es krim untuk mereka makan. Mereka akan bangun paling pagi untuk menyiapkan susu kedelai, cakwe goreng, dan telur untuk anak-anak mereka. Terutama selama waktu ujian, orang tua akan menyuruh anak-anak mereka makan sepotong cakwe dan dua telur, berharap ini akan menolong mereka mendapatkan nilai 100. Jika engkau berkata, 'Aku tidak bisa menghabiskan semua makanan ini, satu telur saja sudah cukup,' mereka akan berkata, 'Anak bodoh, kau hanya akan mendapat nilai 10 jika hanya makan satu telur. Makanlah satu lagi demi Ibu. Berusahalah menghabiskannya; jika kau berhasil menghabiskan telur satu lagi, kau akan mendapat nilai 100.' Anaknya lalu berkata, 'Aku baru bangun, aku belum bisa makan.' 'Tidak, kau harus makan! Jadilah anak yang baik dan turuti perkataan ibumu. Ibu melakukan ini demi kebaikanmu sendiri, jadi ayo makanlah demi ibumu.' Si anak berpikir, 'Ibu sangat memedulikanku, Semua yang dia lakukan adalah untuk kebaikanku, jadi aku akan memakannya.' Yang dimakan adalah telur, tetapi apa sebenarnya yang ditelannya? Itu adalah tekanan; itu adalah keengganan dan ketidakrelaan. Makanannya enak dan harapan ibunya tinggi, dan dari sudut pandang kemanusiaan dan hati nurani, orang seharusnya menerimanya, tetapi berdasarkan nalar, orang seharusnya menolak kasih sayang semacam ini dan tidak menerima dirinya diperlakukan seperti ini. Namun sayangnya, tidak ada yang dapat kaulakukan. Jika engkau tidak memakannya, ibumu akan marah, dan engkau akan dipukuli, dimarahi, atau bahkan dimaki. ... Didikan macam apakah yang kauterima dari harapan orang tuamu? (Bahwa kami harus mendapat nilai yang bagus dalam ujian kami dan memiliki masa depan yang berhasil.) Engkau harus menjadi orang yang menjanjikan, engkau harus layak menerima kasih sayang ibumu, kerja keras dan pengorbanannya, dan engkau harus memenuhi pengharapan orang tuamu dan tidak mengecewakan mereka. Mereka sangat menyayangimu, mereka telah memberikan segalanya bagimu, dan mereka telah melakukan segalanya bagimu dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Dengan demikian, menjadi apakah semua pengorbanan, didikan, dan bahkan rasa sayang mereka? Semua itu menjadi sesuatu yang harus kaubalas, dan semua itu sekaligus menjadi bebanmu. Dengan cara inilah beban muncul" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Tuhan mengungkapkan bahwa ketika orang tua memiliki pengharapan terhadap anak-anak mereka, mereka selalu berpikir bahwa semua yang mereka lakukan adalah demi kebaikan anak-anak mereka. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi siswa yang baik, masuk ke universitas yang bagus, dan mendapat nilai yang baik agar dapat membawa kemuliaan bagi para leluhur mereka dan memiliki status sosial yang tinggi. Mereka juga menuntut agar anak-anak mereka melakukan segala hal dengan cara tertentu berdasarkan ekspektasi mereka. Namun, mereka tidak mempertimbangkan seluruh tekanan yang diakibatkan oleh tuntutan mereka yang keras terhadap anak-anak mereka. Apa yang telah diungkapkan Tuhan persis seperti keadaanku. Melihat bahwa putriku cukup pintar saat dia berusia sekitar dua tahun, aku berharap dia dapat belajar dengan giat dan masuk ke universitas yang bagus ketika dia dewasa. Dengan demikian, bukan hanya aku akan dihormati orang lain, itu juga akan membawa kehormatan bagi nama keluarga kami. Begitu aku memiliki pengharapan ini, aku mulai mencari sekolah yang bagus untuk putriku agar dia bisa memiliki fondasi yang kuat sejak usia dini. Aku juga menghemat makanan dan pengeluaran sehari-hari serta membelikan pena pintar untuknya belajar, menuntut dia untuk mendapat nilai sempurna dalam ujian, dan selalu membandingkannya dengan anak tetangga sebelah yang mendapatkan nilai bagus. Jika putriku tak mau bertindak sesuai dengan rencana yang telah kubuat, aku memberitahunya bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikannya sendiri, dan jika dia tetap tak mau mendengarkan, aku menceramahinya dan berkata bahwa kelak dia akan hidup seperti pengemis. Itu membuatnya tak berani melawanku, dan dia tak memiliki kebebasan sama sekali. Dia tak berani berunding denganku. Sebaliknya dia hanya memukul dirinya sendiri, dan dia menjadi makin jauh dariku. Dengan melakukan semua itu, aku hanya merusak pikirannya yang masih muda. Namun, aku masih beranggapan bahwa aku melakukan itu demi kebaikannya sendiri, tidak menyadari bahwa mengajari putriku dengan cara seperti itu sebenarnya salah.

Aku terus membaca lebih banyak firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Pengharapan yang dimiliki orang tua terhadap anak-anak mereka sebelum anak-anak mereka menjadi dewasa, dari 'Mereka harus belajar banyak hal, mereka tidak boleh terlambat memulai pendidikan mereka' hingga 'Setelah mereka dewasa, mereka harus unggul di dunia, dan memiliki kedudukan yang bagus di tengah masyarakat', lambat laun berubah menjadi semacam tuntutan yang mereka buat terhadap anak-anak mereka. Tuntutannya adalah: setelah engkau dewasa dan memiliki kedudukan yang bagus di tengah masyarakat, jangan lupakan dari mana kau berasal, jangan lupakan orang tuamu, orang tuamu adalah orang yang harus kaubalas budinya terlebih dahulu, engkau harus berbakti pada mereka, dan bantulah mereka untuk menjalani kehidupan yang baik, karena mereka adalah penyokongmu di dunia ini, mereka adalah orang-orang yang mendidikmu; engkau sudah memiliki kedudukan yang bagus di tengah masyarakat sekarang, serta segala sesuatu yang kaunikmati, dan segala sesuatu yang kaumiliki, dibeli dengan usaha yang sungguh-sungguh dari orang tuamu, jadi engkau harus menggunakan sisa hidupmu untuk membalas budi mereka, membalas kebaikan mereka, dan berbuat baik kepada mereka. Pengharapan yang orang tua miliki terhadap anak-anak mereka sebelum anak-anak mereka menjadi dewasa—yaitu agar anak-anak mereka kelak memiliki kedudukan yang bagus di tengah masyarakat dan unggul di dunia—berkembang menjadi seperti ini, lambat laun berubah dari pengharapan yang sangat normal dari orang tua terhadap anak-anaknya menjadi semacam tuntutan dan permintaan yang dibuat orang tua terhadap anak-anak mereka. Jika anak-anak mereka tidak mendapatkan nilai yang bagus pada masa sebelum menjadi dewasa; misalkan mereka memberontak, mereka tidak mau belajar atau menaati orang tua mereka, dan mereka tidak menaati orang tua mereka, orang tua mereka akan berkata: 'Apakah menurutmu yang kulakukan ini mudah bagiku? Menurutmu, untuk siapa aku melakukan semua ini? Aku melakukan ini demi kebaikanmu sendiri, bukan? Semua yang kulakukan adalah untukmu, dan kau tidak menghargainya. Apakah kau bodoh?' Mereka akan menggunakan perkataan ini untuk mengintimidasi anak-anak mereka dan mengendalikan mereka. Apakah pendekatan seperti ini benar? (Tidak.) Ini tidak benar. Ini adalah bagian yang 'luhur' sekaligus bagian yang tercela dari orang tua" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Tuhan mengungkapkan bahwa ada maksud dan motif tersembunyi di balik pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka. Mereka berharap bahwa setelah membayar harga dalam membesarkan anak-anak mereka, ketika anak-anak mereka akhirnya unggul di antara orang lain dan membawa kehormatan bagi nama keluarga mereka, mereka akan mendapat berbagai manfaat dari hal itu. Jika Tuhan tidak mengungkapkan ini, aku akan selalu beranggapan bahwa aku mengajari putriku untuk belajar dengan giat dan mengendalikan dia dengan ketat agar dia dapat memiliki masa depan yang cerah. Namun, di balik semua itu, ternyata aku hanya melakukannya demi kepentingan pribadiku. Aku telah membina putriku sejak usia dini, berharap agar dia dapat membangun fondasi yang kokoh selagi masih muda, agar dia dapat masuk ke universitas yang bagus dan unggul dari teman-temannya kelak. Dengan demikian, dia bukan hanya akan membawa kemuliaan bagi para leluhur kami; jika dia memiliki kehidupan yang bagus di masa depan, itu juga akan bermanfaat bagiku sebagai seorang ibu, dan dia akan berbakti kepadaku di masa mendatang. Ketika melihat bahwa putriku lebih suka bermain-main, aku khawatir bahwa itu akan memengaruhi nilainya, jadi aku memarahi dan memukulinya. Karena aku tak punya banyak waktu untuk membimbing putriku dalam belajar sambil melaksanakan tugasku, nilai-nilainya menurun drastis, dan ketika melihat itu, aku bahkan tak mau melaksanakan tugas kepemimpinanku. Jika sekarang kupikir lagi, ada maksud dan motif di balik hal-hal yang telah kulakukan untuk putriku ini, dan semua itu adalah demi kepentinganku sendiri. Aku hidup berdasarkan racun Iblis seperti "Jangan pernah bekerja tanpa upah" dan "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri". Aku sangat egois dan tercela.

Kemudian, aku membaca firman Tuhan dan menemukan jalan untuk melakukan penerapan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Dengan menganalisis esensi dari pengharapan orang tua terhadap anak-anak mereka, kita dapat melihat bahwa pengharapan-pengharapan tersebut bersifat egois, bertentangan dengan kemanusiaan, dan selain itu, semua itu tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab orang tua. Ketika orang tua memaksakan berbagai harapan dan tuntutan terhadap anak-anak mereka, mereka tidak sedang memenuhi tanggung jawab mereka. Jadi, apa 'tanggung jawab' mereka? Tanggung jawab paling mendasar yang harus dipenuhi oleh orang tua adalah mengajari anak-anak mereka berbicara, mendidik mereka untuk bersikap baik dan tidak menjadi orang jahat, serta membimbing mereka ke arah yang positif. Ini adalah tanggung jawab mereka yang paling mendasar. Selain itu, mereka harus mendampingi anak-anak mereka dalam mempelajari segala jenis ilmu, bakat, dan lain-lain yang sesuai dengan usia, kemampuan, serta kualitas dan minat mereka. Orang tua yang sedikit lebih baik akan membantu anak-anak mereka memahami bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan bahwa Tuhan itu ada di alam semesta ini, membimbing anak-anak mereka untuk berdoa dan membaca firman Tuhan, menceritakan kepada mereka beberapa kisah dari Alkitab, dan berharap bahwa mereka akan mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan setelah mereka dewasa, dan bukan mengikuti tren duniawi, terjebak dalam berbagai hubungan antarpribadi yang rumit, dan dihancurkan oleh berbagai tren dunia dan masyarakat ini. Tanggung jawab yang harus dipenuhi orang tua tidak ada hubungannya dengan pengharapan mereka. Tanggung jawab yang harus mereka penuhi dalam peran mereka sebagai orang tua adalah memberikan bimbingan positif dan bantuan yang tepat kepada anak-anak mereka sebelum mereka menjadi dewasa, serta segera merawat mereka dalam kehidupan jasmaniah mereka sehubungan dengan makanan, pakaian, rumah, atau terkadang ketika mereka jatuh sakit. Jika anak-anak mereka jatuh sakit, orang tua harus mengobati penyakit apa pun yang perlu diobati; mereka tidak boleh mengabaikan anak-anak mereka atau berkata kepada mereka, 'Teruslah bersekolah, teruslah belajar. Kau tidak boleh tertinggal di kelasmu. Jika kau tertinggal terlalu jauh, kau tidak akan mampu mengejarnya.' Ketika anak-anak mereka perlu istirahat, orang tua harus membiarkan mereka beristirahat; ketika anak-anak mereka sakit, orang tua harus merawat mereka sampai sembuh. Inilah tanggung jawab orang tua. Di satu sisi, mereka harus menjaga kesehatan jasmaniah anak-anak mereka; di sisi lain, mereka harus mendampingi, mendidik, dan membantu anak-anak mereka dalam hal kesehatan mental mereka. Inilah tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang tua, dan bukan memaksakan pengharapan atau tuntutan yang tidak realistis terhadap anak-anak mereka. Orang tua harus memenuhi tanggung jawab mereka baik dalam hal kebutuhan mental anak-anak mereka maupun hal-hal yang dibutuhkan anak-anak mereka dalam kehidupan jasmaniah mereka. Orang tua tidak boleh membiarkan anak-anak mereka kedinginan di musim dingin, mereka harus mengajari anak-anak mereka beberapa pengetahuan umum tentang kehidupan, seperti dalam keadaan apa mereka akan masuk angin, bahwa mereka harus memakan makanan yang hangat, bahwa perut mereka akan sakit jika mereka memakan makanan yang dingin, dan bahwa mereka tidak boleh dengan sembarangan membiarkan diri mereka terkena angin atau menanggalkan pakaian di tempat yang berangin saat cuaca dingin, membantu mereka belajar menjaga kesehatan mereka sendiri. Selain itu, jika ada gagasan yang kekanak-kanakan dan belum dewasa mengenai masa depan mereka, atau ada pemikiran-pemikiran ekstrem yang muncul di pikiran anak-anak mereka, orang tua harus segera memberi mereka bimbingan yang benar segera setelah mereka mengetahui hal ini, dan bukan menekan mereka secara paksa; mereka seharusnya mengajarkan anak-anak mereka untuk mengutarakan dan menyampaikan gagasan mereka, sehingga masalahnya benar-benar dapat terselesaikan. Inilah yang dimaksud dengan memenuhi tanggung jawab mereka. Memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua berarti, di satu sisi, merawat anak-anak mereka, lalu di sisi lain, mengarahkan dan mengoreksi anak-anak mereka, serta memberi mereka bimbingan mengenai pemikiran dan pandangan yang benar. Tanggung jawab yang harus dipenuhi orang tua sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pengharapan mereka terhadap anak-anak mereka. Engkau boleh berharap bahwa anak-anakmu akan sehat secara jasmani serta memiliki kemanusiaan, hati nurani, dan nalar setelah mereka menjadi dewasa, atau engkau boleh berharap bahwa anak-anakmu akan berbakti kepadamu, tetapi engkau tidak seharusnya berharap bahwa anak-anakmu akan menjadi selebritas atau orang hebat setelah menjadi dewasa, apalagi jika engkau sering berkata kepada anak-anakmu: 'Lihatlah betapa patuhnya Xiao Ming, tetangga kita!' Anak-anakmu adalah anak-anakmu. Tanggung jawab yang seharusnya kaupenuhi bukanlah berkata kepada anak-anakmu betapa hebatnya tetangga mereka, Xiaoming, atau membuat mereka belajar dari tetangga mereka, Xiaoming. Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang tua. Setiap orang berbeda. Setiap orang berbeda dalam hal pemikiran, pandangan, minat, hobi, kualitas, kepribadian, dan apakah esensi kemanusiaan mereka baik atau jahat. Ada orang-orang yang terlahir sebagai orang yang cerewet, sementara yang lain pada dasarnya tertutup, dan tidak akan merasa kesal jika mereka menjalani sepanjang hari tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Oleh karena itu, jika orang tua ingin memenuhi tanggung jawab mereka, mereka harus berusaha memahami kepribadian, watak, minat, kualitas anak-anak mereka, serta kebutuhan kemanusiaan mereka, dan bukan mengubah pengejaran mereka sebagai orang dewasa akan dunia, gengsi, dan keuntungan menjadi pengharapan bagi anak-anak mereka, memaksakan hal-hal yang berasal dari masyarakat seperti gengsi, keuntungan, dan dunia ini kepada anak-anak mereka. Para orang tua menyebut hal-hal ini dengan sebutan yang terdengar menyenangkan, yaitu 'pengharapan terhadap anak-anak mereka', tetapi bukan itu yang sebenarnya. Jelas bahwa mereka berusaha mendorong anak-anak mereka ke dalam lubang api dan mengirim mereka ke pelukan setan. Jika engkau benar-benar orang tua yang baik, engkau seharusnya memenuhi tanggung jawabmu dalam hal kesehatan jasmaniah dan mental anak-anakmu, dan bukan memaksakan kehendakmu kepada mereka sebelum mereka menjadi dewasa, memaksa pikiran mereka yang masih muda untuk menanggung hal-hal yang tidak seharusnya mereka tanggung" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa orang tua harus melepaskan tuntutan dan pengharapan mereka yang tidak pantas terhadap anak-anak mereka. Mereka harus memperlakukan anak-anak mereka berdasarkan situasi yang nyata dan tidak boleh memaksakan hasrat mereka untuk mengejar ketenaran dan keuntungan kepada anak-anak mereka. Aku teringat kembali bahwa aku tidak melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan dalam caraku mendidik putriku. Putriku mungkin pintar sejak usia dini, tetapi dia tidak pernah mencapai nilai sempurna dalam ujian. Aku harus memandang hal ini dengan benar. Tak seharusnya aku membandingkan dia dengan anak tetangga, dan tak seharusnya aku menanamkan gagasan yang keliru dalam dirinya ketika dia masih kecil, membuatnya menjadi siswa yang baik dan masuk ke universitas yang bagus agar bisa unggul dari teman-temannya serta membawa kemuliaan bagi para leluhur kami. Selain itu, untuk anak-anak dari berbagai usia, orang tua seharusnya membuat tuntutan yang sesuai dengan situasi nyata mereka. Usia putriku masih belum 10 tahun; wajar jika dia bersenang-senang dan bermain-main sejenak sebelum mengerjakan pekerjaan rumahnya. Seharusnya aku tidak membuat tuntutan berdasarkan caraku sendiri dalam mendidiknya dan kemudian memarahinya saat dia tidak dapat melakukan sesuatu. Itu hanya merusak pikirannya yang masih muda, dan aku bukan sungguh-sungguh melakukan itu demi kebaikannya sendiri. Untuk sungguh-sungguh melakukan hal yang benar bagi anaknya, orang tua harus melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan, memperlakukan anak menurut kualitas, kepribadian, dan usianya. Jika orang tua memiliki cara mereka sendiri untuk mendidik anak mereka, sekalipun mereka memenuhi tujuan untuk membuat anak mereka unggul dari teman-temannya, anak itu akan makin menjauh dari Tuhan seiring dengan banyaknya pengetahuan yang dia peroleh. Saat orang tuanya mengabarkan Injil kepadanya di kemudian hari, anak itu mungkin akan menggunakan pengetahuan yang telah dia pelajari untuk menentang dan menyangkal Tuhan. Jika itu terjadi, akan hancurlah anak tersebut. Setelah memahami semua itu, aku tak lagi memperhatikan nilai putriku secara berlebihan, dan aku tak lagi berharap agar dia masuk ke universitas yang bagus dan membawa kehormatan bagi namaku di masa depan. Aku hanya berharap agar dia mempelajari pengetahuan yang nyata selama bersekolah. Mengenai apakah kelak dia berhasil meraih prestasi akademik dan mendapatkan pekerjaan yang bagus, dan mengenai bagaimana prospek masa depannya di masa mendatang, aku tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan.

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Saat seseorang meninggalkan orang tuanya dan menjadi mandiri, situasi sosial yang ia hadapi, dan jenis pekerjaan serta karier yang tersedia baginya ditentukan oleh nasib yang tak ada kaitannya dengan orang tuanya. Sebagian orang memilih jurusan yang bagus di perguruan tinggi dan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang memuaskan setelah lulus, mencapai langkah pertama yang penuh kemenangan dalam perjalanan hidup mereka. Sebagian orang belajar dan menguasai banyak keterampilan berbeda, tetapi tidak bisa menemukan pekerjaan atau tidak pernah menemukan posisi mereka, apalagi memiliki karier; di awal perjalanan hidupnya, mereka mendapati diri mereka gagal pada setiap kesempatan, tertimpa berbagai kesulitan, prospek mereka suram, dan kehidupan mereka tak menentu. Sebagian orang sangat rajin dalam studi mereka, tetapi nyaris kehilangan setiap kesempatan untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi; mereka seakan ditakdirkan untuk tak pernah mencapai kesuksesan, cita-cita pertama dalam perjalanan hidup mereka telah menguap begitu saja. Tanpa mengetahui apakah jalan di depan mereka mulus atau berbatu, mereka merasakan untuk pertama kalinya betapa nasib manusia dipenuhi berbagai variabel, dan karenanya mereka memandang hidup ini dengan harapan dan ketakutan. Sebagian orang, walaupun tidak berpendidikan tinggi, menulis buku dan meraih sejumlah ketenaran, sebagian orang, meski nyaris buta huruf, mampu menghasilkan uang dalam berbisnis dan karenanya mampu menyokong diri mereka sendiri .... Pekerjaan yang orang pilih, bagaimana orang mencari nafkah: apakah orang memiliki kendali mengenai apakah mereka mengambil keputusan yang baik atau buruk dalam hal-hal ini? Apakah hal-hal ini selaras dengan keinginan dan keputusan orang? Kebanyakan orang memiliki keinginan berikut: bekerja lebih sedikit tetapi berpenghasilan lebih banyak, tidak berjerih lelah di bawah terik matahari dan hujan, berpakaian bagus, nampak gemilang dan bersinar ke mana pun mereka pergi, berkedudukan lebih tinggi dibanding orang lain, dan membawa kehormatan bagi leluhur mereka. Manusia mengharapkan kesempurnaan, tetapi saat mereka mengambil langkah pertama dalam perjalanan hidupnya, mereka berangsur-angsur menyadari betapa tidak sempurnanya nasib manusia, dan untuk pertama kalinya mereka benar-benar memahami fakta bahwa, meskipun orang dapat membuat rencana yang berani untuk masa depannya dan meskipun orang dapat memiliki banyak khayalan muluk, tidak seorang pun yang punya kemampuan atau kuasa untuk mewujudkan impian mereka sendiri, dan tidak seorang pun mampu untuk mengendalikan masa depan mereka. Akan selalu ada jarak antara mimpi seseorang dan kenyataan yang harus dihadapinya; segala sesuatu tidak pernah menjadi seperti yang orang inginkan, dan dihadapkan pada kenyataan seperti itu, orang tidak akan pernah mencapai kepuasan atau kesenangan. Sebagian orang akan melakukan apa pun yang terbayangkan oleh mereka, akan mengerahkan segala upaya dan mengorbankan banyak hal demi penghidupan dan masa depan mereka, dalam upaya mengubah nasib mereka sendiri. Namun, pada akhirnya, sekalipun mereka dapat mewujudkan mimpi dan keinginan mereka melalui kerja keras mereka sendiri, mereka tidak pernah bisa mengubah nasib mereka, dan segigih apa pun mereka berusaha, mereka tidak pernah dapat melampaui nasib yang telah ditentukan bagi mereka. Terlepas dari perbedaan dalam kemampuan, kecerdasan, dan tekad, semua orang adalah setara di hadapan nasib, yang tidak membedakan antara yang besar dan yang kecil, yang tinggi dan yang rendah, yang terpandang dan yang rata-rata. Pekerjaan apa pun yang dikejar seseorang, apa yang orang lakukan untuk mencari nafkah, dan berapa banyak kekayaan yang orang kumpulkan dalam hidup ini, itu tidaklah ditentukan oleh orang tua, talenta, upaya, ataupun ambisi seseorang, melainkan telah ditentukan dari semula oleh Sang Pencipta" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa prospek dan nasib orang dalam hidup mereka ada di bawah kedaulatan Tuhan. Apakah anakku bisa masuk ke universitas yang bagus dan mendapat pekerjaan yang bagus atau tidak, itu bukan tergantung pada apa yang telah kutuntut darinya, juga bukan tergantung pada kerja kerasnya. Semua itu tergantung pada apa yang telah ditetapkan Tuhan. Saat setiap orang lahir, Tuhan telah mengatur kehidupan mereka. Ada orang-orang yang masuk ke universitas yang bagus dan mendapatkan nilai yang bagus tetapi tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang memuaskan, sedangkan orang lain tidak berpendidikan tinggi tetapi mampu berkarier sendiri. Aku punya seorang teman yang putranya berkuliah tetapi tidak pernah berhasil mendapatkan pekerjaan dan hanya menganggur di rumah. Selain itu, menantu perempuan nenekku juga berkuliah, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan yang bagus dan pulang ke kampung halamannya untuk menjadi petani, sedangkan paman suamiku bahkan tidak tamat SD dan tidak bisa membaca banyak karakter tetapi dia mampu membuka pabrik dan menjadi seorang bos, menghasilkan banyak uang. Dari contoh-contoh di kehidupan nyata ini, aku menyadari bahwa apakah seseorang mendapatkan pekerjaan yang bagus dan memiliki masa depan yang cerah, itu bukan tergantung pada apakah dia bisa berkuliah atau tidak, juga tidak tergantung pada cara orang tua mereka mendidik mereka. Itu semua tergantung pada apa yang telah Tuhan tetapkan. Aku harus meluruskan pandanganku yang keliru ini di masa mendatang dan melepaskan pengharapanku terhadap putriku, tak lagi menuntutnya agar berprestasi demi memuaskan hasratku untuk menjadi unggul dari orang lain.

Setelah itu, aku melaksanakan tugasku, dan aku tak lagi mendidik putriku seperti sebelumnya. Di waktu luangnya, aku juga berbicara kepadanya tentang beriman kepada Tuhan, membuatnya memahami bahwa langit dan bumi dan segala sesuatu, juga umat manusia, diciptakan oleh Tuhan, bahwa semua yang kita miliki telah dianugerahkan Tuhan kepada kita, dan bahwa orang harus beriman dan menyembah-Nya. Dia mau membaca firman Tuhan bersamaku dan mendengarkan persekutuanku, dan aku pun sangat bahagia. Beberapa waktu telah berlalu, dan putriku menjadi taat. Dia menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan tepat waktu, dan nilainya perlahan-lahan meningkat. Dia mendapat nilai sekitar 80 dalam setiap ujian. Meskipun aku bahagia, kebahagiaan ini berbeda dari yang kurasakan sebelumnya. Aku berkata kepada putriku, "Tak masalah berapa pun nilai yang kaudapat dalam ujian. Aku tak menuntutmu agar mendapat nilai 100, dan aku tak akan menuntutmu agar masuk ke universitas yang bagus di masa depan. Itu karena firman Tuhan telah mengajarkanku bahwa semua prospek dan nasib manusia ada di tangan-Nya. Kehidupan manusia berasal dari Tuhan, dan setelah kau dewasa, aku hanya berharap agar kau percaya kepada Tuhan dengan benar dan melaksanakan tugasmu di rumah Tuhan." Dia berkata dengan sukacita, "Aku mengerti," dan juga memberitahuku bahwa sekarang dia jauh lebih bahagia daripada anak-anak lainnya. Aku menyadari bahwa begitu aku melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan, putriku tak lagi menderita. Selain itu, aku telah membawanya ke jalan yang benar. Aku merasa telah dibebaskan, dan aku dapat mencurahkan lebih banyak energi dalam melaksanakan tugasku.

Melalui pengalaman ini, aku mengerti bahwa Tuhan berdaulat atas kehidupan manusia, dan Dia juga berdaulat atas nasib putriku. Itu di luar kendali putriku, dan terlebih lagi, itu di luar kendaliku. Aku juga mulai mengerti bahwa sebelumnya aku ingin putriku menjadi siswa yang baik dan memiliki masa depan yang cerah, itu semua demi ketenaran dan keuntungan pribadiku. Itu egois dan tercela. Kini, aku mampu melepaskan pengharapanku terhadap putriku dan melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan. Syukur kepada Tuhan!

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait