Ketenaran dan Kekayaan Pembawa Sengsara

04 Agustus 2021

Oleh Saudari Tian Tian, Tiongkok

Pada satu musim semi, aku dan beberapa dokter senior piknik dan masak-masak. Dalam perjalanan, beberapa warga desa mengenali dr. Wang. Mereka tampak sangat bahagia dan bersyukur. Mereka menyapanya dengan hangat. Saat sedang memasak, kami sadar kalau ada beberapa bahan yang kurang. Warga desa di sana sangat baik. Mereka melihat kami butuh sesuatu dan menawarkan yang mereka punya kepada kami. Beberapa kebutuhan pokok sedang langka saat itu dan cukup berharga. Misalnya, susu. Banyak orang harus mengantre untuk mendapatkannya. Namun, para pekerja pabrik susu membawakannya langsung kepada kami ... Semua ini berkat reputasi dr. Wang. Kulihat mata dr. Wang menyipit saat dia tersenyum, aku langsung merasa iri dan berpikir: "Orang-orang benar-benar menghormati dr. Wang! Mereka menghormatinya ke mana pun dia pergi dan dia tak perlu mencemaskan soal apa pun. Dia hanya perlu menunjukkan wajahnya dan semua akan beres. Sementara aku, aku hanyalah dokter klinik yang tidak dikenal. Aku tak diperlakukan seperti itu. Aku hanya bisa turut menikmati ketenarannya." Namun kemudian, dalam kekecewaanku, aku melihat rambut dr. Wang yang memutih dan berpikir: "Bukankah aku masih muda? Kalau aku mendalami ilmu kedokteran dan belajar dari para dokter kawakan, lambat laun aku bisa terkenal dan dihormati seperti mereka, asalkan aku mau bekerja keras."

Lalu, setelah satu bulan terus berusaha, aku bisa bertugas mandiri serta berpeluang untuk praktik operasi. Namun, ini baru permulaan. Aku tetap harus bekerja lebih keras. Maka aku terus mempelajari teori-teori kedokteran. Aku mengikuti ujian kemahiran dan mengikuti semua jenis kelas perbaikan di luar jam kerjaku. Kalau ada operasi darurat, baik itu dalam jam kerjaku atau tidak, aku tak pernah menolak kesempatan praktik operasi. Terkadang saat sibuk mengoperasi, aku sampai kelaparan, tetapi aku tak bisa menjaga tubuhku sendiri karena dalam operasi tak boleh ada kesalahan. Terkadang aku bahkan harus bekerja 24 jam penuh. Seusai kerja, otakku tak bisa berpikir dan tubuhku kelelahan. Aku sangat ingin beristirahat, tetapi aku ingat nasihat ayahku, "Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian," serta kisah-kisah soal bekerja keras demi meraih tujuanmu. Maka kudorong diriku untuk terus lanjut dan memaksa diri untuk terus bekerja keras. Begitu tiba di rumah pada malam hari, aku langsung berbaring. Aku meregangkan dan melemaskan tubuhku yang kelelahan dan nyeri. Saat kumenutup mata, berharap tertidur, setiap detail dari operasi berkelebat di benakku. Aku takut keadaan jiwaku yang mencemaskan ini bisa menyebabkan kesalahan saat aku mengoperasi. Aku memikirkan rekan-rekan lamaku yang membuat kesalahan kecil dalam pekerjaan dan tak boleh lagi mengoperasi. Kalau sampai ada yang salah, aku takkan bisa sukses. Aku langsung merasa stres, lelah, ketakutan, dan cemas Pikiran dan tubuhku sangat lelah. Terkadang aku akan memikirkan jadwal operasi pilihan untuk esok hari dan selarut apa pun, saat tiba di rumah aku pasti berulang kali memeriksa dan memperbaiki informasi medis yang kubutuhkan untuk operasi besok agar aku tak membuat kesalahan. Aku sangat lelah, tetapi kudorong diriku agar suatu hari nanti aku bisa sukses: "Bekerja keras! Badai pasti berlalu!"

Akhirnya, setelah bekerja keras dengan gigih selama tujuh tahun, aku menjadi dokter bersertifikat. Saat itu, kata-kata yang terngiang di benakku adalah: Semua ini sepadan! Saat pangkatku naik, tarifku pun ikut naik. Aku melakukan semua operasi yang hanya bisa dilakukan oleh dokter bersertifikat dan namaku ada dalam daftar kepala bedah. Gaji dan statusku naik sementara rekan-rekanku tertinggal. Aku merasakan kebahagiaan yang sulit kuungkapkan, terutama di jalanan yang ramai, saat orang-orang mengenaliku. Aku tidak kenal mereka, tetapi mereka mengenalku. Mereka bahkan memuji kalau aku adalah dokter bedah yang baik. Rasa kagum dari para pasien dan hal-hal yang mereka katakan: "Aku menemuimu sebelumnya dan kesehatanku membaik tanpa membayar mahal, tetapi dokterku yang lainnya merawatku lama sekali tanpa perkembangan apa pun." Beberapa orang juga bilang: "Katanya kau dokter yang cakap. Dia menyarankanku untuk menemuimu. Sekarang sulit sekali bertemu denganmu ..." Saat mendengar hal-hal ini, aku tersenyum lebar. Hatiku merasa sangat bahagia. Orang-orang masih mengingat hal-hal ini setelah sekian lama dan yang lain bahkan menemuiku karena aku terkenal. Tiba-tiba aku merasa kalau reputasiku sudah berkembang dan kini aku tahu rasanya sukses. Namun, setelah kebahagiaan itu, aku berpikir kalau jalanku masih jauh untuk menjadi dokter pemeriksa. Aku hanya bisa melakukan operasi normal. Kalau aku menjadi dokter pemeriksa dan bisa melakukan operasi yang lebih besar, para pasien akan makin mengagumiku dan makin banyak orang ingin menemuiku. Bukankah statusku di mata mereka juga akan meningkat?

Setelah itu, aku mempercepat langkahku untuk meraih ketenaran dan kekayaan. Suamiku mengeluh dan kami sering bertengkar, katanya waktuku untuknya makin sedikit. Aku merasa letih dan dizalimi, dan aku terus bertanya kepada diriku sendiri: "Untuk apa semua jerih payahku itu? Bukankah demi karier yang sukses dan hidup yang nyaman? Apakah aku melakukan kesalahan? Tidak. Suamikulah yang tidak masuk akal. Dia tak punya ambisi." Aku menyeka air mataku dan melamar untuk pindah ke unit medis di tingkat kotamadya untuk melanjutkan studi, meningkatkan keterampilan medisku, dan menjadi dokter pemeriksa. Ini kesempatan langka dan tak mau kusia-siakan. Namun, saat pelatihan, tak kusangka aku hamil. Saat tahu kalau aku hamil, aku merasa kebingungan, aku sama sekali tidak merasa kalau ini waktu yang tepat untuk punya anak. Aku berupaya begitu keras untuk mendapatkan kesempatan ini, aku tak bisa berhenti hanya karena seorang anak dan merusak peluangku. Namun, aku memikirkan bayi itu. Aku tak mau menggugurkannya. Kemudian, karena berdiri terlalu lama saat mengoperasi dan bekerja terlalu keras, juga melewatkan waktu makanku untuk melakukan operasi dadakan, akhirnya aku keguguran. Namun, aku tak pernah sedikit pun berhenti mengejar ketenaran dan . Aku ingin kembali bekerja di rumah sakit satu hari setelah janinku diangkat, tetapi tubuhku sangat lemah pada hari itu. Aku merasa tubuhku tidak keruan. Perutku sakit dan badanku lemah. Aku hanya bisa berbaring di ranjang dan istirahat. Namun, aku tak memikirkan soal bayiku yang keguguran, atau cara mengurus tubuhku sendiri, aku hanya mencemaskan soal waktu studiku yang tertunda dan bisa memengaruhi wisudaku. Apakah semua ini akan sia-sia?

Setelah bekerja tak kenal lelah selama tujuh tahun lagi, akhirnya aku mendapatkan posisi dokter pemeriksa yang kuidam-idamkan. Semua pasien yang pernah kurawat menyapa saat melihatku dan bilang ke orang-orang di dekat mereka, "Dokter Tian mengoperasiku dan menyelamatkan hidupku." Beberapa pasien mengunjungiku di rumah, membawakan bermacam-macam panganan lokal. Ada yang membawakan hadiah dan kupon belanja untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. Kadang, aku makan di restoran dan saat melihatku, mereka membayar tagihanku tanpa sepengetahuanku. Meski semua ini membuat orang iri, kebahagiaanku hanyalah sementara. Tak ada yang tahu kesulitan dan penderitaan di balik kebahagiaanku. Aku tak bisa salah sedikit pun saat operasi, atau konsekuensinya akan mengerikan, dan aku selalu cemas akan membuat kesalahan yang bisa menghancurkanku. Aku sangat berhati-hati, bak berjalan di atas duri. Aku terlalu stres, pikiranku tak bisa mengatasinya. Kesehatanku terkena dampaknya dan berat badanku turun sampai hanya sekitar 45 kg. Karena terlalu lama bekerja terlalu keras, kesehatanku memburuk sampai-sampai aku tersiksa oleh insomnia, nyeri perut, dan kolesistitis. Aku tak bisa makan dan tidur. Aku terjaga sepanjang malam dan minum sampai empat butir obat tidur, tetapi tak ada gunanya. Pada siang hari aku linglung dan tak bertenaga. Kakiku terasa seperti terbuat dari timah. Sungguh berat. Aku hanya bisa tersenyum kecut dan berpikir: "Aku sudah dapat status dan rasa kagum dari orang lain, tetapi kini aku bahkan tak bisa tidur atau makan seperti orang normal." Aku bahkan ingin menghindari bekerja, semuanya, dan hanya ingin tidur nyenyak, tetapi itu hanyalah angan-angan belaka. Parahnya lagi, pada saat aku butuh dijaga dan dirawat, suamiku malah keluar minum dan bersenang-senang, dan aku harus menghadapi kesedihanku seorang diri. Aku merana dan merasa putus asa pada malam-malam itu. Aku susah tidur dan sering kali bermimpi terlontang-lantung dalam kegelapan, tak bisa melihat arah tujuanku atau jalan pulang. Aku ketakutan dan kesusahan. Suatu kali, aku tersentak bangun dari tidurku, menangis, "Ah!" Dahiku berkeringat. Kunyalakan lampu, duduk di tepi ranjang, dan membayangkan rasa hormat dari pasien dan pujian dari keluargaku, tetapi itu tidak mengurangi rasa sakitku sama sekali. Mengingat kembali semua jerih payahku selama bertahun-tahun itu, aku terus bertanya: "Aku sudah bekerja keras separuh hidupku supaya bisa sukses, tetapi pada akhirnya, selain momen kejayaan yang singkat itu, yang kudapatkan hanyalah tubuh yang sakit, suami yang berkhianat, serta rasa sakit dan penderitaan tiada akhir. Kenapa begitu? Bagaimana seharusnya agar seseorang bisa memiliki hidup yang bermakna dan bermanfaat?" Aku benar-benar ingin lepas dari rasa sakitku. Aku menemui peramal, aku mencari jawaban pada kutipan orang-orang terkenal, dan mencoba "energi positif" yang digembor-gemborkan orang-orang. Aku membuka Internet dan coba mencari jawaban dalam ajaran agama Buddha, tetapi tak ada jawaban yang memuaskan dan sama sekali tidak memecahkan masalahku. Saat rasa sakitku tak tertahankan lagi, saat aku putus asa atau tak bisa menemukan cara untuk maju, karunia penyelamatan Tuhan Yang Mahakuasa mendatangiku.

Setelah menemukan imanku pada Tuhan, kutemukan jawaban dalam firman Tuhan. Tuhan berfirman: "Orang mengira setelah memiliki ketenaran dan keuntungan, mereka kemudian dapat memanfaatkan hal-hal tersebut untuk menikmati status yang tinggi dan kekayaan yang besar, serta menikmati hidup. Mereka menganggap ketenaran dan keuntungan adalah semacam modal yang bisa mereka gunakan untuk memperoleh kehidupan yang penuh pencarian akan kesenangan dan kenikmatan daging yang sembrono. Demi ketenaran dan keuntungan yang begitu didambakan umat manusia ini, orang-orang bersedia, meskipun tanpa sadar, menyerahkan tubuh, pikiran mereka, semua yang mereka miliki, masa depan, dan nasib mereka kepada Iblis. Mereka melakukannya bahkan tanpa keraguan sedikit pun, tanpa pernah tahu akan perlunya memulihkan semua yang telah mereka serahkan. Dapatkah orang tetap memegang kendali atas diri mereka sendiri setelah mereka berlindung kepada Iblis dengan cara ini dan menjadi setia kepadanya? Tentu saja tidak. Mereka sama sekali dan sepenuhnya dikendalikan oleh Iblis. Mereka telah sama sekali dan sepenuhnya tenggelam dalam rawa, dan tidak mampu membebaskan dirinya. Begitu seseorang terperosok dalam ketenaran dan keuntungan, mereka tidak lagi mencari apa yang cerah, apa yang benar, atau hal-hal yang indah dan baik. Ini karena kekuatan menggoda yang dimiliki ketenaran dan keuntungan atas diri orang-orang terlalu besar; ketenaran dan keuntungan menjadi hal yang dikejar orang sepanjang hidup mereka dan bahkan untuk selamanya tanpa akhir. Bukankah benar demikian?" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Firman Tuhan mencerahkan hatiku. Aku ingat saat pergi masak-masak dengan dr. Wang, ketika kutetapkan dalam hatiku asalkan aku punya status, dan keterampilan medis tingkat tinggi, orang-orang akan menghormatiku, aku akan diperlakukan spesial, dan hidupku akan mudah. Aku juga menelan racun iblis seperti "Manusia mati meninggalkan nama," "Unggul dari yang lain," dan "Manusia bergelut ke atas; air mengalir ke bawah," sampai-sampai mengejar ketenaran dan kekayaan menjadi pencarian dan tujuan dalam hidupku. Aku terus bekerja keras agar karierku menanjak. Setelah mendapatkan rasa hormat dan pujian dari orang-orang di dekatku, aku merasa sukses, yang membuatku tetap di jalan yang salah, tanpa sedikit pun penyesalan. Aku habiskan lebih dari 10 tahun terbaikku mengejar ketenaran dan kekayaan, mengorbankan keluarga dan anak dalam kandunganku. Aku merusak kesehatanku dan berakhir dengan tubuh yang sakit. Sayang sekali rasanya setelah semua pengorbananku, barulah aku berpikir: "Apalah gunanya ketenaran dan kekayaan bagiku? Mengejarnya telah membuatku lelah dan menderita, dan setelah mendapatkannya, aku tetap sangat menderita. Jelas, mengejar ketenaran dan kekayaan pada akhirnya adalah jalan yang salah." Akhirnya aku paham, berjuang demi mendapat ketenaran dan kekayaan adalah kekuatan jahat yang membelit orang-orang bak tali dan mencekik mereka. Rasanya bagaikan kuk yang dipasang Iblis di sekujur tubuhku sehingga aku rela menderita dan mengorbankan segalanya. Akhirnya, Iblis mendapatkan keinginannya. Seperti dalam firman Tuhan: "Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan pikiran manusia, sampai satu-satunya yang orang pikirkan adalah ketenaran dan keuntungan. Mereka berjuang demi ketenaran dan keuntungan, menderita kesukaran demi ketenaran dan keuntungan, menanggung penghinaan demi ketenaran dan keuntungan, mengorbankan semua yang mereka miliki demi ketenaran dan keuntungan, dan mereka akan melakukan penilaian atau mengambil keputusan demi ketenaran dan keuntungan. Dengan cara ini, Iblis mengikat orang dengan belenggu yang tak kasat mata, dan mereka tidak punya kekuatan ataupun keberanian untuk membuang belenggu tersebut. Mereka tanpa sadar menanggung belenggu ini dan berjalan maju dengan susah payah. Demi ketenaran dan keuntungan ini, umat manusia menjauhi Tuhan dan mengkhianati Dia dan menjadi semakin jahat. Jadi, dengan cara inilah, generasi demi generasi dihancurkan di tengah ketenaran dan keuntungan Iblis" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Aku melihat betapa Iblis penuh kebencian dan aku bersyukur kepada Tuhan dari dasar lubuk hatiku. Tepat saat Iblis berhasil memojokkanku, Tuhan tidak hanya berdiam diri dan menyaksikan, Ia mengulurkan tangan penyelamat-Nya kepadaku, menenangkanku dengan firman-Nya, menyemangatiku, dan membantuku menemukan sumber penderitaanku. Hanya Tuhanlah yang begitu mencintai manusia. Ia menjadi daging untuk mengungkap kebenaran, mengajarkan kita untuk melihat mana yang baik dan yang buruk, yang positif dan yang negatif. Aku sadar aku tak bisa terus mengikuti jalan yang salah, menghabiskan waktuku mengejar ketenaran dan keuntungan. Aku harus menyembah sang Pencipta. Setelah itu, aku habiskan lebih banyak waktu senggangku membaca firman Tuhan dan bersekutu dengan saudara-saudariku untuk hal-hal yang tidak kupahami, jadi, kami bisa saling bantu dan mendukung. Tak lama, aku memahami beberapa kebenaran dan makin memahami beberapa hal. Pikiranku jauh lebih santai. Perlahan-lahan, insomniaku membaik, sakit perut dan kantung empeduku juga membaik. Inilah hal-hal yang tak bisa kudapatkan dari mengejar ketenaran dan keuntungan. Aku benar-benar merasakan suka cita kebebasan spiritual.

Setelah itu, aku melihat rekan-rekanku berupaya mendapatkan promosi dan mereka yang memiliki kemampuan profesional di bawahku, beberapa bahkan orang yang pernah kulatih, semua menjadi asisten profesor. Aku sedikit merasa tertinggal. Kupikir jika kesehatanku tidak memburuk dan membuatku tertinggal sekitar 10 tahun, melihat keahlianku, setidaknya aku pasti bisa menjadi asisten profesor. Namun, mengingat kembali bagaimana dulu aku mengejar promosi dan berujung dengan tubuh yang sakit, rasa nyeri, dan menderita, aku sadar kalau ini adalah salah satu tipu muslihat Iblis. Iblis memanfaatkan keinginanku untuk merayuku kembali ke dalam pusaran ketenaran dan keuntungan. Kalau aku mulai mengejar ketenaran dan keuntungan lagi, bisa-bisa nyawaku yang hilang. Apa gunanya? Aku memikirkan sesuatu yang dikatakan Tuhan Yesus: "Karena apa untungnya jika seseorang mampu mendapatkan seluruh dunia, dan kehilangan jiwanya sendiri? Atau apa yang bisa diberikan seseorang sebagai ganti jiwanya?" (Matius 16:26). Lalu Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Sebagai seorang yang normal dan yang berupaya keras untuk mengasihi Tuhan, masuk ke dalam kerajaan untuk menjadi salah satu dari antara umat Tuhan adalah masa depanmu yang sejati dan suatu kehidupan yang paling berharga dan penting; tidak ada yang lebih diberkati dari dirimu. Mengapa Kukatakan demikian? Sebab mereka yang tidak percaya kepada Tuhan hidup untuk daging, dan mereka hidup untuk Iblis, tetapi sekarang, engkau hidup untuk Tuhan, dan hidup untuk melakukan kehendak Tuhan. Itu sebabnya Kukatakan bahwa hidupmu adalah hidup yang paling bermakna" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Kenalilah Pekerjaan Terbaru Tuhan dan Ikutilah Jejak Langkah-Nya"). Aku memahami kehendak Tuhan melalui firman-Nya. Setinggi apa pun status kita, apa pun reputasi kita, mengejar ketenaran dan kekayaan adalah jalan yang salah dan jalan itu berujung kematian. Kita tak bisa menerima berkat atau perlindungan Tuhan jika mengambil jalan ini. Hanya dengan mengejar kebenaran dan menjalankan tugas, melenyapkan kerusakan kita dengan mengalami pekerjaan Tuhan dan coba mengenal-Nya, barulah kita bisa memiliki hidup yang bermakna dan bermanfaat, dan pada akhirnya kita akan menerima berkat-Nya. Inilah masa depan sejati yang harus dimiliki seseorang. Kalau aku terus coba memuaskan nafsu duniawiku, Tuhan tidak akan memberkatiku, Ia bahkan akan membenciku. Ini beberapa contoh nyata dari orang-orang yang kukenal: Putri bosku adalah sarjana, memiliki karier yang bagus, dan tinggal di luar negeri. Namun, setelah melewati persaingan sengit dan terlalu stres selama bertahun-tahun, dia terkena depresi, terjun dari atas bangunan, dan tewas. Lalu putra temanku, yang menjadi manajer pada usia muda dan mencapai kesuksesan, terkena sirosis hati karena terlalu banyak minum miras ketika bergaul. Dia meninggal bahkan tak sampai enam bulan kemudian, lalu rambut temanku memutih dalam semalam akibat kesedihannya. Aku ingat pernah membaca firman Tuhan ini: "Orang menyadari bahwa uang tidak bisa membeli hidup, bahwa ketenaran tidak bisa menghapus kematian, bahwa baik uang maupun ketenaran tidak dapat memperpanjang hidup orang barang semenit atau sedetik pun" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Ketenaran dan keuntungan tidak bisa melenyapkan penderitaan dan menyelamatkan nyawa kita. Hal ini hanya bisa memancing kita kembali ke dalam jurang kematian setelah merasakan kebahagiaan singkat. Setelah memahami hal ini, aku tak pernah terganggu atau terpengaruh oleh orang-orang di sekitarku lagi. Aku jadi ikhlas menghabiskan waktuku yang terbatas untuk mengejar kebenaran dan mengenal Tuhan, hidup sesuai dengan tuntutan Tuhan dan menjalankan tugasku dalam rumah Tuhan.

Suatu hari, aku ditelepon direktur rumah sakit lain. Dia bilang, "Karena kau sudah pensiun, kami mau mengadakan jamuan makan untuk merayakannya, dan kita bisa bahas soal kolaborasi yang pernah kita bicarakan. Kami ingin memajang izin praktik dokter pemeriksamu di rumah sakit kami untuk menarik mantan pasienmu. Kau juga bisa bekerja untuk kami, atau menjadi pemegang saham. Terserah kau." Saat mendengarnya, aku berpikir, "Aku sudah habiskan sebagian besar hidupku mengejar ketenaran dan keuntungan, lalu apa yang kudapat? Apa aku mau menghabiskan seluruh hidupku terbenam dalam ketenaran dan keuntungan? Menghilangkan penderitaan dari mengejar ketenaran dan kekayaan tidaklah mudah. Aku tak perlu terjaga setiap malam lagi, atau selalu hidup penuh kecemasan dan ketakutan. Aku sudah merasakan kedamaian batin yang kudapatkan dari memercayai Tuhan dan memahami kebenaran. Sebaiknya kucengkeram kebahagiaan ini erat-erat. Lagi pula, meski aku hanya perlu memajang izin praktikku di rumah sakit itu, kalau ada masalah, aku tetap harus datang, dan bukankah itu akan menggangguku dalam menjalankan tugasku?" Aku memikirkan firman Tuhan Yang Mahakuasa: "Sekarang ini, setiap hari yang engkau semua jalani sangatlah penting, dan itu sepenuhnya penting bagi tempat tujuan dan nasibmu, jadi engkau semua harus menghargai segala sesuatu yang engkau miliki hari ini, dan menghargai setiap menit yang berlalu. Engkau semua harus mendapatkan waktu sebanyak-banyaknya, sebisa mungkin, untuk memperoleh manfaat terbesar bagi dirimu sendiri, supaya engkau tidak menjalani hidup ini dengan sia-sia" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Kepada Siapakah Engkau Setia?"). Aku beruntung mendapatkan kesempatan langka untuk menemukan Tuhan. Tuhanlah yang membuatku memahami makna hidup dan menarikku keluar dari jurang penderitaan. Mana mungkin aku kembali ke pelukan Iblis? Pekerjaan Tuhan hampir selesai dan aku belum mendapatkan kebenaran. Aku harus mensyukuri setiap hari dan mengejar kebenaran dalam waktuku yang terbatas ini. Seperti itulah hidup yang indah! Setelah memahami kehendak Tuhan, aku menolak tawaran sang direktur. Begitu menutup telepon, aku merasa sangat merdeka. Aku langsung bilang, "Seharusnya aku berhenti mengejar ketenaran dan keuntungan sejak dulu." Rumah sakit lain menghubungiku soal bekerja sama. Kutolak mereka semua. Saat ini, aku memfokuskan diri untuk menjalankan tugasku. Setiap hari aku merasa sangat tenang dan bahagia. Hal ini tak mungkin didapatkan dari kebahagiaan materiil, ketenaran, atau status. Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa karena telah menyelamatkanku!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Persimpangan

Oleh Saudari Wang Xin, KoreaDahulu aku memiliki keluarga yang bahagia, dan suamiku sangat baik kepadaku. Kami membuka restoran keluarga...

Pilihanku untuk Sisa Hidupku

Oleh Saudara Xiao Yong, Tiongkok Saat masih anak-anak, keluargaku terbilang miskin dan kami sering dirundung oleh penduduk desa lain. Aku...

Memilih Antara Sekolah dan Tugas

Oleh Saudari Lu Yang, TiongkokSejauh yang kuingat, orang tuaku tak pernah akur. Mereka selalu bertengkar, dan terkadang ayah akan memukul...

Pilihan Seorang Dokter

Oleh Saudari Yang Qing, Tiongkok Ketika aku masih kecil, keluargaku sangat miskin. Ibuku lumpuh, terbaring di tempat tidur, dan minum obat...