Ujian Penyakit

12 Oktober 2020

Oleh Saudari Zhong Xin, Tiongkok

Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Perbuatan-perbuatan-Ku lebih banyak daripada butiran pasir di pantai, dan hikmat-Ku melampaui semua keturunan Salomo, tetapi manusia hanya menganggap-Ku sebagai tabib yang tak berarti dan guru manusia yang tak dikenal! Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya agar Aku dapat menyembuhkan mereka. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya agar Aku dapat menggunakan kuasa-Ku untuk mengusir roh-roh najis dari tubuh mereka, dan begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya supaya mereka dapat menerima damai dan sukacita dari-Ku. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya untuk menuntut lebih banyak kekayaan materi dari-Ku. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya untuk menjalani hidup ini dengan damai dan agar aman dan selamat di dunia yang akan datang. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku untuk menghindari penderitaan neraka dan menerima berkat-berkat surga. Begitu banyak orang percaya kepada-Ku hanya demi kenyamanan sementara, tetapi tidak berusaha memperoleh apa pun dari dunia yang akan datang. Saat Aku menjatuhkan murka-Ku ke atas manusia dan mengambil semua sukacita dan damai yang pernah mereka miliki, manusia menjadi bimbang. Saat Aku memberi kepada manusia penderitaan neraka dan menarik kembali berkat-berkat surga, rasa malu manusia berubah menjadi amarah. Saat manusia meminta-Ku untuk menyembuhkan mereka, Aku tidak memedulikan dan merasakan kebencian terhadap mereka; manusia meninggalkan-Ku untuk mencari cara pengobatan lewat perdukunan dan ilmu sihir. Saat Aku mengambil semua yang telah manusia tuntut dari-Ku, semua orang menghilang tanpa jejak. Maka dari itu, Aku berkata bahwa manusia beriman kepada-Ku karena Aku memberi terlalu banyak kasih karunia, dan ada terlalu banyak yang bisa didapatkan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Apa yang Kauketahui tentang Iman?"). Ketika membaca ini sebelumnya, aku hanya mengatakan bahwa semua yang Tuhan katakan di sini adalah fakta, tetapi aku tidak pernah benar-benar memahaminya. Aku berpikir bahwa karena aku sudah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, melepaskan pekerjaan dan keluargaku, mengorbankan diriku, dan banyak menderita untuk tugasku, aku tidak akan menyalahkan Tuhan atau mengkhianati-Nya saat menghadapi penderitaan dan kesehatan yang buruk. Namun, ketika aku mengalami ujian penyakit yang berat, aku salah paham dan menyalahkan Tuhan. Motivasiku agar diberkati dan membuat kesepakatan dengan Tuhan terungkap dengan sangat jelas. Baru saat itulah aku sepenuhnya yakin akan firman Tuhan yang mengungkap orang-orang, dan pandanganku tentang pengejaran dalam imanku mengalami perubahan.

Suatu hari pada bulan Juli 2018, aku menemukan benjolan kecil dan keras di payudara kiriku. Aku tidak terlalu memikirkannya dan berpikir obat antiradang akan menyelesaikannya. Namun, selama dua bulan berikutnya, benjolan itu makin buruk. Aku berkeringat pada malam hari dan tidak bertenaga, dan area di sekitar benjolan itu benar-benar sakit. Aku mulai bertanya-tanya apakah memang ada yang tidak beres, tetapi aku menghibur diriku lagi bahwa itu bukan masalah besar. Aku memiliki iman kepada Tuhan dan sibuk setiap hari di gereja melakukan tugasku. Aku pikir Tuhan akan melindungiku. Suatu malam, aku terbangun karena rasa sakit yang menusuk. Cairan kuning keluar dari payudaraku, dan aku tahu ada yang tidak beres. Aku dan suamiku bergegas ke rumah sakit untuk memeriksakannya. Hasilnya keluar: aku menderita kanker payudara. Jantungku berdetak kencang mendengar dokter mengatakan itu. "Kanker payudara?" pikirku. "Aku baru berusia 30 tahun lebih! Bagaimana mungkin?" Aku terus berkata pada diri sendiri, "Tidak mungkin. Ini tidak mungkin terjadi padaku. Aku orang yang percaya, dan aku telah melakukan tugasku di gereja selama bertahun-tahun. Tuhan akan menjaga dan melindungiku. Dokter pasti keliru." Aku sangat berharap itu tidak benar. Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku pulang dari rumah sakit hari itu. Suamiku melihat ekspresi bingung di wajahku dan mencoba menghiburku. Dia berkata, "Itu rumah sakit kecil dan dokternya tidak begitu ahli. Mereka bisa saja salah. Ayo periksa di rumah sakit besar." Aku merasakan secercah harapan ketika dia mengatakan itu. Sayangnya, dokter di rumah sakit besar mengonfirmasi diagnosis tersebut: Itu kanker payudara. Dia juga mengatakan bahwa kankernya sudah tahap pertengahan hingga akhir, dan bahwa aku harus dirawat dengan kemo dan operasi, kalau tidak, bisa mematikan. Pikiranku benar-benar kosong dan jantungku berdebar-debar. Aku berpikir, "Berapa besar biaya semua ini? Bagaimana jika aku mati di tengah kemo? Bagaimana keluargaku mengatasi semua utang itu?" Aku putus asa dan merasa sangat tidak berdaya.

Setelah kemoterapi putaran pertamaku, seluruh tubuhku didera rasa sakit. Aku tidak ingin melakukan apa pun dan selalu pusing. Baru setelah reaksi obat hilang beberapa hari kemudian aku mulai pulih. Aku percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, berkorban dan mengorbankan diri untuk tugasku. Aku selalu melakukan tugasku, dalam segala keadaan, dan tidak pernah melewatkan pertemuan. Aku selalu membantu menyelesaikan masalah saudara-saudariku. Aku telah bekerja sangat keras, dan untuk apa? Mengapa Tuhan tidak melindungiku? Sekarang aku tidak bisa melakukan tugas apa pun. Aku hampir berada di ambang kematian. Apakah Tuhan ingin menyingkirkan aku? Aku menjalani lima putaran kemoterapi lagi dan kemudian dioperasi. Bagaimana aku bisa mengatasinya? Selain semua rasa sakit dan penderitaan, jika aku mati, apakah itu berarti imanku selama bertahun-tahun sia-sia? Pikiran itu membuatku menangis. Aku benar-benar tersiksa selama beberapa hari itu. Aku membaca firman Tuhan tetapi tidak meresap, dan aku berhenti berdoa. Rohku sangat gelap dan aku makin jauh dari Tuhan.

Suatu hari, Saudari Li dari gereja datang menemuiku dan dengan ramah menanyakan kondisiku. Melihat aku kesakitan dan sangat sedih, dia memberiku persekutuan. Dia berkata, "Tuhan mengizinkan penyakit menimpa kita. Kita harus berdoa dan mencari lebih banyak dan Tuhan pasti akan menuntun kita untuk memahami kehendak-Nya. ..." Mendengar persekutuannya, hatiku tergerak. Mungkin Tuhan bukan ingin menyingkirkanku tetapi hanya ada sebuah pelajaran yang Dia ingin kupelajari! Setelah dia pergi, aku bersimpuh di hadapan Tuhan untuk berdoa, mengatakan, "Ya Tuhan, aku telah mengalami kesakitan sejak aku sakit, salah paham dan menyalahkan-Mu. Melalui saudariku yang telah mengingatkanku saat ini, sekarang aku tahu bahwa ada kehendak-Mu di balik penyakit ini, tetapi aku masih tidak tahu pelajaran apa yang harus kupelajari dalam situasi ini. Kumohon tuntunlah aku."

Setelah itu, aku bersimpuh di hadapan Tuhan dan berdoa kepada-Nya seperti ini setiap hari. Suatu hari, aku membaca firman Tuhan ini: "Masuk ke dalam ujian membuatmu merasa tidak memiliki kasih atau keyakinan, engkau kurang berdoa, dan tidak mampu menyanyikan lagu pujian, dan tanpa kausadari, di tengah semua ini engkau mulai mengenal dirimu sendiri. Tuhan memiliki banyak cara untuk menyempurnakan manusia. Dia menggunakan berbagai macam lingkungan untuk menangani watak rusak manusia, dan memakai bermacam hal untuk menyingkapkan manusia; suatu saat Dia menangani manusia, di saat lainnya Dia menyingkapkan manusia, menggali dan menyingkapkan berbagai 'misteri' di kedalaman hati manusia, dan menunjukkan kepada manusia natur dirinya dengan menyingkapkan banyak hal mengenai keadaannya. Tuhan menyempurnakan manusia melalui beragam cara—melalui penyingkapan, penanganan, pemurnian, dan hajaran—sehingga manusia bisa mengetahui bahwa Tuhan itu nyata" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mereka yang Berfokus pada Penerapan yang Dapat Disempurnakan"). Saat merenungkan firman Tuhan, akhirnya aku mulai memahami kehendak-Nya. Tuhan bekerja pada akhir zaman untuk menyempurnakan manusia dengan mengungkap watak kita yang rusak melalui segala jenis situasi, dan dengan menggunakan penghakiman dan wahyu dari firman-Nya untuk membuat kita memahami watak iblis kita, mencari dan menerapkan kebenaran, dan pada akhirnya watak kita yang rusak ditahirkan dan diubah. Aku memahami bahwa Tuhan mengizinkan aku sakit dan itu bukan untuk menyingkirkanku atau menyakitiku dengan sengaja, tetapi untuk menahirkan dan mengubahku. Aku tidak boleh salah memahami Tuhan atau terus terpuruk. Aku harus tunduk, mencari kebenaran dalam penyakitku, dan merenungi dan memahami diri sendiri. Setelah memahami kehendak Tuhan, aku tidak lagi merasa sedih atau kesakitan. Aku mengucapkan doa ketundukan kepada Tuhan.

Dan begitu aku selesai, selarik kalimat dari firman Tuhan tebersit di pikiran: "Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir ...." Aku buru-buru mencarinya di buku firman Tuhan dan menemukan bagian ini: "Engkau berharap bahwa imanmu kepada Tuhan tidak akan mendatangkan tantangan atau kesengsaraan, ataupun kesulitan sekecil apa pun. Engkau selalu mengejar hal-hal yang tidak berharga, dan tidak menghargai hidup, melainkan menempatkan pikiran yang terlalu muluk-muluk di atas kebenaran. Engkau sungguh tidak berharga! Engkau hidup seperti babi—apa bedanya antara engkau, babi, dan anjing? Bukankah mereka yang tidak mengejar kebenaran, melainkan mengasihi daging, adalah binatang buas? Bukankah mereka yang mati, tanpa roh, adalah mayat berjalan? Berapa banyak firman yang telah disampaikan di antara engkau sekalian? Apakah hanya sedikit pekerjaan yang dilakukan di antaramu? Berapa banyak yang telah Kuberikan di antaramu? Lalu mengapa engkau tidak mendapatkannya? Apa yang harus engkau keluhkan? Bukankah engkau tidak mendapatkan apa-apa karena engkau terlalu mengasihi daging? Dan bukankah ini karena pikiranmu yang terlalu muluk-muluk? Bukankah karena engkau terlalu bodoh? Jika engkau tidak mampu memperoleh berkat-berkat ini, dapatkah engkau menyalahkan Tuhan karena tidak menyelamatkanmu? Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Aku memberikan kehidupan manusia yang nyata kepadamu, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau tidak ada bedanya dari babi atau anjing? Babi tidak mengejar kehidupan manusia, mereka tidak berupaya supaya ditahirkan, dan mereka tidak mengerti makna hidup. Setiap hari, setelah makan sampai kenyang, mereka hanya tidur. Aku telah memberimu jalan yang benar, tetapi engkau belum mendapatkannya. Tanganmu kosong. Apakah engkau bersedia melanjutkan kehidupan ini, kehidupan seekor babi? Apa pentingnya orang-orang seperti itu hidup? Hidupmu hina dan tercela, engkau hidup di tengah-tengah kecemaran dan kecabulan, dan tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani memandang Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa? Jalan yang benar telah diberikan kepadamu, tetapi apakah pada akhirnya engkau dapat memperolehnya, itu tergantung pada pengejaran pribadimu sendiri" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman Tuhan mengungkap keinginanku untuk diberkati dalam imanku. Aku mengingat kembali tahun-tahunku dalam iman, ketika semuanya baik-baik saja di rumah, aku sehat, dan semuanya baik-baik saja, aku secara aktif terlibat dalam tugasku dan sepertinya memiliki energi yang tiada habisnya. Namun, begitu aku terkena kanker, aku menjadi negatif, salah paham dan menyalahkan Tuhan karena tidak melindungiku. Aku memanfaatkan pekerjaan yang telah aku lakukan dan berdebat dengan Tuhan. Aku bahkan menyesali pengorbananku bertahun-tahun. Aku hidup dalam keadaan menjauhi dan mengkhianati Tuhan. Ketika aku disingkapkan melalui sakit barulah aku menyadari bahwa aku belum melakukan tugasku dan berkorban untuk mengejar kebenaran atau melakukan tugas makhluk ciptaan, tetapi aku telah melakukan hal-hal itu untuk mendapatkan kedamaian dan berkat. Aku telah membuat kesepakatan dengan Tuhan untuk diberkati sebagai imbalan atas pengorbanan yang telah aku lakukan. Aku menginginkan segalanya dalam kehidupan ini dan kehidupan kekal di kehidupan selanjutnya. Sekarang aku menderita kanker, dan ketika kelihatannya aku akan mati dan aku tidak akan diberkati, aku menyalahkan Tuhan karena tidak adil—aku tidak punya kemanusiaan sama sekali. Aku memikirkan imanku selama bertahun-tahun. Aku telah menerima begitu banyak kasih karunia dan berkat dari Tuhan, banyak disiram dan didukung oleh kebenaran. Tuhan telah memberiku begitu banyak, tetapi aku tidak pernah berpikir untuk membalas kasih-Nya. Ketika sakit, aku tidak tunduk kepada Tuhan sama sekali. Aku justru salah paham dan menyalahkan-Nya. Aku benar-benar tak punya nurani dan akal sehat! Akhirnya, aku mengerti bahwa Tuhan telah mengizinkanku sakit untuk mengungkap dan menahirkan motivasiku untuk diberkati dalam imanku dan pandangan salahku tentang pengejaran, untuk membuatku fokus mengejar kebenaran dan mencari perubahan dalam watakku. Aku merasa sangat menyesal dan mencela diri sendiri setelah memahami niat baik Tuhan. Aku diam-diam membuat ketetapan ini: "Baik kesehatanku pulih atau tidak, aku tidak akan lagi membuat tuntutan yang tidak masuk akal kepada Tuhan. Aku hanya ingin menyerahkan hidup dan matiku di tangan Tuhan dan tunduk pada pengaturan-Nya." Aku merasa jauh lebih tenang setelah itu. Aku tidak cemas dan tertekan lagi, dan aku dapat menenangkan diri untuk membaca firman Tuhan, berdoa, dan mencari dengan Tuhan.

Setelah aku tunduk, melakukan kemo kembali tidak semenyakitkan seperti dulu. Meskipun aku masih merasa sedikit mual, semuanya baik-baik saja. Pasien-pasien lain terkejut dan iri. Dalam hati, aku tahu bahwa ini sepenuhnya atas rahmat dan perlindungan Tuhan. Aku merasa sangat bersyukur kepada Tuhan. Setelah beberapa putaran kemoterapi, tumor sebesar telur itu makin kecil. Rasanya tidak terlalu sakit dan tidak ada lagi cairan yang mengalir. Dokter mengatakan kesembuhanku berjalan baik, dan jika semuanya berjalan seperti itu setelah enam putaran kemoterapi, aku bahkan mungkin tidak perlu operasi. Aku senang sekali mendengarnya, dan terus bersyukur kepada Tuhan. Imanku kepada Tuhan makin bertumbuh dan aku berpikir jika aku merenung dan berusaha mengenal diriku dengan sungguh-sungguh, mungkin aku akan terus membaik tanpa perlu operasi.

Suatu hari pada bulan Maret, aku menjalani kemoterapi terakhir. Aku gugup sekaligus penuh harapan. Ketika sudah selesai, dokter mengatakan aku masih perlu operasi, kemudian dua putaran kemo lagi, dan kemudian beberapa kali radioterapi. Jantungku berdegup kencang dan pikiranku berdengung. Aku berpikir, "Bagaimana ini bisa terjadi? Aku sudah merenung seperti seharusnya dan memahami apa yang seharusnya. Kenapa sekarang aku tidak membaik? Ini operasi besar, dan selain bekas lukanya, kemo dan radioterapi yang aku butuhkan akan sangat menyakitkan. Aku tetap bisa mati ..." Aku merasa makin tidak bahagia dan seluruh tubuhku lemas. Aku mulai menangisi ketidakadilan semua itu. Malam setelah operasi, begitu efek obat bius hilang, rasa sakit akibat sayatannya hebat sekali sampai membuatku menangis. Aku bahkan tidak bisa bernapas dalam-dalam. Aku merasa sangat tidak berdaya dan teraniaya. Ini terlalu berat bagiku—kapan rasa sakitnya akan berakhir? Dalam penderitaanku, aku membaca firman Tuhan ini: "Bagi semua orang, pemurnian sungguh menyiksa, dan sangat sulit untuk diterima—tetapi, selama pemurnianlah Tuhan menjadikan watak-Nya yang adil dapat dipahami dengan jelas oleh manusia, dan membuat tuntutan-Nya terhadap manusia terbuka, dan memberikan lebih banyak pencerahan, dan lebih banyak pemangkasan dan penanganan yang nyata; lewat pembandingan antara fakta dan kebenaran, Dia memberi kepada manusia pengetahuan yang lebih besar tentang dirinya sendiri dan tentang kebenaran, dan memberi kepada manusia pemahaman yang lebih besar tentang kehendak Tuhan, sehingga manusia dapat memiliki kasih akan Tuhan yang lebih benar dan lebih murni. Itulah tujuan-tujuan Tuhan dalam menjalankan pemurnian. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh Tuhan dalam diri manusia memiliki tujuan dan makna penting; Tuhan tidak melakukan pekerjaan yang tidak berarti, dan Dia juga tidak melakukan pekerjaan yang tidak bermanfaat bagi manusia. Pemurnian bukan berarti menyingkirkan manusia dari hadapan Tuhan, dan juga bukan berarti menghancurkan mereka di neraka. Sebaliknya, pemurnian berarti mengubah watak manusia selama pemurnian, mengubah niat-niatnya, pandangan-pandangan lamanya, mengubah kasihnya kepada Tuhan, dan mengubah seluruh hidupnya. Pemurnian merupakan ujian nyata manusia, dan suatu bentuk pelatihan yang nyata, dan hanya selama pemurnianlah kasih manusia dapat memenuhi fungsinya yang inheren" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya dengan Mengalami Pemurnian, Manusia Dapat Memiliki Kasih Sejati"). Setiap firman Tuhan memasuki hatiku dan aku merasa sangat tersentuh. Aku tahu bahwa kehendak Tuhan mengizinkanku mengalami sakit adalah untuk membuatku mengembangkan pengenalan diri yang benar, untuk memungkinkanku mencari kebenaran, dan agar watakku yang rusak ditahirkan dan diubah. Sebelumnya, meskipun menyadari aku tidak seharusnya mengejar berkat dalam imanku, aku belum sepenuhnya melepaskan motivasiku untuk diberkati. Aku masih menyimpan tuntutan besar kepada Tuhan di dalam hatiku. Kukira, karena sudah merenungi diriku dan sedikit mengenal diriku sendiri, Tuhan seharusnya mengambil penyakitku. Perenungan diri dan pengenalan diriku dinodai dengan motif pribadi dan semua itu hanya menutupi keinginanku untuk membuat kesepakatan dengan Tuhan. Aku belum bertobat sama sekali! Tuhan telah memeriksa pikiranku dan menggunakan penyakitku untuk mengungkapku, untuk membuatku merenungi diriku lebih jauh dan benar-benar bertobat. Inilah kasih Tuhan untukku. Setelah itu, aku berdoa kepada Tuhan, berkata, "Ya Tuhan, sekarang aku mengerti kehendak-Mu. Aku ingin melupakan semua pilihan dan permintaan pribadi dan mencari kebenaran dalam situasi yang telah Kau atur. Kumohon bimbinglah aku."

Beberapa hari kemudian, aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Ketika orang mulai percaya kepada Tuhan, siapa di antara mereka yang tidak memiliki tujuan, motivasi, dan ambisi mereka sendiri? Meskipun satu bagian dari mereka percaya akan keberadaan Tuhan, dan telah melihat keberadaan Tuhan, kepercayaan mereka kepada Tuhan masih mengandung motivasi tersebut, dan tujuan utama mereka percaya kepada Tuhan adalah untuk menerima berkat-Nya dan hal-hal yang mereka inginkan. ... Setiap orang selalu membuat perhitungan semacam itu dalam hati mereka, dan mereka mengajukan tuntutan kepada Tuhan yang mengandung motivasi, ambisi, dan mentalitas bertransaksi mereka. Dengan kata lain, dalam hatinya, manusia terus-menerus menguji Tuhan, selalu menyusun rencana tentang Tuhan, dan selalu memperdebatkan kasus untuk tujuan pribadinya sendiri dengan Tuhan, dan mencoba untuk mengeluarkan pernyataan dari Tuhan, melihat apakah Tuhan dapat memberikan kepadanya apa yang dia inginkan atau tidak. Pada saat yang sama ketika mengejar Tuhan, manusia tidak memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan. Manusia telah selalu berusaha membuat kesepakatan dengan Tuhan, mengajukan tuntutan kepada-Nya tanpa henti, dan bahkan menekan-Nya di setiap langkah, berusaha meminta lebih banyak setelah diberi sedikit, seperti kata pepatah: diberi hati minta jantung. Pada saat bersamaan saat mencoba bertransaksi dengan Tuhan, manusia juga berdebat dengan-Nya, dan bahkan ada orang-orang yang, ketika ujian menimpa mereka atau mereka mendapati diri mereka berada dalam situasi tertentu, sering kali menjadi lemah, pasif serta kendur dalam pekerjaan mereka, dan penuh keluhan akan Tuhan. Dari waktu saat manusia pertama kali mulai percaya kepada Tuhan, dia telah menganggap Tuhan berlimpah ruah, sama seperti pisau Swiss Army, dan dia menganggap dirinya sendiri sebagai kreditur terbesar Tuhan, seolah-olah berusaha mendapatkan berkat dan janji dari Tuhan adalah hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, sementara tanggung jawab Tuhan adalah melindungi dan memelihara manusia, serta membekalinya. Seperti inilah pemahaman dasar tentang 'percaya kepada Tuhan' dari semua orang yang percaya kepada Tuhan, dan seperti inilah pemahaman terdalam mereka tentang konsep kepercayaan kepada Tuhan. Dari hakikat sifat manusia hingga pengejaran subjektifnya, tidak ada satu pun yang berhubungan dengan sikap takut akan Tuhan. Tujuan manusia percaya kepada Tuhan tidak mungkin ada kaitannya dengan penyembahan kepada Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak pernah mempertimbangkan atau memahami bahwa kepercayaan kepada Tuhan membutuhkan takut akan Tuhan dan menyembah Tuhan. Dalam kondisi seperti itu, hakikat manusia mudah terlihat. Apakah hakikat ini? Hati manusia itu jahat, menyimpan pengkhianatan dan kecurangan, tidak mencintai keadilan dan kebenaran, dan hal yang positif, dan hati manusia hina dan serakah. Hati manusia benar-benar tertutup bagi Tuhan; manusia sama sekali tidak memberikan hatinya kepada Tuhan. Tuhan tidak pernah melihat hati manusia yang sejati, dan Dia juga tidak pernah disembah oleh manusia" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Aku merasa sangat malu saat membacanya. Firman Tuhan mengungkapkan keadaanku yang sebenarnya. Aku percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun dan selalu ingin diberkati, selalu membuat kesepakatan dengan Tuhan. Aku merasakan bahwa, karena aku percaya kepada Tuhan dan selalu melakukan tugasku dan mengorbankan diriku di gereja, Tuhan seharusnya menjagaku dan melindungiku, serta menjauhkanku dari semua penyakit dan bahaya. Aku pikir inilah yang benar dan pantas. Ketika tahu aku menderita kanker, aku segera mulai mengeluh kepada Tuhan dan ingin memanfaatkan tahun-tahun penderitaan dan pengorbananku untuk berdebat dengan-Nya. Ketika mulai membaik, aku berkata, "Syukur kepada Tuhan," dengan mulutku, tetapi dalam hatiku, aku menginginkan yang lebih. Aku ingin Tuhan menghilangkan penyakitku sepenuhnya agar aku tidak perlu menderita lagi. Ketika keinginan yang berlebihan itu tidak terpenuhi, natur iblisku mencuat lagi, dan sekali lagi aku menyalahkan Tuhan dan mencoba berdebat dengan-Nya. Perilakuku sama seperti yang Tuhan nyatakan dalam firman-Nya: "Mereka yang tidak memiliki kemanusiaan tidak mampu bersungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Ketika situasinya aman dan terjamin, atau ketika mereka bisa mendapatkan keuntungan, mereka taat sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi begitu keinginan mereka tidak terkabul atau akhirnya ditolak, mereka langsung memberontak. Bahkan hanya dalam waktu semalam, mereka bisa berubah dari sosok manusia yang penuh senyum dan 'baik hati' menjadi pembunuh berwajah buruk yang kejam, yang tiba-tiba memperlakukan orang yang memberi kebaikan kepada mereka di masa lalu sebagai musuh bebuyutan, tanpa sebab atau alasan. Jika setan-setan ini tidak diusir keluar, setan-setan yang bisa membunuh tanpa ragu ini, bukankah mereka akan menjadi bahaya yang tersembunyi?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan Tuhan dan Penerapan Manusia"). Aku hancur lebur. Meskipun sudah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, aku tidak menyembah atau tunduk kepada-Nya sebagaimana mestinya. Sebaliknya, aku memperlakukan-Nya seperti dokter yang ampuh, seperti perlindungan. Aku menggunakan Tuhan untuk mencapai tujuanku sendiri, mencoba mendapatkan kedamaian dalam kehidupan ini dan berkat masa depan dari-Nya. Aku melihat bahwa imanku kepada Tuhan tidak lain adalah pembuatan kesepakatan yang memalukan dan aku telah menggunakan Tuhan untuk mendapatkan kasih karunia dan berkat dari-Nya. Bukankah aku telah menipu dan menentang Tuhan? Aku melihat betapa egois dan culasnya diriku, tanpa sedikit pun perikemanusiaan, hanya hidup dalam watak iblis. Betapa Tuhan pasti jijik dan benci denganku!

Aku kemudian membaca ini dalam firman Tuhan: "Ayub tidak bernegosiasi dengan Tuhan, dan tidak mengajukan permintaan atau tuntutan kepada Tuhan. Dia memuji nama Tuhan karena kuasa dan otoritas Tuhan yang luar biasa dalam mengatur segala sesuatu, dan itu tidak bergantung pada apakah dia mendapatkan berkat atau ditimpa oleh bencana. Dia percaya bahwa terlepas dari apakah Tuhan memberkati orang atau mendatangkan bencana atas mereka, kuasa dan otoritas Tuhan tidak akan berubah, sehingga, bagaimana pun keadaan seseorang, nama Tuhan harus dipuji. Orang tersebut diberkati oleh Tuhan karena kedaulatan Tuhan, dan saat kemalangan menimpa manusia, itu juga terjadi karena kedaulatan Tuhan. Kuasa dan otoritas Tuhan berkuasa dan mengatur segala sesuatu tentang manusia; perubahan yang tak terduga pada kekayaan manusia adalah perwujudan dari kuasa dan otoritas Tuhan, dan apa pun sudut pandang seseorang, nama Tuhan harus dipuji. Inilah yang dialami oleh Ayub dan yang semakin diketahuinya selama tahun-tahun hidupnya. Seluruh pikiran dan tindakan Ayub sampai ke telinga Tuhan dan sampai di hadapan Tuhan, dan dipandang penting oleh Tuhan. Tuhan menghargai pengetahuan Ayub ini, dan menghargai Ayub karena memiliki hati seperti itu. Hati seperti ini senantiasa menantikan perintah Tuhan, dan di segala tempat, serta kapan dan di mana pun, hati seperti ini menyambut apa pun yang terjadi pada dirinya. Ayub tidak mengajukan tuntutan apa pun kepada Tuhan. Yang dia tuntut dari dirinya sendiri adalah menunggu, menerima, menghadapi, dan menaati seluruh pengaturan yang berasal dari Tuhan; Ayub percaya ini adalah tugasnya, dan itulah yang justru diinginkan oleh Tuhan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Aku merasa sangat tersentuh saat merenungkan firman Tuhan tersebut. Aku berpikir, "Tuhan adalah Pencipta. Tuhan dapat melimpahkan kasih karunia dan berkat kepada kita, Dia dapat menghakimi, menghajar, menguji, dan memurnikan kita. Tidak bisakah Tuhan memberi kita ujian hanya karena Dia mengasihi kita?" Aku memikirkan Ayub. Tuhan melimpahkan kekayaan besar kepadanya dan dia bersyukur dan memuja-Nya, tetapi dia tidak menginginkan kekayaan materi. Ketika Tuhan mengambil segalanya darinya, dia masih bisa memuji nama Tuhan melalui ujiannya, dengan mengatakan, "Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?" (Ayub 2:10). Ayub tahu bahwa semua yang dia miliki berasal dari Tuhan dan bahwa Tuhan itu benar, baik Tuhan memberi atau mengambil sesuatu darinya. Iman Ayub kepada Tuhan tidak dinodai oleh motif pribadi dan dia tidak memikirkan apakah dia akan diberkati atau menghadapi bencana. Dia tidak mengeluh apa pun yang Tuhan lakukan. Dia mampu mengambil tempatnya sebagai makhluk ciptaan untuk menyembah dan tunduk kepada Tuhan. Melihat kemanusiaan dan nalar Ayub, aku benar-benar malu. Aku melihat semua yang aku miliki. Tuhan telah memberikan semuanya kepadaku, bahkan napasku. Namun, aku sama sekali tidak bersyukur, malah menyalahkan Tuhan ketika aku sakit. Aku tidak punya nurani atau nalar apa pun! Aku percaya pada Tuhan tetapi tidak mengenal-Nya, dan aku tidak tahu tempatku yang tepat di hadapan-Nya atau bagaimana aku harus tunduk kepada Sang Pencipta. Percaya kepada Tuhan dengan gagasan, imajinasi, dan ide-ideku tentang membuat kesepakatan, aku mengeluh kepada Tuhan dan menentang-Nya saat menghadapi penyakit. Meski begitu, aku selalu menginginkan berkat dan kasih karunia dari Tuhan, serta ingin masuk ke kerajaan Tuhan. Aku benar-benar tidak tahu malu! Aku melihat bahwa, meskipun aku mati saat itu juga, itu akan menjadi kebenaran Tuhan atas pemberontakan dan kerusakanku. Aku menemukan jalan penerapan dalam pengalaman Ayub. Selama apa pun aku akan sakit, atau apakah aku membaik atau tidak, Aku hanya ingin tunduk pada aturan dan penataan Tuhan. Inilah nalar yang seharusnya kumiliki sebagai makhluk ciptaan. Pikiran ini membuatku merasa sangat lepas.

Sudah waktunya radioterapi sebelum aku menyadarinya. Pasien kanker lainnya mengatakan radioterapi sangat buruk bagi tubuh dan itu akan memanggang dagingku. Mereka bilang aku akan pusing dan mual setiap saat, dan aku tidak akan bisa mengecap apa pun. Ketika mendengar semua ini, aku mulai meminta Tuhan untuk membantuku keluar dari situasi ini lagi, tetapi segera aku menyadari bahwa keadaanku salah dan berdoa kepada Tuhan. Beberapa baris dari nyanyian pujian firman Tuhan kemudian tebersit di benakku: "Karena engkau diciptakan, engkau harus menaati Tuhan yang menciptakanmu, karena engkau pada dasarnya, tidak memiliki kuasa atas dirimu sendiri, dan tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan nasibmu sendiri. Karena engkau seorang yang percaya kepada Tuhan, engkau harus mengejar kekudusan dan perubahan" ("Apa yang Harus Dikejar Orang yang Percaya kepada Tuhan" dalam "Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru"). Aku mengerti bahwa lingkungan ini diatur sebagai ujian Tuhan bagiku. Aku tidak bisa menuntut Tuhan tanpa nalar dan mengecewakan hati-Nya. Aku tahu aku harus tunduk pada penataan-Nya. Setelah aku tunduk, walaupun aku harus menjalani radioterapi setiap hari dan tubuhku sakit di beberapa tempat, itu tidak seburuk yang dikatakan pasien lain. Aku tahu Tuhan sedang berbelas kasih dan merawatku. Selesai aku menjalani radioterapi, fisikku pulih sangat cepat. Aku terlihat dan merasa sangat sehat. Saudara-saudari di gereja mengatakan aku sama sekali tidak terlihat seperti pasien kanker. Beberapa waktu kemudian, aku mulai melakukan tugasku lagi. Imanku kepada Tuhan tumbuh melalui pengalaman ini dan aku mulai menghargai kesempatan untuk melakukan tugasku lebih banyak lagi.

Sudah hampir 2 tahun sejak saat itu, tetapi setiap kali aku mengingat kembali sepuluh bulan ketika aku sakit, rasanya seperti baru terjadi kemarin. Meskipun dagingku sedikit menderita, aku mulai memahami motivasiku demi berkat dan pandanganku yang salah tentang apa yang harus dikejar. Aku tahu sekarang bahwa aku harus mengejar kebenaran dan berusaha menaati Tuhan dengan imanku. Baik aku diberkati atau aku berhadapan dengan bencana, aku harus selalu tunduk pada pengaturan, aturan, dan penataan Tuhan. Inilah akal sehat yang seharusnya dimiliki oleh makhluk ciptaan. Aku tidak akan pernah bisa mendapatkan semua ini jika segala sesuatu dalam hidup berjalan lancar. Inilah kekayaan hidup yang diberikan Tuhan kepadaku. Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa!

Sebelumnya: Melaporkan atau Tidak

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Setelah Kematian Putraku

Oleh Saudari Wang Li, Tiongkok Suatu hari pada Juni 2014, putriku tiba-tiba menelepon dan mengatakan putraku tersengat listrik saat...