Ujian Berat Penjara

14 April 2025

Dari kecil, tubuhku selalu lemah dan rentan terhadap penyakit. Sejak masih kecil, aku menderita sakit kepala setiap hari, dan pada usia dua belas tahun, aku terkena penyakit jantung. Setelah itu, aku juga mengidap penyakit gastrointestinal dan bronkitis. Karena dihinggapi berbagai macam penyakit, hidupku terasa sangat menyedihkan. Pada usia 24 tahun, aku mulai percaya kepada Tuhan Yesus, dan sering membaca Alkitab serta berdoa kepada Tuhan. Aku mulai merasakan ketenangan dan sukacita dari imanku, dan penyakitku pun membaik tanpa kusadari. Untuk membalas kasih Tuhan, aku mulai menyebarkan Injil Tuhan dan menantikan hari ketika Tuhan akan kembali. Pada tahun 1999, akhirnya aku mendengar suara Tuhan dan menyambut kedatangan Tuhan Yesus. Melihat bagaimana Tuhan Yang Mahakuasa telah menampakkan diri untuk melaksanakan pekerjaan dan mengungkapkan banyak kebenaran untuk menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa, memungkinkan mereka terhindar dari bencana dan membimbing manusia ke dalam kerajaan Tuhan, aku merasa sangat gembira dan bergabung dengan barisan penyebar Injil, berharap untuk menyebarkan Injil Kerajaan surga kepada lebih banyak orang.

Suatu hari pada Maret 2003, aku ditangkap oleh polisi saat menyebarkan Injil. Setelah mereka menggeledahku serta menemukan penyeranta dan buku catatan, salah seorang bertanya padaku, "Dari mana asalnya penyeranta ini?" Ketika kukatakan kepadanya bahwa itu adalah penyeranta pribadiku, dia lalu mengambil pipa plastik dan dengan kejam memukuliku dengannya beberapa kali sebelum mengangkatku dan melemparkanku ke belakang mobil. Polisi kemudian menampar wajahku secara bergantian sambil berteriak, "Rasakan akibat menyebarkan Injil! Akhirnya tertangkap kau sekarang!" Aku sangat takut dan segera berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia melindungiku dan memberiku iman dan kekuatan. Setibanya kami di kantor keamanan publik daerah, polisi menyeretku ke sebuah ruangan kosong dan melemparkanku ke atas lembaran logam. Cuaca di timur laut Tiongkok masih sangat dingin pada bulan Maret dan aku sangat kedinginan hingga menggigil tak henti-hentinya. Aku memberi tahu polisi, "Aku sakit jantung dan dalam pengobatan. Aku tak boleh kedinginan." Polisi mengabaikanku begitu saja. Yang bisa kulakukan hanyalah meringkuk seperti bola, dengan lengan mendekap dadaku erat-erat, tetapi tak lama setelah itu, aku menjadi sangat kedinginan sehingga kejang-kejang dan gigiku terus bergemeletuk. Baru setelah polisi menusukku dengan jarum di tangan dan hidungku, aku akhirnya pulih dan berhenti kejang-kejang. Kemudian, mereka membawaku ke ruangan lain, melemparkanku ke kursi dan pergi keluar untuk makan. Aku sedikit takut dan khawatir bagaimana polisi akan menyiksaku ketika mereka kembali. Aku terus-menerus berdoa kepada Tuhan, memohon perlindungan-Nya. Di tengah-tengah doa, aku teringat bagian firman Tuhan ini: "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus mengorbankan dirimu untuk kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran, engkau harus mengalami lebih banyak penderitaan. Inilah yang harus engkau lakukan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Kupikir, "Ya, aku harus mengalami kesukaran dan menjadi kesaksian bagi Tuhan di hadapan Iblis, karena Tuhan berkenan akan hal ini." Aku juga teringat bagaimana Iblis telah mencobai Ayub. Ketika Ayub kehilangan semua harta benda dan anak-anaknya dalam semalam serta tubuhnya dipenuhi barah, dia masih mampu memuji nama Tuhan sekalipun mengalami penderitaan yang begitu besar, yang akhirnya membuat Iblis dipermalukan dan gagal. Tuhan mengizinkanku menghadapi lingkungan ini untuk menguji dan menyempurnakan imanku. Apa pun yang polisi lakukan terhadapku, aku tahu aku harus tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan.

Polisi segera kembali dan tanpa berkata sepatah kata pun, mereka mulai menampar wajahku. Tidak puas hanya menamparku dengan tangan, mereka juga mengambil sepatu mereka dan mulai memukuli wajah, kepala, dan tubuhku dengan sol sepatu mereka. Awalnya, itu sangat menyakitkan dan aku merasakan sedikit ketidaknyamanan di jantungku. Aku menggertakkan gigi dan berusaha menahan rasa sakit sementara air mata mengalir di wajahku. Beberapa waktu kemudian, wajahku mati rasa karena dipukuli berulang kali dan tidak lagi terasa sakit. Salah seorang dari mereka mengambil pipa plastik sepanjang lebih dari satu meter dan mulai memukuli tubuhku sambil menginterogasiku dengan pertanyaan, "Berapa jumlah jemaat gerejamu? Siapa pemimpin gerejamu? Ayo bicara!" Aku diam saja dan dia menjadi makin marah lalu memukul kepalaku dengan keras, yang langsung membuat telingaku berdenging. Setelah itu, mereka membawaku ke ruangan lain di mana kulihat dua saudari dari kelompokku meringkuk di bangku di sudut. Kapten Brigade Keamanan Nasional menunjuk ke arah dua saudari itu dan berkata kepadaku, "Apa kau kenal mereka berdua?" Kujawab, "Tidak." Hal ini membuatnya sangat marah sehingga dia mengambil pipa plastik dan memukul kepalaku dengan keras sebelum menghujaniku dengan pukulan dan tendangan, tanpa meninggalkan satu bagian tubuh pun yang tidak terluka. Aku menjadi linglung dan bingung. Polisi lain kemudian bertanya kepadaku, "Dari mana asalnya penyeranta dan buku catatan ini? Untuk apa?" Sambil berkata demikian, dia mengambil pipa plastik dan bersiap untuk memukulku lagi. Aku sangat takut tak akan sanggup menanggung siksaan seperti itu dan akan mengkhianati saudara-saudariku, jadi aku terus berdoa kepada Tuhan. Aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Engkau harus mengorbankan segalanya untuk melindungi kesaksian-Ku. Ini menjadi tujuan dari tindakanmu—jangan lupakan ini" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). Aku harus mempertaruhkan nyawaku agar tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan. Betapa pun kejamnya polisi terhadapku, aku tidak boleh mengkhianati Tuhan. Tepat pada saat itu, seorang polisi meninjuku, menjatuhkanku ke lantai sebelum memukul kepalaku dengan pipa plastik, yang membuat kepalaku berdenging. Kemudian dia memukuli kepala dan tubuhku dengan kejam, meninggalkan bercak darah di sekujur tubuhku. Jantungku berdebar kencang dan rasanya seperti jantungku berdetak di tenggorokanku. Kupikir aku akan mati kapan saja. Aku merasa agak lemah dan bertanya-tanya: Jika mereka terus memukuliku seperti ini, akankah aku benar-benar dipukuli sampai mati? Tepat pada saat itu, aku kembali teringat firman Tuhan: "Iman itu seperti jembatan dari satu gelondong kayu: Mereka yang sangat ingin mempertahankan hidup akan mengalami kesulitan menyeberanginya, tetapi mereka yang siap untuk menyerahkan hidup mereka dapat menyeberanginya dengan pasti, tanpa rasa khawatir" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 6"). Hidupku berada di tangan Tuhan. Betapa pun kejamnya polisi, mereka tidak bisa berbuat apa pun terhadapku tanpa seizin Tuhan. Sekalipun mereka memukuliku sampai mati, aku tidak akan mengkhianati Tuhan, akan tetap teguh dalam kesaksianku dan jiwaku tidak akan mati. Jika aku mengkhianati saudara-saudariku seperti Yudas hanya untuk menghindari penderitaan dagingku yang sementara dan menyinggung watak Tuhan, aku tidak hanya akan merasa bersalah di kemudian hari, aku juga akan masuk neraka setelah kematian dan dikutuk dengan hukuman kekal. Menyadari semua ini, aku merasa sedikit lebih tenang dan tidak takut lagi. Tepat pada saat itu, polisi mengakhiri pemukulan mereka. Aku bilang aku harus ke kamar mandi, tetapi kapten itu hanya melototiku dan berkata, "Kau tidak boleh ke mana-mana!" sebelum menendang perut bagian bawahku. Tendangan itu membuatku tak mampu mengendalikan diriku dan celana katunku segera basah oleh air kencing.

Pada hari yang sama, polisi mengirimku dan dua saudari lainnya ke pusat penahanan. Aku tak mampu berdiri tegak dan harus melangkah maju tertatih-tatih dengan tangan menopang perutku. Penjaga itu, seorang pria tua, sudah tak tahan lagi melihat hal ini, berkata, "Mereka hanya orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Mereka tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi mengapa mereka dipukuli seperti ini?" Dia memberi kami masing-masing selimut tipis, dan kami harus tidur di lantai yang dingin. Celanaku masih belum kering, aku benar-benar kedinginan dan meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Kemudian, pria tua itu membawakanku obat dan secangkir air hangat. Aku tahu bahwa ini adalah belas kasihan Tuhan atas kelemahanku dan mengatur agar pria ini datang menolong kami. Aku merasa bersyukur kepada Tuhan dalam hatiku. Keesokan harinya, polisi membawa salah satu saudari untuk diinterogasi. Kami sangat khawatir dan terus berdoa untuknya. Kami merasa gelisah setiap hari. Setelah tiga hari dua malam, saudari itu akhirnya dikembalikan kepada kami. Saat dia tertatih-tatih sembari membungkuk menuju tempat tidurnya, kami bergegas menghampirinya. Kulihat seluruh tubuhnya penuh memar, dan kakinya lebam serta bengkak seperti balon. Saudari itu mengatakan bahwa setelah dibawa pergi, dia terus-menerus dipukuli oleh polisi. Empat atau lima polisi bergantian memukuli dan menendanginya, juga memborgol tangannya di punggung dan dengan kasar menyentakkan tangannya ke atas, membuatnya sangat kesakitan hingga dia pingsan beberapa kali. Polisi menyiramnya dengan air dapur kotor untuk membangunkannya dan terus memukulinya. Mereka tidak memberinya makanan atau air selama tiga hari dua malam. Aku benar-benar sangat marah: Sekelompok setan ini telah memperlakukannya dengan sangat tidak manusiawi! Namun, aku juga sangat takut. Luka-lukaku sebelumnya belum sembuh dan aku tidak tahu bagaimana polisi akan menyiksaku nantinya. Sanggupkah aku menanggungnya? Aku terus berdoa kepada Tuhan dan memohon agar Dia memberiku kekuatan.

Pukul 8 pagi pada hari ketiga setelah saudariku kembali, kapten Brigade Keamanan Nasional datang untuk menginterogasiku. Seorang polisi memborgolku, menekan leherku ke bawah agar aku membungkuk rendah dan mendorongku ke depan. Polisi lain menendang selangkanganku dari belakang dengan sangat keras hingga aku hampir terjatuh. Mereka mendorongku ke sebuah ruangan kecil yang berisi satu tempat tidur dan memborgolku ke susuran di bagian kepala tempat tidur. Entah siksaan apa yang akan kuterima, dan jantungku berdegup kencang. Sambil tertawa sinis, sang kapten berkata kepada salah seorang polisi, "Masukkan beberapa pil tonik jantung kyushin ke mulutnya dan paksa dia menelannya. Dengan begitu, dia tidak akan mati begitu saja saat kita memukulinya. Kita harus mendapatkan jawaban darinya hari ini." Mereka kemudian menjejalkan pil-pil itu ke dalam mulutku dan mulai memukuliku dengan pipa plastik dari kepala sampai kaki, bahkan punggung kakiku pun tidak luput dari pukulan. Setiap kali dipukul, aku mengejang kesakitan. Selagi mereka memukuliku, mereka menginterogasiku di gereja. Aku khawatir tidak akan sanggup menanggung siksaan mereka, jadi aku segera berdoa kepada Tuhan memohon pertolongan. Aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Mereka yang Tuhan sebut 'para pemenang' adalah mereka yang tetap teguh dalam kesaksian mereka dan mempertahankan keyakinan mereka dari semula dan pengabdian mereka kepada Tuhan ketika berada di bawah pengaruh Iblis dan dikepung oleh Iblis, yaitu saat mereka mendapati diri mereka berada di tengah kekuatan kegelapan. Jika engkau tetap mampu menjaga hati yang murni di hadapan Tuhan dan mempertahankan kasih yang tulus kepada Tuhan apa pun yang terjadi, engkau tetap teguh dalam kesaksianmu di hadapan Tuhan, dan inilah yang Tuhan maksudkan sebagai 'pemenang'" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Engkau Sudah Seharusnya Mempertahankan Kesetiaanmu kepada Tuhan"). Firman Tuhan menyadarkanku bahwa Tuhan menggunakan penangkapan, penganiayaan, dan penyiksaan si naga merah yang sangat besar untuk menyempurnakan iman kita dan menjadikan kita sekelompok pemenang. Ditangkap oleh polisi dan disiksa adalah cara Tuhan untuk mencoba dan mengujiku adalah kesempatan untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan. Betapa pun kerasnya polisi menyiksaku, sekalipun mereka memukuliku sampai mati, aku tidak akan pernah mengkhianati Tuhan atau saudara-saudariku. Polisi terus bertanya siapa pemimpin gereja kami, lalu mengambil pipa plastik dan memukuli seluruh tubuhku lagi dengan kejam. Aku meringkuk seperti bola dalam posisi miring, menggertakkan gigi, dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Setelah menginterogasiku sepanjang pagi dan melihatku tidak akan buka mulut, mereka mengancam dengan jengkel, "Jika kau tidak memberi tahu apa pun kepada kami, kami akan menjatuhimu hukuman sepuluh atau dua puluh tahun dan kau tidak akan pergi ke mana pun!" Setelah itu, mereka membawaku kembali ke sel tempat mereka menahan kami. Selama interogasi, sekujur tubuhku dipukuli dan penuh memar, tetapi melihat polisi dengan ekspresi putus asa di wajah mereka dan tidak memperoleh hasil apa pun membuatku sangat senang. Aku terus bersyukur kepada Tuhan atas perlindungan-Nya, yang membuatku mampu bertahan hidup dari ancaman kematian ini.

Pada hari kelima belas kami berada di pusat penahanan, polisi membawa kami bertiga ke halaman. Salah seorang dari mereka berkata, "Lepaskan anjing-anjing itu!" Lalu, dengan suara mengancam, dia menambahkan, "Kita lihat saja apa kau mau bicara sekarang!" Saat itu, dua ekor anjing polisi tiba-tiba melompat keluar dari sisi halaman dengan lidah mereka yang panjang menjulur dan kepala mereka terangkat tinggi, menyerang langsung ke arah kami. Sesampainya anjing-anjing itu di tempat kami bertiga berdiri, mereka mulai berlari mengitari kami. Aku sangat takut dan berpikir, "Akankah anjing-anjing ini menggigit kita sampai mati?" Aku pun segera berdoa kepada Tuhan. Saat berdoa, aku teringat kisah Daniel, yang meskipun telah dilemparkan ke dalam gua singa, tidak mati karena Tuhan menyertainya dan menutup mulut singa-singa itu, sehingga mereka tidak dapat menggigitnya. Aku juga teringat firman Tuhan yang berkata: "Engkau tidak perlu takut akan ini dan itu; sebanyak apa pun kesulitan dan bahaya yang mungkin engkau hadapi, engkau mampu tetap tenang di hadapan-Ku; tidak terhalang oleh rintangan apa pun sehingga kehendak-Ku dapat terlaksana. Ini adalah tugasmu .... Janganlah takut; dengan dukungan-Ku, siapa yang mampu menghalangi jalan ini? Ingatlah ini! Jangan lupa! Semua yang terjadi adalah karena kehendak baik-Ku dan semuanya berada dalam pengamatan-Ku. Dapatkah engkau mengikuti firman-Ku dalam segala yang kaukatakan dan lakukan? Ketika ujian api menimpamu, akankah engkau berlutut dan berseru? Ataukah engkau akan gemetar ketakutan, tidak mampu bergerak maju?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 10"). Firman Tuhan memberiku iman. Tuhan adalah penopangku, dan tanpa seizin-Nya, anjing-anjing itu tidak dapat berbuat apa-apa terhadapku. Kegelisahanku perlahan memudar dan aku beriman bahwa segalanya berada di tangan Tuhan. Hebatnya, anjing-anjing itu hanya mengendus-endus kami, mengibaskan ekor mereka, lalu pergi. Aku menghela napas lega, terus-menerus bersyukur kepada Tuhan dalam hatiku, dan imanku kepada-Nya makin kuat.

Setelah itu, polisi membawa kami ke penjara. Kami bertemu tiga saudari lainnya di sel yang sekujur tubuh mereka juga dipukuli dengan parah. Dua hari kemudian, kami diinterogasi satu per satu secara bergiliran. Mereka membawaku ke sebuah ruangan kecil dan menginterogasiku tentang berbagai detail gereja. Ketika aku tidak mau memberi tahu mereka apa pun, mereka menendangku dan membuatku berlutut di lantai, sebelum menginjak betisku dan menyentakkan rambutku dengan menarik kepalaku ke belakang dengan keras. Setelah itu, seorang polisi mengangkangi leherku, mencengkeram rambutku dan menarik rambutku ke depan dan ke belakang selama lebih dari sepuluh menit. Ketika dia menjauh dariku, dia mulai meraba-raba bagian pribadinya dan membuat gerakan-gerakan cabul, sambil menatapku dengan tatapan mesum. Aku memalingkan kepalaku dengan jijik dan berpikir, "Bagaimana dia bisa menyebut dirinya polisi? Dia bajingan, binatang buas!" Setelah itu, dia menunjuk obat-obatan di dalam laci dan berkata, "Kami punya semua jenis obat yang bisa kau bayangkan di sini. Satu suntikan dan kami bisa mengubahmu menjadi psikopat atau orang dungu. Tak seorang pun akan memperlakukanmu seperti manusia setelah itu." Dengan tawa sinis, dia melanjutkan, "PKT menjunjung tinggi filosofi ateis dan materialis, kami harus menyingkirkan orang-orang percaya sepertimu. Jika kau tidak memberi kami informasi, kami akan membiusmu dengan obat-obatan ini." Sambil berbicara, dia mengambil sebatang rokok dari laci, menyalakannya, lalu meletakkannya di bawah hidungku sehingga asapnya naik ke lubang hidungku, membuatku batuk, pusing, dan mual. Dia kemudian berkata, "Ada obat bius dalam rokok ini yang akan membuatmu tanpa sadar memberitahukan semua yang kau ketahui." Hal ini cukup membuatku takut. Jika aku benar-benar dibius dan mengkhianati saudara-saudariku, bukankah itu akan membuatku menjadi Yudas? Bagaimana jika suntikan mereka membuatku kehilangan kewarasan atau menjadi orang dungu? Bagaimana aku akan hidup? Aku terus berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan. Aku tidak mau menjadi Yudas. Aku tidak mampu mengatasi siksaan polisi sendirian. Kumohon bimbing dan lindungilah aku." Tepat pada saat itu, aku teringat satu bagian firman Tuhan: "Dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, tidak ada satu pun yang mengenainya Aku tidak mengambil keputusan yang terakhir. Apakah ada sesuatu yang tidak berada di tangan-Ku?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 1"). Sesungguhnya, Tuhan berdaulat atas segala sesuatu. Hidupku berada di tangan-Nya, dan entah aku akan menjadi sakit jiwa atau orang dungu, semua itu tergantung pada-Nya. Aku harus beriman kepada Tuhan. Lagi pula, tampaknya aku tidak terpengaruh sama sekali oleh rokok yang diberi obat bius yang dipaksakan polisi itu kepadaku dan tetap terjaga. Ini menunjukkan kepadaku bahwa Tuhan selalu besertaku, melindungi dan menjagaku. Aku tak bisa menahan diri untuk bersyukur kepada Tuhan dan rasa takutku berkurang. Setelah rokok itu terbakar sekitar dua pertiga, polisi itu melihatku masih tampak cukup sadar dan terjaga lalu dengan marah melemparkan rokok itu ke lantai dan mendesah sambil berkata, "Kirim orang ini ke penjara!" Pada pagi hari tanggal 13 Mei, seorang polisi berkata padaku, "Kepercayaanmu kepada Tuhan melanggar hukum PKT. Kau telah didakwa mengganggu ketertiban umum dan telah dijatuhi hukuman dua tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa." Saat mendengar perkataannya, aku merasa cukup sedih. Dua bulan kurungan sudah tak tertahankan, dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati dua tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa. Polisi itu melanjutkan, katanya, "Jangan repot-repot mengajukan banding. Ada banyak hukuman yang tidak adil di dunia ini dan kau bukanlah satu-satunya. Sekalipun mengajukan banding, kau tak akan pernah memenangkan kasus melawan PKT." Mendengarnya mengucapkan perkataan setan, aku menjadi lebih paham tentang esensi PKT yang jahat dan buruk. Dua hari kemudian, aku dikirim ke kamp kerja paksa.

Di kamp itu, aku dipenjara bersama sembilan saudari lainnya. Setiap pagi pada pukul 5, setelah olahraga pagi, kami diminta untuk mulai merajut tikar. Jika kami terlalu lambat, kami akan dimarahi, dan jika kami tidak menyelesaikan tugas, kami akan dihukum. Terkadang kami harus bekerja sepanjang malam dan terkadang bahkan tidak tidur selama tiga hari tiga malam. Aku tidak pernah mendapat makanan yang cukup selama berada di kamp kerja paksa, dan selalu dalam kondisi lelah, kurang tidur, dan lapar. Aku sering tertidur sambil berdiri. Penjaga sering mempersulit kami karena kami orang percaya. Aku sering buang air kecil dan ketika aku minta izin ke kamar mandi, kedua kepala tahanan yang dihasut oleh penjaga selalu dengan sengaja mengejekku, berkata, "Ini bukan rumahmu, kau tidak bisa pergi kapan saja kau mau! Tahan saja!" Aku menahannya begitu lama hingga aku hampir tidak bisa berjalan, khawatir jika aku bergerak terlalu cepat, aku akan kehilangan kendali dan kencing di celana. Akhirnya aku harus berjalan selangkah demi selangkah, perlahan-lahan menuju kamar mandi. Namun, saat akhirnya sampai di kamar mandi, aku tidak bisa buang air kecil. Sungguh mengerikan. Suatu hari, seorang saudari berusia enam puluh tahun terkena serangan jantung karena bekerja terlalu keras dan roboh ke lantai, mulutnya berbusa. Penjaga bukan hanya tidak menolongnya, melainkan juga malah menendangnya dua kali. Ketika dia sadar, penjaga memaksanya terus bekerja. Di lain waktu, seorang kepala tahanan mengatakan pekerjaan seorang saudari tidak memenuhi standar meskipun jelas-jelas memenuhi standar. Penjaga mengatakan bahwa saudari itu bersikap pasif, bermalas-malasan, dan tidak mau bekerja lalu menghukum saudari itu dengan memasukkannya ke dalam sel yang lebih kecil, menggantungnya, dan memukulinya selama dua hari berturut-turut. Setelah itu, dia dibawa ke panggung di kafetaria dan dipaksa mengkritik diri sendiri di depan semua orang. Ketika kulihat bekas lebam borgol yang dalam di pergelangan tangan saudari itu, aku menjadi sangat marah. Hanya karena iman kami, si naga merah yang sangat besar itu menangkap dan memukuli kami sesuka hati mereka, dan mengirim kami untuk dididik ulang melalui kerja paksa, menyiksa kami tanpa henti. Mereka tidak memberi kami orang-orang percaya kesempatan untuk bertahan hidup! Tepat pada saat itu, aku teringat sebuah lagu pujian firman Tuhan yang berjudul "Mereka yang di Dalam Kegelapan Harus Bangkit":

1  Selama ribuan tahun, negeri ini telah menjadi negeri yang najis. Negeri ini tak tertahankan kotornya, penuh kesengsaraan, hantu merajalela di mana-mana, menipu dan menyesatkan, membuat tuduhan tak berdasar, dengan buas dan kejam, menginjak-injak kota hantu ini, dan meninggalkannya penuh dengan mayat; bau busuk menyelimuti negeri ini dan memenuhi udara dengan pekatnya, dan tempat ini dijaga ketat. Siapa yang bisa melihat dunia di balik langit? Bagaimana mungkin penduduk kota hantu seperti ini pernah melihat Tuhan? Pernahkah mereka menikmati keindahan dan kasih Tuhan? Bagaimana mereka bisa memahami hal-hal dunia manusia? Siapakah di antara mereka yang mampu memahami maksud-maksud Tuhan yang penuh cemas?

2  Mengapa bersusah payah merintangi pekerjaan Tuhan? Mengapa menggunakan segala macam tipu muslihat untuk menipu umat Tuhan? Di manakah kebebasan sejati serta hak dan kepentingan yang sah? Di manakah keadilan? Di manakah penghiburan? Di manakah kehangatan? Mengapa menggunakan rencana licik untuk menipu umat Tuhan? Mengapa menekan pekerjaan Tuhan? Mengapa memburu Tuhan sampai Dia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya? Mengapa engkau menolak kedatangan Tuhan? Mengapa engkau begitu tidak berhati nurani? Bersediakah engkau menanggung ketidakadilan di tengah masyarakat yang kelam seperti ini?

Sekaranglah saatnya: manusia sudah lama mengumpulkan seluruh kekuatannya, ia telah mencurahkan segenap upayanya dan membayar harga apa pun untuk ini, untuk merobek wajah mengerikan setan ini dan membuat orang-orang, yang selama ini telah dibutakan dan yang telah mengalami segala macam penderitaan dan kesulitan untuk bangkit dari rasa sakit mereka dan memberontak terhadap si iblis tua yang jahat ini.

—Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"

Aku memahami dengan keyakinan yang tak terbantahkan bahwa PKT adalah setan yang membenci kebenaran dan menganggap Tuhan sebagai musuhnya; aku memutuskan untuk memberontak sepenuhnya terhadap PKT, tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan dan mempermalukan si naga merah yang sangat besar.

Kemudian, kami ditugaskan membuat bulu mata palsu dan harus bekerja lembur setiap malam. Karena jam kerja yang panjang, penglihatanku menjadi kabur dan tanganku gemetar saat memegang penjepit. Aku memiliki kondisi tubuh yang lemah dari semula dan, karena terlalu lelah, kondisiku makin memburuk dari hari ke hari. Aku sering demam, tetapi harus tetap bekerja saat sakit. Bahkan ke kamar mandi pun menjadi masalah—kepala tahanan sengaja mengejekku dan hanya membiarkanku pergi setelah aku mulai menangis karena menahannya terlalu lama. Aku merasa sangat tertekan dan menderita dan tidak tahu bagaimana aku akan melewati dua tahun itu. Kadang aku merasa sangat sedih sampai-sampai ingin menangis dan adakalanya berpikir untuk bunuh diri. Selama waktu itu, aku sering berdoa kepada Tuhan dan teringat bagian firman-Nya ini: "Ketika menghadapi penderitaan, engkau harus mampu untuk tidak memedulikan daging dan tidak mengeluh kepada Tuhan. Ketika Tuhan menyembunyikan diri-Nya darimu, engkau harus mampu memiliki iman untuk mengikuti-Nya, menjaga kasihmu kepada-Nya yang dari dulu tanpa membiarkan kasih itu berubah atau menghilang. Apa pun yang Tuhan lakukan, engkau harus membiarkan-Nya mengatur sesuai keinginan-Nya dan bersedia untuk mengutuk dagingmu sendiri daripada mengeluh kepada-Nya. Ketika dihadapkan pada ujian, engkau harus bersedia menanggung rasa sakit karena melepaskan apa yang engkau kasihi dan bersedia menangis getir untuk memuaskan Tuhan. Hanya inilah kasih dan iman yang sejati. Bagaimanapun tingkat pertumbuhanmu yang sebenarnya, engkau harus terlebih dahulu memiliki keinginan untuk menanggung kesukaran dan memiliki iman yang sejati, dan engkau juga harus memiliki keinginan untuk memberontak terhadap daging. Engkau harus mau secara pribadi menanggung kesukaran dan rela kepentingan pribadimu dirugikan demi memuaskan maksud Tuhan. Engkau juga harus mampu merasakan penyesalan tentang dirimu sendiri di dalam hatimu: di masa lalu, engkau tidak mampu memuaskan Tuhan dan sekarang, engkau dapat menyesali dirimu. Engkau tidak boleh kurang dalam satu pun dari hal-hal ini—melalui hal-hal inilah Tuhan akan menyempurnakanmu. Jika engkau tidak dapat memenuhi kriteria ini, engkau tidak bisa disempurnakan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Dahulu, aku sering berkata bahwa aku mau meneladani Ayub dan Petrus, dan akan tetap teguh dalam kesaksianku untuk memuaskan Tuhan betapa pun hebatnya ujian yang kuhadapi. Namun, sekarang setelah benar-benar menghadapi situasi ini, kusadari bahwa aku hanya mengucapkan slogan dan doktrin serta tidak memiliki iman dan ketundukan sejati kepada Tuhan. Iblis menyiksa dagingku untuk berusaha membuatku mengkhianati dan menyimpang dari Tuhan, tetapi Tuhan menggunakan lingkungan yang sulit ini untuk menyingkapkan kekuranganku dan menyempurnakan iman dan kasihku. Aku harus mengandalkan Tuhan untuk mengalami lingkungan ini dan seberapa banyaknya pun aku menderita, aku harus memuaskan Tuhan. Begitu tunduk pada lingkungan itu, aku merasa penderitaan itu tidak begitu besar lagi. Kemudian, dokter di kamp kerja paksa melakukan pemeriksaan fisik terhadapku dan mendapati bahwa aku mengidap takikardia parah dan penyakit jantung stadium lanjut. Setelah itu, penjaga tidak memberiku pekerjaan tambahan. Aku tahu bahwa Tuhan sedang membuka jalan bagiku dan aku bersyukur kepada-Nya dari lubuk hatiku. Di bawah perlindungan Tuhan, aku berhasil melewati satu tahun dan sepuluh bulan masa penahanan.

Saat mengenang kembali pengalamanku, setiap kali berpikir bahwa aku tidak akan mampu melewati siksaan dan aniaya, firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan, membimbingku melewati kesukaran demi kesukaran. Hanya dengan perlindungan dan kasih Tuhan, aku mampu bertahan dari siksaan si naga merah yang sangat besar dan berjalan keluar dari penjara setan dalam keadaan hidup-hidup meskipun memiliki tubuh yang lemah dan mengidap beberapa penyakit! Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Pertarungan Melawan Cuci Otak

Oleh Saudara Zhao Liang, TiongkokAku ditahan oleh polisi Partai Komunis Tiongkok karena imanku di usia 19 tahun. Mereka membuatku merasakan...

Kurangi Ukuran Huruf
Tambah Ukuran Huruf
Masuk Layar Penuh
Keluar Layar Penuh