Aku Tidak Jujur dalam Imanku
Sejak dahulu keluargaku sangat miskin, dan aku bermimpi menjadi seorang eksekutif bank, memiliki status tertentu di masyarakat, sehingga kami takkan terlalu kesulitan secara finansial. Setelah menyelesaikan studiku dan mulai mencari pekerjaan, aku mengirimkan banyak lamaran, tetapi prosesnya sangat sulit dan aku tak pernah menemukan jenis pekerjaan yang kuinginkan. Aku hanya menemukan pekerjaan biasa dengan gaji yang kecil.
Pada tahun 2019, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman dan setelah beberapa waktu, aku mulai melakukan tugas penyiraman di gereja. Kupikir jika aku melakukan yang terbaik untuk Tuhan, Dia pasti akan memberkatiku dan membantuku menemukan pekerjaan yang baik. Jadi, aku terus mengirimkan lamaran sementara melakukan tugasku. Lalu, aku mendapat panggilan pada Juni 2021 dari seorang perwakilan perusahaan, memintaku datang untuk wawancara. Aku membuka Internet dan memeriksa perusahaan tersebut dan melihat itu adalah perusahaan multinasional, dan CEO-nya telah melakukan investasi di seluruh dunia. Dia memiliki sebuah bank yang sangat besar di mana kuharap aku bisa bekerja untuknya, tetapi tidak pernah ada hasil dari wawancaraku dengan mereka. Aku tak pernah menyangka bahwa perusahaan itu akan mencariku untuk wawancara. Ini kejutan yang menyenangkan. Aku merasa Tuhan-lah yang memberiku kesempatan, dan jika aku bisa bekerja di perusahaan multinasional itu, ini akan menjadi berkat Tuhan bagiku. Dalam hati kupikir aku pasti akan berhasil pada waktu itu dan akan mendapatkan gaji manajer karena Tuhan pasti menolongku. Aku sangat senang akhirnya mendapatkan kesempatan dalam pekerjaan yang kuimpikan dan itu akan membuat gelar Master yang telah kuupayakan dengan sangat keras tidak sia-sia. Aku mulai membayangkan bagaimana hidupku akan berubah di masa depan, bahwa aku akan memiliki banyak uang, rumah sendiri, dan mampu membeli apa pun yang kuinginkan. Kupikir aku bisa berkeliling dunia dan merawat keluargaku, terutama orang tuaku. Kupikir begitu aku mulai bekerja di sana, semuanya akan menjadi lebih baik. Saat wawancara, aku melihat ada tiga calon, dan mulai merasa takut tidak terpilih, tetapi aku berkata pada diriku sendiri, "Tidak, pekerjaan ini akan menjadi milikku. Aku adalah anak Tuhan dan Dia pasti akan memberkatiku. Apa pun yang terjadi, Tuhan akan memberikan pekerjaan ini kepadaku." Aku juga merasa percaya diri dengan kemampuanku sendiri. Dalam wawancara, aku menjawab semua pertanyaan dan pewawancara memberitahuku bahwa mereka akan meneleponku dalam waktu lima hari jika aku berhasil. Aku merasa yakin akan terpilih. Lima hari kemudian, aku menunggu telepon itu dengan gelisah, tetapi sepanjang hari itu, tidak ada telepon. Seminggu berlalu, dan aku masih belum mendapat telepon dari mereka. Aku sadar bahwa aku telah gagal dalam wawancara. Aku sangat sedih dan mulai merenung apa yang salah dengan diriku, dan mengapa aku gagal. Aku bersandar pada Tuhan dan berdoa kepada-Nya, jadi mengapa aku tidak berhasil? Aku merasa sangat negatif dan lemah dan mulai menyalahkan Tuhan. Aku telah menjadi orang percaya selama lebih dari dua tahun dan telah melakukan tugasku sepanjang waktu. Aku tidak pernah menyimpang dari Tuhan atau menyerah pada tugasku. Mengapa Dia tidak memberiku anugerah dan berkat? Aku menjadi makin tertekan dan menderita, sampai-sampai aku tidak menghadiri pertemuan atau membaca firman Tuhan selama seminggu penuh. Ketika saudara-saudari menghubungiku, aku benar-benar merasa terganggu, dan tidak mau menanggapi atau berbicara kepada mereka. Aku tidak mau melakukan apa pun, termasuk meninggalkan rumah. Aku berhenti melakukan tugas penginjilanku dan berhenti membagikan firman Tuhan dengan saudara-saudari. Aku hanya tinggal di kamarku sepanjang hari, tanpa motivasi atau tujuan, atau bahkan nafsu makan. Bobot tubuhku turun setelah hanya beberapa hari.
Suatu hari, aku mendengar lagu pujian firman Tuhan: "Apa yang Tuhan Inginkan dalam Ujian adalah Hati Sejati Manusia." "Ketika Tuhan sedang menguji orang, kenyataan seperti apakah yang ingin diciptakan-Nya? Dia terus-menerus meminta agar orang memberikan hati mereka kepada-Nya. Ketika Tuhan mengujimu, Dia melihat apakah hatimu bersama-Nya, bersama daging, ataukah bersama Iblis. Ketika Tuhan mengujimu, Dia melihat apakah engkau berdiri menentang-Nya atau apakah engkau mengambil posisi yang sesuai dengan-Nya, dan Dia juga melihat apakah hatimu berpihak kepada-Nya. Ketika engkau tidak matang dan engkau menghadapi ujian, engkau memiliki sedikit kepercayaan diri, dan engkau tidak dapat mengetahui dengan jelas apa yang perlu engkau lakukan untuk memenuhi maksud Tuhan, karena pemahamanmu akan kebenaran terbatas. Akan tetapi, jika engkau tetap bisa berdoa secara tulus dan ikhlas kepada Tuhan, dan jika engkau bisa rela memberikan hatimu kepada-Nya, menjadikan Dia berdaulat atasmu, dan bersedia menyerahkan kepada-Nya semua hal yang engkau yakini paling berharga, maka engkau sudah memberikan hatimu kepada Tuhan. Ketika engkau mendengar lebih banyak khotbah dan memahami lebih banyak kebenaran, tingkat pertumbuhanmu juga akan bertumbuh secara bertahap. Pada saat itu, standar tuntutan Tuhan tidak akan sama dengan ketika engkau belum matang; Dia akan menuntut standar lebih tinggi darimu. Ketika manusia secara bertahap memberikan hati mereka kepada Tuhan, hati mereka perlahan-lahan menjadi semakin dekat kepada-Nya; ketika manusia bisa benar-benar menjadi semakin dekat kepada Tuhan, maka hati mereka akan semakin menghormati Dia. Hal yang Tuhan inginkan hanyalah hati semacam ini" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Kemudian aku memahami bahwa ketika Tuhan menguji orang, Dia melihat hati mereka—apa yang mereka pedulikan, apakah mereka tunduk kepada Tuhan dalam lingkungan yang Dia atur atau tidak. Alih-alih memberikan hatiku kepada-Nya, aku berpikir tentang bagaimana memperalat Dia untuk memuaskan keinginanku sendiri. Ketika aku tidak mendapatkan pekerjaan, kekayaan, dan kenyamanan materi yang kuinginkan, aku menjadi lemah, tidak mau menghadiri pertemuan atau melakukan tugasku. Ini adalah pengkhianatan terhadap Tuhan, dan aku kehilangan kesaksianku untuk Tuhan dalam situasi itu. Jadi, aku berdoa, "Tuhan Yang Mahakuasa, Engkau telah menyingkapkan bahwa aku tidak setia atau jujur kepada-Mu. aku belum menjadi kesaksian bagi-Mu atau tunduk kepada-Mu. Tuhan, kumohon kasihanilah aku. Aku mau bertobat."
Setelah berdoa, aku merasa jauh lebih damai dan membalas pesan-pesan orang lain. Seorang saudari menanyakan keadaanku dan kuceritakan semua tentang apa yang telah kualami. Dia mengirimiku satu bagian firman Tuhan: "Tak seorang pun yang menjalani seluruh hidup mereka tanpa penderitaan. Bagi beberapa orang, ini ada hubungannya dengan keluarga, bagi beberapa orang, dengan pekerjaan atau perkawinan, dan bagi beberapa orang, dengan penyakit fisik. Semua manusia menderita. Beberapa orang berkata, 'Mengapa manusia harus menderita? Alangkah baiknya jika kita dapat menjalani seluruh hidup kita dengan damai dan bahagia. Tak bisakah kita tidak menderita?' Tidak—semua orang harus menderita. Penderitaan menyebabkan semua orang mengalami berbagai perasaan kehidupan jasmani, entah perasaan ini positif, negatif, aktif atau pasif; penderitaan memberimu berbagai perasaan dan pengetahuan, yang bagimu, semuanya merupakan pengalaman hidup. Jika engkau dapat mencari kebenaran dan memahami kehendak Tuhan dari semua penderitaan ini, engkau akan semakin dekat dengan standar yang Tuhan tuntut kepadamu. Itu adalah satu aspek, dan itu juga untuk membuat orang semakin berpengalaman. Aspek lainnya adalah tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada manusia. Tanggung jawab apa? Engkau harus menjalani penderitaan ini, menanggung penderitaan ini, dan jika engkau mampu menanggungnya, maka ini adalah kesaksian, dan bukan sesuatu yang memalukan, padahal sebenarnya tidak ada yang memalukan" ("Dengan Menyelesaikan Gagasan Orang Barulah Orang Dapat Memasuki Jalur yang Benar dalam Kepercayaan kepada Tuhan (1)" dalam "Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Dari firman Tuhan aku memahami bahwa setiap orang memiliki pergumulan dalam hidup, entah mereka orang percaya atau bukan, dan penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Penderitaan bukan tanpa nilai. Itu bisa memperkaya pengalamanku dan membawaku lebih dekat kepada Tuhan. Aku bisa datang ke hadapan Tuhan untuk mencari kebenaran dan kehendak-Nya. Kita telah dirusak sedemikian dalam oleh Iblis, kita semua serakah, kita mengingini kemuliaan, mengejar status dan masa depan yang baik, dan tidak mencintai kebenaran. Jika kita menjalani kehidupan yang mudah dalam kenyamanan, kita akan makin jauh dari Tuhan dan menjadi makin rusak. Kupikir Tuhan mengizinkan hal itu terjadi padaku adalah untuk membawaku ke hadapan Tuhan dalam doa, agar aku mencari kebenaran, agar aku bisa mendapatkan iman yang sejati dalam Tuhan dan makin dekat kepada-Nya. Setelah memahami maksud baik Tuhan, aku tidak mau menolak keadaan itu lagi, tetapi apa pun yang mungkin terjadi selanjutnya, aku mau memiliki ketundukan mutlak dan tetap setia kepada Tuhan.
Aku membaca bagian lain setelah itu. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Dalam pengalaman hidup manusia, mereka sering memikirkan diri mereka sendiri, aku telah menyerahkan keluarga dan karierku untuk Tuhan, lalu, apa yang telah Dia berikan kepadaku? Aku harus menghitungnya, dan memastikan—sudahkah aku menerima berkat baru-baru ini? Aku telah memberikan banyak hal selama waktu ini, aku telah berlari dan berlari, dan telah banyak menderita—apakah Tuhan memberiku janji-janji sebagai imbalannya? Apakah Dia mengingat perbuatan baikku? Akan seperti apakah akhir hidupku? Bisakah aku menerima berkat-berkat Tuhan? ... Setiap orang selalu membuat perhitungan semacam itu dalam hati mereka, dan mereka mengajukan tuntutan kepada Tuhan yang mengandung motivasi, ambisi, dan mentalitas bertransaksi mereka. Dengan kata lain, dalam hatinya, manusia terus-menerus menguji Tuhan, selalu menyusun rencana tentang Tuhan, dan selalu memperdebatkan kasus untuk akhir pribadinya sendiri dengan Tuhan, dan mencoba untuk mengeluarkan pernyataan dari Tuhan, melihat apakah Tuhan dapat memberikan kepadanya apa yang dia inginkan atau tidak. Pada saat yang sama ketika mengejar Tuhan, manusia tidak memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan. Manusia telah selalu berusaha membuat kesepakatan dengan Tuhan, mengajukan tuntutan kepada-Nya tanpa henti, dan bahkan menekan-Nya di setiap langkah, berusaha meminta lebih banyak setelah diberi sedikit, seperti kata pepatah: diberi hati minta jantung. Pada saat bersamaan saat mencoba bertransaksi dengan Tuhan, manusia juga berdebat dengan-Nya, dan bahkan ada orang-orang yang, ketika ujian menimpa mereka atau mereka mendapati diri mereka berada dalam situasi tertentu, sering kali menjadi lemah, pasif serta kendur dalam pekerjaan mereka, dan penuh keluhan akan Tuhan. Dari waktu saat manusia pertama kali mulai percaya kepada Tuhan, dia telah menganggap Tuhan berlimpah ruah, sama seperti pisau Swiss Army, dan dia menganggap dirinya sendiri sebagai kreditur terbesar Tuhan, seolah-olah berusaha mendapatkan berkat dan janji dari Tuhan adalah hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, sementara tanggung jawab Tuhan adalah melindungi dan memelihara manusia, serta membekalinya. Seperti inilah pemahaman dasar tentang 'percaya kepada Tuhan' dari semua orang yang percaya kepada Tuhan, dan seperti inilah pemahaman terdalam mereka tentang konsep kepercayaan kepada Tuhan. Dari natur dan esensi manusia hingga pengejaran subjektifnya, tidak ada satu pun yang berhubungan dengan sikap takut akan Tuhan. Tujuan manusia percaya kepada Tuhan tidak mungkin ada kaitannya dengan penyembahan kepada Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak pernah mempertimbangkan atau memahami bahwa kepercayaan kepada Tuhan membutuhkan takut akan Tuhan dan menyembah Tuhan. Dalam kondisi seperti itu, hakikat manusia mudah terlihat. Apakah hakikat ini? Hati manusia itu jahat, menyimpan pengkhianatan dan kecurangan, tidak mencintai keadilan dan kebenaran, dan hal yang positif, dan hati manusia hina dan serakah. Hati manusia benar-benar tertutup bagi Tuhan; manusia sama sekali tidak memberikan hatinya kepada Tuhan. Tuhan tidak pernah melihat hati manusia yang sejati, dan Dia juga tidak pernah disembah oleh manusia. Seberapa pun besarnya harga yang Tuhan bayar, atau seberapa pun banyaknya pekerjaan yang Dia lakukan, atau seberapa pun banyaknya Dia membekali manusia, manusia tetap buta dan sama sekali tidak peduli terhadap semua itu. Manusia tidak pernah memberikan hatinya kepada Tuhan, dia hanya ingin memikirkan hatinya sendiri, membuat keputusannya sendiri—intinya adalah manusia tidak mau mengikuti jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, ataupun taat pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan dia juga tidak mau menyembah Tuhan sebagai Tuhan. Seperti itulah keadaan manusia saat ini" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Firman Tuhan menyingkapkan keadaanku yang sebenarnya dan membuatku merasa sangat malu. Imanku hanya demi berkat, dan meskipun mengorbankan diriku untuk Tuhan, pada akhirnya itu sepenuhnya untuk mendapatkan upah dari Tuhan. Aku melayani Dia dengan antusias, mencurahkan begitu banyak waktu dan tenaga untuk tugasku, dengan harapan Tuhan akan memberkatiku dan melimpahkan anugerah-Nya, jadi akhirnya aku mendapatkan pekerjaan bergaji besar sesuai gelarku. Maka aku akan memiliki kehidupan yang bahagia dan tanpa kekurangan apa pun, lalu aku dan keluargaku takkan menderita lagi. Itulah pemikiran dan tujuanku. Namun, setelah lebih dari dua tahun beriman, berkat yang kukejar tidak terwujud. Ketika aku tidak mendapatkan pekerjaan yang kuharapkan, doronganku untuk mengikuti dan melayani Tuhan lenyap. Fakta menunjukkan kepadaku bahwa selama ini aku telah menipu Tuhan, berusaha bertransaksi dengan-Nya. Tampak sepertinya aku bekerja keras untuk Tuhan, pergi ke pertemuan dan aktif dalam tugasku, tetapi kenyataannya, aku memiliki motif tersembunyi—yaitu untuk mendapatkan lebih banyak kasih karunia dan berkat dari Tuhan. Pencerahan dalam firman Tuhan memperlihatkan keegoisanku sendiri, bahwa aku hanya memikirkan diriku sendiri dan keluargaku, memaksakan tuntutanku kepada Tuhan, mengajukan tuntutan yang berlebihan terhadap-Nya. Aku tidak memperlakukan Dia sebagai Tuhan, dan aku tidak benar-benar menyembah Tuhan dalam imanku. Aku menuntut pembayaran dari Tuhan seolah-olah Dia adalah debiturku, memaksa-Nya memberiku kemurahan khusus, memperalat Dia untuk memenuhi keinginanku. Tuhan telah memberi kita kehidupan, dan Dia telah memberi kita begitu banyak kebenaran secara cuma-cuma. Tuhan telah menjadi daging dan banyak menderita untuk menyelamatkan kita manusia, yang dirusak oleh Iblis. Semua itu agar kita dapat memperoleh kebenaran, menyingkirkan kerusakan, dan diselamatkan sepenuhnya oleh Tuhan. Kasih Tuhan bagi kita luar biasa, dan Dia memberi kita begitu banyak kasih karunia. Namun, aku buta akan kasih Tuhan dan tidak pernah peduli dengan kehendak-Nya. Aku hanya tahu bagaimana mengajukan tuntutan. Aku tidak punya hati nurani atau nalar! Firman Tuhan selalu menyingkapkan keadaan kita yang sebenarnya. Jika kita menggunakan pengorbanan kita untuk menuntut berkat yang kita inginkan dari Tuhan, memperlakukan tugas kita seperti bagian dari transaksi, iman dan pelayanan seperti itu sama seperti bekerja untuk bos di dunia. Hanya untuk mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya, sama sekali tidak memiliki ketulusan.
Kemudian, aku membaca bagian lain, di bagian terakhir dari "Pekerjaan Tuhan dan Penerapan Manusia". "Bagaimanapun mereka diuji, kesetiaan mereka yang memiliki Tuhan di dalam hatinya tetap tidak berubah; tetapi bagi mereka yang tidak memiliki Tuhan di dalam hatinya, begitu pekerjaan Tuhan tidak menguntungkan bagi dagingnya, mereka berubah pandangan tentang Tuhan dan bahkan meninggalkan Tuhan. Itulah orang-orang yang tidak akan tetap bertahan sampai pada akhirnya, yang hanya mencari berkat Tuhan tanpa memiliki kerinduan untuk mengorbankan diri kepada Tuhan dan menyerahkan hidupnya bagi Tuhan. Orang-orang hina semacam itu semuanya akan dibuang ketika pekerjaan Tuhan berakhir, dan sama sekali tidak layak dikasihani. Mereka yang tidak memiliki kemanusiaan tidak mampu bersungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Ketika situasinya aman dan terjamin, atau ketika mereka bisa mendapatkan keuntungan, mereka taat sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi begitu keinginan mereka tidak terkabul atau akhirnya ditolak, mereka langsung memberontak. Bahkan hanya dalam waktu semalam, mereka bisa berubah dari sosok manusia yang penuh senyum dan 'baik hati' menjadi pembunuh berwajah buruk yang kejam, yang tiba-tiba memperlakukan orang yang memberi kebaikan kepada mereka di masa lalu sebagai musuh bebuyutan, tanpa sebab atau alasan. Jika setan-setan ini tidak diusir keluar, setan-setan yang bisa membunuh tanpa ragu ini, bukankah mereka akan menjadi bahaya yang tersembunyi?" (Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia). Firman Tuhan memberi tahu kita bahwa hanya orang yang memiliki tempat bagi Tuhan di dalam hati mereka yang dapat menjadi kesaksian melewati ujian-Nya, tetapi orang yang tidak memiliki Tuhan di dalam hati mereka hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri. Ketika mereka akan mendapatkan keuntungan daging, mereka memaksa diri mereka untuk taat, tetapi begitu mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka memandang Tuhan sebagai musuh, menyalahkan dan mengkhianati-Nya. Ini jenis orang yang Tuhan benci dan akan disingkirkan—mereka seperti setan. Merenungkan firman Tuhan, aku sadar, bukankah aku orang semacam itu? Imanku adalah untuk berkat. Asalkan anggota keluargaku sehat dan aku memiliki pekerjaan yang baik, aku siap bekerja keras untuk Tuhan. Namun, ketika hal-hal itu tidak berjalan seperti yang kuinginkan, aku tidak mau bekerja dan mulai mengeluh kepada Tuhan. Aku tidak memiliki kesetiaan atau ketundukan kepada Tuhan. Aku melihat imanku kepada Tuhan tidak murni, bahwa aku sedang menipu Tuhan dan bertransaksi dan Dia takkan pernah mengakui iman seperti itu. Tuhan sedang membentuk sekelompok pemenang pada akhir zaman. Mereka mampu mengarahkan hati mereka sepenuhnya kepada Tuhan dan hidup sepenuhnya untuk memuaskan Dia. Mereka memiliki tekad untuk menderita bagi Tuhan, dan mereka mampu berdiri teguh melewati kesulitan seperti Ayub, untuk menjadi kesaksian Merekalah yang akan disempurnakan Tuhan pada akhirnya, dan hanya mereka yang layak mendapatkan perkenanan dan berkat Tuhan. Ayub sangat menderita melewati ujiannya, tetapi dia tidak pernah menyalahkan Tuhan atas penderitaannya. Bahkan, imannya kepada Tuhan sama sekali tidak pernah goyah, dan ketika dia kehilangan semua anak dan harta miliknya, dia tetap mampu memuji nama Tuhan dan tunduk pada pengaturan Tuhan. Dia adalah saksi yang berkumandang bagi Tuhan. Namun, lihatlah diriku aku sangat jauh dari apa yang Tuhan kehendaki.
Suatu hari, aku membaca bagian firman Tuhan ini, bagian terakhir dalam "Kepada Siapakah Engkau Setia?" "Seandainya Aku menaruh sejumlah uang di hadapanmu sekarang ini dan memberimu kebebasan untuk memilih—dan seandainya Aku tidak menghukummu karena pilihanmu—maka sebagian besar darimu akan memilih uang dan meninggalkan kebenaran. Orang yang lebih baik di antaramu akan meninggalkan uang dan memilih kebenaran dengan enggan, sedangkan mereka yang berada di tengah-tengah akan merebut uang itu dengan satu tangan dan kebenaran dengan tangan yang lain. Bukankah dengan demikian karakter aslimu akan terbukti dengan sendirinya? Ketika memilih antara kebenaran dan apa pun yang kepadanya engkau semua setia, engkau akan membuat pilihan ini, dan sikapmu akan tetap sama. Bukankah demikian halnya? Bukankah banyak di antaramu yang maju mundur antara benar dan salah? Dalam pertandingan antara positif dan negatif, hitam dan putih, engkau semua tentu sadar akan pilihan-pilihan yang sudah engkau buat antara keluarga dan Tuhan, anak-anak dan Tuhan, perdamaian dan perpecahan, kekayaan dan kemiskinan, status tinggi dan status biasa, didukung dan disisihkan, dan sebagainya. Antara keluarga yang tenteram dan berantakan, engkau semua memilih yang pertama, dan engkau memilihnya tanpa keraguan; antara kekayaan dan tugas, lagi-lagi engkau memilih yang pertama, bahkan kurang keinginan untuk kembali ke pantai;[a] antara kemewahan dan kemiskinan, engkau semua memilih yang pertama; ketika memilih antara anak-anak lelaki, anak-anak perempuan, istri dan suami, dan Aku, engkau memilih yang pertama; dan antara gagasan dan kebenaran, sekali lagi engkau memilih yang pertama. Diperhadapkan pada segala macam perbuatanmu yang jahat, Aku sama sekali kehilangan kepercayaan kepadamu. Sungguh-sungguh mengejutkan bagi-Ku bahwa hatimu begitu melawan untuk dilembutkan. Tahun-tahun penuh dedikasi dan upaya tampaknya tidak membawa apa-apa bagi-Ku selain engkau semua meninggalkan-Ku dan sikap putus asamu, tetapi harapan-Ku terhadapmu semakin bertumbuh setiap hari, karena hari-Ku sudah sepenuhnya disingkapkan di hadapan semua orang. Namun, engkau semua berkeras hati mencari hal-hal yang gelap dan jahat, dan menolak untuk melepaskan hal-hal tersebut. Lalu, akan seperti apa kesudahanmu? Pernahkah engkau semua memperhatikan hal ini dengan saksama? Jika engkau semua diminta untuk memilih kembali, apa pendirianmu nanti? Akankah masih yang pertama? Apakah engkau semua masih akan mendatangkan kekecewaan dan kesedihan yang memilukan bagi-Ku? Apakah hatimu masih akan memiliki hanya sedikit kehangatan? Apakah engkau semua masih tidak sadar akan apa yang harus engkau semua lakukan untuk menghibur hati-Ku? Pada saat ini, apa yang akan engkau semua pilih? Apakah engkau semua akan tunduk kepada firman-Ku atau bosan dengannya? Hari-Ku sudah disingkapkan di depan matamu, dan apa yang engkau semua hadapi adalah suatu kehidupan baru dan titik awal baru. Namun demikian, Aku harus mengatakan kepadamu bahwa titik awal ini bukanlah permulaan dari pekerjaan baru yang lampau, melainkan akhir dari yang lama. Artinya, ini adalah babak terakhir. Aku pikir engkau semua dapat memahami hal-hal yang tidak lazim tentang titik awal ini. Namun demikian, suatu hari nanti, tidak lama lagi, engkau semua akan memahami arti sejati dari titik awal ini, jadi, mari kita bersama-sama meninggalkannya dan menyambut babak terakhir yang akan datang itu!" (Firman Menampakkan Diri dalam Rupa Manusia). Firman Tuhan begitu menyentuh bagiku, dan aku menyadari bahwa orang benar-benar memiliki natur yang mengkhianati Tuhan. Kita hanya mencintai harta benda dan uang, status dan ketenaran, bukan kebenaran. Meskipun natur kita menjijikkan bagi Tuhan, Dia mengabaikan pemberontakan dan kerusakan kita, melihat apakah kita sedang mengejar kebenaran atau tidak, apakah kita telah bertobat dan berubah atau tidak. Tuhan ingin menyelamatkan kita sepenuhnya dari pengaruh Iblis dan membawa kita ke dalam kerajaan-Nya. Namun, aku tidak menghargai kasih karunia Tuhan atau mengejar kebenaran. Aku berfokus mencari pekerjaan yang bagus dengan gaji besar, mendambakan kekayaan dan kenyamanan daging. Aku sangat bodoh! Hanya kebenaran yang mampu menyelamatkan manusia, mentahirkan kerusakan kita, memampukan kita untuk membedakan yang baik dan yang jahat, dan melepaskan diri dari penipuan dan gangguan Iblis. Memahami kebenaran dapat membantu kita mengenal Tuhan, tahu cara hidup, bagaimana menemukan arti sebagai pribadi. Mengejar uang dan kesenangan materi hanya akan membawaku makin jauh dari Tuhan, membuatku makin rusak, serakah dan manja, kehilangan kesempatanku untuk diselamatkan. Sebagaimana Tuhan Yesus berkata, "Dan sekali lagi Kukatakan kepadamu, adalah lebih mudah untuk seekor unta masuk melewati lubang jarum, daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Tuhan" (Matius 19:24). Menjadi terlalu kaya, terlalu nyaman belum tentu adalah hal yang baik. Dikatakan dalam kitab Amsal, "Kemakmuran orang bebal akan membinasakan mereka" (Amsal 1:32). Tuhan Yesus memperingatkan kita, "Karena itu jangan cemas dan berkata, Apa yang akan kita makan? atau, Apa yang akan kita minum? atau, Apa yang akan kita pakai? (Karena semua ini dicari orang-orang bukan Yahudi:) karena Bapamu yang di surga tahu kamu membutuhkan semua ini. Namun, carilah terlebih dahulu kerajaan Tuhan dan kebenaran-Nya; dan semuanya ini akan ditambahkan kepadamu" (Matius 6:31-33). Bencana makin bertambah besar. Yang terpenting sekarang adalah memperlengkapi diri kita dengan kebenaran dan bekerja keras dalam tugas kita. Dalam tugas kita, kita harus berusaha menyingkirkan kerusakan dan tunduk kepada Tuhan, agar menjadi layak sebagai makhluk ciptaan di mata Tuhan. Tidak ada lagi yang memiliki nilai atau makna selain hal ini. Aku juga memahami bahwa entah aku menemukan pekerjaan yang baik atau tidak, sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Aku siap untuk tunduk pada pengaturan Tuhan dan menempatkan diriku sepenuhnya ke dalam tangan-Nya.
Setelah itu, aku membaca bagian lain firman Tuhan: "Tidak ada hubungan antara tugas manusia dan apakah dia diberkati atau dikutuk. Tugas adalah apa yang manusia harus penuhi; itu adalah panggilan surgawinya, dan seharusnya tidak bergantung pada imbalan jasa, kondisi, atau nalar. Baru setelah itulah dia bisa dikatakan melakukan tugasnya. Diberkati adalah ketika orang disempurnakan dan menikmati berkat Tuhan setelah mengalami penghakiman. Dikutuk adalah ketika wataknya tidak berubah setelah mereka mengalami hajaran dan penghakiman, itu adalah ketika mereka tidak mengalami proses disempurnakan tetapi dihukum. Namun terlepas dari apakah mereka diberkati atau dikutuk, makhluk ciptaan harus memenuhi tugasnya, melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan melakukan apa yang mampu dilakukannya; inilah yang setidaknya harus dilakukan oleh orang yang mengejar Tuhan. Engkau tidak seharusnya melakukan tugasmu hanya untuk diberkati, dan engkau tidak seharusnya menolak untuk bertindak karena takut dikutuk. Kuberitahukan satu hal kepadamu: pelaksanaan tugas manusia adalah apa yang harus dia lakukan, dan jika dia tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka ini adalah pemberontakannya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perbedaan antara Pelayanan Tuhan yang Berinkarnasi dan Tugas Manusia"). Dari bagian ini, aku memahami bahwa entah Tuhan memberi kita kekayaan atau bencana, kita harus melakukan tugas kita dan menyelesaikan amanat Tuhan. Ini tanggung jawab kita yang tak bersyarat. Mengingat kembali, setelah mengalami beberapa kegagalan dalam pengejaranku akan pekerjaan yang stabil dan terhormat, aku menjadi sangat tertekan dan negatif, dan tidak mau melakukan tugasku lagi. Itu bukan sikap yang benar terhadap tugasku. Tuhan memberi tahu kita bahwa sebagai makhluk ciptaan, kita semua memiliki tanggung jawab untuk melakukan bagian kita. Keadaan apa pun yang Tuhan izinkan untuk kualami, apakah kita merasa lemah atau tidak memahami kehendak Tuhan, kita harus tetap melakukan tugas kita. Kita adalah makhluk ciptaan yang harus tunduk kepada Tuhan tanpa syarat. Kita tidak berhak menuntut apa pun dari-Nya atau bertransaksi dengan-Nya. Sebagai makhluk ciptaan, melakukan bagian kita adalah kewajiban kita dan tidak ada transaksi yang boleh mencemari hal itu! itu benar dan tepat, hal yang wajar, sama seperti anak-anak yang berbakti kepada orang tua.
Setelah itu, aku menjadi lebih serius dengan tugasku dan benar-benar mengabdikan diriku untuk memberitakan Injil. Aku merasa sangat damai, hidup dengan cara ini. Suatu hari, sebuah sekolah mengundangku untuk wawancara. Sekolah ini sangat bergengsi, jadi aku tahu aku akan mendapatkan gaji yang besar jika mendapatkan pekerjaan itu. Namun saat wawancara, aku berkata kepada Tuhan dalam hati, "Tuhan, semuanya sudah diatur oleh-Mu. Apakah aku berhasil dalam wawancara ini atau tidak, aku tidak menuntut pekerjaan ini dari-Mu. Aku hanya mau tunduk pada pengaturan-Mu. Sekalipun aku tidak mendapatkan pekerjaan ini, aku akan tetap memuji-Mu dan terus melakukan tugasku." Hasil ujian tertulis dirilis, dan aku berada pada posisi lima calon terbaik. Aku sangat senang. Beberapa hari kemudian, setelah wawancara lisan, aku mengetahui bahwa aku tidak terpilih. Seorang teman memberitahuku bahwa dia telah dipilih, dan meskipun senang untuknya, aku merasa sedikit kecewa. Aku memohon kepada Tuhan untuk memberiku kedamaian batin dan melindungi hatiku sehingga aku mampu tunduk pada pengaturan-Nya. Setelah berdoa, aku merasa sangat tenang dan pergi melakukan tugasku seperti biasa sore itu. Aku tahu bahwa jika Tuhan ingin aku bekerja di sekolah itu, aku akan mendapatkan pekerjaan itu, tetapi jika sebaliknya, tidak ada kerja keras yang akan membuatku diterima. Aku merasa yakin semua itu berada di tangan Tuhan, dan tak seorang pun yang mampu melampaui kedaulatan Tuhan. Dengan pemikiran itu, aku merasakan kekuatan yang memotivasi di dalam hatiku, dan aku benar-benar ingin melakukan tugasku apa pun yang terjadi, untuk memenuhi tanggung jawabku.
Ini benar-benar mengajarku bahwa keadaan sulit itu sebenarnya adalah anugerah dan berkat Tuhan. Tuhan membuatku melewati semua itu untuk menguji imanku, dan untuk melihat apakah aku mampu tetap setia kepada Tuhan atau tidak melewati masa-masa sulit. Dihadapkan dengan fakta memperlihatkan kepadaku betapa palsunya imanku, bahwa aku mampu menipu Tuhan. Bimbingan firman Tuhan membantuku mengenali diriku sendiri dan membalikkan pengejaranku yang keliru. Aku tidak pernah bisa mendapatkan semua ini di saat nyaman. Aku sangat bersyukur atas kasih Tuhan!
Catatan kaki:
a. Kembali ke pantai: ungkapan Tionghoa, yang berarti "berbalik dari jalan yang jahat".
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.