Melepaskan Rasa Berutang kepada Putraku

28 September 2024

Waktu aku masih kecil, ibuku tidak hanya bertanggung jawab atas makanan dan pakaian kami, tetapi dia juga harus bekerja di ladang Setelah selesai bekerja, dia harus pulang dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Karena itu, kukira wanita harus hidup seperti ini agar dapat menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih. Setelah aku menikah, sama seperti ibuku, aku menyiapkan makanan tiga kali sehari untuk suami dan putraku, mengurus kebutuhan dasar mereka, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Namun, ketika anak lelakiku berusia satu tahun, suamiku meninggal dalam kecelakaan mobil. Pada saat itu aku merasa sangat menderita dan menganggap bahwa hidup sudah tidak lagi bermakna, tetapi aku melanjutkan hidup demi putraku. Untuk memberikan sebuah keluarga yang utuh bagi anakku, aku menikah lagi. Melihat bahwa suamiku cukup perhatian pada putraku, hatiku sedikit terhibur. Setelah menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, aku sering menghadiri pertemuan serta makan dan minum firman Tuhan bersama saudara-saudari. Aku mulai memahami beberapa kebenaran dan mulai melaksanakan tugasku. Kemudian, karena orang-orang di sekitar desa telah tahu bahwa aku percaya kepada Tuhan, polisi mulai mengawasiku, dan aku harus meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugasku. Aku memercayakan putraku kepada suamiku dan orang tuanya. Saat pergi melaksanakan tugasku, aku sangat merindukan putraku, dan aku selalu merasa bahwa aku tidak memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu. Aku selalu menantikan waktu ketika, jika keadaan memungkinkan, aku bisa pulang dan membayar utang kepada putraku.

Pada bulan Juli 2023, aku diam-diam pulang ke rumah dan mendapati bahwa suamiku telah mengajukan gugatan cerai. Dia juga mengatakan bahwa putraku tidak bekerja keras dan tidak bisa mempertahankan pekerjaan apa pun untuk waktu yang lama, dan jika aku tidak kunjung mendisiplinkannya, dia akan hancur. Orang tuaku menyalahkanku karena selama ini tidak mengurus putraku dan menunda prospek masa depannya. Mendengar ini, aku berpikir, "Jika aku tinggal di rumah dan sedikit mendorongnya, akankah dia mulai melakukan hal-hal yang benar dan mampu menempuh jalan yang benar?" Setelah melihat situasi anakku dan menghadapi kritik dari orang-orang di sekitarku, aku makin merasa bersalah terhadap putraku. Suatu hari, bibiku mengunjungi rumahku dan berkata bahwa sepupuku telah membantu putranya membuka toko yang menjual ayam panggang. Namun, anaknya menganggap pekerjaan itu terlalu kotor dan berada di rumah saja bermain gim sepanjang hari. Apa pun yang dikatakan sepupuku tidak didengarkannya. Setelah mendengar cerita bibiku, aku teringat pada suatu bagian dari firman Tuhan: "'Kegagalan anak-anak untuk menempuh jalan yang benar adalah kesalahan orang tua mereka' adalah salah. Siapa pun itu, jika mereka adalah orang tertentu, mereka akan menempuh jalan tertentu. Bukankah ini pasti? (Ya.) Jalan yang orang tempuh menentukan siapa diri mereka. Merekalah yang memutuskan jalan yang mereka tempuh dan mereka akan menjadi orang seperti apa. Ini adalah hal-hal yang telah ditentukan dari semula, hal-hal bawaan, dan berkaitan dengan natur seseorang. Lalu apa gunanya didikan orang tua? Dapatkah itu mengatur natur seseorang? (Tidak.) Didikan orang tua tidak dapat mengatur natur manusia dan tidak dapat menyelesaikan masalah tentang jalan mana yang orang tempuh. Apakah satu-satunya didikan yang dapat orang tua berikan? Beberapa perilaku sederhana dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka, beberapa pemikiran dan aturan cara berperilaku yang cukup dangkal—semua ini adalah hal-hal yang ada kaitannya dengan orang tua. Sebelum anak-anak mereka menjadi dewasa, orang tua harus memenuhi tanggung jawab mereka, yaitu mendidik anak-anak mereka untuk menempuh jalan yang benar, belajar dengan giat, dan berjuang untuk lebih unggul daripada orang lain setelah mereka dewasa, tidak melakukan hal-hal yang buruk, atau menjadi orang jahat. Orang tua juga harus mengatur perilaku anak-anak mereka, mengajari mereka untuk bersikap sopan dan menyapa orang yang lebih tua kapan pun bertemu dengan mereka, dan mengajari mereka hal-hal lain yang berkaitan dengan perilaku. Inilah tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang tua. Mengurus kehidupan anak-anak mereka dan mendidik mereka dengan beberapa aturan dasar tentang cara berperilaku, itulah pengaruh orang tua. Sedangkan orang tua tidak bisa mengajarkan kepribadian anak mereka. Ada orang-orang tua yang santai dan melakukan segalanya dengan santai, sedangkan anak-anak mereka sangat tidak sabar dan tidak bisa diam meski hanya sebentar. Mereka mencari uang sendiri ketika berusia 14 atau 15 tahun, mengambil keputusan mereka sendiri dalam segala hal, tidak membutuhkan orang tua mereka, dan mereka sangat mandiri. Apakah ini diajarkan oleh orang tua mereka? Tidak. Oleh karena itu, kepribadian, watak, bahkan esensi, serta jalan yang orang pilih di masa depan, sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang tua mereka. ... Ada masalah dengan ungkapan 'Memberi makan tanpa mengajar adalah kesalahan ayah'. Meskipun orang tua memiliki tanggung jawab dalam mendidik anak-anak mereka, tetapi nasib seorang anak tidak ditentukan oleh orang tuanya, melainkan oleh natur anak tersebut. Dapatkah pendidikan menyelesaikan masalah natur anak? Itu sama sekali tidak dapat menyelesaikannya. Jalan hidup yang ditempuh seseorang tidak ditentukan oleh orang tuanya, tetapi telah ditentukan sejak semula oleh Tuhan. Dikatakan bahwa 'Nasib manusia ditentukan oleh Surga', dan pepatah ini disimpulkan berdasarkan pengalaman manusia. Sebelum seseorang menjadi dewasa, engkau tidak dapat mengetahui jalan apa yang akan dia tempuh. Setelah dia menjadi dewasa, dan memiliki pemikiran serta mampu merenungkan masalah, dia akan memilih apa yang akan dia lakukan dalam komunitas tempatnya tinggal. Ada orang-orang yang berkata mereka ingin jadi pejabat senior, ada yang berkata mereka ingin jadi pengacara, dan ada pula yang berkata mereka ingin menjadi penulis. Setiap orang memiliki pilihan dan pemikiran mereka masing-masing. Tak ada seorang pun yang berkata, 'Aku hanya akan menunggu orang tuaku mendidikku. Aku akan menjadi seperti apa pun didikan orang tuaku.' Tak ada seorang pun yang sebodoh ini. Setelah beranjak dewasa, pemikiran-pemikiran orang mulai bergejolak dan berangsur-angsur menjadi matang, sehingga jalan dan tujuan di depan mereka menjadi makin jelas. Pada saat ini, orang seperti apa mereka, dan di kelompok mana mereka berada, sedikit demi sedikit menjadi jelas dan terlihat. Mulai sejak saat itu, karakter setiap orang secara berangsur menjadi jelas, begitu pun watak mereka, jalan yang mereka tempuh, arah hidup mereka, dan kelompok di mana mereka berada. Semua ini didasarkan pada apa? Pada akhirnya, ini adalah sesuatu yang telah Tuhan tentukan dari sejak semula. Ini tidak ada hubungannya dengan orang tua" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Satu)). Tuhan berfirman dengan sangat jelas. Apakah seorang anak menempuh jalan yang benar, itu tidak tergantung pada cara orang tuanya mendidiknya, tetapi ditentukan oleh natur anak tersebut. Orang tua dapat mendidik dan mengatur perilaku lahiriah anak, tetapi mereka tidak bisa mengubah nasib anak mereka. Pekerjaan apa yang anak mereka lakukan dan jalan mana yang mereka ikuti bukanlah sesuatu yang dapat diubah atau ditentukan oleh orang tua. Misalnya, sepupuku mengawasi putranya setiap hari dan mendisiplinkannya dengan keras, tetapi putranya tetap menjadi seperti yang seharusnya, bermain gim sepanjang hari dan bahkan tidak masuk sekolah. Sepupuku membukakan toko untuknya, berharap agar dia melakukan hal-hal yang benar, tetapi setelah itu, dia terus bermalas-malasan, hanya meminta uang jajan dari orang tuanya. Aku juga teringat pada saudari iparku, yang sering bertengkar dengan suaminya. Ketika dia marah, dia menginap di rumah ibunya dan tidak mau mendidik anaknya. Namun, putranya selalu mendapatkan nilai yang cukup baik dan lebih bijaksana daripada anak-anak seusianya. Ini bukan karena saudari iparku mendidiknya dengan sangat baik; anaknya memang memiliki kemauan bawaan untuk belajar. Dia mampu berusaha keras dan tekun dalam belajar. Ketika putraku masih kecil, aku sering mengajarinya untuk belajar dengan giat dan menempuh jalan yang benar, tetapi dia adalah tipe anak yang tidak menanggapi pendisiplinan dengan baik. Sepulang sekolah, dia langsung bermain gim komputer dan tidak mau mendengarkan apa pun yang kukatakan, dan jika aku mencoba bersikap tegas kepadanya, dia mengamuk. Sekarang, dia tidak menempuh jalan yang benar atau melakukan hal-hal yang benar, dan ini adalah pilihannya, sesuatu yang ditentukan oleh naturnya. Apa yang telah 'kuajarkan kepadanya tidak akan mengubah pilihannya, juga tidak akan menentukan prospek masa depannya. Setelah memahami hal ini, aku tidak lagi menyalahkan diriku sendiri karena tidak berada di sisi putraku dan mendidiknya, dan aku juga melihat kecongkakan serta ketidaktahuanku sendiri. Aku selalu ingin mengandalkan pendidikan putraku untuk mengubah masa depan dan kehidupannya; aku sama sekali tidak bernalar!

Pada November 2023, aku menghubungi putraku. Pada saat itu, putraku tinggal sendirian di rumah lama kami, tidak bersama suamiku dan orang tuanya. Dia tidak memasak, selalu membeli makanan di luar, dan dia tidak membersihkan kamarnya, hanya membiarkan pakaian kotor menumpuk di tempat tidurnya. Hatiku terasa sakit melihat ini. Sikapnya dingin dan acuh tak acuh ketika aku berbicara padanya, dia marah padaku karena tidak merawatnya selama ini, dan dia tidak mengakuiku sebagai ibunya. Aku makin merasa berutang padanya, berpikir bahwa, sebagai ibunya, selama ini aku tidak merawatnya dengan baik atau tidak memenuhi tanggung jawabku kepadanya. Aku membersihkan bagian dalam dan juga luar kamarnya serta mencuci semua pakaiannya. Dia sering tidak pergi bekerja dan hanya bermain gim di rumah, jadi aku berkata padanya, "Kau harus melakukan hal-hal yang benar; jangan selalu membuat keluargamu mengkhawatirkanmu." Namun, dia sama sekali tidak mau mendengarkan; dia tidak berubah setelah itu. Kemudian, suamiku menjauhi putraku karena putraku tidak mau melakukan hal-hal yang sepatutnya, dan suamiku tidak mau lagi merawat putraku. Aku berpikir, "Mungkin aku harus mencari pekerjaan dan kemudian bekerja sambil mengurus putraku, memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu." Namun aku tetap harus menyirami para petobat baru, dan jika aku memiliki pekerjaan untuk menghasilkan uang dan merawat putraku, pekerjaan penyiraman akan tertunda. Aku sangat bingung. Memikirkan bahwa tugasku berasal dari Tuhan dan aku tidak boleh bertindak tanpa hati nurani dan meninggalkannya, aku memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan. Namun, aku tidak bisa melepaskan putraku; ketika sedang tidak sibuk dengan tugasku, aku pulang dan merawatnya, dan aku juga memikirkan dirinya saat melaksanakan tugasku. Kemudian, pihak gereja menghendaki aku untuk melaksanakan tugas di daerah lain, dan aku makin tidak mampu melepaskan putraku, khawatir jika aku jauh dari rumah, tidak mungkin aku bisa merawatnya. Namun, kemudian aku berpikir tentang bagaimana perluasan Injil Kerajaan membutuhkan kerja sama orang-orang. Aku telah melaksanakan tugasku selama beberapa tahun, menerima beberapa pelatihan dan memahami beberapa kebenaran, dan aku harus memiliki hati nurani ketika dihadapkan dengan kasih karunia Tuhan, jadi aku setuju untuk pergi melaksanakan tugasku di tempat lain. Namun tak kusangka, pada waktu yang hampir bersamaan, putraku mendapatkan pekerjaan yang dia sukai. Dia pergi bekerja dan menghasilkan uang, dia mampu membiayai hidupnya sendiri, dan suamiku menerimanya kembali. Itu benar-benar sesuatu yang tidak terduga.

Kemudian, aku merenungkan diri, bertanya-tanya, "Apa yang terutama menyebabkanku tidak mampu melepaskan putraku?" Aku membaca firman Tuhan ini: "Orang yang hidup di masyarakat nyata ini telah dirusak sedemikian dalamnya oleh Iblis. Entah mereka berpendidikan atau tidak, banyak budaya tradisional yang ditanamkan dalam pemikiran dan pandangan orang. Khususnya, para wanita diwajibkan membantu suami dan mendidik anak-anak mereka, menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih, mengabdikan seluruh hidup mereka untuk suami dan anak-anak serta hidup bagi mereka, memastikan keluarga mendapat makan tiga kali sehari dan mengerjakan tugas mencuci, bersih-bersih, dan semua pekerjaan rumah tangga lainnya dengan baik. Inilah standar yang diterima untuk menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih. Semua wanita juga menganggap semua ini adalah hal-hal yang sudah seharusnya mereka lakukan, dan jika mereka tidak melakukannya, maka mereka bukan wanita yang baik, dan telah melanggar hati nurani dan standar moralitas. Melanggar standar moral ini akan sangat membebani hati nurani sebagian orang; mereka akan merasa telah mengecewakan suami dan anak-anak mereka, dan merasa mereka bukanlah wanita yang baik. Namun, setelah engkau percaya kepada Tuhan, membaca banyak firman-Nya, memahami beberapa kebenaran, dan mengetahui yang sebenarnya mengenai beberapa hal, engkau akan berpikir, 'Aku adalah makhluk ciptaan dan harus melakukan tugasku sebagai makhluk ciptaan, dan mengorbankan diriku untuk Tuhan.' Pada saat ini, adakah pertentangan antara menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih, dan melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan? Jika engkau ingin menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih, engkau tidak dapat melaksanakan tugasmu secara penuh waktu, tetapi jika engkau ingin melaksanakan tugasmu secara penuh waktu, engkau tidak dapat menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih. Jadi, apa yang harus kaulakukan? Jika engkau memilih untuk melaksanakan tugasmu dengan baik dan bertanggung jawab atas pekerjaan gereja, setia kepada Tuhan, maka engkau harus merelakan tidak menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih. Apa yang akan kaupikirkan sekarang? Pertentangan seperti apakah yang akan muncul dalam pikiranmu? Akankah engkau merasa telah mengecewakan anak-anak dan suamimu? Berasal dari manakah rasa bersalah dan kegelisahan ini? Jika engkau tidak melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, apakah engkau merasa telah mengecewakan Tuhan? Jika engkau tidak merasa bersalah, itu karena di dalam hati dan pikiranmu, tidak ada kebenaran sedikit pun. Jadi, apa yang kaupahami? Yang kaupahami adalah budaya tradisional dan bagaimana menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih. Oleh karena itu, gagasan 'Jika aku bukan istri yang baik dan ibu yang penuh kasih, itu berarti aku bukanlah wanita yang baik atau terhormat' akan muncul di benakmu. Engkau akan diikat dan dibelenggu oleh gagasan ini sejak saat itu, dan akan tetap diikat dan dibelenggu oleh gagasan-gagasan semacam ini bahkan setelah engkau percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasmu. Ketika ada pertentangan antara melaksanakan tugasmu dan menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih, meskipun engkau mungkin dengan enggan memilih untuk melaksanakan tugasmu, engkau mungkin memiliki sedikit kesetiaan kepada Tuhan, tetap saja ada perasaan gelisah dan rasa bersalah di dalam hatimu. Karena itulah, saat engkau memiliki waktu luang selagi melaksanakan tugasmu, engkau akan mencari kesempatan untuk mengurus anak dan suamimu, makin ingin menebusnya, dan merasa tidak keberatan melakukan hal itu meskipun engkau harus lebih menderita, asalkan engkau merasakan damai di hatimu. Bukankah hal ini disebabkan oleh pengaruh gagasan dan teori budaya tradisional tentang menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih? Engkau sekarang sedang berdiri di atas dua perahu, ingin melaksanakan tugasmu dengan baik tetapi juga ingin menjadi istri yang baik dan ibu yang penuh kasih. Namun di hadapan Tuhan, kita hanya memiliki satu tanggung jawab dan kewajiban, satu misi: melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan dengan benar. Sudahkah engkau melaksanakan tugas ini dengan baik? Mengapa engkau keluar jalur lagi? Apakah benar-benar tidak ada rasa bersalah atau teguran dalam hatimu? Karena kebenaran masih belum berakar di dalam hatimu, dan belum menguasai hatimu, engkau bisa saja menyimpang dari jalur ketika melaksanakan tugasmu. Meskipun sekarang engkau mampu melaksanakan tugasmu, sebenarnya engkau masih jauh dari standar kebenaran dan tuntutan Tuhan. ... Bahwa kita dapat percaya kepada Tuhan, itu adalah kesempatan yang diberikan oleh-Nya; itu ditetapkan oleh-Nya dan merupakan kasih karunia-Nya. Oleh karena itu, engkau tidak perlu memenuhi kewajiban atau tanggung jawabmu kepada siapa pun; engkau seharusnya hanya melaksanakan tugasmu untuk Tuhan sebagai makhluk ciptaan. Inilah yang harus orang lakukan di atas segalanya, hal utama yang harus dilakukan sebagai urusan utama dalam hidup seseorang. Jika engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan baik, engkau bukanlah makhluk ciptaan yang memenuhi syarat. Di mata orang lain, engkau mungkin adalah istri yang baik dan ibu yang penuh kasih, seorang ibu rumah tangga yang sangat baik, seorang anak yang berbakti, dan seorang anggota masyarakat yang terhormat, tetapi di hadapan Tuhan, engkau adalah orang yang memberontak terhadap-Nya, orang yang sama sekali belum memenuhi kewajiban atau tugasnya, orang yang menerima amanat Tuhan tetapi tidak menyelesaikannya, yang menyerah di tengah jalan. Dapatkah orang semacam ini mendapatkan perkenanan Tuhan? Orang semacam ini tidak berguna" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). Firman Tuhan memungkinkanku untuk memahami bahwa ketika aku melihat semua wanita di sekitarku berusaha menjadi istri dan ibu yang baik, aku juga menganggap ini sebagai standar untuk menjadi wanita yang baik. Aku percaya bahwa seorang wanita yang baik merawat anak dan suaminya dengan baik, mengatur semua urusan rumah tangga dengan tertib. Setelah menikah, aku melakukan semua pekerjaan rumah tangga, berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang harus kulakukan, tak peduli betapa pun melelahkannya. Ketika aku pergi melaksanakan tugasku dan tidak bisa menyiapkan makanan tiga kali sehari untuk putraku ataupun merawatnya dalam kehidupannya sehari-hari, aku merasa telah gagal memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu, dan aku merasa bersalah serta kecewa, merasa berutang pada putraku. Ketika aku dikritik dan dihakimi oleh orang-orang dunia, aku merasa semakin mengabaikan tugasku dan aku hanya memikirkan cara agar aku bisa merawat anakku, meringankan penderitaannya, dan melakukan yang terbaik untuk membayar utangku padanya. Ketika aku melihat bahwa para petobat baru tidak bisa berkumpul dengan normal, aku tidak segera mencari kebenaran yang relevan untuk menyelesaikan masalah mereka, hanya mendukung mereka ketika mereka bersikap begitu negatif hingga mereka ingin berhenti. Kehidupan para petobat baru menderita kerugian. Aku lebih mementingkan pujian dari orang-orang di dunia dan memenuhi tanggung jawabku kepada putraku, tanpa mempertimbangkan pekerjaan gereja, dan bersikap asal-asalan dalam tugasku. Sekalipun aku telah memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu dan menyiapkan makanan tiga kali sehari untuk putraku, aku tetap gagal melaksanakan tugas yang seharusnya kulaksanakan sebagai makhluk ciptaan. Aku terpikir akan semua orang kudus dan nabi di sepanjang zaman, serta banyak saudara-saudari, yang telah meninggalkan keluarga dan karier mereka untuk menyebarkan Injil dan memberikan kesaksian tentang Tuhan, membawa lebih banyak orang ke hadapan Tuhan agar mereka dapat menerima keselamatan dari-Nya. Ini adalah sesuatu yang diperkenan oleh Tuhan, perbuatan yang baik dan benar, dan hidup seperti ini memiliki nilai dan makna. Hidupku dan segala yang kumiliki diberikan kepadaku oleh Tuhan. Aku telah menikmati begitu banyak penyiraman dan perbekalan dari firman Tuhan, dan semua ini adalah kasih karunia dan kasih-Nya. Ini berarti bahwa aku benar-benar harus melaksanakan tugasku dengan baik dan membalas kasih Tuhan. Namun, ketika aku tidak melaksanakan tugasku dengan baik, aku tidak merasa berutang kepada Tuhan, sebaliknya malah merasa berutang kepada putraku. Apakah aku memiliki hati nurani atau kemanusiaan sama sekali? Aku menyadari bahwa berusaha menjadi seorang ibu yang baik di mata orang lain dapat memuaskan orang-orang dan membuat mereka memujimu, tetapi melakukan ini berarti hanya hidup untuk keluarga dan daging; semuanya hanya membuang-buang waktu dan tidak akan memungkinkanku menjalani kehidupan yang bermakna.

Kemudian, aku membaca dua bagian lagi dari firman Tuhan dan menemukan jalan penerapan mengenai cara memperlakukan anak-anak kita. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Entah anak-anak mereka sudah dewasa atau belum, nyawa orang tua hanya milik orang tua itu sendiri, bukan milik anak-anak mereka. Tentu saja, orang tua bukanlah pengasuh cuma-cuma atau budak bagi anak-anak mereka. Apa pun pengharapan yang orang tua miliki terhadap anak-anak mereka, tidak perlu bagi mereka untuk membiarkan anak-anak mereka menyuruh-nyuruh mereka dengan sewenang-wenang dan secara cuma-cuma, ataupun menjadi pembantu atau budak anak-anak mereka. Apa pun perasaan yang kaumiliki terhadap anak-anakmu, engkau tetaplah orang yang mandiri. Engkau tidak boleh mengambil tanggung jawab atas kehidupan anak-anakmu yang sudah dewasa seolah-olah itu adalah tindakan yang benar, hanya karena mereka adalah anak-anakmu. Tidak perlu melakukan hal ini. Mereka sudah dewasa; engkau telah memenuhi tanggung jawabmu untuk membesarkan mereka. Mengenai apakah mereka akan hidup dengan baik atau buruk di masa depan, apakah mereka akan menjadi orang kaya atau miskin, dan apakah mereka akan hidup bahagia atau tidak, itu urusan mereka sendiri. Hal-hal ini tidak ada hubungannya denganmu. Sebagai orang tua, engkau tidak memiliki kewajiban untuk mengubah hal-hal tersebut. Jika hidup mereka tidak bahagia, engkau tidak berkewajiban untuk berkata: 'Kau tidak bahagia. Aku akan memikirkan cara untuk memperbaikinya, aku akan menjual semua yang kumiliki, dan akan kugunakan semua tenaga hidupku untuk membuatmu bahagia.' Tidak perlu melakukan hal ini. Engkau hanya perlu memenuhi tanggung jawabmu, itu saja. Jika engkau ingin membantu mereka, engkau dapat bertanya kepada mereka mengapa mereka tidak bahagia, dan bantulah mereka memahami masalahnya pada tingkat teoretis dan psikologis. Jika mereka menerima bantuanmu, itu jauh lebih baik. Jika tidak, engkau hanya perlu memenuhi tanggung jawabmu sebagai orang tua, dan hanya itu. Jika anak-anakmu ingin menderita, itu urusan mereka. Engkau tidak perlu khawatir atau merasa sedih mengenai hal ini, atau tidak nafsu makan ataupun tidak bisa tidur. Melakukan hal tersebut merupakan tindakan yang berlebihan. Mengapa berlebihan? Karena mereka adalah orang dewasa. Mereka harus belajar mengurus segala sesuatu yang mereka hadapi dalam hidup mereka. Jika engkau merasa khawatir terhadap mereka, itu hanyalah kasih sayang; jika engkau tidak merasa khawatir terhadap mereka, itu bukan berarti bahwa engkau tidak berperasaan, atau engkau belum memenuhi tanggung jawabmu. Mereka adalah orang dewasa, dan orang dewasa harus menghadapi masalah orang dewasa serta menangani segala sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa. Mereka tidak boleh bergantung pada orang tua mereka dalam segala hal. Tentu saja, orang tua tidak boleh mengambil alih tanggung jawab atas apakah segala sesuatunya berjalan lancar dengan pekerjaan, karier, keluarga, atau pernikahan anak-anak mereka setelah mereka menjadi dewasa. Engkau boleh merasa khawatir tentang hal-hal ini, dan engkau boleh menanyakannya, tetapi engkau tidak perlu mengambil kendali penuh atas hal-hal tersebut, mengikat anak-anakmu di sisimu, membawa mereka ke mana pun engkau pergi, mengawasi mereka di mana pun engkau berada, dan memikirkan mereka: 'Apakah mereka makan makanan yang bergizi hari ini? Apakah mereka bahagia? Apakah pekerjaan mereka berjalan dengan lancar? Apakah atasan mereka menghargai mereka? Apakah pasangan mereka mencintai mereka? Apakah anak-anak mereka patuh? Apakah anak-anak mereka mendapat nilai bagus di sekolah?' Apa hubungannya hal-hal ini denganmu? Anak-anakmu dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri, engkau tidak perlu terlibat. Mengapa Aku bertanya apa hubungan hal-hal ini dengan dirimu? Karena hal-hal tersebut tidak ada hubungannya denganmu. Engkau telah memenuhi tanggung jawabmu terhadap anak-anakmu, engkau telah membesarkan mereka hingga menjadi dewasa, jadi engkau harus mundur. Setelah engkau mundur, bukan berarti bahwa engkau tidak akan memiliki apa pun untuk dikerjakan. Masih ada banyak hal yang harus kaulakukan. Mengenai misi yang harus kauselesaikan dalam hidup ini, selain membesarkan anak-anakmu hingga menjadi dewasa, engkau juga memiliki misi lain yang harus diselesaikan. Selain menjadi orang tua bagi anak-anakmu, engkau juga adalah makhluk ciptaan. Engkau harus datang ke hadapan Tuhan, dan menerima tugasmu dari-Nya. Apa tugasmu? Sudahkah engkau menyelesaikannya? Sudahkah engkau mengabdikan dirimu untuk tugasmu? Sudahkah engkau memulai jalan menuju keselamatan? Inilah hal-hal yang seharusnya kaupikirkan. Mengenai ke mana anak-anakmu nanti setelah menjadi dewasa, bagaimana kehidupan mereka nanti, seperti apa keadaan mereka nanti, apakah mereka akan merasa bahagia dan gembira atau tidak, semua itu tidak ada hubungannya denganmu. Anak-anakmu sudah mandiri, baik secara lahiriah maupun batiniah. Engkau harus membiarkan mereka menjadi mandiri, engkau harus melepaskan, dan engkau tidak boleh berusaha mengendalikan mereka. Baik dari segi lahiriah, hubungan kasih sayang, atau kekerabatan, engkau telah memenuhi tanggung jawabmu, dan tidak ada lagi hubungan antara dirimu dan anak-anakmu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (18)"). "Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan serta mengejar kebenaran dan keselamatan, waktu dan tenaga yang tersisa dalam hidupmu harus digunakan untuk melaksanakan tugasmu dan melakukan apa pun yang telah Tuhan percayakan kepadamu; engkau tidak boleh menghabiskan waktumu untuk anak-anakmu. Hidupmu bukanlah milik anak-anakmu, dan hidupmu tidak boleh dihabiskan untuk kehidupan atau kelangsungan hidup mereka, ataupun untuk memenuhi pengharapanmu terhadap mereka. Sebaliknya, waktu dan tenagamu harus didedikasikan untuk kewajiban dan tugas yang telah Tuhan berikan kepadamu, serta misi yang harus kaulaksanakan sebagai makhluk ciptaan. Di sinilah letak nilai dan makna hidupmu. Jika engkau bersedia kehilangan martabatmu sendiri dan menjadi budak bagi anak-anakmu, mengkhawatirkan mereka, dan melakukan apa pun untuk mereka agar dapat memenuhi pengharapanmu terhadap mereka, semua ini tidak ada artinya dan tidak ada nilainya, dan itu tidak akan diingat. Jika engkau bersikeras melakukannya dan tidak melepaskan gagasan serta tindakan ini, itu hanya berarti bahwa engkau bukanlah orang yang mengejar kebenaran, bahwa engkau bukanlah makhluk ciptaan yang layak, dan bahwa engkau sangat memberontak. Engkau tidak menghargai kehidupan ataupun waktu yang diberikan Tuhan kepadamu. Jika hidupmu dan waktumu dihabiskan hanya untuk dagingmu serta kasih sayangmu, dan bukan untuk tugas yang telah Tuhan berikan kepadamu, berarti hidupmu tidak diperlukan dan tidak ada nilainya. Engkau tidak layak untuk hidup, engkau tidak layak untuk menikmati kehidupan yang telah Tuhan berikan kepadamu, dan engkau tidak layak untuk menikmati semua yang telah Tuhan berikan kepadamu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa tanggung jawab dan kewajiban orang tua adalah membesarkan anak mereka sampai dewasa, mengajarkan mereka bagaimana berperilaku. Setelah anak menjadi dewasa dan memiliki kemampuan untuk hidup mandiri serta menangani masalah, orang tua harus membiarkan mereka bebas. Jika seseorang berusaha menjadi istri serta ibu yang baik dan menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk keluarga dan anak-anaknya tanpa melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan, hidup mereka tidak memiliki nilai atau makna sama sekali. Satu-satunya tanggung jawabku terhadap putraku adalah membesarkannya sampai dewasa, mencerahkan pikirannya, dan mendidiknya agar dapat menempuh jalan yang benar serta melakukan hal-hal yang benar. Aku teringat akan bagaimana, ketika putraku masih kecil, dia sering bermain gim hingga larut malam. Aku berbicara kepadanya tentang bagaimana bermain gim online bisa merugikan orang dan mengajarinya untuk menjadi pribadi yang pragmatis, bahkan memberitahunya bagaimana Tuhan menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu, memberikan kesaksian tentang keberadaan Tuhan yang sejati. Namun, dia tidak mendengarkan dan hanya mengejar kesenangan serta kenikmatan, sehingga suamiku menjauhinya karena tidak melakukan hal-hal yang benar, dan tidak mau merawatnya. Ini adalah konsekuensi dari jalan yang dia tempuh, dan merupakan penderitaan yang harus dia tanggung. Aku sudah memenuhi tanggung jawabku sebagai ibunya, dan aku tidak berutang padanya. Jika aku hanya mempertimbangkan kehidupannya dan melepaskan tugasku untuk merawatnya, memberikan seluruh waktu serta energiku untuknya, dan mengambil kendali penuh atas kehidupan masa depannya, bahkan sampai mengorbankan tahun-tahun terakhir hidupku saat melakukan itu maka aku benar-benar terlalu bodoh! Aku menyadari ini: Putraku sekarang sudah dewasa. Dia membuat keputusannya sendiri dan memiliki jalan hidupnya sendiri untuk ditempuh, juga kemampuan untuk hidup mandiri dan mengatasi masalah. Aku tidak bisa merawatnya selamanya, apalagi mengubah nasibnya. Aku bukan hanya ibu dari putraku, melainkan juga makhluk ciptaan. Aku harus hidup untuk menyelesaikan misi yang telah Tuhan percayakan kepadaku dan melaksanakan tugasku dengan baik. Sekarang masih ada banyak orang yang belum datang ke hadirat Tuhan, serta banyak petobat baru yang belum berakar di rumah Tuhan dan perlu disirami sesegera mungkin. Inilah tanggung jawab dan tugasku, dan aku harus mencurahkan lebih banyak waktu serta energi untuk melakukannya. Adapun anakku, yang bisa kulakukan hanyalah menyerahkan semuanya kepada Tuhan dan tunduk pada kedaulatan serta pengaturan-Nya.

Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Nasib setiap orang ditentukan oleh Tuhan; oleh karena itu, sebesar apa pun berkat atau penderitaan yang mereka alami dalam hidup, seperti apa pun keluarga, pernikahan, dan anak-anak mereka, pengalaman apa pun yang mereka alami di tengah masyarakat, dan peristiwa apa pun yang mereka alami dalam hidup, mereka sendiri tidak dapat meramalkan atau mengubah hal-hal tersebut, dan orang tua bahkan lebih tidak memiliki kemampuan untuk mengubahnya" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa penderitaan yang dialami seseorang dalam hidup, kebahagiaan yang mereka nikmati, dan hal-hal yang mereka alami, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan dan tidak bisa diubah oleh siapa pun. Orang tua bahkan tidak bisa mengubah nasib mereka sendiri, jadi bagaimana mungkin mereka bisa mengubah nasib anak mereka? Nasib seorang anak dalam hidupnya, serta suka duka dan kesengsaraan yang harus dia alami, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan sejak lama. Itu adalah jalan hidup mereka dan sesuatu yang harus mereka alami sendiri. Karena penangkapan dan penganiayaan oleh naga merah yang sangat besar, sekarang aku tidak bisa merawat putraku, dan aku tidak bisa memberinya dukungan finansial. Dia sekarang sudah dewasa, dan dia harus hidup mandiri, menghidupi dirinya sendiri, dan mengikuti jalan hidupnya di masa depan. Setelah menemukan jalan penerapan, sekarang aku merasa lebih baik. Jika keadaan memungkinkan dan ada kesempatan yang bagus, aku akan pulang dan menemuinya, tetapi aku menghabiskan lebih banyak waktu dan energi untuk melaksanakan tugasku dengan baik. Hidup seperti ini, hatiku terasa aman dan damai.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Hubungi kami via Messenger