Alasan di Balik Tidak Mengambil Sikap

10 April 2022

Oleh Saudari Mu Xi, Korea

Beberapa waktu lalu, aku sangat tidak efisien dalam tugasku. Setiap mengerjakan proyek video, aku mengubahnya berkali-kali, yang sangat memengaruhi kemajuan pekerjaan. Awalnya, kupikir itu akibat kurangnya opiniku, karena setiap kali saudara-saudariku menyarankan revisi, aku tidak mengevaluasi apa itu dibutuhkan berdasarkan prinsip Dan hanya membuat perubahan yang disarankan. Beberapa saran tidak terlalu masuk akal, jadi harus terus dikerjakan ulang. Lalu, setelah dipangkas dan ditangani, menerapkan firman Tuhan, dan merenungkan diri, aku sadar ada watak jahat dan niat tercela di balik kurangnya ketegasanku.

Itu beberapa bulan lalu. Lalu, ada saudara-saudari yang selalu dengan congkak bersikeras, tidak bisa menerima saran orang lain, yang sangat memengaruhi kemajuan pekerjaan. Pemimpin kami beberapa kali bersekutu guna menyingkap mereka, tapi mereka tak berubah dan diberhentikan. Kupikir, "Jika nanti orang lain memberiku nasihat, aku tidak boleh bersikeras." Jadi, tiap kali menyelesaikan proyek video, saat semua orang memberi nasihat, aku hampir selalu menerimanya, meski itu masalah kecil dan opsional yang tidak perlu diubah. Aku sebenarnya berpikir beberapa perubahan tidak sejalan dengan prinsip, dan beberapa hanya revisi kecil, tapi aku takut jika tak menerimanya, pengawasku, saudara-saudariku akan membenciku. Akankah mereka pikir aku congkak dan tidak bisa menerima nasihat? Jika citraku buruk di mata orang, aku tidak bisa menerima kebenaran, apa aku akan langsung diberhentikan? Lagi pula, aku tidak sepenuhnya yakin dengan pendapatku. Jika aku salah dan tidak membuat perubahan yang diperlukan, jika ditemukan masalah setelah videonya tayang, aku akan bertanggung jawab. Setelah memikirkannya, untuk berjaga-jaga, aku melakukan semua revisi yang disarankan. Kadang aku dengar beberapa saran, jadi aku membuat beberapa versi dan minta pengawasku memutuskan yang terbaik, atau saat diskusi kerja, aku bicarakan dengan saudara-saudari dan memutuskan bersama. Kupikir, "Pengawasku dan mayoritas saudara-saudari yang membuat keputusan ini. Ini pendapat mayoritas, jadi seharusnya tidak ada masalah besar. Ini cara yang paling aman. Jika nanti terjadi kesalahan, itu bukan tanggung jawabku sendiri." Kadang aku menerima banyak saran dan tidak yakin bagaimana merevisinya, jadi aku menghubungi pengawasku, meminta bantuan memutuskan arah. Kadang aku mendengar terlalu banyak nasihat, dan akhirnya tidak tahu harus bagaimana, yang berarti aku sangat tidak efisien. Dalam diskusi kerja, permintaan tanpa henti kepada saudara-saudari untuk membantuku memutuskan di antara berbagai saran menyita waktu tugas mereka dan memperlambat kemajuan pekerjaan.

Suatu kali, aku membuat gambar latar belakang video. Itu harus mencerminkan penderitaan orang yang hidup dalam dosa, jadi aku membuat gambar bernada gelap dengan cahaya latar. Beberapa saudara-saudari pikir itu terlalu gelap dan tidak menarik, menyarankan gambarnya dicerahkan serta ditambahkan efek cahaya dan bayangan. Aku ragu dengan saran ini. Mengingat temanya, gambar yang terlalu cerah tidak sesuai dengan suasana orang yang hidup dalam kegelapan, dan menambah kecerahan akan melanggar hukum objektif, menurutku saran itu tidak masuk akal. Namun, kupikir karena ini disarankan beberapa orang, jika aku tidak melakukannya dan itu memengaruhi video setelah tayang, itu tanggung jawabku. Saat memutar otak, kulihat pemimpin juga setuju dengan revisi itu, jadi aku mulai berkompromi. Jika aku mengajukan pandanganku dan tidak menyetujui revisi, akankah semua orang pikir aku bersikeras pada pandanganku? Akankah mereka pikir aku berdalih tidak mengubahnya karena itu merepotkan? Jadi, kuputuskan untuk mengubahnya. Jika ada masalah, itu bukan tanggung jawabku sendiri, karena aku membuat perubahan berdasarkan saran semua orang. Aku jelas-jelas merasa perubahan ini tidak pantas, tapi masih menghabiskan waktu mengubah gambar itu. Aku terkejut saat, setelah selesai, pengawas mengevaluasinya berdasarkan prinsip dan efek yang relevan, berkata itu tidak realistis dan aku harus mengubahnya kembali. Dia juga bilang aku pasif dalam tugas belakangan ini, tak berpendapat tentang saran orang lain, dan menghambat kemajuan pekerjaan, lalu dia memintaku merenungkan diri. Setelah itu, aku lama tidak bisa menenangkan diri dan merasa sangat bersalah. Kuhabiskan sangat banyak waktu mengubah gambar itu dan kini harus mengembalikannya ke semula, yang menunda kemajuan pekerjaan. Aku sadar selama masa ini, setiap kali menghadapi berbagai saran, aku sebenarnya punya pendapat sendiri, tapi agar orang tak menyebutku congkak, aku tidak mengutarakan pendapat. Saat menghadapi ketidakpastian, aku tak mencari prinsip kebenaran, hanya menunggu orang lain memutuskan untukku dan melakukan semua menurut perintah orang lain. Melakukan tugasku seperti ini terlalu pasif dan menghambat pekerjaan rumah Tuhan. Aku berdoa di hadapan Tuhan, meminta-Nya membimbingku merenungkan diri.

Kemudian, aku menonton video pembacaan firman Tuhan. "Orang-orang yang boleh melaksanakan tugas di rumah Tuhan haruslah mereka yang bebannya adalah pekerjaan gereja, yang bertanggung jawab, yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran, yang menderita dan membayar harga. Kekurangan dalam area-area ini berarti tidak layak untuk melaksanakan tugas dan tidak memenuhi syarat untuk pelaksanaan tugas. Ada banyak orang yang takut memikul tanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Ketakutan mereka terwujud dalam tiga cara utama. Yang pertama, mereka memilih tugas yang tidak menuntut tanggung jawab. Jika seorang pemimpin gereja mengatur agar mereka melaksanakan sebuah tugas, mereka pertama-tama bertanya apakah mereka harus bertanggung jawab untuk itu: jika harus bertanggung jawab, mereka tidak mau menerimanya; jika tugas itu tidak menuntut mereka untuk bertanggung jawab, mereka menerimanya dengan enggan, tetapi tetap harus melihat apakah pekerjaan itu melelahkan, menyusahkan atau tidak, dan sekalipun mereka menerima tugas itu dengan enggan, mereka tidak termotivasi untuk melaksanakannya dengan baik, tetap memilih bersikap ceroboh dan asal-asalan. Kenyamanan, tidak bekerja keras, dan tidak ada kesulitan fisik—inilah prinsip mereka. Yang kedua, ketika kesulitan menimpa mereka atau mereka menghadapi masalah, upaya pertama mereka adalah melaporkannya kepada pemimpin dan meminta pemimpin untuk menangani dan menyelesaikannya, dengan harapan dia dapat membuat mereka merasa tenang dan santai. Mereka tidak peduli bagaimana pemimpin menangani masalah ini dan tidak memedulikan hal ini—selama mereka tidak harus mempertanggungjawabkannya, maka semuanya baik-baik saja bagi mereka. Apakah pelaksanaan tugas seperti itu setia kepada Tuhan? Ini disebut mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain, pengabaian terhadap tugas, malas. Ini hanyalah pengerahan tenaga, tanpa ada kesungguhan di dalamnya. Mereka berkata, 'Jika ini adalah tugasku yang harus kutangani, bagaimana jika akhirnya aku melakukan kesalahan? Bukankah aku yang akan ditangani? Bukankah aku orang pertama yang harus bertanggung jawab untuk itu?' Inilah yang mereka khawatirkan. Namun, apakah engkau percaya bahwa Tuhan dapat menyelidiki hal-hal ini? Semua orang melakukan kesalahan. Jika seseorang yang niatnya benar belum punya pengalaman dan belum pernah menangani hal semacam itu sebelumnya, tetapi mereka telah melakukan yang terbaik, itu terlihat oleh Tuhan. Engkau harus percaya bahwa Tuhan memeriksa segala sesuatu dan hati manusia. Jika orang bahkan tidak memercayai hal ini, bukankah mereka adalah orang tidak percaya? Apa gunanya orang semacam itu melaksanakan tugas? Ada satu cara lagi di mana ketakutan seseorang untuk mengambil tanggung jawab terwujud: mereka hanya melakukan sedikit pekerjaan yang remeh dan sederhana, pekerjaan yang tidak memerlukan tanggung jawab. Pekerjaan yang mengandung kesulitan dan memerlukan tanggung jawab, mereka lemparkan kepada orang lain, dan jika terjadi kesalahan, mereka melemparkan kesalahan kepada orang-orang itu dan menjauhkan diri mereka dari masalah. ... Dan apa akibatnya jika para pemimpin dan pekerja tetap meminta mereka melaksanakan tugas? Mereka akan menghancurkan pekerjaan gereja. Orang-orang semacam itu tidak dapat dipercaya atau diandalkan; mereka hanya melaksanakan tugas mereka untuk mendapatkan makanan di mulut mereka. Haruskah pengemis seperti ini disingkirkan? Harus. Rumah Tuhan pasti tidak pernah menginginkan orang-orang semacam itu" ("Mereka Akan Membuat Orang Lain Hanya Taat kepada Mereka, Bukan kepada Kebenaran atau Tuhan (Bagian Satu)" dalam "Menyingkapkan Antikristus"). Firman Tuhan menyingkap keadaanku. Aku merenungkan kinerja tugasku selama masa ini. Saat menerima banyak nasihat, aku tahu beberapa di antaranya tidak pantas. Beberapa revisi bertentangan dengan prinsip, beberapa tidak perlu. Namun, aku takut tidak mendengarkan nasihat semua orang, karena jika terjadi kesalahan, aku harus bertanggung jawab sendirian. Aku juga takut mempertahankan pandanganku akan memberi kesan buruk bahwa aku congkak dan tidak bisa menerima kebenaran, jadi aku memenuhi selera dan pendapat semua orang, membuat perubahan apa pun yang disarankan orang lain, bahkan terus merevisi dan membuat beberapa versi, lalu menunggu pengawas dan saudara-saudari untuk memutuskan. Aku tidak pernah mencari prinsip kebenaran atau memutuskan karena takut disalahkan. Kupikir cara bekerja ini lebih aman, karena jika itu keputusan kelompok, kecil kemungkinan terjadi masalah, dan kalaupun ada masalah, aku tidak akan sendirian. Dari luar, aku selalu sibuk dengan tugasku, juga melindungi pekerjaan rumah Tuhan, tapi sebenarnya aku memikirkan kepentinganku dalam segala hal. Aku memikirkan cara melindungi diri sendiri dan menghindari tanggung jawab. Bukankah aku hanya bermuslihat? Melakukan tugas seperti ini hanyalah menyerahkan tenagaku dan melakukan yang diperintahkan. Aku tidak pernah khawatir atau memikirkan apa pun. Aku tidak bertanggung jawab dalam tugas dan tidak memikirkan kepentingan rumah Tuhan. Aku sungguh tak punya kemanusiaan. Mereka yang tulus menjalankan tugas, memikirkan kepentingan rumah Tuhan dalam segala hal, saat menghadapi masalah yang tidak dimengerti, mereka mencari kehendak Tuhan dan prinsip kebenaran, serta sehati dengan Tuhan dalam tugas mereka. Namun, aku? Aku benar-benar tidak tulus dan masa bodoh dalam tugasku. Aku seperti upahan, hanya menunggu diperintah melakukan sesuatu. Aku tidak berusaha menyelesaikan masalah dengan prinsip. Melakukan tugas seperti ini, aku tidak ada hubungannya dengan Tuhan atau kebenaran. Aku hanya bekerja sekenanya, bahkan tidak bisa disebut pelaku pelayanan.

Aku teringat kutipan lain firman Tuhan, "Standar apa yang digunakan untuk menilai apakah perbuatan seseorang itu baik atau buruk? Itu tergantung pada apakah engkau, dalam pemikiran, ungkapan, dan tindakanmu, memiliki kesaksian dalam hal menerapkan kebenaran dan hidup dalam kenyataan kebenaran atau tidak. Jika engkau tidak memiliki kenyataan ini atau tidak hidup di dalamnya, engkau pastilah seorang pelaku kejahatan. Bagaimana Tuhan memandang pelaku kejahatan? Pemikiran dan tindakan lahiriahmu tidak menjadi kesaksian untuk Tuhan, juga tidak mempermalukan atau mengalahkan Iblis; sebaliknya, pemikiran dan tindakan lahiriahmu mempermalukan Tuhan, dan penuh dengan tanda-tanda yang menyebabkan Tuhan menjadi malu. Engkau tidak bersaksi bagi Tuhan, tidak mengorbankan dirimu untuk Tuhan, engkau juga tidak memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu kepada Tuhan; sebaliknya, engkau bertindak demi kepentinganmu sendiri. Apa arti dari 'demi kepentinganmu sendiri'? Demi Iblis. Karena itu, pada akhirnya, Tuhan akan berkata, 'Pergilah daripada-Ku, engkau yang melakukan kejahatan.' Di mata Tuhan, engkau belum melakukan perbuatan baik, tetapi sebaliknya, perilakumu telah berubah menjadi jahat. Alih-alih mendapatkan perkenanan Tuhan, engkau akan dikutuk. Apa yang ingin diperoleh orang yang percaya kepada Tuhan seperti ini? Bukankah kepercayaan seperti itu pada akhirnya akan sia-sia?" ("Serahkanlah Hatimu yang Sejati kepada Tuhan, maka Engkau Dapat Memperoleh Kebenaran" dalam "Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Firman Tuhan membuatku paham. Dia mengamati hati semua orang. Dia tidak melihat sebanyak apa pekerjaan atau penderitaan kita. Namun, apakah niat orang dalam tugas mereka adalah demi Tuhan atau diri sendiri dan apakah mereka punya kesaksian menerapkan kebenaran dalam tugas mereka. Jika selalu berusaha memuaskan diri sendiri dalam tugas, ini adalah kejahatan di mata Tuhan, dan Tuhan membencinya. Dari firman Tuhan, aku tahu pikiranku saat melakukan tugas adalah demi diriku. Untuk menghindari tanggung jawab, berapa pun waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki masalah tak relevan itu, aku merevisi gambar berulang kali. Aku menentang kemauanku untuk membuat revisi yang tidak pantas, sehingga videonya bertambah buruk. Aku menghambat pekerjaan rumah Tuhan, tapi tidak pernah merasa khawatir atau cemas, juga tidak berusaha lebih efisien dengan mencari prinsip kebenaran. Aku hanya bekerja sekenanya, kupikir asalkan menyelesaikan revisi dan semua orang setuju, maka beres. Perilakuku yang tak bertanggungjawab tak bisa disebut melakukan tugas, itu tidak menghasilkan perbuatan baik, itu kejahatan. Ini adalah masa penting bagi rumah Tuhan untuk menyebarkan Injil, dan video ini harus segera disebarluaskan secara daring, agar makin banyak orang yang mendambakan penampakan Tuhan bisa tercerahkan setelah menontonnya, lalu mempelajari pekerjaan Tuhan pada akhir zaman. Namun, karena watak rusakku, aku mengulangi pekerjaan dan menunda pengunggahan. Untuk melindungi kepentinganku, aku berulang kali menghambat pekerjaan rumah Tuhan, aku bertindak sebagai hamba Iblis dan mengganggu pekerjaan rumah Tuhan! Setelah menyadari ini, aku takut. Aku segera berdoa kepada Tuhan, meminta bimbingan-Nya agar mengubah sikapku terhadap tugas dan memperbaiki watak rusakku.

Setelah itu, saat menghadapi banyak saran dalam tugasku, aku pertama-tama berdoa kepada Tuhan dan mencari, menganalisis perubahan mana yang perlu dan tidak perlu, lalu memikirkan cara meningkatkan efisiensiku untuk mendapat hasil lebih baik. Untuk saran perubahan yang tidak perlu, aku menyampaikan pendapatku berdasarkan prinsip yang kupahami, mencari dan bersekutu dengan semua orang, lalu beberapa pendapatku diterima. Menerapkan ini membuatku sedikit lebih efisien dalam tugas. Kupikir aku sudah berubah, tapi saat waktu mengambil tanggung jawab tiba, aku mulai pasif lagi.

Suatu kali, aku membuat video vinyet, dan semua orang punya pendapat berbeda tentang detail gambar itu. Setelah berdiskusi dan berkomunikasi, kami masih belum memutuskan cara memodifikasinya, kami cukup lama menemui jalan buntu. Sebenarnya, aku tahu untuk vinyet, asalkan terlihat bagus, proporsi karakter dan gambarnya tidak mengganggu realitas objektif, tidak perlu terjebak pada detail. Namun, setelah mendengar begitu banyak saran, aku tidak tahu harus berbuat apa. Jika mengubah sesuatu berdasarkan ideku sendiri, bagaimana jika ada masalah setelah videonya diunggah? Itu akan menjadi tanggung jawabku. Aku takut bertanggung jawab karena melakukan kesalahan, jadi aku membuat beberapa versi berdasarkan saran semua orang dan menunggu semua orang memberiku keputusan akhir, tapi akhirnya, tidak ada yang memberiku jawaban jelas. Hari demi hari berlalu, aku makin cemas. Bukankah aku menghambat kemajuan video lagi? Aku sangat khawatir, jadi aku bertanya kepada diriku, "Mengapa begitu sulit membuat keputusan? Mengapa rasanya tanganku terikat dan aku tidak bisa melepaskannya?" Aku berdoa di hadapan Tuhan untuk mencari, Meminta-Nya membimbingku merenungkan dan mengenal diriku.

Kemudian, aku membaca sebuah kutipan firman Tuhan. "Ketika masalah-masalah muncul saat engkau semua melaksanakan tugasmu, engkau cenderung mengabaikannya, dan bahkan mungkin mencari berbagai dalih dan alasan untuk menghindari tanggung jawab; ada beberapa masalah yang mampu kauselesaikan, tetapi tidak kauselesaikan, dan masalah yang tidak mampu kauselesaikan, engkau juga tidak melaporkannya kepada atasanmu—seolah-olah masalah-masalah itu tak ada kaitannya dengan dirimu. Bukankah ini adalah pengabaian terhadap tugasmu? Apakah memperlakukan pekerjaan gereja dengan cara demikian adalah hal yang bijak atau hal yang bodoh untuk dilakukan? (Bodoh.) Bukankah pemimpin dan pekerja semacam itu adalah orang yang curang, bukankah mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab? Seseorang yang mengabaikan masalah di depannya: bukankah orang seperti ini tidak berperasaan, orang yang licik? Orang yang licik adalah orang yang paling bodoh. Engkau harus menjadi orang yang jujur, dan harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap masalah yang kauhadapi; jika engkau licik, maka ketika menghadapi masalah, engkau akan mengabaikannya dan berusaha menghindari tanggung jawab. Jika engkau licik di antara orang-orang tidak percaya dan sesuatu terjadi padamu, engkau tidak akan mampu berdiri teguh; jika engkau licik di rumah Tuhan, bagaimana mungkin Tuhan tidak membencimu? Dapatkah rumah Tuhan membiarkan hal ini berlalu begitu saja? Tuhan menyukai orang yang jujur; Dia tidak menyukai orang yang licik. Tidak ada yang perlu ditakutkan menjadi sedikit bodoh, tetapi yang pasti orang harus bersikap jujur. Orang yang jujur bertanggung jawab; mereka tidak memikirkan diri mereka sendiri; pikiran mereka sederhana; dan ada kejujuran dan kebajikan di dalam hati mereka, seperti baskom berisi air jernih yang dengan sekilas pandang pun terlihat dasarnya. Meskipun engkau selalu menyamarkan, menyembunyikan dan menutupi dirimu sendiri, mengemas dirimu begitu rapat sehingga orang lain tidak dapat melihat apa yang ada di dalam hatimu, Tuhan tetap dapat memeriksa hal-hal terdalam di hatimu. Ketika Tuhan melihat bahwa engkau bukan orang yang jujur, melainkan orang yang licik, tidak pernah menyerahkan hatimu kepada-Nya, selalu berusaha mengelabui-Nya, Dia tidak akan menyukaimu dan tidak akan menginginkanmu. Semua orang sukses di antara orang-orang tidak percaya—orang-orang yang pandai berbicara dan berpikir cepat—orang macam apakah mereka? Apakah ini jelas bagimu? Apa esensi mereka? Dapat dikatakan bahwa mereka semua adalah orang yang sangat licin dan licik, mereka semua sangat lihai, mereka licik, mereka benar-benar adalah Iblis si setan. Mungkinkah Tuhan menyukai orang-orang semacam itu? (Tidak.) Tuhan paling membenci setan—apa pun yang kaulakukan, engkau semua tidak boleh menjadi orang-orang semacam ini. Mereka yang selalu berhati-hati dan mempertimbangkan semua ucapan mereka dari berbagai sudut, yang melihat ke arah mana angin bertiup dan licik dalam menangani urusan mereka—Kukatakan kepadamu, Tuhan paling membenci orang-orang semacam itu. Jadi, akankah Tuhan tetap memberkati atau mencerahkan orang semacam itu? Tidak—tentu saja tidak. Tuhan menganggap orang-orang semacam itu sejenis dengan binatang. Mereka mengenakan kulit manusia, tetapi esensi mereka adalah esensi Iblis si setan. Mereka adalah mayat hidup yang sama sekali tidak akan Tuhan selamatkan. Apakah menurutmu orang semacam ini sebenarnya cerdas, atau apakah mereka bodoh? Mereka adalah orang paling bodoh. Mereka licik. Tuhan tidak menginginkan orang semacam ini. Dia mengutuk mereka. Harapan apa yang orang semacam itu miliki dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan? Kepercayaan mereka kehilangan makna penting, dan mereka ditakdirkan untuk tidak mendapatkan apa pun. Jika, selama kepercayaan mereka kepada Tuhan, orang tidak mengejar kebenaran, maka seberapa pun lamanya mereka telah menjadi orang percaya; pada akhirnya, mereka tidak akan mendapatkan apa pun" (Mengenali Para Pemimpin Palsu (8)). Firman Tuhan menyingkap keadaanku. Aku selalu ragu saat menghadapi banyak saran, takut bertanggung jawab atas kesalahan, dan selalu berusaha melindungi diriku, karena dikendalikan racun iblis seperti "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri," "Lindungi dirimu, jangan sampai disalahkan," dan "Hukum tidak bisa ditegakkan jika semua orang adalah pelanggarnya." Saat menghadapi banyak saran, aku punya pendapat, tapi tak mengutarakan dan mencari tepat waktu, lalu bersikeras mengikuti saran orang lain agar tak bertanggung jawab atas masalah dan aku tidak akan ditangani. Dari luar, aku tampak terbuka pada nasihat orang, bisa menerima dan menerapkan saran, yang mengesankan aku bisa menerima kebenaran. Sebenarnya, di balik ini ada niat jahat, licik, dan tercelaku. Aku merenungkan sikapku, dan bagaimana setiap kali bertanggung jawab atas sesuatu, aku memikirkan diri sendiri. Kadang saat orang lain punya masalah dan meminta nasihatku, aku akan menebak pikiran dan pendapat orang lain, jika itu sejalan dengan pendapatku, aku memakainya sebagai dasar dan menambahkan saranku sendiri, tapi jika berbeda, aku tidak ingin berbagi pendapatku karena takut jika aku salah dan muncul masalah, aku harus bertanggung jawab, jadi aku hanya bicara samar dan tak serius. Kulihat hidup berdasarkan filosofi iblis ini membuatku sangat licik dan penuh tipu daya, aku tidak pernah bisa dengan jelas mengemukakan sudut pandangku, tak punya prinsip atau sikap, caraku bicara dan bertindak membingungkan orang, serta membuat pandanganku sulit dipahami. Aku bahkan berpikir cara ini lebih pintar, agar tidak perlu menanggung konsekuensi apa pun, aku tidak akan ditangani dan diberhentikan. Aku tidak tahu bahwa aku memperdaya Tuhan dan saudara-saudariku, bahwa aku orang paling licik. Aku membuat Tuhan benci dan jijik, Tuhan tidak menyelamatkan orang sepertiku. Meskipun bisa menipu saudara-saudari, Tuhan mengamati hatiku. Jika terus menipu Tuhan seperti ini, tidak bertanggung jawab dalam tugasku, hanya bekerja sekenanya, dan menolak fokus mencari prinsip kebenaran, pada akhirnya, aku tidak akan mendapatkan kebenaran, lalu pasti akan dikutuk dan disingkirkan. Kulihat aku terlalu percaya diri. Aku sangat bodoh! Baru setelah menyadari ini, aku mulai merasa takut. Aku benar-benar ingin bertobat kepada Tuhan. Aku tidak bisa terus begini.

Kemudian, aku membaca sebuah kutipan firman Tuhan, "Di rumah Tuhan, engkau harus memahami prinsip dari setiap tugas yang kaulaksanakan, apa pun tugas itu. Mampu menerapkan kebenaran berarti bertindak berdasarkan prinsip. Jika ada sesuatu yang tidak jelas bagimu, jika engkau tidak yakin apa yang tepat untuk kaulakukan, gunakanlah persekutuan untuk mencapai permufakatan. Setelah ditentukan apa yang paling bermanfaat bagi pekerjaan gereja dan bagi saudara-saudari, lakukanlah itu. Jangan terikat aturan, jangan menunda, jangan menunggu, jangan menjadi pengamat pasif. Jika engkau selalu menjadi pengamat, dan tak pernah memiliki pendapat sendiri, jika engkau selalu menunggu orang lain mengambil keputusan sebelum melakukan apa pun dan, ketika tak seorang pun telah mengambil keputusan, engkau berlambat-lambat dan menunggu, maka apa konsekuensinya? Konsekuensinya adalah engkau mengacaukan setiap pekerjaan dan tidak menyelesaikan apa pun. Jika pekerjaan itu adalah sesuatu yang jelas bagimu, dan semua orang mengatakan pekerjaan itu baik, dan setuju untuk melakukannya seperti ini, dan mengatakan bahwa pekerjaan ini harus dilakukan, dan tidak ada keraguan bahwa pekerjaan ini dibimbing oleh Tuhan, maka seperti inilah engkau harus melakukannya. Jangan takut memikul tanggung jawab untuk hal ini, atau takut menyinggung orang lain, atau takut pada konsekuensi yang mungkin terjadi. Jika orang tidak melakukan apa pun yang nyata dan selalu membuat perhitungan, serta takut memikul tanggung jawab, dan tidak melakukan pekerjaan nyata, itu memperlihatkan bahwa mereka memiliki terlalu banyak rencana jahat. Betapa tidak adilnya jika ingin menikmati kasih karunia dan berkat Tuhan tetapi tidak melakukan apa pun yang nyata. Tuhan paling benci kepada orang yang penuh tipu daya dan licik seperti itu. Apa pun yang kaupikirkan, jika engkau tidak menerapkan kebenaran, engkau tidak memiliki kesetiaan, dan pertimbangan pribadimu selalu terlibat, dan engkau selalu memiliki pemikiran dan gagasanmu sendiri, Tuhan melihat, Tuhan mengetahui, dan jika engkau tidak segera bertobat, Dia akan meninggalkanmu" ("Bagian Terpenting dari Percaya kepada Tuhan adalah Menerapkan Kebenaran" dalam "Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). "Apa ungkapan dari orang yang jujur? Pertama adalah tidak memiliki keraguan terhadap firman Tuhan. Ini adalah salah satu ungkapan dari orang yang jujur. Selain itu, ungkapan terpenting dari orang yang jujur adalah mencari dan menerapkan kebenaran dalam segala hal; inilah yang terpenting dari semuanya. Jika engkau mengatakan bahwa engkau jujur, tetapi engkau selalu mengesampingkan firman Tuhan dan melakukan apa pun yang kauinginkan, apakah ini adalah ungkapan dari orang yang jujur? Engkau berkata, 'Kualitasku rendah, tetapi aku memiliki hati yang jujur.' Namun, ketika engkau menerima sebuah tugas, engkau takut bahwa tugas itu mungkin melelahkan atau engkau tidak dapat melakukannya dengan baik, dan karenanya engkau mencari-cari alasan untuk menghindarinya dan merekomendasikan orang lain untuk melakukannya. Apakah ini ekspresi dari seseorang yang jujur? Jelas tidak. Bagaimanakah seharusnya orang yang jujur bersikap? Mereka harus menerima dan menaati, dan kemudian sungguh-sungguh mengabdikan diri dalam melakukan tugas mereka dengan sebaik mungkin, berjuang untuk memuaskan kehendak Tuhan. Mengapa melakukan hal ini? Dalam hal ini ada beberapa aspek dari ekspresi tersebut. Salah satu aspeknya adalah engkau harus menerima tugasmu dengan hati yang jujur, tulus, tidak memikirkan tentang kepentingan dagingmu, dan pikiran tidak mendua, berkomplot demi kepentinganmu sendiri—inilah ungkapan kejujuran itu. Cara lainnya adalah melaksanakan tugasmu dengan segenap hati dan segenap kekuatanmu, melakukan segala sesuatu dengan benar, mengerahkan segenap hati dan kasihmu dalam pelaksanaan tugasmu untuk memuaskan Tuhan. Inilah yang harus diungkapkan ketika orang yang jujur melaksanakan tugasnya" ("Hanya dengan Menjadi Orang yang Jujur, Orang Bisa Benar-Benar Bahagia" dalam "Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Dari firman Tuhan, kulihat Tuhan mengasihi orang yang jujur. Tidak jadi masalah meski kau bodoh dan berkualitas rendah. Kuncinya adalah punya hati yang benar dan jujur, tidak menyimpan pendapat, membicarakan yang kau pikirkan, mencari dan bersekutu dengan orang lain tentang hal yang tidak dimengerti, bertindak sesuai prinsip, melakukan yang bermanfaat bagi pekerjaan rumah Tuhan, dan setia dalam tugasmu. Lakukan ini, Tuhan pun puas. Tuhan mengamati hati manusia. Jika kita berusaha yang terbaik, meski terkadang membuat kesalahan karena kualitas rendah atau tidak memahami kebenaran, masih ada pelajaran yang bisa dipetik. Selama bisa menerima kebenaran, mencari kebenaran, dan menyelesaikan masalah tepat waktu, makin lama, kita akan makin sedikit menyimpang, secara bertahap menguasai prinsip, dan melakukan tugas dengan baik. Rumah Tuhan tidak menghukum orang dan meminta pertanggungjawaban mereka atas satu kesalahan. Setelah memahami ini, aku merasa jauh lebih lega.

Kemudian, aku membuka diri dan bersekutu dengan seorang saudari tentang keadaanku selama masa ini, lalu dia membantuku dengan sangat sabar. Melalui pencarian dan persekutuan bersama, kuubah pandangan keliru yang selalu kumiliki. Sebelumnya, aku selalu khawatir jika tak menerima nasihat orang lain, lalu memberikan pandangan dan pendapat berbeda, orang lain akan berpikir aku congkak dan tidak menerima kebenaran. Sebenarnya, aku tidak bisa membedakan antara kecongkakan dan menjunjung prinsip. Menjunjung prinsip berarti, dengan mencari kebenaran, menentukan penerapan yang sesuai dengan prinsip dan melindungi kepentingan gereja, terus menjunjungnya dan tidak berkompromi saat orang lain keberatan atau mengangkat masalah. Meskipun dari luar terlihat mirip dengan kecongkakan, itu menjunjung kebenaran dan adalah hal positif, sedangkan kecongkakan selalu merasa lebih unggul dari yang lain, meyakini pendapat dan ide sendiri benar; saat orang lain mengemukakan sudut pandang berbeda, dia teguh pada pendirian tanpa mencari atau merenung, dan bersikeras yang salah itu benar. Semua pendapat ini berasal dari penilaian mereka sendiri, dan tidak punya dasar prinsip. Meski begitu, mereka menuntut orang mendengarkan dan menuruti mereka. Inilah watak jahat, manifestasi dari kecongkakan. Aku teringat saudara-saudari yang dipecat sebelumnya. Mereka bersikeras semua berjalan sesuai keinginan mereka, tidak menganggap serius saran saudara-saudari mereka atau merenungkannya, selalu memperjuangkan pandangan sendiri, tidak mau merevisi dan memperbaiki. Hal yang mereka desak tidak pernah sejalan dengan prinsip, hanya pemikiran dan preferensi pribadi. Inilah manifestasi dari kecongkakan. Saat mendengar banyak pendapat, aku merasa beberapa saran tidak pantas, tapi jika aku bisa mengevaluasinya menurut prinsip dan mengutarakan pandanganku, ini bukan kecongkakan, tapi menjunjung prinsip kebenaran. Terkadang, saat tidak sepenuhnya memahami masalah atau tidak bisa mencerna sesuatu, jika aku bisa mengungkapkan pendapatku, mencari, dan bersekutu dengan orang lain, ini bukan dengan congkak bersikeras atas caraku, itu adalah mencari tahu prinsip sebelum bertindak, bersikap serius, dan bertanggung jawab dalam tugasku. Begitu memahami kebenaran ini, aku merasa sangat lega.

Lalu, saat menerima terlalu banyak saran dalam tugasku, aku minta ketenangan kepada Tuhan dan mencari prinsip kebenaran yang relevan, lalu mengevaluasi apakah revisi itu perlu berdasarkan prinsip. Aku juga berinisiatif memakai ideku sendiri untuk berkomunikasi dan berdiskusi dengan semua orang. Suatu kali, aku menyelesaikan gambar latar belakang video, pemimpinku bilang warnanya tidak cocok dan menyarankan mengubahnya. Kupikir, "Jika aku membuat perubahan ini, itu akan makan waktu, dan pasti akan menunda pengunggahan video. Ini bukan masalah prinsip, hanya preferensi pribadi, jadi tidak perlu mengubahnya. Namun, jika tidak mengubah, akankah pemimpin merasa aku congkak dan tidak bisa menerima saran orang lain?" Saat mulai ragu lagi, aku berdoa kepada Tuhan, meminta-Nya membimbingku menerapkan sesuai prinsip. Setelah berdoa, aku menemukan beberapa bahan referensi, lalu bekerja dengan pemimpin dan pengawasku untuk mencari prinsip yang relevan. Aku juga bertukar pemahaman dan pandanganku. Setelah itu, pemimpin dan pengawas setuju dengan sudut pandangku, dan video itu segera tayang. Aku merasa sangat bahagia dan aman.

Merenungkan pengalamanku di masa ini, aku sadar, demi melindungi diri dan tak bertanggung jawab, aku mengekang diriku dalam tugas dengan berbagai kekhawatiran. Hidup seperti itu melelahkan, dan aku tidak terlalu efektif. Namun, saat memahami kehendak Tuhan dan menerapkan sesuai prinsip kebenaran, masalah mudah dipecahkan, tugasku terasa jauh lebih mudah dan lebih santai. Setelah pengalaman ini, aku benar-benar merasa hidup berdasarkan filosofi iblis hanya membuat orang makin licik dan penuh tipu daya, tidak layak dipercaya, dan memuakkan Tuhan. Hanya dengan menerapkan kebenaran dan memenuhi tugas dengan prinsip kebenaran, engkau akan diberkati. Jika melakukan ini, kau akan temukan kepastian dan keamanan, merasakan kedamaian dan sukacita sejati.

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait