Aku Dapat Menghadapi Kekuranganku dengan Tenang

31 Mei 2024

Oleh Saudari Zhao Chen, Tiongkok

Sepanjang ingatanku, aku selalu tergagap ketika berbicara. Biasanya tidak terlalu parah, tetapi aku akan gugup dan mulai tergagap saat berbicara setiap kali ada banyak orang di sekitarku. Ketika orang tuaku melihat bahwa aku tidak lancar berbicara, mereka berkata, "Tidak bisakah kau bicara lebih lambat? Tidak ada yang mencoba memotong pembicaraanmu." Ini melukai harga diriku, sehingga aku tidak ingin berbicara terlalu banyak lagi. Setelah mulai bersekolah, aku kembali mengalami hal yang sama. Ketika guru mengajukan pertanyaan dan menyuruhku menjawabnya, karena gugup, aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang seharusnya bisa kujawab, dan kegagapanku menjadi semakin parah. Hal ini menyebabkan para siswa lain meniru cara bicaraku. Ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku menjadi ketua kelas. Suatu ketika, aku melihat guru telah tiba. Aku merasa gugup, dan ketika aku meminta semua orang untuk berdiri, aku tergagap lagi. Setelah mendengarnya, guru dan semua teman sekelasku tertawa terbahak-bahak. Aku merasa seperti tidak punya tempat untuk bersembunyi, dan aku ingin sekali mencari lubang untuk kumasuki. Karena perasaan rendah diri, aku hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan hampir tidak berbicara sama sekali. Setelah aku mulai percaya kepada Tuhan, saudara-saudari melihat bahwa aku memiliki masalah kegagapan dan tidak banyak bersekutu, jadi mereka menyemangatiku dengan berkata, "Jangan khawatirkan kegagapanmu. Bicaranya pelan-pelan saja sedikit; tidak apa-apa selama kami bisa mengerti." Dengan dorongan dari saudara-saudari, aku mulai berlatih bersekutu. Perlahan-lahan, aku semakin akrab dengan saudara-saudari dan tidak terlalu gugup saat berbicara. Pada saat itu, aku merasakan kebebasan dan kemerdekaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Namun, aku memperhatikan bahwa ketika berkumpul dan bersekutu, saudara-saudari sering bertanya kepadaku, "Apa yang baru saja kau katakan? Aku tidak mengerti. Bisakah kau ulangi sekali lagi?" Saat hal itu terjadi beberapa kali, awalnya aku tidak terlalu menanggapinya, tetapi mendengar mereka sering mengatakan hal ini, aku menjadi takut mereka akan meremehkanku, mereka akan mengatakan bahwa aku sudah dewasa tetapi masih gagap, dan bahwa aku bahkan tidak bisa berbicara dengan jelas. Aku menjadi sangat gugup ketika bersekutu, dan akibatnya, kegagapanku menjadi semakin parah. Aku merasa sangat malu, dan aku khawatir saudara-saudari akan berpikir bahwa aku tidak berguna, bahwa aku adalah sampah yang tidak ada gunanya. Jadi setelah itu, aku tidak lagi mau berbicara saat aku pergi ke pertemuan. Aku takut saudara-saudari akan mengatakan bahwa aku tidak berbicara dengan jelas, dan mereka tidak akan memahamiku. Suatu kali, ketika kami berkumpul dan makan serta minum firman Tuhan, aku memperoleh sedikit pengetahuan dan ingin bersekutu, tetapi begitu aku teringat akan kegagapanku, ketika kata-kata mencapai bibirku, aku tidak berani bersekutu. Rasanya seperti aku adalah makhluk asing. Saudara-saudari dapat mengucapkan kata-kata mereka dengan jelas, tetapi bagaimana denganku? Aku bahkan tidak bisa berbicara dengan jelas; apakah Tuhan masih menginginkan orang seperti ini? Lambat laun, aku semakin tidak ingin berbicara selama pertemuan. Sebelumnya, aku mendapatkan terang dari makan dan minum firman Tuhan, tetapi sekarang aku tidak mempersekutukannya sama sekali. Pertemuan-pertemuan berjalan begitu lambat, dan aku tidak mendapatkan manfaat darinya atau menikmatinya. Setiap menghadiri pertemuan rasanya seperti aku sedang berdiri di atas pijakan tempat eksekusi. Selama pertemuan, aku tidak bersekutu kecuali jika terpaksa, dan jika aku benar-benar tidak bisa menghindar, aku hanya akan bersekutu dengan enggan melalui beberapa patah kata. Aku merasa sangat tertekan dan menderita, dan aku bahkan mengeluh dan salah paham kepada Tuhan, kupikir, "Mengapa orang lain berbicara dengan begitu jelas dan lancar, sementara aku tidak hanya tidak lancar berbicara, tetapi juga gagap? Bagaimana caranya aku bisa berbicara dengan lancar seperti saudara-saudari yang lain agar orang lain tidak mengolok-olokku?"

Kemudian, dalam pemilihan gereja, saudara-saudari memilihku untuk menjadi pemimpin. Aku berpikir dalam hati, "Jika aku menjalankan tugas kepemimpinan, aku akan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Bukankah itu artinya akan ada lebih banyak saudara-saudari yang tahu tentang masalah kegagapanku? Lupakan saja, aku tidak bisa melakukannya; aku tidak ingin terus mempermalukan diriku sendiri." Karena itu, aku menolak tugas tersebut. Kemudian, pemimpinku bersekutu denganku, dan akhirnya dengan berat hati aku pun setuju. Namun, karena kegagapanku, aku selalu merasa bahwa aku lebih rendah dibandingkan saudara-saudari, dan aku hidup di dalam kenegatifan, tidak mampu melepaskan diri. Setiap hari, aku merasa lesu seperti seorang pemalas. Aku tidak bisa mengerahkan tenaga selama pertemuan, dan aku enggan untuk bersekutu. Terkadang, ketika saudara-saudari mengalami kesulitan, di dalam hatiku aku tahu bagaimana cara mereka dapat menyelesaikannya, tetapi aku takut aku akan mulai terbata-bata saat berbicara dan mereka akan meremehkanku, jadi aku tidak ingin bersekutu. Aku hanya memberi tahu saudari yang bekerja sama denganku tentang masalah-masalah itu dan meminta dia yang menyelesaikannya. Seorang saudari memperhatikan bahwa aku tidak bersekutu dalam pertemuan dan bertanya kepadaku apa yang salah, dan aku memberitahunya tentang keadaanku yang merasa rendah diri karena gagap. Saudari itu menyemangatiku dengan berkata, "Setiap orang memiliki kekurangannya masing-masing, tetapi itu tidak memengaruhi pengejaran kita akan kebenaran. Kegagapanmu disebabkan oleh kegugupan. Kau harus lebih mengandalkan Tuhan ketika berbicara, dan jangan cemas. Jika kau berbicara sedikit lebih lambat, saudara-saudari pasti bisa mengerti." Mendengar kata-kata saudari itu, aku merasa sedikit lebih terhibur. Tuhan telah memakai saudari itu untuk menolongku, dan aku tidak boleh terus berpikiran negatif karena kegagapanku. Aku bersedia mengubah keadaanku dan menghadapi kekuranganku dengan baik.

Kemudian, saudari-saudari lain juga bersekutu denganku. Aku menyadari bahwa aku gugup saat berinteraksi dengan orang lain karena aku takut orang akan mengatakan bahwa aku payah dalam bersekutu. Ini semua disebabkan karena aku terlalu khawatir akan kehilangan muka. Aku membawa keadaanku ke hadapan Tuhan dan berdoa, memohon kepada-Nya untuk membimbingku memahami masalahku ini. Suatu hari, dalam saat teduhku, aku membaca suatu bagian firman Tuhan: "Bukannya mencari kebenaran, kebanyakan orang memiliki agenda picik mereka sendiri. Kepentingan, reputasi, dan tempat atau kedudukan mereka di benak orang lain sangatlah penting bagi mereka. Hanya hal-hal inilah yang mereka hargai. Mereka menggenggam erat hal-hal ini dan menganggapnya sebagai hidup mereka. Dan bagaimana hal-hal ini dipandang atau diperlakukan oleh Tuhan, itu dianggap kurang penting; untuk saat ini, mereka mengabaikan hal itu; untuk saat ini, mereka hanya memikirkan apakah mereka adalah pemimpin kelompok atau bukan, apakah orang lain menghormati mereka, apakah perkataan mereka berbobot. Perhatian utama mereka adalah menduduki posisi tersebut. Ketika berada dalam kelompok, hampir semua orang mencari kedudukan dan peluang seperti ini. Jika mereka sangat berbakat, tentu saja mereka ingin menjadi yang terbaik; jika mereka memiliki kemampuan yang biasa-biasa saja, mereka tetap ingin memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam kelompok tersebut; dan jika mereka memiliki kedudukan yang rendah dalam kelompok, karena memiliki kualitas dan kemampuan rata-rata, mereka juga ingin orang lain menghormati mereka, mereka tidak mau orang lain memandang rendah diri mereka. Reputasi dan martabat orang-orang ini adalah batas minimum yang harus mereka miliki: mereka harus memegang erat hal-hal ini. Mereka boleh saja tidak memiliki integritas dan tidak mendapatkan perkenanan atau penerimaan Tuhan, tetapi mereka sama sekali tidak boleh kehilangan rasa hormat, status, atau harga diri yang telah mereka bangun di benak orang-orang—yang merupakan watak Iblis. Namun, kebanyakan orang tidak memiliki kesadaran akan hal ini. Keyakinan mereka adalah, mereka harus memegang erat reputasi ini sampai akhir. Mereka tidak menyadari bahwa hanya jika hal-hal yang sia-sia dan dangkal ini dilepaskan dan dikesampingkan sepenuhnya, barulah mereka akan menjadi manusia sejati. Jika orang mempertahankan hal-hal yang seharusnya dibuang ini sebagai hidup mereka, mereka akan kehilangan hidup mereka. Mereka tidak tahu apa yang dipertaruhkan. Jadi, ketika mereka bertindak, mereka selalu menyembunyikan sesuatu, mereka selalu berusaha melindungi reputasi dan status mereka sendiri, mereka mengutamakan hal-hal ini, berbicara hanya untuk tujuan mereka sendiri, untuk pembelaan palsu mereka sendiri. Segala sesuatu yang mereka lakukan adalah untuk diri mereka sendiri. Mereka bergegas melakukan hal-hal mulia, membiarkan semua orang tahu bahwa mereka adalah bagian dari hal tersebut. Sebenarnya hal itu tidak ada kaitannya dengan mereka, tetapi mereka tidak pernah mau berada di balik layar, mereka selalu takut orang lain memandang rendah diri mereka, mereka selalu takut orang lain mengatakan bahwa mereka bukan apa-apa, bahwa mereka tidak mampu melakukan apa pun, bahwa mereka tidak memiliki keterampilan. Bukankah semua ini dikendalikan oleh watak jahat mereka? Jika engkau mampu melepaskan hal-hal seperti reputasi dan status, engkau akan jauh lebih tenang dan bebas; engkau akan mulai menjejakkan kaki di jalan untuk menjadi orang yang jujur. Namun bagi banyak orang, hal ini tidak mudah untuk dicapai. Saat kamera muncul, misalnya, orang berebut maju ke depan; mereka suka wajah mereka disorot kamera, semakin banyak disorot kamera semakin baik; mereka takut tidak mendapatkan sorotan kamera yang cukup, dan akan membayar berapa pun harganya untuk kesempatan mendapatkannya. Dan bukankah semua ini dikendalikan oleh watak jahat mereka? Semua ini adalah watak jahat mereka. Memangnya kenapa jika engkau disorot kamera? Memangnya kenapa jika orang-orang mengagumimu? Memangnya kenapa jika mereka memujamu? Apakah semua ini membuktikan bahwa engkau memiliki kenyataan kebenaran? Tak satu pun dari hal ini yang bernilai. Ketika engkau mampu mengatasi hal-hal ini—ketika engkau menjadi acuh tak acuh terhadapnya, dan tidak lagi merasa semua itu penting, ketika reputasi, kesombongan, status, dan kekaguman orang tidak lagi mengendalikan pemikiran dan perilakumu, dan juga tidak mengendalikan bagaimana engkau melaksanakan tugasmu—maka pelaksanaan tugasmu akan menjadi semakin efektif dan semakin murni" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Setelah mengetahui apa yang disingkapkan Tuhan, aku memahami bahwa terlepas dari kualitas mereka, semua orang ingin mendapatkan tempat di hati orang lain dan tidak ingin diremehkan oleh orang lain. Meskipun aku memiliki masalah kegagapan, aku tidak ingin orang meremehkanku. Karena aku tidak berbicara dengan jelas, ketika saudara-saudari bertanya kepadaku apa yang kukatakan selama persekutuan, kupikir mereka sedang meremehkanku. Ini membuatku merasa rendah diri, dan aku bahkan menjadi sangat negatif sehingga aku tidak lagi ingin melaksanakan tugasku. Aku sangat khawatir akan kehilangan muka! Sejak masa kecilku, dengan pengasuhan orang tuaku dan pendidikan di sekolah, racun iblis "Seperti pohon membutuhkan kulitnya untuk hidup, manusia membutuhkan martabat dan nama baiknya" dan "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama" telah mengakar dalam hatiku. Hal ini membuatku secara keliru percaya bahwa orang harus menjaga harga diri mereka dan tidak boleh membiarkan orang lain meremehkan mereka. Ketika aku berinteraksi dengan orang-orang tidak percaya, mereka menertawakanku karena kegagapanku. Supaya tidak diremehkan oleh orang lain, aku tidak keluar rumah atau berbicara kecuali karena terpaksa. Kalaupun aku berbicara, hanya beberapa kalimat saja, atau aku hanya akan tersenyum dan mengangguk. Jika aku mulai gagap saat berinteraksi dengan saudara-saudari, aku akan berprasangka dalam hati, berpikir, "Apa yang akan mereka pikirkan tentang aku? Apa yang akan mereka katakan tentang aku?" Aku selalu berpikir bahwa semua orang meremehkanku, dan aku hidup dengan penderitaan berat dan tertekan. Saat makan dan minum firman Tuhan, aku memperoleh pemahaman dan pengertian, tetapi aku takut aku akan tergagap saat bersekutu dan saudara-saudari akan meremehkanku, jadi aku tidak bersekutu. Selain itu, tanpa alasan, aku menuntut agar Tuhan menghilangkan masalah kegagapanku, dan bahkan menggunakannya sebagai alasan untuk tidak melaksanakan tugasku. Ketika saudara-saudari mengalami kesulitan, aku tidak bersekutu dan membantu mereka menyelesaikannya; aku tidak memenuhi tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang makhluk ciptaan. Aku tidak punya alasan apa pun; aku menentang dan memberontak terhadap Tuhan. Sekalipun orang lain menganggapku hebat, dan aku menikmati reputasi yang cemerlang, lantas apa yang akan terjadi? Hal itu tidak akan membawa perubahan pada watak hidupku, dan hanya akan membuatku khawatir tentang bagaimana hal-hal itu memengaruhi martabatku serta membuatku menjauh dari Tuhan. Pada akhirnya, Tuhan akan membenciku, menolakku, dan menyingkirkanku. Aku menyadari bahwa melindungi harga diriku akan mendatangkan kerugian besar bagiku, aku tidak lagi memikirkan apa yang dipikirkan saudara-saudari tentangku. Aku hanya memikirkan bagaimana cara melaksanakan tugasku dengan baik.

Suatu hari, aku membaca sebuah bagian firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Dalam situasi tertentu, ada masalah yang tak mampu kauatasi, seperti mudah merasa gugup saat berbicara kepada orang lain. Engkau mungkin memiliki ide atau sudut pandangmu sendiri saat menghadapi situasi tertentu, tetapi engkau tidak mampu mengungkapkannya dengan jelas. Engkau merasa sangat gugup ketika ada banyak orang yang hadir; bicaramu tidak jelas dan bibirmu gemetar. Beberapa orang di antaramu bahkan menjadi gagap; ada juga orang yang menjadi tak mampu berkata-kata saat ada lawan jenis, sama sekali tidak tahu apa yang harus mereka katakan dan lakukan. Apakah situasi seperti itu mudah diatasi? (Tidak.) Setidaknya dalam jangka pendek, tidak mudah bagimu untuk mengatasi masalah ini karena ini merupakan bagian dari kondisi bawaanmu. Jika setelah beberapa bulan berlatih, engkau masih merasa gugup, jika kegugupan itu berubah menjadi tekanan, yang berdampak negatif terhadapmu sehingga engkau takut berbicara, bertemu orang, menghadiri persekutuan, atau menyampaikan khotbah, dan ketakutan tersebut mampu melumpuhkanmu; dalam kasus seperti itu, engkau tidak perlu berusaha untuk mengatasi kesulitan ini. ... Jadi, jika engkau tidak mampu mengatasi masalah ini dalam jangka pendek, tidak perlu memusingkannya, jangan berjuang melawannya, dan jangan menantang dirimu sendiri. Tentu saja, meskipun engkau tidak mampu mengatasinya, engkau tidak boleh menjadi negatif. Sekalipun engkau tidak pernah mampu mengatasinya seumur hidupmu, Tuhan tidak akan menghukummu, karena ini bukanlah perwujudan dari watak rusakmu. Demam panggungmu, kegugupan dan ketakutanmu, semua perwujudan ini tidak mencerminkan watak rusakmu; entah itu adalah bawaanmu atau disebabkan oleh lingkungan di kemudian hari dalam hidupmu, paling-paling itu merupakan cacat, kekurangan dalam kemanusiaanmu. Jika engkau tidak mampu mengubahnya dalam jangka panjang, atau bahkan seumur hidupmu, jangan terus memikirkannya, jangan biarkan hal itu mengekangmu, dan engkau juga tidak boleh menjadi negatif karenanya, karena ini bukanlah watak rusakmu; tidak ada gunanya berusaha mengubahnya atau berusaha melawannya, biarkan itu ada, dan perlakukan hal itu dengan benar, karena engkau dapat hidup berdampingan dengan cacat ini, dengan kekurangan ini; memiliki cacat atau kekurangan ini tidak akan memengaruhimu dalam percaya kepada Tuhan, dalam mengikut Tuhan. Asalkan engkau mampu menerima kebenaran, engkau tetap dapat hidup secara normal, tetap dapat diselamatkan; itu tidak akan memengaruhimu dalam menerima kebenaran dan tidak akan memengaruhi keselamatanmu. Oleh karena itu, engkau tidak boleh sering dikekang oleh cacat atau kekurangan tertentu dalam kemanusiaanmu, juga tidak boleh sering menjadi negatif dan berkecil hati, atau bahkan melepaskan tugasmu dan tidak lagi mengejar kebenaran, kehilangan kesempatanmu untuk diselamatkan, untuk alasan yang sama. Itu benar-benar tidak sepadan; itulah yang akan dilakukan orang yang bodoh dan tidak mengerti" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran II, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Aku persis seperti yang dikatakan firman Tuhan. Sepanjang hidupku, karena masalah kegagapanku, aku merasa cemas setiap kali berada di sekitar banyak orang, yang kemudian menyebabkanku menjadi gagap. Ketika orang-orang meremehkanku, itu melukai harga diriku, dan aku ingin mengubah kegagapanku dengan caraku sendiri. Tetapi segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapanku, sehingga membuatku menjadi semakin negatif, dan pada akhirnya aku malah tidak mau melaksanakan tugasku. Aku bahkan mengeluh bahwa Tuhan tidak membantuku memperbaiki masalah kegagapanku. Sekarang, aku mengerti bahwa kegagapanku adalah sesuatu yang kumiliki sejak lahir, dan aku tidak bisa mengatasinya hanya karena aku menginginkannya. Kegagapan bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan; itu bukanlah watak yang rusak dan tidak mengganggu pengejaranku akan kebenaran. Itu hanya kekurangan yang kumiliki, dan tidak masalah selama aku memandangnya dengan benar. Jika saudara-saudari tidak mengerti apa yang kukatakan dan memberikan saran, aku harus menghadapinya dengan tenang dan mengulangi perkataanku lagi atau berbicara lebih lambat. Kegagapanku seharusnya tidak membuatku menjadi begitu negatif sehingga aku tidak melaksanakan tugasku. Singkatnya, seseorang tidak perlu merasa khawatir akan kekurangan mereka. Mereka harus mengatasinya jika mereka bisa, dan jika tidak bisa, mereka harus menghadapi masalah mereka dengan tenang, terus bersekutu, dan melaksanakan tugas mereka dengan cara yang seharusnya. Tidak perlu terkekang oleh kegagapan. Dahulu, aku tidak dapat memandang kegagapanku dengan benar. Aku percaya bahwa kegagapanku berarti aku tidak berguna, tidak berharga, tidak bisa melaksanakan tugasku, dan bahwa Tuhan tidak menginginkan orang sepertiku. Namun, selama ini, gereja tidak pernah merampas hakku untuk melaksanakan tugasku karena kegagapanku. Aku sendirilah yang tidak bisa memandang kekurangan ini dengan benar, selalu bergumul dengan kekurangan ini. Ketika aku tidak bisa mengatasinya, aku menjadi negatif dan mengeluh. Nyatanya, ketika aku tidak sengaja mengubah kegagapanku dan berbicara sedikit lebih lambat, saudara-saudari dapat memahamiku dan aku bisa melaksanakan tugasku dengan normal. Hal ini sama sekali tidak seperti yang kubayangkan, bahwa aku tidak dapat melaksanakan tugasku karena kegagapanku. Sepanjang hidupku, aku selalu dipengaruhi oleh masalah kegagapanku. Teman-teman sekelasku menertawakanku dan orang tuaku tidak menyukaiku. Yang kudapat hanyalah sikap dingin dan diskriminasi, dan aku hidup dengan harga diri yang sangat rendah. Namun, setelah aku mulai percaya kepada Tuhan, Tuhan memakai saudara-saudari untuk membantu dan menyemangatiku, dan memakai firman-Nya untuk membimbingku ketika aku merasa negatif dan menderita, sehingga aku bisa keluar dari kenegatifan ini. Kini aku memahami secara mendalam berdasarkan pengalaman, bahwa Tuhanlah yang paling mengasihi manusia. Namun, aku selalu mengeluh dan salah memahami Tuhan; aku sangat berhutang kepada-Nya. Dengan memikirkan hal ini, aku menghadap ke hadirat Tuhan dan berdoa, "Tuhan! Dari firman-Mu, aku mengerti bahwa memiliki kekurangan bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan, dan itu juga bukan berarti bahwa aku tidak dapat melaksanakan tugasku. Aku bersedia memandang kekuranganku dengan mentalitas yang tenang, tunduk pada pengaturan dan penataan-Mu, melaksanakan tugasku dengan baik, dan memuaskan-Mu."

Suatu hari, dalam saat teduhku, aku membaca dua bagian firman Tuhan: "Orang harus melepaskan gagasan dan imajinasi mereka tentang pekerjaan Tuhan. Secara spesifik, bagaimana cara menerapkannya? Caranya adalah dengan tidak mengejar karunia dan bakat yang tinggi, dan tidak berusaha untuk mengubah kualitas atau nalurimu sendiri, sebaliknya, dengan memiliki kualitas, kemampuan, naluri, dan sebagainya tersebut dalam dirimu, laksanakanlah tugasmu berdasarkan tuntutan Tuhan, dan lakukan setiap hal berdasarkan tuntutan Tuhan. Tuhan tidak menuntutmu melakukan apa yang berada di luar kemampuan atau kualitasmu—engkau juga tidak perlu mempersulit dirimu sendiri. Engkau harus melakukan yang terbaik berdasarkan apa yang kauketahui dan apa yang mampu kaucapai, dan terapkan sesuai dengan apa yang dimungkinkan oleh kondisimu sendiri" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran II, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). "Jika nalar kemanusiaanmu normal, engkau harus menerima dirimu memiliki cacat dan kekurangan; menerimanya berarti mengampuni dirimu dan juga memberi dirimu sendiri kesempatan. Menerimanya bukan berarti dikekang olehnya, juga bukan berarti engkau sering menjadi negatif karenanya, sebaliknya menerimanya berarti engkau tidak dikekang olehnya, menyadari bahwa engkau hanyalah salah seorang dari manusia rusak biasa, yang memiliki cacat dan kekuranganmu sendiri, tidak ada yang dapat kausombongkan. Tuhanlah yang mengangkat manusia untuk melaksanakan tugas mereka; Tuhanlah yang mengangkat manusia, yang bermaksud mengerjakan firman dan hidup-Nya dalam diri mereka, agar mereka memperoleh keselamatan; Tuhanlah yang mengangkat manusia, yang bermaksud menyelamatkan manusia dari pengaruh Iblis. Setiap orang memiliki kekurangan dan cacat; engkau harus menerima kekurangan dan cacatmu itu untuk hidup berdampingan dengan dirimu, tidak menghindarinya, tidak menutupinya, dan tidak sering merasa tertekan dalam hatimu, atau bahkan selalu merasa rendah diri. Engkau tidak rendah; jika engkau mampu melaksanakan tugasmu dengan segenap hati, segenap kekuatan, dan segenap pikiranmu, dengan segenap kemampuanmu, dan engkau memiliki hati yang tulus, maka engkau sama berharganya dengan emas di hadirat Tuhan. Jika engkau tidak mampu membayar harga dalam melaksanakan tugasmu, dan engkau tidak setia, maka sekalipun engkau lebih baik daripada kebanyakan orang, engkau tidak berharga di hadirat Tuhan, engkau bahkan tidak seberharga sebutir pasir" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran II, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Setelah membaca firman Tuhan, semuanya menjadi jelas. Setiap orang memiliki kekurangan dan cacat. Memiliki kekurangan bukanlah masalah, dan orang harus belajar untuk melepaskannya dan memandangnya dengan benar. Masalah kegagapanku sudah ditetapkan oleh Tuhan, dan aku tidak perlu mempersulit diri sendiri dengan selalu berusaha mengubahnya. Cukup bagiku untuk memiliki hati yang murni dan jujur serta mencurahkan semua yang kumiliki untuk melaksanakan tugasku dengan baik. Dahulu aku selalu takut, jika aku gagap saat berbicara, saudara-saudari akan meremehkanku, sehingga aku ingin menyingkirkan masalah kegagapan ini. Sekarang, aku harus tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan serta memandang kekuranganku dengan benar. Aku teringat akan pengalaman seorang saudari yang pernah kudengar sebelumnya. Dia memiliki masalah kegagapan yang lebih parah daripada kegagapanku, selalu terbata-bata saat berbicara, dan sulit untuk memahami apa yang dia katakan. Pada saat itu, ada sebuah gereja yang mengalami penangkapan oleh Partai Komunis, dan semua pekerjaan mereka terhenti. Saudara-saudari tidak berani pergi ke sana, tetapi saudari ini melangkah maju dan mengajukan diri untuk pergi dan membantu mendukung gereja tersebut. Beberapa orang berpikir, "Jika dia bahkan tidak bisa berbicara dengan jelas, apakah dia benar-benar bisa mendukung mereka?" Namun, saudari ini tidak terkekang oleh kegagapannya. Ketika dia tiba di gereja, dia meminta pemimpin gereja untuk menjelaskan situasinya. Dia melihat bahwa semua saudara-saudari hidup dalam ketakutan, dan dia bersekutu dengan mereka satu per satu. Melihat saudari itu tidak berbicara dengan jelas, sang pemimpin berinisiatif untuk bergabung dalam persekutuan. Dengan saudari ini memeriksa dan mengawasi pekerjaan secara mendetail, para pemimpin dan pekerja menumbuhkan rasa tanggung jawab, dan saudara-saudari mulai melakukan tugas mereka secara normal. Meskipun saudari ini tergagap saat berbicara, dia tidak terkekang oleh hal ini dan mampu membuahkan hasil dalam tugasnya. Aku harus menjadi seperti saudari ini dan melaksanakan tugasku dengan hati yang tulus. Dengan demikian, akan lebih mudah untuk menerima bimbingan Tuhan. Setelah memahami hal ini, aku sadar agar tidak takut karena memiliki kekurangan. Yang penting adalah menghadapinya dengan benar dan bertindak sebaik mungkin sesuai dengan kemampuanku sesuai dengan apa yang bisa kucapai dengan kualitasku.

Sekarang, ketika aku melaksanakan pekerjaan dan persekutuan dengan saudara-saudari untuk mengatasi keadaan mereka, aku tidak lagi terkekang oleh kegagapanku. Tidak peduli masalah siapa yang kutemukan, aku akan memangkasnya ketika harus demikian, serta bersekutu untuk membantu mereka ketika diperlukan. Saat bersekutu, aku menemukan firman Tuhan yang terkait untuk menyelesaikan masalah mereka berdasarkan pengalamanku sendiri, mempersekutukan pemahaman apa pun yang kudapat dari membaca firman Tuhan. Terkadang, aku menjadi cemas dan aku mulai tergagap, jadi aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, meminta-Nya untuk membimbing agar aku tidak terkekang oleh kesombonganku. Lalu, aku berbicara lebih lambat agar saudara-saudari mengerti, dan agar aku dapat melaksanakan pekerjaan dengan jelas. Ketika saudara-saudari menyadari bahwa aku gagap, mereka tidak meremehkanku seperti yang kubayangkan, dan mereka bahkan mengatakan bahwa mereka telah menemukan sedikit jalan dari persekutuanku. Terkadang, ketika pemimpin tingkat atas memeriksa pekerjaanku, aku merasa gugup dan mulai tergagap, aku menghadapi kecacatan ini dengan tenang dan kegugupanku saat berbicara pun hilang.

Selama bertahun-tahun, aku selalu dihantui oleh masalah kegagapanku. Aku merasa sangat rendah diri dan tertekan. Sepanjang perjalanan ini, aku jadi sangat memahami bahwa Tuhan tidak mementingkan apakah seseorang tampak pandai berbicara atau tidak. Apa yang Dia inginkan adalah agar kita memiliki hati yang murni dan jujur. Tidak peduli kekurangan apa pun yang tampaknya dimiliki orang, selama mereka dapat mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas mereka, mereka sejalan dengan maksud Tuhan. Persis seperti yang dikatakan firman Tuhan: "Setiap orang memiliki kekurangan dan cacat; engkau harus menerima kekurangan dan cacatmu itu untuk hidup berdampingan dengan dirimu, tidak menghindarinya, tidak menutupinya, dan tidak sering merasa tertekan dalam hatimu, atau bahkan selalu merasa rendah diri. Engkau tidak rendah; jika engkau mampu melaksanakan tugasmu dengan segenap hati, segenap kekuatan, dan segenap pikiranmu, dengan segenap kemampuanmu, dan engkau memiliki hati yang tulus, maka engkau sama berharganya dengan emas di hadirat Tuhan" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran II, "Cara Mengejar Kebenaran (3)").

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Cara Hidup yang Luar Biasa

Oleh Saudari Xun Qiu, JepangSaat kecil, aku diajari untuk tidak berterus terang kepada orang lain, dan jangan pernah "membuat masalah"....