Setelah Kematian Putraku

03 Juni 2022

Oleh Saudari Wang Li, Tiongkok

Suatu hari pada Juni 2014, putriku tiba-tiba menelepon dan mengatakan putraku tersengat listrik saat memancing. Dia belum tahu persis kronologinya, tetapi dia menyuruhku bersiap diri. Mendengar kabar ini, aku terduduk di tempat tidur, pikiranku menerawang. Putraku adalah tiang penopang keluarga. Bagaimana kami bisa bertahan hidup jika sesuatu terjadi padanya? Ketika pikiranku kembali jernih, kupikir, aku telah menjadi orang percaya selama bertahun-tahun dan selalu melaksanakan tugas, jadi Tuhan pasti melindunginya. Dia akan baik-baik saja! Aku berdiri, agak terhuyung, dan menemukan seseorang untuk membawaku ke tempat kejadian. Setibanya di sana, kulihat dokter forensik mengautopsi putraku. Aku bingung, tak mampu menerima kenyataan yang ada di hadapanku, dan tak mampu berjalan. Seseorang memegangiku dan membawaku mendekati tubuhnya, selangkah demi selangkah. Melihat mayatnya, aku hanya bisa berjongkok dan menangis. Cucu kecilku baru berusia empat bulan. Aku dan suamiku sudah semakin tua. Bagaimana kami semua bisa bertahan hidup tanpa putraku? Melihatku seperti ini, putriku berkata, "Bu, dia sudah pergi, tapi Ibu masih punya aku, dan Ibu masih punya Tuhan!" Perkataannya "Kau masih punya Tuhan" menyadarkanku dalam kesedihanku. Benar. Tuhan adalah penopangku—bagaimana aku bisa melupakan Dia? Aku menahan kesedihanku, menghapus air mata, dan pergi untuk mengurus pemakamannya.

Sesampainya di rumah, membayangkan wajah putraku membuatku menangis. Aku sangat menderita. Teman, kerabat, dan tetangga tersenyum sinis dan berkata, "Kau percaya kepada Tuhan, tapi anakmu tetap mati tersengat listrik? Tuhan tak melindungi keluargamu meski kau beriman!" Kemudian putriku pun mengkritikku, berkata, "Mengapa kakakku mati jika kau orang beriman? Mengapa Tuhan tidak melindunginya?" Mendengar hal ini benar-benar membuat keadaanku makin sulit. Tak tahan dengan ejekan mereka, aku mulai memiliki gagasan dan salah paham terhadap Tuhan. Aku teringat bagaimana aku telah mengorbankan diriku selama imanku kepada Tuhan. Terkadang aku bersepeda bermil-mil untuk menyokong orang percaya lainnya, dan musim panas atau musim dingin, di tengah hujan atau angin, aku tak pernah menunda. Setelah menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman, aku berkorban lebih banyak lagi untuk melaksanakan tugasku, dan dengan antusias ikut serta mengabarkan Injil dan menyirami petobat baru. Aku terus mengikuti Tuhan bahkan ketika si naga merah yang sangat besar menindasku dan menggeledah rumahku. Mengapa Tuhan tak melindungi keluargaku, setelah kuberikan segalanya? Mengapa itu bisa terjadi? Aku merasa makin diperlakukan tidak adil, dan tak mampu menahan diri untuk tidak menangis. Aku sangat putus asa selama beberapa hari. Aku tak mau membaca firman Tuhan atau berdoa, tapi dalam kebingungan setiap hari dengan kegelapan di hatiku. Menyadari keadaanku yang berbahaya, aku berdoa kepada Tuhan, berkata, "Ya Tuhan, aku tak mampu melepaskan kematian anakku. Aku salah paham dan menyalahkan-Mu. Tuhan, aku sangat negatif dan lemah sekarang. Kumohon selamatkan aku, tolong aku memahami kehendak-Mu dan keluar dari keadaanku yang salah."

Setelah berdoa, aku membaca bagian ini dalam firman Tuhan: "Jika mereka ingin diselamatkan, dan ingin sepenuhnya didapatkan oleh Tuhan, maka semua orang yang mengikut Tuhan harus menghadapi pencobaan dan serangan besar maupun kecil dari Iblis. Mereka yang keluar dari pencobaan dan serangan ini dan mampu mengalahkan Iblis sepenuhnya adalah mereka yang telah diselamatkan oleh Tuhan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). "Orang yang belum diselamatkan adalah tawanan Iblis, mereka tidak memiliki kebebasan, mereka belum dilepaskan oleh Iblis, mereka tidak layak atau berhak untuk menyembah Tuhan, dan mereka dikejar dengan gigih dan diserang secara kejam oleh Iblis. Orang-orang semacam itu tidak memiliki kebahagiaan untuk ditunjukkan, mereka tidak memiliki hak keberadaan yang normal untuk ditunjukkan, dan bahkan mereka tidak memiliki martabat untuk ditunjukkan. Hanya jika engkau berjuang dan berperang melawan Iblis, menggunakan imanmu kepada Tuhan serta ketaatanmu, dan rasa takutmu akan Tuhan sebagai senjata yang digunakan dalam pertarungan hidup dan mati melawan Iblis, sehingga engkau akan mengalahkan Iblis sepenuhnya dan membuatnya lari terbirit-birit dan menjadi ketakutan kapan pun dia melihatmu, sehingga dia menghentikan serangan dan tuduhannya terhadapmu—baru setelah itulah engkau akan diselamatkan dan menjadi bebas. Jika engkau bertekad untuk benar-benar putus dengan Iblis, tetapi tidak diperlengkapi dengan senjata yang akan membantumu mengalahkan Iblis, maka engkau akan tetap berada dalam bahaya; seiring berjalannya waktu, ketika engkau begitu tersiksa oleh Iblis sehingga engkau tidak memiliki kekuatan lagi dalam dirimu, juga engkau tetap tidak mampu menjadi kesaksian, masih belum sepenuhnya membebaskan dirimu dari tuduhan dan serangan Iblis terhadapmu, maka engkau memiliki harapan yang sedikit untuk memperoleh penyelamatan. Pada akhirnya, saat akhir pekerjaan Tuhan dikumandangkan, engkau akan tetap berada dalam cengkeraman Iblis, tidak mampu membebaskan dirimu, dan dengan demikian engkau tidak akan pernah memiliki kesempatan atau harapan. Maka, implikasinya adalah orang tersebut akan sepenuhnya berada dalam penawanan Iblis" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Dari firman Tuhan aku mengerti bahwa kematian putraku adalah ujian bagiku. Aku harus mengandalkan imanku untuk melewatinya dan menjadi kesaksian bagi Tuhan, tak boleh menjadi negatif dan lemah seperti waktu itu, kehilangan iman kepada Tuhan, dan salah paham serta menyalahkan Dia. Aku teringat ketika Ayub dicobai oleh Iblis. Semua ternak dan harta bendanya dirampas oleh perampok, kesepuluh anaknya meninggal, dan sekujur tubuhnya sendiri dipenuhi barah. Namun, Ayub lebih suka mengutuk hari kelahirannya, daripada menyangkal nama Tuhan dan menyalahkan-Nya. Dia berkata, "Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub 1:21). Ayub menjadi kesaksian yang indah dan berkumandang bagi Tuhan dan mempermalukan Iblis. Namun aku, aku salah paham dan menyalahkan Tuhan setelah kehilangan putraku. Aku sama sekali tak bisa dibandingkan dengan Ayub—aku sangat malu. Aku juga merenungkan bagaimana, ketika Ayub diuji, istrinya menyuruhnya untuk meninggalkan Tuhan dan mati. Kelihatannya istrinya mencela dia, tetapi di balik itu, Iblis sedang mencobainya. Bukankah teman, kerabat, dan putriku berperan sebagai Iblis? Iblis menggunakan ejekan dari orang-orang di sekitarku untuk mencobai dan menyerangku agar aku mengkhianati Tuhan. Jika terus hidup dalam kenegatifan, salah paham dan menyalahkan Tuhan, aku pasti jatuh ke dalam tipu muslihat Iblis dan terus menjadi bahan tertawaannya. Saat itulah aku menyadari, Iblis mengawasiku di sepanjang pencobaan itu, dan Tuhan berharap aku menjadi kesaksian bagi Dia dan mempermalukan Iblis. Selama bertahun-tahun imanku, aku tahu aku telah menikmati begitu banyak makanan dari firman Tuhan, dan kini tiba saatnya bagiku menjadi kesaksian bagi Tuhan, aku tak boleh salah paham dan menyalahkan Dia, dan membuat Iblis senang. Aku harus menjadi kesaksian dan mempermalukan Iblis! Dengan pemikiran ini, aku tak merasa sengsara dan tak berdaya seperti sebelumnya. Imanku bertumbuh dan aku siap bersandar pada Tuhan dan melewati situasi itu.

Kemudian, aku bertanya-tanya mengapa aku menjadi begitu negatif dan penuh keluhan dalam menghadapi situasi itu. Lalu suatu hari, aku membaca satu bagian firman Tuhan. "Engkau berharap bahwa imanmu kepada Tuhan tidak akan mendatangkan tantangan atau kesengsaraan, ataupun kesulitan sekecil apa pun. Engkau selalu mengejar hal-hal yang tidak berharga, dan tidak menghargai hidup, melainkan menempatkan pikiran yang terlalu muluk-muluk di atas kebenaran. Engkau sungguh tidak berharga! ... Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? ... Hidupmu hina dan tercela, engkau hidup di tengah-tengah kecemaran dan kecabulan, dan tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani memandang Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa? Jalan yang benar telah diberikan kepadamu, tetapi apakah pada akhirnya engkau dapat memperolehnya, itu tergantung pada pengejaran pribadimu sendiri" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Dari firman Tuhan aku mengerti bahwa aku salah paham dan menyalahkan Tuhan setelah kematian putraku karena aku memiliki perspektif yang keliru dalam imanku. Sejak beriman, aku punya motif diberkati, berpikir bahwa seluruh keluarga harus diberkati dari iman satu orang. Aku tetap berpikir seperti itu setelah menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman, berpikir asalkan aku mengorbankan diri untuk Tuhan, menderita dan membayar harga, Tuhan pasti memberkatiku, melindungi keluargaku dan menjaga mereka tetap aman dan sehat. Itu sebabnya, apa pun tugas yang diatur gereja untukku, aku tunduk dan secara proaktif bekerja sama betapa pun sulitnya itu, berusaha keras untuk terus mendesak maju, dengan senang hati menerima penderitaan apa pun. Bagaimanapun teman dan kerabat memfitnah dan menolakku dan pemerintah menindasku, aku tetap melakukan tugas, tak pernah mundur. Namun, ketika putraku tiba-tiba meninggal tersengat listrik, aku hidup dalam kesengsaraan setiap hari, tak mau berdoa atau membaca firman Tuhan. Aku tak punya kerinduan yang sama untuk mengejar, dan aku bahkan berusaha bernalar dengan Tuhan, menggunakan upayaku sebelumnya sebagai modal. Aku menyalahkan Tuhan karena tak memperhitungkan semua pengorbanan yang telah kulakukan, tidak melindungi putraku. Aku tak mengetahui tingkat pertumbuhanku yang sebenarnya sampai tersingkap oleh situasi itu. Dahulu, aku selalu berpikir bahwa aku mampu berkorban untuk Tuhan, menderita dan membayar harga, yaitu setia dan taat kepada-Nya, dan Dia pasti akan menyelamatkanku pada akhirnya. Namun, kematian putraku menyingkapkan tingkat pertumbuhanku yang sebenarnya dan kemudian aku sadar bahwa ada terlalu banyak motif dan kepalsuan dalam upayaku. Semua itu demi kasih karunia dan berkat, dan ketika tujuan dan harapanku untuk itu hancur, aku tak punya keinginan sedikit pun untuk berjuang atau melaksanakan tugasku. Ini memperlihatkan kepadaku bahwa kerja kerasku selama ini hanya untuk berkat, untuk bertransaksi dengan Tuhan, tidak melaksanakan tugasku untuk memuaskan-Nya. Aku memperalat Tuhan, menipu Dia. Itu pandangan terhadap iman yang keji dan buruk. Menyadari hal itu, aku merasa sangat berutang kepada Tuhan dan membenci diriku sendiri karena beriman selama bertahun-tahun, tapi tak mengejar kebenaran atau menjadi kesaksian bagi Tuhan. Aku berlutut di hadapan Tuhan dan berdoa sambil menangis, "Ya Tuhan, aku telah cukup lama hidup dalam keadaan negatif, salah paham dan menyalahkan-Mu. Itu sangat menyakitkan dan mengecewakan bagimu! Ya Tuhan, aku mau bertobat!"

Kemudian suatu hari, aku membaca bagian ini dalam firman Tuhan: "Semua orang memiliki tempat tujuan yang sesuai. Tempat tujuan ini ditentukan berdasarkan pada esensi masing-masing orang, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang lain. Perilaku jahat seorang anak tidak dapat dialihkan kepada orang tuanya, dan kebenaran seorang anak tidak dapat dibagikan kepada orang tuanya. Perilaku jahat orang tua tidak dapat dialihkan kepada anak-anaknya, dan kebenaran orang tua tidak dapat dibagikan kepada anak-anaknya. Setiap orang menanggung dosanya masing-masing, dan setiap orang menikmati berkatnya masing-masing. Tak seorang pun dapat menggantikan orang lain; inilah keadilan. Dari sudut pandang manusia, jika orang tua menerima berkat, anak-anak mereka pun seharusnya bisa mendapatkannya, dan jika anak-anak melakukan kejahatan, orang tua mereka harus menebus dosa mereka. Inilah sudut pandang manusia dan cara manusia melakukan sesuatu; ini bukan sudut pandang Tuhan. Kesudahan setiap orang ditentukan berdasarkan esensi yang berasal dari perilaku mereka, dan hal itu selalu ditentukan dengan tepat. Tak seorang pun dapat menanggung dosa orang lain; terlebih lagi, tak seorang pun dapat menerima hukuman menggantikan orang lain. Hal ini mutlak" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Merenungkan firman Tuhan, aku mengerti bahwa tempat tujuan semua orang ditentukan berdasarkan esensi mereka, dan apakah mereka berbuat baik atau berbuat jahat, dan itu tidak berkaitan dengan orang lain. Dalam iman dan tugasku, sebanyak apa pun aku menderita atau membayar harga, aku hanya melakukan tugasku, memenuhi tanggung jawab, kewajiban sebagai makhluk ciptaan. Itu tak ada kaitannya dengan nasib atau kesudahan putraku, dan dia takkan mendapat manfaat sebagai akibat dari penderitaan dan upayaku. Seluruh keluarga diberkati dari iman satu orang adalah berkat dari Zaman Kasih Karunia, tapi kini pada akhir zaman, setiap orang digolongkan menurut jenisnya. Tuhan menentukan kesudahan setiap orang berdasarkan kinerja mereka. Kupikir karena aku telah berupaya keras untuk tugasku, Tuhan harus melindungi putraku. Namun, itu perspektif absurd yang sama sekali tidak sesuai dengan kebenaran. Tuhan adalah Sang Pencipta, dan nasib segala sesuatu dan semua orang dalam hidup berada di tangan-Nya. Tuhan telah sejak lama menetapkan berapa tahun putraku akan hidup. Ketika dia meninggal, itu akhir dari masa hidup yang telah Tuhan tetapkan untuknya, dan tak seorang pun mampu mengubahnya. Entah mereka percaya kepada Tuhan atau tidak, semua orang adalah makhluk ciptaan di tangan-Nya. Dia berkuasa untuk membuat pengaturan yang tepat bagi semua makhluk ciptaan, dan pengaturan dan penataan apa pun yang Dia buat, Dia itu adil. Aku harus tunduk pada pengaturan-Nya. Pemahaman ini segera mencerahkan hatiku, dan aku tak merasa begitu sedih. Keadaanku berangsur-angsur membaik dan aku berdoa dan membaca firman Tuhan setiap hari. Terkadang aku mempersekutukan keadaanku dengan saudara-saudari dan kematian putraku tidak terlalu memengaruhiku lagi.

Pada bulan November, aku menjadi pemimpin gereja. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan, dan benar-benar mengabdikan diriku ke dalamnya. Tak lama kemudian, santunan kematian putraku dicairkan, tetapi yang mengejutkanku, menantu perempuanku ingin mengambil semuanya. Dia bahkan diam-diam mengambil semua uang yang putraku tabung selama hidupnya dan semua miliknya yang berharga. Dia juga kabur dengan putra mereka. Aku dibiarkan melihat kamar tidur mereka yang kosong dan mengenang saat putraku masih hidup. Sebelumnya, keluarga kami berkumpul bersama, mengobrol dan tertawa, tapi kini nyawa dan harta bendanya telah lenyap. Aku tak mampu menahan air mata kesedihanku. Putraku telah mati, dan istrinya telah pergi. Dia juga kabur dengan semua barang berharga. Keluarga kami hancur dan melarat—aku tak punya apa-apa. Aku telah beriman selama bertahun-tahun, melaksanakan tugasku dalam kondisi apa pun, dan sibuk bekerja di gereja setiap hari sejak menjadi pemimpin. Aku tak lari dari kesulitan apa pun, sebesar apa pun kesulitan itu. Aku orang percaya sejati dan aku berupaya sungguh-sungguh untuk Tuhan. Mengapa Tuhan tak melakukan sesuatu terhadap perlakuan menantu perempuanku? Aku makin merasa diperlakukan tidak adil, sangat sedih dan menderita.

Suatu hari, di tengah tangisan dan kesedihan, aku teringat satu bagian firman Tuhan. "Sementara menjalani ujian, wajar bagi manusia untuk merasa lemah, atau memiliki kenegatifan dalam diri mereka, atau kurang memiliki kejelasan tentang kehendak Tuhan atau jalan penerapan mereka. Namun dalam hal apa pun, engkau harus memiliki iman dalam pekerjaan Tuhan, dan seperti Ayub, jangan menyangkal Tuhan. Walaupun Ayub lemah dan mengutuki hari kelahirannya sendiri, dia tidak menyangkal bahwa segala sesuatu dalam hidup manusia dikaruniakan oleh Yahweh dan Yahweh-lah juga yang bisa mengambil semuanya itu. Bagaimanapun dia diuji, dia tetap mempertahankan keyakinannya ini. Dalam pengalamanmu, pemurnian apa pun yang engkau alami melalui firman Tuhan, yang Tuhan kehendaki dari manusia, singkatnya, adalah iman dan kasih mereka kepada-Nya. Yang Dia sempurnakan dengan bekerja dengan cara ini adalah iman, kasih dan aspirasi manusia. Tuhan melakukan pekerjaan penyempurnaan dalam diri manusia, dan mereka tidak bisa melihatnya, tidak bisa merasakannya; dalam situasi inilah imanmu dibutuhkan. Iman manusia dibutuhkan ketika sesuatu tidak bisa terlihat oleh mata telanjang, dan imanmu dibutuhkan ketika engkau tidak bisa melepaskan gagasanmu sendiri. Ketika engkau tidak memiliki kejelasan tentang pekerjaan Tuhan, yang dibutuhkan darimu adalah memiliki iman dan engkau harus berdiri teguh dan menjadi saksi. Ketika Ayub mencapai titik ini, Tuhan menampakkan diri kepadanya dan berbicara kepadanya. Artinya, hanya dari dalam imanmulah, engkau akan bisa melihat Tuhan, dan ketika engkau memiliki iman, Tuhan akan menyempurnakanmu. Tanpa iman, Dia tidak bisa melakukan ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Merenungkan bagian ini berulang kali, aku mengerti bahwa Tuhan menyempurnakan iman dan kasih kita melalui kesukaran. Apa pun yang kita hadapi, penderitaan dan kesulitan apa pun yang kita hadapi, Tuhan berharap kita akan mengandalkan iman kita untuk melewatinya dan menjadi kesaksian bagi Dia. Aku teringat tentang Ayub yang kehilangan semua harta miliknya dan anak-anaknya, berubah dari orang kaya menjadi orang miskin yang melarat. Namun, dia masih mampu tersungkur ke tanah dan memuji nama Tuhan Yahweh karena dia tak pernah percaya bahwa dia mendapatkan kekayaannya melalui usahanya sendiri dan dia tidak melihat anak-anaknya sebagai milik pribadinya. Dia tahu betul bahwa semua itu berasal dari Tuhan. Di luarnya tampak sepertinya perampok telah merampas segalanya, tetapi dia tak melihat segala sesuatu secara dangkal—dia menerima segala sesuatu dari Tuhan dan tunduk. Iman dan rasa hormat Ayub kepada Tuhan dimurnikan melalui satu demi satu ujian dan kesengsaraan. Dan ada Abraham, yang tidak punya anak sampai dia berusia 100 tahun, tetapi ketika Tuhan menyuruhnya mempersembahkan anaknya sebagai korban, meskipun itu sangat menyakitkan bagi Abraham, dia tidak bernegosiasi dengan Tuhan atau bernalar dengan-Nya. Dia tahu Tuhan telah memberinya anak itu, jadi jika Tuhan menginginkan dia kembali, dia harus mengembalikannya. Ayub dan Abraham sama-sama memiliki hati nurani dan nalar yang istimewa, dan iman serta ketundukan mereka dapat bertahan dalam ujian kenyataan. Namun, melihat diriku, aku salah paham dan menyalahkan Tuhan ketika putraku meninggal, dan kemudian ketika aku memahami sedikit kehendak Tuhan berkat firman-Nya, aku tunduk sedikit, jadi kupikir aku telah mendapatkan sedikit tingkat pertumbuhan dan mampu menjadi kesaksian. Namun, ketika menantu perempuanku kabur dengan barang berharga keluarga kami, keluhan kembali muncul dalam hatiku. Aku sadar aku hanya ingin menikmati berkat dan kasih karunia Tuhan, tapi tak mau menerima bencana atau kemalangan. Jika tidak, aku bersikap negatif dan mengeluh. Aku tak punya rasa hormat atau ketundukan sejati kepada Tuhan. Yang situasi ini singkapkan dari waktu ke waktu memperlihatkan kepadaku tingkat pertumbuhanku yang sebenarnya. Tanpa itu, aku pasti tetap dibutakan oleh perilaku luarku yang baik, dan berpikir bahwa terus melaksanakan tugas setelah kematian putraku berarti aku memiliki sedikit kesetiaan dan tingkat pertumbuhan. Namun, Tuhan tahu seberapa dalam mentalitas transaksional dan tujuanku untuk berkat telah tertanam dalam diriku. Aku harus melewati semua hal ini agar dapat secara berangsur memperoleh penyucian dan perubahan. Tuhan mengizinkan semua itu terjadi padaku adalah keselamatan-Nya bagiku. Makin kupikirkannya, makin aku merasa bersalah dan bersujud di hadapan Tuhan untuk berdoa: "Ya Tuhan! Kini aku sadar bahwa setelah bertahun-tahun menjadi orang percaya, aku masih belum memiliki iman yang sejati kepada-Mu. Aku masih mengeluh saat terjadi sesuatu yang tidak kusukai, dan sama sekali tidak menjadi kesaksian. Tuhan, aku mau bertobat kepada-Mu. Kumohon bimbinglah aku untuk mengenal diriku sendiri."

Kemudian, aku membaca satu bagian firman Tuhan yang memberiku pemahaman yang benar tentang jalan yang telah kutempuh selama bertahun-tahun. Firman Tuhan katakan: "Karena orang zaman sekarang tidak memiliki kemanusiaan yang sama seperti Ayub, apa natur dan esensi mereka, dan sikap mereka terhadap Tuhan? Apakah mereka takut akan Tuhan? Apakah mereka menjauhi kejahatan? Mereka yang tidak takut akan Tuhan atau menjauhi kejahatan hanya bisa disimpulkan dengan dua kata: 'musuh Tuhan'. Engkau semua sering mengatakan dua kata ini, tetapi engkau semua sama sekali tidak mengetahui makna yang sebenarnya. Frasa 'musuh Tuhan' memiliki substansi: frasa tersebut tidak mengatakan bahwa Tuhan memandang manusia sebagai musuh, tetapi manusia memandang Tuhan sebagai musuh. Pertama, ketika orang mulai percaya kepada Tuhan, siapa di antara mereka yang tidak memiliki tujuan, motivasi, dan ambisi mereka sendiri? Meskipun satu bagian dari mereka percaya akan keberadaan Tuhan, dan telah melihat keberadaan Tuhan, kepercayaan mereka kepada Tuhan masih mengandung motivasi tersebut, dan tujuan utama mereka percaya kepada Tuhan adalah untuk menerima berkat-Nya dan hal-hal yang mereka inginkan. Dalam pengalaman hidup manusia, mereka sering memikirkan diri mereka sendiri, aku telah menyerahkan keluarga dan karierku untuk Tuhan, lalu, apa yang telah Dia berikan kepadaku? Aku harus menghitungnya, dan memastikan—sudahkah aku menerima berkat baru-baru ini? Aku telah memberikan banyak hal selama waktu ini, aku telah berlari dan berlari, dan telah banyak menderita—apakah Tuhan memberiku janji-janji sebagai imbalannya? Apakah Dia mengingat perbuatan baikku? Akan seperti apakah akhir hidupku? Bisakah aku menerima berkat-berkat Tuhan? ... Setiap orang selalu membuat perhitungan semacam itu dalam hati mereka, dan mereka mengajukan tuntutan kepada Tuhan yang mengandung motivasi, ambisi, dan mentalitas bertransaksi mereka. Dengan kata lain, dalam hatinya, manusia terus-menerus menguji Tuhan, selalu menyusun rencana tentang Tuhan, dan selalu memperdebatkan kasus untuk akhir pribadinya sendiri dengan Tuhan, dan mencoba untuk mengeluarkan pernyataan dari Tuhan, melihat apakah Tuhan dapat memberikan kepadanya apa yang dia inginkan atau tidak. Pada saat yang sama ketika mengejar Tuhan, manusia tidak memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan. Manusia telah selalu berusaha membuat kesepakatan dengan Tuhan, mengajukan tuntutan kepada-Nya tanpa henti, dan bahkan menekan-Nya di setiap langkah, berusaha meminta lebih banyak setelah diberi sedikit, seperti kata pepatah: diberi hati minta jantung. Pada saat bersamaan saat mencoba bertransaksi dengan Tuhan, manusia juga berdebat dengan-Nya, dan bahkan ada orang-orang yang, ketika ujian menimpa mereka atau mereka mendapati diri mereka berada dalam situasi tertentu, sering kali menjadi lemah, pasif serta kendur dalam pekerjaan mereka, dan penuh keluhan akan Tuhan. Dari waktu saat manusia pertama kali mulai percaya kepada Tuhan, dia telah menganggap Tuhan berlimpah ruah, sama seperti pisau Swiss Army, dan dia menganggap dirinya sendiri sebagai kreditur terbesar Tuhan, seolah-olah berusaha mendapatkan berkat dan janji dari Tuhan adalah hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, sementara tanggung jawab Tuhan adalah melindungi dan memelihara manusia, serta membekalinya. Seperti inilah pemahaman dasar tentang 'percaya kepada Tuhan' dari semua orang yang percaya kepada Tuhan, dan seperti inilah pemahaman terdalam mereka tentang konsep kepercayaan kepada Tuhan. Dari natur dan esensi manusia hingga pengejaran subjektifnya, tidak ada satu pun yang berhubungan dengan sikap takut akan Tuhan. Tujuan manusia percaya kepada Tuhan tidak mungkin ada kaitannya dengan penyembahan kepada Tuhan. Dengan kata lain, manusia tidak pernah mempertimbangkan atau memahami bahwa kepercayaan kepada Tuhan membutuhkan takut akan Tuhan dan menyembah Tuhan. Dalam kondisi seperti itu, hakikat manusia mudah terlihat. Apakah hakikat ini? Hati manusia itu jahat, menyimpan pengkhianatan dan kecurangan, tidak mencintai keadilan dan kebenaran, dan hal yang positif, dan hati manusia hina dan serakah. Hati manusia benar-benar tertutup bagi Tuhan; manusia sama sekali tidak memberikan hatinya kepada Tuhan. Tuhan tidak pernah melihat hati manusia yang sejati, dan Dia juga tidak pernah disembah oleh manusia. Seberapa pun besarnya harga yang Tuhan bayar, atau seberapa pun banyaknya pekerjaan yang Dia lakukan, atau seberapa pun banyaknya Dia membekali manusia, manusia tetap buta dan sama sekali tidak peduli terhadap semua itu. Manusia tidak pernah memberikan hatinya kepada Tuhan, dia hanya ingin memikirkan hatinya sendiri, membuat keputusannya sendiri—intinya adalah manusia tidak mau mengikuti jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, ataupun taat pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan dia juga tidak mau menyembah Tuhan sebagai Tuhan. Seperti itulah keadaan manusia saat ini" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Penyingkapan dan penghakiman firman Tuhan sangat tajam bagiku. Frasa "musuh Tuhan" sangat menyakitkan bagiku. Aku tak pernah membayangkan bahwa aku akan tersingkap sebagai musuh Tuhan setelah bertahun-tahun beriman, tetapi firman Tuhan benar-benar menyingkapkan yang sebenarnya tentang diriku. "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri" dan "Jangan pernah bekerja sedikit pun kecuali ada upah" adalah racun iblis yang kuikuti. Aku menjadi sangat egois, keji, dan mementingkan diri sendiri. Aku menempatkan kepentinganku sendiri di atas segalanya dan dalam segala hal aku hanya memikirkan apakah akan diberkati atau tidak, apakah akan mendapat keuntungan atau tidak. Aku selalu mengutamakan kepentingan pribadiku. Ketika aku baru menjadi orang percaya, itu dengan tujuan menerima kasih karunia dan berkat. Setelah menerima pekerjaan baru Tuhan, aku tidak secara langsung meminta hal-hal itu kepada Tuhan, tapi di lubuk hati aku merasa bahwa karena aku mengorbankan diriku, Tuhan harus melindungiku dan memberiku semua berkat yang kuinginkan. Aku bahkan dengan berani berpikir bahwa itulah yang pantas kuterima, bahwa karena aku telah membayar harga, Tuhan harus memberi upah, dan jika tidak, artinya Dia tidak adil. Ketika keluargaku aman dan sehat dan bisa melihat kasih karunia dan berkat Tuhan, aku bersemangat dalam tugasku dan merasa penderitaan apa pun itu sepadan. Ketika putraku meninggal tersengat listrik, Aku melihat Tuhan tak melindungi keluargaku, jadi aku penuh kebencian terhadap-Nya. Ketika kepentinganku terganggu, aku menyalahkan Tuhan karena tidak melindungiku. Aku bahkan menggunakan upaya dan penderitaanku sebagai alat tawar-menawar untuk bernalar dengan Tuhan. Aku merasa menerima kasih karunia Tuhan adalah hal yang wajar, tetapi ketika Dia melakukan sesuatu yang tidak kusukai, aku segera menentang Dia, mengeluh dan salah paham terhadap-Nya. Aku sadar aku egois dan jahat, tak punya hati nurani atau nalar. Aku orang tidak percaya, dan benar-benar musuh Tuhan! Aku teringat Paulus yang pergi ke banyak negara di Eropa memberitakan Injil dan dia cukup menderita, tetapi semua kerja keras itu hanya sebagai penukar dengan berkat kerajaan Tuhan. Setelah dia mencapai banyak hal, dia berkata, "Aku sudah melakukan pertandingan yang baik. Aku sudah menyelesaikan perlombaanku, aku sudah menjaga imanku: Mulai dari sekarang sudah tersedia bagiku mahkota kebenaran" (2 Timotius 4:7-8). Sungguh perkataan yang berani. Yang Paulus maksudkan dengan itu adalah bahwa dia telah banyak menderita untuk mengabarkan Injil sehingga Tuhan harus memberinya mahkota, bahwa itulah yang pantas dia terima, jika tidak, artinya Tuhan tidak adil. Dengan mengatakan itu, dia memaksa Tuhan dan pada dasarnya mendesak, menuntut, secara terang-terangan menantang Tuhan. Pada akhirnya dia menyinggung watak Tuhan dan dihukum oleh-Nya. Aku sadar aku sama. Aku salah paham dan menyalahkan Tuhan saat tak mampu melihat kasih karunia dan berkat-Nya, menilai Dia bersikap tak adil dalam hatiku. Bukankah aku berada di jalan yang sama dengan Paulus, menentang Tuhan?

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Tidak ada hubungan antara tugas manusia dan apakah dia diberkati atau dikutuk. Tugas adalah apa yang manusia harus penuhi; itu adalah panggilan surgawinya, dan seharusnya tidak bergantung pada imbalan jasa, kondisi, atau nalar. Baru setelah itulah dia bisa dikatakan melakukan tugasnya. Diberkati adalah ketika orang disempurnakan dan menikmati berkat Tuhan setelah mengalami penghakiman. Dikutuk adalah ketika wataknya tidak berubah setelah mereka mengalami hajaran dan penghakiman, itu adalah ketika mereka tidak mengalami proses disempurnakan tetapi dihukum. Namun terlepas dari apakah mereka diberkati atau dikutuk, makhluk ciptaan harus memenuhi tugasnya, melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan melakukan apa yang mampu dilakukannya; inilah yang setidaknya harus dilakukan oleh orang yang mengejar Tuhan. Engkau tidak seharusnya melakukan tugasmu hanya untuk diberkati, dan engkau tidak seharusnya menolak untuk bertindak karena takut dikutuk. Kuberitahukan satu hal kepadamu: pelaksanaan tugas manusia adalah apa yang harus dia lakukan, dan jika dia tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka ini adalah pemberontakannya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perbedaan antara Pelayanan Tuhan yang Berinkarnasi dan Tugas Manusia"). Itu benar. Tugas adalah amanat Tuhan bagi kita, dan itu tanggung jawab yang tak boleh kita hindari. Itu benar dan pantas, sama seperti anak yang berbakti kepada orang tua. Itu harus tak bersyarat. Sebagai makhluk ciptaan, sedikit berkorban dalam iman dan tugasku adalah tanggung jawab, kewajiban yang harus kupenuhi. Aku tak boleh memperlakukannya sebagai modal atau alat tawar-menawar untuk bertransaksi dengan Tuhan. Entah akhirnya menikmati berkat atau mengalami kemalangan, aku harus tunduk pada aturan dan pengaturan Tuhan, dan melaksanakan tugasku. Dari lahir sampai mati, melewati bencana atau keberuntungan, apakah orang beriman atau tidak, mereka pasti akan menghadapi banyak kesulitan dan rintangan di sepanjang hidup mereka. Kematian dini putraku dan kemalangan lainnya dalam keluargaku semuanya adalah hal yang sangat wajar untuk dihadapi. Namun, aku memiliki keinginan yang terlalu kuat untuk berkat dan telah sedikit berkorban dalam tugasku, aku merasa telah membuat kontribusi nyata, jadi mau menggunakan hal-hal ini untuk menuntut upah Tuhan. Aku salah paham dan menyalahkan Tuhan saat tidak mendapatkannya. Aku sadar betapa egois dan kejinya naturku, dan betapa absurdnya perspektif yang kumiliki. Aku teringat tentang betapa besarnya penderitaan dan penghinaan yang telah Tuhan alami dua kali menjadi daging untuk keselamatan kita, tapi Dia tak pernah mengungkapkan berapa banyak darah, keringat dan air mata yang Dia keluarkan untuk itu. Dia hanya secara diam-diam mengungkapkan kebenaran dalam ketidakjelasan, melakukan pekerjaan-Nya untuk menyelamatkan umat manusia. Kasihnya begitu besar bagi kita! Sebagai orang percaya selama bertahun-tahun, aku telah menikmati begitu banyak anugerah dan berkat Tuhan dan begitu banyak penyiraman dan makanan dari kebenaran, tapi aku selalu mau menggunakan pengorbanan kecilku sebagai modal, dengan berani menuntut agar Tuhan memberkati dan melindungi anggota keluargaku. Aku sadar aku benar-benar tak tahu malu, dan sangat tak bernalar. Aku makin merasa menyesal dan bersalah saat memikirkannya. Aku ingat firman Tuhan: "Mereka yang tidak memiliki kemanusiaan tidak mampu bersungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Ketika situasinya aman dan terjamin, atau ketika mereka bisa mendapatkan keuntungan, mereka taat sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi begitu keinginan mereka tidak terkabul atau akhirnya ditolak, mereka langsung memberontak. Bahkan hanya dalam waktu semalam, mereka bisa berubah dari sosok manusia yang penuh senyum dan 'baik hati' menjadi pembunuh berwajah buruk yang kejam, yang tiba-tiba memperlakukan orang yang memberi kebaikan kepada mereka di masa lalu sebagai musuh bebuyutan, tanpa sebab atau alasan. Jika setan-setan ini tidak diusir keluar, setan-setan yang bisa membunuh tanpa ragu ini, bukankah mereka akan menjadi bahaya yang tersembunyi?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan Tuhan dan Penerapan Manusia"). Firman Tuhan membuatku merasa malu. Akulah tepatnya jenis orang seperti ini. Aku beriman agar selalu mendapatkan berkat, dan saat keinginanku tak terpenuhi, ketika kemalangan terjadi dalam keluargaku, aku segera menentang Tuhan dan membenci-Nya, bahkan memperlakukan Dia seperti musuh. Penyingkapan dalam firman Tuhan-lah yang akhirnya membuatku melihat diriku yang sebenarnya. Ternyata naturku menentang Tuhan. Menyadari hal ini memenuhiku dengan penyesalan dan rasa bersalah. Aku berlutut di hadapan Tuhan dan berdoa sambil menangis, penuh penyesalan, "Ya Tuhan, aku benar-benar jenis orang yang tak punya kemanusiaan seperti yang Engkau gambarkan. Aku ingin menggunakan sedikit pengorbananku untuk bertransaksi dengan-Mu. Aku menipu dan menentang-Mu—aku sangat berutang kepada-Mu! Tuhan, aku mau bertobat kepada-Mu. Apa pun yang Engkau atur, aku siap tunduk dan menerimanya, mengerahkan segenap kemampuanku dalam tugasku untuk membalas kasih-Mu!" Setelah itu, aku berupaya berdoa kepada Tuhan dan lebih banyak membaca firman-Nya dan mengerahkan segenap tenagaku ke dalam tugasku. Dengan melakukan ini, aku mendapatkan kembali kedamaian dan sukacitaku, dan aku tak lagi dikuasai oleh rasa sakit karena kehilangan putraku.

Meskipun ini pengalaman yang menyakitkan, inilah tepatnya jenis penderitaan yang memperlihatkan kepadaku tujuan kejiku untuk mengejar berkat, kerusakan dan kepalsuan dalam iman, dan aku mendapatkan sedikit pemahaman tentang natur Iblisku yang menentang Tuhan. Tanpa melewati kesulitan ini, tanpa penyingkapan fakta, aku pasti tidak melihat tingkat pertumbuhanku yang sebenarnya. Pengalaman ini benar-benar mengajariku bahwa makin kita menghadapi hal-hal yang tak menyenangkan, makin banyak kebenaran yang harus dicari. Kasih dan keselamatan Tuhan bagi kita ada di baliknya. Syukur kepada Tuhan!

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Iman Berarti Mengandalkan Tuhan

Oleh Saudari Cheng Cheng, ItaliaTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Hanya dari dalam imanmulah, engkau akan bisa melihat Tuhan, dan ketika...

Aib dari Masa Laluku

Oleh Saudari Li Yi, Tiongkok Agustus 2015, keluargaku dan aku pindah ke Xinjiang. Aku dengar Partai Komunis melakukan pengawasan ketat dan...