Bagaimana Cara Menghargai Kebaikan Pengasuhan Orang Tua Kita

26 April 2024

Oleh Saudari Xiaoxin, Jepang

Pada tahun 2012, seluruh keluarga kami menerima pekerjaan akhir zaman Tuhan Yang Mahakuasa. Dari firman Tuhan, aku memahami apa artinya benar-benar percaya kepada Tuhan, dan juga memahami bahwa setiap orang memiliki misi di dunia ini. Dalam hidup, orang harus mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan. Jadi, aku berhenti dari pekerjaanku dan datang ke gereja untuk melaksanakan tugasku.

Saat itu, aku keluar untuk memberitakan Injil setiap hari, dan aku hanya sesekali pulang untuk menemui ayahku. Saat aku melihat kondisi kesehatan ayahku yang buruk, aku tahu bahwa asmanya kambuh lagi. Sebelumnya, dia hanya perlu minum obat atau menjalani infus. Kukira kali ini dia akan melaluinya tanpa hambatan, sama seperti sebelumnya, tetapi tak lama kemudian, aku mendapat berita bahwa ayahku telah meninggal. Saudaraku meneleponku dan mengatakan, "Ayah sudah tiada." Hatiku hancur mendengar kata-kata itu, dan air mataku berlinang tanpa henti. Saat aku tiba di rumah, bibiku berkata dengan nada mencela, "Kau kuliah kedokteran. Kau tahu ayahmu mengidap asma, lalu mengapa kau tidak memberinya terapi oksigen? Mungkin dia tak akan meninggal secepat ini." Mendengar ini, hatiku menjadi semakin terkoyak, dan penuh rasa utang budi terhadap ayahku. Andai aku lebih banyak memikirkan dia, benarkah dia tidak akan meninggal secepat ini? Bibiku meraih tanganku dan berkata, "Dari semua anak-anak mereka, orang tuamu paling banyak mengeluarkan biaya untukmu. Kini ayahmu sudah tiada dan kau tidak memiliki kesempatan untuk berbakti kepadanya. Di masa mendatang, kau harus menjaga ibumu dengan baik." Aku mengangguk tanpa mengatakan apa pun, memikirkan bagaimana orang tuaku telah membesarkanku, menyekolahkanku, dan menganggapku sebagai sumber kebanggaan. Namun, sebelum aku mampu melakukan apa pun untuk salah satu dari mereka, ayahku meninggal dunia. Aku harus mengambil tanggung jawab untuk merawat ibuku; aku tidak bisa membiarkannya menderita. Setelah itu, meskipun aku melaksanakan tugasku setiap hari, setiap kali ada waktu luang, aku akan berpikir, "Jika aku tidak mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan uang, bagaimana hidup ibuku nantinya? Jika aku tidak bisa menjaga ibuku dan membuat diriku merasa menyesal lagi, aku akan menyesalinya seumur hidupku." Jadi, aku mulai mencari pekerjaan setiap hari seusai melaksanakan tugasku.

Pada bulan Maret 2013, aku telah mendapatkan pekerjaan dan bersiap untuk berangkat kerja, tetapi tepat saat aku hendak meninggalkan rumah saudari yang telah menampungku, aku menjadi sangat sedih. Sebuah lagu pujian terus terngiang di benakku: "Aku jatuh ke dalam dosa, tapi bangkit dalam terang. Menerima peninggian-Mu, betapa bersyukurnya aku. Tuhan yang berinkarnasi menderita, apalagi aku, orang yang rusak! Jika aku menyerah pada kuasa kegelapan, bagaimana aku akan melihat Tuhan? Ketika kuingat firman-Mu, itu membuatku rindu pada-Mu. Setiap kali kupandang wajah-Mu, aku dipenuhi rasa bersalah dan rasa hormat. Bagaimana aku bisa meninggalkan-Mu, mencari apa yang disebut kebebasan? ..." (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru, "Menantikan Kabar Baik Tuhan"). Saat menyenandungkan lagu ini, aku diliputi kesedihan, dan saat aku tiba di bagian, "Bagaimana aku bisa meninggalkan-Mu, mencari apa yang disebut kebebasan?" wajahku berlinang air mata. Di masa lalu, aku hidup dalam kehampaan dan penderitaan, tanpa arah dalam hidup atau tujuan keberadaanku. Tuhanlah yang memilihku dari lautan manusia yang luas ini, dan membuatku cukup beruntung untuk mendengar firman-Nya serta memahami arti kehidupan. Ini adalah Tuhan yang menunjukkan kasih karunia-Nya kepadaku. Namun, aku meninggalkan tugasku dengan begitu cepat untuk mendapatkan pekerjaan dan memperoleh uang, dan aku merasa sangat berutang budi kepada Tuhan. Sambil menangis, aku berseru kepada Tuhan, "Tuhan, aku terlalu lemah dan tidak bisa memberontak terhadap diriku sendiri. Tolong hentikan aku agar tidak menempuh jalan ini." Saat itu, dari kejauhan, aku melihat badai pasir bertiup ke arahku. Tak lama kemudian, aku terkurung di tengah badai. Aku tidak bisa bernapas atau melihat apa pun. Aku mendengar suara mengepak, seolah-olah ada sesuatu yang tersedot ke udara. Saat itu, hanya ada satu pemikiran yang terlintas di benakku: "Lari." Seketika, aku melempar sepeda listrikku dan berlari. Ketika baru berlari beberapa meter, aku mendengar suara keras di belakangku. Aku menutup mata dan tidak berani melihat. Aku hanya bisa terus berdoa dalam hati dan memohon Tuhan melindungiku. Setelah beberapa saat, badai pasir mereda. Baru saat itulah aku melihat sepeda listrikku tergeletak tidak terlalu jauh, dan sebuah tiang telepon beton di pinggir jalan patah menjadi dua disebabkan oleh atap baja berwarna yang beterbangan. Tiang telepon itu terlempar sejauh lebih dari sembilan meter dan kabel-kabelnya juga putus. Jika aku tidak terpikir untuk lari saat itu juga, aku bisa saja mati tertimpa. Saat itu, sebuah kalimat dari firman Tuhan terngiang di benakku: "Aku bahkan telah menunjukkan kepadamu nyala api surga, tetapi Aku tidak sampai hati membakarmu. ..." (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Engkau Sekalian Begitu Rendah dalam Akhlakmu!"). Aku tahu bahwa Tuhan telah melindungiku dan ini adalah cara-Nya berbicara dan menunjukkan kehendak-Nya kepadaku. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hati, "Tuhan, aku tidak akan bekerja lagi untuk memperoleh uang; aku tidak akan meninggalkan Engkau." Namun, saat bangun keesokan harinya, aku bimbang lagi. Ke depannya, jalan yang harus kutempuh masih panjang. Jika aku tidak punya pekerjaan, lalu bagaimana hidup ibuku nantinya? Orang tuaku telah membesarkanku dan aku harus menafkahi mereka di hari tua mereka. Namun, melepaskan tugasku dan mencari pekerjaan untuk memperoleh uang juga akan membuatku sangat sedih. Aku tahu pekerjaan rumah sakit sangat sibuk, jadi, jika aku bekerja di sana, aku mungkin nyaris tidak punya waktu untuk menghadiri pertemuan. Kemudian, aku pergi untuk melaksanakan tugasku. Namun, aku masih memikirkan ibuku dari waktu ke waktu. Meskipun aku tahu saudara-saudaraku ada bersamanya dan dia seharusnya tidak mengalami kesulitan apa pun dalam hidupnya, aku masih sering merasa menyesal dan berutang budi kepadanya karena tidak mampu menjaganya.

Dalam sekejap mata, sepuluh tahun berlalu. Suatu saat, dalam keadaan yang tidak biasa, aku memikirkan seperti apa ibuku yang tinggal sendirian setelah ayahku meninggal. Ada kepedihan di hatiku yang sulit dikendalikan, seolah-olah semua ini baru terjadi kemarin. Ayahku telah tiada selama sepuluh tahun, tetapi rasa utang budiku terhadap orang tuaku masih terpendam jauh di lubuk hatiku. Aku ingin melepaskan diriku sepenuhnya dari keadaan ini, maka aku datang ke hadapan Tuhan, untuk mencari alasan mengapa aku selalu hidup dalam perasaan berutang budi terhadap orang tuaku.

Aku membaca beberapa firman Tuhan dan memperoleh sedikit pemahaman tentang masalahku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ada pepatah di dunia orang tidak percaya yang berbunyi: 'Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya'. Ada juga yang berikut: 'Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada binatang buas.' Betapa muluk-muluknya semua pepatah ini! Sebenarnya, fenomena yang disebutkan dalam pepatah pertama, bahwa gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya, memang benar-benar ada, ini adalah fakta. Namun, hal tersebut hanyalah fenomena di dunia binatang, semacam aturan yang telah Tuhan tetapkan bagi berbagai makhluk hidup yang dipatuhi oleh segala jenis makhluk hidup, termasuk manusia. Fakta bahwa semua jenis makhluk hidup mematuhi aturan ini makin menunjukkan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan. Tidak ada makhluk hidup yang dapat melanggar aturan ini, dan tidak ada makhluk hidup yang mampu melampauinya. Bahkan karnivor yang relatif ganas seperti singa dan harimau pun mengasuh keturunan mereka dan tidak menggigit mereka sebelum mereka menjadi dewasa. Ini adalah naluri binatang. Apa pun spesies mereka, baik mereka ganas atau jinak dan lembut, semua binatang memiliki naluri ini. Segala jenis makhluk, termasuk manusia, hanya dapat terus berkembang biak dan bertahan hidup dengan mematuhi naluri dan aturan ini. Jika mereka tidak mematuhi aturan ini, atau tidak memiliki aturan dan naluri ini, tidak mungkin mereka dapat berkembang biak dan bertahan hidup. Rantai biologis tidak akan ada, dan dunia ini pun tidak akan ada. Bukankah benar demikian? (Benar.) Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya memperlihatkan dengan tepat bahwa dunia binatang mematuhi aturan semacam ini. Semua jenis makhluk hidup memiliki naluri ini. Begitu keturunan dilahirkan, mereka dirawat dan diasuh oleh induk betina atau binatang jantan dari spesies tersebut sampai mereka menjadi dewasa. Semua jenis makhluk hidup mampu memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka kepada keturunan mereka, dengan sungguh-sungguh dan patuh membesarkan generasi berikutnya. Inilah yang terlebih lagi harus manusia lakukan. Manusia sendiri menyebut dirinya binatang yang lebih tinggi—jika mereka tidak mampu mematuhi aturan ini, dan tidak memiliki naluri ini, berarti manusia lebih rendah daripada binatang, bukan? Oleh karena itu, sebanyak apa pun orang tuamu mengasuhmu saat mereka membesarkanmu, dan sebanyak apa pun mereka memenuhi tanggung jawab mereka kepadamu, mereka hanya melakukan apa yang sudah seharusnya mereka lakukan dalam lingkup kemampuan manusia ciptaan—ini adalah naluri mereka. ... Semua jenis makhluk hidup dan binatang memiliki naluri dan aturan ini, dan mereka mematuhinya dengan sangat baik, melaksanakannya dengan sempurna. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat dihancurkan oleh siapa pun. Ada juga beberapa binatang khusus, seperti harimau dan singa. Ketika binatang-binatang ini sudah dewasa, mereka meninggalkan orang tua mereka, dan beberapa binatang jantan bahkan menjadi saingan, menggigit, bersaing, dan bertarung jika perlu. Ini adalah hal yang normal, ini adalah aturan. Mereka tidak terlalu pengasih, dan mereka tidak hidup dengan perasaan mereka seperti manusia, yang berkata: 'Aku harus membalas kebaikan orang tuaku, aku harus membalas jasa mereka—aku harus menaati orang tuaku. Jika aku tidak berbakti kepada mereka, orang lain akan mengutukku, mencaci maki dan mengkritikku di belakangku. Aku tidak tahan menghadapinya!' Hal-hal seperti ini tidak dikatakan di dunia binatang. Mengapa orang mengatakan hal-hal seperti ini? Karena di tengah masyarakat dan di dalam kelompok masyarakat, ada berbagai gagasan dan pendapat yang keliru. Setelah orang dipengaruhi, dirusak, dan dibusukkan dengan hal seperti ini, muncullah berbagai cara dalam menafsirkan dan menangani hubungan orang tua dan anak dalam diri mereka. Pada akhirnya, mereka memperlakukan orang tua mereka sebagai kreditur—kreditur yang tidak akan pernah mampu mereka bayar seumur hidup. Bahkan ada orang-orang yang merasa bersalah seumur hidup setelah orang tua mereka meninggal, dan menganggap dirinya tidak layak menerima kebaikan orang tua karena satu hal yang mereka lakukan yang membuat orang tua tidak bahagia, atau yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua mereka. Katakan kepada-Ku, bukankah ini berlebihan? Manusia hidup di tengah perasaan mereka sehingga mereka hanya dapat dikendalikan dan diganggu oleh berbagai gagasan yang berasal dari perasaan tersebut" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). "Bagaimanapun juga, dengan membesarkanmu, orang tuamu sedang memenuhi suatu tanggung jawab dan kewajiban. Membesarkanmu menjadi orang dewasa adalah kewajiban dan tanggung jawab mereka, dan ini tidak dapat disebut kebaikan. Jika ini tidak dapat disebut kebaikan, bukankah ini adalah sesuatu yang sudah seharusnya kaunikmati? (Ya.) Ini adalah semacam hak yang sudah seharusnya kaunikmati. Engkau sudah seharusnya dibesarkan oleh orang tuamu, karena sebelum engkau mencapai usia dewasa, peranmu adalah sebagai seorang anak yang sedang dibesarkan. Jadi, orang tuamu hanyalah memenuhi semacam tanggung jawab terhadapmu, dan engkau hanya menerimanya, tetapi tentu saja engkau bukan sedang menerima kasih sayang atau kebaikan dari mereka. Bagi makhluk ciptaan apa pun, melahirkan dan mengasuh anak-anak mereka, bereproduksi, dan membesarkan generasi selanjutnya adalah semacam tanggung jawab. Sebagai contoh, burung, sapi, domba, dan bahkan harimau, harus mengasuh keturunan mereka setelah mereka bereproduksi. Tidak ada makhluk hidup yang tidak membesarkan keturunan mereka. Mungkin saja ada beberapa pengecualian, tetapi jumlahnya tidak banyak. Hal tersebut adalah fenomena alam dalam kelangsungan hidup makhluk ciptaan, hal tersebut adalah naluri makhluk hidup, dan tidak dapat dikaitkan dengan kebaikan. Mereka hanyalah mematuhi aturan yang ditetapkan Sang Pencipta bagi binatang dan manusia. Oleh karena itu, orang tuamu membesarkanmu bukanlah bentuk dari kebaikan. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa orang tuamu bukanlah krediturmu. Mereka sedang memenuhi tanggung jawab mereka terhadapmu. Sebanyak apa pun upaya dan uang yang mereka habiskan untukmu, mereka tidak boleh memintamu untuk membalas jasa mereka, karena ini adalah tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Karena ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban, hal ini sudah seharusnya cuma-cuma, dan mereka tidak boleh meminta imbalan. Dengan membesarkanmu, orang tuamu hanya memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka, dan sudah seharusnya tidak dibayar, dan ini tidak boleh menjadi semacam transaksi. Jadi, engkau tidak perlu memperlakukan orang tuamu atau memperlakukan hubunganmu dengan mereka berdasarkan gagasan membalas jasa mereka. Jika engkau memperlakukan orang tuamu, membayar mereka, dan memperlakukan hubunganmu dengan mereka berdasarkan gagasan tersebut, ini tidak manusiawi. Sekaligus, kemungkinan besar engkau juga akan menjadi terkekang dan terikat oleh perasaan dagingmu, dan akan sulit bagimu untuk keluar dari keterikatan ini, bahkan sampai-sampai engkau mungkin akan tersesat" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (17)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa orang tua yang mengasuh anak mereka bukanlah suatu tindak kebaikan. Itu adalah hukum dan naluri yang telah ditentukan Tuhan bagi semua makhluk hidup. Segala jenis binatang, baik jinak maupun buas, melakukan segalanya untuk membesarkan keturunannya berdasarkan kondisi lingkungan. Ini adalah tanggung jawab dan kewajiban mereka, serta naluri yang Tuhan berikan kepada mereka. Hanya jika makhluk hidup mematuhi naluri dan hukum ini, mereka dapat terus berkembang biak dan bertahan hidup. Manusia juga seperti ini. Sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban orang tua untuk mengasuh anak-anaknya, dan itu adalah suatu bawaan yang Tuhan anugerahkan kepada mereka, sesuatu yang manusia lakukan secara naluriah. Sejak lahir, orang tuaku telah mengasuh aku dan saudara-saudaraku. Adikku suka belajar keterampilan, jadi ibuku membiarkan dia belajar menjadi koki. Aku lebih suka belajar dan nilai-nilaiku selalu bagus. Orang tuaku membantu memupuk ketekunanku, sehingga mereka menghabiskan banyak uang dan energi untukku. Ibuku selalu mengatakan bahwa mereka akan mendukung kami jika kami ingin belajar. Ini adalah ibuku yang memenuhi tanggung jawabnya untuk mengasuh anak-anaknya dan tidak dapat dilihat sebagai suatu transaksi. Orang tuaku selalu mendukungku untuk percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku. Meskipun ayahku telah meninggal, ibuku tidak mengharuskan aku untuk menjaganya. Dia hanya berharap aku bisa percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku dengan sepenuh hati. Namun, selama ini aku telah membiarkan budaya tradisional memengaruhi caraku memandang hubunganku dengan orang tuaku. Pemikiran seperti "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya," "Anak-anak berharap bisa menafkahi orang tuanya saat mereka tua nanti, tetapi waktu tidak menunggu, sama seperti sebuah pohon mendambakan ketenangan, tetapi angin tidak berhenti bertiup," "Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan, dan domba berlutut untuk menerima susu dari induknya," dan "Orang yang tidak berbakti lebih rendah daripada hewan" telah ditanamkan kepadaku sejak kecil, dan aku percaya bahwa kasih orang tuaku adalah kasih terbesar di dunia. Hanya jika aku berbakti kepada mereka dan membalas mereka secara materiel dan spiritual, barulah aku menjadi putri yang berbakti serta orang yang baik. Kepergian Ayah yang tiba-tiba membuatku makin memahami rasa bersalah yang tidak dapat diperbaiki yang diungkapkan dalam kalimat "Anak-anak berharap bisa menafkahi orang tuanya, tetapi waktu tidak menunggu." Jadi, setelah ayahku meninggal, aku ingin mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan uang, menafkahi ibuku, serta menunjukkan baktiku kepadanya. Meskipun aku sadar sepenuhnya bahwa aku tidak boleh meninggalkan tugasku dan mengkhianati Tuhan, aku masih belum bisa membebaskan diri dari gagasan yang mengikatku ini. Andai Tuhan tidak menggunakan badai pasir untuk memperingatkanku, aku mungkin sudah meninggalkan tugasku dan menjauhi Dia. Gagasan-gagasan dari budaya tradisional ini tampaknya cukup mulia, tetapi pada dasarnya, itu sebenarnya adalah rantai tidak kasatmata yang dililitkan Iblis pada manusia. Gagasan-gagasan ini merusak hubungan antara orang tua dan anak mereka. Itu telah membuat orang menganggap tanggung jawab orang tua dalam mengasuh anaknya sebagai suatu kebaikan yang harus dibayar. Jika orang tidak mampu membalas orang tuanya atau syarat untuk melakukannya tidak terpenuhi, mereka akan berpikir bahwa mereka tidak berbakti dan tidak memiliki hati nurani, bahkan seumur hidup akan merasa berutang budi, serta mencela dirinya sendiri. Iblis menggunakan gagasan tradisional ini untuk meracuni dan mengikat manusia, membuat mereka menjauhi Tuhan serta mengkhianati-Nya, sehingga mencapai tujuannya untuk menyakiti manusia. Dengan Tuhan menyingkapkan hubungan antara orang tua dan anak, perlahan-lahan pikiranku menjadi jernih. Orang tuaku yang mengorbankan diri untukku bukanlah suatu beban yang harus kupikul. Aku tidak seharusnya memandang hubunganku dengan orang tuaku berdasarkan budaya tradisional Iblis dan memperlakukan cinta kasih serta kepedulian mereka terhadapku sebagai kebaikan yang perlu dibalas. Ini tidak sejalan dengan kebenaran. Menyadari ini, hatiku menjadi jauh lebih ringan dan terbebaskan.

Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Hubungan dengan orang tua adalah hubungan yang paling sulit untuk orang tangani secara emosional, padahal sebenarnya, hubungan ini bukannya sama sekali tidak bisa ditangani. Orang hanya dapat menangani masalah ini dengan benar dan rasional jika masalahnya ditangani berdasarkan pemahaman mereka akan kebenaran. Jangan mulai menanganinya dari sudut pandang perasaan, dan jangan mulai menanganinya dari wawasan atau sudut pandang orang-orang duniawi. Sebaliknya, perlakukan orang tuamu dengan cara yang sepatutnya menurut firman Tuhan. Apa sebenarnya peran orang tua, apa sebenarnya arti anak-anak bagi orang tua mereka, bagaimana anak seharusnya bersikap terhadap orang tua, dan bagaimana orang seharusnya menangani dan menyelesaikan masalah hubungan antara orang tua dan anak? Orang tidak boleh memandang hal-hal ini berdasarkan perasaan, dan mereka juga tidak boleh dipengaruhi oleh gagasan yang keliru atau sentimen mereka pada saat itu; mereka harus memperlakukan hal-hal ini dengan benar berdasarkan firman Tuhan. Jika engkau tidak dapat memenuhi tanggung jawab apa pun terhadap orang tuamu di lingkungan yang ditetapkan oleh Tuhan, atau jika engkau sama sekali tidak dapat berperan dalam kehidupan mereka, apakah ini berarti engkau tidak berbakti? Akankah hati nuranimu menuduhmu? Tetangga, teman sekelas, dan kerabatmu, semuanya akan mencaci maki dirimu dan mengkritikmu di belakangmu. Mereka semua akan menyebutmu anak yang tidak berbakti, dengan berkata: 'Orang tuamu telah begitu banyak berkorban bagimu, menginvestasikan begitu banyak upaya untukmu, dan melakukan sangat banyak hal bagimu sejak kau masih kecil, dan kau, sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih, malah menghilang tanpa jejak, bahkan tanpa mengabari bahwa engkau baik-baik saja. Bukan saja tidak pulang untuk merayakan Tahun Baru, engkau bahkan tidak menelepon, atau mengirimkan ucapan selamat kepada orang tuamu.' Setiap kali mendengar perkataan seperti itu, hati nuranimu berdarah dan menangis, dan engkau merasa terkutuk. 'Oh, mereka benar.' Wajahmu merah padam, dan hatimu gemetar seolah-olah tertusuk jarum. Pernahkah engkau merasakan perasaan semacam ini? (Ya, sebelumnya.) Apakah perkataan tetangga dan kerabatmu bahwa engkau tidak berbakti itu benar? (Tidak, aku bukannya tidak berbakti.) Jelaskan pemikiranmu tersebut. ... Pertama-tama, kebanyakan orang memilih untuk meninggalkan rumah demi melaksanakan tugas mereka karena di satu sisi, keadaan objektif mereka secara keseluruhan mengharuskan mereka untuk meninggalkan orang tua mereka. Mereka tidak dapat tinggal bersama orang tua mereka untuk merawat dan menemani mereka. Bukan berarti mereka dengan rela memilih untuk meninggalkan orang tua mereka; ini adalah alasan objektifnya. Di sisi lain, alasan subjektifnya, engkau pergi untuk melaksanakan tugasmu bukan karena engkau ingin meninggalkan orang tuamu dan untuk menghindari tanggung jawabmu, melainkan karena panggilan Tuhan terhadapmu. Agar dapat membantun pekerjaan Tuhan, menerima panggilan-Nya, dan melaksanakan tugasmu sebagai makhluk ciptaan, engkau tidak punya pilihan lain selain meninggalkan orang tuamu; engkau tidak dapat berada di sisi mereka untuk menemani dan merawat mereka. Engkau tidak meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu, bukan? Meninggalkan mereka untuk menghindari tanggung jawabmu dan harus meninggalkan mereka untuk menjawab panggilan Tuhan serta melaksanakan tugasmu—bukankah kedua hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Di dalam hatimu, engkau terikat secara emosional dengan orang tuamu dan memikirkan mereka; perasaanmu tidak kosong. Jika keadaan objektifnya memungkinkan dan engkau dapat tetap berada di sisi mereka sembari melaksanakan tugasmu, engkau tentunya mau untuk tetap berada di sisi mereka, merawat mereka dan memenuhi tanggung jawabmu secara teratur. Namun, karena keadaan objektif, engkau harus meninggalkan mereka; engkau tidak bisa tetap berada di sisi mereka. Bukan berarti engkau tidak mau memenuhi tanggung jawabmu sebagai anak mereka, melainkan karena engkau tidak bisa. Bukankah hal ini pada dasarnya berbeda? (Ya.) Jika engkau meninggalkan rumah agar tidak perlu berbakti dan memenuhi tanggung jawabmu, itu berarti engkau tidak berbakti dan tidak memiliki kemanusiaan. Orang tuamu telah membesarkanmu, tetapi engkau ingin secepat mungkin melebarkan sayapmu dan hidup mandiri. Engkau tidak ingin bertemu dengan orang tuamu dan sama sekali tidak peduli saat mendengar orang tuamu mengalami kesulitan. Sekalipun engkau memiliki sarana untuk membantu mereka, engkau tidak melakukannya. Engkau hanya berpura-pura tidak mendengar dan membiarkan orang lain mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan tentangmu—engkau sama sekali tidak mau memenuhi tanggung jawabmu. Ini berarti engkau tidak berbakti. Namun, hal inikah yang terjadi saat ini? (Tidak.) Banyak orang telah meninggalkan kabupaten, kota, provinsi, atau bahkan negara mereka untuk melaksanakan tugas mereka; mereka sudah berada jauh dari kampung halaman mereka. Selain itu, tidaklah nyaman bagi mereka untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka karena berbagai alasan. Sesekali, mereka menanyakan keadaan terkini orang tua mereka dari orang-orang yang kampung halamannya sama dan merasa lega setelah mendengar orang tua mereka masih sehat dan baik-baik saja. Sebenarnya, engkau bukannya tidak berbakti. Engkau belum mencapai taraf tidak memiliki kemanusiaan, di mana engkau bahkan tidak mau memperhatikan orang tuamu atau memenuhi tanggung jawabmu terhadap mereka. Engkau harus mengambil pilihan ini karena berbagai alasan objektif, jadi engkau bukannya tidak berbakti" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa aku selalu hidup dalam perasaan berutang budi terhadap orang tuaku selama ini karena aku telah dipengaruhi dan diracuni oleh budaya tradisional. Kupikir aku tidak hidup sesuai dengan pepatah "Gagak membalas budi kepada induknya dengan memberi mereka makan" dan "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur." Aku menganggap bahwa aku seorang putri yang tidak berbakti. Hati nuraniku terasa berat dan aku tidak dapat menahan air mata. Dari firman Tuhan, akhirnya aku menyadari bahwa orang tidak boleh menilai hati nurani dan kemanusiaan seseorang berdasarkan perilaku luarnya, tetapi berdasarkan esensi tindakannya. Seperti selama bertahun-tahun, aku hanya khawatir tentang ibuku dan ingin menunjukkan baktiku kepadanya karena aku percaya kepada Tuhan dan melaksanakan tugasku berarti aku tidak bisa sering berada di sisinya. Selain itu, pengejaran dan penganiayaan Partai Komunis berarti aku harus melarikan diri dari rumah dan tidak memiliki kesempatan untuk berbakti kepada orang tuaku. Bukannya aku tidak ingin berbakti atau ingin menghindari tanggung jawabku. Masalah ini pada dasarnya berbeda dari memenuhi syarat untuk berbakti tetapi tetap tidak melakukannya, sehingga aku tidak boleh bingung membedakan keduanya. Aku harus memandang diriku dengan benar berdasarkan firman Tuhan: hanya dengan melakukan ini aku bisa melepaskan diri dari tipu daya dan kerusakan Iblis.

Setelah ini, aku membaca beberapa firman Tuhan lagi, dan aku memahami dengan lebih jelas bagaimana cara menghargai hubunganku dengan orang tuaku dengan benar. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ketika berinteraksi dengan orang tuamu, apakah engkau memenuhi kewajibanmu sebagai anak untuk menjaga mereka atau tidak, itu harus sepenuhnya didasarkan pada keadaan pribadimu dan pengaturan Tuhan. Bukankah ini menjelaskan masalahnya dengan sempurna? Ada seseorang yang ketika meninggalkan orang tuanya, merasa sangat berutang kepada mereka dan merasa tidak melakukan apa pun bagi orang tuanya. Namun, ketika dia kemudian tinggal bersama orang tuanya, dia sama sekali tidak berbakti kepada mereka, dan tidak memenuhi kewajiban apa pun. Apakah dia orang yang benar-benar berbakti? Ini hanyalah kata-kata kosong. Apa pun yang kaulakukan, apa pun yang kaupikirkan, atau apa pun yang kaurencanakan, semua itu tidak penting. Hal yang penting adalah apakah engkau mampu memahami dan sungguh-sungguh percaya bahwa semua makhluk ciptaan berada di tangan Tuhan. Beberapa orang tua memiliki berkat itu dan ditakdirkan untuk dapat menikmati kebahagiaan keluarga dan kebahagiaan memiliki keluarga besar yang sejahtera. Ini adalah kedaulatan Tuhan dan berkat yang Tuhan berikan kepada mereka. Beberapa orang tua tidak ditakdirkan seperti ini; Tuhan tidak mengatur hal ini bagi mereka. Mereka tidak diberkati dengan kebahagiaan memiliki keluarga yang bahagia, atau dengan kebahagiaan memiliki anak-anak yang tinggal bersama mereka. Ini adalah pengaturan Tuhan dan manusia tidak dapat memaksakan hal ini. Apa pun yang terjadi, pada akhirnya dalam hal berbakti, setidaknya, orang harus memiliki pola pikir yang mau tunduk. Jika lingkungan mengizinkan, dan engkau memiliki sarana untuk melakukannya, engkau dapat menunjukkan baktimu kepada orang tuamu. Jika lingkungan tidak mengizinkan dan engkau tidak memiliki sarananya, jangan berusaha memaksakannya—disebut apakah sikap seperti ini? (Ketundukan.) Ini disebut ketundukan. Bagaimana engkau dapat memiliki ketundukan seperti ini? Atas dasar apa engkau harus tunduk? Engkau harus tunduk atas dasar bahwa semua hal ini diatur oleh Tuhan dan dikendalikan oleh Tuhan. Meskipun manusia mungkin ingin memilih, mereka tidak bisa, mereka tidak berhak untuk memilih, dan mereka harus tunduk. Setelah engkau merasa bahwa manusia sudah seharusnya tunduk dan bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Tuhan, bukankah hatimu akan merasa lebih tenang? (Ya.) Lalu, akankah hati nuranimu tetap merasa tertegur? Hati nuranimu tidak akan lagi terus-menerus tertegur, dan gagasan bahwa engkau belum berbakti kepada orang tuamu tidak akan lagi menguasai dirimu. Kadang kala, engkau mungkin masih memikirkannya karena hal ini adalah pemikiran atau naluri normal dalam diri manusia, dan tak seorang pun mampu menghindarinya" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Apa yang Dimaksud dengan Kenyataan Kebenaran?"). "Di hadapan Sang Pencipta, engkau adalah makhluk ciptaan. Hal yang harus kaulakukan dalam hidup ini bukanlah sekadar memenuhi tanggung jawabmu kepada orang tuamu, melainkan memenuhi tanggung jawab dan tugasmu sebagai makhluk ciptaan. Engkau hanya dapat memenuhi tanggung jawabmu kepada orang tuamu berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran, bukan melakukan apa pun bagi mereka berdasarkan kebutuhan emosionalmu atau kebutuhan hati nuranimu" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (16)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa jika menyangkut hubungan antara orang tua dan anak, di dalam lingkungan yang telah Tuhan tentukan, kedua belah pihak harus memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan kemampuan dan kondisi masing-masing. Mengenai nasib manusia, Tuhan telah menentukan seberapa besar penderitaan yang ditanggung dan seberapa banyak berkat yang dinikmati seseorang dalam hidupnya. Orang tua tidak dapat menentukan jalan mana yang akan ditempuh anaknya di masa depan, dan anak tidak dapat mengubah nasib orang tuanya melalui kerja kerasnya sendiri. Ada orang yang memiliki berkat tertentu, sementara orang lain tidak memiliki berkat tersebut. Semua ini tidak dapat diubah oleh tekad dan kasih sayang manusia. Seperti bagaimana orang tuaku menyiapkanku untuk kuliah kedokteran, dan meskipun mereka mengeluarkan banyak biaya, pada akhirnya aku tidak bekerja di bidang tersebut. Demikian pula, aku ingin berbakti kepada orang tuaku, tetapi ayahku meninggal terlalu cepat, dan aku ingin berbakti kepada ibuku, tetapi aku tidak pernah bisa berada di sisinya. Di masa lalu, aku khawatir bahwa ibuku menderita dan aku selalu ingin bekerja keras untuk membantunya menjadi lebih bahagia saat usianya tua. Terus terang saja, aku ingin mengerahkan seluruh kemampuanku untuk mengubah nasib ibuku dan menciptakan kebahagiaan untuknya. Faktanya adalah aku bahkan tidak bisa mengendalikan nasibku sendiri, hal yang kulakukan dalam hidupku, atau apakah aku bisa bahagia atau tidak. Bagaimana aku bisa mengubah nasib ibuku? Aku menyadari betapa bodoh dan congkaknya aku. Aku telah menyadari bahwa jika menyangkut ibuku, aku hanya perlu berserah diri dan memenuhi tanggung jawabku sesuai dengan kondisiku sendiri. Jika aku tinggal bersama ibuku dan syarat untuk merawatnya terpenuhi, barulah aku bisa berbakti dengan kemampuan terbaikku. Jika aku tidak bisa berada di sisinya, aku tidak perlu merasa berutang budi karenanya. Karena aku adalah makhluk ciptaan, aku hanya perlu melaksanakan tugasku dengan baik di lingkungan yang telah Tuhan atur bagiku. Inilah hal yang paling penting.

Belum lama ini, aku menghubungi ibuku. Dia memberitahuku bahwa kebahagiaan terbesar dalam hidupnya adalah dipilih oleh Tuhan dan mendengar suara-Nya, serta harapan terbesarnya adalah dia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan layak menerima keselamatan dari Tuhan. Dia juga memberitahuku untuk melaksanakan tugasku dengan sebaik mungkin. Setelah membaca surat ibuku, aku menangis. Apa yang kuyakini tentang sikap berbakti kepada ibuku dan memberinya kehidupan materiel yang lebih baik belum tentu membuatnya bahagia. Sebenarnya, jika menyangkut barang-barang materi, tuntutan ibuku tidak terlalu tinggi. Dia hanya ingin aku mengikuti Tuhan dengan benar, mengejar kebenaran, dan melaksanakan tugasku dengan baik... itulah keinginan terbesarnya. Di masa lalu, aku berpikir bahwa aku harus memikul tanggung jawab untuk berbakti kepada ibuku, mengingat dia dan ayahku telah mengeluarkan biaya lebih banyak untukku dibandingkan dengan saudara-saudaraku, tetapi keadaannya ternyata berbeda dari yang kuharapkan. Belakangan, kupikir bahwa meskipun aku tidak bisa berada di sisi ibuku, kakak laki-lakiku cukup berbakti dan sering menjaga ibuku. Namun, ternyata dia tidak mampu berada di sisi ibuku. Adikku biasanya tidak pandai menabung, dan dahulu aku sering berpikir jika dia punya cukup uang untuk dirinya sendiri, itu sudah bagus. Kini, dialah yang menafkahi ibuku. Tuhan benar-benar berdaulat dan mengatur segala sesuatunya dengan cara yang tidak dapat dibayangkan atau diantisipasi manusia, tetapi sesungguhnya Tuhanlah yang berdaulat dan mengatur nasib setiap manusia, dan nasib adalah sesuatu yang tidak dapat dipilih atau diubah oleh siapa pun. Kini, aku tidak lagi merasa sedih karena semua keadaan yang tampak menyedihkan yang dialami ibuku, dan aku tidak lagi mencemaskan masa depannya. Aku tahu bahwa semua nasib kita ada di tangan Tuhan, dan setiap orang akan mengalami keadaan yang baik dan sengsara, termasuk aku sendiri. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari atau diubah oleh siapa pun. Aku hanya bisa menyerahkan ibuku kepada Tuhan dan meminta-Nya membimbing kami untuk mengejar kebenaran dalam keadaan yang telah Dia atur bagi kami, serta membimbing kami untuk melaksanakan setiap tugas kami dengan baik, dan membalas kasih-Nya. Syukur kepada Tuhan!

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait