Melepaskan diri dari Penjara Keluargaku

24 November 2022

Oleh Saudari Lin Xi, Tiongkok

Aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman pada tahun 2005. Selama waktu itu, melalui pertemuan dan membaca firman Tuhan, aku memahami banyak kebenaran dan misteri yang belum pernah kudengar sebelumnya: aku jadi tahu bagaimana Tuhan mengatur dan menyelamatkan manusia, dan memahami tentang tujuan, nilai, dan makna hidup manusia, serta kesudahan dan tempat tujuan manusia. Dengan membaca firman Tuhan Yang Mahakuasa, aku mampu menyelesaikan banyak masalah dan kesulitan dalam hidupku. Percaya kepada Tuhan rasanya luar biasa. Namun, ketika suamiku mengetahuinya, dia dengan tegas menentang imanku. Pamanku pernah ditangkap oleh polisi PKT karena kepercayaannya kepada Tuhan. Suamiku tahu PKT melarang semua orang untuk percaya kepada Tuhan, dan dia khawatir aku pun akan ditangkap dan itu akan melibatkan seluruh keluarga, jadi dia sangat menentang imanku. Selain itu, pada waktu itu aku guru pengganti dan dia khawatir sekolah akan mengetahuinya dan memecatku, jadi dia sangat menekan dan menghalangiku.

Dia tak mengizinkanku membaca firman Tuhan atau mendengarkan lagu pujian, apalagi mengizinkanku menghadiri pertemuan atau melaksanakan tugasku. Aku ingat suatu kali, dia memergokiku sedang membaca firman Tuhan dan menjadi sangat marah. Dia berkata: "Pemerintah kita melarang kau untuk percaya, tapi kau tetap percaya! Jika anggota komisi pendidikan mengetahuinya, kau bukan saja akan kehilangan pekerjaanmu, kau juga akan dimasukkan ke penjara. Aku tak punya uang untuk membayar jaminan, jadi sebaiknya kau berhenti percaya sebelum terlambat!" Setelah itu, ketika aku terus percaya, dia mengancamku, "Selama aku masih bernapas, jangan pernah bermimpi untuk menerapkan imanmu!" Mendengar ini, tekadku melemah. Kupikir: "Apa pun yang terjadi, suamiku takkan mengizinkanku menerapkan iman, tapi aku tetap bersikeras untuk percaya. Jadi apa yang akan dia lakukan terhadapku?" Saat itu, aku teringat satu bagian firman Tuhan: "Engkau harus memiliki keberanian-Ku di dalam dirimu, dan engkau harus memiliki prinsip-prinsip dalam hal menghadapi kerabat yang tidak percaya. Namun demi Aku, engkau juga tidak boleh tunduk pada kekuatan gelap apa pun. Andalkan hikmat-Ku untuk berjalan jalan yang sempurna; jangan sampai rencana Iblis menang. Kerahkan segala upayamu untuk menaruh hatimu di hadapan-Ku, dan Aku akan menghiburmu dan memberimu kedamaian dan kebahagiaan di hatimu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 10"). Firman Tuhan sangat menginspirasiku. Aku memikirkan bagaimana suamiku telah ditipu oleh PKT untuk mengancamku, memaksaku melepaskan imanku. Di luarnya, kelihatannya suamiku menekan dan menghalangiku agar tidak mengikut Tuhan, tapi sebenarnya, Iblis bekerja melalui dia untuk memaksaku mengkhianati Tuhan dan kehilangan keselamatan Tuhan. Aku tak boleh tertipu oleh rencana Iblis atau berkompromi dengan Iblis. Aku percaya asalkan mengandalkan Tuhan dan bertindak sesuai firman-Nya, Dia akan menuntunku untuk mengatasi paksaan suamiku. Setelah itu, aku menyembunyikan buku-buku firman Tuhan milikku dan baru akan membaca, menghadiri pertemuan atau memberitakan Injil ketika dia pergi. Pada Juli 2008 suamiku mengetahui aku masih menerapkan iman dan melaksanakan tugasku, dan tiba-tiba menjadi sangat marah. Dia mengubrak-abrik isi rumah untuk mencari buku firman Tuhan dan pemutar MP5 yang kugunakan untuk mendengarkan lagu pujian. Dia menginjak-injak pemutar itu, menghancurkannya berkeping-keping. Untuk menghalangiku agar tidak menerapkan iman, dia mengambil cuti dari pekerjaannya yang bergaji tinggi agar bisa mengawasi aktivitasku seharian di rumah. Aku tak bisa menghadiri pertemuan dan merasa sangat tersiksa, jadi, ketika ada kesempatan, aku menyelinap keluar untuk bertemu saudara-saudariku. Namun di luar dugaan, dia menelepon polisi untuk melaporkan kami. Untungnya polisi tak menemukan buku firman Tuhan atau bukti lainnya jadi mereka tak menangkap kami. Kemudian, ketika mengetahui bahwa rumah saudariku di sebelah rumahnya adalah tempat pertemuan, dia memotret saudara-saudari yang berkumpul dan mengancam akan melaporkan mereka. Akibatnya, saudara-saudari tak berani terus berkumpul di sana. Setiap kali dia memergokiku menghubungi saudara-saudariku, dia pasti memukuli atau mencaci makiku. Tak terhitung berapa kali dia telah memukuliku, dan membuat salah satu telingaku berdenging selama berbulan-bulan.

Selama waktu itu, aku sering menyenandungkan satu lagu pujian ini: "Aku akan memberikan kasih dan kesetiaanku kepada Tuhan dan menyelesaikan misiku untuk memuliakan Tuhan. Aku bertekad untuk berdiri teguh dalam kesaksian bagi Tuhan, dan tidak pernah menyerah kepada Iblis. Kepalaku mungkin hancur dan darahku tercurah, tetapi keberanian umat Tuhan tidak akan pernah hilang. Nasihat Tuhan ada dalam hati, aku bertekad mempermalukan Iblis. Kesulitan dan penderitaan digariskan oleh Tuhan. Aku akan setia dan taat kepada-Nya sampai mati. Aku tidak akan pernah lagi membuat Tuhan menitikkan air mata atau khawatir" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru, "Aku Berharap Melihat Hari Kemuliaan Tuhan"). Aku merenungkan bahwa hanya dengan kasih Tuhan yang besar, aku, sebagai makhluk ciptaan, cukup beruntung untuk mengikut Tuhan dan diselamatkan oleh-Nya. Aku lebih baik mati daripada menyerah pada Iblis dan takkan pernah mengkhianati Tuhan. Makin suamiku menekanku, makin aku ingin mengikuti Tuhan, berdiri teguh dan mempermalukan Iblis. Kemudian, gereja khawatir suamiku akan terus memukuliku jika aku menghadiri pertemuan atau melaksanakan tugasku, dan dia akan melaporkan saudara-saudari lainnya, jadi mereka menyuruhku berhenti menghadiri pertemuan dan hanya membaca firman Tuhan di rumah.

Selama tiga tahun selanjutnya, aku hanya bisa membaca firman Tuhan secara diam-diam saat suamiku keluar, sesekali bertemu dengan saudariku di sebelah rumah untuk bersekutu dan memberitakan Injil kepada teman dan keluarga. Aku dibatasi seperti burung yang dikurung. Aku mengingat kembali saat-saat bersama dengan saudara-saudari lainnya, mempersekutukan kebenaran, menyanyikan lagu pujian bagi Tuhan, betapa bahagia dan indahnya saat-saat itu! Aku juga merenungkan bahwa pekerjaan Tuhan menyelamatkan manusia pada akhir zaman adalah kejadian sekali seumur hidup, dan kesempatan itu akan lenyap dalam sekejap, jadi aku tak boleh melewatkannya. Aku rindu menjalani kehidupan bergereja yang normal, memberitakan Injil dan bersaksi tentang Tuhan kepada orang lain, tapi semua ini hanya menjadi harapan kosong. Aku merasa sangat tertekan dan sedih dan sering bersembunyi sendirian dan menangis. Aku ingin berteriak: "Percaya kepada Tuhan adalah menempuh jalan yang benar. Aku telah membuat pilihan yang tepat. Mengapa ini sulit dijalani?" Kemudian, aku teringat satu bagian firman Tuhan. "Selama ribuan tahun, negeri ini telah menjadi negeri yang najis. Negeri ini tak tertahankan kotornya, penuh kesengsaraan, hantu merajalela di mana-mana, menipu dan menyesatkan, membuat tuduhan tak berdasar,[1] dengan buas dan kejam, menginjak-injak kota hantu ini, dan meninggalkannya penuh dengan mayat; bau busuk menyelimuti negeri ini dan memenuhi udara dengan pekatnya, dan tempat ini dijaga ketat.[2] Siapa yang bisa melihat dunia di balik langit? Iblis mengikat erat seluruh tubuh manusia, ia menutupi kedua matanya dan membungkam mulutnya rapat-rapat. Raja Iblis telah mengamuk selama beberapa ribu tahun sampai sekarang, di mana ia terus mengawasi kota hantu ini dengan saksama, seakan-akan ini adalah istana setan yang tak bisa ditembus; sementara itu, gerombolan anjing penjaga ini menatap dengan mata liar penuh ketakutan kalau-kalau Tuhan akan menangkap mereka saat tidak waspada dan memusnahkan mereka semua, sehingga mereka tidak lagi memiliki tempat untuk merasakan kedamaian dan kebahagiaan. Bagaimana mungkin penduduk kota hantu seperti ini pernah melihat Tuhan? Pernahkah mereka menikmati keindahan dan kasih Tuhan? Pemahaman apa yang mereka miliki tentang masalah dunia manusia? Siapakah di antara mereka yang mampu memahami kehendak Tuhan yang penuh hasrat? Maka, tidaklah mengherankan bahwa inkarnasi Tuhan tetap sepenuhnya tersembunyi bagi mereka: di tengah masyarakat yang gelap seperti ini, di mana Iblis begitu kejam dan tidak manusiawi, bagaimana mungkin raja Iblis, yang menghabisi orang-orang tanpa mengedipkan matanya, menoleransi keberadaan Tuhan yang penuh kasih, baik, dan juga kudus? Bagaimana mungkin ia akan menghargai dan menyambut kedatangan Tuhan dengan gembira? Para antek ini! Mereka membalas kebaikan dengan kebencian, sejak dahulu mereka mulai memperlakukan Tuhan sebagai musuh, mereka menyiksa Tuhan, mereka luar biasa buasnya, mereka sama sekali tidak menghargai Tuhan, mereka merampas dan merampok, mereka sudah sama sekali kehilangan hati nurani, mereka sepenuhnya mengabaikan hati nuraninya, dan mereka menggoda orang tidak bersalah agar tidak sadar. Nenek moyang? Pemimpin yang dikasihi? Mereka semuanya menentang Tuhan! Tindakan ikut campur mereka membuat segala sesuatu di kolong langit ini menjadi gelap dan kacau! Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipu muslihat untuk menutupi dosa!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). Melalui penyingkapan firman Tuhan, aku mengetahui yang sebenarnya mengenai penentangan Iblis PKT terhadap Tuhan. Aku berpikir, sejak PKT mengambil alih kekuasaan, mereka dengan sengaja menyebarluaskan ateisme, berkata "Segala sesuatu berevolusi secara alami", "Manusia berevolusi dari kera", "Yang namanya Juruselamat itu tidak pernah ada", dan sebagainya. Mereka menggunakan teori absurd ini untuk menipu orang, bertujuan membuat orang menolak dan mengkhianati Tuhan, menentang Tuhan bersama mereka, dan akhirnya dimusnahkan oleh Tuhan dan menjadi korban mereka. Pada akhir zaman, sekarang Tuhan telah berinkarnasi dalam daging untuk menyelamatkan manusia, PKT telah dengan gila-gilaan memburu Kristus dan dengan sengaja menangkap dan menganiaya orang Kristen dengan tujuan menekan pekerjaan Tuhan pada akhir zaman dan membangun kekuasaan ateis di Tiongkok. PKT adalah sekelompok iblis yang menjadikan Tuhan sebagai musuh mereka. Mereka perwujudan Iblis yang membunuh dan menentang Tuhan. Alasan suamiku menekan dan menghalangiku agar tidak menerapkan imanku, karena otaknya telah dicuci oleh falsafah ateis PKT. Dia tidak percaya kepada Tuhan dan takut akan dilibatkan jika aku ditangkap oleh PKT, jadi dia sangat menentang kepercayaanku kepada Tuhan. Semua penderitaan yang kualami adalah perbuatan raja setan PKT. Aku membenci komplotan Iblis itu dengan segenap hatiku. Sejak aku mulai percaya kepada Tuhan, suamiku telah mengikuti PKT untuk menindasku, tak mengizinkanku membaca firman Tuhan, menghadiri pertemuan atau melaksanakan tugasku, memukuliku berkali-kali dan bahkan melaporkanku dan saudara-saudariku ke polisi. Menyadari natur dan substansi suamiku membenci kebenaran dan Tuhan, dan aku pasti selalu ditindas olehnya jika mencoba menerapkan iman di rumah, aku telah berpikir berkali-kali untuk menceraikannya dan meninggalkan rumah untuk benar-benar menerapkan imanku dan melaksanakan tugasku. Namun, setiap kali aku berpikir untuk meninggalkan rumah, aku selalu mengkhawatirkan putraku. Dia masih remaja—akan sangat berat baginya kehilangan ibunya! Di rumah, aku dapat membacakan dia kisah Alkitab, mempersekutukan firman Tuhan kepadanya, dan membawanya ke hadapan Tuhan. Jika aku pergi, siapa yang akan membimbing dia dalam imannya? Setiap kali memikirkan hal ini, aku merasa sangat lemah, tak punya keberanian menceraikan suamiku, dan hanya bisa menanggung penderitaan dalam penawanan. Saat didera oleh penderitaan, aku selalu datang ke hadapan Tuhan dalam doa dan diam-diam membaca firman Tuhan. Hanya setelah itulah aku akan merasa sedikit terhibur.

Pada Oktober 2011, aku secara diam-diam menghadiri beberapa pertemuan. Suamiku mengancam saudara-saudari, berkata jika mereka menerimaku, lain kali dia akan bertindak kasar terhadap mereka. Dia juga mengancamku, "Selama kau tinggal di sini, aku takkan mengizinkanmu percaya kepada Tuhan! Jika kau ingin percaya, maka kau harus meninggalkan rumah ini!" Mendengarnya mengatakan ini sangat mengecewakan. Tak kusangka, dia akan mengusirku hanya karena percaya kepada Tuhan, tanpa memikirkan sedikit pun kebersamaan kami selama bertahun-tahun. Pada waktu itu, aku teringat satu bagian firman Tuhan: "Mengapa suami mengasihi istrinya? Dan mengapa istri mengasihi suaminya? Mengapa anak-anak berbakti kepada orang tuanya? Mengapa orang tua menyayangi anak-anak mereka? Niat macam apa yang sebenarnya dimiliki orang? Bukankah niat mereka adalah untuk memuaskan rencana dan keinginan egois mereka sendiri?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan dan Manusia akan Masuk ke Tempat Perhentian Bersama-sama"). Firman Tuhan menyingkapkan yang sebenarnya. Tak ada kasih sejati di antara manusia. Kasih antara suami dan istri didasarkan pada asumsi saling menguntungkan. Sebelum aku percaya kepada Tuhan, suamiku tak pernah memperlakukanku seperti itu. Namun, begitu menjadi khawatir akan dilibatkan jika aku ditangkap karena percaya kepada Tuhan, dia tak ingat sedikit pun tahun-tahun kebersamaan kami dalam pernikahan, memukuliku dan bahkan mengancam akan mengusirku dari rumah. Bukankah dia begitu kejam hanya untuk melindungi kepentingannya sendiri? Menyadari hal itu, kupikir dalam hati: "Karena dia berusaha mengusirku, lebih baik aku pergi agar bebas percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku." Kemudian, ketika putraku sedang les dengan bibinya, aku pergi ke gereja sejauh sekitar 50 kilometer, dan akhirnya dapat terlibat dalam kehidupan bergereja dan melaksanakan tugasku. Namun pada waktu itu, aku masih khawatir dengan putraku. Setiap kali ada waktu senggang atau selama liburan ketika melihat anak-anak pulang ke rumah kepada ibu dan ayah mereka sepulang sekolah, aku selalu teringat betapa sedihnya putraku karena tak memilikiku di rumah, dan ingin pulang ke rumah untuk menemuinya. Namun, aku khawatir suamiku akan memukul, menindas dan mencaci makiku, jadi aku tak berani pulang. Yang bisa kulakukan hanyalah meneteskan air mata secara diam-diam.

Kemudian, suatu hari pada September 2012, aku bertemu dengan saudara iparku di jalan dan dia memaksaku pulang ke rumah. Setelah aku pulang ke rumah, suamiku mengadakan pertemuan besar seluruh keluarga. Dia memanggil kakak dan adik laki-lakinya, ayah tiriku dan saudara iparku untuk berusaha menghalangiku. Kakak iparku mengancamku dengan berkata: "Jika kau bukan saudari iparku, aku akan menelepon dan mengirimmu ke Biro Keamanan Publik." Ayah tiriku menghasut, mendorong suamiku untuk menekan tindakanku. Melihat bagaimana keadaannya, aku menjadi khawatir bahwa dengan begitu banyak orang yang menentang kepercayaanku kepada Tuhan, kelak suamiku akan lebih menindasku, jadi dengan bijak aku berkata hanya pulang ke rumah untuk menjalani hidupku. Baru setelah itulah kerabatku tenang. Di hari ketiga setelah kembali ke rumah, aku melihat pemimpin gerejaku sedang mengunjungi saudariku di sebelah jadi aku dengan bersemangat pergi ke sana untuk bertanya kepadanya tentang pertemuan gereja. Di luar dugaan, suamiku mengikutiku dan dengan agresif berteriak agar aku kembali ke rumah. Aku tak ingin membuat saudari-saudariku mendapat masalah, jadi segera pulang ke rumah. Ketika pemimpin gereja keluar dari rumah saudariku, suamiku mengancamnya dengan sekop, berkata: "Jika kau datang ke sini lagi, jangan salahkan aku jika bertindak kasar!" Kemudian, dia mengambil pisau dapur dan menerobos masuk ke rumah saudariku, berniat menikamnya, dan aku dan suami saudariku harus buru-buru menahannya. Setelah itu, aku berhenti bertemu dengan saudara-saudariku karena takut menempatkan mereka dalam bahaya.

Selama waktu itu, aku mengalami banyak penderitaan mental, dan sering menyendiri dan menangis. Suatu kali, aku menyelinap keluar rumah untuk mengobrol dengan seorang saudari setelah suamiku pergi, tapi saat berjalan pulang, suamiku melihatku di jalan saat mengemudi pulang. Dia menggeram padaku, berkata: "Apa kau tahu aku bisa menabrakmu dengan mobil ini?" Mendengar ini, hatiku menjadi dingin. Dia mau menabrakku dengan mobilnya hanya karena aku percaya kepada Tuhan. Ini memungkinkanku untuk melihat lebih jelas bahwa suamiku adalah setan yang membenci Tuhan dan dia takkan pernah melepaskan penindasannya terhadapku. Aku pasti tak bisa menerapkan imanku di rumah itu, jadi satu-satunya pilihanku adalah pergi. Namun, ketika berpikir untuk pergi, aku merasa sangat sedih. Aku baru saja bertemu kembali dengan putraku dan jika aku pergi lagi, itu akan sangat berat baginya! Jika aku pergi, siapa yang akan membimbingnya untuk percaya kepada Tuhan dan menempuh jalan yang benar? Makin kupikirkan, makin aku tak tega meninggalkan putraku. Yang bisa kulakukan adalah terus datang ke hadapan Tuhan dalam doa: "Ya Tuhan! Suamiku terus menindas dan menghalangiku. Aku ingin pergi dari sini agar bisa menerapkan imanku, tapi aku tak mampu melepaskan putraku. Oh Tuhan! Aku tak dapat memutuskan apa yang harus kulakukan dan berdoa agar Engkau mencerahkan dan membimbingku." Setelah itu, aku menemukan sebuah lagu pujian firman Tuhan: "Apakah orang tidak mampu mengesampingkan daging mereka untuk waktu yang singkat ini? Hal apa yang bisa membelah kasih antara manusia dan Tuhan? Siapakah mampu mengoyak kasih antara manusia dan Tuhan? Apakah itu orang tua, suami, saudari, istri, atau pemurnian menyakitkan? Bisakah perasaan hati nurani menghapus citra Tuhan dalam diri manusia? Apakah berutang dan tindakan orang terhadap satu sama lain merupakan ulah mereka sendiri? Bisakah semua itu diperbaiki oleh manusia? Siapakah mampu melindungi diri mereka sendiri? Apakah orang mampu menyediakan bagi diri mereka sendiri? Siapakah yang kuat dalam kehidupan? Siapakah mampu meninggalkan-Ku dan hidup mandiri? Berulang kali, mengapa Tuhan meminta agar semua orang melakukan pekerjaan perenungan diri? Mengapa Tuhan berkata, 'Kesulitan siapa dirancang oleh tangan mereka sendiri?'" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru, "Tidak Dapatkah Manusia Menyingkirkan Daging Mereka untuk Waktu yang Singkat Ini?"). Firman Tuhan sangat menyentuhku dan aku merasa sangat bersalah. Aku merenungkan bagaimana Tuhan telah berinkarnasi dalam daging untuk menyelamatkan manusia, mengungkapkan kebenaran dan melakukan pekerjaan-Nya di antara manusia dengan penuh kesabaran, menanggung penghinaan besar, dan memberikan seluruh kasih-Nya kepada manusia, objek keselamatan-Nya. Merenungkan semua penderitaan yang telah Tuhan alami untuk menyelamatkan manusia, aku menyadari betapa nyatanya kasih Tuhan. Tuhan berharap kita akan berdiri dan memperhatikan kehendak-Nya, mengesampingkan segala sesuatu untuk memberitakan Injil dan bersaksi tentang Dia. Ini kasih Tuhan bagi kita. Namun aku egois, hanya memikirkan siapa yang merawat putraku jika aku pergi, tapi tidak memperhatikan kehendak Tuhan. Aku membenci diriku sendiri karena lemah, tak berguna, tak punya hati nurani, dan tak mampu mengesampingkan segala sesuatu untuk mengikuti Tuhan. Karena aku tak mampu melepaskan putraku, aku harus puas terperangkap di rumah, dipukuli oleh suamiku, dikurung dan dikendalikan tanpa kesempatan membaca firman Tuhan, apalagi kesempatan melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan. Aku tak punya tekad sedikit pun untuk mengejar kebenaran dan mengasihi Tuhan. Abraham rela menyerahkan anaknya yang tunggal sebagai persembahan kepada Tuhan, jadi mengapa aku tak mampu berpisah sementara dengan putraku untuk melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan, mengejar kebenaran, dan menerima keselamatan Tuhan? Aku tak boleh lagi menyampingkan tugasku karena tak mampu melepaskan putraku. Aku tahu pekerjaan keselamatan Tuhan akan segera berakhir dan bencana besar akan segera terjadi. Di rumah, aku tak bisa membaca firman Tuhan, menghadiri pertemuan atau melaksanakan tugasku; jika ini terus berlanjut, aku takkan memperoleh kebenaran dan tak dapat mempersiapkan perbuatan baik. Aku kemungkinan besar binasa dalam salah satu bencana yang akan datang. Lalu bagaimana aku bisa membimbing putraku ke jalan yang benar? Bukankah nasib putraku juga berada di tangan Tuhan? Sebanyak apa dia harus menderita dan apakah dia dapat menempuh jalan yang benar atau tidak bukan berada dalam kendaliku. Menyadari hal ini, kecemasanku sedikit mereda.

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan, memahami lebih banyak kebenaran dan akhirnya melepaskan kekhawatiranku atas putraku. Aku membaca bagian ini. "Selain melahirkan dan membesarkan anak, tanggung jawab orang tua dalam hidup anak-anak mereka hanyalah menyediakan bagi mereka lingkungan formal untuk bertumbuh, karena tidak ada hal lain selain penentuan Sang Pencipta yang memiliki pengaruh atas nasib seseorang. Tidak seorang pun dapat mengendalikan masa depan seperti apa yang akan orang miliki; itu telah ditentukan jauh sebelumnya, dan bahkan orang tua tidak bisa mengubah nasib seseorang. Dalam perkara nasib, setiap orang berdiri sendiri, setiap orang memiliki nasib mereka sendiri. Jadi, tidak ada orang tua yang bisa mencegah nasib seseorang dalam hidupnya atau memberi pengaruh sekecil apa pun terhadap peran yang akan orang mainkan dalam hidupnya. Dapat dikatakan bahwa keluarga tempat orang ditetapkan untuk dilahirkan dan lingkungan tempat ia bertumbuh, semuanya tak lebih dari prasyarat bagi pemenuhan misi orang itu dalam hidupnya. Semua itu sama sekali tidak menentukan nasib seseorang dalam hidupnya ataupun nasib macam apa yang orang alami saat memenuhi misi mereka. Dengan demikian, tidak ada orang tua yang dapat membantu seseorang dalam menyelesaikan misi dalam hidupnya, demikian pula, tidak ada kerabat yang dapat membantu orang untuk mengambil peran dalam hidupnya. Bagaimana orang menyelesaikan misinya dan dalam lingkungan hidup seperti apa ia menjalankan perannya, itu ditentukan oleh nasib hidupnya. Dengan kata lain, tidak ada kondisi objektif lain yang dapat memengaruhi misi seseorang yang telah ditetapkan sejak semula oleh Sang Pencipta. Semua orang menjadi dewasa dalam lingkungan tertentu, di mana mereka bertumbuh; kemudian secara bertahap, langkah demi langkah, mereka menapaki jalan hidup mereka masing-masing dan memenuhi nasib yang telah direncanakan oleh Sang Pencipta bagi mereka. Secara alami, tanpa disadari, mereka memasuki lautan luas manusia dan mengambil posisi mereka sendiri dalam kehidupan, di mana mereka mulai memenuhi tanggung jawab mereka sebagai makhluk ciptaan demi ketetapan Sang Pencipta dari sejak semula, demi kedaulatan-Nya" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Melalui membaca firman Tuhan, aku menyadari nasib seorang anak tidak berkaitan dengan orang tuanya, tapi ditentukan melalui kedaulatan Tuhan. Nasib putraku berada di tangan Tuhan. Sebanyak apa dia harus menderita dan apakah dia dapat menempuh jalan yang benar atau tidak bukan berada dalam kendaliku—semua ini berada dalam pengaturan Tuhan. Aku teringat Yusuf: dia telah dijual sebagai budak di Mesir pada usia muda dan kehilangan pemeliharaan dan bimbingan orang tuanya, tapi Tuhan Yahweh menyertainya. Bagaimanapun istri kepala pengawal Firaun merayunya, dia tak pernah tertipu. Selain itu, Yusuf menderita banyak kesukaran di Mesir, tapi ini justru menguatkan tekadnya dan membuatnya belajar mengandalkan Tuhan. Merenungkan saudara-saudari yang tidak meninggalkan rumah mereka untuk melaksanakan tugas—mereka sering mendorong anak-anak mereka untuk menerapkan iman dan menempuh jalan yang benar, dan beberapa dari anak-anak ini menerapkan iman dan mengikuti Tuhan di jalan yang benar, tapi yang lain terjebak dalam tren kejahatan duniawi dan menjadi makin merosot. Aku memahami bahwa yang membuat seorang anak menempuh jalan yang benar bukanlah karena didampingi orang tua mereka, tapi apakah sudah menjadi natur mereka untuk mencintai kebenaran dan apakah Tuhan telah menentukan mereka dari semula. Jika putraku memiliki kemanusiaan dan menjadi objek keselamatan Tuhan, maka meskipun aku tak berada di sisinya, dia akan tetap bertumbuh sehat dan akhirnya akan percaya kepada Tuhan. Semua ini berada di tangan Tuhan—aku tak perlu mengkhawatirkannya. Selama bertahun-tahun sebagai orang percaya, aku telah menikmati begitu banyak penyiraman dan pembekalan firman Tuhan, tapi aku tak mampu melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan karena keterikatanku dengan putraku. Betapa egoisnya! Aku harus membalas kasih Tuhan dengan memberitakan Injil, bersaksi bagi-Nya dan membawa lebih banyak orang ke dalam rumah Tuhan. Pada Februari 2013, aku meninggalkan keluargaku dan naik kereta api ke sebuah gereja di kota yang jauh.

Saat kereta api itu melewati sekolah putraku, aku menatap gedung tempat putraku bersekolah dan berpikir dalam hati: "Siapa yang tahu kapan aku akan bertemu lagi dengannya." Aku tak mampu menahan air mataku. Ini membuatku makin membenci kekuasaan Iblis yang otoriter. Dia telah memisahkanku dari keluargaku dan menghalangiku untuk bisa dengan bebas menerapkan iman dan melaksanakan tugasku. Pada saat itu, aku makin merindukan kedatangan saat sukacita dan kebebasan ketika Kristus akan berkuasa, dan itu memicu motivasiku untuk mengejar kebenaran dan berjuang untuk mendapatkan terang. Aku menyanyikan sebuah lagu pujian firman Tuhan di benakku: "Engkau adalah makhluk ciptaan—engkau tentu saja harus menyembah Tuhan dan mengejar kehidupan yang bermakna. Karena engkau adalah manusia, engkau harus mengorbankan dirimu bagi Tuhan dan menanggung semua penderitaan! Engkau harus dengan senang hati dan tanpa ragu-ragu menerima sedikit penderitaan yang engkau alami sekarang dan menjalani kehidupan yang bermakna, seperti Ayub dan Petrus. Engkau semua adalah orang-orang yang mengejar jalan yang benar dan yang mencari peningkatan. Engkau semua adalah orang-orang yang bangkit di negara si naga merah yang sangat besar, mereka yang Tuhan sebut orang benar. Bukankah itu kehidupan yang paling bermakna?" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru, "Hidup yang Paling Berarti"). Merenungkan firman Tuhan, aku menyadari, Tuhan telah menentukanku dari semula untuk mengikuti-Nya dan melaksanakan tugasku di lingkungan yang buruk ini—ini jalan yang Tuhan tuntun untuk kujalani. Sebagai makhluk ciptaan, aku siap tunduk pada pengaturan Tuhan, mencari kebenaran, dengan patuh melaksanakan tugasku untuk memuaskan Tuhan dan mempermalukan Iblis si setan. Menyadari hal ini, aku merasa jauh lebih damai dan tenang. Aku bersyukur kepada Tuhan karena telah menuntunku untuk melepaskan diri dari penawanan suamiku, memungkinkanku untuk melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan dan menempuh jalan yang benar.

Setelah itu, aku terus melaksanakan tugasku di gereja jauh dari rumah. Setelah mengalami pekerjaan dan firman Tuhan selama bertahun-tahun. aku mulai memahami beberapa kebenaran, dan merasa telah mendapatkan banyak hal. Syukur kepada Tuhan atas bimbingan-Nya!

Catatan kaki:

1. "Membuat tuduhan tak berdasar" merujuk kepada metode yang digunakan Iblis untuk menyakiti manusia.

2. "Dijaga ketat" mengindikasikan bahwa metode yang digunakan Iblis untuk menyakiti manusia terutama kejam dan sangat mengendalikan manusia sehingga mereka tidak memiliki ruang untuk bergerak.

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Wajah Asli Seorang Pendeta

Aku benar-benar memandang tinggi Pendeta Li di gereja lamaku. Dia tinggalkan keluarga dan karirnya serta bepergian ke mana-mana untuk...