Firman Tuhan Membawaku Keluar dari Neraka di Bumi

21 Januari 2022

Oleh Saudara Qiu Zhen, Tiongkok

Saat itu Agustus 2002, aku menginjil di kota bersama lima orang percaya lain. Sekitar tengah malam, selusin polisi tiba-tiba menyerbu tempat kami, beberapa yang berusia 30-an berteriak, "Jangan bergerak! Kami polisi, jangan coba macam-macam!" Lalu mereka menggeledah, di bawah tempat tidur dan di dalam lemari, dan mengambil bahan untuk menginjil dan buku firman Tuhan milik kami. Mereka bahkan mengambil KTP-ku dan tas kami di atas meja, lalu memasukkan kami semua ke dalam mobil polisi. Setibanya di kantor polisi, mereka memisahkan kami untuk diinterogasi sampai subuh. Kepala polisi datang dan melihatku diam saja, dia berkata dengan kejam, "Makin kau diam, makin kami yakin kau pemimpin. Akan ada tempat baru untukmu yang pasti akan kau 'nikmati'. Ketika saatnya tiba, kau takkan bisa memilih. kau akan buka mulut, mau tidak mau." Mendengar ini, aku menjadi takut. Ke mana mereka akan membawaku? Jika aku dianggap pemimpin, apa mereka akan menyiksaku sampai mati? Aku berdoa dalam hati, memohon kepada Tuhan untuk melindungi hatiku sehingga apa pun yang terjadi, aku tidak akan mengkhianati-Nya, menjadi Yudas.

Besoknya setelah pukul satu siang, polisi memindahkan kami ke rumah tahanan. Setibanya di pintu masuk sel, aku melihat lebih dari 20 narapidana di dalam, kepala mereka botak dan terlihat garang. Aku merasa bulu kudukku berdiri terus berseru kepada Tuhan, "Ya Tuhan, aku sangat takut. Kumohon bimbinglah aku." Setelah berdoa, aku teringat firman Tuhan ini: "Engkau tidak perlu takut akan ini dan itu; sebanyak apa pun kesulitan dan bahaya yang mungkin engkau hadapi, engkau mampu tetap tenang di hadapan-Ku; tidak terhalang oleh rintangan apa pun sehingga kehendak-Ku dapat terlaksana. Ini adalah tugasmu; ... Janganlah takut; dengan dukungan-Ku, siapa yang mampu menghalangi jalan ini?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 10"). Firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Tuhan menyokong dan menyertaiku, apa yang perlu ditakuti? Segala sesuatu berada di tangan-Nya, dan aku tahu, disiksa seperti apa pun, harus kulalui dengan mengandalkan Tuhan. Perlahan aku merasa tenang. Sipir mendorongku ke dalam sel dengan kasar dan berkata kepada narapidana, "Teman kita ini percaya Kilat dari Timur dan belum buka mulut sedikit pun. Kalian bisa memukulinya sampai dia mengakui semuanya." Lalu, empat-lima narapidana mengepungku, menendang dan meninjuku, menjambak rambutku dan membantingku ke tembok dengan keras dua-tiga kali, hingga mataku lebam. Ada gumpalan darah di kepalaku, rasanya mau pecah. Aku terus berseru kepada Tuhan, memohon iman dan tekad untuk menanggung ini. Kugertakkan gigiku dan tidak bersuara. Aku dipukuli lima-enam menit, lalu kepala penjara berkata, "Mau buka mulut tidak?" Aku tetap bungkam, setengah jam aku dipaksa berlutut di atas pipa besi, kepala tunduk, tangan ke atas. Setelah satu jam siksaan, aku pun jatuh. Melihatku tidak bisa berdiri, mereka menyiksaku lebih keji. Beberapa orang menarikku dari lantai, dua-tiga orang menahan tubuhku, sementara seseorang menyundut puntung rokok di kuku kelingking kiriku, dan menghanguskannya. Aku bisa mendengar suara mendesis. Aku mencium bau kuku hangus dan merasakan nyeri terbakar. Rasanya amat sakit hingga aku berkeringat dan ingin melompat, menggertakkan gigi dan mengerang. Aku tidak mampu lagi menahan sakit, jadi aku berseru kepada Tuhan, memohon iman dan kekuatan kepada-Nya. Setelah berdoa, aku terpikir firman Tuhan ini: "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus menyerahkan diri kepada kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran, engkau harus mengalami penderitaan yang lebih besar. Inilah yang harus engkau lakukan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman-Nya memberiku iman dan kekuatan. Aku harus menderita untuk menerapkan kebenaran dan bersaksi, tidak boleh mengkhianati Tuhan. Karena aku tetap bungkam, pahaku disundut terus dengan puntung menyala, kulitku pun melepuh. Kemudian mereka mengangkat kakiku dan memakai korek api untuk membakar jempol kakiku. Jempol kakiku terbakar dan bengkak, lalu mereka membakar telapak kakiku. Aku merasakan sakit yang menusuk dan kejang-kejang. Aku hampir pingsan. Mereka tidak peduli aku hidup atau mati dan baru berhenti setelah kakiku hampir hangus terbakar. Aku basah kuyup oleh keringat, dan tenggorokanku kering seperti gurun. Aku ingin minum, tetapi mereka melarangnya. Aku ingin beristirahat di serambi beton, tetapi kepala penjara berteriak, "Jangan sampai dia duduk, pukul dia! Suruh dia berdiri, buat dia kelelahan!" Seorang narapidana menerjang dan meninjuku. Aku harus tetap berdiri. Pada waktu makan, saat aku berusaha mengambil makanan, kepala penjara berteriak, "Kau mau makan? Kau boleh makan setelah kau buka mulut." Malam itu aku disuruh berdiri di pintu toilet dan tidak boleh tidur, narapidana lain mengawasiku. Bau tidak sedap dari toilet membuatku mual. Jika aku sampai terkantuk-kantuk, narapidana itu akan meninju dadaku. Entah berapa kali aku dipukul malam itu. Paginya, kepalaku terasa pusing dan sakit. Aku seperti menginjak kapas saat berjalan—aku terhuyung. Kepala penjara menuntut lagi agar aku memberi tahu tentang gereja, kataku, "Aku sudah mengatakan semua. Tidak ada yang perlu dikatakan." Dia pun marah dan menggertakkan gigi, "Kau tangguh, ya? Kau tahu apa sebutannya di sini? Sebutannya Sel Barbar." Di sanalah polisi menempatkan narapidana terganas. Para narapidana itu memukuli orang yang dimasukkan ke sana sampai mengaku, dan mendapat keringanan hukuman jika berhasil. Ini taktik keji si naga merah yang sangat besar. Meski orang itu dipukul sampai mati, polisi tak bertanggung jawab.. Tidak bisa dipidanakan. Lalu, kepala penjara berkata dengan jahat, "Di sini,orang tidak punya pilihan. Mereka harus patuh. Jika tidak, terimalah akibatnya! Aku yakin kami mampu menanganimu. Sini, biar kuberi kau pelajaran." Dia menyuruh narapidana lain untuk menekanku ke tembok, lalu sekuat tenaga dia berlari ke arahku dan membenturkan sikunya ke dadaku, lalu berdiri tepat di depanku dan memukulku sangat keras. Setelah ditubruk dua kali, jantungku terasa sakit, seperti mau remuk. Karena rasa sakit itu, tanpa sadar aku memegangi dadaku. Aku merasa akan mati lemas. Sebelum aku bisa pulih, dia melompat dan menghantamkan sikunya dengan keras ke punggungku, melakukannya lagi. Aku merasa organ tubuhku akan terpental keluar dari tubuhku. Aku tidak tahan lagi. Aku roboh, tidak bisa bernapas karena rasa sakit di dadaku. Dalam waktu singkat, dadaku terlihat bengkak. Aku dalam penderitaan yang luar biasa dan sungguh tidak tahan lagi. Jika itu terus berlanjut, cepat atau lambat aku akan dipukuli sampai mati. Aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan! Kumohon selamatkan aku." Lalu aku teringat firman Tuhan ini: "Jangan berkecil hati, jangan lemah, maka Aku akan menjadikan segalanya jelas bagimu. Jalan menuju kerajaan tidaklah mulus; tidak ada yang sesederhana itu! Engkau ingin berkat datang dengan mudah, bukan? Sekarang, semua orang akan mengalami ujian pahit yang harus dihadapi. Tanpa ujian semacam itu, hati penuh kasih yang engkau miliki bagi-Ku tidak akan tumbuh lebih kuat, dan engkau tidak akan memiliki kasih yang sejati bagi-Ku. Bahkan jika ujian itu hanya berupa peristiwa-peristiwa kecil, semua orang harus menjalaninya; hanya saja tingkat kesulitan ujian-ujian itu berbeda-beda untuk masing-masing orang. ... Mereka yang berbagi dalam kepahitan-Ku pasti akan berbagi juga dalam kemanisan-Ku. Itulah janji-Ku dan berkat-Ku untukmu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). Firman Tuhan sangat menginspirasiku dan aku tahu Tuhan tidak membiarkan setan-setan itu menyiksaku hanya untuk membuatku menderita, tetapi agar aku memahami kebenaran, melihat jelas bagaimana Iblis menentang Tuhan dan mencelakakan manusia, menentang dan mengutuk pekerjaan Tuhan agar aku bisa menolaknya. Juga menyempurnakan kasihku pada Tuhan. Ini berkat istimewa dari Tuhan. Betapapun menderitanya aku hari itu, meski hanya ada satu napas terakhir, aku harus bersaksi dan memuaskan Tuhan, untuk menenangkan hati-Nya. Meskipun mereka menyiksaku sampai mati, aku tidak boleh mengkhianati gereja dan saudara-saudari. Lalu kunyanyikan lagu pujian gereja ini dalam hati: "Aku Berharap Melihat Hari Kemuliaan Tuhan." "Hari ini aku menerima penghakiman Tuhan, esok aku menerima berkat-Nya. Aku rela mempersembahkan hidupku untuk melihat hari kemuliaan Tuhan. Oh, kasih Tuhan telah memikat hatiku. Dia bekerja dan mengungkapkan kebenaran, menganugerahkan jalan hidup. Aku mau minum dari cawan pahit dan menderita demi kebenaran. Akan kutanggung hinaan tanpa mengeluh, ingin membalas kebaikan Tuhan. Akan kuberikan kasihku kepada Tuhan dan menyelesaikan misi memuliakan Tuhan. Tekadku teguh dalam bersaksi bagi Tuhan, dan tidak menyerah kepada Iblis. Kepalaku mungkin hancur, tetapi keberanian umat Tuhan tidak akan hilang. Nasihat Tuhan ada dalam hati, aku bertekad mempermalukan Iblis. Penderitaan digariskan oleh Tuhan. Aku akan taat sampai mati. Aku tidak akan lagi membuat Tuhan menitikkan air mata atau khawatir" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru).

Malam itu aku diawasi lagi agar tidak bisa tidur. Saat itu aku sudah tidak tidur selama tiga malam, tetapi kurasakan kekuatan saat merenungkan firman Tuhan dan kulewati satu malam lagi. Polisi menginterogasiku setelah sarapan pada hari keempat. Salah satunya tersenyum sinis dan berkata, "Kau suka tinggal di penjara? Ayo buka mulut! Siapa atasanmu? Di mana lokasi gerejamu? Siapa yang kau hubungi? Di mana persembahan gereja disimpan? Beritahu kami dan kau akan segera keluar dari sini. Kau tidak mau pulang dan berkumpul dengan anak istrimu lagi? Semua yang datang bersamamu sudah lama mengaku dan bebas. Kaulah satu-satunya yang tersisa. Katakan saja apa yang kauketahui." Mendengar ini, kupikir, "Mungkinkah itu benar? Apa sungguh hanya aku yang tersisa? Aku takut kembali ke sel dan disiksa dengan kejam. Mungkin tidak apa-apa jika kuberi tahu hal kecil ...." Saat aku mulai bimbang, firman Tuhan muncul dan mencerahkanku: "Setiap saat, umat-Ku harus berjaga-jaga terhadap rencana licik Iblis, menjaga gerbang rumah-Ku untuk-Ku; ... untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap Iblis, di mana pada saat itulah penyesalan akan terlambat" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 3"). Ini membuatku sadar, aku menyadari ini tipu daya Iblis. Iblis paling ahli berbohong dan menipu, agar orang menentang Tuhan. Dia menipuku dengan kebohongan ini agar aku mengkhianati Tuhan. Jika aku percaya omong kosong itu dan mengkhianati saudara-saudari, bukankah aku menjadi Yudas? Jika aku melakukan itu, meski aku bebas dari siksaan iblis untuk sementara, hati nuraniku akan tertuduh dan tidak akan merasa damai. Selain itu, aku akan dikutuk dan dihukum Tuhan. Syukurlah, firman Tuhan menyadarkanku tepat waktu untuk melihat rencana Iblis yang sebenarnya. Aku menjawab dengan tegas, "Aku tidak tahu tentang semua itu." Mereka sangat marah karena tidak mendapatkan apa yang mereka mau dariku aku pun dikembalikan ke sel.

Besoknya, saat aku bekerja di halaman penjara, kepala penjara menyuruh narapidana menanganiku dengan kasar. Melihat polisi jahat itu berkolusi dengan narapidana, mencoba semua agar aku mengkhianati Tuhan, aku sangat membenci setan-setan itu. aku bertekad apa pun yang mereka lakukan untuk menyiksaku, aku tidak akan mengkhianati Tuhan dan menjadi Yudas. Narapidana lain menyiksaku lebih keras setelah itu. Aku harus bekerja kasar di siang hari, lebih banyak dari yang lain, dan selalu salah, mereka mencari alasan untuk memukuliku: kerjaku buruk atau terlalu lambat. Jika aku salah membacakan peraturan, aku dipukuli dan tidak boleh tidur. Ketika diabsensi, jika aku ragu dalam merespons, aku juga akan dipukuli. Yang lain melampiaskan kemarahan padaku saat kesal. Aku menjadi karung tinju bagi puluhan orang, ditinju dan ditendang setiap hari. Tubuhku penuh luka, kepala hingga kaki, dan pembengkakan di dadaku tidak berkurang. Napasku sakit, batuk pun aku tidak berani. Sejak saat itu, jantungku meradang. Saat siang, aku harus bekerja kasar seperti biasa, dan aku harus jaga malam untuk mengawasi narapidana lain, selama dua-empat jam. Selama dua bulan pertama, aku harus tidur jongkok di luar toilet dan mencium bau busuk setiap malam, setiap ada yang memakai toilet, aku dipukuli agar bangun. Aku dipukuli berkali-kali setiap malam. Ditambah, aku bertelanjang kaki selama dua bulan pertama. Aku tidak boleh memakai sepatu, dan karena ada banyak air di lantai, kakiku terinfeksi dan bernanah karena selalu menginjak air kotor setelah terbakar begitu parah. Pencernaanku juga bermasalah karena lama berjalan di lantai beton dingin tanpa alas kaki. Polisi tidak memberiku selimut atau pakaian tambahan. Saat itu hampir bulan November, tetapi aku masih memakai kaos dan celana pendek. Cuaca makin dingin, tangan dan kakiku menjadi beku. Tanganku penuh retakan, berdarah saat disentuh. Aku kedinginan, lapar, dan penuh luka. Tidak ada pengurangan beban kerja, dan aku dipukuli narapidana lain saat lambat bekerja. Yang paling mengerikan, jika aku melapor ke kepala penjara saat ingin ke toilet, dia memukuliku hingga jatuh dan aku tidak boleh masuk. Aku hanya bisa menahannya. Itu berlangsung beberapa hari. Aku sangat menderita dan marah. Aku bahkan kehilangan hak untuk buang air kecil. Orang-orang itu setan! Setelah lama mengalami siksaan tidak manusiawi, berat badanku turun drastis. Aku merasa sangat lemah dan bisa jatuh oleh embusan angin. Terkadang aku terjatuh saat berjalan. Itu menunjukkan, polisi adalah setan dan binatang pemakan manusia, dan para narapidana yang mereka peralat itu hanyalah setan kecil yang mengikuti perintah mereka. Mereka senang menyiksa dan menyakiti orang, tidak ada kemanusiaan, hanya setan. Di tempat yang jahat itu, aku melihat esensi Partai Komunis yang jahat dan reaksioner, musuh Tuhan. Mereka jahat, mendukung kejahatan, melawan kebenaran, menyerang yang tidak bersalah. Ini kekuatan Iblis yang paling reaksioner dan jahat dan mereka raja setan! Aku sungguh membenci dan menolak mereka dan makin bertekad untuk mengikut Tuhan sampai akhir.

Suatu hari di bulan Desember, saat itu benar-benar dingin dan berangin, di bawah titik beku, aku memakai pakaian tipis dan duduk di atas serambi beton, menggigil kedinginan. Melihat ini, kepala penjara tertawa sinis, katanya, "Teman kita ini kotor, bersihkan dia!" Dia menyuruh seseorang mengisi ember dengan air dan dua narapidana lainnya melepaskan semua pakaianku. Mereka ambil ember itu dan menuangkan air ke atas kepalaku, dari kepala hingga kaki, dua ember penuh. Air dingin itu terasa menusuk dagingku. Tubuhku menggigil dan gigiku bergemeletuk sementara mereka, belasan orang, menertawakanku. Mendengar komentar sinis narapidana lain dan memikirkan keadaanku, aku mulai merasa lemah. Aku kelaparan, kedinginan, dipukuli, disiksa mentalnya. Setiap hari terasa seperti setahun. Aku tidak tahu berapa lama aku harus tinggal di jurang gelap itu. Sepertinya mereka tidak akan menyerah sampai membunuhku! Entah apakah aku bisa keluar hidup-hidup dari neraka ini. Makin kupikirkan, makin buruk perasaanku, aku tidak tahan lagi. Lalu, narapidana lain berkata kepadaku, "Kau buka mulut saja. Jika tidak, kau akan disiksa sampai mati di sini. Kau tahu musim apa sekarang. Semua memakai jaket tebal, tetapi bajumu sangat tipis. Kau pasti akan mati kedinginan!" Ada perasaan putus asa mendengarnya mengatakan ini. Saat itu cuaca makin dingin, dan bahkan tanpa disiksa, aku akan mati kedinginan. Dan jika aku tidak mampu lagi menahan siksaan dan mengkhianati Tuhan sebagai Yudas, aku akan masuk neraka. Aku putus asa dan berpikir bunuh diri agar terlepas dari kengerian ini. Namun aku pernah mendengar jika orang mencoba bunuh diri dan gagal, sipir penjara akan menyiksa lebih kejam lagi. Aku takut keadaan akan makin buruk di titik itu. Mustahil bertahan hidup, tetapi mati pun tidak bisa. Aku dalam penderitaan yang tidak tertahankan—aku hancur berantakan. Tepat pada saat ini, Tuhan mengatur keadaan untuk membimbingku.

Ketika aku sedang tugas malam, seorang narapidana menceritakan kisah kepadaku tentang orang yang jatuh cinta dan membayar harga yang mahal untuk itu. Kisah itu menyadarkanku. Kita bersedia membayar harga yang mahal untuk mencintai seseorang, dan aku mengikuti satu-satunya Tuhan, Pencipta langit dan bumi, mestinya aku lebih rela memperlihatkan cinta sejati. Bukankah seharusnya aku senang membayar harga berapa pun? Aku teringat tentang Petrus yang disalibkan terbalik karena kasihnya kepada Tuhan, aku harus seperti Petrus, rela menderita demi kasih kepada Tuhan dan menanggung apa pun tanpa mengeluh. Hanya itulah kesaksian sejati, dan dapat menghibur hati Tuhan. Saat itu, aku teringat firman Tuhan ini: "Maka, selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan sampai helaan napasmu yang terakhir, engkau tetap harus setia kepada Tuhan, dan berada dalam pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Aku berkata dalam hati, "Aku tidak boleh mencari kematian, aku harus hidup dengan kekuatan. Aku telah lama percaya Tuhan tanpa sungguh mengasihi-Nya, aku pun belum membalas kasih-Nya. Tuhan berharap aku menjadi saksi, jadi aku harus bersandar pada Tuhan untuk mengalahkan Iblis. Tidak boleh mengecewakan-Nya. Dan, nasibku berada di tangan Tuhan. Tanpa seizin-Nya, aku tidak akan mati, sekejam apa pun setan ini memukuliku." Aku teringat satu kutipan firman Tuhan saat itu: "Ketika air menelan manusia seluruhnya, Aku menyelamatkan mereka dari genangan air itu dan memberi mereka kesempatan untuk memiliki kehidupan yang baru. Ketika manusia kehilangan kepercayaan diri untuk menjalani hidup, Aku menarik mereka dari ambang kematian, memberi mereka keberanian untuk terus hidup sehingga mereka dapat memakai-Ku sebagai landasan keberadaan mereka. Ketika manusia tidak menaati-Ku, Aku membuat mereka mengenal-Ku dari dalam ketidaktaatan mereka. Mengingat natur lama manusia dan berdasarkan belas kasihan-Ku, ketimbang menghukum mati manusia, Aku memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memulai lagi dari awal. Ketika manusia menderita bencana kelaparan, meskipun hanya tersisa sehela napas dalam tubuh mereka, Aku merenggut mereka dari kematian, mencegah mereka menjadi mangsa tipu muslihat Iblis" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 14"). Firman Tuhan sungguh menyentuhku dan aku merasa bersalah. Mengingat kembali, sejak penangkapanku, setiap aku disiksa polisi atau narapidana, saat aku tidak tahan lagi, saat di ambang kematian, firman Tuhan memberiku iman dan kekuatan, membuatku tetap hidup. Aku mengalami, batas akhir kita justru saat Tuhan memulai. Aku telah menyaksikan perbuatan Tuhan dan menikmati banyak kasih-Nya, jadi bukankah ingin mati karena penderitaan fisik itu tindakan pengecut? Pada titik ini aku memahami, Tuhan mengatur semua ini agar aku melihat esensi si naga merah yang sangat besar, membenci dan menolaknya. Menyempurnakan kasihku pada Tuhan dan kerelaanku menderita. Aku harus taat, menerima pekerjaan Tuhan, dan menjadi saksi bagi-Nya. Sejak itu, kusingkirkan pikiran tentang kematian, dan meski keadaanku tidak berubah, aku tidak terlalu menderita lagi atau ingin keluar secepat mungkin. Aku berdoa setiap hari, makin dekat dengan Tuhan, dan bersumpah di hadapan-Nya berapa lama pun aku di sana, berapa tahun pun mereka memvonisku, Aku siap taat kepada Tuhan. Lebih baik menghabiskan hariku di penjara daripada menjadi Yudas, dan aku siap mati menjadi saksi. Begitu aku sungguh bersedia menerimanya dan menaati aturan Tuhan, hatiku penuh damai dan sukacita. Aku bisa merasakan betapa dahsyatnya firman Tuhan, firman Tuhan menghidupkanku lagi dari penderitaan kematian. Lalu, para narapidana yang memukuliku dipindahkan ke sel lain. Yang lain memberiku pakaian mereka sebelum dibebaskan, dan aku tahu Tuhan yang mengatur ini. Tuhan berbelas kasihan. Dia lakukan banyak hal untuk membantuku. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan.

Polisi kembali mencoba menginterogasiku. Salah satunya berkata dengan pura-pura, "Lihatlah, apa kau perlu banyak menderita? Dari awal kami sudah tahu semua tentangmu, bicara saja, ya? Siapa pemimpinmu? Di mana gerejamu? Berapa banyak uang gereja?" Kujawab dengan tenang, "Aku sudah memberitahu semua. Aku tidak punya jawaban untukmu." Petugas lainnya segera berdiri, memelototiku dan berteriak, "Mengakulah! Kakak dan adikmu sedang menunggumu di luar sekarang! Bicaralah dengan kami dan kau bisa bertemu mereka, boleh langsung pulang!" Sulit bagiku ketika mendengar mereka menyinggung keluargaku. Hampir setengah tahun aku tidak bertemu mereka, berat bagiku membayangkan wajah ayahku yang keriput dan penuh air mata. Aku bermaksud memberi tahu mereka tentang imanku agar aku bisa berkumpul dengan keluargaku. Tepat saat aku terjebak dalam perasaanku, aku teringat kutipan firman Tuhan ini: "Umat-Ku! Engkau harus tetap berada dalam pemeliharaan dan perlindungan-Ku. Jangan pernah berperilaku cabul! Jangan pernah berperilaku ceroboh! Engkau harus mempersembahkan kesetiaanmu di rumah-Ku, dan hanya dengan kesetiaan barulah engkau dapat menyusun serangan balik melawan tipu muslihat Iblis" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 10"). Firman Tuhan menunjukkan kepadaku, ini tipu daya Iblis, yang ingin mempermainkan perasaanku agar mengkhianati Tuhan. Aku tidak boleh tertipu—aku tidak akan mengkhianati Tuhan! Aku berseru pada Tuhan dalam hati dan bersumpah, "Tuhan Yang Mahakuasa, jika aku mengkhianati-Mu hari ini karena emosiku, mengkhianati yang lain sebagai Yudas, kumohon bunuhlah aku, ambil tubuh dan jiwaku." Aku merasa lebih tenang setelah berdoa kataku, "Aku tidak tahu apa pun." Seorang petugas melompat dari kursinya dan berdiri di depanku, lalu melompat seperti orang gila dan menendang perutku, membuatku langsung terjatuh sambil bersumpah serapah dan mengatakan akan membunuhku. Lalu mereka memasukkan cabai yang sangat pedas ke mulutku, memaksaku mengunyahnya 10 menit, lalu menelannya. Perutku terasa terbakar, sakit sekali. Bagaimanapun mereka menyiksaku, aku tidak mau buka mulut. Akhirnya, tidak ada pilihan selain membawaku kembali ke sel.

Lima hari kemudian, polisi datang menginterogasiku lagi, menuntut informasi tentang gereja, memaksaku mengatakan hal yang menghujat. Aku tidak mau buka mulut, jadi mereka menekan tangan kiriku di atas meja, mengambil tongkat, hendak memukul tanganku. Melihat mereka akan memukul tanganku dengan tongkat itu, aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, jika aku dipukul dengan itu, tanganku akan terluka. Kumohon lindungi aku." Aku terkejut setelah mereka memukuli tanganku empat-lima kali, tongkatnya patah menjadi dua dan tanganku tidak terasa sakit. Tongkat itu patah, tetapi kulit tanganku tidak luka sama sekali. Lalu aku teringat ayat Alkitab ini: "Engkau akan dibenci manusia karena nama-Ku. Namun, tak sehelai pun rambut di kepalamu akan gugur" (Lukas 21:17–18). Firman Tuhan memiliki otoritas seperti itu. Aku bersyukur kepada Tuhan, aku punya kekuatan untuk menghadapi apa pun. Polisi mengambil tongkat bambu dan memukul pantatku sampai berdarah. Mereka tidak berhenti sampai tongkat itu patah. Lalu salah satunya bertanya kepadaku, "Buka mulut tidak? Cepat beri tahu kami—ini kesempatan terakhirmu." Menahan sakit, kutegakkan punggungku dan berkata tegas, "Aku tidak punya informasi apa pun." Dia menjadi marah dan berteriak, "Kau punya mulut baja, tetapi aku pasti bisa membukanya. Kami punya caranya!" Saat dia mengatakan ini, dua petugas menyeretku ke depan generator, memaksaku duduk di lantai, dan melepas sepatuku. Mereka mengambil dua kabel dari generator, mengikat satu kabel di jari kelingking kaki kiriku, satunya lagi di jari kelingking tangan kiriku. Lalu generator itu dinyalakan, dari lambat hingga cepat, aku merasa kesemutan dan kesakitan dan mulai kejang-kejang. Aku pun meringkuk dan berteriak-teriak. Melihatku meringkuk, polisi mematikan generator, tetapi terus menginterogasiku. Kugertakkan gigiku dan bungkam. Melihat itu, polisi menyalakan lalu mematikan generator, berulang-ulang. Melihatku bungkam, dia pindahkan kabel ke tangan dan kaki kananku, mematikan-menyalakan generator enam-tujuh kali, menyetrumku hingga mati rasa dan kesakitan. Jantungku berdegup kencang, aku sulit bernapas. Mereka baru berhenti karena takut aku mati. Aku terbujur kaku di lantai tanpa tenaga sama sekali, seperti mayat. Polisi tahu aku tidak akan mengaku, kabel di tangan dan kaki kananku dilepas, mereka melemparkannya ke lantai, mendesah frustrasi, dan membawaku ke sel. Melihat hal ini, aku tahu Iblis dipermalukan dan dikalahkan, Tuhan dipermuliakan. Aku telah menderita sedikit dalam daging, tetapi jiwaku terhibur, rasanya manis, dan rasa sakit di tubuhku banyak berkurang.

Kembali ke sel, ketika narapidana lain tahu aku tidak buka mulut, mereka mengacungkan jempol dan berkata, "Kau hebat. Tidak seorang pun di sel kita mampu menandingimu! Mereka memukulimu, selalu menyiksamu, tetapi kau tidak menyerah. Aku terkesan!" Yang lain pun mengacungkan jempol, katanya, "Kau pria sejati. Kami mengagumimu!" Mendengar ini, aku bersyukur kepada Tuhan, segala kemuliaan bagi-Nya. Aku tahu ini karena firman Tuhan Yang Mahakuasa dalam diriku, Tuhan membimbingku melihat tipu daya Iblis dan menang atas perusakan iblis agar aku bisa bersaksi. Setelah ditahan secara ilegal dan disiksa lima bulan penuh, tanpa ada bukti kesalahan apa pun, polisi membebaskanku. Sekujur tubuhku luka-luka dan aku kurus kering. Bobotku berkurang dari 80-an kg menjadi kurang dari 50 kg. Polisi tidak sepenuhnya membebaskanku, membatasi kebebasanku, jika aku keluar kota, aku harus mendapatkan sertifikat dan surat pengantar, tidak boleh pergi tanpa izin pemerintah daerah.

Setelah lima bulan lebih hidup di penjara dan disiksa setan-setan itu, aku telah cukup menderita, tetapi juga belajar banyak. Melalui semua itu, aku melihat betapa Partai Komunis membenci kebenaran dan esensinya jahat. Aku sungguh menolak mereka. Imanku kepada Tuhan juga makin dalam, aku mengalami kasih dan keselamatan-Nya bagi manusia. Melihat kekuasaan Tuhan, otoritas dan kekuatan firman-Nya, kurasakan betapa berharga firman-Nya, firman Tuhan adalah hidup kita, firman menganugerahkan iman dan kekuatan. Firman melepaskan kita dari kekuatan kegelapan! Sebagaimana firman Tuhan Yang Mahakuasa: "Tuhan selalu hadir dalam hati manusia, dan Dia selalu tinggal di antara manusia. Dia menjadi penggerak hidup manusia, akar keberadaan manusia, dan simpanan berlimpah bagi keberadaan manusia setelah dilahirkan. ... Daya hidup Tuhan dapat menang atas kekuatan mana pun; terlebih lagi, daya hidup-Nya melampaui kekuatan apa pun. Hidup-Nya kekal, kuasa-Nya menakjubkan, dan daya hidup-Nya tidak bisa ditundukkan oleh makhluk ciptaan atau kekuatan musuh mana pun" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Kristus Akhir Zaman yang Bisa Memberi Manusia Jalan Hidup yang Kekal").

Selanjutnya: Bagaimana Iman Muncul

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Iman yang Tak Terhancurkan

Oleh Saudara Meng Yong, TiongkokPada Desember 2012, beberapa saudara-saudari dan aku naik mobil menuju suatu tempat untuk mengabarkan...

Dua Puluh Hari Penderitaan

Oleh Saudara Ye Lin, TiongkokSuatu hari pada Desember 2002 sekitar pukul 4 sore, ketika aku sedang berdiri di pinggir jalan sambil...