Mengalahkan Iblis dalam Pertempuran

13 September 2019

Ibu Chang Moyang Kota Zhengzhou, Provinsi Henan

Firman Tuhan Yang Mahakuasa mengatakan: "Ketika engkau memberontak terhadap daging, akan ada peperangan dalam dirimu yang tidak terelakkan. Iblis akan berusaha untuk membuat orang-orang mengikutinya, akan berusaha untuk membuat mereka mengikuti pemahaman daging dan menjunjung tinggi kepentingan daging—tetapi firman Tuhan akan mencerahkan dan menerangi orang-orang di dalam batin mereka, dan pada saat ini, tergantung pada dirimu apakah engkau mengikuti Tuhan atau mengikuti Iblis. Tuhan meminta orang untuk melakukan kebenaran terutama untuk menangani hal-hal dalam diri mereka, untuk menangani pemikiran dan pemahaman yang tidak berkenan di hati Tuhan. Roh Kudus menjamah hati manusia dan mencerahkan serta menerangi mereka. Jadi ada peperangan di balik semua hal yang terjadi: setiap kali orang melakukan kebenaran, atau menerapkan kasih mereka kepada Tuhan, ada peperangan besar, dan walaupun daging mereka tampak baik-baik saja, sebenarnya di lubuk hati mereka, peperangan antara hidup dan mati akan terus terjadi—dan setelah peperangan yang sengit ini, setelah banyak perenungan, barulah kemenangan atau kekalahan dapat diputuskan. Orang tidak tahu entah harus tertawa atau menangis" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Setiap kali aku membaca ayat firman Tuhan ini, aku akan merenungkan hal berikut: sesulit itukah melakukan kebenaran? Apabila orang tidak memahami kebenaran, mereka tidak dapat melakukannya. Setelah mereka memahami kebenaran, tidak akan cukupkah jika bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan? Apakah itu memang sama seriusnya dengan, "sebenarnya di lubuk hati mereka, peperangan antara hidup dan mati akan terus terjadi"? Entahlah, tetapi setelah mengalami sendiri baru kurasakan bahwa melakukan kebenaran sungguh tidak mudah. Apa yang dikatakan Tuhan memang sejalan seluruhnya dengan kebenaran, bahkan tidak berlebihan sedikit pun.

Beberapa waktu yang lalu, aku merasa bahwa saudari yang bekerja sama denganku ini, angkuh dan meremehkanku. Apa daya, aku terjerumus ke dalam situasi yang kurang beres. Aku mulai membatasi diri karena dia dan tidak sanggup menyingkirkan kendala ini dalam pekerjaanku; aku menunduk patuh ketika berbicara dan berhati-hati dalam bertindak; aku baru akan memperhatikan ekspresinya ketika aku sedang berbicara atau melakukan sesuatu, dan ketika aku tidak mengemban tugasku sebagaimana mestinya. Aku betul-betul hidup dalam kegelapan dan tidak dapat keluar dari dalamnya meskipun aku tahu bahwa keadaanku ini berbahaya. Di tengah penderitaan, aku berulang kali berdoa kepada Tuhan, kemudian aku berpikir: bicaralah dari hati ke hati dengan saudarimu, temukan titik terang. Namun, ketika sampai di depan pintunya, pikiranku berubah: apa yang akan dipikirkannya ketika kusampaikan hal ini kepadanya? Jangan-jangan dia akan mengatakan bahwa aku terlalu memikirkan hal yang sepele, bahwa aku sangat merepotkan dan sulit sekali ditangani? Baru saja berpikiran begitu, seakan-akan sudah kulihat tatapan sinis di matanya—sikap yang menghina itu. Sontak, keberanianku hilang begitu saja dan aku pun limbung, seolah-olah kejang tubuhku seluruhnya. Namun, sekali lagi perkataan Tuhan mendatangkan pencerahan batin: "Jika engkau memiliki banyak rahasia yang enggan engkau bagikan, jika engkau sama sekali menolak menyingkapkan rahasiamu—kesulitan-kesulitanmu—di depan orang lain untuk mencari jalan terang, maka Aku katakan bahwa engkau adalah seseorang yang tidak akan memperoleh keselamatan dengan mudah, dan yang tidak akan dengan mudah keluar dari kegelapan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tiga Peringatan"). Diam-diam aku menyemangati diri: jadilah pemberani, sederhana, dan terbuka. Jangan malu melakukan kebenaran! Namun, bersamaan dengan itu, ada perasaan sebaliknya yang menyentak diriku: jangan katakan apa-apa—orang lain mungkin berpikir bahwa engkau baik-baik saja. Jika engkau membicarakannya, mereka akan menganggapmu terlalu memikirkan hal yang sepele dan tidak akan lagi suka kepadamu. Ah, lebih baik diam, kalau begitu! Ketika aku kembali goyah, aku berpikir: menjadi orang jujur berarti tidak boleh malu dan takut! Kendati demikian, baru saja kuperoleh sedikit kekuatan, sudah muncul pula gagasan Iblis: kalau engkau membicarakan hal itu, orang lain akan tahu warna aslimu, dan engkau akan sengsara! Sekonyong-konyong hatiku bagai diremas-remas. Rasanya seperti dicengkeram dan ditarik ke sana kemari dalam pertempuran antara positif dan negatif, hitam dan putih. Aku tahu dengan jelas bahwa keenggananku untuk berbicara adalah hasrat untuk mempertahankan status yang berakar pada kesombongan. Akan tetapi, dengan cara ini, keadaanku tidak akan teratasi dan tidak ada manfaatnya pula untuk pekerjaanku. Satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalahku adalah mencari nasihat persekutuan, yang bukan saja berguna untuk pekerjaanku, melainkan juga sejalan dengan kehendak Tuhan. Namun, ketika muncul pikiran bahwa segera sesudah dia diberitahu, mungkin dia akan semakin meremehkanku, lagi-lagi hilanglah keberanianku untuk melakukan kebenaran. Aku merasa bahwa kalau aku membuka keburukanku sendiri, sepertinya pasti tamatlah riwayatku! Sejenak, aku merasa sangat kesal; perih sekali hatiku, bagai terbakar api. Mendadak air mataku berlinang dan aku hanya bisa berseru pasrah kepada Tuhan dalam hati.

Pada saat yang kritis itu, perkataan Tuhan sekali lagi terlintas dalam benak: "Mereka tidak seharusnya tanpa kebenaran, juga tidak boleh menyembunyikan kemunafikan dan ketidakbenaran—mereka harus berdiri teguh dalam pendirian yang benar. ... Orang-orang muda harus memiliki keberanian untuk tidak menyerah pada penindasan kekuatan kegelapan dan untuk mengubah makna keberadaan mereka" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman bagi Orang-Orang Muda dan Orang-Orang Tua"). Akhirnya, berkat perkataan Tuhan dapat kutenangkan hatiku: apa pun itu, tidak boleh aku menyerah lebih lama lagi pada ejekan Iblis! Tidak boleh aku memberontak lebih lama lagi terhadap Tuhan; aku harus mengabaikan diri sendiri dan melakukan kebenaran. Setelah membulatkan tekad untuk menemui saudariku tadi dan berbicara dari hati ke hati dengannya, hasilnya jauh melebihi harapanku. Bukan saja saudari itu tidak memandang rendah diriku, tetapi dia juga mengakui kerusakannya sendiri, merenungkan dan menyadari kekurangannya, dan meminta maaf kepadaku. Ia mengatakan bahwa di kemudian hari, bila menghadapi persoalan, kami harus saling mempersekutukan kebenaran agar memiliki pemahaman yang sama, memandang ketaatan terhadap kebenaran sebagai prinsip, saling belajar dari kekuatan masing-masing untuk mengatasi kekurangan kami sendiri, melakukan pekerjaan gereja bersama-sama dengan baik. Demikianlah, pertempuran tanpa senjata itu berakhir. masalah kami bisa teratasi, dan hatiku pun kembali plong. Ketika merenungkan pertempuran sengit dalam hati pada waktu itu, baru kusadari bahwa betapa serius, tetapi sia-sianya kepedulianku untuk menyelamatkan muka. Itulah bagian dari hidupku ketika masih berada dalam kegelapan, mendengar panggilan demi panggilan dari Tuhan, tetapi tidak sanggup membebaskan diri. Tentang kebenaran aku paham, tetapi melakukannya, aku tidak sanggup; memang, diriku telah dirusak Iblis!

Aku pun sungguh-sunguh mengalami bahwa melakukan kebenaran dan menjadi orang yang jujur tidaklah mudah. Setelah melewati pengalaman ini sajalah, aku memahami firman Tuhan: "Setiap kali orang melakukan kebenaran, atau menerapkan kasih mereka kepada Tuhan, ada peperangan besar, dan walaupun daging mereka tampak baik-baik saja, sebenarnya di lubuk hati mereka, peperangan antara hidup dan mati akan terus terjadi ...." Perkataan ini berbicara tentang rusaknya sifat umat manusia oleh karena begitu mendarah-dagingnya sifat-sifat iblis dalam diri manusia. Manusia terkurung dan terikat oleh sifat rusak itu, yang juga telah menjadi hidup kita. Ketika kita melakukan kebenaran, ketika kita mengabaikan hidup kedagingan kita, prosesnya sama seperti dilahirkan kembali, seperti mati dan dibangkitkan. Proses ini selain benar-benar merupakan pertandingan dan pertarungan hidup-mati, juga sangat menyakitkan. Apabila tidak benar-benar mengenal sifat kita sendiri dan tidak mau menderita atau menanggung risiko, kita sama sekali tidak dapat melakukan kebenaran. Dahulu, aku berpikir bahwa melakukan kebenaran itu mudah saja—alasannya karena aku tidak memiliki pemahaman tentang sifat-sifatku yang rusak dan tidak tahu sejauh mana kerusakannya. Nanti, aku mau mengenal diri lebih dalam melalui pengalaman, berikhtiar melakukan kebenaran dalam segala hal, dan mengabaikan diri sendiri!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Rasa Sakit yang Tak Terelakkan

Oleh Saudara Qiu Cheng, Tiongkok Saat berusia 47 tahun, penglihatanku mulai memburuk dengan cepat. Dokter bilang jika tak merawat mataku,...