Penganiayaan yang Kuderita karena Iman

28 Januari 2025

Oleh Saudari Zhao Ming'en, Tiongkok

Suatu hari setelah pukul 8 malam, pada bulan Mei 2003, aku baru saja pulang dari tugasku. Tiga petugas polisi menerobos masuk, mencengkeram tanganku dan memborgolku. Jantungku berdegup kencang karena ketakutan. Salah seorang dari mereka menggeledahku dan menyita penyerantaku. Aku bertanya, "Hukum apa yang telah kulanggar? Mengapa kau menangkapku?" Dia berkata dengan wajah yang bengis, "Negara tidak memperbolehkan kau percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Itu bertentangan dengan kebijakan Partai Komunis. Itu artinya kau harus ditangkap!" Tanpa penjelasan lebih lanjut, mereka mendorongku masuk ke mobil mereka. Duduk di kursi belakang, aku merasa gugup dan ketakutan, tanpa mengetahui kekejaman apa yang akan kualami. Karena perawakanku yang kecil, aku khawatir tidak akan mampu menahan siksaan, dan aku akan menjadi Yudas dan mengkhianati saudara-saudari. Aku terus-menerus berdoa dalam hati kepada Tuhan, memohon agar Dia menjagaku dan memberiku iman dan kekuatan. Kemudian, aku teringat sesuatu dari firman Tuhan: "Engkau tahu bahwa segala sesuatu di lingkungan sekitarmu berada di sana atas seizin-Ku, semuanya diatur oleh-Ku. Lihatlah dengan jelas dan puaskanlah hati-Ku di lingkungan yang telah Kuberikan kepadamu. Jangan takut, Tuhan Yang Mahakuasa atas alam semesta pasti akan menyertaimu; Dia berdiri di belakang engkau semua dan Dia adalah perisaimu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 26"). Firman Tuhan memperkuat iman dan keberanianku. Penangkapanku terjadi atas seizin Tuhan dan polisi berada di tangan Tuhan. Dengan Tuhan yang mendukungku, tak ada yang perlu kutakutkan. Ketika memikirkannya seperti itu, ketakutanku berkurang dan dalam hati, aku bertekad bagaimanapun polisi menyiksaku, aku tak akan pernah mengkhianati saudara-saudari ataupun Tuhan.

Sesampainya kami di kantor polisi, seorang petugas wanita menggeledahku dan kemudian membawaku ke ruangan lain, memborgolku ke sebuah radiator di belakangku. Kira-kira setelah pukul 11 malam, polisi menemukan beberapa buku firman Tuhan di rumahku bersama dengan beberapa penyeranta. Kepala Brigade Polisi Kriminal bernama Li bertanya kepadaku sambil memegang penyeranta itu, "Siapa yang memberimu semua ini? Dengan siapa kau telah berhubungan selama ini?" Karena aku tidak menjawab, dia memukuliku dengan kejam beberapa kali. Mataku berkunang-kunang dan wajahku terasa sangat nyeri. Lalu dia menginjak jempol kakiku keras-keras sehingga terasa sangat sakit seperti ditusuk jarum. Aku sangat kesakitan sehingga keringat bercucuran di sekujur tubuhku. Dengan marah, aku berkata kepadanya, "Aku orang percaya, yang berada di jalan yang benar dalam hidupku. Hukum apa yang kulanggar? Bukankah hukum di Tiongkok menjamin kebebasan beragama? Apa hakmu menangkap dan memukuliku?" Salah seorang petugas berkata, "Kau sangat naif! Kebebasan beragama adalah tameng untuk menenangkan orang asing. Partai Komunis itu ateis, jadi negara ingin menindas dan membasmi kalian orang percaya! Jika kau tidak memberi tahu kami apa yang kauketahui, besok kau akan mati. Kau datang ke sini dalam keadaan hidup, tetapi kau akan pulang dalam peti mati!" Setelah mengatakan itu, mereka meninggalkan ruangan. Kupikir karena mereka telah menemukan begitu banyak barang di rumahku, tidak mungkin mereka membiarkanku pergi begitu saja. Aku tidak tahu siksaan apa yang akan mereka timpakan kepadaku jika aku tetap diam. Mereka bahkan berkata aku pasti mati—mereka akan membunuhku. Ini membuatku sangat cemas, jadi aku berdoa, memohon agar Tuhan memberiku iman dan kekuatan. Keesokan paginya, empat petugas masuk membawa kursi harimau. Petugas Li berkata dengan tatapan kejam, "Akan kuberi kau pelajaran karena tak mau bicara! Hari ini kau rasakan kursi harimau!" Lalu mereka mendorongku ke kursi itu dan memborgol tanganku di dalam lingkaran logam, dengan telapak tangan menghadap ke atas. Aku diposisikan duduk di kursi dengan tubuhku dimiringkan ke belakang, kakiku diregangkan dan ditekan ke bawah, dan borgol itu menusuk pergelangan tanganku dengan menyakitkan. Tanganku segera membengkak seperti balon, berubah menjadi warna keunguan dan sama sekali mati rasa. Hari itu berlalu. Tubuhku menjadi sedingin es dan tanganku makin membengkak. Aku makin khawatir dan ketakutan: jika ini terus berlanjut, apakah tanganku akan lumpuh? Dan jika demikian, bagaimana aku bisa bertahan hidup setelah ini? Makin kupikirkan, makin aku merasa tertekan. Aku tidak tahu kapan kesengsaraan ini akan berakhir. Aku berdoa, "Ya Tuhan, aku sangat menderita. Kumohon berilah aku kekuatan dan bimbingan untuk tetap teguh." Kemudian, aku teringat sesuatu yang Tuhan katakan: "Sementara mengalami ujian, normal bagi manusia untuk merasa lemah, atau memiliki kenegatifan dalam diri mereka, atau kurang memiliki kejelasan tentang maksud Tuhan atau jalan penerapan mereka. Namun dalam hal apa pun, engkau harus memiliki iman dalam pekerjaan Tuhan, dan seperti Ayub, jangan menyangkal Tuhan. ... Manusia membutuhkan iman selama masa-masa sulit dan selama pemurnian, dan iman adalah sesuatu yang diikuti oleh pemurnian; pemurnian dan iman tidak bisa terpisahkan" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Firman Tuhan memberiku kekuatan—melewati penderitaan dan penyiksaan ini, aku harus memiliki iman kepada Tuhan. Polisi menyiksaku, berusaha memanfaatkan kelemahan dagingku untuk membuatku menyerah, membuatku mengkhianati Tuhan. Tuhan juga menggunakan situasi ini untuk menyempurnakan iman dan tekadku untuk menahan penderitaan. Semuanya mutlak berada di dalam tangan Tuhan dan di bawah kendali-Nya, termasuk apakah tanganku akan cacat atau tidak. Aku harus percaya kepada Tuhan, dan mengandalkan-Nya untuk tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Nya. Pemikiran ini membuatku merasa lebih kuat, dan tanpa kusadari, rasa sakit di tanganku lenyap. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku!

Pagi itu, pada hari ketiga, polisi mulai lagi menginterogasiku. Salah seorang dari mereka menunjuk ke arahku dan berkata, "Jangan mengira kami tidak tahu apa-apa. Kami telah mengawasi rumahmu selama lebih dari dua bulan. Ada cukup banyak orang yang datang dan pergi!" Kemudian dia menceritakan pakaian apa yang dikenakan orang-orang yang pergi ke rumahku, tinggi badan mereka dan jenis sepeda apa yang mereka kendarai. Aku tertegun. Mereka telah mengawasi rumahku selama beberapa waktu, dan orang-orang yang mereka sebutkan semuanya adalah para pemimpin gereja atau diaken. Aku tidak boleh mengkhianati saudara-saudari, tetapi polisi sudah memahami situasinya dengan baik, dan mereka pasti tidak akan melepaskanku jika aku diam saja. Aku tidak tahu siksaan apa yang mereka siapkan untukku. Apa sebaiknya kuberi saja mereka sedikit informasi? Aku sudah ditahan selama tiga hari, jadi para saudariku pasti sudah mengetahuinya dan bersembunyi. Kupikir polisi tidak akan dapat menemukan mereka, jadi aku berkata, "Para pengunjung itu adalah saudari-saudariku." Lalu petugas itu bertanya, "Apakah mereka orang percaya?" Tanpa pikir panjang, aku berkata, "Mereka bukan orang percaya sejati." Tepat setelah aku mengatakan itu, polisi pergi keluar untuk menangkap saudari-saudariku. Aku merasa sangat bersalah. Bagaimana aku bisa mengakui bahwa mereka adalah orang percaya? Bukankah dengan mengkhianati saudari-saudariku agar bisa mengurangi penderitaanku membuatku menjadi Yudas? Jika mereka ditangkap dan kemudian saudara-saudari lainnya dilibatkan, bukankah itu akan menyebabkan kerugian yang lebih besar terhadap pekerjaan gereja? Dan meskipun kali ini mereka tidak tertangkap, polisi tidak mungkin membiarkan mereka bebas begitu saja. Mereka akan menjalani hidup dalam pelarian. Makin kupikirkan, makin buruk perasaanku, dan kemudian aku teringat firman dari Tuhan ini: "Terhadap mereka yang tidak menunjukkan kepada-Ku sedikit pun kesetiaan selama masa-masa kesukaran, Aku tidak akan lagi berbelas kasihan, karena belas kasihan-Ku hanya sampai sejauh ini. Lagi pula, Aku tidak suka siapa pun yang pernah mengkhianati Aku, terlebih lagi, Aku tidak suka bergaul dengan mereka yang mengkhianati kepentingan teman-temannya. Inilah watak-Ku, terlepas dari siapa pun orangnya. Aku harus memberi tahu engkau hal ini: siapa pun yang menghancurkan hati-Ku tidak akan menerima pengampunan dari-Ku untuk kedua kalinya, dan siapa pun yang telah setia kepada-Ku akan selamanya berada di hati-Ku" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Persiapkan Perbuatan Baik yang Cukup demi Tempat Tujuanmu"). Firman penghakiman Tuhan membuatku merasa lebih buruk. Watak benar Tuhan tidak menoleransi pelanggaran. Tuhan membenci dan menolak mereka yang mengkhianati-Nya. Aku telah mengkhianati dua saudariku, berperilaku seperti Yudas yang memalukan dan kehilangan kesaksianku. Aku membenci diriku sendiri karena begitu egois dan keji, tidak memiliki kemanusiaan. Aku berdoa dan bertobat kepada Tuhan di dalam hatiku, dan bersumpah bahwa bagaimanapun polisi menginterogasi dan menyiksaku, aku tidak mau lagi mengkhianati saudara atau saudariku. Malam itu, Petugas Li membawa 13 foto dan menyuruhku mengidentifikasi orang-orang di foto tersebut. Aku berkata aku tak mengenal satu pun dari mereka. Kemudian dia mengeluarkan foto saudari lainnya dan berkata, "Kau kenal dia, bukan? Dia berkata dia mengenalmu." Kupikir meskipun dia berkata dia mengenalku, aku tidak boleh mengatakan bahwa aku mengenalnya. Aku sudah memberi tahu mereka tentang dua saudariku, jadi aku tidak boleh mengkhianati yang lain dan membuat mereka disiksa sepertiku. Aku berkata dengan tegas, "Aku tak kenal dia." Petugas Li berteriak, "Jika kau tak buka mulut, rasakan akibatnya besok!"

Sore itu, pada hari keempat, seorang petugas masuk membawa empat papan, masing-masing memiliki tebal lebih dari 2,5 cm dan panjang sekitar 30 cm, lalu menutup kisi-kisi di jendela sehingga aku tidak bisa melihat apa pun di dalam ruangan. Jantungku berdegup kencang dan rasanya mau copot, dan kakiku menjadi lemas. Aku tidak tahu cara apa yang akan mereka gunakan untuk menyiksaku atau apakah aku sanggup menanggungnya atau tidak. Aku terus-menerus berseru kepada Tuhan dalam hatiku, memohon agar Dia melindungiku sehingga aku mampu tetap teguh. Beberapa waktu kemudian, enam petugas masuk, melepaskanku dari kursi harimau, dan memborgol tanganku ke belakang. Dua dari mereka berdiri di atas meja dan mengangkatku dengan menarik borgolku sambil berteriak, "Bicara! Siapa pemimpinmu?" Kakiku tidak menyentuh lantai dan kepalaku menghadap ke bawah; tubuhku tergantung di udara dan aku menahan rasa sakit. Melihatku tidak mengatakan apa pun, dua petugas mulai menggores sisi rusukku dengan paksa menggunakan papan, sementara dua petugas lainnya menggunakan papan itu untuk memukuli lengan dan kakiku dengan paksa. Rasanya dagingku tercabik dari tulang rusukku dan kakiku tercabik-cabik. Keringat bercucuran dari tubuhku karena rasa sakit. Sembari melakukan ini, mereka berkata, "Akan kami pukul kau lebih keras jika tak bicara!" Aku terus menahan rasa sakit dan tidak mengatakan apa pun. Beberapa petugas mengambil benda keras dan menusukkannya ke kuku-kuku kakiku, yang membuatku sangat kesakitan. Pada saat yang sama mereka menyorotkan cahaya yang kuat ke tanganku yang membuat tanganku terasa seperti terbakar, terbakar rasa sakit. Rasanya secara fisik aku tak tahan lagi, aku terus-menerus berseru kepada Tuhan, memohon agar Dia memberiku kekuatan. Ketika mereka kembali menarik borgolku ke atas, aku mendengar suara retakan dari lenganku dan berteriak kesakitan, dan baru setelah itulah mereka menurunkanku. Mereka membuatku tergantung di udara selama lebih dari satu jam. Setelah mereka menurunkanku, aku tak merasakan apa pun di kakiku dan aku tak mampu berdiri. Lengan dan kakiku lebam dan terasa sangat nyeri karena rasa sakit. Daging di sekitar tulang rusukku juga terasa seperti terbakar, dan sakitnya luar biasa. Aku rebah ke lantai tak mampu bergerak, merasa tak bertenaga dan tubuhku rasanya benar-benar remuk. Itu sangat menyakitkan. Pemikiran bahwa aku tidak tahu bagaimana polisi akan terus menyiksaku, atau apakah aku mampu menanggungnya atau tidak, membuatku merasa sengsara dan lemah. Aku ingin bunuh diri dengan menggigit lidahku agar setidaknya aku tidak mengkhianati saudara-saudariku. Aku menggigitnya dengan sangat keras, tetapi sangat menyakitkan sehingga aku tak sanggup melanjutkannya. Lalu kupikir, mungkin aku bisa memotong lidahku sehingga aku tidak bisa lagi berbicara. Aku berkata ingin pergi ke kamar kecil. Di kamar kecil, petugas yang mengawasiku mendengar suaraku menjulurkan lidah dan tersedak dan berkata, "Jangan lakukan hal bodoh," lalu membawaku kembali dan memborgolku lagi ke kursi harimau. Baru pada saat itulah aku sadar aku hampir melakukan sesuatu yang sangat bodoh, dan aku teringat sesuatu yang Tuhan katakan: "Selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). "Jangan berkecil hati, jangan lemah, dan Aku akan menjadikan segalanya jelas bagimu. Jalan menuju kerajaan tidaklah mulus; tidak ada yang sesederhana itu! Engkau ingin memperoleh berkat dengan mudah, bukan? Sekarang, semua orang akan mengalami ujian pahit yang harus dihadapi. Tanpa ujian semacam itu, hati yang mengasihi-Ku tidak akan tumbuh lebih kuat, dan engkau tidak akan memiliki kasih yang sejati bagi-Ku. Bahkan jika ujian itu hanya berupa peristiwa-peristiwa kecil, semua orang harus melewatinya; hanya saja tingkat kesulitan ujian-ujian itu berbeda-beda untuk masing-masing orang" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). Dari firman Tuhan, aku mengerti bahwa ketika menghadapi kekejaman setan, maksud Tuhan adalah untuk menyempurnakan iman dan kesetiaan kita, dan agar kita melihat dengan jelas bagaimana si naga merah yang sangat besar bekerja menentang Tuhan dan menganiaya manusia, sehingga kita membenci dan menolaknya dengan segenap hati dan tetap teguh dalam kesaksian kita bagi Tuhan di hadapan Iblis. Namun, imanku kepada Tuhan terlalu kecil, dan setelah mengalami sedikit siksaan, aku ingin menghindarinya melalui kematian. Bagaimana itu bisa menjadi kesaksian? Saat memikirkannya seperti itu, aku tidak lagi merasa sengsara, dan imanku menjadi lebih kuat. Bagaimanapun mereka menyiksaku, bahkan sampai napas terakhirku, aku ingin mengandalkan Tuhan, tetap teguh dalam kesaksianku untuk-Nya, dan mempermalukan Iblis. Aku tidak akan pernah mengkhianati saudara-saudariku ataupun mengkhianati Tuhan. Setelah aku memiliki tekad itu, polisi tidak lagi datang menginterogasiku. Melalui pengalaman ini, aku melihat kedaulatan dan kemahakuasaan Tuhan, dan menyadari bahwa si naga merah yang sangat besar hanyalah bidak di tangan-Nya. Dia adalah alat yang Tuhan pakai untuk menyempurnakan umat pilihan-Nya. Aku juga menyadari bahwa Tuhan ada di sisiku selama penyiksaan ini. Dia selalu menyertaiku, membimbingku dan membantuku dengan firman-Nya, memberiku iman dan kekuatan. Aku dapat merasakan kasih dan perlindungan Tuhan, dan aku bersyukur kepada-Nya dari lubuk hatiku.

Partai Komunis menghukumku tiga tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa karena "mengganggu ketertiban umum". Aku harus menjalani kerja paksa selama 12 sampai 14 jam setiap hari di kamp kerja paksa, dan harus bekerja lebih lama lagi jika aku tidak menyelesaikan tugasku. Aku ditugaskan bekerja di pabrik pestisida. Karena aku tak tahan mencium bau pestisida, aku mengalami sakit kepala dan mual setiap hari, dan tak bisa makan atau tidur nyenyak. Aku mengajukan permohonan untuk dipindahkan ke pabrik lain, tetapi polisi menolak pengajuanku. Aku benar-benar menderita pada waktu itu, dan ketika aku memikirkan bahwa aku harus menghabiskan tiga tahun di sana, lebih dari seribu hari, siang dan malam, aku tak tahu bagaimana aku akan melewatinya. Setiap kali aku dalam perjalanan ke tempat kerja dan melihat orang-orang di luar, bebas dan santai, sementara aku seperti burung dalam sangkar, aku merasa sangat sedih dan ingin menangis. Saudari lain yang bekerja di pabrik yang sama bersekutu denganku, dan kami secara diam-diam menyanyikan lagu pujian dari firman Tuhan "Nyanyian Para Pemenang" bersama-sama: "Pernahkah engkau semua menerima berkat-berkat yang diberikan kepadamu? Pernahkah engkau mencari janji-janji yang dibuat untukmu? Di bawah bimbingan terang-Ku, engkau semua pasti akan menerobos penindasan kekuatan kegelapan. Engkau pasti tidak akan kehilangan bimbingan dari terang-Ku di tengah kegelapan. Engkau pasti akan menjadi para penguasa atas seluruh ciptaan. Engkau pasti akan menjadi para pemenang di hadapan Iblis. Saat runtuhnya kerajaan si naga merah yang sangat besar, engkau pasti akan berdiri di tengah kerumunan orang yang tak terhitung jumlahnya sebagai bukti kemenangan-Ku. Engkau semua pasti akan berdiri teguh dan tak tergoyahkan di tanah Sinim. Melalui penderitaan yang kautanggung, engkau akan mewarisi berkat-berkat-Ku, dan pasti akan memancarkan kemuliaan-Ku ke seluruh alam semesta" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 19"). Menyanyikan lagu pujian ini membesarkan hatiku. Penganiayaan ini memberiku kesempatan untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan—ini adalah suatu kehormatan bagiku. Partai Komunis ingin menghancurkan tubuh dan pikiranku agar aku mengkhianati Tuhan karena tak sanggup menahan penderitaan. Aku tidak boleh tertipu oleh tipu muslihatnya. Betapapun menyedihkan atau sulitnya keadaanku, aku harus mengandalkan Tuhan, tetap teguh, dan mempermalukan Iblis. Sejak saat itu, pada malam hari, aku dan saudari itu secara diam-diam selalu menyanyikan lagu pujian firman Tuhan bersama-sama dan mempersekutukan firman Tuhan setiap kali ada kesempatan. Lambat laun, aku tidak lagi merasa begitu menderita.

Beberapa waktu kemudian, suamiku datang mengunjungiku, dan ketika kulihat dia tak mampu menggerakkan kakinya dengan bebas, aku sadar kesehatannya buruk. Setelah penangkapanku, suamiku tak nafsu makan dan sulit tidur, takut aku disiksa, dan akhirnya terkena penyakit serebrovaskular. Ketika dia pergi ke dokter, dokter itu berkata dia mengidap penyakit atrofi serebelar, yang membuat tubuhnya lumpuh sebagian. Ini memilukan bagiku, dan aku membenci Partai Komunis, gerombolan setan itu, dengan segenap hatiku. Jika bukan karena mereka menangkap dan menganiaya orang percaya, aku tak akan pernah ditangkap dan suamiku tidak akan jatuh sakit. Tak lama setelah itu, kakak iparku datang menemuiku dan memberitahuku bahwa kondisi suamiku makin parah, dan dia mengompol. Ini sangat menyedihkan, dan yang bisa kupikirkan hanyalah kapan aku akan keluar dari penjara sehingga bisa pulang ke rumah dan merawatnya. Kemudian, pada akhir tahun 2004, aku menerima sepucuk surat dari keluargaku yang memberi kabar bahwa kesehatan suamiku makin memburuk dan telah meninggal dunia. Membaca surat ini, aku merasa sepertinya langit telah runtuh. Aku sangat menderita. Tiang penopang keluarga kami telah pergi. Putra kami masih kuliah, dan aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Karena penganiayaan Partai Komunis, keluarga kami yang sangat harmonis hancur dan suamiku meninggal. Aku merasa sangat lemah dan tanpa sadar, aku merasakan keluhan muncul di dalam hatiku. Mengapa bencana selalu menimpaku? Mengapa Tuhan tidak melindungiku? Dalam penderitaanku, aku teringat firman dari Tuhan ini: "Jika engkau menuruti kelemahan daging, dan mengatakan bahwa Tuhan sudah keterlaluan, engkau akan selalu merasa kesakitan, dan akan selalu merasa sedih, dan engkau akan menjadi tidak jelas tentang semua pekerjaan Tuhan, dan akan tampak seolah-olah Tuhan sama sekali tidak bersimpati terhadap kelemahan manusia, dan tidak menyadari kesulitan manusia. Oleh karena itu, engkau akan merasa sangat sengsara dan kesepian, seolah-olah engkau telah mengalami ketidakadilan yang besar, dan pada saat seperti ini engkau akan mulai mengeluh" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Mengasihi Tuhan yang Berarti Sungguh-Sungguh Percaya kepada Tuhan"). Firman Tuhan menyingkapkan keadaanku. Ketika suamiku meninggal, aku tidak mencari maksud Tuhan, tetapi mengikuti keinginan dagingku. Aku merasa bahwa tanpa suamiku, tidak ada yang memelihara anak kami dan aku menyalahkan Tuhan. Aku benar-benar tak punya hati nurani! Jelas penganiayaan Partai Komunislah yang telah menghancurkan keluargaku dan membuat suamiku meninggal, tetapi aku malah menyalahkan Tuhan. Bukankah aku memutarbalikkan fakta dan sangat tidak masuk akal? Pada saat itu, aku sadar bahwa tingkat pertumbuhanku benar-benar rendah dan aku tidak memiliki iman yang sejati atau ketundukan sejati kepada Tuhan. Aku berdoa dalam hatiku, "Tuhan, disingkapkan dengan cara seperti ini, aku bisa melihat betapa memberontaknya diriku. Aku hanya memikirkan dagingku sendiri, dan sama sekali tidak memahami hati-Mu. Tuhan, kumohon bimbinglah aku untuk tunduk melewati situasi ini, dan untuk mengetahui maksud-Mu." Kemudian, firman Tuhan ini muncul di benakku: "Engkau adalah makhluk ciptaan—engkau tentu saja harus menyembah Tuhan dan mengejar kehidupan yang bermakna. Jika engkau semua tidak menyembah Tuhan tetapi hidup dalam dagingmu yang kotor, lalu bukankah engkau hanyalah binatang buas yang mengenakan pakaian manusia? Karena engkau adalah manusia, engkau harus mengorbankan dirimu bagi Tuhan dan menanggung semua penderitaan! Engkau harus dengan senang hati dan tanpa ragu-ragu menerima sedikit penderitaan yang engkau alami sekarang dan menjalani kehidupan yang bermakna, seperti Ayub dan Petrus. ... Engkau semua adalah orang-orang yang mengejar jalan yang benar dan yang mencari peningkatan. Engkau semua adalah orang-orang yang bangkit di negara si naga merah yang sangat besar, mereka yang Tuhan sebut orang benar. Bukankah itu kehidupan yang paling bermakna?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penerapan (2)"). Dengan merenungkan firman Tuhan, aku mengerti bahwa ditangkap karena imanku dan mengalami penderitaanku seperti itu berarti aku telah dianiaya demi kebenaran, dan ada makna dalam penderitaan itu. Melalui kesukaran ini, aku menyadari pemberontakan dan kerusakanku sendiri, serta tingkat pertumbuhanku yang sebenarnya. Aku mendapatkan pemahaman tentang esensi jahat si naga merah yang sangat besar—betapa dia membenci dan menentang Tuhan. Itulah kasih Tuhan bagiku. Aku teringat Ayub yang mengalami pencobaan yang begitu besar—semua ternak dan harta milik keluarganya dicuri, anak-anaknya meninggal, dan barah memenuhi sekujur tubuhnya. Namun, dia tidak menyalahkan Tuhan dan dia tidak mengatakan apa pun yang berdosa. Yang dia katakan pada akhirnya adalah, "Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub 1:21). Ayub menjadi kesaksian yang berkumandang bagi Tuhan. Aku benar-benar terharu, dan bertekad untuk mengikuti teladan Ayub, tetap teguh dalam kesaksianku untuk Tuhan sebesar apa pun penderitaanku. Menyadari hal ini, aku datang ke hadapan Tuhan dan memanjatkan doa penyerahan diri, siap menyerahkan semua yang berkenaan dengan keluargaku ke dalam tangan-Nya dan tunduk pada kedaulatan dan pengaturan-Nya.

Aku dibebaskan pada akhir Desember 2005. Putraku masih kuliah dan kehidupan kami sangat sulit, jadi aku harus bekerja. Namun sebulan kemudian, bosku berkata, "Polisi datang dan berbicara denganku dan berkata bahwa kau adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Mereka berkata aku harus memecatmu." Aku sangat marah mendengarnya. Aku telah dibebaskan dari penjara tetapi Partai Komunis tetap tidak melepaskanku—mereka tetap merampas hakku untuk bertahan hidup. Mereka benar-benar hina dan jahat! Putraku seharusnya bisa lulus pada tahun 2006, tetapi karena aku telah dihukum kerja paksa karena kepercayaanku, sekolah tidak mau mengeluarkan ijazahnya, dengan alasan dia telah gagal dalam sebuah mata kuliah, meskipun hanya kurang beberapa poin. Jadi, dia harus mengulang kuliah satu tahun. Namun, tahun berikutnya mereka kembali tidak mau mengeluarkan ijazah, dengan alasan yang sama. Melihat teman-teman sekelasnya yang lain belum lulus dalam dua atau tiga mata kuliah tetapi tetap diluluskan, dia bertanya kepada gurunya tentang hal itu, yang berkata, "Bukankah kau tahu bahwa ibumu adalah orang yang percaya kepada Tuhan?" Baru pada saat itulah kami menyadari bahwa universitas itu sedang mencari alasan untuk tidak memberinya ijazah karena kepercayaanku. Pada akhirnya, mereka hanya memberinya sertifikat kehadiran. Tanpa ijazah, akan sulit baginya untuk mencari pekerjaan, dan dia merasa sangat sedih. Dia hanya ingin tinggal di rumah sepanjang waktu dan bahkan tidak mau berbicara. Melihatnya begitu sedih benar-benar membuatku kesal. Setelah bertahun-tahun kuliah, dia dilibatkan karena aku pernah di penjara, dan akhirnya ijazahnya ditahan dan dia kesulitan mencari pekerjaan. Aku merasa agak lemah di dalam hatiku. Putraku juga adalah orang percaya, jadi kami berdoa dan membaca firman Tuhan bersama-sama, dan membaca bagian ini: "Iman dan kasih yang terbesar dituntut dari kita dalam tahap pekerjaan ini. Kita mungkin tersandung akibat kecerobohan yang paling kecil, karena tahap pekerjaan ini berbeda dari semua pekerjaan sebelumnya: yang sedang Tuhan sempurnakan adalah iman orang-orang, yang tidak dapat dilihat dan diraba. Yang Tuhan lakukan adalah mengubah firman menjadi iman, menjadi kasih, dan menjadi hidup. Orang-orang harus mencapai titik di mana mereka telah menanggung ratusan pemurnian dan memiliki iman yang lebih besar dari iman Ayub. Mereka harus menanggung penderitaan luar biasa dan segala macam siksaan tanpa pernah meninggalkan Tuhan. Ketika mereka tunduk sampai mati, dan memiliki iman yang besar kepada Tuhan, maka tahap pekerjaan Tuhan ini selesai" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Jalan ... (8)"). Karena aku telah ditangkap dan dianiaya oleh Partai Komunis, suamiku meninggal dan putraku tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Partai telah memotong sumber pendapatan kami dan ingin menggunakan keadaan ini untuk membuatku menyalahkan dan mengkhianati Tuhan. Namun, Tuhan menggunakan keadaan ini untuk menyempurnakan imanku. Jika aku tetap mampu mengikuti dan tunduk kepada Tuhan selama melewati begitu banyak penderitaan, itu akan memperlihatkan bahwa aku memiliki iman yang sejati. Partai Komunis ingin membuat kami tidak memiliki jalan untuk hidup, tetapi dengan mengandalkan Tuhan dalam hidup kami dan terus maju dengan pemeliharaan dan bimbingan-Nya, kami tetap mampu bertahan hidup. Setelah itu, aku dan putraku sering membaca dan mempersekutukan firman Tuhan bersama-sama, dan dia secara berangsur mampu keluar dari keadaannya yang tertekan. Dia berkata bahwa dia melihat dengan jelas bahwa semua penderitaan ini disebabkan oleh Partai Komunis; bahwa Partailah yang merusak kehidupan, sedangkan Tuhan mengaruniakan belas kasihan dan keselamatan; dan bahwa hanya Tuhan-lah yang mampu memberi kita terang, dan mengikuti Tuhan adalah jalan yang benar dalam hidup. Dia berkata dia ingin percaya dan mengikuti Tuhan dengan sungguh-sungguh. Setelah itu, kami berdua mencari sayuran liar dan jamur untuk dijual di pasar, sehingga kami dapat lebih siap menghadiri pertemuan dan melaksanakan tugas. Dengan cara demikian, tanpa terlalu banyak upaya, kami dapat memiliki cukup uang untuk bertahan hidup.

Setelah mengalami penangkapan dan penganiayaan oleh Partai Komunis, aku benar-benar melihat esensi Iblis dalam diri mereka—betapa mereka membenci dan menentang Tuhan. Mereka menyatakan menjamin kebebasan beragama, tetapi secara diam-diam melakukan penangkapan massal terhadap orang Kristen, menyiksa mereka dan menjebloskan mereka ke dalam penjara, sembari menindas dan menganiaya anggota keluarga mereka, menghancurkan tak terhitung banyaknya keluarga Kristen. Aku membenci mereka dan memberontak terhadap mereka dengan segenap hatiku—dan aku tahu bahwa aku sangat menentang mereka. Aku juga secara pribadi mengalami kasih Tuhan dan otoritas firman-Nya. Saat aku ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara, saat suamiku meninggal, saat putraku tidak bisa mendapatkan ijazah universitasnya, dan saat aku hidup dalam penderitaan tanpa jalan keluar, firman Tuhanlah yang memberiku iman dan kekuatan, dan menuntunku untuk mengalahkan kelemahan daging. Tanpa pemeliharaan dan perlindungan Tuhan, aku tidak akan pernah bisa bertahan hidup sampai hari ini. Aku benar-benar bersyukur atas kasih dan keselamatan Tuhan. Apa pun penindasan dan kesulitan yang kuhadapi kelak, aku akan mengikuti Tuhan sampai akhir.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Mengalahkan Pencobaan Iblis

Oleh Saudari Chen Lu, TiongkokIni terjadi pada bulan Desember 2012, saat aku berada di luar kota untuk menyebarkan Injil. Suatu pagi, saat...

Kebangkitan dari Penjara

Aku adalah mantan anggota veteran partai komunis. Dahulu keluargaku adalah petani miskin, tetapi pemerintah memberi kami tanah dan rumah...

Kurangi Ukuran Huruf
Tambah Ukuran Huruf
Masuk Layar Penuh
Keluar Layar Penuh