Aku Tidak Lagi Menghina Rekanku

24 November 2022

Oleh Saudara Qi Hang, Korea

Aku mengelola buku dan barang gereja. Aku memeriksa apakah barang-barang sudah diatur dan disimpan, apakah pengaturannya rapi, catatan keluar-masuk barang jelas. Aku takut terjadi kekacauan jika aku lalai. Saudara Cheng, rekan kerjaku, agak ceroboh dan tidak bersih. Kadang, dia melempar atau menumpuk barang-barang, aku selalu mengkhawatirkan dia dan memeriksa pekerjaannya. Setiap kulihat Saudara Cheng salah taruh atau kulihat catatan keluar-masuk barang tidak jelas, aku cemas sampai hilang sabar dan tak mau bersekutu menolongnya. Awalnya aku menjaga perasaannya hati-hati menjaga intonasi dan ucapanku, tapi lama kelamaan, aku tak peduli, dan di tiap kesempatan, kusebutkan kesalahannya. Kadang aku emosi dan memarahinya, kataku, "Kenapa kau salah tempat lagi? Satu ditaruh di sini, satu di sana. Tak bisakah kau taruh barang di tempatnya semula? Hanya sebentar membersihkannya, tapi kau pasti menangguhkannya, dan tak pernah bersih-bersih setelahnya ...." Sikapku terhadap Saudara Cheng makin parah. Kadang, dengan nada memerintah kusuruh dia membersihkan yang kotor.

Aku ingat satu kali, waktu aku memeriksa catatan keluar-masuk barang, kudapati dia mengkoreksi dengan kacau sampai tak terbaca. Amarahku langung meluap dan kupikir, "Aku bahkan tak bisa menebak tulisannya!" Langsung kudatangi Saudara Cheng. Seperti guru memarahi murid, kupegang catatannya dan tanya satu per satu. Kubilang, "Tahu aku mau apa sekarang? Aku mau bawa catatan ini ke pemimpin, biar dia tahu caramu mengerjakan tugas, dan betapa cerobohnya kau!" Wajah Saudara Cheng tampak bersalah dan berkata akan memperhatikannya. Katanya kali itu tak disengaja. Saat mencatat dia dipanggil untuk mengatasi hal yang mendesak, jadi dia lupa. Tapi kularang dia menjelaskan. Aku berkata, "Kalau sampai terulang, catatan kuberikan langsung ke pemimpin biar dia urus!" Belum lama ini, kulihat di lembar catatan Saudara Cheng ada noda tak jelas lagi. Kali ini aku lebih marah. Kudatangi Saudara Cheng, kutanyai, "Sudah kubilang, kalau salah, tulis di tempat lain, jangan ditimpa. Lihat koreksimu. Siapa yang tahu tulisanmu? Kalau tak jelas, aku harus cari kau dan bertanya. Apa tak menjengkelkan? Meski bagimu tidak, aku jengkel!" Waktu dia lihat aku marah lagi, dia ambil catatannya dan berkata, "Kalau begitu kukoreksi lagi." Aku teriak marah-marah, "Tak usah! Tak akan bisa!" Aku pergi setelah mengatakannya, kutinggalkan dia duduk sendiri memegang catatan, kebingungan. Saat itu aku sadar aku sudah agak keterlaluan. Tapi tidak kupikirkan, dan hal itu berlalu. Setelah beberapa hari, aku marah lagi kepadanya karena hal sepele. Dia balik marah, dan kami bertengkar. Pemimpin tahu kerja sama kami tidak harmonis, jadi dia bersekutu denganku dan membacakan firman Tuhan, "Apa pun tugas yang antikristus laksanakan, dengan siapa pun mereka bekerja sama, selalu ada konflik dan perselisihan. Mereka selalu ingin menceramahi orang lain dan diperhatikan oleh orang-orang itu. Dengan siapakah orang semacam itu mampu bekerja sama? Tak seorang pun—watak rusak mereka terlalu parah. Mereka bukan saja tidak mampu bekerja sama dengan siapa pun, tetapi mereka juga selalu menceramahi orang lain dari posisi yang tinggi dan mengendalikan mereka, ingin untuk selalu membebani orang dan memaksa orang agar menaati mereka. Ini bukan saja masalah watak—tetapi juga ada sesuatu yang sangat salah dengan kemanusiaan mereka, karena mereka tidak memiliki hati nurani atau nalar. ... Agar orang dapat berinteraksi secara normal, satu syarat harus dipenuhi: setidaknya mereka harus memiliki hati nurani dan nalar, kesabaran dan toleransi, sebelum mereka mampu bekerja sama. Agar mampu bekerja sama dalam pelaksanaan tugas, orang harus menjadi sepikir, dan mampu mengimbangi kelemahan mereka sendiri dengan kekuatan orang lain, dan mereka harus sabar dan toleran, sesuai dengan standar dasar berperilaku. Hanya dengan cara inilah, mereka bisa hidup rukun secara damai. Meskipun konflik dan perselisihan mungkin muncul sekali-sekali, mereka mampu terus bekerja sama; setidaknya tidak ada permusuhan yang akan muncul. Setiap orang yang tidak memiliki kemanusiaan adalah orang yang berpengaruh buruk. Hanya mereka yang memiliki kemanusiaan normallah yang mudah bekerja sama dengan orang lain, serta toleran dan sabar terhadap orang lain; hanya merekalah yang akan mendengarkan pendapat orang lain, dan merendahkan diri saat berdiskusi dengan orang lain. Mereka juga memiliki watak yang rusak dan selalu berkeinginan agar orang lain memperhatikan mereka. Mereka juga memiliki niat itu—tetapi karena mereka memiliki hati nurani dan nalar, dan mampu mencari kebenaran, dan mengenal diri mereka sendiri, dan karena mereka merasa bahwa perilaku semacam itu tidak pantas, dan hati mereka rela mendapatkan teguran, serta memiliki kemampuan untuk menahan diri, mereka pun mampu bekerja sama dengan orang lain. Itu hanyalah penyingkapan watak yang rusak. Mereka bukan orang yang jahat, mereka juga tidak memiliki esensi antikristus. Mereka mampu bekerja sama dengan orang lain. Jika mereka adalah orang yang jahat atau antikristus, mereka tidak mungkin mampu bekerja sama dengan orang lain. Inilah yang terjadi dengan semua orang yang jahat dan antikristus yang dikeluarkan dari rumah Tuhan. Mereka tidak mampu bekerja sama secara harmonis dengan siapa pun, jadi mereka semua disingkapkan dan diusir" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Delapan: Mereka Akan Membuat Orang Lain Hanya Taat kepada Mereka, Bukan kepada Kebenaran atau Tuhan (Bagian Satu)"). Setelah membaca firman Tuhan, pemimpin mengingatkan, "Supaya akur, setidaknya kita harus menghormati orang itu. Kalau kau marahi Saudara Cheng seperti ini dan terus menegurnya, kau tak punya rasa hormat yang mendasar. Bukankah terlalu sombong? Kau meremehkan semua yang dia kerjakan, kau awasi dia seharian, dan tak membiarkan masalah. Apa itu pantas? Saudara Cheng sibuk dan ingatannya lemah. Pasti akan ada masalah. Bukankah kau harus perlakukan dengan wajar dan menolongnya? Lagipula, dia terus meningkat. Tapi bagaimana denganmu? Kau bermasalah dengan watak dan kemanusiaan. Terus-menerus memaki orang adalah watak rusak. Bukankah itu semut di seberang tampak, gajah di depan mata tak tampak?"

Lalu pemimpin membacakan firman Tuhan yang lain. "Menurutmu, apakah bekerja sama dengan orang lain itu sulit? Sebenarnya tidak sulit. Bahkan bisa dikatakan mudah. Namun, mengapa orang masih merasa hal ini sulit? Karena mereka memiliki watak yang rusak. Bagi orang yang memiliki kemanusiaan, hati nurani, dan akal sehat, bekerja sama dengan orang lain itu relatif mudah, dan mereka cenderung merasa bahwa ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena tidak mudah bagi siapa pun untuk menyelesaikan sesuatu sendirian, apa pun bidang yang mereka geluti, atau apa pun yang mereka lakukan, selalu merupakan hal yang baik jika ada orang yang memberimu petunjuk dan menawarkan bantuan—jauh lebih mudah daripada melakukannya sendirian. Selain itu, ada batas mengenai apa yang mampu orang capai dengan kualitas mereka atau apa yang mampu mereka alami sendirian. Tak seorang pun mampu menguasai semua bidang pekerjaan, tidak mungkin satu orang mengetahui semuanya, memahami semuanya, mencapai semuanya—itu tidak mungkin, dan semua orang harus memiliki akal sehat seperti ini. Dan jadi, apa pun yang kaulakukan, entah itu penting atau tidak, harus selalu ada orang di sana untuk membantumu, memberimu petunjuk, nasihat, dan untuk membantumu dengan segala sesuatu. Dengan demikian, engkau akan melakukan segala sesuatu dengan lebih tepat, akan makin sulit untuk melakukan kesalahan, dan akan makin kecil kemungkinanmu untuk tersesat—di mana semua ini adalah hal-hal yang baik" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Delapan: Mereka Akan Membuat Orang Lain Hanya Taat kepada Mereka, Bukan kepada Kebenaran atau Tuhan (Bagian Satu)"). Setelah membaca firman Tuhan, pemimpin bersekutu lagi, dan akhirnya bertanya, "Kalau kau kelola barang-barang sendirian, bisakah dikerjakan tanpa salah?" Dengan malu kujawab, "Tidak." Pemimpin berkata, "Benar. Tak ada yang serba tahu dan semua butuh rekan untuk menjalankan tugas. Kalau tak bisa kerja sama dengan harmonis, bagaimana bisa kerjakan tugas dengan baik? Kau harus pikirkan dan renungkan masalahmu sendiri."

Saat kembali, aku sedih sekali. Bagaimana bisa aku tak sadar punya masalah besar? Dulu kupikir kemanusiaanku baik dan bisa akur dengan saudara-saudari, tapi sejak kerja sama dengan Saudara Cheng dalam tugas, aku selalu merasa benar sendiri, berpikir ide dan tindakanku benar. Aku memaksakan kehendak dan membuatnya menuruti mauku. Aku tak menolong dengan mempersekutukan kebenaran, aku hanya marah, menuduh dan menegur dia. Tak punya kemanusiaan atau nalar. Aku selalu merasa lebih baik darinya, makanya memandang dia rendah. Dia menyebalkan. Tak kutanggapi kelebihan dan kekurangannya dengan benar. Tiap kali aku pamer dan meremehkan dia. Awalnya kami bersama bertanggungjawab mengatur barang gereja, tapi aku tak suka berdiskusi dengannya. Aku egois, selalu yang memutuskan, dan memerintahkan Saudara Cheng. Sering kumarahi dia seperti anak kecil, mencoba mengajarinya. Watakku terlalu sombong, dan Tuhan benci!

Kutahu aku sombong dan selalu memaksa orang mendengarkanku, tapi aku tak tahu cara memperbaikinya. Aku berdoa dan mencari firman Tuhan yang relevan. Satu hari dalam firman Tuhan kubaca, "Antikristus selalu memiliki ambisi dan keinginan untuk mengendalikan dan menaklukkan orang lain. Ketika menangani orang, mereka selalu ingin mengetahui bagaimana pandangan orang terhadap mereka, dan apakah mereka memiliki status di hati orang-orang dan dikagumi serta dipuja oleh mereka. Antikristus sangat senang ketika mereka bertemu dengan para penjilat, orang-orang yang menyanjung dan menjilat mereka; mereka akan mulai menceramahi orang itu dari posisi yang tinggi dan memuaskan diri mereka dengan pembicaraan omong kosong, menanamkan aturan, metode, doktrin, dan gagasan ke dalam diri orang tersebut agar dia menerima hal-hal ini sebagai kebenaran. Mereka bahkan akan mengagungkan hal ini dengan berkata, 'Jika engkau dapat menerima hal-hal ini, engkau akan menjadi orang yang mencintai dan mengejar kebenaran.' Orang yang tidak memiliki kearifan akan berpikir bahwa apa yang antikristus katakan itu bisa dibenarkan, meskipun mendapati perkataan mereka ambigu, dan tidak tahu apakah itu sesuai dengan kebenaran atau tidak. Mereka hanya akan merasa bahwa apa yang dikatakan antikristus tidak salah dan tidak dapat dikatakan melanggar kebenaran. Dan dengan cara seperti ini, mereka tunduk kepada antikristus. Jika orang mengenali antikristus dan mampu menyingkapkan mereka, itu akan membuat mereka marah. Antikristus tanpa basa-basi akan melontarkan tuduhan, kutukan, dan ancaman kepada orang itu, lalu memamerkan kekuatan mereka. Orang yang tidak memiliki kearifan akan ditundukkan sepenuhnya dan menunjukkan kekaguman mereka; mereka akan menjadi pemuja antikristus dan bergantung pada antikristus, dan bahkan takut kepada mereka. Orang-orang ini akan memiliki perasaan diperbudak, seolah-olah tanpa kepemimpinan antikristus, tanpa antikristus yang menangani dan memangkas mereka, hati mereka akan terombang-ambing, seolah-olah Tuhan tidak menginginkan mereka jika mereka kehilangan hal-hal ini. Dan mereka tidak memiliki rasa aman. Ketika ini terjadi, orang belajar untuk selalu memperhatikan ekspresi wajah antikristus sebelum mereka bertindak, karena takut antikristus akan marah. Mereka semua ingin menyenangkan antikristus; mereka semua sudah bertekad untuk mengikuti antikristus. Dalam semua pekerjaan yang mereka lakukan, antikristus mengkhotbahkan doktrin. Mereka pandai mengajar orang untuk mematuhi aturan, tetapi mereka tidak pernah memberi tahu orang prinsip kebenaran apa yang harus orang patuhi, atau mengapa orang harus melakukan sesuatu, atau apa kehendak Tuhan, atau bagaimana rumah Tuhan mengatur pekerjaannya; mereka tidak pernah mengatakan pekerjaan apa yang paling esensial dan penting, atau pekerjaan utama apa yang harus dilakukan dengan baik. Antikristus tidak mengatakan apa pun tentang hal-hal penting ini. Dalam melakukan dan mengatur pekerjaan, mereka tidak pernah mempersekutukan kebenaran karena mereka tidak memahami prinsip-prinsip kebenaran. Jadi, yang mampu mereka lakukan hanyalah mengajar orang untuk mematuhi aturan dan doktrin tertentu—dan jika orang melanggar perkataan dan aturan mereka, orang itu akan mendapat kecaman dan teguran. Antikristus sering menggunakan rumah Tuhan sebagai alasan saat mereka melakukan pekerjaan mereka, menceramahi orang lain dari posisi yang tinggi. Bahkan ada beberapa orang yang begitu bingung oleh ceramah mereka sehingga merasa berutang kepada Tuhan jika tidak melakukan apa yang dituntut oleh antikristus. Orang semacam ini telah berada di bawah kendali antikristus. Perilaku macam apa yang dilakukan Antikristus? Ini adalah perilaku perbudakan" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Delapan: Mereka Akan Membuat Orang Lain Hanya Taat kepada Mereka, Bukan kepada Kebenaran atau Tuhan (Bagian Satu)"). Persis keadaanku yang Tuhan gambarkan. Selama kerja bersama Saudara Cheng, kulihat dia santai. Kalau ada kesalahan pekerjaan, dia terima kritikanku, tak berusaha menyangkal. Kupikir dia lembut dan mudah ditekan, jadi aku sok kuasa terhadapnya dan semua aku yang putuskan. Sering, saat berdiskusi dengannya aku asal-asalan saja. Pada akhirnya, aku yang putuskan. Juga, tindakan pencegahan yang kubuat untuk mengatur barang tampak tak bermasalah dan sangat membantu, tapi tidak kurumuskan berdasarkan prinsip yang relevan. Kubuat rumus untuk menanggapi masalah Saudara Cheng. Bisa dibilang dibuat khusus untuknya. Setiap dia gagal menjalani tindakan pencegahan ini, aku punya alasan menuduh dan menegurnya, dan dia tak bisa protes. Seperti terakhir kali, dia tidak mencatatan sesuai perintahku, kumarahi dia tanpa ragu dan kupaksa dia mengikuti mauku. Aku ingat katanya hari itu, "Begitu kulihat kau bersih-bersih, aku coba sembunyi. Aku takut dikritik lagi kalau tak benar mengerjakannya." Pemikiran itu membuatku sedih. Watak jahat yang kusingkap membayangi hati saudaraku dan membatasinya. Persis yang diungkap firman Tuhan, "Jika orang melanggar perkataan dan aturan mereka, orang itu akan mendapat kecaman dan teguran. Antikristus sering menggunakan rumah Tuhan sebagai alasan saat mereka melakukan pekerjaan mereka, menceramahi orang lain dari posisi yang tinggi. Bahkan ada beberapa orang yang begitu bingung oleh ceramah mereka sehingga merasa berutang kepada Tuhan jika tidak melakukan apa yang dituntut oleh antikristus. Orang semacam ini telah berada di bawah kendali antikristus." Akhirnya kusadari masalahku serius. Sejak rekanku Saudara Cheng, watak antikristusku terungkap. Saat ini aku tak punya jabatan, kalau punya, akan lebih mudah membatasi dan mengendalikan orang. Saat itu, bukankah aku seorang antikristus? Biasanya aku tak fokus mencari kebenaran atau merenung. Aku sering menunjukkan watak rusak tanpa sadar. Aku benar-benar mati rasa.

Aku memikirkan firman Tuhan, "Jika engkau adalah anggota keluarga Tuhan, tetapi engkau selalu terburu nafsu dalam tindakanmu, selalu menyingkapkan apa yang secara alami ada dalam dirimu, dan selalu menyingkapkan watak rusakmu, melakukan segala sesuatu dengan cara-cara manusia dan menurut watak Iblis yang rusak dalam dirimu, maka sebagai akibatnya engkau akan melakukan kejahatan dan menentang Tuhan—dan jika engkau tetap tidak bertobat sepanjang mengalaminya, dan tak mampu menjejakkan kakimu di jalan mengejar kebenaran, maka engkau harus disingkapkan dan disingkirkan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Watak yang Rusak Hanya Dapat Diselesaikan dengan Menerima Kebenaran"). Teringat perlakuanku terhadap Saudara Cheng. Untuk menyalurkan ketidakpuasan dan demi kesenangan sementara, sama sekali tak kuhiraukan perasaan saudaraku. Saat marah karena catatan tak terbaca, kuceramahi Saudara Cheng seperti anak yang berbuat salah. Dia hanya duduk tak bicara satu kata pun, saat dia mengaku salah, kutolak tawarannya dengan dingin. Gambar itu membeku di benakku, tak mungkin dilupakan. Bila dipikirkan, tak terungkap rasa bersalah dan sakit di hatiku. Kutanya diriku sendiri, "Tega kau perlakukan saudaramu seperti itu? Kau tak pernah bersekutu atau menolongnya, apa pantas memarahinya? Berani kau sebut dia saudaramu?" Setiap pertanyaan membungkamku. Dulu, aku selalu berpikir Saudara Cheng yang salah, dia banyak salah dan merepotkan aku. Kini aku sadar akulah yang bermasalah. Akulah yang tak berubah, dan akulah yang terlalu sombong dan tak manusiawi. Aku sungguh menyesal, diam-diam aku berdoa kepada Tuhan, aku mau bertobat.

Kucari tahu cara memperlakukan saudara-saudariku sesuai prinsip. Dalam firman Tuhan kubaca, "Harus ada prinsip tentang bagaimana cara saudara-saudari berinteraksi. Jangan selalu berfokus pada kesalahan orang lain, tetapi sering-seringlah merenungkan dirimu sendiri, setelah itu bersikaplah proaktif dalam mengakui kepada orang lain apa yang telah kaulakukan yang menganggu atau merugikan mereka, dan belajarlah untuk membuka dirimu dan bersekutu. Ini akan memungkinkan adanya saling pengertian. Terlebih lagi, apa pun yang menimpa mereka, orang haruslah memandang segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan. Jika mereka mampu memahami prinsip-prinsip kebenaran dan menemukan jalan penerapannya, mereka akan menjadi sehati sepikir, dan hubungan di antara saudara-saudari akan menjadi normal, dan mereka tidak akan menjadi tak berperasaan, dingin, dan kejam seperti orang-orang tidak percaya, dan dengan demikian akan melepaskan mentalitas kecurigaan dan kewaspadaan mereka terhadap satu sama lain. Saudara-saudari akan menjadi lebih akrab satu sama lain; mereka akan dapat saling mendukung, dan saling mengasihi; akan ada niat baik di dalam hati mereka, dan mereka akan mampu bertoleransi dan berbelas kasihan terhadap satu sama lain, dan mereka akan saling mendukung dan membantu, bukannya saling mengasingkan, bersikap iri terhadap satu sama lain, mengukur diri mereka terhadap satu sama lain, dan secara diam-diam bersaing dan saling menentang. Bagaimana orang bisa melaksanakan tugas mereka dengan baik jika mereka seperti orang tidak percaya? Ini bukan saja akan memengaruhi jalan masuk mereka ke dalam kehidupan, tetapi juga akan merugikan dan memengaruhi orang lain. ... Jika orang hidup berdasarkan watak mereka yang rusak, akan sangat sulit bagi mereka untuk menenangkan diri di hadapan Tuhan, akan sangat sulit bagi mereka untuk menerapkan kebenaran dan hidup berdasarkan firman Tuhan. Untuk dapat hidup di hadapan Tuhan, engkau harus terlebih dahulu belajar bagaimana merenungkan dirimu dan mengenal dirimu sendiri, serta sungguh-sungguh berdoa kepada Tuhan, dan kemudian engkau harus belajar bagaimana hidup rukun dengan saudara-saudari. Engkau harus bersikap toleran satu sama lain, sabar satu sama lain, dapat melihat apa yang luar biasa dalam diri satu sama lain, apa kelebihan orang lain—dan engkau harus belajar menerima pendapat orang lain dan hal-hal yang benar. Jangan memanjakan dirimu sendiri, jangan memiliki keinginan liar dan selalu menganggap dirimu lebih baik daripada orang lain, dan kemudian menganggap dirimu sosok yang hebat, memaksa orang lain melakukan apa yang kaukatakan, mematuhimu, menghormatimu, meninggikanmu—ini sesat. ... Jadi, bagaimana cara Tuhan memperlakukan orang? Tuhan tidak memedulikan rupa orang, apakah mereka tinggi atau pendek. Sebaliknya, Dia melihat apakah hati mereka baik, apakah mereka mencintai kebenaran, apakah mereka mengasihi dan menaati Tuhan. Berdasarkan hal inilah, Tuhan mendasari sikap-Nya terhadap manusia. Jika orang juga dapat melakukan hal ini, mereka akan dapat memperlakukan orang lain dengan adil, dan dengan demikian mereka akan bersikap sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Engkau harus terlebih dahulu memahami kehendak Tuhan. Jika kita tahu bagaimana sikap Tuhan terhadap orang-orang, kita juga akan memiliki prinsip dan jalan tentang bagaimana cara kita bersikap terhadap orang lain" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Prinsip-Prinsip Penerapan untuk Masuk ke Dalam Kenyataan Kebenaran"). Ya. Saat berinteraksi dalam tugas, kita setidaknya harus hidup dalam kemanusiaan normal, saling mendukung dan menolong, toleran dan sabar, saling menjaga, mempersekutukan kebenaran saat orang menentang prinsip, dan bila serius kita bisa ungkap, pangkas, and tangani mereka. Hanya itu cara kerja yang sejalan dengan prinsip. Saudara-saudari datang dari beragam tempat, dan kehidupan, pengalaman, usia dan kualitas tiap orang berbeda. Apa pun kekurangan atau kelemahan mereka, harus diperlakukan dengan pantas, jangan menuntut terlalu banyak, tenggang rasa dan toleran kepada mereka. Saudara Cheng ahli soal pemeliharaan dan biasanya sibuk, Dan lagi, dia tak pandai mengatur catatan keluar-masuk barang. Seharusnya aku lebih bertanggung jawab dan pengertian, dan tak boleh memaksanya kerja dengan caraku. Itu sama sekali tidak manusiawi. Saudaraku ahli perawatan, teliti dalam memperbaiki, tak takut menderita dalam tugas. Dalam hal itu dia unggul jauh dariku. Tapi aku tak lihat kelebihan saudaraku. Aku fokus pada kekurangannya, menuduh, dan memarahinya. Aku sombong dan bodoh sekali.

Kemudian, dengan sadar kuubah keadaanku dan belajar mengikuti prinsip. Saat ada kejadian lagi, aku jauh lebih tenang, dan lebih pengertian terhadap Saudara Cheng. Satu kali, aku pergi mengerjakan tugas, tinggal Saudara Cheng mengatur sendirian. Tak lama, aku telepon dia menanyakan prosesnya. Dengan tenang dan hati-hati dia berkata, "Bagaimana menurutmu? Persis seperti yang kau pikirkan." Aku sedih sekali mendengarnya. Kenapa saudaraku bicara seperti itu? Itukah akibat caraku dulu perlakukan dia yang bersumber dari watak rusakku, dan selalu membuatnya merasa tak berarti dan tak becus kerja? Makin kupikirkan, makin menyakitkan, tapi memperkuat tekadku untuk menerapkan kebenaran dan berubah. Kuhibur dia dengan berkata, "Lihat saja apa yang berantakan dan rapikan dengan santai. Kau biasa disibukkan banyak hal, jadi wajar sedikit berantakan. Kalau kau tak sempat, kita bisa bersihkan bersama saat aku kembali." Usai telepon, kupikir Saudara Cheng tak bisa mengatur sendiri, kuminta satu saudari membantu. Dulu, saat terjadi hal serupa, aku selalu marahi dan tegur dia atas kesalahannya. Sekarang, saat ini terjadi, aku bisa bersekutu dan menolongnya, membuatku merasa damai dan tenang. Aku bersyukur kepada Tuhan. Sekarang aku lebih memahami watak sombongku dan bisa agak menahan diri. Semua ini hasil membaca firman Tuhan. Meski ini perubahan kecil, dan tak sebesar perubahan mendasar watak rusakku, aku senang, sebab kupikir ini awal yang baik. Kuyakin jika berlatih dan masuk ke dalam firman Tuhan, watak rusakku bisa kubuang. Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa!

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Belajar dari Kritik

Oleh Saudari Song Yu, Belanda Pada Mei tahun ini, seorang saudari melapor kepadaku bahwa Saudari Lu berkata kepadanya setidaknya tiga...

Tinggalkan Balasan