Harapanku Yang Tinggi Mencelakakan Putraku

31 Mei 2024

Oleh Saudari Xiaoxiu, Tiongkok

Waktu aku masih kecil, ada lima saudara kandung di rumah, dan aku anak sulung. Ayahku bekerja jauh dari rumah selama bertahun-tahun dan semua pekerjaan rumah menjadi tanggung jawab ibuku. Aku melihat ibuku bekerja terlalu keras dan mengalami kesulitan, jadi, aku putus sekolah di kelas tiga dan membantu ibuku bercocok tanam di rumah. Aku sering kelelahan hingga otot intiku sakit dan punggungku nyeri, dan kupikir kehidupan seperti ini terlalu berat. Kemudian, sepupuku diterima masuk perguruan tinggi, dan seluruh keluarga sangat gembira. Orang tuaku sering memujinya karena dia bisa menjadi terkenal. Saat itu, aku punya gagasan: Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mendapatkan pendidikan yang baik atau punya kesempatan untuk menjadi berhasil, tetapi nanti, kalau aku punya anak, aku pasti akan mendidik mereka menjadi orang-orang yang berbakat, agar kami dapat lepas dari kehidupan pahit yang penuh keringat dan kerja keras ini serta dikagumi dan dihormati oleh sanak saudara dan tetangga, membawa kehormatan bagi keluarga.

Setelah menikah, aku punya dua orang anak. Saat mereka masih di sekolah dasar, ibuku percaya kepada Tuhan. Terkadang dia berkumpul serta berdoa bersama mereka, dan mereka bahkan mengajari ibuku cara membaca. Namun saat itu, aku benar-benar ingin anak-anakku bisa belajar, jadi saat melihat ini, aku berkata kepada ibuku, "Silakan percaya yang Ibu ingin percaya, tetapi jangan mengadakan pertemuan dengan anak-anakku dan mengganggu waktu belajar mereka." Belakangan, aku juga menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, tetapi aku memberi perhatian khusus pada pelajaran dan nilai anak-anakku, dan bahkan saat aku sesekali menghadiri pertemuan, aku hanya asal mengikuti. Guna memperoleh lebih banyak uang dan memungkinkan anak-anakku mendapatkan pendidikan yang baik, aku dan suamiku pergi ke mana-mana untuk mengumpulkan barang-barang daur ulang. Setiap hari aku bekerja dari fajar hingga senja, dan aku sangat lelah hingga seluruh tubuhku terasa sakit, tetapi aku tidak membiarkan diriku beristirahat. Aku hanya punya satu gagasan di benakku: Seberat apa pun perjuangannya, aku harus memungkinkan mereka mendapatkan pendidikan yang baik agar di masa depan, mereka dapat diterima masuk perguruan tinggi terkemuka dan memiliki prospek yang bagus. Untuk hal ini, meskipun aku kelelahan, itu akan sepadan!

Suatu saat, aku pulang ke rumah untuk mengunjungi anak-anakku, dan ketika ibuku memberitahuku bahwa nilai putraku menurun, aku menjadi berang dan menegur putraku cukup lama sambil berkata, "Kau kira mudah bagi Ibu untuk keluar dan mencari uang? Semua orang memandang rendah kami yang mengumpulkan barang bekas, bukankah Ibu menanggung semua ini demi kalian berdua? Jika kau tidak belajar dengan giat, apa yang akan kau lakukan?" Putraku mulai menangis tersedu-sedu dan berkata, "Ibu, aku salah." Belakangan, aku khawatir ibuku tidak sanggup mengurus kedua anakku, dan aku cemas pelajaran serta nilai mereka akan menurun, jadi aku menyewa sebuah tempat di samping sekolah anak-anakku dan menjalankan bisnis kecil-kecilan di sana, mengambil kesempatan untuk mengawasi pendidikan kedua anakku, hingga saat mereka masuk SMA. Selama bertahun-tahun itu, aku memusatkan seluruh perhatianku pada anak-anakku: Agar anak-anakku bisa masuk perguruan tinggi, aku terus mengawasi pelajaran mereka dengan ketat, dan mereka tidak punya waktu luang sedikit pun. Jika mereka agak terlalu lama di kamar mandi, aku menyuruh mereka bergegas. Kadang saat mereka ingin keluar dan bermain, atau menonton TV dan bersantai, aku memarahi mereka sambil berkata, "Lihat paman kalian: Dia diterima masuk perguruan tinggi ternama dan mendapatkan pekerjaan yang terhormat. Semua kerabat dan tetangganya mengaguminya. Kalian harus belajar dari paman kalian. Jika tidak bersusah payah sekarang dan memperoleh lebih banyak pengetahuan, bagaimana kalian bisa memiliki kehidupan yang baik nantinya? Seperti ungkapan, 'Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain.'" Kadang aku bahkan menceritakan kisah klasik tentang orang-orang yang menjalani pendidikan mereka dengan tekun, guna mendorong mereka agar belajar dengan giat. Kedua anak itu berkata tanpa daya, "Ibu, berhentilah bicara. Kami sudah menghafal semua ucapan Ibu. Tenang, kami pasti akan masuk perguruan tinggi untuk Ibu!" Saat itu, aku bangun jam 5 pagi setiap hari untuk membuat sarapan, dan demi menghemat waktu anak-anakku, pada malam harinya, aku menyiapkan makan malam mereka dan mengantarkannya ke sekolah untuk mereka makan. Setelah mereka selesai belajar mandiri di sekolah hingga larut malam, mereka kembali ke rumah dan terus belajar. Aku khawatir mereka menjadi malas, jadi aku sering menemani mereka sampai tengah malam. Dalam kehidupan mereka sehari-hari, aku juga memikirkan segala cara untuk mengatur makanan mereka: Kudengar sup ikan mas baik untuk otak, jadi aku sering menyiapkannya untuk mereka makan, dan aku bahkan membelikan mereka tonik dan susu khusus pelajar untuk meningkatkan fungsi otak. Setiap hari, mereka harus makan telur ayam kampung. Apa pun yang kudengar bagus untuk tubuh anak, itu yang akan kubeli. Aku melakukannya guna membuat putraku lebih pintar agar dia bisa mendapatkan nilai ujian yang lebih baik. Kedua anakku sungguh bekerja keras, dan nilai mereka terus meningkat. Putriku akhirnya diterima masuk perguruan tinggi, dan nilai ujian simulasi putraku menempatkannya di antara beberapa siswa terbaik. Aku sangat gembira, dan kupikir, "Jika terus seperti ini, seharusnya tidak menjadi masalah bagi putraku untuk masuk universitas utama." Kemudian, aku makin mengawasi putraku.

Saat ujian masuk perguruan tinggi kian dekat, putraku menjadi sangat tegang karena banyaknya tekanan, dan dia sulit tidur di malam hari. Akhirnya dia jatuh sakit, mengalami demam dan batuk. Minum obat dan disuntik tidak berpengaruh apa pun, dan nilai-nilainya anjlok. Hal yang kulihat membuatku sangat sedih. Aku khawatir jika dia terus belajar, tubuhnya tidak akan sanggup menahannya, tetapi momen pentingnya akan segera tiba. Penyakit putraku tidak kunjung sembuh, dan nilai-nilainya menurun, bagaimana dia bisa memiliki prospek masa depan yang baik? Jika hasil ujiannya buruk, bukankah upayaku selama beberapa tahun terakhir akan sia-sia? Sulit diterima. Agar putraku mendapat nilai yang bagus dan memiliki prospek masa depan yang baik, aku harus terus membuatnya belajar lebih lama. Setelah itu, setiap hari aku duduk di kepala ranjang dan mengawasi putraku belajar. Saat putraku melihatku menatapnya, dia berkata tanpa daya, "Jika aku punya anak nanti, aku pasti tidak akan mendidik mereka seperti Ibu mendidikku. Aku harus memberi mereka kebebasan dan membiarkan mereka bermain basket atau ping pong." Saat mendengar putraku mengatakan ini, hatiku sedih. Namun, untuk membuatnya menonjol dan memiliki kehidupan yang baik di masa depan, aku terpaksa melakukan ini. Saat melihat penyakit putraku tidak kunjung sembuh, aku menjadi sangat cemas, dan berpikir, "Jika penyakit putraku tidak kunjung sembuh pada saat ujian masuk perguruan tinggi, itu pasti akan memengaruhi prestasinya. Jika kebetulan hasil ujiannya buruk, bukankah semua upayaku sebelumnya akan sia-sia? Para kerabat dan tetangga kami pasti akan menjadikanku bahan tertawaan. Aku berupaya sangat keras dan membayar harga yang sangat mahal, tetapi pada akhirnya, aku tidak memperoleh hasil apa pun. Apa jadinya reputasiku nanti?" Untuk dapat segera menyembuhkan penyakit putraku, aku meminta obat kepada dokter di mana-mana, tetapi penyakit putraku tidak kunjung sembuh. Setiap hari, wajahku tampak khawatir, dan aku menghela napas berat, terus memikirkan kapan penyakit putraku akan membaik. Tepat saat aku menghadapi kebuntuan, aku ingat bahwa aku adalah orang Kristen, dan aku harus memercayakan kesulitan-kesulitan ini kepada Tuhan dan berpaling kepada-Nya. Lalu, aku datang ke hadirat Tuhan dalam doa, dan berkata, "Ya Tuhan! Putraku sudah minum obat dan disuntik untuk penyakitnya, tetapi masih belum sembuh. Ujian masuk perguruan tinggi sebentar lagi dan aku tak tahu harus berbuat apa. Ya Tuhan, tolonglah pastikan penyakit putraku dapat segera sembuh." Suatu malam, aku bertemu seorang saudari ketika sedang berjalan kaki di luar. Dia menanyakan bagaimana keadaanku akhir-akhir ini. Aku memberi tahu saudari itu tentang penderitaanku dan dia bersekutu denganku sambil berkata, "Kita adalah orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Kau harus mempercayakan pendidikan dan kondisi putramu kepada Tuhan, biar Tuhan yang mengurusnya." Saudari itu bahkan membacakan satu bagian firman Tuhan kepadaku: "Nasib manusia dikendalikan oleh tangan Tuhan. Engkau tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri: meskipun manusia selalu terburu-buru dan menyibukkan diri mewakili dirinya sendiri, dia tetap tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Jika engkau dapat mengetahui prospekmu sendiri, jika engkau mampu mengendalikan nasibmu sendiri, apakah engkau akan tetap menjadi makhluk ciptaan? ... Jadi, terlepas dari bagaimana Tuhan menghajar dan menghakimi manusia, semua itu demi penyelamatan manusia. Meskipun Dia melucuti manusia dari harapan kedagingannya, itu adalah demi menyucikan manusia, dan penyucian manusia dilakukan agar dia dapat selamat. Tempat tujuan manusia berada di tangan Sang Pencipta, jadi bagaimana manusia bisa mengendalikan dirinya sendiri?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memulihkan Kehidupan Normal Manusia dan Membawanya ke Tempat Tujuan yang Mengagumkan"). Setelah mendengar firman Tuhan, aku memahami bahwa bagi makhluk ciptaan, Tuhan telah menetapkan berapa banyak penderitaan yang harus ditanggung seseorang dan berapa banyak berkat yang harus mereka nikmati dalam kehidupan ini, tak ada yang dapat mengubahnya. Manusia memikirkan semuanya demi nasib dan prospek masa depannya, mereka bergegas dan menyibukkan diri demi ketenaran dan kekayaan, tetapi sebanyak apa pun uang yang dihasilkan atau setinggi apa pun pendidikannya, mereka tak dapat mengubah nasibnya sendiri ataupun orang lain. Aku memikirkan bagaimana, demi menjadi orang hebat dan membawa kehormatan bagi nama keluargaku, demi memiliki taraf hidup yang meningkat, aku mengambil impian yang tidak dapat kuwujudkan sendiri dan menaruhnya pada anak-anakku, mencurahkan begitu banyak upaya pada mereka. Demi memberi anak-anak pendidikan yang baik, aku dan suamiku berjuang untuk bekerja dan menghasilkan uang, bahkan ketika tubuh kami lemas karena kelelahan, kami terus bekerja. Selama anak-anak kami menonjol, semua penderitaan dan kelelahan akan sepadan. Supaya anak-anakku bisa masuk perguruan tinggi bergengsi, aku tidak memberi mereka kebebasan apa pun. Putraku sudah merasa sangat tegang dan dia tidak berani mengatakan apa pun meskipun dia kurang tidur. Aku mengawasinya belajar bahkan saat dia sedang batuk dan sakit. Aku hanya membuat putraku tertekan dan luar biasa menyiksanya. Aku mengendalikannya dan memiliki ambisi untuk mengubah nasibnya, ini bukan tunduk kepada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Ini memberontak terhadap Tuhan! Menyadari ini, aku berdoa kepada Tuhan, sambil mengatakan bahwa aku bersedia memercayakan prospek masa depan putraku kepada-Nya, bahwa tidak peduli dia diterima masuk perguruan tinggi atau tidak, apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah menekan putraku seperti itu lagi. Setelah itu, hatiku juga merasa lega. Beberapa hari kemudian, aku mendengar bahwa seorang anak laki-laki di lantai tiga gedung kami tiba-tiba menjadi stres akibat tekanan dari pelajaran tahun ketiganya. Siang dan malam dia berteriak kepada orang tuanya, "Kalianlah yang mengacaukanku! Kalianlah yang mengacaukanku!" Saat itu, aku merasa sangat takut, dan setiap adegan saat aku memaksa putraku untuk belajar terbayang di depan mataku bagaikan film. Aku khawatir jika aku terus memaksa putraku belajar seperti itu, apakah dia akan menjadi seperti anak itu? Aku berpikir, "Aku tidak boleh terus memaksa anakku seperti ini." Sejak saat itu, aku mulai secara teratur mengikuti pertemuan serta makan dan minum firman Tuhan, tidak pernah lagi memaksa putraku untuk belajar.

Kemudian, tanpa diduga putraku diterima masuk universitas utama. Aku sangat gembira, tetapi setelah kegembiraan itu berlalu, hatiku terasa tidak tenang. Karena lewat membaca firman Tuhan, aku juga menyadari bahwa ilmu pengetahuan mengandung banyak pemikiran dan sudut pandang ateis. Makin banyak ilmu yang diperoleh seseorang, makin banyak racun Iblis merasuki dirinya. Hal-hal inilah yang menyebabkan manusia menjauhkan dirinya dari Tuhan dan menyangkal-Nya, hingga akhirnya kehilangan keselamatan-Nya. Jika putraku kuliah selama beberapa tahun dan ditanamkan banyak kekeliruan Iblis, akan sulit baginya untuk datang ke hadirat Tuhan, jadi kupikir saat dia kembali, aku akan berkumpul dengannya, serta mengajaknya makan dan minum firman Tuhan, tidak membiarkannya terlalu menjauhkan diri dari Tuhan. Aku teringat bagaimana saat anak-anakku masih kecil, mereka percaya kepada Tuhan, bahkan berdoa dan berkumpul dengan ibuku, tetapi saat itu, aku berharap dengan sepenuh hati agar mereka mendapatkan pendidikan yang baik, dan aku tidak mau membawa mereka ke hadirat Tuhan. Kini, aku melihat bencana yang semakin besar. Anak-anakku tidak percaya kepada Tuhan, dan mereka juga tidak mendapatkan pemeliharaan serta perlindungan Tuhan, mungkin kelak mereka akan menghadapi bencana dan meninggal. Aku ingin memberitakan Injil kepada anak-anakku dan membawa mereka ke hadirat Tuhan. Jadi, saat mereka kembali untuk menikmati liburan, aku biasa membacakan firman Tuhan kepada mereka. Saat aku membacakan firman Tuhan, mereka mendengarkan, tetapi begitu aku mengatakan ingin mengatur pertemuan, putraku tidak bersedia. Dia terus menolakku sambil berkata, "Aku terlalu sibuk! Tidak mudah bagiku untuk mencapai posisiku saat ini. Jika tidak belajar dengan giat, bagaimana aku bisa memiliki kehidupan yang baik? Persaingan saat ini sangat ketat, dan tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang terhormat. Aku tidak mengerti: Aku sudah meraih gelar Master dan sedang belajar untuk gelar doktor, bukankah ini yang selalu Ibu inginkan? Aku hampir meraih kesuksesan serta pengakuan, dan akhirnya memiliki kehidupan yang baik, Ibu seharusnya bahagia untukku. Kenapa Ibu sepertinya jadi berbeda, menyuruhku mundur pada saat-saat terakhir?" Saat mendengar ucapan putraku, aku merasakan kesedihan yang tidak terlukiskan. Semua ucapannya adalah hal yang dahulu kuucapkan di telinganya setiap hari. Apalagi saat ini putraku sedang sibuk dengan disertasinya, setiap malam dia bergadang hingga lewat dari jam satu pagi. Dia sudah mulai botak di usia 20-an. Ketika melihat betapa lelahnya putraku, aku merasa cemas dan sedih, membenci diriku sendiri karena caraku mendidik anak-anakku dahulu. Kini aku telah mendidik anakku menjadi orang berbakat, tetapi dia jauh dari Tuhan.

Kemudian, aku merenung: Aku telah melakukan yang terbaik untuk membuat anak-anakku mengejar ilmu pengetahuan, ketenaran, dan keuntungan, bertekad membesarkan mereka menjadi orang-orang berbakat, tetapi pada akhirnya, apa yang kuberikan kepada anak-anakku? Apakah aku memberi mereka kebahagiaan sejati? Suatu hari dalam waktu teduh, aku membaca sebuah bagian firman Tuhan: "Mengenai beban dari keluarga, kita dapat membahasnya dari dua aspek. Salah satu aspeknya adalah harapan orang tua. Setiap orang tua, atau orang-orang yang lebih tua, memiliki berbagai pengharapan, baik besar maupun kecil, terhadap anak-anak mereka. Mereka berharap anak-anak mereka akan belajar dengan giat, berperilaku sopan, berprestasi di sekolah, dan selalu mendapat nilai sempurna, dan tidak bermalas-malasan. Mereka ingin anak-anak mereka dihormati oleh guru dan teman sekelas, ingin nilai mereka selalu di atas 80. Jika anak-anak mereka hanya mendapat nilai 60, mereka akan dipukuli, dan jika nilai mereka kurang dari 60, mereka dihukum berdiri dengan posisi tubuh menghadap ke dinding dan merenungkan kesalahan mereka, atau mereka disuruh berdiri diam sebagai hukuman. Mereka tidak diperbolehkan makan, tidur, menonton TV, atau bermain komputer, dan pakaian serta mainan bagus yang dijanjikan sebelumnya tidak jadi dibelikan untuk mereka. Setiap orang tua memiliki berbagai harapan terhadap anak-anak mereka dan menaruh harapan yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Mereka berharap anak-anak mereka akan berhasil dalam hidup ini, mengalami kemajuan yang pesat dalam karier mereka, dan membawa kehormatan dan kemuliaan bagi leluhur dan keluarga mereka. ... Lalu, apa yang tanpa sengaja tercipta dalam diri anak sebagai akibat keinginan orang tua tersebut? (Tekanan.) Keinginan orang tua menciptakan tekanan, dan apa lagi? (Beban.) Keinginan orang tua menjadi tekanan dan juga belenggu. Karena orang tua memiliki harapan terhadap anak-anak mereka, mereka akan mendisiplinkan, membimbing, dan mendidik anak-anak mereka berdasarkan harapan tersebut; mereka bahkan akan mengerahkan segala upaya atau membayar harga apa pun agar anak-anak mereka dapat mewujudkan harapan mereka. Sebagai contoh, orang tua berharap anak-anak mereka berprestasi di sekolah, menjadi juara kelas, selalu mendapat nilai ujian di atas 90, selalu menjadi juara satu, atau setidaknya, tidak pernah berada di bawah peringkat lima. Setelah mengungkapkan harapan ini, bukankah pada saat yang sama, orang tua juga melakukan pengorbanan tertentu untuk membantu anak-anak mereka mencapai tujuan tersebut? (Ya.) Agar anak-anak mereka dapat mencapai tujuan tersebut, anak-anak tersebut akan bangun pagi-pagi sekali untuk mengulang pelajaran dan menghafalkan pelajaran, dan orang tua mereka juga akan bangun pagi-pagi sekali untuk mendampingi mereka belajar. Pada hari-hari yang panas, mereka akan membantu mengipasi anak-anak mereka, membuatkan minuman dingin, atau membelikan es krim untuk mereka makan. Mereka akan bangun paling pagi untuk menyiapkan susu kedelai, cakwe goreng, dan telur untuk anak-anak mereka. Terutama selama waktu ujian, orang tua akan menyuruh anak-anak mereka makan sepotong cakwe dan dua telur, berharap ini akan menolong mereka mendapatkan nilai 100. Jika engkau berkata, 'Aku tidak bisa menghabiskan semua makanan ini, satu telur saja sudah cukup,' mereka akan berkata, 'Anak bodoh, kau hanya akan mendapat nilai 10 jika hanya makan satu telur. Makanlah satu lagi demi Ibu. Berusahalah menghabiskannya; jika kau berhasil menghabiskan telur satu lagi, kau akan mendapat nilai 100.' Anaknya lalu berkata, 'Aku baru bangun, aku belum bisa makan.' 'Tidak, kau harus makan! Jadilah anak yang baik dan turuti perkataan ibumu. Ibu melakukan ini demi kebaikanmu sendiri, jadi ayo makanlah demi ibumu.' Si anak berpikir, 'Ibu sangat memedulikanku, Semua yang dia lakukan adalah untuk kebaikanku, jadi aku akan memakannya.' Yang dimakan adalah telur, tetapi apa sebenarnya yang ditelannya? Itu adalah tekanan; itu adalah keengganan dan ketidakrelaan. Makanannya enak dan harapan ibunya tinggi, dan dari sudut pandang kemanusiaan dan hati nurani, orang seharusnya menerimanya, tetapi berdasarkan nalar, orang seharusnya menolak kasih sayang semacam ini dan tidak menerima dirinya diperlakukan seperti ini. ... Khususnya, ada orang tua yang menaruh harapan khusus terhadap anak-anak mereka, berharap anak-anak mereka mampu melampaui mereka, bahkan berharap anak-anak mereka mampu memenuhi keinginan yang mereka sendiri tak mampu mewujudkannya. Sebagai contoh, ada orang tua yang pernah bercita-cita menjadi penari, tetapi karena berbagai alasan—seperti zaman pada waktu mereka dibesarkan atau keadaan keluarga—mereka pada akhirnya tidak mampu mewujudkan keinginan tersebut. Jadi, mereka memproyeksikan keinginan tersebut kepadamu. Selain menuntutmu untuk menjadi yang terbaik dalam studimu dan diterima di universitas bergengsi, mereka juga mendaftarkanmu untuk mengikuti kelas menari. Mereka menyuruhmu untuk mempelajari berbagai gaya menari di luar sekolah, belajar lebih banyak di kelas menari, berlatih lebih banyak di rumah, dan harus menjadi yang terbaik di kelasmu. Pada akhirnya, mereka bukan saja menuntutmu untuk diterima di universitas bergengsi, tetapi mereka juga menuntutmu untuk menjadi penari. Pilihanmu hanya menjadi penari atau berkuliah di universitas bergengsi, lalu melanjutkan studimu pada program pascasarjana dan meraih gelar doktor. Engkau hanya dapat memilih dari antara dua jalan ini. Di satu sisi, dalam harapan mereka, mereka mengharapkanmu untuk belajar giat di sekolah, diterima di universitas bergengsi, terlihat paling menonjol di antara teman-teman sebayamu, dan memiliki masa depan yang makmur dan gilang-gemilang. Di sisi lain, mereka memproyeksikan keinginan mereka yang tidak terwujud pada dirimu, berharap engkau dapat mewujudkannya mewakili mereka. Dengan demikian, dalam hal akademis atau karier masa depanmu, engkau memikul dua beban sekaligus. Di satu sisi, engkau harus memenuhi harapan mereka dan membalas mereka atas semua yang telah mereka lakukan untukmu, berusaha keras untuk pada akhirnya terlihat paling menonjol di antara teman sebayamu sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang baik. Di sisi lain, engkau harus mewujudkan impian yang tak mampu mereka wujudkan di masa muda mereka dan membantu mereka untuk mewujudkan keinginan mereka. Betapa melelahkan, bukan? (Ya.) Memikul salah satu dari beban ini saja sudah lebih dari cukup bagimu; salah satu saja sudah cukup membebanimu dan membuatmu terengah-engah. Terutama, di era persaingan yang sangat ketat pada zaman sekarang, berbagai tuntutan yang orang tua ajukan terhadap anak-anak mereka benar-benar tak tertahankan dan tidak manusiawi; semua itu benar-benar tidak masuk akal. Apa sebutan orang tidak percaya akan hal ini? Orang tidak percaya menyebutnya pemerasan secara emosional. Apa pun sebutan orang tidak percaya, ini adalah masalah yang tidak mampu mereka selesaikan, dan mereka tidak dapat menerangkan esensi masalah ini dengan jelas. Mereka menyebutnya pemerasan secara emosional, sedangkan kita menyebutnya apa? (Belenggu dan beban.) Kita menyebutnya beban. Mengenai beban, apakah beban adalah sesuatu yang seharusnya ditanggung oleh manusia? (Tidak.) Beban adalah sesuatu yang ditambahkan, tanggungan ekstra yang kaupikul. Beban bukanlah bagian dari dirimu. Beban bukanlah sesuatu yang dimiliki atau dibutuhkan oleh tubuh, hati, dan jiwamu, melainkan sesuatu yang ditambahkan. Beban berasal dari luar, bukan berasal dari dirimu sendiri" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Saat membaca bagian firman Tuhan ini, hatiku serasa terpukul. Begitulah caraku mendidik anak-anakku. Aku percaya bahwa sejak usia muda, aku terpaksa melakukan pekerjaan bercocok tanam dan sangat menderita karena aku tidak belajar dengan sungguh-sungguh atau mendapat pendidikan yang baik sewaktu aku masih kecil. Jadi, aku mengambil keinginanku yang belum terwujud dan memaksakannya pada anak-anakku, berharap agar mereka dapat belajar dengan giat dan masuk perguruan tinggi bergengsi, agar nantinya mereka memiliki prospek yang bagus, dapat menonjol, dan membawa kehormatan bagi keluarga kami. Untuk meraih cita-cita ini, saat anak-anakku masih kecil, aku memberi tekanan kepada mereka. Saat masih kecil, mereka bersedia berdoa dan berkumpul, tetapi aku khawatir itu akan memengaruhi pelajaran mereka, jadi aku tidak membiarkan ibuku berkumpul dengan mereka. Saat mereka seharusnya bermain, aku tidak membiarkan mereka bermain, dan saat nilai-nilai mereka agak turun, aku menegur mereka, menanamkan pemikiran yang salah dan memberi tekanan kepada mereka. Putraku jatuh sakit karena semua tekanan dari ujian masuk perguruan tingginya. Aku khawatir hal itu akan memengaruhi nilainya, jadi setiap hari aku mengawasinya agar dia tidak menjadi malas. Aku cemas jika hasil ujiannya buruk, semua upaya kami sungguh akan sia-sia. Tekanan yang kuberikan kepada putraku sungguh terlalu besar. Dari luar, aku tampak melakukan semua ini demi putraku, padahal sebenarnya, aku hanya ingin dia masuk universitas bergengsi dan menonjol dari yang lain, membanggakan pencapaianku, dan mewujudkan cita-cita serta keinginanku sendiri. Tanpa sadar, aku memberi putraku beban dan tekanan yang berat, seolah-olah aku memasangkan belenggu tak kasatmata pada dirinya. Kini, putraku telah masuk ke lembaga pendidikan idaman terbaik, dan keinginanku telah terpenuhi, wajahku bersinar penuh kehormatan, serta kesombonganku telah terpuaskan, tetapi putraku menjadi makin jauh dari Tuhan. Sekarang, saat aku bicara tentang masalah iman dengannya, dia terus mengelak serta membuat alasan, dan dia tidak berminat untuk membaca firman Tuhan. Setiap hari, dia dikendalikan oleh ketenaran dan kekayaan. Dia memutar otaknya demi ketenaran dan kekayaan, serta menguras pikirannya dengan mengelola hubungan pribadi, hidupnya sangat menyedihkan dan melelahkan. Akulah yang membuat putraku menjadi seperti sekarang.

Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Sebagai contoh, ketika mereka masih kecil, engkau selalu mendidik mereka, dengan berkata, 'Belajarlah dengan giat, kuliahlah, kejarlah gelar pascasarjana atau gelar doktor, carilah pekerjaan yang bagus, carilah pasangan yang cocok untuk dinikahi, dan mulailah sebuah keluarga, kemudian hidup akan menjadi baik.' Melalui didikan, dorongan, dan berbagai bentuk tekananmu, mereka menjalani dan mengejar jalan yang kautetapkan untuk mereka, mencapai apa yang kauharapkan, sama seperti yang kauinginkan, dan sekarang mereka tidak dapat berbalik. Jika, setelah engkau memahami kebenaran tertentu dan kehendak Tuhan karena kepercayaanmu kepada Tuhan, serta memiliki pemikiran dan sudut pandang yang benar, sekarang engkau berusaha memberi tahu mereka untuk tidak lagi mengejar hal-hal tersebut, mereka kemungkinan besar malah akan menjawab, 'Bukankah aku telah melakukan persis seperti yang kauinginkan? Bukankah kau mengajariku hal-hal ini ketika aku masih kecil? Bukankah kau menuntut hal ini terhadapku? Mengapa sekarang kau menghentikanku? Apakah yang kulakukan salah? Aku telah mencapai hal-hal ini dan aku dapat menikmatinya sekarang. Kau seharusnya merasa bahagia, puas, dan bangga terhadapku, bukan?' Bagaimana perasaanmu setelah mendengar ini? Haruskah engkau merasa bahagia ataukah menangis? Tidakkah engkau merasakan penyesalan? (Ya.) Engkau tidak bisa memenangkan mereka kembali sekarang. Seandainya engkau tidak mendidik mereka dengan cara seperti ini ketika mereka masih kecil, seandainya engkau telah memberi mereka masa kecil yang bahagia tanpa tekanan apa pun, tanpa mengajari mereka untuk menjadi lebih baik daripada orang lain, untuk menduduki jabatan yang tinggi atau menghasilkan banyak uang, atau mengejar ketenaran, keuntungan, dan status, seandainya engkau membiarkan mereka menjadi orang yang baik, orang biasa, tanpa menuntut agar mereka menghasilkan banyak uang, menikmati begitu banyak hal, atau membalas begitu banyak kepadamu, tetapi hanya meminta agar mereka menjadi sehat dan bahagia, menjadi orang yang sederhana dan bahagia, mungkin mereka akan menerima beberapa pemikiran dan sudut pandang yang kaumiliki setelah engkau percaya kepada Tuhan. Kemudian, kehidupan mereka mungkin akan bahagia sekarang, tanpa banyak tekanan dari kehidupan dan masyarakat. Meskipun mereka tidak memperoleh ketenaran dan keuntungan, setidaknya hati mereka akan merasa bahagia, tenang, dan damai. Namun, selama tahun-tahun perkembangan mereka, karena dorongan dan desakanmu berulang kali, di bawah tekananmu, mereka tanpa henti mengejar pengetahuan, uang, ketenaran, dan keuntungan. Pada akhirnya, mereka memperoleh ketenaran, keuntungan, dan status, kehidupan mereka meningkat, mereka lebih menikmati lebih banyak hal, dan mereka menghasilkan lebih banyak uang, tetapi hidup mereka melelahkan. Setiap kali engkau bertemu dengan mereka, wajah mereka tampak lelah. Hanya ketika mereka kembali ke rumah, kembali kepadamu, barulah mereka berani melepaskan 'topeng' mereka dan mengakui bahwa mereka lelah dan ingin beristirahat. Namun, begitu mereka melangkah keluar, mereka tidak lagi sama. Mereka kembali mengenakan 'topeng' tersebut. Engkau melihat ekspresi mereka yang lelah dan menyedihkan, dan engkau merasa kasihan terhadap mereka, tetapi engkau tidak memiliki kuasa untuk membuat mereka berbalik. Mereka tidak bisa lagi berbalik. Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah ini ada hubungannya dengan pola pengasuhanmu? (Ya.) Semua ini bukanlah sesuatu yang secara alami mereka ketahui atau kejar sejak kecil; itu pasti ada hubungannya dengan pola pengasuhanmu. Saat engkau melihat wajah mereka, saat engkau melihat kehidupan mereka dalam keadaan seperti ini, tidakkah engkau merasa sedih? (Ya.) Namun, engkau tidak berdaya; yang tersisa hanyalah penyesalan dan kesedihan. Engkau mungkin merasa bahwa anak-anakmu telah diambil sepenuhnya oleh Iblis, bahwa mereka tidak dapat berbalik, dan engkau tidak memiliki kuasa untuk menyelamatkan mereka. Ini karena engkau tidak memenuhi tanggung jawabmu sebagai orang tua. Engkaulah yang merugikan mereka, yang menyesatkan mereka dengan didikan dan bimbingan ideologismu yang cacat. Mereka tidak akan pernah bisa berbalik, dan pada akhirnya yang tersisa bagimu hanyalah penyesalan. Engkau memandang tanpa daya sementara anakmu menderita, dirusak oleh masyarakat yang jahat ini, dibebani oleh tekanan hidup, dan engkau tidak punya cara untuk membantu mereka. Yang bisa kaukatakan hanyalah, 'Sering-seringlah pulang ke rumah, nanti akan kubuatkan makanan yang lezat.' Masalah apa yang bisa diselesaikan dengan makanan? Makanan tidak bisa menyelesaikan apa pun. Pemikiran mereka sudah matang dan terbentuk, dan mereka tidak mau melepaskan ketenaran serta status yang telah mereka peroleh. Mereka hanya bisa terus maju dan tidak pernah berbalik. Inilah akibat buruk dari orang tua yang memberikan bimbingan yang salah dan menanamkan gagasan-gagasan yang keliru ke dalam diri anak-anak mereka selama masa pertumbuhan mereka" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Aku membaca bagian firman Tuhan ini beberapa kali, dan setiap kalinya, aku jadi tersadar dan merasa sangat sedih hingga menitikkan air mata penyesalan. Aku teringat bagaimana saat putraku masih kecil, dia polos dan percaya kepada Tuhan, dan dia bersedia menghadiri pertemuan dengan neneknya. Namun, dipengaruhi oleh sudut pandang Iblis seperti "Pengetahuan bisa mengubah nasibmu", "Menjadi seorang cendekiawan berarti menjadi pemuka masyarakat", "Mereka yang bekerja dengan otaknya, berkuasa; mereka yang bekerja dengan ototnya dikuasai", "Takdir seseorang berada di tangannya sendiri", aku berusaha menjadi orang hebat dan membawa kehormatan bagi keluargaku, dan aku menanamkan pemikiran-pemikiran ini pada putraku, serta mendorongnya ke dalam rawa pengetahuan, agar dia dengan sepenuh hati mengejar ketenaran, keuntungan, dan status, sampai dia tidak bisa lagi melepaskan dirinya. Aku khususnya memperhatikan firman Tuhan yang mengatakan: "Engkau mungkin merasa bahwa anak-anakmu telah diambil sepenuhnya oleh Iblis, bahwa mereka tidak dapat berbalik, dan engkau tidak memiliki kuasa untuk menyelamatkan mereka. Ini karena engkau tidak memenuhi tanggung jawabmu sebagai orang tua. Engkaulah yang merugikan mereka, yang menyesatkan mereka dengan didikan dan bimbingan ideologismu yang cacat. Mereka tidak akan pernah bisa berbalik, dan pada akhirnya yang tersisa bagimu hanyalah penyesalan" Tuhan sedang mempersekutukan suasana hati yang kurasakan saat itu juga. Setiap kali putraku pulang, aku membacakan firman Tuhan kepadanya, tetapi dia selalu membantahnya dan mencari segala cara untuk menolaknya, dia bahkan mengatakan bahwa aku menghalanginya, yang membuatku sangat sedih. Aku melihat putraku sibuk ke sana kemari dan bekerja setiap hari demi ketenaran dan kekayaan: Rambutnya mulai rontok di usia yang sangat muda, dan setiap hari dia menahan rasa lelahnya untuk belajar hingga larut malam. Dia bahkan memutar otak untuk merenungkan pemikiran dan hobi para penasihatnya, serta menyesuaikan pendekatannya untuk mengikuti apa pun yang mereka suka. Dia sangat berhati-hati di depan para pemimpinnya, takut dia akan mengatakan atau melakukan hal yang salah, dan mereka mungkin akan mempersulit hidupnya, sehingga memengaruhi prospek kariernya. Aku melihat putraku hidup dengan kepalsuan setiap hari, sangat kelelahan. Memang salahku putraku menjadi seperti sekarang ini. Akulah yang mendorong putraku untuk menuntut ilmu dan mencelakakan anakku. Kini aku menyadari bahwa itu bukan mencintai putraku, melainkan merugikannya, menjadikannya korban demi mengejar ketenaran dan kekayaanku sendiri. Aku melihat beberapa saudara-saudari yang seumuran dengan putraku di gereja. Mereka percaya kepada Tuhan dan mengejar kebenaran, melaksanakan tugas mereka di gereja. Mereka tidak terikat oleh racun Iblis, serta mereka menjalani kehidupan yang tenang dan bahagia, dengan kebebasan dan kelepasan. Hal ini membuatku makin menyesal. Andai aku tidak menanamkan pemikiran dan sudut pandang ini pada putraku, mungkin dia tidak akan menjadi seperti dirinya, menjalani kehidupan yang menyakitkan dan tidak berdaya demi mengejar ketenaran, kekayaan, kenaikan pangkat, dan menghasilkan uang. Saat memikirkan hal-hal ini, aku merasa sangat menyesal dan membenci diriku sendiri. Aku merenung: Mengapa aku begitu bertekad dan bersikeras mengharapkan anak-anakku masuk perguruan tinggi? Di manakah letak akar permasalahannya?

Suatu hari, aku membaca firman Tuhan ini: "Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan pikiran manusia, sampai satu-satunya yang orang pikirkan adalah ketenaran dan keuntungan. Mereka berjuang demi ketenaran dan keuntungan, menderita kesukaran demi ketenaran dan keuntungan, menanggung penghinaan demi ketenaran dan keuntungan, mengorbankan semua yang mereka miliki demi ketenaran dan keuntungan, dan mereka akan melakukan penilaian atau mengambil keputusan demi ketenaran dan keuntungan. Dengan cara ini, Iblis mengikat orang dengan belenggu yang tak kasatmata, dan mereka tidak punya kekuatan ataupun keberanian untuk membuang belenggu tersebut. Mereka tanpa sadar menanggung belenggu ini dan berjalan maju dengan susah payah. Demi ketenaran dan keuntungan ini, umat manusia menjauhi Tuhan dan mengkhianati Dia dan menjadi semakin jahat. Jadi, dengan cara inilah, generasi demi generasi dihancurkan di tengah ketenaran dan keuntungan Iblis. Sekarang melihat tindakan Iblis, bukankah motif jahat Iblis benar-benar menjijikkan? Mungkin hari ini engkau semua masih belum dapat memahami motif jahat Iblis karena engkau semua berpikir orang tidak dapat hidup tanpa ketenaran dan keuntungan. Engkau berpikir jika orang meninggalkan ketenaran dan keuntungan, mereka tidak akan mampu lagi melihat jalan di depan, tidak mampu lagi melihat tujuan mereka, bahwa masa depan mereka akan menjadi gelap, redup, dan suram" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa Iblis menggunakan ketenaran dan kekayaan untuk merusak, menyesatkan, dan mencelakai manusia, membuat manusia hanya mengejar ketenaran dan kekayaan. Aku ingat karena aku tidak mendapatkan pendidikan yang baik sewaktu masih muda, aku cukup menderita saat pergi untuk mencari uang, dan sering menanggung prasangka orang lain. Saat aku melihat orang-orang yang berpengetahuan luas dan bergengsi dikagumi oleh orang lain ke mana pun mereka pergi, aku iri kepada mereka, dan percaya bahwa aku tidak dihormati orang lain hanya karena aku tidak memiliki pengetahuan. Jadi, aku menaruh harapanku pada anak-anakku, berharap agar mereka dapat mewujudkan impian-impian yang tidak mampu kuwujudkan sendiri. Untuk itu, aku menghabiskan seluruh waktuku dan membayar harga mahal, menjalani kehidupan yang pahit dan melelahkan, serta menyakiti dan menyiksa putraku. Belakangan, meskipun putraku memperoleh ketenaran dan keuntungan, dia menjadi semakin jauh dari Tuhan dan kehilangan keselamatan Tuhan pada akhir zaman. Kini aku memahami bahwa pengejaranku akan ketenaran dan kekayaan adalah semacam belenggu kasatmata yang dipasang oleh Iblis pada diriku dan putraku. Iblis menggunakan ketenaran dan kekayaan untuk memikat dan menyesatkan kita, membuat kita berjuang dengan gigih demi ketenaran dan kekayaan, tanpa berpikir untuk mengejar kebenaran. Kita dikendalikan selangkah demi selangkah oleh Iblis, kita rela menderita karenanya, akibatnya menjadi semakin jauh dari Tuhan, bahkan sampai menyangkal Tuhan, dan dikuasai oleh Iblis. Ini adalah niat dan rencana jahat Iblis. Aku memikirkan orang-orang di sekitarku: Putra pamanku masuk perguruan tinggi, tetapi orang tuanya meremehkan dia karena memilih jurusan yang bukan unggulan, jadi mereka menggunakan koneksi mereka dan mencari seseorang untuk membantunya pindah jurusan. Akibatnya, anak itu merasa sangat tertekan dan tidak dapat mengikuti pelajaran, kemudian dia mengalami gangguan mental. Kini, dia bahkan tidak mampu mengatur hidupnya sendiri. Banyak juga anak-anak lain yang minum pestisida atau melompat dari gedung karena prestasi belajarnya yang buruk. Semua pelajaran tragis ini menjadi peringatan dan teguran bagiku. Sebenarnya, kaya atau miskinnya hidup seseorang ada di tangan Tuhan. Ketenaran dan kekayaan tidak dapat membuat kita lepas dari kesengsaraan. Semua itu hanya bisa membawa kita ke dalam jurang penderitaan. Sungguh menjijikkan melihat cara Iblis mencelakai manusia. Pada saat yang sama, puji syukur kepada Tuhan karena melalui pencerahan, pengarahan, dan bimbingan-Nya, aku menemukan sumber penderitaanku dan melihat konsekuensi berbahaya dari mengejar ketenaran serta kekayaan. Kalau tidak, aku akan tetap terjebak di dalamnya, tidak mampu melepaskan diri. Itu juga membuatku memahami maksud Tuhan yang sungguh-sungguh untuk menyelamatkan manusia. Aku tidak bisa terus dibodohi dan dicelakai oleh Iblis, aku ingin bebas dari belenggu ketenaran dan kekayaan, serta menempuh jalan untuk mengejar kebenaran dan memperoleh keselamatan.

Kemudian, aku menemukan jalan yang benar untuk mendidik anak dalam firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Seandainya engkau tidak mendidik mereka dengan cara seperti ini ketika mereka masih kecil, seandainya engkau telah memberi mereka masa kecil yang bahagia tanpa tekanan apa pun, tanpa mengajari mereka untuk menjadi lebih baik daripada orang lain, untuk menduduki jabatan yang tinggi atau menghasilkan banyak uang, atau mengejar ketenaran, keuntungan, dan status, seandainya engkau membiarkan mereka menjadi orang yang baik, orang biasa, tanpa menuntut agar mereka menghasilkan banyak uang, menikmati begitu banyak hal, atau membalas begitu banyak kepadamu, tetapi hanya meminta agar mereka menjadi sehat dan bahagia, menjadi orang yang sederhana dan bahagia, mungkin mereka akan menerima beberapa pemikiran dan sudut pandang yang kaumiliki setelah engkau percaya kepada Tuhan. Kemudian, kehidupan mereka mungkin akan bahagia sekarang, tanpa banyak tekanan dari kehidupan dan masyarakat. Meskipun mereka tidak memperoleh ketenaran dan keuntungan, setidaknya hati mereka akan merasa bahagia, tenang, dan damai" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Firman Tuhan menunjukkan jalan yang benar untuk mendidik anak: Dalam mendidik anak-anaknya, seseorang tidak boleh menuntut agar mereka mengejar ilmu pengetahuan, status, ketenaran, keuntungan, kenaikan pangkat, atau menghasilkan uang. Dia harus berharap agar anak-anaknya menjalani kehidupan yang bahagia dan sehat, tanpa tekanan, bebas dan lepas. Dari firman Tuhan, aku juga memahami maksud Tuhan. Aku dan anak-anakku adalah makhluk ciptaan, dan nasib kami ada di tangan Tuhan. Nasib hidup kami dan jalan apa yang harus kami tempuh berada di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Bukanlah sesuatu yang bisa kami kendalikan sendiri, aku pun tidak dapat mengubah nasib mereka. Aku hanya bisa berdoa untuk anak-anakku, dan saat mereka kembali, aku bisa membacakan firman Tuhan kepada mereka. Entah mereka pada akhirnya bisa datang ke hadirat Tuhan atau tidak, itu terserah kepada-Nya. Aku hanya perlu melaksanakan tugas dan tanggung jawabku sendiri, serta melakukan apa yang harus kulakukan dengan baik. Sudut pandangku terhadap segala sesuatu sudah agak berubah, ini adalah hasil yang dicapai oleh firman Tuhan. Kini, aku hanya ingin mengejar kebenaran dan hidup berdasarkan firman Tuhan, melaksanakan tugasku sendiri. Inilah satu-satunya kehidupan yang bermakna dan bernilai. Syukur kepada Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait