Menggunakan Firman Tuhan Untuk Bercermin

21 September 2019

Wu Xia Kota Linyi, Provinsi Shandong

Setelah menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman dan membaca serta merenungkan firman Tuhan, saya jadi mengerti betapa pentingnya pemahaman akan diri sendiri. Oleh karena itu, saat membaca dan merenungkan firman Tuhan, saya memastikan untuk melakukan introspeksi diri sesuai firman yang disampaikan Tuhan kepada manusia. Hampir setiap saat, saya mampu mengenali kekurangan dan kelemahan saya. Saya merasa akan benar-benar bisa memahami diri sendiri. Namun, hanya melalui pengungkapan dari Tuhan-lah saya dapat melihat kalau saya belum memahami diri sendiri sesuai dengan firman Tuhan.

Suatu hari, saya pergi ke suatu tempat bersama kepala daerah untuk menarik uang. Setelah jumlah uang dikonfirmasi dan tanda terima ditulis, saya berpikir bahwa penindasan kejam pemerintah PKT terhadap keyakinan beragama semakin lama semakin berat, dan mereka menempuh segala upaya untuk berusaha menyita aset gereja. Jadi, demi amannya, saya menyarankan agar semua tanda terima uang sebelumnya dimusnahkan. Saat itulah si kepala daerah tiba-tiba berkata, "Kalau tanda terima yang terakhir kauhancurkan, tidak akan ada bukti penerimaan uang. Bagaimana kalau kau menyimpan sendiri uang itu?" Perasaan saya campur-aduk mendengar ini, tapi saya merasa integritas saya sangat terhina, dan saya sangat sulit menerimanya. Saya pikir: Kaupikir saya orang seperti apa? Saya telah mengikut Tuhan selama bertahun-tahun dan saya orang baik. Bagaimana mungkin saya melakukan hal seperti itu? Lagipula, saya sudah melakukan pekerjaan ini bertahun-tahun dan tidak pernah berbuat salah dalam mengelola keuangan, jadi kenapa saya mau mencuri uang gereja? Apa kemiripan saya dengan Yudas? Semakin dipikirkan, saya semakin marah. Semakin dipikirkan, semakin saya merasa si ketua memandang rendah dan memerintah-merintah saya. Saya begitu terluka sampai nyaris menangis.

Dalam kepedihan itu, tiba-tiba saya teringat firman Tuhan: "Segalanya, mulai dari lingkungan di sekitar kita, hingga orang-orang, perkara-perkara, dan berbagai hal, semuanya ada seturut izin dari takhta-Nya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 6"). Lalu pikir saya: Kenapa Tuhan menciptakan situasi di mana saudari seiman tega mengucapkan hal seperti itu? Apa yang Tuhan sedang ajarkan kepada saya? Saat merenungkan hal ini, hati saya mulai tenang. Pikiran saya mulai mempertanyakan reaksi menyakitkan yang saya rasakan terhadap komentar saudari seiman saya: Salahkah ketika dia mengatakan "Bagaimana kalau kau menyimpan sendiri uang itu?" Tuhan mengatakan manusia akan mengkhianati kebenaran dan menjauhkan diri dari Tuhan kapan saja dan di mana saja. Tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa dipercaya. Apakah saya dikecualikan? Lagipula, seberapa jauh watak saya sudah berubah? Berapa banyak kebenaran yang telah saya peroleh? Jika saya belum memahami kebenaran maupun banyak mengubah watak, kenapa orang lain tidak boleh memandang saya seperti itu, dan berdasarkan apa saya seharusnya memandang diri sendiri mulia dan kudus? Dan kenapa saya harus sebegitu yakinnya kalau saya takkan pernah mencuri persembahan itu? Tuhan bersabda: "Natur manusia penuh dengan natur Iblis, mereka sepenuhnya mementingkan diri sendiri, egois, serakah, dan berlebih-lebihan" ("Manusia Mengajukan Terlalu Banyak Tuntutan Kepada Tuhan" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus"). Apakah ini hanya berlaku bagi orang lain, tapi tidak bagi saya? Semua orang memiliki sifat tamak, apakah saya pengecualian? Apakah yang dikatakan saudari tersebut tidak sesuai kenyataan? Ketika biasanya membaca dan merenungkan firman Tuhan, saya seolah mampu mengintrospeksi diri secara sadar dengan bantuan pengungkapan Tuhan. Namun saat saudari tersebut, tanpa bersikap emosional, mengatakan kebenaran berdasarkan pengungkapan Tuhan tentang sifat manusia, saya menjadi sangat marah. Bukankah ini menunjukkan saya tidak mengenal diri sendiri sesuai firman Tuhan? Bukankah ini menunjukkan saya tidak sepenuhnya memahami perangai Iblis dalam diri saya? Barulah saat itu saya menyadari bahwa pengenalan saya akan diri sendiri dengan cara membaca dan merenungkan firman Tuhan tidak lebih dari pemahaman teoretis yang dangkal. Saya tidak secara khusus memahami sifat saya yang sesungguhnya melalui pengungkapan firman Tuhan. Karena itulah situasi ini terjadi pada saya: ketika berkomunikasi, biasanya saya berbicara seolah mengenal diri sendiri. Saya mengangguk-angguk dan menyetujui firman yang digunakan Tuhan mengungkap sifat asli manusia, tapi ketika dihadapkan pada fakta, saya lebih baik mati daripada mengakui sayalah orang yang Tuhan maksud. Setelah direnungkan kembali, sudah berapa kali saya menyatakan saya kurang berkemanusiaan, tapi jika orang lain mengatakan demikian, saya langsung menyangkal dan membela diri mati-matian? Sudah berapa kali bibir saya mengucapkan bahwa saya menjalankan tugas sebagai formalitas belaka, namun ketika orang lain yang mengatakan demikian, saya selalu memikirkan berbagai cara untuk membela dan membenarkan diri untuk memaafkan diri sendiri? Berapa kali sudah saya mengakui di depan orang lain kalau saya bukan apa-apa, tapi jika orang bilang saya tidak bisa melakukan apa pun dengan benar, saya menjadi kecewa dan begitu negatif sehingga tidak bisa ceria? Berapa kali sudah saya menyatakan saya berkualitas buruk dan tidak bisa bekerja, namun ketika mendengar orang lain mengatakan hal yang sama dan bahwa saya tidak bisa jadi pemimpin yang baik, saya berhenti berusaha dan menjadi malas? Jelaslah bahwa saya ini munafik. Ketika saya mengatakan pada diri sendiri kalau saya berdosa, itu tidak masalah, tapi jika orang lain mengatakan sesuatu tentang saya, saya tidak bisa menerima dan membantahnya. Ini cukup menunjukkan pemahaman diri saya hanya di bibir saja. Saya menipu orang lain dan munafik. Karena saya tidak pernah mampu sungguh-sungguh membedah diri sendiri dan memahami sifat asli saya melalui pengungkapan firman Tuhan, saya belum sungguh-sungguh memahami diri sendiri, dan watak saya tidak berubah.

Saat itulah saya merenungkan sikap narsis saya sendiri dan merasa sangat malu. Pengungkapan Tuhan telah sungguh-sungguh meyakinkan saya dan membuat saya dengan jelas melihat kalau saya belum sungguh-sungguh memahami diri sendiri. Mulai sekarang, saya bersedia mengenali sifat saya yang rusak melalui firman yang disampaikan Tuhan kepada manusia. Saya bersedia menghadapi kenyataan dengan berani dan benar-benar memahami diri sendiri, sehingga bisa segera mengubah sifat saya.

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Yang Ada di Balik "Kasih"

Oleh Saudari Chen Yang, Tiongkok Sebelum menjadi orang percaya, kupikir perkataan "Lindungi pertemananmu dengan tak pernah menunjukkan...