Apa yang Tersembunyi di Balik Perasaan Rendah Diri?

10 September 2024

Saat pertama kali mulai bekerja sebagai pemimpin, aku dipasangkan dengan Saudari Chen Xiao. Ketika kulihat Chen Xiao memiliki kualitas yang bagus dan berani serta tegas dalam pekerjaannya, sementara aku tidak pandai bicara, memiliki kepribadian yang patuh, dan memiliki pemahaman yang sangat terbatas tentang keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaanku, aku merasa rendah diri dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi seorang pemimpin. Setelah mengamati bagaimana Chen Xiao dengan terampil bersekutu dan menangani segala macam persoalan sementara aku hanya duduk di pinggir dengan canggung, aku merasa makin yakin bahwa aku tidak memenuhi syarat dan menjadi makin tertekan. Keadaanku tetap seperti itu selama beberapa bulan. Kemudian, aku terus melayani sebagai pemimpin gereja, tetapi diberi rekan baru bernama Li Xue. Ketika kulihat bahwa Li Xue cantik, berbudi luhur, cakap, dan berpengalaman, serta memberikan kesan keseluruhan sebagai seorang pemimpin wanita yang sukses dan profesional, sementara aku bicara tanpa rasa percaya diri, tidak memiliki tekad, sering menjadi cemas dan menarik diri dari sekitar orang-orang yang tidak kukenal atau dari situasi di mana ada begitu banyak orang, dan bahkan tidak memiliki kemiripan sedikit pun dengan seorang pemimpin, aku tidak dapat menahan perasaan tertekan. Setiap kali Li Xue kembali dari suatu pertemuan, dia membahas dengan terus terang bagaimana dia bertanya kepada saudara-saudari tentang keadaan mereka saat ini dan bersekutu menggunakan firman Tuhan untuk menyelesaikan masalah mereka; dia menyebutkan betapa besar rasa hormat saudara-saudari itu kepadanya. Ketika bicara tentang hal-hal ini, dia selalu berseri-seri dengan penuh sukacita. Meskipun aku memperhatikan bahwa Li Xue tampaknya sedikit melebih-lebihkan diri sendiri, kurasa tidak masalah jika dia sesekali memperlihatkan kerusakannya, mengingat bahwa dia memiliki kualitas dan kemampuan kerja yang bagus, serta mampu menyelesaikan masalah. Kupikir aku tidak sebanding dengannya, aku tidak punya keteguhan hati seperti dia. Setelah itu, ketika menghadapi masalah, aku mundur dan menarik diri, menganggap diriku tidak cakap, tidak berani memberikan persekutuan. Secara bertahap, kondisiku menjadi makin buruk, dan aku merasa makin yakin bahwa aku memiliki kualitas yang buruk, tidak memiliki kenyataan kebenaran, dan tidak cocok untuk menjadi seorang pemimpin. Aku terpuruk dalam kondisi emosional yang tertekan seperti itu dan hanya bersikap asal-asalan dalam tugasku. Karena aku terus-menerus gagal mencari kebenaran dan tidak dapat menarik diri dari keterpurukanku, tidak lama kemudian, aku diberhentikan. Setahun kemudian, saudara-saudariku sekali lagi memilihku untuk melayani sebagai pemimpin. Aku dipasangkan dengan Saudari Wu Fan dan aku segera menyadari bahwa dia memiliki kualitas serta kemampuan kerja yang bagus, dan hampir setiap kali kami bekerja bersama, dia mengambil peran sebagai pembimbing. Khususnya suatu kali, ketika kami bersama-sama mengadakan sebuah pertemuan, Wu Fanlah yang paling banyak bersekutu dan saudara-saudari juga dengan antusias ikut serta dalam persekutuan mereka sendiri. Adapun diriku, aku ingin bersekutu, tetapi aku khawatir tidak akan mampu bersekutu secara efektif, sehingga akhirnya aku tidak mengatakan apa pun agar tidak mempermalukan diri sendiri. Aku merasa sangat sedih setelah pertemuan itu dan berpikir bahwa aku masih belum pantas menjadi seorang pemimpin. Aku hanya ingin melaksanakan beberapa tugas yang berhubungan dengan urusan umum sebagai orang yang berjerih payah dan tidak mau lagi menjadi seorang pemimpin lagi.

Suatu hari, aku menceritakan keadaanku kepada beberapa saudari; seorang saudari mengingatkan bahwa akan sangat berbahaya bagiku jika aku tidak segera mengatasi keadaanku dan bahwa aku benar-benar harus meluangkan waktu untuk merenung. Baru saat itulah aku memperoleh sedikit kesadaran diri: "Mengapa aku begitu tertekan? Mengapa aku tidak memiliki tekad sedikit pun untuk berusaha memperbaiki diri?" Pada hari-hari berikutnya, tak henti-hentinya aku berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya untuk membimbingku agar dapat memahami keadaanku dan keluar dari perasaan tertekan. Kemudian, aku menemukan bagian firman Tuhan ini: "Ada seseorang yang ketika masih anak-anak, berpenampilan biasa-biasa saja, tidak fasih bicara, dan tidak terlalu cerdas, menyebabkan orang lain di keluarganya dan di lingkungan sosialnya memberikan penilaian yang kurang baik tentang dirinya, mengatakan hal-hal seperti: 'Anak ini bodoh, lamban, dan kikuk dalam berbicara. Lihatlah anak orang lain, yang begitu fasih bicara sehingga membuat orang-orang di sekitarnya tertarik dan menuruti semua perkataannya. Sedangkan anak ini hanya cemberut sepanjang hari. Dia tidak tahu harus berkata apa saat bertemu orang, tidak tahu cara membela atau membenarkan dirinya sendiri setelah melakukan kesalahan, dan tak mampu menyenangkan hati orang. Anak ini sangat bodoh.' Orang tuanya mengatakan hal ini, kerabat dan teman-temannya mengatakan hal ini, dan guru-gurunya pun mengatakan hal ini. Lingkungan seperti ini memberikan tekanan tertentu yang tak terlihat pada individu seperti ini. Setelah mengalami lingkungan ini, tanpa sadar orang ini mengembangkan pola pikir tertentu. Pola pikir seperti apa? Dia menganggap dirinya buruk rupa, tidak terlalu disukai, dan orang lain tak pernah merasa senang bertemu dengannya. Dia yakin bahwa dirinya tidak terlalu pandai di sekolah, lamban dalam menangkap pelajaran, dan selalu merasa malu untuk berbicara di depan orang lain. Dia terlalu malu untuk mengucapkan terima kasih ketika orang memberinya sesuatu, berpikir, 'Mengapa lidahku selalu kelu? Mengapa orang lain begitu fasih bicara? Aku ini benar-benar bodoh!' Tanpa sadar, dia menganggap dirinya tidak berharga, tetapi dia masih tak mau mengakui bahwa dirinya tidak berharga, bahwa dirinya sebodoh itu. Di dalam hatinya, dia bertanya pada dirinya sendiri, 'Apakah aku benar-benar sebodoh itu? Apakah aku benar-benar tidak menyenangkan?' Orang tuanya tidak menyukai dirinya, saudara-saudarinya, guru-guru atau teman sekelasnya pun tidak menyukainya. Dan terkadang, anggota keluarga, kerabat dan teman-temannya membicarakan dirinya, 'Dia pendek, matanya sipit dan hidungnya pesek, dan dengan penampilan seperti itu, dia tidak akan sukses saat dewasa.' Jadi, saat becermin, dia melihat matanya memang sipit. Dalam situasi seperti ini, penentangan, ketidakpuasan, ketidakrelaan, dan penolakan di lubuk hatinya secara berangsur berubah menjadi penerimaan dan pengakuan atas kekurangan, kelemahan, dan masalah dirinya tersebut. Meskipun dia dapat menerima kenyataan ini, emosi yang terus melekat muncul di lubuk hatinya. Disebut apakah emosi ini? Emosi ini disebut perasaan rendah diri. Orang yang merasa rendah diri tidak mengetahui kelebihan mereka. Mereka hanya menganggap diri mereka tidak disukai, selalu merasa bodoh, dan tidak tahu bagaimana menangani segala sesuatu. Singkatnya, mereka merasa tak mampu melakukan apa pun, merasa tidak menarik, tidak pandai, dan lambat dalam bereaksi. Mereka biasa-biasa saja dibandingkan orang lain dan tidak mendapatkan nilai bagus dalam studi mereka. Setelah bertumbuh dalam lingkungan ini, pola pikir perasaan rendah diri ini berangsur-angsur mengambil alih. Itu berubah menjadi semacam emosi yang melekat yang menguasai hatimu dan memenuhi pikiranmu. Sekalipun engkau telah bertumbuh dewasa, telah hidup di tengah masyarakat, menikah dan mapan dalam kariermu, dan apa pun status sosialmu, perasaan rendah diri yang ditanamkan dalam dirimu oleh lingkungan tempatmu dibesarkan tidak mungkin dihilangkan. Bahkan setelah engkau mulai percaya kepada Tuhan dan bergabung dengan gereja, engkau tetap menganggap bahwa penampilanmu biasa-biasa saja, kualitas intelektualmu buruk, engkau tidak fasih bicara, dan tak mampu melakukan apa pun. Engkau berpikir, 'Aku hanya akan melakukan apa yang mampu kulakukan. Aku tak perlu bercita-cita menjadi pemimpin, aku tak perlu mengejar kebenaran yang mendalam, aku hanya akan puas dengan menjadi orang yang paling tidak penting, dan membiarkan orang lain memperlakukanku sesuka mereka.' Ketika antikristus dan pemimpin palsu muncul, engkau merasa tak mampu mengenali ataupun menyingkapkan mereka, engkau merasa tidak memadai untuk melakukan hal itu. Engkau merasa bahwa asalkan engkau sendiri bukan pemimpin palsu atau antikristus, itu sudah cukup, asalkan engkau tidak menyebabkan gangguan atau kekacauan, itu sudah cukup, dan asalkan engkau dapat bertahan di posisimu sendiri, itu sudah cukup. Di lubuk hatimu, engkau merasa tidak cukup baik dan tidak sebaik orang lain, merasa orang lain mungkin adalah objek keselamatan, sedangkan engkau sendiri paling-paling hanya pelaku pelayanan, sehingga engkau merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukan tugas mengejar kebenaran. Sebanyak apa pun kebenaran yang mampu kaupahami, engkau tetap merasa bahwa, karena Tuhan telah menentukanmu dari semula untuk memiliki kualitas seperti itu, untuk berpenampilan seperti itu, maka Dia mungkin telah menentukanmu dari semula untuk hanya menjadi pelaku pelayanan, merasa dirimu tidak ada kaitannya dengan mengejar kebenaran, dengan menjadi seorang pemimpin, menjadi seorang penanggung jawab, atau seorang yang diselamatkan; sebaliknya, engkau rela menjadi orang yang paling tidak penting" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (1)"). Ketika merenungkan firman Tuhan, kusadari bahwa aku terikat oleh perasaan rendah diri. Sejak kecil, aku selalu berpikir bahwa aku memiliki penampilan yang biasa-biasa saja, tidak pandai bertutur kata, memiliki kepribadian yang patuh, sering merasa tertekan dan terkekang serta menderita rasa begitu rendah diri. Aku memiliki masalah yang sama selama karier duniawiku; rekan-rekan kerjaku pandai bertutur kata, pintar menyanjung, tegas dalam mengelola karyawan, dan beberapa bahkan sangat dihargai oleh atasan mereka. Sebaliknya, aku kurang pandai bertutur kata, tidak mampu menjaga hubungan baik dengan berbagai departemen, tidak memiliki kepercayaan diri serta tekad dalam pekerjaanku, dan ketika masalah terjadi pada lini produksi, orang lain menggunakan koneksi mereka dan mengatakan hal-hal yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut, tetapi tidak denganku; aku tidak mampu berbicara, masalahnya tetap tidak terselesaikan, dan aku mengunci diri di bilik toilet sambil menangis. Setelah beriman kepada Tuhan, aku jadi iri pada saudara-saudariku yang lebih berpendidikan daripadaku, punya kualitas yang bagus, dan teguh serta berani dalam pekerjaan mereka. Aku merasa tidak mampu menyamai mereka dan menjadi sangat terkekang. Akibatnya, aku sering bersikap negatif, menarik diri, menghindar, dan memiliki perasaan rendah diri. Seperti inilah hal-hal yang terjadi saat aku bekerja sama dengan Chen Xiao dan Li Xue; karena mereka pandai bertutur kata dan memiliki kualitas serta kemampuan kerja yang bagus, aku merasa rendah diri terhadap mereka. Aku bahkan tidak menganggap itu sebagai suatu masalah, saat melihat Li Xue melebih-lebihkan dirinya sendiri. menganggapnya sebagai tanda keteguhan hati dalam pekerjaannya. Aku terpuruk dalam perasaan rendah diri seperti ini, keadaanku terus memburuk, aku tidak melaksanakan tugasku dengan baik dan akhirnya diberhentikan. Meskipun nyatanya aku dipilih sekali lagi oleh saudara-saudariku untuk melayani sebagai pemimpin, jauh di lubuk hatiku, aku masih merasa rendah diri dan menganggap bahwa aku memiliki kualitas yang buruk, tidak mampu melakukan apa pun dengan baik, dan bahwa aku ditakdirkan untuk menjadi seorang pelaku pelayanan serta tidak akan memperoleh keselamatan. Kusadari bahwa aku telah sangat terbelenggu dan terikat oleh perasaan rendah diri. Aku berpikir tentang bagaimana Tuhan telah berinkarnasi dan menanggung segala macam penderitaan demi menyelamatkan umat manusia, terus-menerus mengungkapkan kebenaran dan menyirami serta membekali umat manusia agar makin banyak orang dapat menerima kasih karunia penyelamatan-Nya, memperoleh keselamatan, dan selamat dari malapetaka. Jika orang-orang kehilangan kesempatan ini, mereka pasti akan menghadapi berbagai malapetaka yang akan datang dan hukuman abadi. Aku tidak memahami maksud Tuhan, terpuruk dalam keadaan negatif serta kesalahpahaman, dan telah menerima pemikiran bahwa aku tidak akan memperoleh keselamatan. Aku bahkan tidak mau berusaha dan mengejar kebenaran; aku begitu memberontak dan tindakanku menyakiti Tuhan. Setelah menyadari semua ini, aku merasa sangat bersalah dan berutang budi kepada Tuhan; aku tidak boleh terus-menerus terpuruk dalam kesedihan, jadi aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Aku bersedia untuk bertobat kepada-Mu. Tolong tuntunlah aku keluar dari semua perasaan negatif dari rasa rendah diri ini."

Belakangan, aku menemukan bagian dari firman Tuhan ini: "Akhirnya, ada sesuatu yang ingin Kukatakan kepadamu: jangan biarkan emosi kecil atau emosi sederhana yang tak berarti menjeratmu seumur hidupmu hingga memengaruhimu dalam memperoleh keselamatan dan menghancurkan harapanmu untuk diselamatkan, mengerti? (Ya.) Emosimu ini bukan saja negatif, lebih tepatnya, itu benar-benar menentang Tuhan dan kebenaran. Engkau mungkin menganggap ini adalah emosi yang ada dalam kemanusiaan normal, tetapi di mata Tuhan, ini bukan hanya masalah emosi yang sederhana, melainkan sebuah metode untuk menentang Tuhan. Ini adalah metode yang ditandai dengan emosi negatif yang orang gunakan untuk menentang Tuhan, firman Tuhan dan kebenaran. Oleh karena itu, Kuharap, dengan berasumsi bahwa engkau ingin mengejar kebenaran, engkau akan memeriksa dirimu secara menyeluruh untuk melihat apakah engkau sedang berpaut pada emosi negatif ini dan dengan bodoh dan keras kepala menentang dan melawan Tuhan. Jika engkau telah menemukan jawabannya lewat pemeriksaan dirimu, jika engkau telah menyadari dan mencapai kesadaran yang murni, maka Aku memintamu untuk terlebih dahulu melepaskan emosi-emosi ini. Jangan menghargainya atau berpaut padanya, karena itu akan menghancurkanmu, itu akan menghancurkan tempat tujuanmu, dan akan menghancurkan kesempatanmu serta harapan yang kaumiliki dalam mengejar kebenaran dan memperoleh keselamatan" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (1)"). Bagian ini membuatku sangat tersentuh. Dahulu, aku tidak pernah menyangka bahwa emosi negatif merupakan suatu masalah yang serius. Setelah membaca analisis dari firman Tuhan, aku menyadari bahwa esensi hidup dalam keadaan emosi negatif bertentangan dengan Tuhan dan kebenaran. Jika aku tidak menyelesaikan masalah ini, aku akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh keselamatan. Aku merenungkan kembali tahun-tahun saat aku menjalani hidup dengan perasaan rendah diri ini: Begitu aku bertemu dengan seorang saudara atau saudari yang lebih berbakat, dan memiliki kualitas serta kemampuan kerja yang lebih baik dariku, aku merasa rendah diri, terpuruk dalam rasa tertekan, jadi menentang dan tidak puas dengan kenyataan tentang situasiku, tidak mau menghadapi dan mengakui situasiku, serta merasa tak berdaya. Aku tidak mau repot-repot memikirkan cara agar aku dapat belajar dari kelebihan orang lain atau cara untuk bekerja sama dengan mereka agar aku dapat melaksanakan tugasku dengan baik; aku justru menyalahkan Tuhan atas kualitas, karunia, dan kurangnya tekad yang Dia berikan kepadaku. Aku hidup dalam keadaan negatif terus-menerus, diam-diam memprotes Tuhan dan terkadang bahkan tidak mau melaksanakan tugasku. Aku telah terikat oleh perasaan rendah diri dalam imanku selama bertahun-tahun ini dan sering kali terpuruk dalam keadaan tertekan dan pasif. Aku tidak mempunyai keinginan untuk mengejar kebenaran dan merasa puas hanya dengan mengerahkan sedikit upaya dan mengikutinya secara pasif. Akibatnya, meskipun kenyataannya aku selalu melaksanakan tugasku dengan penuh keyakinan kepada Tuhan dan memiliki banyak kesempatan untuk menerapkannya, kemajuanku dalam hidup ini sangat minim; aku tetap menyedihkan dan miskin seperti sebelumnya. Pekerjaan Tuhan sudah hampir berakhir dan aku telah kehilangan kesempatan tak terhitung banyaknya untuk memperoleh kebenaran, dan hidupku pun mengalami banyak kerugian. Jika aku tidak mengubah keadaanku, aku akan menghancurkan kesempatanku untuk memperoleh keselamatan. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar aku dapat memahami watak rusak apa yang membuatku merasa rendah diriku.

Kemudian, aku menemukan bagian firman Tuhan ini: "Bukannya mencari kebenaran, kebanyakan orang memiliki agenda picik mereka sendiri. Kepentingan, reputasi, dan tempat atau kedudukan mereka di benak orang lain sangatlah penting bagi mereka. Hanya hal-hal inilah yang mereka hargai. Mereka menggenggam erat hal-hal ini dan menganggapnya sebagai hidup mereka. Dan bagaimana hal-hal ini dipandang atau diperlakukan oleh Tuhan, itu dianggap kurang penting; untuk saat ini, mereka mengabaikan hal itu; untuk saat ini, mereka hanya memikirkan apakah mereka adalah pemimpin kelompok atau bukan, apakah orang lain menghormati mereka, apakah perkataan mereka berbobot. Perhatian utama mereka adalah menduduki posisi tersebut. Ketika berada dalam kelompok, hampir semua orang mencari kedudukan dan peluang seperti ini. Jika mereka sangat berbakat, tentu saja mereka ingin menjadi yang terbaik; jika mereka memiliki kemampuan yang biasa-biasa saja, mereka tetap ingin memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam kelompok tersebut; dan jika mereka memiliki kedudukan yang rendah dalam kelompok, karena memiliki kualitas dan kemampuan rata-rata, mereka juga ingin orang lain menghormati mereka, mereka tidak mau orang lain memandang rendah diri mereka. Reputasi dan martabat orang-orang ini adalah batas minimum yang harus mereka miliki: mereka harus memegang erat hal-hal ini. Mereka boleh saja tidak memiliki integritas dan tidak mendapatkan perkenanan atau penerimaan Tuhan, tetapi mereka sama sekali tidak boleh kehilangan rasa hormat, status, atau harga diri yang telah mereka bangun di benak orang-orang—yang merupakan watak Iblis. Namun, kebanyakan orang tidak memiliki kesadaran akan hal ini. Keyakinan mereka adalah, mereka harus memegang erat reputasi ini sampai akhir. Mereka tidak menyadari bahwa hanya jika hal-hal yang sia-sia dan dangkal ini dilepaskan dan dikesampingkan sepenuhnya, barulah mereka akan menjadi manusia sejati. Jika orang mempertahankan hal-hal yang seharusnya dibuang ini sebagai hidup mereka, mereka akan kehilangan hidup mereka. Mereka tidak tahu apa yang dipertaruhkan. Jadi, ketika mereka bertindak, mereka selalu menyembunyikan sesuatu, mereka selalu berusaha melindungi reputasi dan status mereka sendiri, mereka mengutamakan hal-hal ini, berbicara hanya untuk tujuan mereka sendiri, untuk pembelaan palsu mereka sendiri. Segala sesuatu yang mereka lakukan adalah untuk diri mereka sendiri. Mereka bergegas melakukan hal-hal mulia, membiarkan semua orang tahu bahwa mereka adalah bagian dari hal tersebut. Sebenarnya hal itu tidak ada kaitannya dengan mereka, tetapi mereka tidak pernah mau berada di balik layar, mereka selalu takut orang lain memandang rendah diri mereka, mereka selalu takut orang lain mengatakan bahwa mereka bukan apa-apa, bahwa mereka tidak mampu melakukan apa pun, bahwa mereka tidak memiliki keterampilan. Bukankah semua ini dikendalikan oleh watak jahat mereka? Jika engkau mampu melepaskan hal-hal seperti reputasi dan status, engkau akan jauh lebih tenang dan bebas; engkau akan mulai menjejakkan kaki di jalan untuk menjadi orang yang jujur. Namun bagi banyak orang, hal ini tidak mudah untuk dicapai" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Setelah membaca firman Tuhan, kusadari bahwa aku bukan merasa rendah diri karena kualitasku yang buruk, atau karena aku tidak pandai berbicara dan memiliki penampilan yang biasa-biasa saja, melainkan karena Iblis telah mencuci otakku dengan pandangan tertentu yang keliru terkait dengan pengejaranku. Aku terlalu mementingkan reputasi dan status. Tanpa sadar, aku telah dipengaruhi oleh racun Iblis seperti "Manusia bergelut ke atas; air mengalir ke bawah", "Manusia membutuhkan harga dirinya seperti pohon membutuhkan kulitnya" dan "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Tidak ada yang lebih penting bagiku daripada reputasi, status, dan rasa hormat dari orang lain; kupikir hanya dengan mencapai hal-hal ini, aku akan menjalani kehidupan yang bermakna dan bernilai. Dalam karier duniawiku, aku selalu iri pada rekan kerja yang pintar dan jeli, pandai berbicara, cekatan dalam berinteraksi dengan orang lain dan mendapat pengakuan serta penghargaan dari para atasan mereka. Aku juga ingin dihargai oleh para atasan seperti halnya rekan-rekan kerjaku. Namun, aku merasa rendah diri karena memiliki penampilan yang biasa-biasa saja, tidak pandai berbicara dan tidak pandai menjalin hubungan. Ketika menghadapi masalah, aku tidak mau memberi tahu rekan-rekan kerjaku; sebaliknya, aku memilih untuk mengunci diri di kamar mandi dan menangis sendirian. Aku khawatir jika ada orang lain yang tahu tentang masalahku, mereka akan memandang rendah dan meremehkanku. Aku benar-benar sangat menderita saat itu. Setelah beriman kepada Tuhan, aku terus hidup dengan sudut pandang orang-orang tidak percaya, berpikir bahwa untuk menjadi pemimpin atau pengawas, seseorang harus memiliki aura pemimpin, berbicara dengan tegas, berpenampilan menarik, mampu membuat berbagai pengaturan dan memiliki kemampuan kerja yang baik, dan dengan cara ini, di mana pun mereka berada, mereka akan dihormati, dapat membuat diri mereka dikenal dan akan sangat dihormati. Ketika aku melihat bagaimana saudara-saudari yang menjadi rekan kerja lebih cakap daripada aku, berbicara dengan penuh keyakinan dan memiliki kemampuan kerja yang bagus, tebersit dalam pikiranku bahwa aku mengecewakan dalam segala hal. Karena gagal mendapatkan rasa hormat dari orang lain, tidak terlalu dikagumi dan hasratku untuk mendapatkan reputasi serta status tidak terpenuhi, aku tidak mau lagi menjadi pemimpin dan hanya ingin menghindar dari lingkungan itu lalu bergabung dengan kelompok orang yang lain. Aku berpikir bahwa dengan melakukan ini, kelemahan dan ketidakmampuanku tidak akan tersingkap dan aku tidak akan dipandang rendah oleh orang lain. Setelah merenungkan semua ini, aku menyadari bahwa racun Iblis telah berakar di dalam hatiku. Aku mencari status dan rasa hormat serta kekaguman dari orang lain, menganggapnya sebagai hal-hal yang positif. Begitu hasrat pribadiku tidak terpenuhi, aku tidak mau lagi melaksanakan tugasku, menjadi negatif dan antagonis serta tidak mampu tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Kusadari bahwa sudah terlalu dalam aku dirusak oleh Iblis, dan hasratku akan reputasi serta status terlalu kuat. Jika aku terus seperti itu, Tuhan akan jijik kepadaku dan menyingkirkanku. Aku tidak ingin lagi terus menempuh jalan yang salah dan siap untuk bertobat kepada Tuhan, melaksanakan tugasku secara nyata sesuai tuntutan Tuhan dan tunduk pada kedaulatan serta pengaturan-Nya.

Kemudian, aku menemukan bagian lain dari firman Tuhan: "Jika perasaan rendah diri telah tertanam begitu dalam di hatimu, perasaan itu bukan saja berdampak besar pada dirimu, itu juga mendominasi pandanganmu mengenai orang dan hal-hal, serta caramu dalam berperilaku dan bertindak. Jadi, bagaimana cara mereka yang didominasi oleh perasaan rendah diri memandang orang dan hal-hal? Mereka menganggap orang lain lebih baik daripada mereka, dan mereka juga memandang antikristus lebih baik daripada mereka. Sekalipun antikristus memiliki watak yang jahat dan kemanusiaan yang buruk, mereka tetap memperlakukan mereka sebagai orang-orang yang patut ditiru dan diteladani. Mereka bahkan berkata pada diri mereka sendiri, 'Lihat, meskipun mereka memiliki watak yang buruk dan kemanusiaan yang jahat, mereka berbakat dan lebih cakap dalam bekerja dibandingkan diriku. Mereka dapat dengan nyaman memperlihatkan kemampuan mereka di depan orang lain dan berbicara di depan begitu banyak orang tanpa tersipu atau jantung yang berdebar kencang. Mereka benar-benar berani. Aku tak dapat menandingi mereka. Aku benar-benar tidak berani.' Apa penyebab hal ini? Dapat dikatakan dengan pasti bahwa salah satu penyebabnya adalah karena perasaan rendah diri telah memengaruhi caramu dalam menilai esensi orang, serta perspektif dan sudut pandangmu dalam memandang orang lain. Bukankah benar demikian? (Ya.)" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (1)"). Ketika merenungkan firman Tuhan, aku menyadari bahwa perasaan rendah diri dapat memengaruhi cara kita memandang orang dan berbagai hal. Aku merenungkan bagaimana ketika aku tenggelam dalam perasaan rendah diri, aku hanya fokus pada karunia, kualitas, dan kemampuan lahiriah orang untuk berbicara dan bertindak dengan tegas. Sifat-sifat ini adalah standar yang kugunakan untuk menilai kualitas orang, tetapi aku tidak menganggap penting pemahaman akan kemanusiaan, esensi, dan jalan yang mereka tempuh. Aku memikirkan bagaimana ketika aku bekerja sama dengan Li Xue, aku hanya mengamati bagaimana dia pandai berbicara dan bertindak dengan tegas, tetapi tidak memahami perilakunya. Aku bahkan berpikir bahwa, tidak sepertiku, dia memiliki modal, jadi wajar jika dia melebih-lebihkan diri sendiri. Aku benar-benar bingung!

Kemudian, aku mulai mempertanyakan apakah mengukur kualitas orang berdasarkan kefasihan berbicara, karunia, ketegasan dalam berbicara, dan kemampuan bekerja mereka adalah cara pengukuran yang paling akurat. Kemudian aku menemukan bagian firman Tuhan ini: "Bagaimana kita menilai kualitas orang? Cara yang tepat untuk menilai orang adalah dengan melihat sikap mereka terhadap kebenaran dan apakah mereka mampu memahami kebenaran atau tidak. Ada orang-orang yang mampu mempelajari beberapa keahlian khusus dengan sangat cepat, tetapi ketika mendengar kebenaran, mereka menjadi bingung dan tertidur. Hati mereka menjadi kacau, apa pun yang mereka dengar tidak masuk ke dalam hati, dan mereka juga tidak memahami apa yang sedang mereka dengar. Itulah yang dimaksud dengan kualitas yang buruk. Ada sebagian orang yang tidak sependapat ketika engkau memberi tahu bahwa mereka berkualitas buruk. Mereka beranggapan bahwa berpendidikan tinggi dan berpengetahuan luas berarti bahwa mereka memiliki kualitas yang baik. Apakah pendidikan yang baik menunjukkan kualitas yang tinggi? Tidak. Bagaimana seharusnya kita menilai kualitas orang? Kualitas orang seharusnya dinilai berdasarkan sejauh mana mereka memahami firman Tuhan dan kebenaran. Inilah cara yang paling akurat untuk menilai kualitas orang. Ada orang-orang yang fasih dalam berbicara, cepat tanggap, dan sangat terampil dalam menghadapi orang lain, tetapi ketika mendengarkan khotbah, mereka tidak pernah mampu memahami apa pun, dan ketika membaca firman Tuhan, mereka juga tidak memahaminya. Ketika berbicara mengenai pengalaman kesaksiannya, mereka selalu mengucapkan kata-kata dan doktrin, yang menunjukkan bahwa mereka hanyalah amatir, dan memberikan kesan kepada orang lain bahwa mereka tidak memiliki pemahaman rohani. Mereka adalah orang-orang yang berkualitas buruk. Jadi, apakah orang-orang seperti itu mampu melakukan pekerjaan bagi rumah Tuhan? (Tidak.) Mengapa? (Mereka tidak memiliki prinsip-prinsip kebenaran.) Benar, ini adalah hal yang harus engkau semua pahami sekarang" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Untuk Melaksanakan Tugas dengan Baik, Memahami Kebenaran Sangatlah Penting"). Setelah membaca firman Tuhan, aku belajar bahwa kita tidak boleh mengukur kualitas orang lain berdasarkan seberapa terpelajarnya mereka, apa saja karunia lahiriah yang mereka miliki, seberapa cepat mereka berpikir, atau seberapa pandai mereka berbicara, tetapi berdasarkan apakah mereka mampu memperoleh pemahaman yang akurat tentang firman Tuhan dan mampu memahami kenyataan firman Tuhan, yaitu, apakah mereka dapat memahami maksud Tuhan melalui firman-Nya dan mengetahui watak rusak serta esensi mereka melalui firman Tuhan. Aku berpikir, meskipun Li Xue memiliki karunia tertentu, pandai berbicara dan bertindak tegas, dia tidak dapat membahas pemahaman sebenarnya tentang dirinya sendiri atau kesaksian berdasarkan pengalaman apa pun tentang firman Tuhan. Saudara-saudari telah menunjukkan perilakunya yang berulang kali melebih-lebihkan diri sendiri, tetapi meskipun mengakui hal itu, dia tidak pernah memahami natur dan konsekuensi serius dari perilaku tersebut. Saat melaksanakan tugasnya, dia selalu membanggakan diri sendiri dan bahkan merendahkan orang lain sembari meninggikan diri sendiri dan hampir tidak pernah merenungkan atau memperoleh pengetahuan tentang masalah ini bahkan setelah dia diberhentikan. Dari sini, aku melihat bahwa Li Xue memiliki karunia tertentu, tetapi dia bukanlah seseorang dengan kualitas yang baik. Aku berpikir tentang bagaimana Tuhan menelaah sosok Paulus; Paulus memiliki karunia, telah menulis banyak surat, dan menyebarkan Injil kepada banyak orang, tetapi dia tidak mampu memahami kebenaran, dan pada akhirnya tidak mampu mengenali natur Iblis dalam dirinya yang menentang Tuhan. Karena itu, Paulus tidak dapat dianggap memiliki kualitas yang baik. Setelah menyadari semua ini, aku merasa sedikit lebih paham. Aku menyadari bahwa aku tidak memahami kebenaran dan selalu berpikir bahwa orang yang berpendidikan bagus, pandai bertutur kata, serta tegas berarti memiliki kualitas yang baik, dan tidak memiliki sifat-sifat ini menandakan kualitas yang buruk. Akibatnya, aku sering menganggap diriku sebagai orang yang berkualitas buruk, yang tidak memenuhi syarat untuk melayani sebagai pemimpin atau pekerja. Setelah membaca firman Tuhan, aku menyadari bahwa untuk menilai kualitas seseorang, terutama kita harus melihat seberapa baik pemahaman orang itu akan firman Tuhan, apakah dia dapat memahami kebenaran, dan apakah dia dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip. Cara yang paling akurat untuk memandang orang dan segala sesuatu adalah berdasarkan pada firman Tuhan.

Kemudian, aku menemukan dua bagian firman Tuhan lainnya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Jadi, bagaimana engkau dapat secara akurat menilai dan mengenal dirimu sendiri, dan melepaskan diri dari perasaan rendah diri? Engkau harus menjadikan firman Tuhan sebagai landasan untuk memperoleh pengenalan akan dirimu sendiri, untuk mengetahui seperti apa kemanusiaan, kualitas dan bakatmu, dan apa kelebihan yang kaumiliki. Sebagai contoh, engkau sebelumnya suka bernyanyi dan melakukannya dengan baik, tetapi ada orang-orang tertentu yang terus mengkritikmu dan merendahkanmu, berkata bahwa engkau buta nada dan suaramu sumbang, jadi sekarang engkau merasa tak mampu bernyanyi dengan baik dan tidak berani lagi melakukannya di depan orang lain. Karena kelompok orang-orang duniawi, orang-orang yang bingung dan orang-orang yang berkemampuan rata-rata itu membuat penilaian dan kritik yang tidak akurat tentang dirimu, hak asasi kemanusiaanmu telah dibatasi, dan bakatmu telah dilumpuhkan. Akibatnya, engkau tidak berani bernyanyi bahkan satu lagu pun, dan engkau hanya cukup berani membebaskan dirimu untuk bernyanyi dengan suara lantang saat tak ada seorang pun yang berada di sekitarmu atau saat engkau hanya seorang diri. Karena biasanya engkau merasa sangat tertekan, saat engkau tidak sedang sendirian, engkau tidak berani bernyanyi; engkau berani bernyanyi hanya ketika engkau sedang sendirian, menikmati waktu saat engkau dapat bernyanyi dengan suara lantang, dan merasakan betapa indah dan membebaskannya waktu tersebut! Bukankah benar demikian? Karena kejahatan yang orang lakukan terhadapmu, engkau tidak tahu atau tak mampu melihat dengan jelas apa yang sebenarnya mampu kaulakukan, apa yang mahir kaulakukan, dan apa yang kurang mahir kaulakukan. Dalam situasi seperti ini, engkau harus membuat penilaian yang benar dan mengukur dirimu dengan benar berdasarkan firman Tuhan. Engkau harus memastikan apa yang telah kaupelajari dan di mana letak kelebihanmu, dan lakukanlah apa pun yang mampu kaulakukan; sedangkan mengenai hal-hal yang tak mampu kaulakukan, kekurangan dan kelemahanmu, engkau harus merenungkannya dan mengenalinya, dan engkau harus menilai dan mengetahui secara tepat seperti apa kualitasmu, dan apakah kualitasmu itu baik atau buruk. Jika engkau tak mampu memahami atau memperoleh pengetahuan yang jelas tentang masalahmu sendiri, bertanyalah kepada orang-orang yang berpengertian di sekitarmu untuk menilai dirimu. Entah yang mereka katakan itu tepat atau tidak, setidaknya itu akan memberimu sesuatu untuk kaujadikan acuan dan pertimbangan dan itu akan memungkinkanmu untuk menilai atau menggolongkan dirimu sendiri. Dengan cara demikian, engkau akan mampu membereskan masalah esensial emosi negatif seperti perasaan rendah diri, dan secara berangsur melepaskan dirimu darinya. Perasaan rendah diri mudah dibereskan jika orang mampu mengenalinya, menyadarinya, dan mencari kebenaran" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (1)"). "Yang Tuhan ingin lihat bukanlah engkau semua berhenti mengejar kebenaran, Dia juga tidak ingin melihat sikap seseorang yang menganggap dirinya sudah tidak memiliki harapan. Dia ingin melihat bahwa setelah engkau memahami semua fakta yang sebenarnya ini, engkau dapat pergi dan mengejar kebenaran dengan lebih teguh, berani, dan yakin, menyadari dengan jelas bahwa Tuhan adalah Tuhan yang adil. Ketika engkau tiba di ujung jalan, asalkan engkau telah mencapai standar yang telah Tuhan tetapkan untukmu, dan engkau berada di jalan menuju keselamatan, Tuhan tidak akan menganggapmu sudah tidak ada harapan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Menyelesaikan Gagasannya Orang Dapat Memasuki Jalur yang Benar dalam Kepercayaan kepada Tuhan (2)"). Dalam firman Tuhan, aku menemukan jalan untuk mengatasi perasaan rendah diriku. Aku harus memandang segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan, memperoleh pemahaman yang akurat tentang kelebihan dan kelemahanku, berusaha sebaik mungkin untuk melakukan apa yang mampu kulakukan, dan menanganinya dengan benar serta mencari kebenaran untuk mengatasi apa yang tidak kupahami atau gagal kucapai. Aku teringat kembali saat pertama kali aku mulai melayani sebagai pemimpin dan pengawas: Pada awalnya, aku mampu melakukan beberapa pekerjaan nyata melalui kerja sama yang tekun, tetapi kemudian aku diberhentikan karena aku bersikap negatif, bermalas-malasan, dan memperoleh hasil yang buruk dalam tugasku karena aku hidup berdasarkan watak rusakku. Kualitasku yang buruk tentu bukanlah satu-satunya alasan aku diberhentikan. Bahkan, semua saudara-saudariku berkata bahwa aku memiliki kualitas rata-rata, bukan kualitas yang buruk. Jika aku bekerja dengan tekun ketika bekerja sama dengan saudara-saudari lainnya, aku masih mampu menyelesaikan beberapa pekerjaan. Setelah menyadari semua ini, aku menyikapi diriku sendiri dengan benar; aku tidak memiliki kualitas terbaik, dan tidak dapat memahami prinsip-prinsip terkait masalah tertentu, tetapi aku selalu dapat meminta bantuan dari saudara-saudariku untuk melengkapi kekuranganku dan bekerja keras untuk meningkatkan kualitasku. Dengan cara ini, aku akan dapat mengalami kemajuan. Setelah menyadari hal ini, aku menemukan jalan penerapan dan merasa jauh lebih tenang. Aku tidak mau lagi terbelenggu oleh perasaan rendah diri dan bersedia untuk melaksanakan tugasku dengan baik serta fokus menerapkan kebenaran demi memuaskan Tuhan.

Belakangan, pada suatu kesempatan, aku menghadiri pertemuan kelompok kecil dengan seorang saudari bernama Xiaoye, yang bertugas sebagai pengawas pekerjaan tekstual. Xiaoye mampu menyampaikan maksud Tuhan melalui persekutuannya tentang firman-Nya dan memadukan berbagai pelajaran dari pengalamannya sendiri ke dalam persekutuannya, yang semuanya cukup bermanfaat bagi mereka yang hadir. Semua saudara-saudari mengangguk-angguk dan mencatat selama persekutuannya. Melihat ini, perlahan-lahan aku mulai merasa rendah diri lagi, merasa bahwa Xiaoye lebih cakap daripadaku dan lebih memenuhi syarat untuk melayani sebagai pemimpin. Namun, ketika perasaan rendah diri ini muncul, aku teringat akan satu bagian dari firman Tuhan: "Engkau harus memastikan apa yang telah kaupelajari dan di mana letak kelebihanmu, dan lakukanlah apa pun yang mampu kaulakukan; sedangkan mengenai hal-hal yang tak mampu kaulakukan, kekurangan dan kelemahanmu, engkau harus merenungkannya dan mengenalinya, dan engkau harus menilai dan mengetahui secara tepat seperti apa kualitasmu, dan apakah kualitasmu itu baik atau buruk" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (1)"). Sesungguhnya, setiap orang memiliki kualitas dan kelebihan yang berbeda-beda; ini adalah hasil dari kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Seperti apa pun kualitasku, aku harus selalu melaksanakan tanggung jawab dan tugasku. Aku tidak memiliki kualitas terbaik dan tidak begitu pandai bertutur kata seperti orang lain, tetapi selama aku memiliki pemahaman dan pengalaman tentang firman Tuhan, aku harus menetapkan niat yang benar dan bersekutu tentang pemahamanku untuk memenuhi tanggung jawabku. Itulah yang seharusnya kulakukan. Setelah menyadari hal ini, aku merasa jauh lebih baik, tidak lagi dipengaruhi oleh perasaan rendah diri, bersedia melakukan penerapan menurut firman Tuhan, bersekutu tentang segala hal yang kupahami, dan memenuhi tanggung jawabku. Setelah itu, aku bersekutu tentang pemahaman dan pengetahuanku tentang firman Tuhan. Ketika melihat bagaimana persekutuanku bermanfaat dan berguna bagi saudara-saudari, aku bersyukur kepada Tuhan! Berkat pencerahan dan bimbingan firman Tuhan-lah aku mengalami kemajuan dan memperoleh apa yang kini kumiliki.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Mengapa Aku Takut Kalah?

Oleh Saudari Rena, Filipina Juni 2019, aku menerima pekerjaan baru Tuhan, lalu aku mulai menyirami petobat baru. Beberapa petobat baru...