Hanya dengan Memahami Kebenaran Engkau Bisa Sungguh-sungguh Mengenal Dirimu Sendiri

21 September 2019

Oleh Wenwen, Provinsi Jilin

Konsepsiku selama ini adalah sepanjang aku melakukan segala hal dengan cara yang benar, dan tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan apa pun kepada orang, maka aku menganggap watakku telah berubah. Karenanya, dalam segala sesuatu yang aku lakukan, aku memberikan perhatian khusus tentang apakah aku melakukannya dengan benar atau tidak, dan sepanjang perilaku dan penerapanku dari luar benar, aku pikir itu baik-baik saja. Contohnya, ketika dihadapkan pada proses dipangkas dan ditangani, aku fokus pada di mana aku telah berbuat salah, dan sepanjang seseorang bisa menunjukkan cara-cara aku telah berbuat salah , aku akan diyakinkan, namun jika seseorang menunjukkan esensi dari masalahnya dan bersekutu mengenai pemahaman mereka tentang sifatku yang rusak, maka aku akan menolak menerimanya dan tidak bersedia memahami aspek itu. Belakangan, saudara-saudari memberiku persekutuan, berkata bahwa seseorang hanya dapat berubah wataknya dengan mengenal sifatnya sendiri, dan bahwa aku tidak mengenal sifatku. Setelah mendengarkan perkataan saudara-saudari, aku mulai belajar mengenal sifatku. Ketika seseorang memberi persekutuan dan berkata, "Tampilan pamer ini didominasi oleh sifatmu yang congkak", maka aku berkata, "Ya, aku congkak, sifatku congkak!" Seorang lain berkata, "Perilaku tidak bermoral dan tidak terkendali ini didominasi oleh sifat manusiawimu yang jahat." Lalu aku melanjutkan, "Oh ya, sifatku jahat." Menurutku tidaklah sulit mengenal sifatku sepanjang aku mengulangi jenis sifat mana saja yang mendominasi setiap perilaku ini. Jika seseorang bertanya padaku, "Sifat mana yang mendominasi perilaku ini?" Aku akan berkata, "Kecongkakan, kejahatan, keegoisan, kecurangan ...." Tanya jawab seperti ini ibarat mengisi bagian yang kosong, dan itu tampak begitu mudah. Pada akhirnya, saudara-saudari memberi tahuku bahwa pengetahuan diriku terlalu dangkal dan semuanya doktrin. Karena itu, berbicara belakangan tentang mengenal diri sendiri, aku berkata, "Aku terlalu congkak, congkak tanpa batas. Aku terlalu jahat, dan terlalu egois." Aku pikir bahwa menambahkan kata "terlalu" kepada apa yang telah kuketahui sebelumnya tentang diriku sendiri akan membuatnya terdengar seperti aku telah memperdalam pemahamanku. Dengan cara ini, karena aku tidak memahami dan tidak jelas tentang arti penting dari persyaratan Tuhan agar orang mengenal sifat mereka sendiri, oleh sebab itu, ketika kuungkapkan kerusakan atau ketika aku membaca firman Tuhan yang mengungkapkan esensi dari sifat manusia, aku hanya memahaminya dari sudut pandang mengikuti peraturan; aku sangat mirip burung beo, mengulangi kata-kata tentang mengenal diriku sendiri tanpa sungguh mengerti dari hatiku atau memahami betapa aku dirusak secara mendalam oleh Iblis. Oleh karena itu, aku tidak membenci diriku sendiri, aku juga tidak terpikir betapa berbahayanya terus seperti itu. Bahkan di hadapan perkataan penghakiman Tuhan yang amat sangat tegas, aku tidak merasa terkejut. Malah, itu tidak mengusikku, sehingga hasilnya watakku tidak berubah sama sekali. Meskipun aku bodoh, mati rasa, dan berkualitas buruk, Tuhan tidak meninggalkanku, malahan, Dia selalu membimbing dan mencerahkanku, menuntunku untuk mengenal sifat dan hakikatku serta menempuh jalan untuk mengubah watakku.

Beberapa hari lalu, aku pindah dengan seorang saudara ke sebuah keluarga tuan rumah yang baru. Selama suatu persekutuan, saudari lanjut usia yang menerima kami berbicara secara terbuka kepada kami tentang prasangka dan pendapatnya mengenai beberapa saudara-saudari yang pernah dia jamu sebelumnya. Setelah mendengarkan, aku tidak serius menanggapinya, dan tidak bersekutu mengenai kebenaran dengannya. Beginilah waktu berlalu. Kemudian, dua saudara lain yang melakukan tugas bersama kami datang untuk tinggal selama beberapa hari. Setelah mereka pergi, saudari lanjut usia itu menyampaikan pendapatnya tentang kedua saudara ini kepada kami. Pada saat itu, benakku bereaksi, dan aku berpikir: "Sebagian besar dari yang engkau katakan tidak sesuai dengan fakta; ini semua dugaan. Tuhan mengharuskan kita saudara-saudari untuk saling mengasihi, menolong, dan mendukung. Aku harus melakukan kebenaran dan bersekutu denganmu mengenai kebenaran dari menjadi orang yang jujur. Engkau tidak seharusnya berspekulasi atau menduga tentang orang lain secara semena-mena." Dua hari setelah persekutuanku, saudari itu mendatangiku dan memberitahuku hal-hal mana saja yang telah kukatakan dan kulakukan yang membuatnya merasa dibatasi. Dia mencurahkan semua pikirannya, menangis sambil berbicara. Melihat ini, aku berpikir: "Engkau terlalu curiga, dan curiga pada semua orang. Kali ini engkau curiga padaku. Ini tidak bisa. Aku harus dengan jelas bersekutu denganmu agar engkau tidak akan berprasangka terhadapku." Karenanya, aku bicara jujur dengannya, dan menunjukkan dengan tepat sifat yang dia perlihatkan dan juga tingkah lakunya yang suka curiga dan menghakimi, agar dia bisa mengenalinya. Saudari itu tampak menerimanya, namun di dalam hati dia tidak yakin. Di hari-hari berikutnya, dia mengaku sakit ini itu. Melihat ini, aku berpikir: "Engkau jelas tidak yakin di dalam hati, tetapi malah hanya berpura-pura menerimanya; bukankah engkau sedang melibatkan diri dalam kepura-puraan dan kecurangan? Banyak pelajaran yang dipelajari ketika seseorang sakit. Engkau harus melakukan introspeksi serius, karena selama ini engkau terus sakit." Dengan berpikir begini, aku mengambil "beban" lain, yang menuntunku untuk bersekutu lagi dengan saudari lanjut usia itu. Aku memberitahunya bahwa penyakit itu adalah karena pemberontakan dan kerusakan, dan aku meminta agar dia memeriksa dan mengenal dirinya sendiri. Namun, selama persekutuan ini, saudari itu hanya merengut, dan bahkan tidak berpura-pura menerimanya. Aku tercengang, dan berpikir: "Aku telah begitu peduli dalam membantumu dan sudah berkali-kali memberimu persekutuan, tetapi kau tidak mau menerimanya dan bahkan curiga padaku. Engkau orang yang begitu tidak jujur! Jika engkau tidak menerima kebenaran, siapa lagi yang bisa membantumu? Lupakan saja, aku tidak bisa melakukan apa pun, terserah padamu." Aku melimpahkan seluruh tanggung jawab ke atas saudari lanjut usia itu, berpikir bahwa dia terlalu curang; aku percaya bahwa aku orang baik yang melakukan kebenaran, yang bersedia membantu saudara-saudarinya dan yang peduli dengan kehendak Tuhan. Dengan cara ini, aku menjadi penuh dengan opini tentang saudari lanjut usia itu, dan dia tidak mau mendengarkan persekutuanku lagi.

Dihadapkan dengan situasi canggung ini, aku harus melakukan introspeksi diri: "Mungkinkah aku salah? Aku tidak salah! Ketika aku melihat kekurangan-kekurangan saudari lanjut usia itu, aku membantunya dengan hati yang penuh kasih! Apa itu karena aku tidak mengandalkan Tuhan? Tidak juga, setiap kali aku berdoa kepada Tuhan sebelum bersekutu dengannya. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun dalam penerapanku , dan hal seperti ini tidak pernah terjadi di masa lalu sementara aku membantu orang lain. Masalahnya pasti terletak pada saudari lanjut usia itu dan itu karena dia bukannya tidak berdosa." Namun, ketika berpikir seperti ini, aku merasa terusik, dan terutama saat melihat saudari lanjut usia itu menderita karena penyakitnya. Namun saat sedang berpikir begini, aku merasa terusik, dan khususnya saat melihat saudari lanjut usia itu sedang menderita karena penyakitnya, aku merasa sungguh gelisah dan perasaan bersalah timbul di hatiku. Aku ingin membantunya dari lubuk hatiku, tapi tidak tahu cara melakukannya. Jadi aku harus datang kepada Tuhan dan mencari pertolongan-Nya, dan membaca firman Tuhan, "Bibirmu lebih manis dari burung merpati tetapi hatimu lebih jahat dari ular zaman purba. Bibirmu seindah perempuan Lebanon, tetapi hatimu tidak sebaik hati mereka, dan tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan kecantikan bangsa Kanaan. Hatimu begitu khianat!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Engkau Sekalian Begitu Rendah dalam Akhlakmu!"). Firman Tuhan langsung mencengkeram hatiku. Aku mau tidak mau merenungkan apa yang telah kulakukan selama beberapa hari terakhir itu dan pikiran-pikiran yang ada di baliknya. Ketika mendengar saudari lanjut usia itu membicarakan pendapatnya mengenai saudara-saudari lain, aku tidak menanggapi, karena kupikir itu bukan urusanku dan itu tidak memengaruhiku; ketika mendengar saudari lanjut usia itu mengutarakan pendapatnya mengenai dua saudara yang kukenal, aku tidak dapat mengabaikannya lagi, dan merasa bahwa aku harus bersekutu dengannya, takut dia salah paham terhadap mereka; ketika aku mendengar saudari lanjut usia itu memiliki pendapat tentang apa yang telah kukatakan dan lakukan, aku lebih memerhatikan lagi, dan berusaha memberinya persekutuan agar dia tidak akan berpendapat buruk tentangku. Aku mengaku bahwa aku membantunya karena belas kasihan. Kenyataannya adalah aku ingin meyakinkan dan menundukkannya dengan menggunakan kebenaran, untuk membungkam mulutnya, mencegahnya menghakimiku dan bahkan mencegahnya berpendapat buruk tentangku. Ketika saudari itu tidak bersedia menerima apa yang kukatakan, aku memperburuk keadaan. Aku tidak mau bersimpati atas penyakitnya, melainkan malah menghakiminya, dan mengatakan bahwa itu disebabkan karena dia sudah bersikap memberontak, dan membuatnya merenungkan diri. Memikirkan perilaku yang telah kuungkapkan, aku menyadari aku tidak menunjukkan sedikit pun belas kasihan kepada saudari lanjut usia itu, bahkan aku juga tidak menunjukkan pengertian atau pengampunan kepadanya. Betapa jahatnya sifatku! Saudari lanjut usia itu mulai melakukan tugas menjadi tuan rumah ketika dia mulai percaya kepada Tuhan. Dia membeli rumah dengan menggunakan uangnya sendiri agar dapat lebih baik memenuhi tugasnya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun keluhan. Jalan masuk kehidupannya tidak sedalam yang seharusnya karena dia jarang bisa menghadiri pertemuan dan bersekutu dengan yang lain, namun dia sungguh percaya kepada Tuhan, hatinya haus akan firman Tuhan dan dia membaca firman Tuhan setiap hari kapan pun ada waktu . Karena dia tidak sepenuhnya memahami kebenaran, dia menganggap menghakimi saudara-saudari di belakang mereka dan membicarakan kekurangan mereka sebagai dia menanggung beban untuk mereka dan semata-mata bersikap terbuka tentang segala hal. Dia tidak memiliki kearifan tentang yang hal-hal mana yang dia katakan merupakan imajinasi dan dugaannya sendiri, dan yang mana dari hal-hal itu merupakan fakta yang dia lebih-lebihkan, dan aku tidak menunjukkan pemahaman atau pertimbangan apa pun kepadanya, juga tidak memperhatikan tingkat pertumbuhannya. Malahan, aku tanpa pandang bulu melawan balik kapan pun sesuatu melanggar kepentinganku, aku memaksanya mengenal dirinya sendiri dan aku memperbesar serta menganalisis secara berlebihan kekurangan-kekurangannya. Dengan motif, metode, dan kemanusiaan seperti yang kumiliki, bagaimana bisa dia tidak memiliki pendapat tentangku? Bukankah aku hanya hidup dalam watak jahatku? Lalu aku memahami bahwa alasan mengapa persekutuanku dengan saudari lanjut usia itu tidak membuahkan hasil karena motif di balik semua yang ku bagikan kepadanya adalah untuk berbicara demi diriku sendiri dan untuk melindungi diriku sendiri. Semua baik-baik saja sepanjang aku tidak kalah dan kepentinganku tidak dirugikan, dan aku sama sekali tidak menempatkan diriku di posisinya untuk mempertimbangkan apa yang kurang darinya atau untuk memahami kelemahannya. Aku juga tidak mempertimbangkan apakah dia mampu menanggung apa yang kukatakan, atau apakah yang kukatakan akan berdampak negatif padanya, atau apakah itu akan membuatnya merasa sedih. Aku telah bicara dan bertindak mengikuti sifat jahatku dan yang sudah kulakukan hanyalah menyakiti dan menyerangnya—bagaimana bisa persekutuan seperti ini membuahkan hasil atau memberikan manfaat baginya?

Firman Tuhan berkata: "Siapa pun dapat menggunakan perkataan dan tindakan mereka sendiri untuk menunjukkan wajah asli mereka. Wajah asli ini tentu saja adalah natur mereka. Jika engkau adalah orang yang bicara berbelit-belit, engkau memiliki natur yang berbelit-belit. Jika naturmu licik, engkau bertindak dengan cara licik, dan orang lain akan dengan mudahnya engkau tipu. Jika naturmu jahat, kata-katamu mungkin sedap didengar, tetapi tindakanmu tidak dapat menutupi tipu muslihatmu yang jahat. Jika naturmu malas, semua perkataanmu dimaksudkan untuk melalaikan tanggung jawab atas keteledoran dan kemalasanmu, dan tindakanmu akan lamban dan asal-asalan, dan engkau cukup mahir menyembunyikan kebenaran. Jika naturmu berempati, kata-katamu akan masuk akal dan tindakanmu juga akan sesuai dengan kebenaran. Jika naturmu setia, tutur katamu pasti tulus dan caramu melakukan sesuatu pasti bersahaja, tanpa ada apa pun yang membuat tuanmu merasa gelisah. Jika naturmu penuh hawa nafsu atau tamak akan uang, hatimu akan sering dipenuhi dengan hal-hal ini, dan tanpa kausadari engkau akan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan tidak bermoral yang akan membuat orang-orang sulit melupakannya, dan yang akan membuat orang merasa jijik" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Masalah yang Sangat Serius: Pengkhianatan (1)"). Firman Tuhan membuatku sadar bahwa cara orang rusak mengungkapkan diri mereka sendiri dan menjalani hidup mereka didominasi oleh sifat mereka. Jenis sifat yang orang miliki dalam dirinya mau tidak mau akan menentukan watak apa yang terungkap di luar. Katakanlah, misalnya seseorang sungguh mengasihi orang lain. Mereka akan dengan penuh perhatian memikirkan dan mengamati orang lain itu untuk melihat apa yang mereka sukai dan, akhirnya, mereka akan mengungkapkan kasih mereka kepada orang itu, dan memungkinkan mereka untuk merasakan dan menghargainya. Jika aku memiliki kasih dalam diriku untuk saudari lanjut usia itu, maka aku akan lebih perhatian, lebih memahami kesulitannya, lebih mempertimbangkan perasaannya, dan akan menggunakan cara dan metode yang sesuai, serta bahasa dan nada yang cocok untuk bersekutu dengannya. Bahkan jika aku tidak bisa menyelesaikan masalahnya, paling tidak aku tidak akan mencelakainya. Tapi karena sifat jahatku mendominasi di dalam diriku dan aku tidak memiliki kasih untuknya, maka aku bicara hanya demi diriku sendiri dan aku mencela dan menguliahi saudari lanjut usia itu, memaksanya untuk merenungkan diri. Semua yang diungkapkan oleh niat, ucapan, dan tindakanku adalah watak jahatku yang egois, licik, dan penuh kebencian, sehingga aku hanya menyebabkan dia tersakiti dan terluka. Lalu aku terpikir akan kasih Tuhan kepada manusia, dan persis karena esensi Tuhan adalah kasih, sehingga apa pun yang Dia lakukan, itu adalah pewahyuan dan ungkapan kasih. Sama seperti yang dikatakan firman Tuhan: "Tujuan Tuhan mengatakan hal-hal ini adalah untuk mengubah manusia dan menyelamatkan mereka; dengan Tuhan berbicara seperti itu barulah dampak yang optimal dapat dicapai. Engkau harus melihat bahwa maksud baik Tuhan dirancang sepenuhnya untuk menyelamatkan manusia dan semua itu mewujudkan kasih Tuhan. Terlepas dari apakah engkau melihatnya dari sudut pandang hikmat dalam pekerjaan Tuhan, atau dari sudut pandang langkah-langkah dan cara dalam pekerjaan Tuhan, atau dari sudut pandang rentang waktu pekerjaan-Nya atau pengaturan dan rencana-Nya yang akurat, semua itu mengandung kasih-Nya. Contohnya, semua manusia memiliki cinta bagi anak-anaknya; agar anak-anaknya dapat berjalan di jalan yang benar, mereka semua telah berusaha keras. Ketika menemukan kelemahan anak-anaknya, orang tua khawatir bahwa jika mereka berbicara dengan lembut, anak-anaknya tidak akan mendengarkan, dan tidak akan dapat berubah, dan mereka khawatir jika mereka berbicara terlalu tegas, mereka akan melukai harga diri anak-anaknya, dan anak-anaknya tidak akan sanggup menanggungnya. Ini semua orang tua lakukan karena cinta, dan mereka berusaha keras untuk itu. Sebagai anak, engkau mungkin telah merasakan cinta orang tuamu. Cinta tidak hanya melibatkan kelembutan dan perhatian; lebih dari itu, cinta melibatkan hajaran yang keras. Di atas semua ini, segala sesuatu yang Tuhan lakukan bagi umat manusia dilakukan karena kasih. Dia bekerja di bawah prasyarat kasih, itulah sebabnya Dia melakukan yang terbaik untuk membawa keselamatan bagi manusia yang rusak. Dia tidak menangani manusia secara acuh tak acuh; Dia membuat rencana yang akurat dan melaksanakannya langkah demi langkah. Dalam hal kapan, di mana, dengan nada suara apa, dengan cara bicara apa, dan seberapa banyak usaha yang Dia lakukan..., dapat dikatakan bahwa semua ini mengungkapkan kasih-Nya, dan semuanya sepenuhnya menjelaskan bahwa kasih-Nya bagi umat manusia tidak terbatas dan tidak terukur. Banyak orang mengatakan hal-hal yang bersifat memberontak ketika mereka berada di tengah ujian; mereka mengeluh. Namun Tuhan tidak meributkan hal-hal ini, dan Dia pasti tidak menghukum manusia karena ini. Karena Dia mengasihi manusia, Dia mengampuni segalanya. Jika Dia hanya memiliki kebencian dan tidak memiliki kasih, Dia pasti telah menghukum manusia sejak dahulu. Karena Tuhan memiliki kasih, Dia tidak meributkan, tetapi Dia bersabar, dan Dia mampu mengamati kesulitan manusia. Inilah artinya melakukan segala sesuatu sepenuhnya di bawah pengaruh kasih" ("Apakah Engkau Memahami Kasih Tuhan bagi Umat Manusia?" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus"). Esensi Tuhan adalah kasih, jadi yang Tuhan ungkapkan juga adalah kasih. Kasih Tuhan kepada manusia tidak diungkapkan dalam kata-kata, tapi diwujudkan secara praktis dalam pekerjaan-Nya, dalam setiap langkah pekerjaan-Nya, dan dalam cara-cara pekerjaan-Nya. Bagaimana dan kapan Tuhan bekerja atas setiap orang, orang-orang, hal-hal atau peristiwa-peristiwa apa saja yang Dia atur untuk mereka dan berapa lama Dia akan memurnikan orang itu, dan seterusnya, semuanya mencerminkan perencanaan yang tepat dan upaya sungguh-sungguh dari Tuhan. Semua pekerjaan Tuhan diresapi oleh kasih-Nya yang suci dan sempurna kepada manusia, tanpa pengecualian. Tuhan mengasihi manusia sampai taraf Dia dapat membiarkan segala kerusakan, pemberontakan, dan pembangkangan manusia, dan tidak meributkan hal-hal kecil dengan manusia. Semua hal ini membuatku melihat kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sebagai perbandingan, tidak ada kasih dan kebaikan hati dalam diriku, hatiku terlalu penuh kebencian, dan aku termasuk golongan jahat yang jelek dan hina. Dalam mengakui semua ini, aku dengan jujur menceritakan kepada saudari lanjut usia itu kerusakan-kerusakan yang telah kuungkapkan, bersekutu tentang semua yang ada di hatiku. Tanpa disadari, kerenggangan di antara kami lenyap. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku!

Sebelumnya, pengetahuanku tentang diri sendiri tak lebih dari sekadar kata-kata. Pengetahuan itu kupelajari lewat menghafal, itu pengetahuan doktrin. Berdasarkan pemikiran dan mentalitas yang tersingkapkan di dalamku, aku belum memahami persepsi dan sudut pandangku sendiri terhadap segala hal dan membandingkannya dengan firman Tuhan untuk mengenal sifatku sendiri. Sebagai akibatnya, aku belum pernah mengerti betapa dalamnya aku sudah dirusak oleh Iblis, dan belum benar-benar bertobat atau berubah. Namun, kini aku memahaminya karena pengalamanku. Begitu manusia telah dirusak oleh Iblis, sifatnya menjadi sifat Iblis. Terlepas dari perkataan, tindakan, motif atau pikiran, semua itu didominasi oleh sifat jahatnya. Orang bisa mencari kebenaran-kebenaran terkait untuk dilakukan dan dimasuki, membereskan wataknya yang rusak dan secara bertahap mencapai perubahan dalam watak, hanya jika dia mengenal sifatnya. Mulai sekarang, aku akan mengubah caraku yang tidak masuk akal saat mengalami berbagai hal, dan tidak akan memberi begitu banyak perhatian kepada penerapan dari luar, menjadi terbelit dalam perbuatan benar dan salahnya. Aku akan secara jujur dan tulus menerima penghakiman dan hajaran Tuhan, dan akan mengenal esensi dari sifatku, dan sungguh mengenal diriku sendiri melalui pewahyuan firman Tuhan agar watakku diubah dan aku segera memperoleh keselamatan dari Tuhan.

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Tugasmu Bukan Kariermu

Oleh Saudari Cheng Nuo, Prancis Tahun lalu aku bertanggung jawab atas pekerjaan dua gereja untuk pendatang baru. Terkadang orang perlu...