Kenapa Aku Tidak Bersedia Memikul Beban?

27 Februari 2023

Oleh Saudari Tongxin, Korea

Pada Oktober 2021, aku menjadi pengawas pekerjaan video. Aku bermitra dengan Saudara Leo dan Saudari Claire. Mereka telah melakukan tugas ini lebih lama dariku dan punya lebih banyak pengalaman, mereka bertanggung jawab menindaklanjuti dan mengawasi banyak pekerjaan. Aku baru saja tiba dan tak memahami banyak aspek pekerjaan, jadi tentu saja hanya mengambil peran kecil. Kupikir selama tak ada masalah dengan pekerjaanku, semuanya akan baik-baik saja, yang lain bisa membantu dan menyelesaikan sisanya. Dengan begitu, kekhawatiranku berkurang dan aku tak akan dimintai pertanggungjawaban. Secara bertahap, aku makin sedikit memikul beban, lalu akhirnya hanya sedikit memahami dan terlibat dalam pekerjaan dua orang itu. Setiap kali kami mendiskusikan pekerjaan, aku tak mengungkapkan pendapat, lalu di waktu luangku, aku bersantai dan menonton video sekuler. Aku merasa melakukan tugasku seperti ini bukan masalah.

Suatu hari, sekitar tengah hari, seorang pemimpin tiba-tiba datang kepadaku, lalu memberitahuku bahwa Leo dan Claire akan melakukan tugas di tempat lain, dan aku harus memikul lebih banyak tanggung jawab, berusaha lebih keras, serta mengambil alih pekerjaan video. Perubahan mendadak ini membuatku terkejut. Aku belum lama di tugas ini, dan pekerjaan yang harus ditindaklanjuti sangat banyak, bukankah ini tekanan besar? Pekerjaan yang mereka pegang cukup rumit dan butuh perhatian konstan. Itu akan mengharuskanku mencari bahan untuk membimbing mereka yang tak punya keterampilan, dan mengerjakannya sendiri jika mereka tak bisa. Leo dan Claire cukup terampil dan biasanya sangat sibuk. Karena baru memulai, aku pasti harus mencurahkan lebih banyak waktu. Apa aku akan punya waktu senggang lagi? Jika tak bisa memikul tanggung jawab ini dan menunda pekerjaan, bukankah aku melakukan pelanggaran? Kupikir pemimpin sebaiknya mencari orang yang lebih cocok untuk tanggung jawab ini. Melihatku diam, pemimpin menanyakan pendapatku. Aku merasa sangat menentang dan tak ingin bicara. Setelah kami mendiskusikan pekerjaan, aku langsung pergi. Saat memikirkan semua masalah dan kesulitan yang harus kutanggung sendiri, aku merasa tercekik oleh tekanan dan merasa hari-hari di depanku akan penuh penderitaan. Dilihat dari mana pun, aku masih merasa tak mampu memikul tanggung jawab ini. Pemimpin kemudian mengirimiku pesan yang menanyakan keadaanku, yang dengan cepat kujawab: "Aku tak merasa pantas mengambil pekerjaan ini. Mungkin kau bisa menemukan seseorang yang lebih cocok?" Pemimpin itu lalu bertanya: "Atas dasar apa kau menilai dirimu tak cocok?" Aku benar-benar tak tahu bagaimana menjawab ini. Aku bahkan belum mencoba dan tak tahu apakah aku siap untuk tugas itu. Namun, memikirkan tekanan pekerjaan dan beban fisik yang akan muncul membuatku ingin menolak. Bukankah ini melalaikan tanggung jawab dan menolak tugas? Kemudian aku ingat semua hal yang kuhadapi setiap hari adalah atas seizin Tuhan dan bahwa aku harus tunduk. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, kedua rekan sekerjaku dipindahkan dan hanya ada aku yang menangani semua pekerjaan. Aku merasakan penentangan dan tak mau tunduk. Aku tahu keadaan seperti ini keliru, tapi aku tak memahami kehendak-Mu. Tolong cerahkan dan tuntun aku agar bisa tunduk."

Setelah berdoa, seorang saudari mengirimiku kutipan firman Tuhan yang menggambarkan keadaanku. Tuhan berfirman: "Apa ungkapan dari orang yang jujur? Pertama adalah tidak memiliki keraguan terhadap firman Tuhan. Ini adalah salah satu ungkapan dari orang yang jujur. Selain itu, ungkapan terpenting dari orang yang jujur adalah mencari dan menerapkan kebenaran dalam segala hal; inilah yang terpenting dari semuanya. Jika engkau mengatakan bahwa engkau jujur, tetapi engkau selalu mengesampingkan firman Tuhan dan melakukan apa pun yang kauinginkan, apakah ini adalah ungkapan dari orang yang jujur? Engkau berkata, 'Kualitasku rendah, tetapi aku memiliki hati yang jujur.' Namun, ketika engkau menerima sebuah tugas, engkau takut bahwa tugas itu mungkin melelahkan atau engkau tidak dapat melakukannya dengan baik, dan karenanya engkau mencari-cari alasan untuk menghindarinya dan merekomendasikan orang lain untuk melakukannya. Apakah ini ekspresi dari seseorang yang jujur? Jelas tidak. Bagaimanakah seharusnya orang yang jujur bersikap? Mereka harus menerima dan menaati, dan kemudian sungguh-sungguh mengabdikan diri dalam melakukan tugas mereka dengan sebaik mungkin, berjuang untuk memuaskan kehendak Tuhan. Ini diungkapkan dalam beberapa cara. Salah satunya adalah engkau harus menerima tugasmu dengan hati yang jujur, tidak memikirkan tentang kepentingan dagingmu, dan tidak bersikap setengah hati mengenainya. Jangan berkomplot demi keuntunganmu sendiri. Inilah ungkapan kejujuran itu. Cara lainnya adalah melaksanakan tugasmu dengan segenap hati dan segenap kekuatanmu, melakukan segala sesuatu dengan benar, mengerahkan segenap hati dan kasihmu dalam pelaksanaan tugasmu untuk memuaskan Tuhan. Inilah yang harus diungkapkan ketika orang yang jujur melaksanakan tugasnya. Jika engkau tidak melakukan apa yang kauketahui dan yang telah kaupahami, jika engkau hanya memberikan 50 atau 60 persen dari upaya terbaikmu, artinya engkau tidak sedang mengerahkan segenap hati dan kekuatanmu, engkau sedang mencari cara untuk mengendur. Apakah orang yang licin saat melaksanakan tugas mereka jujur? Sama sekali tidak. Tuhan tidak memakai orang yang licin dan curang seperti itu; mereka harus diusir. Tuhan hanya memakai orang yang jujur untuk melaksanakan tugas. Bahkan pelaku pelayanan yang setia pun harus jujur. Orang yang selalu ceroboh dan asal-asalan, yang selalu mencari cara untuk mengendur—orang-orang ini semuanya adalah orang yang curang, mereka semua adalah setan-setan, tak seorang pun dari mereka yang benar-benar percaya kepada Tuhan, dan mereka semua akan diusir. Beberapa orang berpikir, 'Menjadi orang yang jujur tidak lebih daripada mengatakan yang sebenarnya dan tidak berbohong. Sebenarnya sangat mudah untuk menjadi orang yang jujur.' Apa pendapatmu tentang pernyataan ini? Apakah menjadi orang jujur sedemikian terbatas ruang lingkupnya? Sama sekali tidak. Engkau harus menyingkapkan hatimu dan menyerahkannya kepada Tuhan; inilah sikap yang harus dimiliki oleh orang yang jujur. Oleh karena itu, hati yang jujur sangatlah berharga. Apa maksudnya di sini? Hati inilah yang dapat mengendalikan perilakumu dan mengubah keadaanmu. Hati ini mampu menuntunmu untuk mengambil pilihan yang benar, dan menuntunmu untuk mampu tunduk kepada Tuhan serta memperoleh perkenanan-Nya. Hati ini sangat berharga. Jika engkau memiliki hati yang jujur seperti ini, engkau harus hidup dalam keadaan semacam ini, menunjukkan perilaku semacam ini, dan memiliki pengorbanan semacam ini" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Firman Tuhan membuatku merasa sangat malu. Tuhan berfirman bahwa saat dihadapkan dengan tugas, orang jujur tak memikirkan apa mereka siap untuk tugas itu, juga tak mengkhawatirkan risiko yang mungkin timbul dalam menjalankan tugas, apalagi melalaikan tugas karena khawatir tentang kompetensi mereka. Sebaliknya, mereka mulai dengan menerima dan mengerahkan segala daya. Inilah sikap jujur. Kemudian aku memikirkan sikapku terhadap tugasku. Begitu mendengar dua rekan sekerjaku pindah, aku khawatir beban kerjaku bertambah, kekhawatiranku berlipat ganda, dan tekanan padaku meningkat. Jika pekerjaan itu tak dilakukan dengan baik, aku harus bertanggung jawab, jadi aku coba memakai alasan diriku tak layak untuk melalaikan tanggung jawab. Aku sangat licik dan tak punya hati nurani. Aku ingat bagaimana dalam doa, aku selalu berjanji untuk memikirkan beban Tuhan, tapi saat itu benar-benar terjadi, aku justru memikirkan dagingku, tak menerapkan kebenaran, dan menggunakan kata-kata kosong untuk menipu Tuhan. Jika aku benar-benar memikirkan kehendak Tuhan, tahu diriku tak layak untuk pekerjaan itu, dan tak bisa menemukan orang lain yang cocok, aku seharusnya berfokus mengasah keterampilanku dan bekerja sama dengan yang lain agar pekerjaan video tak terpengaruh. Inilah yang seharusnya dilakukan seseorang yang punya hati nurani dan kemanusiaan. Jika aku benar-benar tak layak dan akhirnya dipindahkan atau diberhentikan, maka aku harus tunduk pada pengaturan Tuhan. Jalan penerapan inilah yang rasional. Aku merasa sedikit lebih tenang dengan pemikiran ini.

Aku lalu membaca kutipan firman Tuhan yang memberiku pemahaman tentang sikap yang kumiliki terhadap tugasku. Tuhan berfirman: "Semua orang yang tidak mengejar kebenaran melaksanakan tugas mereka dengan pola pikir yang tidak bertanggung jawab. 'Jika ada yang memimpin, aku akan ikut; ke mana pun mereka memimpinku, ke sanalah aku pergi. Aku akan melakukan apa pun yang mereka perintahkan. Sedangkan jika aku diminta untuk mengambil tanggung jawab dan memedulikan orang, atau menanggung lebih banyak kesulitan untuk melakukan sesuatu, atau melakukan sesuatu dengan segenap hati dan kekuatanku, aku tidak bersedia.' Orang-orang ini tidak mau membayar harganya. Mereka hanya bersedia mengerahkan kemampuan mereka, tetapi tidak mau mengambil tanggung jawab. Ini bukanlah sikap orang yang benar-benar melaksanakan tugasnya. Orang harus belajar mengerahkan segenap hati mereka untuk melaksanakan tugas mereka, dan orang yang memiliki hati nurani mampu mengerahkan segenap hati mereka untuk melaksanakan tugas mereka. Jika orang tak pernah mengerahkan segenap hati mereka untuk melaksanakan tugas mereka, itu artinya mereka tidak memiliki hati nurani, dan orang yang tidak berhati nurani tidak mampu memperoleh kebenaran. Mengapa Kukatakan mereka tidak mampu memperoleh kebenaran? Karena mereka tidak tahu cara berdoa kepada Tuhan dan mencari pencerahan Roh Kudus, juga tidak tahu bagaimana memperhatikan kehendak Tuhan, tidak tahu bagaimana mengerahkan segenap hati mereka untuk merenungkan firman Tuhan, juga tidak tahu bagaimana mencari kebenaran, bagaimana berusaha untuk memahami tuntutan Tuhan dan kehendak-Nya. Inilah yang dimaksud dengan tidak mampu mencari kebenaran. Apakah engkau semua mengalami keadaan seperti ini, yaitu apa pun yang terjadi, tugas apa pun yang kaulaksanakan, engkau sering kali mampu menenangkan dirimu di hadapan Tuhan, dan mengerahkan segenap hatimu untuk merenungkan firman-Nya, dan mencari kebenaran, dan memikirkan bagaimana engkau harus melaksanakan tugas itu agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan memikirkan kebenaran mana yang harus kaumiliki agar dapat melaksanakan tugas itu dengan memuaskan? Apakah engkau sering mencari kebenaran dengan cara seperti ini? (Tidak.) Mengerahkan segenap hati untuk melaksanakan tugasmu dan mampu mengambil tanggung jawab mengharuskanmu untuk menderita dan membayar harga—tidak cukup dengan sekadar membicarakannya. Jika engkau tidak mengerahkan segenap hatimu untuk melaksanakan tugasmu, sebaliknya, selalu ingin mengerahkan upaya secara jasmani, maka tugasmu tentu tidak akan terlaksana dengan baik. Engkau hanya akan melaksanakan tugasmu dengan asal-asalan, dan tidak lebih dari itu, dan engkau tidak akan tahu seberapa baik engkau telah melaksanakan tugasmu. Jika engkau mengerahkan segenap hatimu untuk melaksanakan tugasmu, engkau akan secara berangsur-angsur memahami kebenaran; jika engkau tidak melaksanakan tugasmu, engkau tidak akan memahami kebenaran. Ketika engkau mengerahkan segenap hatimu untuk melaksanakan tugasmu dan mengejar kebenaran, engkau akan secara berangsur-angsur mampu memahami kehendak Tuhan, mengetahui kerusakan dan kekuranganmu sendiri, dan menguasai semua keadaanmu yang beraneka ragam. Jika engkau hanya berfokus mengerahkan upayamu, tetapi engkau tidak mengerahkan segenap hatimu untuk merenungkan dirimu sendiri, engkau tidak akan mampu mengenali keadaan dirimu yang sebenarnya serta berbagai reaksi dan penyingkapan kerusakan yang kauperlihatkan di berbagai lingkungan. Jika engkau tidak mengetahui apa konsekuensinya jika ada masalah dan engkau tidak menyelesaikannya, maka engkau berada dalam banyak masalah. Inilah sebabnya, tidaklah cukup untuk percaya kepada Tuhan dengan cara yang bingung seperti itu. Engkau harus hidup di hadapan Tuhan kapan pun dan di mana pun; apa pun yang menimpamu, engkau harus selalu mencari kebenaran, dan sementara mencari kebenaran, engkau juga harus merenungkan dirimu sendiri dan mengetahui masalah apa yang ada di dalam keadaanmu, segeralah mencari kebenaran untuk menyelesaikannya. Hanya dengan cara demikianlah, engkau dapat melaksanakan tugasmu dengan baik dan tidak menunda pekerjaan. Yang terpenting bukan saja melaksanakan tugasmu dengan baik, tetapi engkau juga memiliki jalan masuk kehidupan dan mampu menyelesaikan masalah watak rusakmu. Hanya dengan cara demikianlah, engkau dapat masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Jika yang sering kaurenungkan dalam hatimu bukanlah hal-hal tentang melaksanakan tugasmu, jika itu bukan hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran, dan engkau malah terjerat dalam hal-hal lahiriah, merenungkan hal-hal yang berkaitan dengan kedagingan, maka mampukah engkau memahami kebenaran? Lalu mampukah engkau melaksanakan tugasmu dengan baik dan hidup di hadapan Tuhan? Tentu saja tidak. Orang seperti itu tidak mungkin diselamatkan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Bersikap Jujur Orang Dapat Hidup sebagai Manusia Sejati"). Tuhan benar-benar menggambarkanku dalam paparan-Nya tentang sikap seperti ini. Saat memulai tugas ini, aku tak mengambil tanggung jawab apa pun. Kulihat rekan sekerjaku lebih berpengalaman daripadaku, jadi aku langsung mundur dan merasa semuanya baik-baik saja asalkan bisa memastikan pekerjaanku sendiri baik. Jika melakukan ini, aku akan terlihat terhormat dan tak perlu membuat diriku lelah, jadi aku hanya fokus pada pekerjaanku sendiri dan tak pernah memikirkan pekerjaan yang mereka tangani, aku juga tak menganggap serius masalah atau kesulitan yang muncul di dalamnya. Saat pemimpin bertanya kenapa pekerjaan kami sangat tak efisien, aku tak punya jawaban. Aku bahkan tak menyadari masalah atau penyimpangan yang terjadi dalam pekerjaan. Saat itu aku akhirnya sadar telah melakukan tugasku dengan sangat buruk. Aku menghabiskan hari-hariku dengan hampa, buta, dan tak memedulikan masalah yang kuhadapi. Meskipun menyadari beberapa masalah, begitu melihat itu tak berpengaruh pada posisiku, aku akan biarkan, itu memengaruhi kemajuan pekerjaan. Sikap seperti ini sama dengan cara orang tak percaya memperlakukan pekerjaan mereka. Aku sama sekali tak mengindahkan kehendak Tuhan dalam tugas. Saat masalah muncul dalam pekerjaan, aku tak mencari kebenaran atau meringkas penyimpangan, juga tak memikirkan cara meningkatkan efisiensi. Aku selalu merasa selama rekan sekerjaku bisa menanganinya, aku bisa santai. Setiap kali punya waktu, aku memanjakan dagingku atau menonton video sekuler. Kian lama aku makin tak bermoral dan makin jauh dari Tuhan. Kulihat bahwa aku tak tekun dalam tugasku. Aku hanya memperlakukannya seperti pekerjaan. Bagaimana aku bisa melakukan tugasku dengan baik dengan cara ini? Pada titik ini, aku akhirnya sadar bahwa pengaturan Tuhan telah menyebabkan "sandaran"-ku pergi untuk memberiku kesempatan berlatih, belajar merasakan kepedulian, aktif memikul tanggung jawab, mengandalkan Tuhan dalam kesulitan, dan mencari prinsip kebenaran. Terlebih lagi, ini memungkinkanku mengetahui sikapku yang santai dan tak bertanggung jawab terhadap tugas membuat Tuhan jijik. Tekanan pekerjaan kini akan memaksaku untuk tekun dalam tugas, memberiku kesempatan bertobat, dan berupaya melakukan tugas dengan baik. Setelah paham kehendak Tuhan, aku bersedia tunduk pada situasi ini. Selama beberapa hari berikutnya, aku secara sadar berupaya keras dalam pekerjaanku, mencoba menemukan lebih banyak masalah dalam pekerjaan video, dan berusaha menyelesaikannya setelah ditemukan. Aku membuat rencana belajar dan berusaha mengambil alih pekerjaan secepat mungkin. Setelah bisa menyesuaikan diri, aku punya lebih banyak waktu untuk pekerjaanku, dan merasa lebih damai dalam hari-hariku.

Kemudian, aku bermitra dengan saudari lain. Awalnya, aku masih sadar untuk lebih bertanggung jawab, tapi setelah beberapa saat, kulihat dia cukup terampil dan punya lebih banyak keahlian profesional daripadaku, jadi aku menyerahkan beberapa tugas kepadanya, lalu tak melibatkan diri lebih jauh. Terkadang, untuk menjaga reputasiku, aku berpartisipasi dalam diskusi, tapi tak mau memberikan saran, kupikir: "Melihatmu bisa menangani banyak hal, aku tak perlu khawatir dan bisa santai untuk sementara waktu." Pemimpinku memperingatkanku agar lebih memedulikan pekerjaan, dan beberapa hari setelah itu, aku melakukannya, tapi tak lama, aku kembali lalai. Terkadang, muncul masalah rumit yang harus segera ditangani, tapi begitu melihat itu hal yang ditindaklanjuti saudariku, aku tak mau repot. Aku sengaja menandai pesan itu belum dibaca dan berpura-pura tak melihatnya, berpikir saudariku bisa mengatasinya nanti. Meskipun merasa sikapku tak bertanggung jawab, karena kemajuan pekerjaan normal, aku tak terlalu memikirkannya. Beberapa bulan kemudian, kami bertanggung jawab atas bagian pekerjaan video yang berbeda. Kali ini tanpa ada yang membantu, aku yakin akan menghadapi banyak kesulitan dan masalah. Namun, saat ingat aku yang kurang bertanggung jawab dalam tugas, dan hal ini baik untukku, aku berkata kepada diriku bahwa aku harus mulai dengan tunduk. Namun, setelah benar-benar memulai, aku mendapati tiba-tiba punya lebih banyak hal untuk ditindaklanjuti, dan pekerjaanku setiap hari terasa tak ada habisnya. Selain itu, keterampilan profesionalku tak bagus dan makin banyak masalah tersingkap. Setiap video yang kami buat menerima saran, dan aku harus memikirkan cara menanggapi masing-masing saran. Lambat laun, semangat kecil yang kumiliki habis, dan aku sering bertanya-tanya sendiri, "Aku sudah berusaha keras, tapi masih ada begitu banyak masalah, mungkin akan lebih baik jika pemimpin menemukan seseorang yang lebih cocok." Tak lama kemudian, sejumlah video kami dikembalikan untuk dikerjakan ulang berturut-turut, dan aku merasa makin tertekan. Aku tak lagi ingin menyelesaikan masalah rumit yang kuhadapi dan makin merindukan masa-masa saat aku bermitra dengan orang lain dalam tugasku, saat aku bisa dengan gembira bersembunyi di belakang mereka, dan tak perlu mendapat banyak tekanan. Aku tak merasakan motivasi untuk melakukan tugasku, langkahku terasa berat saat berjalan. Saat itulah aku sadar tak bisa terus melakukan tugasku dalam keadaan ini, jadi aku berdoa kepada Tuhan. Saat mencari, aku tiba-tiba teringat Nuh. Dia mengalami banyak kesulitan dan kegagalan saat membangun bahtera, tapi tak pernah menyerah, dan terus bekerja selama 120 tahun, akhirnya menuntaskan bahtera, dan menyelesaikan amanat Tuhan. Namun, saat menghadapi sedikit kesulitan, aku ingin melepaskan beban dan melarikan diri. Bukankah aku bersikap pengecut? Memikirkan ini, aku bisa menenangkan diri dan mampu menghadapi masalah pekerjaanku dengan baik.

Di saat teduhku, aku membaca kutipan firman Tuhan ini: "Para pemimpin palsu yang malas ini memperlakukan kedudukan mereka sebagai pemimpin atau pekerja sebagai sesuatu untuk mereka nikmati. Mereka memperlakukan tugas dan pekerjaan yang sudah seharusnya dilaksanakan pemimpin sebagai beban, sebagai gangguan. Di dalam hatinya, mereka penuh dengan penentangan terhadap pekerjaan gereja: suruh mereka mengawasi pekerjaan atau mencari tahu masalah yang ada dalam pekerjaan, kemudian menindaklanjuti dan menyelesaikannya, dan mereka pun akan melakukannya dengan penuh keengganan. Ini adalah pekerjaan yang sudah seharusnya dilakukan oleh para pemimpin dan pekerja, ini adalah pekerjaan mereka. Jika engkau tidak melakukannya—jika engkau tidak bersedia melakukannya—mengapa engkau masih ingin menjadi pemimpin atau pekerja? Apakah engkau melaksanakan tugasmu agar engkau memperhatikan kehendak Tuhan, atau agar engkau menikmati manfaat dari jabatanmu itu? Bukankah tidak tahu malu menjadi seorang pemimpin jika hanya ingin memiliki jabatan? Tidak ada orang karakternya lebih rendah dari mereka, orang-orang ini tidak punya harga diri, mereka tidak punya rasa malu. Jika engkau ingin menikmati kenyamanan daging, kembalilah segera ke dunia dan berjuanglah, raihlah, dan rebutlah semampumu. Tak seorang pun akan ikut campur. Rumah Tuhan adalah tempat bagi umat pilihan Tuhan untuk melaksanakan tugas mereka dan menyembah-Nya; itu adalah tempat bagi orang-orang untuk mengejar kebenaran dan diselamatkan. Rumah Tuhan bukanlah tempat bagi siapa pun untuk menikmati kenyamanan daging, rumah Tuhan, terlebih lagi, bukanlah tempat untuk memanjakan orang. ... Ada orang-orang yang, pekerjaan atau tugas apa pun yang mereka lakukan, mereka tak mampu melakukannya, itu terlalu berat bagi mereka, mereka tak mampu memenuhi kewajiban atau tanggung jawab apa pun yang seharusnya orang lakukan. Bukankah mereka itu sampah? Apakah mereka masih layak disebut manusia? Kecuali orang-orang bodoh, cacat mental, dan mereka yang menderita berbagai gangguan fisik, adakah orang hidup yang tidak diharuskan melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka? Namun, orang seperti ini selalu licik dan bermain kotor, dan tidak ingin memenuhi tanggung jawab mereka; kesimpulannya mereka tidak ingin berperilaku seperti orang normal. Tuhan memberi mereka kualitas dan karunia, Dia memberi mereka kesempatan untuk menjadi manusia, tetapi mereka tak mampu memanfaatkan semua ini dalam melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak melakukan apa-apa, tetapi ingin menikmati semuanya. Apakah orang seperti itu pantas disebut manusia? Pekerjaan apa pun yang diberikan kepada mereka—entah itu penting atau biasa, sulit atau sederhana—mereka selalu ceroboh dan asal-asalan, selalu malas dan licik. Ketika muncul masalah, mereka mencoba untuk mengalihkan tanggung jawab mereka kepada orang lain; mereka tidak memikul tanggung jawab, ingin tetap hidup dalam kehidupan parasit mereka. Bukankah mereka sampah yang tidak berguna? Di tengah masyarakat, siapa yang tidak perlu bergantung pada diri mereka sendiri untuk bertahan hidup? Setelah orang tumbuh dewasa, mereka harus mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Orang tua mereka telah memenuhi tanggung jawab mereka. Meskipun orang tua mereka bersedia mendukung mereka, mereka akan merasa tidak nyaman akan hal itu, dan seharusnya dapat mengakui, 'Orang tuaku telah menyelesaikan pekerjaan mereka membesarkan anak-anak. Aku sudah dewasa, tubuhku sehat dan kuat—aku harus bisa hidup mandiri.' Bukankah inilah akal sehat yang minimal harus dimiliki orang dewasa? Jika orang benar-benar memiliki akal sehat, mereka tidak boleh terus merengek kepada orang tua mereka; mereka pasti takut ditertawakan orang lain, takut dipermalukan. Jadi, apakah orang yang bermalas-malasan memiliki akal sehat? (Tidak.) Mereka selalu menginginkan sesuatu tanpa usaha, mereka tidak pernah ingin bertanggung jawab, mereka mencari makan siang gratis, mereka ingin makan tiga kali sehari—dan ada orang yang melayani mereka, dan selalu tersedia makanan lezat—tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Bukankah ini pola pikir parasit? Dan apakah orang yang parasit memiliki hati nurani dan akal? Apakah mereka memiliki martabat dan integritas? Sama sekali tidak; mereka semua para pendompleng yang tidak berguna, mereka semua binatang buas yang tidak berhati nurani ataupun bernalar. Tak seorang pun dari mereka layak untuk tetap berada di rumah Tuhan" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Firman Tuhan mendorongku untuk merenung: Memantau dan memahami masalah dalam pekerjaan, serta mencari kebenaran untuk menyelesaikannya adalah tugas pemimpin dan pekerja, tapi pemimpin palsu melihat ini sebagai beban. Ini menunjukkan bahwa mereka di sini bukan untuk menjalankan tugas, tapi menikmati kedudukan. Aku melihat bahwa perilakuku juga seperti ini. Aku seharusnya bertanggung jawab, serta menyelesaikan masalah dan kesulitan yang muncul, mengambil kesempatan ini untuk mencari kebenaran dan menebus kekuranganku, yang akan memungkinkanku untuk maju lebih cepat. Namun, aku ingin menolak tugasku karena ada terlalu banyak kesulitan. Sebagai pengawas, aku tak melakukan kerja nyata atau menyelesaikan masalah nyata. Bukankah artinya aku mendambakan keuntungan status? Melihat kembali perilakuku, meskipun aku mungkin terlihat bekerja saat punya rekan sekerja, pekerjaan itu sebenarnya dibagi untuk beberapa orang, dan aku tak bertanggung jawab banyak. Tugasku mudah, jadi aku sangat menikmatinya. Saat kedua rekan sekerjaku dipindahkan, tekanan pekerjaan benar-benar menumpuk, aku harus menderita untuk memikul tanggung jawabku, jadi aku merasakan penentangan, bahkan ingin mengkhianati Tuhan dan menolak tugasku. Kemudian, meskipun aku memperbaiki keadaanku dengan makan dan minum firman Tuhan, saat bermitra dengan saudari yang lebih berpengalaman, aku mengambil tanggung jawab lebih sedikit lagi, lalu menghabiskan hari melakukan tugas dengan santai, tak mau membuat diriku khawatir. Saat bertanggung jawab penuh untuk pekerjaan video kali ini dan kesulitan meningkat, aku ingin kabur lagi. Kulihat sikapku terhadap tugas sangat licik dan aku siap melarikan diri saat melihat kesulitan fisik atau tanggung jawab. Aku selalu ingin menangani pekerjaan yang mudah dan bebas stres, tapi pada kenyataannya, semua pekerjaan punya kesulitan, dan jika tak menyelesaikan watak rusakku, aku tak akan bisa melakukan tugas apa pun dengan benar. Kulihat pada dasarnya aku muak terhadap kebenaran dan tak menyukai hal-hal positif. Tujuanku bukan memenuhi tugas, melainkan menikmati berkat. Pada akhirnya, iman seperti ini sia-sia! Aku khususnya membaca dalam firman Tuhan: "Mereka selalu menginginkan sesuatu tanpa usaha, mereka tidak pernah ingin bertanggung jawab, mereka mencari makan siang gratis, mereka ingin makan tiga kali sehari—dan ada orang yang melayani mereka, dan selalu tersedia makanan lezat—tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Bukankah ini pola pikir parasit?" Aku persis seperti parasit yang diungkapkan Tuhan, hanya ingin menuai, tapi tak pernah menabur, dan menikmati hasil kerja orang lain. Bukankah aku hanya sampah? Makin dipikir, makin aku merasa mual. Dahulu, orang yang paling kubenci adalah pendompleng yang masih hidup dari orang tua mereka, orang dewasa yang tak meninggalkan rumah, memanfaatkan orang tua mereka, dan tak mengambil tanggung jawab. Mereka tak berguna. Namun, apa bedanya perilakuku saat ini dari mereka? Saat mencela diri, aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, akhirnya aku melihat bahwa aku tercela dan tak tulus dalam tugasku. Aku hanya memikirkan dagingku dan ingin menjadi parasit. Aku sangat takut dengan pikiran bejat ini. Ada sangat banyak pekerjaan di gereja yang butuh kerja sama mendesak, tapi aku tak berusaha membuat kemajuan atau memikul beban. Aku sampah. Ya Tuhan, aku tahu keadaanku keliru, tapi aku tak bisa mengatasi kekangan dagingku, tolong cerahkan aku agar bisa memahami masalahku. Aku ingin bertobat dan berubah." Aku juga merenungkan diri. Kenapa aku selalu ingin melarikan diri dan menolak tugasku setiap kali tekanan dan kesulitan memuncak dalam pekerjaanku? Apa sebenarnya akar penyebab dari semua ini? Dalam pencarianku, aku membaca firman Tuhan. "Sekarang ini, engkau tidak percaya pada firman yang Kuucapkan, dan engkau tidak menghiraukannya; ketika tiba saatnya pekerjaan ini disebarluaskan, dan engkau menyaksikan seluruhnya, engkau akan menyesal, dan saat itulah engkau akan tercengang. Ada berbagai berkat, tetapi engkau tidak tahu cara menikmatinya, dan ada kebenaran, tetapi engkau tidak mengejarnya. Bukankah engkau menghina dirimu sendiri? Sekarang ini, sekalipun langkah pekerjaan Tuhan berikutnya belum dimulai, tidak ada tuntutan tambahan yang diminta darimu dan apa yang harus kauhidupi. Ada begitu banyak pekerjaan dan begitu banyak kebenaran; apakah semua itu tidak layak engkau ketahui? Apakah hajaran dan penghakiman Tuhan tidak mampu membangkitkan rohmu? Apakah hajaran dan penghakiman Tuhan tidak mampu membuatmu membenci diri sendiri? Apakah engkau puas hidup di bawah pengaruh Iblis, dengan kedamaian dan sukacita, dan sedikit kenyamanan daging? Bukankah engkau yang paling hina dari semua orang? Tidak ada yang lebih bodoh selain mereka yang telah melihat keselamatan tetapi tidak berupaya mendapatkannya; mereka inilah orang-orang yang mengenyangkan daging mereka sendiri dan menikmati Iblis. Engkau berharap bahwa imanmu kepada Tuhan tidak akan mendatangkan tantangan atau kesengsaraan, ataupun kesulitan sekecil apa pun. Engkau selalu mengejar hal-hal yang tidak berharga, dan tidak menghargai hidup, melainkan menempatkan pikiran yang terlalu muluk-muluk di atas kebenaran. Engkau sungguh tidak berharga! Engkau hidup seperti babi—apa bedanya antara engkau, babi, dan anjing? Bukankah mereka yang tidak mengejar kebenaran, melainkan mengasihi daging, adalah binatang buas? Bukankah mereka yang mati, tanpa roh, adalah mayat berjalan? Berapa banyak firman yang telah disampaikan di antara engkau sekalian? Apakah hanya sedikit pekerjaan yang dilakukan di antaramu? Berapa banyak yang telah Kuberikan di antaramu? Lalu mengapa engkau tidak mendapatkannya? Apa yang harus engkau keluhkan? Bukankah engkau tidak mendapatkan apa-apa karena engkau terlalu mengasihi daging? Dan bukankah ini karena pikiranmu yang terlalu muluk-muluk? Bukankah karena engkau terlalu bodoh? Jika engkau tidak mampu memperoleh berkat-berkat ini, dapatkah engkau menyalahkan Tuhan karena tidak menyelamatkanmu? Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Aku memberikan kehidupan manusia yang nyata kepadamu, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau tidak ada bedanya dari babi atau anjing? Babi tidak mengejar kehidupan manusia, mereka tidak berupaya supaya ditahirkan, dan mereka tidak mengerti makna hidup. Setiap hari, setelah makan sampai kenyang, mereka hanya tidur. Aku telah memberimu jalan yang benar, tetapi engkau belum mendapatkannya. Tanganmu kosong. Apakah engkau bersedia melanjutkan kehidupan ini, kehidupan seekor babi? Apa pentingnya orang-orang seperti itu hidup? Hidupmu hina dan tercela, engkau hidup di tengah-tengah kecemaran dan kecabulan, dan tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani memandang Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa? Jalan yang benar telah diberikan kepadamu, tetapi apakah pada akhirnya engkau dapat memperolehnya, itu tergantung pada pengejaran pribadimu sendiri" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Dari firman Tuhan yang tegas, aku merasa Tuhan sangat muak dan antipati terhadap orang-orang yang mendambakan kenyamanan, bahwa bagi-Nya, mereka hanyalah binatang. Mereka pemalas, tak mau bekerja untuk membuat kemajuan, suka bermalas-malasan, lalu pada akhirnya, tak melakukan tugas dengan benar dan tak mendapatkan kebenaran. Mereka adalah sampah. Seperti inilah aku dahulu. Aku suka tugasku berjalan lancar, asalkan punya tugas dan tak diberhentikan atau disisihkan, semuanya baik-baik saja. Namun, begitu menghadapi kesulitan yang mengharuskanku menderita atau membayar mahal, aku mundur. Aku hanya ingin memilih pekerjaan yang sederhana dan mudah, serta menjunjung prinsip hidup jahat "Nikmatilah hidup selagi masih hidup" dan "Perlakukan dirimu dengan baik." Karena pandangan ini, aku selalu mendambakan kenyamanan dan kesal setiap kali pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku menumpuk, khawatir akan memotong waktu luangku. Saat harus mempelajari lebih banyak keterampilan, aku tak benar-benar membayar mahal untuk itu, artinya setelah beberapa saat, keterampilanku tak mengalami banyak kemajuan dan tak bisa menangani pekerjaan itu. Aku bahkan terkadang melalaikan tugasku dan menonton video sekuler dengan dalih mempelajari keterampilan, membuat jiwaku makin gelap. Sebagai pengawas, saat muncul masalah dalam pekerjaan, aku seharusnya aktif menindaklanjuti dan menyelesaikannya, tapi begitu melihat masalahnya sedikit rumit, aku hanya menggunakan muslihat untuk mengabaikannya, menunda kemajuan pekerjaan. Yang lebih parah, aku selalu ingin mencari orang untuk menggantikanku dan meringankan tekanan padaku. Aku tahu membuat video sangat penting untuk pekerjaan Injil, tapi aku memuaskan dagingku dan melarikan diri di setiap momen genting, tak bertanggung jawab sama sekali. Aku teringat anak-anak yang orang tuanya besarkan hingga dewasa, tapi saat tiba waktunya berkorban untuk keluarga, justru takut menderita dan tak mau bertanggung jawab. Orang seperti ini tak punya hati nurani dan tak tahu berterima kasih. Aku mimikirkan perilakuku yang seperti ini. Tuhan telah membimbingku sampai titik ini dan mengizinkanku melakukan tugas yang sangat penting, tapi aku selalu takut menderita dan hanya mengindahkan dagingku. Aku tak punya hati nurani sama sekali! Aku tak bisa melihat arti penderitaan untuk tugasku, selalu mendambakan kenyamanan fisik, dan tak bisa melakukan tugas apa pun dengan benar. Aku lalu sadar Iblis telah merasuki orang-orang dengan falsafah "Nikmatilah hidup selagi masih hidup" dan "Perlakukan dirimu dengan baik," membuat mereka makin bejat, egois, dan licik. Jika terus mendambakan kenyamanan, bukankah aku menghancurkan diriku sendiri? Aku selalu mengeluhkan beratnya tugasku dan benci kehilangan kenyamanan fisik. Bukan saja aku kehilangan kesempatan mendapatkan kebenaran, tapi juga mengacaukan tugasku dan hanya menghasilkan pelanggaran. Akhirnya, aku pasti ditolak dan disingkirkan oleh Tuhan!

Aku mulai mencari jalan penerapan. Aku membaca firman Tuhan: "Misalkan gereja memberimu pekerjaan untuk kaulaksanakan, dan engkau berkata, 'Entah pekerjaan itu dapat menjadi kesempatanku untuk menonjol atau tidak—karena pekerjaan itu diberikan kepadaku, aku akan melakukannya dengan baik. Aku akan menerima tanggung jawab ini. Jika aku ditugaskan untuk menjadi penyambut tamu, aku akan mengerahkan segenap kemampuanku untuk melakukan pekerjaan itu dengan baik; aku akan melayani saudara-saudari dengan baik, dan berusaha sebaik mungkin menjaga keselamatan semua orang. Jika aku ditugaskan untuk mengabarkan Injil, aku akan memperlengkapi diriku dengan kebenaran dan mengabarkan Injil dengan penuh kasih dan melaksanakan tugasku dengan baik. Jika aku ditugaskan untuk belajar bahasa asing, aku akan mempelajarinya dengan rajin dan berupaya keras, dan mempelajarinya dengan baik secepat mungkin, dalam waktu satu atau dua tahun agar aku dapat bersaksi tentang Tuhan kepada orang asing. Jika aku diminta untuk menulis artikel kesaksian, aku akan melatih diriku dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya dan memandang segala sesuatu berdasarkan prinsip kebenaran; aku akan belajar tentang bahasa, dan meskipun aku mungkin tak mampu menulis artikel dengan prosa yang indah, setidaknya aku akan dapat menyampaikan pengalaman dan kesaksianku dengan jelas, mempersekutukan kebenaran dengan jelas, dan memberikan kesaksian yang nyata bagi Tuhan, sampai sedemikian rupa hingga ketika orang membaca artikelku, mereka merasa terdidik dalam kerohanian mereka dan memperoleh manfaat. Pekerjaan apa pun yang gereja tugaskan kepadaku, aku akan melaksanakannya dengan segenap hati dan kekuatanku. Jika ada sesuatu yang tidak kupahami atau muncul masalah, aku akan berdoa kepada Tuhan, mencari kebenaran, memahami prinsip kebenaran, dan melaksanakan pekerjaan itu dengan baik. Apa pun tugasku, aku akan berupaya sebaik mungkin untuk melaksanakannya dengan baik dan memuaskan Tuhan. Untuk apa pun yang dapat kucapai, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memikul semua tanggung jawab yang harus kutanggung, dan setidaknya, aku tidak akan menentang hati nurani dan nalarku, atau bersikap ceroboh dan asal-asalan, atau bersikap licik dan penuh tipu muslihat, atau menikmati hasil kerja orang lain. Semua yang kulakukan tidak akan berada di bawah standar hati nurani.' Ini adalah standar minimum manusia dalam berperilaku, dan orang yang melaksanakan tugas mereka dengan cara seperti itu dapat dianggap memenuhi syarat sebagai orang yang berhati nurani dan berakal sehat. Engkau setidaknya harus memiliki hati nurani yang bersih dalam melaksanakan tugasmu, dan engkau setidaknya harus merasa bahwa engkau layak mendapatkan makan tiga kali sehari dan tidak mengemis untuk itu. Ini disebut rasa tanggung jawab. Entah kualitasmu tinggi atau rendah, dan entah engkau memahami kebenaran atau tidak, engkau harus memiliki sikap ini: 'Karena pekerjaan ini diberikan kepadaku untuk kulaksanakan, aku harus memperlakukannya dengan serius; aku harus menganggapnya penting dan melaksanakannya dengan baik, dengan segenap hati dan kekuatanku. Tentang apakah aku dapat melaksanakannya dengan sempurna atau tidak, aku tidak bisa memberikan jaminan, tetapi sikapku adalah, aku akan berupaya sebaik mungkin untuk memastikan pekerjaan itu dilaksanakan dengan baik, dan aku pasti tidak akan bersikap ceroboh dan asal-asalan terhadap pekerjaan itu. Jika masalah muncul, aku harus bertanggung jawab, dan memastikan aku memetik pelajaran darinya dan melaksanakan tugasku dengan baik.' Inilah sikap yang benar. Apakah engkau semua memiliki sikap seperti itu?" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Firman Tuhan sangat menginspirasiku. Karena gereja menjadikanku penanggung jawab pekerjaan ini, aku harus memikul semua tanggung jawab yang mampu dipikul orang dewasa. Setinggi apa pun kualitasku, secakap apa pun aku dalam pekerjaanku, atau sebanyak apa pun kesulitan yang kuhadapi dalam tugasku, aku tak boleh mundur, aku harus terus maju dan mengerahkan seluruh dayaku untuk pekerjaan ini. Kemudian, setiap kali kami selesai membuat video dan menerima saran orang lain, meskipun itu masalah yang tak kusadari atau tak tahu cara menanganinya, aku selalu aktif mencari jalan untuk menyelesaikannya atau coba mencari orang berpengalaman yang bisa kutanya. Lambat laun, aku menjadi lebih akrab dengan keterampilan ini dan lebih memahami prinsip. Sebelumnya, setiap kali ada masalah rumit, aku langsung menyerahkannya kepada salah satu rekan sekerjaku untuk tangani, tak segera membalas pesan di grup obrolan, dan bermalas-malasan. Sekarang, aku bisa aktif mengambil tanggung jawab dan memikul lebih banyak beban dalam tugasku. Meskipun akan ada kesulitan saat kami bekerja sama, saat aku berfokus mengandalkan Tuhan, dan berdiskusi dengan semua orang, jalan yang harus kita ambil makin jelas. Baru setelah mengalami ini aku sadar betapa egois dan liciknya aku, bahwa aku licik dan malas dalam tugasku, tak mau memikul tanggung jawab. Saat aku memperbaiki sikapku terhadap pekerjaan, bersedia mengindahkan beban Tuhan, dan mengerahkan seluruh kemampuan untuk bekerja sama, aku melihat kepemimpinan dan bimbingan Tuhan, mendapatkan iman di dalam diriku, serta bersedia menerapkan menjadi orang yang rasional dan teliti yang memenuhi tugas mereka.

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Kesadaran Setelah Ditangani

Oleh Saudari Liang Xin, Spanyol Pada akhir 2020, aku bertanggung jawab menyiram petobat baru di gereja. Awalnya jumlah mereka tak banyak,...