Mengapa Tuhan Mengizinkan Orang Kristen Menderita?

25 Juli 2019

Oleh Saudari Li Tong

Banyak orang Kristen merasa bingung: Tuhan adalah kasih dan Dia mahakuasa, jadi mengapa Dia mengizinkan kita menderita? Mungkinkah Dia telah meninggalkan kita? Dulu pertanyaan ini selalu membingungkanku, tetapi akhir-akhir ini, melalui doa dan pencarian, aku mendapatkan sedikit pencerahan dan penerangan. Hal ini telah menyelesaikan kesalahpahamanku akan Tuhan, dan aku menjadi paham bahwa penderitaan bukan berarti bahwa Tuhan membuang kita, tetapi sebaliknya penderitaan diatur oleh Tuhan dengan sangat saksama untuk menyucikan dan menyelamatkan kita. Ujian dan pemurnian ini adalah kasih karunia Tuhan yang terbesar bagi kita!

Mengapa Tuhan Mengizinkan Orang Kristen Menderita?

Ujian dan Pemurnian Merupakan Kasih Karunia Tuhan yang Terbesar

Tuhan berfirman: "Dan Aku akan membawa bagian ketiga itu melewati api, dan akan memurnikan mereka seperti perak dimurnikan, dan akan mengujinya seperti emas diuji: mereka akan memanggil nama-Ku, dan Aku akan mendengar mereka: Aku akan berkata, Ini adalah umat-Ku: dan mereka akan berkata, Yahweh adalah Tuhanku" (Zakharia 13:9). "Lihatlah, Aku telah memurnikan engkau, tetapi tidak dengan perak; Aku telah memilih engkau dalam tungku penderitaan" (Yesaya 48:10). Dan dalam 1 Petrus 5:10 dikatakan, "Tetapi Tuhan, sumber segala kasih karunia, yang sudah memanggil engkau kepada kemuliaan kekal-Nya dalam Kristus Yesus, setelah engkau menderita sebentar, menjadikanmu sempurna, menegakkan, menguatkan, membuatmu kokoh."

Kita dapat melihat dari firman Tuhan dan kitab suci bahwa terdapat kehendak Tuhan pada saat Dia mengizinkan kita untuk menderita, dan hal itu sepenuhnya untuk menyucikan dan menyelamatkan kita; itu adalah harta berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada kita. Sebelum ujian dan pemurnian datang kepada kita, kita semua menganggap diri kita sebagai orang yang menjunjung tinggi jalan Tuhan, dan beberapa dari kita bahkan merasa bahwa dengan meninggalkan, mengorbankan diri, bersusah payah, dan bekerja untuk Tuhan, dengan menderita dan membayar harga, kita sepenuhnya memperhatikan kehendak Tuhan, bahwa kita adalah orang yang paling mengasihi-Nya, dan bahwa kita adalah orang yang paling berbakti kepada-Nya. Kita percaya bahwa walaupun orang lain mungkin menjadi negatif dan lemah atau mengkhianati Tuhan, kita tidak akan pernah bisa melakukan hal seperti itu. Namun kenyataannya adalah bahwa ketika kita dihadapkan dengan kesulitan seperti kehilangan pekerjaan, atau kesulitan keuangan, kita mengeluh kepada Tuhan, kehilangan iman kita, dan bahkan menjadi tidak bersedia mengorbankan diri untuk-Nya lagi. Ketika kemalangan menimpa keluarga kita atau musibah terjadi, kita mungkin masih mengeluh tentang Tuhan karena sesuatu berbenturan dengan kepentingan pribadi kita. Kita memperdebatkan kasus kita dan melakukan perlawanan, dan dalam kasus-kasus serius, mengkhianati Tuhan dan meninggalkan iman kita. Tuhan telah menyatakan dalam banyak kesempatan bahwa Dia menghendaki kita untuk mengikuti jalan-Nya, dan telah menuntut kita: "Engkau harus mengasihi Tuhan dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan segenap pikiranmu" (Matius 22:37). Namun demikian, kita selalu memperhitungkan kepentingan daging kita, dan menghargainya lebih daripada kasih kita kepada Tuhan. Ketika Tuhan bertindak sesuai dengan gagasan kita, kita berterima kasih dan memuji-Nya, tetapi ketika Dia tidak melakukannya, kita mengembangkan kesalahpahaman dan keluhan tentang Tuhan, atau bahkan mengkhianati Dia. Ini menunjukkan kepada kita seberapa dalam Iblis telah merusak kita. Kita selalu mengejar berkat dalam iman kita, yang pada dasarnya berusaha untuk bertransaksi dengan Tuhan—hal ini benar-benar egois, tercela, dan sama sekali tak beralasan! Pada titik ini, kita dapat memperoleh sebagian pemahaman yang benar tentang watak Iblis yang memberontak dan melawan Tuhan di dalam diri kita, serta sedikit pemahaman akan motif dan gagasan yang keliru dalam iman kita. Kita dapat melihat bahwa apa yang kita hidupi jauh sekali dari apa yang Tuhan kehendaki dari kita, dan bahwa kita sama sekali tidak layak menerima berkat dan perkenanan Tuhan. Demikian juga, melalui ujian dan pemurnian seperti itu, kita dapat mengalami kekudusan dan kebenaran Tuhan, dan merasakan betapa banyak pemalsuan yang ada dalam iman kita kepada-Nya. Jika kita terus percaya kepada-Nya dengan niat untuk mencari berkat, kita hanya akan membuat Tuhan merasa jijik dengan kita dan membenci kita. Setelah disingkapkan melalui ujian, kita mampu melihat bahwa kerusakan kita terlalu besar dan kekurangan kita terlalu banyak, dan dengan demikian kita dapat mulai datang ke hadirat Tuhan dalam doa, membaca firman-Nya, dan kemudian merenungkan dan mengetahui di bagian manakah dalam diri kita yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita dapat mencari cara untuk memuaskan Tuhan dan memberikan kesaksian bagi-Nya, dan tanpa sadar, kita mengembangkan hubungan yang jauh lebih dekat dengan Tuhan. Setelah memiliki pengalaman seperti itu, kita tidak hanya mendapatkan pemahaman tentang diri kita sendiri dan sedikit pemahaman tentang watak Tuhan, kita juga menjadi lebih stabil dan dewasa. Watak impulsif, congkak, egois, dan curang kita dilumpuhkan, dan hanya dengan begitu kita dapat benar-benar memahami bahwa sementara ujian dan pemurnian menyebabkan kita menderita secara daging, buah yang dihasilkannya di dalam diri kita adalah keselamatan dan penyucian, yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita dan sangat mendidik kerohanian kita.

Kita juga dapat melihat hal ini dari pengalaman orang-orang kudus sepanjang zaman. Sebelum Tuhan memakai Musa, Dia pertama-tama melembutkan Musa di padang gurun selama 40 tahun. Pada saat itu, Musa mengalami segala macam kesulitan, tidak ada seorang pun baginya untuk diajak bicara, dan dia sering berhadapan dengan binatang buas dan cuaca yang keras. Hidupnya selalu berada dalam bahaya. Dia tentu sangat menderita dalam lingkungan yang keras seperti itu. Beberapa orang mungkin bertanya, "Tidak dapatkah Tuhan langsung memakai Musa? Mengapa Dia pertama-tama harus mengirimkannya ke padang gurun selama 40 tahun?" Dalam hal ini kita menemukan kebajikan Tuhan. Kita tahu bahwa Musa adalah orang jujur yang memiliki rasa keadilan, tetapi dia bertabiat pemarah dan memiliki kecenderungan untuk bertindak secara impulsif berdasarkan gagasannya akan kebenaran. Ketika dia melihat seorang tentara Mesir mencambuki seorang Israel, dia memukul kepala orang Mesir itu dengan batu dan membunuhnya. Tabiat bawaan Musa dan semangat kepahlawanannya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, jadi jika Tuhan secara langsung memakainya, Musa akan terus mengandalkan sifat-sifat ini dalam tindakannya dan tidak akan pernah bisa menyelesaikan apa yang dipercayakan Tuhan kepadanya—memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Inilah sebabnya Tuhan membiarkan Musa tinggal di padang gurun selama 40 tahun, agar Musa menjadi lebih layak untuk dipakai Tuhan. Dalam lingkungan yang berat dan bermusuhan seperti itu, Musa tidak hanya terus-menerus berdoa dan berseru kepada Tuhan, tetapi dia juga melihat kemahakuasaan dan dominasi Tuhan, dan mengandalkan Tuhan demi kelangsungan hidupnya. Unsur pemarah dan tabiat alami dalam dirinya semakin berkurang, dan dia mengembangkan iman yang sejati dan ketundukan kepada Tuhan. Jadi, ketika Tuhan memanggil Musa untuk melaksanakan tugas-Nya memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, Musa dapat menerima dan menaatinya tanpa perlawanan, dan dengan bimbingan Tuhan, dia dengan lancar melaksanakan tugas dari Tuhan.

Ada juga kisah Ayub di dalam Alkitab. Ayub menjalani ujian ketika harta miliknya diambil darinya, anak-anaknya mati, dan dia sendiri menderita bisul di sekujur tubuhnya, tetapi meskipun dia menderita, dia tidak pernah berdosa dengan perkataannya; dia tidak mengeluh tentang Tuhan, tetapi menerima segala sesuatu dari Tuhan di dalam hatinya. Dia juga dapat mencari kehendak Tuhan, dan akhirnya berkata: "Yahweh yang memberi, dan Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub 1:21) dan "Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?" (Ayub 2:10). Dia mengandalkan iman, rasa takut, dan ketundukannya kepada Tuhan untuk mengatakan hal-hal ini, dan dengan demikian dia menjadi kesaksian bagi Tuhan. Alasan Ayub mampu menjadi kesaksian melalui ujian yang begitu besar adalah karena dia percaya bahwa Tuhan menguasai segala sesuatu, dan bahwa semua harta milik maupun anak-anaknya merupakan pemberian Tuhan kepadanya, jadi adalah hak Tuhan untuk mengambilnya kembali. Sebagai makhluk ciptaan, dia harus menerima dan tunduk. Kemampuan Ayub untuk berdiri dalam posisi sebagai makhluk ciptaan dan dengan tanpa syarat menaati Sang Pencipta menjadi kesaksian bagi Tuhan. Tuhan kemudian menampakkan diri kepada Ayub dalam badai, dan Ayub melihat punggung Tuhan dan mendengarkan Tuhan berbicara kepadanya dengan mulut-Nya sendiri; dia mendapatkan pemahaman yang sejati tentang Tuhan. Ayub menuai karunia yang tidak akan pernah dapat diperolehnya di lingkungan yang nyaman, dan ini adalah berkat terbesar yang diberikan kepada Ayub melalui ujian dan pemurnian. Sebagaimana Ayub memberi tahu teman-temannya setelah ujiannya: "Setelah Dia menguji aku, aku akan tampil seperti emas" (Ayub 23:10).

Ini menunjukkan kepada kita bahwa ujian dan pemurnian sebenarnya merupakan kasih Tuhan yang sejati dan nyata bagi kita. Hanya melalui ujian dan pemurnian kita dapat disucikan dan diselamatkan oleh Tuhan, dan dengan demikian menjadi orang yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Inilah alasannya Tuhan mengizinkan hal-hal ini menimpa kita.

Dapatkah Karunia Materi Membantu Kita Bertumbuh dalam Hidup Kita?

Sering kali, kita kurang memahami maksud baik Tuhan, dan berharap segala sesuatu berjalan seperti yang kita inginkan. Kita khususnya tidak bersedia menjalani ujian dan pemurnian. Sebaliknya, kita berharap untuk memiliki kehidupan yang sepenuhnya damai tanpa adanya malapetaka dalam hidup kita atau dalam hidup orang-orang yang kita kasihi. Kita ingin semuanya berjalan lancar, dan menikmati berkat dan kasih karunia Tuhan. Namun pernahkah kita mempertimbangkan apakah lingkungan yang nyaman dapat membuat kita membuang watak-watak kita yang rusak? Dapatkah berkat materi benar-benar membantu kita mengetahui watak dan keberadaan Tuhan? Jika kita hanya menikmati belas kasih dan kasih karunia-Nya, dapatkah hal itu meningkatkan iman kita kepada-Nya dan mengizinkan kita untuk mengembangkan kasih sejati dan ketundukan kepada Tuhan? Firman Tuhan berkata: "Jika engkau hanya menikmati kasih karunia Tuhan, memiliki kehidupan keluarga yang penuh damai atau berkat secara materi, berarti engkau belum mendapatkan Tuhan, dan keyakinanmu kepada Tuhan tidak bisa dikatakan berhasil. Tuhan telah menjalankan satu tahap pekerjaan kasih karunia dalam daging, dan telah memberikan berkat-berkat materi kepada manusia, tetapi manusia tidak bisa disempurnakan hanya dengan kasih karunia, kasih, dan belas kasih saja. Dalam pengalaman-pengalamannya, manusia mengalami sebagian kasih Tuhan, dan melihat kasih dan belas kasih Tuhan, tetapi setelah mengalaminya selama beberapa waktu, ia melihat bahwa kasih karunia dan kasih dan belas kasih Tuhan tidak mampu membuat manusia sempurna, tidak mampu menyingkapkan apa yang rusak dalam diri manusia, dan tidak mampu menghilangkan watak manusia yang rusak, atau menyempurnakan kasih dan imannya. Pekerjaan kasih karunia Tuhan adalah pekerjaan satu periode, dan manusia tidak dapat menggantungkan diri pada menikmati kasih karunia Tuhan untuk mengenal-Nya" ("Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Kasih Tuhan").

Firman Tuhan sangat jelas. Jika kita hanya berfokus untuk menikmati belas kasih dan kasih karunia Tuhan, kita tidak hanya tidak akan dapat terbebas dari watak-watak kita yang rusak, tetapi kita tidak akan bertumbuh dalam hidup kita, juga iman, kasih, dan ketaatan kita "Kemakmuran orang bebal akan membinasakan mereka" (Amsal 1:32). Jika kita hidup terus-menerus dalam lingkungan yang nyaman tanpa ujian atau pemurnian, hati kita akan berangsur-angsur menjauh dari Tuhan dan kita akan cenderung menjadi bejat sebagai akibat dari keserakahan kita akan kenyamanan hidup. Kita akan hidup dalam watak-watak kita yang rusak dengan perut kenyang dan pikiran yang bebas dari kekhawatiran, dan pada akhirnya tidak akan mencapai apa-apa, membuang-buang hidup kita. Ini seperti menjadi orangtua—jika engkau selalu memanjakan anakmu dan bersikap pemaaf dan toleran tanpa peduli kesalahan apa pun yang mereka lakukan, pada titik manakah anak itu akan dapat mengubah sifat-sifat negatifnya dan menjadi dewasa? Jadi, lingkungan yang nyaman sama sekali tidak bermanfaat bagi pertumbuhan kita dalam kehidupan; sebaliknya, itu akan membuat kita semakin lama semakin rakus akan kenikmatan daging dan kita hanya akan terus-menerus menuntut kasih karunia dan berkat Tuhan, menjadi semakin egois, serakah, jahat, dan curang. Jika kita ingin melepaskan diri dari watak kita yang rusak dan menjadi manusia yang sesuai dengan kehendak Tuhan, kita tidak bisa puas dengan hanya bersantai dalam kasih karunia dan berkat Tuhan dan percaya kepada Tuhan dalam lingkungan yang nyaman, tetapi kita juga harus melalui lebih banyak ujian dan pemurnian. Itulah satu-satunya cara kita dapat menyingkirkan watak kita yang rusak dan ditahirkan oleh Tuhan.

Bagaimana Melewati Ujian dan Pemurnian

Firman Tuhan berkata: "Ketika menghadapi penderitaan, engkau harus mampu untuk tidak memedulikan daging dan tidak mengeluh kepada Tuhan. Ketika Tuhan menyembunyikan diri-Nya darimu, engkau harus mampu memiliki iman untuk mengikuti-Nya, menjaga kasihmu kepada-Nya tanpa membiarkan kasih itu hilang atau berkurang. Apa pun yang Tuhan lakukan, engkau harus tunduk pada rancangan-Nya, dan siap untuk mengutuki dagingmu sendiri daripada mengeluh kepada-Nya. Ketika dihadapkan pada ujian, engkau harus memuaskan Tuhan, meskipun engkau mungkin menangis getir atau merasa enggan berpisah dengan beberapa objek yang engkau kasihi. Hanya inilah kasih dan iman yang sejati. Bagaimanapun tingkat pertumbuhanmu yang sebenarnya, engkau pertama-tama harus memiliki keinginan untuk menderita dan memiliki iman yang sejati, dan engkau juga harus memiliki keinginan untuk meninggalkan daging. Engkau harus mau menanggung kesulitan pribadi dan kehilangan kepentingan pribadi demi memuaskan kehendak Tuhan. Engkau juga harus mampu merasakan penyesalan tentang dirimu sendiri di dalam hatimu: di masa lalu, engkau tidak mampu memuaskan Tuhan dan sekarang, engkau dapat menyesali dirimu. Engkau tidak boleh kurang dalam satu pun dari hal-hal ini—melalui hal-hal inilah Tuhan akan menyempurnakanmu. Jika engkau tidak dapat memenuhi kriteria ini, engkau tidak bisa disempurnakan" ("Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian").

Firman Tuhan memberi kepada kita jalan penerapan. Ketika kita menghadapi kesulitan, sikap kita terhadap pekerjaan Tuhan sangat penting dan berhubungan langsung dengan apakah kita akan dapat menjadi kesaksian bagi Tuhan, dan disucikan dan diselamatkan oleh-Nya. Jika kita mengandalkan watak-watak rusak Iblis dan rakus akan kenyamanan daging selama mengalami ujian dan pemurnian, selalu mempertimbangkan dan merencanakan sesuatu demi kepentingan kita sendiri, kemungkinan besar kita akan mengembangkan keluhan tentang Tuhan; kita akan berperang melawan dan menentang Dia, atau bahkan melakukan hal-hal untuk memberontak atau menentang Tuhan. Pada saat itu, kita menjadi bahan tertawaan Iblis dan sepenuhnya kehilangan kesaksian kita. Namun jika kita dapat menerima dan tunduk pada pekerjaan Tuhan melalui kesulitan, dan mencari kehendak dan tuntutan Tuhan bagi kita di dalam semua itu, jika kita dapat meninggalkan daging dan menerapkan kebenaran, memilih untuk menderita dalam daging dan menjadi kesaksian bagi Tuhan, jika kita dapat hidup dalam lingkungan ini dengan kasih kepada Tuhan dan keinginan untuk memuaskan Dia, kita akan dapat memahami lebih banyak kebenaran melalui ujian ini, watak kita yang rusak dapat ditahirkan oleh Tuhan, dan kita bisa menjadi orang yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

Belum lama ini beberapa masalah muncul dalam keluargaku—suamiku kehilangan pemasoknya bagi bisnis kami, anakku mengalami kesulitan di tempat kerja, dan ada masalah dalam bisnis terus-menerus. Aku benar-benar kecewa dan tertekan dan aku tidak bisa berhenti menggerutu kepada Tuhan. Aku merasa bahwa aku menghabiskan setiap hari bekerja keras untuk Tuhan, pergi kemana-mana untuk memberitakan Injil dan mengorbankan diriku, jadi mengapa hal-hal ini terjadi dalam keluargaku? Mengapa Tuhan tidak melindungi keluargaku? Selama periode waktu tersebut, aku menghabiskan lebih sedikit waktu membaca Kitab Suci dan meskipun aku tetap menghadiri pertemuan gereja dan bekerja, hatiku selalu penuh dengan kepahitan dan aku tidak tahu apa kehendak Tuhan bagiku di lingkungan tersebut.

Kemudian, aku berdoa kepada Tuhan untuk mencari, dan membaca firman ini dari-Nya: "Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya agar Aku dapat menyembuhkan mereka. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya agar Aku dapat menggunakan kuasa-Ku untuk mengusir roh-roh najis dari tubuh mereka, dan begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya supaya mereka dapat menerima damai dan sukacita dari-Ku. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya untuk menuntut lebih banyak kekayaan materi dari-Ku. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya untuk menjalani hidup ini dengan damai dan agar aman dan selamat di dunia yang akan datang. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku untuk menghindari penderitaan neraka dan menerima berkat-berkat surga. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya demi kenyamanan sementara, tetapi tidak berusaha memperoleh apa pun dari dunia yang akan datang. Saat Aku menjatuhkan murka-Ku ke atas manusia dan mengambil semua sukacita dan damai yang pernah mereka miliki, manusia menjadi bimbang. Saat Aku memberi kepada manusia penderitaan neraka dan menarik kembali berkat-berkat surga, rasa malu manusia berubah menjadi amarah. Saat manusia meminta-Ku untuk menyembuhkan mereka, Aku tidak memedulikan dan merasakan kebencian terhadap mereka; manusia meninggalkan-Ku untuk mencari cara pengobatan lewat perdukunan dan ilmu sihir. Saat Aku mengambil semua yang telah manusia tuntut dari-Ku, semua orang menghilang tanpa jejak. Maka dari itu, Aku berkata bahwa manusia beriman kepada-Ku karena Aku memberi terlalu banyak kasih karunia, dan ada terlalu banyak yang bisa didapatkan" ("Apa yang Kauketahui tentang Iman?").

Aku tidak bisa menahan tangis ketika membaca firman Tuhan—aku merasa amat sedih dan kesakitan, juga malu. Aku melihat bahwa semua perspektifku tentang iman salah, dan semuanya itu hanyalah untuk mencari berkat dan kasih karunia. Ketika Tuhan memberkati aku, aku dengan antusias pergi keluar dan memberitakan Injil dan mengorbankan diriku dan tidak takut akan kesulitan maupun kelelahan. Namun ketika kesulitan muncul dalam keluargaku, aku mulai hidup dalam kelemahan dan kenegatifan, mengembangkan keluhan akan Tuhan dan menyalahkan Dia karena tidak melindungi keluargaku. Aku memasang tembok di dalam hatiku untuk menentang Tuhan. Aku harus menyelidiki jiwaku, bertanya kepada diriku sendiri, "Kerja kerasku bukanlah untuk membalas kasih Tuhan tetapi hanya sebagai imbalan atas berkat Tuhan—bukankah itu berarti melakukan transaksi dengan Tuhan? Bagaimana iman seperti itu—yang penuh dengan motivasi yang salah dan pemalsuan—bisa mendapatkan perkenanan Tuhan? Aku senantiasa bernapas dengan napas pemberian Tuhan, menikmati matahari dan hujan yang diciptakan-Nya, dan hidup dari karunia-karunia di atas muka bumi yang diciptakan oleh-Nya, tetapi aku sama sekali tidak punya pikiran untuk membalas Tuhan. Sebaliknya, aku hanya terus-menerus menuntut Tuhan. Bukankah ini sama sekali tidak bernalar?" Baru kemudian aku melihat betapa tercela dan hinanya iman kepada Tuhan yang seperti itu—aku sama sekali tidak berdiri dalam posisi sebagai makhluk ciptaan dalam memuja Tuhan. Aku juga jadi memahami bahwa untuk menjadi taat kepada Tuhan, aku harus terlebih dahulu memosisikan diri sebagai makhluk ciptaan, dan tidak peduli apa yang Sang Pencipta lakukan, apakah Dia memberi atau mengambil kembali, aku harus patuh dan tunduk kepada-Nya tanpa memperdebatkan kasusku. Hanya nalar semacam itulah yang harus dimiliki makhluk ciptaan. Setelah aku memahami hal tersebut, aku memutuskan di hadapan Tuhan bahwa apa pun yang terjadi dalam situasi kerja suami atau putraku, aku akan bersedia tunduk pada pengaturan dan rencana Tuhan dan tidak mengeluh tentang Tuhan. Begitu aku menyadari semua ini, aku merasa jauh lebih bebas dan secara bertahap keluar dari keadaan negatifku. Aku tidak lagi terganggu atau dibatasi oleh masalah-masalah ini, tetapi dapat dengan tenang bekerja dan mengorbankan diriku untuk Tuhan.

Pengalaman ini benar-benar menunjukkan kepadaku betapa luar biasa bermanfaatnya ujian dan pemurnian bagi pertumbuhan kita dalam kehidupan. Meskipun kita sedikit menderita melalui ujian dan pemurnian itu, kita menuai harta yang sangat berharga dalam hidup, dan iman serta kasih kita kepada Tuhan bertumbuh. Aku yakin bahwa semua saudara-saudari yang berupaya untuk mendapatkan perkenanan Tuhan sekarang memahami maksud tulus Tuhan dan tidak lagi memiliki kesalahpahaman terhadap Dia, dan bahwa mereka akan dapat menghadapi kesulitan apa pun tanpa merasa gentar. Dalam ujian atau hal-hal apa pun yang tidak diinginkan yang akan kita hadapi di masa depan, biarlah kita menenangkan diri di hadirat Tuhan dan mencari kehendak-Nya serta mencari kebenaran. Dengan cara ini kita dapat mengalami berkat yang diberikan kepada kita oleh Tuhan melalui ujian dan pemurnian! Syukur kepada Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Pertobatan Seorang Perwira

Oleh Saudara Zhen Xin, TiongkokTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Sejak penciptaan dunia hingga saat ini, segala yang Tuhan lakukan dalam...

Tinggalkan Balasan