Perenungan seorang Pasien yang Mengidap Penyakit Terminal

27 September 2024

Oleh Saudari Titie, Tiongkok

Pada Juni 2013, haidku berlangsung lebih dari sepuluh hari, dan aku mengeluarkan bergumpal-gumpal darah yang besar. Pada waktu itu, aku hanya sesekali merasa sedikit nyeri di perut kanan bawah, jadi aku tak terlalu memikirkannya. Namun, saat haid lagi di bulan berikutnya, gumpalan darah yang kukeluarkan mulai makin banyak dan perdarahannya makin deras. Aku agak takut, jadi aku pergi ke rumah sakit untuk memeriksakannya. Dokter menyuruhku pulang untuk menunggu hasilnya. Namun di hari berikutnya, aku terus mengalami perdarahan. Obat penghenti darah terbaik hanya mampu menghentikan perdarahan untuk sementara, dan perdarahan kembali terjadi begitu efek obatnya habis. Sekujur tubuhku berkeringat dingin karena terlalu banyak darah yang keluar. Pada saat itu, aku hanya sendirian di rumah. Kupikir: "Bagaimana kalau aku meninggal karena kehilangan terlalu banyak darah?" Aku bergegas menelepon saudariku, lalu terjatuh ke ranjang dan tak bisa bergerak. Saudariku segera menelepon ambulans dan melarikanku ke rumah sakit. Aku sangat pucat karena sudah kehilangan banyak darah. Bibirku menjadi ungu dan wajahku sepucat wajah mayat. Seluruh tubuhku menggigil dan aku sangat membutuhkan transfusi darah, tapi cadangan plasma rumah sakit sudah kosong dan tak akan ada plasma yang tiba sampai pukul 1 pagi. Aku ketakutan saat mendengar rumah sakit kehabisan plasma, dan aku berpikir, "Masih ada delapan jam lagi hingga pukul 1 pagi. Bagaimana bisa aku bertahan selama itu? Hampir tak ada lagi darah yang tersisa dalam tubuhku, jadi dalam delapan jam, bukankah aku sudah meninggal? Aku masih sangat muda. Jika aku meninggal, aku tak akan pernah lagi melihat langit biru, atau pemandangan indah negara ini." Aku benar-benar takut, dan terus berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Tolong selamatkan aku!" Saat itulah aku teringat sebuah kalimat dari firman Tuhan: "Selama engkau masih mempunyai napas tersisa, Tuhan tak akan membiarkanmu mati" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 6"). Firman Tuhan memberiku iman yang besar. Selama masih bernapas, aku tak akan mati tanpa seizin Tuhan. Aku berdoa dalam hati: "Ya Tuhan, aku bersyukur kepada-Mu. Di saat aku tak berdaya dan takut, hanya firman-Mu yang dapat menghiburku. Aku masih bernapas, dan selama Engkau tak mengizinkanku mati, aku akan tetap hidup. Aku percaya pada firman-Mu." Setelah berdoa, aku merasa jauh lebih tenang dan rasa takutku berkurang. Suamiku tiba di rumah sakit sekitar pukul 6 sore, tapi saat mendengar apa yang telah terjadi, tak sepatah kata pun dia ucapkan untuk menghiburku. Dia hanya menatapku, bicara sebentar dengan orang di sekitarku, lalu pergi. Sejak aku mulai percaya kepada Tuhan, suamiku sudah menganiayaku. Sekarang setelah aku sakit, dia tak mau lagi berurusan denganku. Aku merasa sangat sedih dan tak berdaya. Saat itu, aku tak mampu bergerak atau bicara, tapi pikiranku jernih. Saat melihat suamiku pergi, aku tak mampu membendung air mata yang membasahi pipiku. Kukira dia mau mendampingiku di saat aku sakit. Tak pernah kubayangkan dia bisa sekejam itu. Lalu aku sadar, aku tak dapat lagi mengandalkan suamiku dan hanya dapat mengandalkan Tuhan. Aku hanya berdoa dalam hati, tak berani berpaling untuk sesaat pun dari Tuhan. Aku pun merenungkan beberapa lagu pujian dan firman Tuhan yang pernah kubaca. Lagu pujian yang sangat menginspirasiku adalah "Petrus Berpegang Pada Iman dan Kasih Sejati": "Tuhan! Hidupku tidak berharga, dan tubuhku tidak berharga. Aku hanya memiliki satu iman dan satu kasih. Aku memiliki iman kepada-Mu dalam pikiranku dan kasih kepada-Mu dalam hatiku; aku hanya memiliki dua hal ini untuk kuberikan kepada-Mu, dan tidak ada yang lain" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Cara Petrus Mengenal Yesus"). Aku menyanyikan lagu pujian ini dalam hatiku, dan teringat bagaimana aku belum menyerahkan diriku kepada Tuhan dalam iman dan aku tak punya iman sejati kepada-Nya. Aku selalu ingin mengandalkan keluargaku, tapi di saat paling rentan yang kualami, orang terdekatku malah mengabaikanku. Tuhanlah yang menghiburku melalui firman-Nya dan hanya Dia yang dapat menyelamatkanku. Aku berdoa di dalam hati: "Ya Tuhan, hanya Engkaulah yang dapat menyelamatkan, menghiburku, juga memberiku iman dan kekuatan. Aku siap menyerahkan hati dan hidupku kepada-Mu." Saat merenungkan lagu pujian dari firman Tuhan, aku merasa sangat tenang, dan tak lagi mengkhawatirkan penyakitku atau takut mati. Perlahan, tubuhku mulai menghangat, dan sebelum kusadari, waktu sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Setelah transfusi darah, keesokan paginya aku merasa segar kembali. Dokter yang bertugas kaget saat melihatku duduk di ranjang. Dia berkata: "Kemarin kondisimu sangat parah; aku kagum kau bisa melewati malam ini!" Saat mendengar perkataan dokter itu, aku berulang kali bersyukur kepada Tuhan. Kalau bukan karena bimbingan firman Tuhan, aku tak akan pernah selamat. Semua ini berkat perlindungan Tuhan yang luar biasa. Setelah itu, dokter merujukku ke rumah sakit kota untuk mendapat pemeriksaan lebih lanjut. Kupikir: Kemarin Tuhan melindungiku dari situasi yang sangat berbahaya, jadi kau yakin mereka tak akan menemukan masalah serius apa pun.

Keesokan harinya, aku pergi ke sebuah rumah sakit besar bersama keluarga untuk pemeriksaan lebih lanjut, hanya untuk mengetahui bahwa aku didiagnosis mengidap kanker serviks stadium akhir. Tumornya sudah sebesar telur bebek dan operasi tak mungkin dilakukan. Aku tak akan selamat melewati operasi. Saat mendengar dokter berkata "kanker serviks stadium akhir", aku tercengang dan benar-benar heran. Aku tak habis pikir: "Kanker? Bagaimana bisa aku mengidap kanker? Ada orang-orang tidak percaya yang hanya hidup beberapa bulan setelah mengidap kanker. Akankah aku mampu melewatinya?" Aku merasa sedih, tertekan, dan tak ingin bicara dengan siapa pun. Sembari terbaring di rumah sakit, aku terus merenungkan kepercayaanku kepada Tuhan sekitar sepuluh tahun terakhir ini: Sejak menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman, aku sudah dianiaya oleh keluargaku, bahkan diejek dan difitnah oleh orang-orang tidak percaya. Selama tahun-tahun itu, tugas apa pun yang gereja berikan kepadaku, aku selalu tunduk. Betapa pun sulit atau melelahkannya, aku selalu melewatinya dengan mengandalkan Tuhan. Bahkan saat ditangkap, dihukum, dan dipenjarakan, aku tak pernah sekali pun mengkhianati Tuhan, dan setelah dibebaskan, aku terus memberitakan Injil dan melaksanakan tugasku. Aku sudah sangat menderita dan melewati masa-masa sulit, jadi mengapa sekarang aku mengidap sakit terminal? Mengapa Tuhan tidak melindungiku? Apakah kepercayaanku kepada Tuhan akan segera berakhir? Aku tidak mengerti dan tidak bisa menerima kematian seperti itu. Saat air mata kesedihan membasahi mengaliri pipiku, aku menuntut kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku tak ingin mati. Jika mati sekarang, aku tak akan pernah melihat hari kemuliaan-Mu dan kematian naga merah yang sangat besar itu, dan aku tak akan pernah melihat pemandangan indah Kerajaan itu. Aku ngeri membayangkan akhir seperti apa yang menantiku. Ya Tuhan, tolonglah aku dan sembuhkan penyakitku!" Saat itu, aku teringat pada saat-saat aku kehilangan banyak darah dan meskipun tak seorang pun menyangka aku akan bertahan, Tuhan telah memelihara hidupku, dan aku telah menyaksikan perbuatan-Nya yang menakjubkan. Dengan pemikiran itu, aku ingin berobat.

Dokter melihat kondisiku sangat serius sehingga menganjurkan agar aku menerima perawatan radiasi dan kemoterapi. Kemoterapi membuatku mual dan pusing. Rasanya sangat tidak nyaman dan wajahku kepanasan. Selama perawatan radiasi, rasanya seluruh tubuhku seperti ditusuk dengan jarum. Rasa sakit akibat kedua terapi itu tak tertahankan, dan aku mulai mengeluh dan salah paham lagi tentang Tuhan: Wajar jika orang-orang tidak percaya yang tidak mendapat perlindungan Tuhan yang mengidap kanker, tapi aku percaya kepada Tuhan, jadi bagaimana mungkin aku mengidap sakit terminal ini? Tuhan tidak melindungiku! Kamar tempat aku dirawat dipenuhi oleh semua jenis pasien kanker dan setiap beberapa hari ada pasien yang meninggal yang dibawa ke luar kamar. Aku ketakutan, dan khawatir jika penyakitku makin parah, suatu hari akulah yang akan dibawa ke luar. Aku tidak ingin terjebak dengan semua pasien kanker yang lain sepanjang hari. Mendengarkan rintihan sakit mereka hari demi hari sangatlah menyakitkan. Jadi, begitu perawatanku selesai, aku pergi ke rumah seorang saudari untuk membaca firman Tuhan. Selama berkumpul dengannya, aku dengan aktif membagikan pemahamanku tentang firman Tuhan, dan membahas bersamanya tentang bagaimana membereskan gagasan-gagasan dari para calon penerima Injil. Kupikir, "Setelah dipulangkan dari rumah sakit, aku akan terus memberitakan Injil dan melaksanakan tugasku. Selama aku lebih sering menghadiri pertemuan, lebih banyak makan dan minum firman Tuhan dan percaya kepada Tuhan, Dia pasti akan melindungiku." Selama aku dirawat, seorang kerabatku datang menjenguk, dan diam-diam berkata pada suami dan anak-anakku bahwa suaminya meninggal karena kanker dan sakit kankerku tak tersembuhkan. Dia berkata alih-alih mengeluarkan biaya pengobatan di rumah sakit, lebih baik mengajakku berjalan-jalan saja, supaya tidak kehilangan aku dan uang mereka. Suamiku menuruti nasihatnya dan berkata hendak mengajakku jalan-jalan. Dia berkata kami bisa pergi ke mana pun aku mau. Namun, satu-satunya yang kupikirkan adalah, "Jadi mereka ingin menghentikan pengobatanku? Jika itu terjadi, bukankah aku akan meninggal? Apakah seperti ini akhir hidupku?" Sekali lagi aku tenggelam dalam kesedihan. Beberapa hari kemudian, suamiku tidak mau membayar tagihan pengobatanku. Saudariku berkata: "Dokter bilang umurmu hanya tinggal dua atau tiga bulan, jadi jangan minta suamimu untuk membayar tagihanmu. Sekarang tak ada pengobatan yang dapat menyembuhkanmu. Andalkan saja Tuhan—hanya Tuhanlah yang dapat menyelamatkanmu!" Setelah mendengar ini, aku terbaring kaku di ranjang karena syok, tak berani membayangkan bahwa yang dia katakan mungkin benar. Umurku hanya tinggal dua atau tiga bulan? Hatiku sangat hancur dan air mata berderai membasahi pipiku. Dokter telah memvonisku tak tersembuhkan, suami dan anak-anakku tak lagi menghiraukan pengobatanku. Apa lagi yang harus kulakukan selain menunggu mati? Aku telah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan dan begitu banyak menderita, semuanya dengan harapan Tuhan akan menyelamatkanku dari kematian dan aku dapat memasuki Kerajaan. Tak pernah kubayangkan segalanya akan berakhir seperti ini. Rasanya aku sangat tak berpengharapan dan tak mungkin diselamatkan. Pada hari-hari selanjutnya, aku hanya berdoa sekadarnya dan kurang bersemangat membaca firman Tuhan. Rasanya aku bisa mati kapan pun dan tak ada gunanya lagi berdoa. Aku merasa sangat pesimistis dan negatif.

Suatu hari saat kembali ke kamar rawat, begitu membuka pintu, kulihat seorang penderita kanker terbaring mati di ranjang tertutup kain putih. Saking takutnya, aku berlari ke kamar yang lain. Pasien itu baru masuk dua hari lalu dan sudah meninggal. Aku takut suatu hari nanti aku pun akan menghadapi kematian, jadi aku bergegas berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku sangat takut, negatif, dan lemah. Aku tak ingin mati seperti orang tidak percaya. Tolong lindungi aku, berilah aku iman dan kekuatan, dan biarkan aku memahami kehendak-Mu." Setelah berdoa, aku teringat sebuah lagu pujian dari firman Tuhan yang berjudul "Rasa Sakit Ujian adalah Berkat dari Tuhan": "Jangan berkecil hati, jangan lemah, dan Aku akan menjadikan segalanya jelas bagimu. Jalan menuju kerajaan tidaklah mulus; tidak ada yang sesederhana itu! Engkau ingin memperoleh berkat dengan mudah, bukan? Sekarang, semua orang akan mengalami ujian pahit yang harus dihadapi. Tanpa ujian semacam itu, hati yang mengasihi-Ku tidak akan tumbuh lebih kuat, dan engkau tidak akan memiliki kasih yang sejati bagi-Ku. Bahkan jika ujian itu hanya berupa peristiwa-peristiwa kecil, semua orang harus melewatinya; hanya saja tingkat kesulitan ujian-ujian itu berbeda-beda untuk masing-masing orang. Ujian merupakan berkat dari-Ku, dan berapa banyak dari antaramu sering datang ke hadapan-Ku dan berlutut untuk meminta berkat-Ku? Engkau selalu mengira bahwa beberapa kata kemujuran merupakan berkat-Ku, tetapi tidak mengira bahwa kepahitan merupakan salah satu berkat-Ku" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). Firman Tuhan menghibur dan sangat menggugah hatiku. Firman-Nya menyadarkanku bahwa jalan masuk ke Kerajaan tidaklah mulus dan mudah, orang harus menanggung ujian yang berat. Penyakitku adalah salah satu ujian, juga berkat dari Tuhan. Aku harus tetap percaya kepada Tuhan, tetapi aku harus mencari kehendak Tuhan di balik penyakit ini, dan tidak mengeluh tentang-Nya, dan harus tegak menjadi kesaksian bagi-Nya. Setelah memahami kehendak Tuhan, kenegatifanku berkurang, dan memiliki iman untuk mengandalkan Tuhan demi melewati krisis ini. Setelah melihat bahwa Tuhan belum mengizinkanku meninggal, aku membaca lebih banyak firman-Nya di waktu luangku dan berkumpul bersama saudari itu.

Di rumahnya, aku sering membaca penggalan firman Tuhan ini, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman". Satu bagian khusus memberiku pemahaman baru akan pandanganku tentang percaya kepada Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Engkau berharap bahwa imanmu kepada Tuhan tidak akan mendatangkan tantangan atau kesengsaraan, ataupun kesulitan sekecil apa pun. Engkau selalu mengejar hal-hal yang tidak berharga, dan tidak menghargai hidup, melainkan menempatkan pikiran yang terlalu muluk-muluk di atas kebenaran. Engkau sungguh tidak berharga! Engkau hidup seperti babi—apa bedanya antara engkau, babi, dan anjing? Bukankah mereka yang tidak mengejar kebenaran, melainkan mengasihi daging, adalah binatang buas? Bukankah mereka yang mati, tanpa roh, adalah mayat berjalan? Berapa banyak firman yang telah disampaikan di antara engkau sekalian? Apakah hanya sedikit pekerjaan yang dilakukan di antaramu? Berapa banyak yang telah Kuberikan di antaramu? Lalu mengapa engkau tidak mendapatkannya? Apa yang harus engkau keluhkan? Bukankah engkau tidak mendapatkan apa-apa karena engkau terlalu mengasihi daging? Dan bukankah ini karena pikiranmu yang terlalu muluk-muluk? Bukankah karena engkau terlalu bodoh? Jika engkau tidak mampu memperoleh berkat-berkat ini, dapatkah engkau menyalahkan Tuhan karena tidak menyelamatkanmu? Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan? Aku memberikan kehidupan manusia yang nyata kepadamu, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau tidak ada bedanya dari babi atau anjing? Babi tidak mengejar kehidupan manusia, mereka tidak berupaya supaya ditahirkan, dan mereka tidak mengerti makna hidup. Setiap hari, setelah makan sampai kenyang, mereka hanya tidur. Aku telah memberimu jalan yang benar, tetapi engkau belum mendapatkannya. Tanganmu kosong. Apakah engkau bersedia melanjutkan kehidupan ini, kehidupan seekor babi? Apa pentingnya orang-orang seperti itu hidup? Hidupmu hina dan tercela, engkau hidup di tengah-tengah kecemaran dan kecabulan, dan tidak mengejar tujuan apa pun; bukankah hidupmu paling tercela? Apakah engkau masih berani memandang Tuhan? Jika engkau terus mengalami dengan cara demikian, bukankah engkau tidak akan memperoleh apa-apa? Jalan yang benar telah diberikan kepadamu, tetapi apakah pada akhirnya engkau dapat memperolehnya, itu tergantung pada pengejaran pribadimu sendiri" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan). Aku juga membaca bagian ini dalam firman Tuhan: "Selain dari keuntungan yang berhubungan sangat erat dengan mereka, mungkinkah ada alasan lain mengapa orang-orang yang tidak pernah memahami Tuhan mau berkorban begitu banyak bagi-Nya? Dalam hal ini, kita menemukan masalah yang sebelumnya tidak teridentifikasi: hubungan manusia dengan Tuhan semata-mata demi kepentingan diri sendiri. Hubungan ini adalah hubungan antara penerima dan pemberi berkat. Sederhananya, hubungan ini seperti hubungan antara karyawan dan majikan. Karyawan bekerja hanya untuk menerima upah yang diberikan oleh majikannya. Dalam hubungan semacam ini, tidak ada kasih sayang, hanya ada transaksi. Tidak ada tindakan mencintai dan dicintai, hanya ada derma dan belas kasihan. Tidak ada pengertian, hanya ada kemarahan terpendam dan tipu daya. Tidak ada keintiman, hanya ada jurang yang tak bisa diseberangi" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Lampiran 3: Manusia Hanya Dapat Diselamatkan di Tengah Pengelolaan Tuhan"). Firman penghakiman Tuhan seperti pedang tajam yang menusuk hatiku. Seolah-olah Tuhan sedang menghakimiku di hadapan-Nya. Aku mulai merenungkan diriku: Setelah menjadi orang Kristen, aku selalu berusaha memperoleh kasih karunia. Kupikir jika aku percaya kepada Tuhan, Dia akan menjagaku tetap aman dan menjauhkanku dari bahaya. Setelah menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman, meski tahu bahwa Tuhan tidak menyembuhkan orang sakit, mengusir setan-setan, atau melakukan mukjizat seperti pada Zaman Kasih Karunia, tetapi menghendaki manusia mengejar kebenaran dan mengalami penghakiman, hajaran, ujian, dan pemurnian untuk menyucikan watak rusak manusia, aku masih memiliki keinginan berlebihan ini untuk memperoleh berkat. Kupikir selama aku megejar imanku dengan tekun, aku akan kebal terhadap semua bencana dan penyakit, dan meskipun aku sakit parah, Tuhan akan melindungiku dan tak mengizinkanku mati. Dengan semangat kukerahkan diriku untuk memperoleh berkat dan kasih karunia. Tidak soal bagaimana suamiku menganiaya dan menghalangiku, atau bagaimana kerabatku memfitnah dan meninggalkanku, mereka tak mampu membatasiku. Bahkan saat ditangkap dan dipenjarakan, aku tetap tidak mengkhianati Tuhan. Setelah dibebaskan, aku terus melaksanakan tugasku. Kupikir dengan mengejar seperti itu aku akan diselamatkan dan dijaga. Terutama saat ini, ketika kukira aku sedang mengembuskan napas terakhir dan Tuhan menarikku dari ambang kematian saat aku berseru kepada-Nya dengan segenap kekuatanku, aku bahkan lebih yakin Tuhan akan menolongku apa pun kesulitan yang kuhadapi. Saat didiagnosis dengan kanker dan keluargaku tak lagi menghiraukan pengobatanku, aku melihat Tuhan sebagai harapan terakhirku, dan kupikir jika terus menghadiri pertemuan dan membaca firman Tuhan, jika lebih banyak berdoa dan mengandalkan Tuhan, serta melaksanakan tugasku sebaik mungkin, Tuhan akan melihat bahwa aku punya iman dan aku telah tunduk, dan Dia mungkin melindungi dan mengizinkanku hidup. Melalui penyingkapan firman Tuhan, aku mengerti meskipun aku bisa meninggalkan hal-hal tertentu, mengerahkan diriku, dan sungguh-sungguh melaksanakan tugasku, itu bukan kebenaran yang sedang kukejar, dan bukan untuk membuang watak rusakku atau mencapai kesucian, melainkan, aku berharap untuk menukarkan pengorbanan dan harga yang kubayar dengan kasih karunia dan berkat Tuhan, berharap Tuhan akan melindungiku dari kematian dalam bencana besar dan aku akan tiba di tempat tujuan yang baik. Ketika Tuhan melindungiku, aku terus bersyukur dan memuji-Nya, tetapi saat mengidap sakit terminal ini, aku merasa tak adil, diam-diam memprotes Tuhan dan bahkan menyalahkan-Nya karena bertindak tak adil. Dalam kepercayaanku, aku hanya ingin memanfaatkan Tuhan dan tak menganggap penting mengejar kebenaran. Ketika menghadapi penyakit yang mengancam akhir dan tempat tujuanku, aku kehilangan imanku kepada Tuhan. Aku menjadi tak berminat pada firman Tuhan dan doa, bahkan salah mengerti dan menyalahkan Tuhan. Aku sadar, aku sama sekali tak punya ketulusan terhadap Tuhan atau kasih sejati kepada-Nya, tetapi hanya memanfaatkan Dia, menipu-Nya dan "bertransaksi" dengan-Nya. Bagaimana bisa aku menganggap diriku sebagai seorang percaya? Jika terus mengejar dengan cara seperti ini, meskipun aku hidup, aku akan menentang dan memberontak terhadap Tuhan. Apa gunanya hidup seperti itu? Setelah menyadari ini, aku merasa sangat malu. Aku sangat berutang kepada Tuhan.

Kemudian, kubaca firman Tuhan yang membuatku lebih mengerti. Tuhan berfirman: "Tak ada yang lebih sulit untuk ditangani selain orang yang selalu mengajukan tuntutan terhadap Tuhan. Begitu tindakan Tuhan tidak sesuai dengan pemikiranmu, atau tidak terlaksana sesuai dengan pemikiranmu, engkau akan dengan mudahnya menentang—yang cukup membuktikan bahwa naturmu adalah menentang Tuhan. Kesadaran akan masalah ini hanya dapat dicapai dengan sering merenungkan dirimu, dan dengan demikian, memperoleh pemahaman akan kebenaran, dan masalah itu hanya dapat sepenuhnya diselesaikan dengan mengejar kebenaran. Jika orang tidak memahami kebenaran, mereka akan mengajukan banyak tuntutan terhadap Tuhan, sedangkan jika mereka benar-benar memahami kebenaran, mereka tidak akan melakukannya; mereka hanya merasa bahwa mereka belum cukup memuaskan Tuhan, bahwa mereka tidak cukup tunduk kepada Tuhan. Bahwa orang selalu mengajukan tuntutan kepada Tuhan, itu mencerminkan natur mereka yang rusak. Jika engkau tak mampu mengenal dirimu sendiri dan benar-benar bertobat dalam hal ini, engkau akan menghadapi risiko dan bahaya tersembunyi di jalan kepercayaanmu kepada Tuhan. Engkau mampu mengatasi hal-hal biasa, tetapi dalam hal-hal penting, seperti nasibmu, prospekmu, dan tempat tujuanmu, engkau mungkin tidak akan mampu mengatasinya. Pada saat itu, jika engkau masih tidak memiliki kebenaran, engkau mungkin saja akan kembali ke cara-caramu yang lama, dan dengan demikian akan menjadi salah seorang dari mereka yang dimusnahkan. Banyak orang selalu mengikuti dan percaya dengan cara ini; mereka telah berperilaku baik selama mereka mengikut Tuhan, tetapi ini tidak menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Ini karena engkau tidak pernah menyadari kelemahan utama manusia, atau hal-hal apa saja yang ada dalam natur manusia yang menentang Tuhan, dan sebelum hal-hal ini mengakibatkanmu mengalami bencana, engkau tetap tidak mengetahui hal-hal ini. Karena masalah naturmu yang menentang Tuhan tidak terselesaikan, itu akan menghantarmu pada bencana, dan mungkin saja ketika perjalananmu berakhir dan pekerjaan Tuhan selesai, engkau akan melakukan apa yang paling menentang Tuhan dan mengatakan apa yang menghujat-Nya, dan dengan demikian engkau akan dihukum dan disingkirkan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Manusia Mengajukan Terlalu Banyak Tuntutan Terhadap Tuhan"). Firman Tuhan menyadarkanku bahwa sejak jatuh sakit, aku takut mati, dan sangat ingin Tuhan menjauhkanku dari kematian. Bukankah itu berarti menuntut sesuatu dari Tuhan? Aku selalu berpikir, karena aku percaya kepada Tuhan, sudah seharusnya Dia melindungiku setiap saat, dan tak seharusnya Dia memperlakukanku seperti memperlakukan orang tidak percaya. Setelah didiagnosis dengan kanker stadium akhir, dan melihat Tuhan belum memberiku perlindungan ekstra, aku belum bisa tunduk. Aku memanfaatkan pengorbanan, upaya, dan penderitaanku dalam penjara sebagai modal untuk berdebat dengan Tuhan dan membuat ketentuan, menuntut agar Tuhan menyembuhkan penyakitku. Ketika Tuhan tidak bertindak sesuai dengan tuntutanku, aku berdebat dengan-Nya dan memperjuangkan tuntutanku. Aku sadar meski sudah bertahun-tahun percaya, aku sama sekali tak punya rasa hormat terhadap Tuhan. Aku tak punya kemanusiaan dan nalar. Aku teringat pada Ayub yang menghormati Tuhan dan menjauhi kejahatan sepanjang hidupnya. Ketika Tuhan mengujinya dan dia kehilangan semua hartanya, anak-anaknya, dan tubuhnya dipenuhi barah, dia tak pernah sekali pun mengeluh tentang Tuhan atau menuntut agar Tuhan menyembuhkannya. Ayub sangat manusiawi dan bijaksana. Sedangkan aku banyak mengeluh dan salah mengerti saat menghadapi kematian, dan tak layak menuntut agar Tuhan melindungi hidupku. Ketika pertama kali hidupku dalam bahaya karena kehilangan begitu banyak darah, perlindungan dan pemeliharaan Tuhanlah yang menyelamatkanku—Dia menganugerahiku kasih karunia-Nya, mengizinkanku melihat pekerjaan-Nya yang mengagumkan. Selain itu, selama bertahun-tahun percaya, aku telah menikmati begitu banyak penyiraman dan perbekalan firman Tuhan, serta belajar banyak kebenaran dan misteri. Tuhan telah memberiku lebih banyak daripada yang kuminta atau bayangkan, tapi aku tetap tidak puas. Ketika didiagnosis dengan kanker, Aku membuat tuntutan yang tak pantas terhadap Tuhan, memohon-Nya untuk mengizinkanku terus hidup. Aku sadar, aku punya natur yang sangat serakah. Tuhan adalah Tuhan atas ciptaan, jadi hak apa yang dimiliki orang yang tak penting, pemberontak, penentang, dan penuh kerusakan seperti diriku untuk membuat tuntutan terhadap Tuhan? Aku tahu aku bahkan sama sekali tak menyadari diriku, aku sangat congkak dan sama sekali tak punya rasa hormat terhadap Tuhan. Ketika tindakan Tuhan tidak sesuai dengan gagasanku, emosiku meledak, aku menentang, dan memprotes. Aku memperlihatkan watak jahatku, dan jika aku tidak mengubah watak rusakku, aku akan menyinggung watak Tuhan dan menerima hukuman adil-Nya. Aku menjadi takut dan tak berani lagi membuat tuntutan tak pantas terhadap Tuhan, jadi aku berdoa: "Ya Tuhan, terima kasih atas penghakiman dan hajaran-Mu, yang membuatku untuk memahami betapa tak masuk akalnya diriku. Ya Tuhan! Aku mau bertobat, dan entah keadaanku membaik atau tidak, aku akan tunduk pada pengaturan-Mu." Setelah menyadari hal ini, aku merasa sedikit lebih tenang.

Sambil terbaring di rumah sakit, aku termenung mengapa aku membuat tuntutan tak pantas seperti itu setelah jatuh sakit. Setelah merenung dan mencari, kusadari itu terutama karena aku tidak memahami watak benar Tuhan. Lalu, kubaca firman Tuhan ini: "Keadilan itu bukan berarti pantas atau masuk akal; keadilan bukanlah egalitarianisme, juga bukan perkara mengalokasikan kepadamu apa yang pantas engkau terima sesuai dengan berapa banyak pekerjaan yang telah kauselesaikan, atau memberimu upah untuk pekerjaan apa pun yang telah kaukerjakan, atau memberi kepadamu hakmu sesuai dengan upaya yang telah kaukeluarkan. Ini bukanlah keadilan. Itu hanyalah pantas dan masuk akal. Sangat sedikit orang yang mampu mengenal watak Tuhan yang adil. Seandainya Tuhan menyingkirkan Ayub setelah Ayub menjadi kesaksian bagi Dia: apakah ini adil? Sebenarnya, ini adil. Mengapa ini disebut adil? Bagaimana manusia memandang keadilan? Jika sesuatu selaras dengan gagasan-gagasan manusia, maka sangat mudah bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil; tetapi, jika mereka tidak melihat bahwa hal itu selaras dengan gagasan-gagasan mereka—jika hal itu adalah sesuatu yang tak mampu mereka pahami—maka menjadi sulit bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil. Jika Tuhan memusnahkan Ayub pada waktu itu, orang pasti tidak akan mengatakan bahwa Dia adil. Sebenarnya, entah manusia telah dirusak atau tidak, dan entah mereka telah dirusak sedemikian dalam atau tidak, apakah Tuhan harus membenarkan diri-Nya ketika Dia memusnahkan mereka? Haruskah Dia menjelaskan kepada manusia atas dasar apa Dia melakukannya? Haruskah Tuhan memberi tahu manusia aturan-aturan yang telah Dia tetapkan? Tidak perlu. Di mata Tuhan, orang yang rusak dan cenderung menentang Tuhan, sama sekali tidak layak; namun bagaimanapun cara Tuhan menangani mereka, itu akan tepat, dan semuanya adalah pengaturan Tuhan. Jika engkau tidak berkenan di mata Tuhan, dan jika Dia berkata bahwa engkau tidak lagi berguna bagi-Nya setelah kesaksianmu dan karena itu memusnahkanmu, apakah ini juga merupakan keadilan-Nya? Ya. Engkau mungkin tidak mampu mengenali hal ini sekarang dari faktanya, tetapi engkau harus memahami doktrinnya. Menurutmu, apakah pemusnahan Iblis oleh Tuhan merupakan ungkapan keadilan-Nya? (Ya.) Bagaimana jika Dia membiarkan Iblis tetap hidup? Engkau tidak berani berpendapat, bukan? Esensi Tuhan adalah keadilan. Walaupun tidak mudah untuk memahami apa yang Dia lakukan, semua yang Dia lakukan itu adil; hanya saja orang-orang tidak memahaminya" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Melalui firman Tuhan, aku memahami bagaimana aku dulu memikirkan kebenaran Tuhan menurut gagasan dan imajinasiku sendiri. Kukira aku orang percaya kepada Tuhan, telah membayar harga mahal, mengerahkan diriku, menderita di penjara tanpa mengkhianati Tuhan, dan tegak menjadi kesaksian bagi-Nya, jadi sudah seharusnya Dia melindungiku dari sakit terminal. Bagi orang tidak percaya yang tak dilindungi Tuhan, wajarlah jika mereka mengidap kanker. Aku dulu percaya ini adalah keadilan Tuhan. Ketika Tuhan tidak bertindak sesuai gagasanku dan aku mengidap sakit terminal, rasanya seluruh upayaku belum membuahkan hasil, Tuhan tak adil terhadapku, jadi aku banyak mengeluh dan salah memahami Tuhan. Pemahamanku tentang kebenaran Tuhan tak ada bedanya dengan pemahaman orang tidak percaya yang bersifat transaksional. Kukira aku seharusnya menerima imbalan dari semua pekerjaanku, dan tidaklah adil jika aku tak menerima apa yang pantas kuterima. Setelah membaca firman Tuhan, aku mengerti bahwa esensi Tuhan adalah kebenaran. Semua yang Tuhan lakukan sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Aku tak boleh menilai keadaanku berdasarkan penampilan luar dan gagasan. Itu akan menyebabkan kesalahan dan aku mungkin akan mengkritik serta menentang Tuhan. Aku mengira menjadi sakit adalah bencana, tetapi ada kehendak Tuhan di balik penyakit itu. Jika aku tidak mengalaminya, aku tak akan menyadari betapa aku tak punya kemanusiaan dan nalar. Begitu tindakan Tuhan tidak sesuai dengan gagasanku, aku mulai menentang dan memprotes. Aku tidak tunduk dan tidak hormat kepada Tuhan. Mengalami penyakit ini menunjukkanku tingkat pertumbuhanku yang sebenarnya dan mengizinkanku untuk membuang tuntutanku yang tak pantas terhadap Tuhan. Syukur kepada Tuhan! Dia telah melakukan keajaiban dan Dia benar-benar bijaksana! Dahulu, aku tidak mengenal Tuhan, dan aku mengkritik watak benar-Nya berdasarkan pandanganku sendiri. Betapa buta dan bodohnya diriku tentang Tuhan! Tuhan adalah Tuhan atas segala ciptaan, sedangkan aku hanya makhluk ciptaan yang kecil—Dia benar memperlakukanku sebagaimana Dia memandang pantas. Terlebih lagi, aku memandang kepercayaanku sebagai transaksi dan membuat tuntutan tak pantas terhadap Tuhan. Meskipun aku harus mati, ini pun akan menjadi kebenaran Tuhan—seharusnya aku tidak mengeluh terhadap Tuhan. Apa pun kehendak Tuhan, entah aku hidup atau mati, semua itu pantas adanya. Aku harus tunduk pada pengaturan Tuhan—inilah nalar yang seharusnya kumiliki. Setelah mempelajari watak benar Tuhan, aku makin memahami, tak lagi mengeluh dan salah mengerti tentang Tuhan. Apa pun perlakuan Tuhan terhadapku, aku tidak mengeluh dan mampu tunduk.

Kemudian, aku belajar caranya memandang kefanaanku dengan membaca firman Tuhan, dan aku tak lagi takut mati. Firman Tuhan katakan: "Jika seseorang telah tinggal di dunia selama beberapa puluh tahun tetapi masih juga tidak memahami dari mana manusia berasal, juga belum mengakui di dalam tangan siapakah nasib manusia berada, tidak mengherankan jika mereka tidak akan bisa menghadapi kematian dengan tenang. Orang yang, dalam puluhan tahun pengalaman manusia, telah mendapatkan pengetahuan tentang kedaulatan Sang Pencipta adalah orang dengan penghargaan yang benar akan makna dan nilai kehidupan. Orang seperti itu memiliki pengetahuan mendalam tentang tujuan hidup, dengan pengalaman nyata dan pemahaman mengenai kedaulatan Sang Pencipta, dan lebih dari itu, mampu tunduk pada kedaulatan Sang Pencipta. Orang seperti itu memahami makna penciptaan manusia oleh Sang Pencipta, memahami bahwa manusia harus menyembah Sang Pencipta, bahwa segala sesuatu yang manusia miliki berasal dari Sang Pencipta dan akan kembali kepada-Nya suatu hari dalam waktu dekat. Orang seperti ini memahami bahwa Sang Pencipta mengatur kelahiran manusia dan berdaulat atas kematian manusia, dan bahwa hidup dan mati telah ditetapkan sejak semula oleh otoritas Sang Pencipta. Jadi, jika orang benar-benar memahami hal-hal ini, ia dengan sendirinya akan mampu menghadapi kematian dengan tenang, dengan tenang pula mengesampingkan segala harta duniawinya, menerima dan tunduk dengan senang hati pada apa pun yang terjadi setelahnya, dan menyambut saat menentukan yang terakhir dalam hidup ini, yang telah diatur oleh Sang Pencipta sebagaimana adanya, ketimbang takut akan kematian secara membabi buta dan berjuang melawannya. Jika orang memandang hidup sebagai kesempatan untuk mengalami kedaulatan Sang Pencipta dan mengenal otoritas-Nya, jika orang melihat hidupnya sebagai kesempatan langka untuk melakukan tugasnya sebagai manusia ciptaan dan menyelesaikan misinya, ia pasti akan memiliki pandangan yang benar tentang hidup, pasti akan menjalani kehidupan yang diberkati dan dibimbing oleh Sang Pencipta, pasti akan berjalan dalam terang Sang Pencipta, pasti akan mengenal kedaulatan Sang Pencipta, pasti akan tunduk di bawah kekuasaan-Nya, dan pasti menjadi saksi tentang perbuatan-Nya yang ajaib, saksi tentang otoritas-Nya. Tentu saja, orang seperti itu pasti akan dikasihi dan diterima oleh Sang Pencipta, dan hanya orang seperti itulah yang mampu memiliki sikap yang tenang terhadap kematian dan menyambut saat menentukan terakhir dalam hidup ini dengan penuh sukacita. Seseorang yang jelas-jelas memiliki sikap seperti ini terhadap kematian adalah Ayub. Ayub mampu menerima saat menentukan terakhir dalam hidup ini dengan senang hati, dan setelah membawa perjalanan hidupnya menuju akhir yang mulus dan menyelesaikan misi hidupnya, ia kembali ke sisi Sang Pencipta" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). "Ayub mampu menghadapi kematian tanpa penderitaan apa pun adalah karena ia tahu bahwa, dalam kematian, ia akan kembali ke sisi Sang Pencipta. Pengejaran dan apa yang ia dapatkan dalam hidupnya inilah yang memungkinkan dirinya menghadapi kematian dengan tenang, memungkinkannya menghadapi kemungkinan hidupnya diambil kembali oleh Sang Pencipta dengan tenang, dan terlebih lagi, memungkinkannya berdiri tanpa noda dan bebas dari kecemasan di hadapan Sang Pencipta" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Dengan makan dan minum firman Tuhan, aku memahami bahwa hidupku berasal dari Tuhan. Tuhan menentukan dan mengatur hidup, mati, berkat, juga kemalanganku. Aku tak punya alasan untuk membuat tuntutan terhadap Tuhan. Meskipun Tuhan membiarkanku mati, ada kehendak-Nya di baliknya. Aku harus menghadapinya dengan sikap yang benar, dan itulah nalar yang seharusnya dimiliki makhluk ciptaan. Aku teringat Ayub yang menghormati Tuhan dan menjauhi kejahatan sepanjang hidupnya. Situasi apa pun yang dia hadapi, dia mampu mengakui pemerintahan dan pengaturan Tuhan. Dia tidak mengeluh, tidak salah mengerti Tuhan, tidak mengkritik atau berdebat. Dia mampu tunduk dan dengan tenang menghadapi kematiannya. Aku harus meniru Ayub yang menghormati Tuhan, menjauhi kejahatan, tunduk pada pemerintahan dan pengaturan Tuhan. Tuhan menganugerahiku hidup, jadi kapan pun Dia ingin mengambilnya kembali, aku harus tunduk. Tentang kesudahan seperti apa yang menantiku dalam kehidupan di akhirat, Tuhanlah yang akan menentukan berdasarkan semua yang telah kulakukan dalam hidupku. Tuhan belum mengizinkanku meninggal, jadi aku harus memanfaatkan sisa waktuku untuk bertobat, hidup dengan menghormati Tuhan, menjauhi kejahatan, mengejar kebenaran, mengubah watakku, dan melaksanakan tugasku sejauh kemampuanku. Setelah menyadari ini, aku makin tercerahkan dan makin berkurang rasa takutku akan kematian. Aku pun merasa lebih dekat kepada Tuhan.

Selama waktu itu, saat berkumpul bersama sesama saudariku, makan dan minum firman Tuhan, kondisiku makin membaik. Aku masih harus menjalani empat sesi kemoterapi, tapi efek sampingnya terlalu kuat, jadi aku hanya bisa menjalani terapi radiasi. Namun, terapi radiasi hampir tak terasa sesakit sebelumnya. Aku tahu Tuhanlah yang menentukan apakah aku akan hidup, jadi aku tak khawatir akan penyakitku, dan melewati waktu luangku merenungkan firman Tuhan dan mendengar lagu pujian. Tak lama kemudian, aku mulai merasa makin membaik, seperti kembali ke keadaanku sebelum sakit. Semua pasien lainnya berkata, aku tampak begitu sehat sehingga mereka kira aku seorang perawat. Setelah empat puluh hari dirawat inap, aku pun dipulangkan. Selama pemeriksaan berikutnya, dokter berkata tumor serviksku sudah hilang. Saat mendengar dokter berkata bahwa tumor sudah hilang, aku tak percaya, mungkin aku salah dengar. Kutanya lagi dokter dan dia mengonfirmasi bahwa tumor sudah hilang. Aku luar biasa bahagia. Sulit dipercaya bahwa tumor sebesar telur bebek bisa hilang begitu saja. Aku teringat firman Tuhan yang berbunyi: "Hati dan roh manusia berada di tangan Tuhan, segala sesuatu dalam kehidupannya berada dalam pengamatan mata Tuhan. Entah engkau memercayainya atau tidak, setiap dan segala hal, apakah hidup atau mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Begitulah cara Tuhan memimpin segala sesuatu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Sebenarnya, semua makhluk dan segala sesuatu berada di tangan Tuhan. Segala sesuatu yang hidup atau mati tunduk pada kedaulatan dan pengelolaan Tuhan. Semuanya diatur sesuai dengan kehendak Tuhan. Semua orang berkata aku tak akan sembuh, bahkan dokter berkata tumornya terlalu besar untuk dioperasi, jadi tak pernah kubayangkan bahwa tumor itu bisa sama sekali hilang. Semua ini adalah perbuatan baik Tuhan! Aku sangat tergugah dan merasa berutang kepada Tuhan. Dahulu aku sanggat memberontak, rusak, dan membuat tuntutan tak pantas terhadap Tuhan, aku tak layak diselamatkan. Namun, Tuhan tidak memperlakukanku berdasarkan pemberontakan dan kerusakanku. Aku sangat bersyukur kepada-Nya atas penyelamatan-Nya. Sepulangnya ke rumah, aku terus memberitakan Injil dan melaksanakan tugasku, dan kesehatanku berangsur pulih.

Kemudian, kutemukan firman Tuhan ini. "Kesudahan atau tempat tujuan seseorang tidak ditentukan oleh keinginan mereka sendiri ataupun oleh kecenderungan atau imajinasi mereka sendiri. Sang Pencipta, Tuhan, adalah yang menjadi penentu keputusan. Bagaimana seharusnya orang bekerja sama dalam hal-hal semacam itu? Orang hanya memiliki satu jalan yang dapat mereka pilih: hanya jika mereka mencari kebenaran, memahami kebenaran, menaati firman Tuhan, mencapai ketundukan kepada Tuhan, dan memperoleh keselamatan, barulah mereka pada akhirnya akan mendapatkan kesudahan yang baik dan nasib yang baik. Tidak sulit membayangkan prospek dan nasib orang jika mereka melakukan hal yang sebaliknya. Jadi, dalam hal ini, janganlah berfokus pada apa yang telah Tuhan janjikan kepada manusia, apa yang Tuhan katakan tentang kesudahan umat manusia, apa yang telah Tuhan persiapkan bagi umat manusia. Hal-hal ini tidak ada hubungannya denganmu, hal-hal ini adalah urusan Tuhan, hal-hal ini tidak bisa dirampas, diminta, atau ditukar olehmu. Sebagai makhluk ciptaan, apa yang harus kaulakukan? Engkau harus melaksanakan tugasmu, melakukan apa yang seharusnya kaulakukan dengan sepenuh hati, pikiran, dan kekuatanmu. Selebihnya—hal-hal yang berkaitan dengan prospek dan nasib, serta tempat tujuan masa depan umat manusia—hal-hal ini bukanlah sesuatu yang dapat kauputuskan, hal-hal ini berada di tangan Tuhan; semua ini berada di bawah kedaulatan Sang Pencipta, diatur oleh-Nya dan tidak ada hubungannya dengan makhluk ciptaan mana pun. Beberapa orang berkata, 'Mengapa memberi tahu kami hal ini jika itu tidak ada hubungannya dengan kami?' Meskipun hal ini tidak ada hubungannya denganmu, hal ini ada hubungannya dengan Tuhan. Hanya Tuhan yang mengetahui hal-hal ini, hanya Tuhan yang dapat membicarakannya, dan hanya Tuhan yang berhak menjanjikan hal-hal ini kepada umat manusia. Dan jika Tuhan mengetahui hal-hal ini, bukankah Tuhan seharusnya membicarakan tentang hal-hal tersebut? Tetap mengejar prospek dan nasibmu adalah suatu kesalahan karena engkau tidak mengetahui apa prospek dan nasibmu. Tuhan tidak memintamu untuk mengejar hal ini, Dia hanya memberitahumu tentang hal itu; jika engkau secara keliru yakin ini berarti Tuhan menyuruhmu untuk menjadikannya tujuan pengejaranmu, itu berarti engkau sepenuhnya tidak masuk akal, dan tidak memiliki pikiran manusia normal. Mengetahui semua yang Tuhan janjikan sudah cukup. Engkau harus mengakui satu fakta: janji macam apa pun itu, entah itu baik atau biasa, menyenangkan atau tidak menarik, semuanya itu termasuk dalam kedaulatan, pengaturan, dan penetapan Sang Pencipta. Mengikuti dan melakukan pengejaran berdasarkan arah dan jalan yang benar yang ditunjukkan oleh Sang Pencipta adalah satu-satunya tugas dan kewajiban makhluk ciptaan. Tentang apa yang pada akhirnya kaudapatkan, dan bagian mana dari janji-janji Tuhan yang kauterima, semua ini didasarkan pada pengejaranmu, pada jalan yang kautempuh, dan pada kedaulatan Sang Pencipta" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Sembilan)). Melalui firman Tuhan, aku memahami bahwa kesudahan dan tempat tujuanku yang terakhir tak akan ditentukan melalui doa atau diperoleh melalui transaksi dengan Tuhan. Justru, Tuhanlah yang akan menentukan kesudahanku berdasarkan apa yang kukejar, tindakanku, dan jalan yang telah kutempuh. Namun, aku belum mengejar kebenaran dan tidak memahami watak Tuhan. Saat melihat Tuhan menganugerahi orang dengan tempat tujuan yang mulia, aku mengira jika aku tekun mengejar, melaksanakan tugasku, mampu menderita dan berkorban, serta terus melaksanakan tugasku apa pun persekusi dan kesulitan yang kuhadapi, aku akan diselamatkan dan bertahan hidup. Beberapa tahun ini, aku terus mencari dan berjuang demi kesudahan dan tempat tujuanku berdasarkan kepercayaan dan keinginanku sendiri. Aku sedang menempuh jalan Paulus. Jika terus seperti itu, bukan saja aku tak akan memperoleh tempat tujuan yang baik, tetapi juga akan disingkapkan dan disingkirkan karena watak rusakku belum disucikan. Akhirnya aku sudah sembuh dari kanker. Tuhan belum mengizinkanku meninggal dan telah memberiku kesempatan untuk bertobat. Inilah penyelamatan Tuhan! Aku bertekad, "Aku harus mengejar kebenaran dan mengubah watakku dalam tugasku selanjutnya. Aku tak boleh terus bertransaksi dengan Tuhan demi berkat. Aku harus menjadi orang yang berkemanusiaan dan bernalar yang tunduk kepada Tuhan. Entah kesudahan yang Tuhan atur bagiku itu baik atau buruk, itu merupakan keputusan Tuhan. Yang harus kukejar adalah kebenaran dan perubahan watak."

Sembilan tahun telah berlalu, dan penyakitku tidak pernah kambuh. Melalui pengalaman ini, aku telah memahami bahwa meskipun penyakit ini mengancam nyawaku, Tuhan tidak pernah ingin merampas hidupku atau masa depanku. Tuhan menggunakan penyakit ini untuk menyucikan dan mengubahkanku, menyingkapkan kecemaran dalam kepercayaanku dan mengubah gagasan absurd tertentu yang kumiliki. Dari pengalaman itu juga, aku memperoleh pemahaman yang benar dan pengalaman tentang kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan, aku memiliki sikap yang benar terhadap hidup dan mati, serta tunduk. Bagiku, penyakit ini merupakan cara Tuhan mencurahkan kasih karunia dan menganugerahkan keselamatan kepadaku! Sebagaimana Tuhan berfirman: "Jika orang benar-benar percaya kepada Tuhan, pertama-tama mereka harus tahu bahwa masa hidup manusia berada di tangan Tuhan. Waktu kelahiran dan kematian orang ditentukan sejak semula oleh Tuhan. Ketika Tuhan mengizinkan orang menderita penyakit, ada alasannya—ada makna di baliknya. Meskipun itu terasa seperti penyakit bagi mereka, sebenarnya, yang telah diberikan kepada mereka adalah kasih karunia, bukan penyakit. Orang harus terlebih dahulu menyadari dan meyakini fakta ini, dan menganggapnya serius" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga").

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Hati yang Dibebaskan

Oleh Saudari Zheng Xin, Amerika SerikatPada Oktober 2016, aku dan suamiku menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman ketika kami berada di...