Aku Menyakiti Diriku Sendiri dengan Menutupi Diri dan Tipu Muslihat
Pada bulan September 2021, gereja mengatur agar aku berpartisipasi dalam produksi proyek video baru—sebuah proyek yang tampaknya cukup sulit. Aku tahu bahwa aku kurang memiliki prinsip dan kemampuan profesional. Jadi aku belajar dengan giat, dan ketika menghadiri pertemuan dan membahas masalah, aku selalu berbicara secara aktif, dengan harapan orang lain akan menyadari kualitasku yang cukup baik dan menganggapku sebagai seseorang yang layak untuk dikembangkan. Namun, tak lama kemudian, serangkaian masalah mulai muncul satu demi satu.
Suatu kali, ketika kami sedang membahas produksi sebuah video, aku menunjukkan sesuatu yang kulihat sebagai masalah. Namun, berdasarkan penilaian yang berprinsip, semua orang memutuskan bahwa sebenarnya itu bukanlah masalah. Hal ini membuatku merasa kecil hati, seolah-olah aku tidak berguna. Di lain waktu, ketika aku memiliki saran untuk sebuah video, aku memikirkannya cukup lama sebelum menyampaikan pendapatku. Namun, aku tetap tidak bisa menyampaikannya dengan benar. Aku menyesal setelah berbicara, pikirku, "Andai aku tahu orang-orang akan bereaksi seperti ini, aku tidak akan mengatakan apa pun!" Dahulu, ketika aku mengerjakan proyek sederhana, aku bisa mendapatkan persetujuan dari saudara-saudariku setiap kali aku memberikan saran atau menyampaikan pendapat. Namun sekarang, aku bahkan tidak bisa melihat masalah dengan jelas dan selalu melakukan kesalahan. Apakah saudara-saudari akan berpikir bahwa kualitasku tidak begitu bagus? Jika keadaan terus seperti ini, apakah mereka akan mulai mempertanyakan apakah aku cocok untuk melaksanakan pekerjaan ini? Sepertinya aku harus lebih berhati-hati saat memberikan saran atau menyampaikan pendapat di kemudian hari—jika aku tidak yakin tentang sesuatu, lebih baik jangan mengatakan apa pun, dan sebisa mungkin menghindari kesalahan, sehingga yang lain tidak akan melihat kebenaran tentang betapa tidak kompetennya aku. Namun, ketakutan terburukku pun menjadi kenyataan. Suatu hari, aku sedang bersekutu di suatu pertemuan ketika pemimpin tim tiba-tiba menyelaku. Dia berkata bahwa aku telah menyimpang dari topik, dan persekutuanku seharusnya berkisar pada firman Tuhan. Aku sangat malu—mukaku memerah, dan aku hanya ingin bersembunyi ke dalam lubang di tanah. Selama sisa pertemuan itu, aku hanya menundukkan kepala seperti bunga yang layu. Aku merasa malu, terhina, dan lesu. Sejak awal, kemampuan profesionalku lebih buruk daripada orang lain, dan pandanganku dangkal terhadap berbagai masalah. Namun kini, aku bahkan tidak dapat mengutarakan poin-poin penting saat berbicara. Apa yang akan dipikirkan orang tentangku setelah aku mengungkapkan begitu banyak kekurangan dalam waktu yang singkat? Akankah mereka menganggap kualitasku buruk? Sejak saat itu, setiap kali kami berbicara bersama-sama tentang pekerjaan, aku merasa gelisah, dan perutku terasa bergejolak karena cemas. Aku ingin memberikan saran, tetapi setiap kali memikirkannya, aku mempertimbangkannya kembali dan tidak berani mengucapkannya, karena takut jika aku melakukan kesalahan, semua orang akan melihat bahwa aku tidak kompeten. Aku memutuskan bahwa lebih baik tidak mengatakan apa pun daripada mengucapkan sesuatu yang salah. Jadi, ketika kami sedang membahas masalah, aku tidak lagi berbicara sama sekali. Kadang-kadang, aku mendapati diriku mengagumi orang lain, yang selalu menyuarakan ide apa pun yang ada di benak mereka. Namun, aku tetap tidak dapat memaksakan diri untuk melakukan hal yang sama—aku tidak memiliki keberanian seperti itu. Sebenarnya, aku tahu ini salah. Aku merasa tidak nyaman dan tertekan, tetapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa waktu kemudian, seorang pemimpin gereja kami diberhentikan. Ketika para pemimpin atas mengungkapkan kinerjanya, mereka menyebutkan bahwa dia selalu berusaha menutupi kekurangannya dan tidak pernah terbuka saat melaksanakan tugasnya. Kata-kata mereka menyentuh hatiku, dan aku tidak dapat menahan diri untuk memikirkan tindakanku sendiri. Akhir-akhir ini aku menutup diri, menyembunyikan ide dan sudut pandangku sendiri karena takut orang lain akan melihat diriku yang sebenarnya. Saat itu, aku menyadari betapa berbahayanya keadaanku, dan aku tahu aku harus mencari kebenaran dan menyelesaikannya dengan segera.
Saat mencari, aku membaca satu bagian dari firman Tuhan: "Melakukan kesalahan atau menyamarkan diri: yang manakah dari kedua hal ini yang berkaitan dengan watak? Menyamarkan diri adalah masalah watak, itu melibatkan watak yang congkak, kejahatan, dan kelicikan; ini terutama dibenci oleh Tuhan. ... Jika, setelah melakukan sebuah kesalahan, engkau dapat memperlakukannya dengan benar, dan dapat membiarkan orang lain membicarakannya, mengizinkan mereka memberi komentar dan pemahaman mereka tentang hal itu, dan engkau dapat membuka diri tentang itu serta menganalisisnya, akan seperti apa pendapat semua orang tentang dirimu? Mereka akan menganggapmu orang yang jujur, karena hatimu terbuka kepada Tuhan. Melalui tindakan dan perilakumu, mereka akan dapat melihat hatimu. Namun, jika engkau berusaha menyamarkan dirimu dan menipu semua orang, orang akan memandang rendah dirimu, dan menganggapmu orang yang bodoh dan tidak bijak. Jika engkau tidak berusaha berpura-pura atau membenarkan dirimu, jika engkau mampu mengakui kesalahanmu, semua orang akan berkata engkau jujur dan bijak. Dan apa yang membuatmu bijak? Semua orang melakukan kesalahan. Semua orang memiliki kelemahan dan kekurangan. Dan sebenarnya, semua orang memiliki watak rusak yang sama. Jangan menganggap dirimu lebih mulia, lebih sempurna, dan lebih baik daripada orang lain; itu berarti bersikap sama sekali tak masuk akal. Setelah engkau memahami tentang watak rusak manusia, serta esensi dan kerusakan manusia yang sebenarnya, engkau tidak akan berusaha menutupi kesalahanmu sendiri, engkau juga tidak akan memanfaatkan kesalahan orang untuk menindas mereka—engkau akan mampu memperlakukan kedua hal ini dengan tepat. Hanya setelah itulah, engkau akan berwawasan luas dan tidak melakukan hal-hal bodoh, yang akan membuatmu menjadi bijak. Orang yang tidak bijak adalah orang bodoh, dan mereka selalu berkutat dengan kesalahan kecil mereka sambil bersikap licik di balik layar. Ini menjijikkan untuk dilihat. Sebenarnya, apa yang sedang kaulakukan itu segera terlihat oleh orang lain, tetapi engkau masih terang-terangan berpura-pura. Bagi orang lain, ini terlihat seperti pertunjukan badut. Bukankah ini bodoh? Benar-benar bodoh. Orang bodoh tidak memiliki hikmat. Sebanyak apa pun khotbah yang mereka dengar, mereka tetap tidak memahami kebenaran atau melihat apa pun sebagaimana adanya. Mereka tak pernah berhenti bersikap congkak, menganggap diri mereka berbeda dari orang lain dan lebih terhormat; ini adalah sikap yang congkak dan merasa diri benar, ini adalah kebodohan. Orang bodoh tidak memiliki pemahaman rohani, bukan? Hal-hal di mana engkau bodoh dan tidak bijak adalah hal-hal di mana engkau tidak memiliki pemahaman rohani, dan tidak dapat dengan mudah memahami kebenaran. Inilah kenyataannya" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Prinsip-Prinsip yang Seharusnya Menuntun Perilaku Orang"). Setelah membaca firman Tuhan, aku merenungkan keadaanku akhir-akhir ini. Awalnya, kupikir dengan terpilih untuk berpartisipasi dalam proyek video baru berarti kualitas dan kemampuanku tidak terlalu buruk, dan aku layak untuk dibina. Jadi, aku secara aktif mengungkapkan pendapatku dan terlibat dalam persekutuan dan diskusi, berharap untuk mendapatkan persetujuan semua orang. Namun, ketika aku menyadari bahwa aku terus-menerus menyingkapkan masalahku, aku merasa malu. Orang-orang melihat diriku yang sebenarnya, dan aku tidak dapat menerimanya. Kupikir kesalahanku membuktikan bahwa aku tidak baik, bahwa aku tidak cocok untuk pekerjaan ini. Jadi, aku menutup diri dan mengenakan topeng, berharap yang lain tidak menyadari betapa tidak cakapnya aku. Watakku sangat congkak dan licik! Kenyataannya, fakta bahwa aku telah diberi tugas ini tidak membuktikan bahwa aku memang baik sejak awal— gereja hanya memberiku kesempatan untuk menerapkan. Sebenarnya, aku masih banyak kekurangan dan kelemahan, dan aku harus belajar serta memperbaiki diri selama melaksanakan tugasku. Namun, aku tidak menyikapi masalah-masalah ini dengan benar. Aku tidak merenungkan penyebab kesalahanku, dan aku tidak mencari prinsip-prinsip kebenaran untuk menebus kekuranganku. Sebaliknya, aku memeras otak untuk mencoba dan menemukan cara menyembunyikan masalahku, sehingga orang lain tidak melihat diriku yang sebenarnya. Bagaimana mungkin aku bisa begitu licik dan bodoh? Belakangan, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Ketika orang melaksanakan tugas atau pekerjaan apa pun di hadapan Tuhan, hati mereka harus murni: hati mereka harus seperti semangkuk air bersih—jernih, tanpa ketidakmurnian. Jadi, sikap seperti apa yang benar? Apa pun yang sedang kaulakukan, engkau harus mampu mempersekutukan apa pun yang ada dalam hatimu dengan orang lain, apa pun ide yang mungkin kaumiliki. Jika seseorang mengatakan bahwa caramu melakukan sesuatu tidak akan berhasil, dan mereka mengajukan ide yang lain, dan jika engkau merasa bahwa ide mereka sangat baik, engkau harus melepaskan caramu sendiri, dan melakukannya sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Dengan melakukannya, semua orang akan melihat bahwa engkau mampu menerima saran orang lain, memilih jalan yang benar, bertindak berdasarkan prinsip, dan melakukannya dengan transparan dan kejelasan. Tidak ada kegelapan di dalam hatimu, dan engkau bertindak dan berbicara dengan tulus, mengandalkan sikap yang jujur. Engkau mengatakan yang sebenarnya. Jika ya, engkau mengatakan ya; jika tidak, engkau mengatakan tidak. Tidak ada tipu muslihat, tidak ada rahasia, hanya seseorang yang sangat transparan. Bukankah ini adalah semacam sikap? Ini adalah sikap terhadap orang, peristiwa dan hal-hal dan merepresentasikan watak seseorang" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Tuhan menyukai orang yang jujur. Aku harus melaksanakan tugasku dengan sikap jujur. Apa pun yang aku lakukan atau katakan, aku harus terus terang dan terbuka, mengucapkan apa yang kupikirkan, dan jika masalah muncul, aku harus mampu mengakui, menangani, dan mengatasinya dengan tepat. Jadi, aku memeriksa kesalahanku sebelumnya satu per satu. Aku mencari alasan mengapa berbagai hal menjadi salah, dan berusaha memahami prinsip-prinsip terkait. Baru saat itulah aku menyadari bahwa berbuat kesalahan memungkinkan kita menemukan kelemahan kita sendiri dan memperbaikinya tepat pada waktunya, yang merupakan hal baik. Namun, aku selalu khawatir dengan citra dan statusku sendiri, menutup diri, berpura-pura, tidak mau bicara apa adanya, dan takut menyingkapkan kekuranganku. Dengan melakukan ini, aku tidak akan pernah bisa menutupi kekuranganku, dan kemajuanku akan lambat. Bukankah itu berarti aku hanya menggali lubang untuk diriku sendiri? Setelah menyadari hal ini, secara sadar aku mulai memperbaiki mentalitasku. Ketika mendiskusikan pekerjaan dengan saudara-saudari lain atau mengajukan saran untuk video, aku menyuarakan sudut pandang apa pun yang ada dalam pikiranku tanpa mencoba menebak bagaimana pendapat itu akan diterima. Meskipun beberapa ide dan pendapatku masih tidak tepat, berkat koreksi dan bimbingan saudara-saudariku, aku mulai memahami beberapa prinsip yang terlibat. Perlahan-lahan, aku menjadi tidak terlalu terkekang dan merasa lebih tenang, dan hatiku menjadi lebih ringan.
Setelah beberapa saat, kami harus menggunakan beberapa teknologi baru untuk meningkatkan kualitas video. Teknologi itu baru kukenal, tetapi dengan berdiskusi dan mempelajari keterampilan yang diperlukan bersama orang lain, perlahan-lahan aku mulai agak memahaminya. Ketika melihat bagaimana saudari yang menjadi rekan kerjaku menyampaikan ide-idenya dan memberikan saran, bagaimana analisisnya selalu logis dan berdasar, dan bagaimana atasannya sering meminta pendapatnya tentang berbagai hal, aku merasa sangat iri. Di sisi lain, aku masih bukan siapa-siapa. Aku bertanya-tanya kapan semua orang akhirnya akan mengenal siapa diriku. Kadang-kadang, selama diskusi pekerjaan, aku memikirkan cara menggunakan kata-kataku agar orang lain akan memiliki kesan yang baik tentangku—agar mereka tahu bahwa aku bukannya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang masalah yang sedang dihadapi. Suatu hari, kami semua sedang mendiskusikan rencana produksi video ketika aku memperhatikan suatu masalah. Agar dapat berbicara dengan singkat dan langsung ke pokok permasalahan, dan menunjukkan bahwa aku tahu sedikit tentang teknologi baru ini, aku ingin memilih kata-kata dengan hati-hati sebelum berbicara. Namun, makin aku khawatir, makin aku tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, malah saudari yang menjadi rekan kerjaku yang mengangkat masalah itu untukku. Belakangan, aku memikirkan solusinya. Aku dan rekan kerjaku dapat mendiskusikan apa yang harus dikatakan sebelumnya. Kemudian, aku akan menyampaikan sudut pandangku kepada yang lain terlebih dahulu dalam pertemuan tersebut. Dengan cara ini, aku akan mampu mengungkapkan diriku dengan lebih baik, dan aku akan merasa bahwa aku ada di tim kami. Masalahnya adalah, ketika aku berpartisipasi dalam diskusi sendirian, aku tetap tidak berani mengemukakan pandanganku. Sebaliknya, aku akan menunggu orang lain selesai mengungkapkan pendapat mereka, lalu mengucapkan satu kata "Oke", sambil berpura-pura mengerti apa yang telah dikatakan. Hal ini terus berlanjut hingga aku tidak lagi merasa terbebani ketika membahas masalah. Saat aku mendengarkan mereka berbicara, terkadang aku melamun, atau bahkan tertidur.
Suatu hari, rekan kerjaku menemuiku dan mengatakan bahwa aku belum melaksanakan tugasku seaktif sebelumnya. Dia bertanya padaku, apakah aku sedang dalam keadaan tertentu, dan aku terbuka kepadanya tentang penyingkapanku baru-baru ini. Dia menggunakan pengalamannya untuk membantuku dan mengirimiku beberapa firman Tuhan yang berbunyi: "Antikristus meyakini bahwa jika mereka terlalu banyak bicara, selalu mengungkapkan pandangannya dan bersekutu bersama orang lain, semua orang akan mengetahui yang sebenarnya tentang dirinya; orang akan berpikir bahwa antikristus tidak memiliki wawasan yang mendalam, hanya orang biasa, dan tidak akan menghormatinya. Apa artinya kehilangan rasa hormat bagi antikristus? Itu berarti kehilangan status terhormatnya di hati orang lain, mereka akan terlihat biasa-biasa saja, bodoh, dan tidak penting. Inilah yang ingin dihindari oleh antikristus. Oleh karena itu, ketika antikristus melihat orang lain di gereja selalu terbuka dan mengakui kenegatifannya, pemberontakannya terhadap Tuhan, kesalahan masa lalu, atau penderitaan mendalam yang dirasakan saat ini karena tidak bersikap jujur, antikristus menganggap orang-orang ini bodoh dan naif karena mereka sendiri tidak pernah mengakui hal-hal seperti itu dan menyembunyikan pemikirannya. Ada orang-orang yang jarang berbicara karena kualitas yang buruk atau pemikiran yang sederhana, kurangnya pemikiran yang kompleks, tetapi ketika antikristus jarang berbicara, itu bukan karena alasan yang sama; justru itu adalah masalah watak. Mereka jarang berbicara ketika bertemu dengan orang lain dan tidak siap mengungkapkan pandangannya tentang berbagai hal. Mengapa mereka tidak mengungkapkan pandangannya? Pertama, mereka jelas tidak memiliki kebenaran dan tidak dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi. Jika berbicara, mereka mungkin akan membuat kesalahan dan memperlihatkan dirinya yang sebenarnya. Mereka takut diremehkan, jadi mereka berpura-pura diam dan berlagak memiliki wawasan yang mendalam sehingga sulit bagi orang lain untuk menilainya. Dengan begitu, mereka tampak bijaksana dan terhormat. Dengan kedok ini, orang lain tidak berani meremehkan antikristus, sikap mereka yang tampak tenang dan kalem membuat orang lain makin menghormatinya dan tidak berani menyepelekannya. Inilah aspek antikristus yang licik dan jahat. Mereka jarang mengungkapkan pandangannya karena sebagian besar pandangannya tidak sejalan dengan kebenaran, tetapi hanya gagasan dan imajinasi manusia yang tidak layak untuk diungkapkan ke publik. Jadi, mereka tetap diam. ... Mereka tidak ingin orang lain mengetahui kelemahan dan keterbatasannya, tetapi di balik ini ada juga maksud yang tercela, yaitu untuk dikagumi. Bukankah ini yang paling menjijikkan?" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Enam). Dahulu, ketika aku membaca firman Tuhan yang mengungkapkan watak antikristus, aku hampir tidak pernah mengamati diriku sendiri melalui firman-Nya. Kupikir aku tidak punya status apa pun, apalagi ambisi dan keinginan besar. Namun sekarang, ketika membandingkan diriku dengan firman Tuhan, aku menyadari bahwa antikristus sering kali enggan mengungkapkan pandangan mereka untuk menutupi kekurangan mereka sendiri, dan mereka sering kali diam untuk berpura-pura bijak. Ini dimaksudkan agar semua orang di sekitar mereka secara keliru berpikir bahwa mereka memahami kebenaran, dan mengagumi mereka. Bukankah itu yang sedang kulakukan? Sebenarnya, aku sama sekali tidak menguasai teknologi baru ini. Namun, demi menjaga nama baik dan memiliki kedudukan yang kuat di dalam kelompok, aku tidak pernah berbicara terbuka tentang kekurangan atau kelemahanku. Aku akan memasang topeng, berpura-pura memahami banyak hal dan tidak berani menyampaikan pendapat di depan semua orang, karena takut salah bicara dan mereka menganggapku sebagai orang awam. Aku bahkan menutupi kekuranganku dengan tergesa-gesa mengusulkan hal-hal yang pernah kubahas dalam pertemuan dengan rekan kerjaku. Hal itu tidak hanya membuatku merasa lebih seperti bagian dari sesuatu, tetapi juga mencegah orang lain menyadari betapa rendahnya standarku sebenarnya. Aku sangat licik! Kalau dipikir-pikir lagi, aku menyadari banyak orang mengatakan bahwa aku tidak terlalu banyak bicara. Dahulu aku berpikir bahwa itu hanya karena kepribadianku. Hanya melalui pengungkapan firman Tuhan, aku menyadari bahwa aku berdiam diri agar orang lain tidak melihat diriku yang sebenarnya. Aku juga pernah bertindak seperti ini sebelumnya, ketika melaksanakan tugasku. Kadang-kadang aku menemukan beberapa masalah, tetapi aku menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun jika itu belum jelas bagiku. Sebaliknya, aku akan menunggu hingga memahami masalahnya dengan jelas, lalu menjelaskan sudut pandangku secara metodis dan logis. Dengan melakukan ini, seiring berjalannya waktu, semua orang mengira aku memiliki mata yang jeli untuk menemukan masalah, dan kadang-kadang aku mendengar mereka memujiku karena kepintaran dan kualitasku yang tinggi. Itu membuatku merasa sangat senang dengan diriku sendiri. Ketika melihat bagaimana beberapa saudariku yang lain bersikap terus terang, mengatakan apa yang mereka pikirkan dan mengakuinya ketika mereka tidak memahami sesuatu, aku memandang rendah mereka. Kupikir mereka berbicara tanpa memikirkan semuanya, dan yang lain akan langsung melihat betapa tidak kompetennya mereka. Aku tahu aku tidak bisa bertindak seperti ini. Sekarang setelah menyadari semua ini, aku tahu betapa parahnya watak antikristusku. Aku telah memasang topeng demi mendapatkan status dan membuat orang lain berpandangan tinggi terhadapku. Aku terlalu peduli dengan status, dan terlalu memikirkan diriku sendiri. Aku ingin selalu menjadi orang yang tidak memiliki kekurangan, dan tidak mau menjadi orang biasa. Aku benar-benar congkak dan tidak rasional. Aku memikirkan tentang partisipasiku dalam proyek video yang rumit ini. Bukan hanya memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalku, aku juga dapat memahami lebih banyak prinsip dalam prosesnya. Itu hal yang luar biasa! Namun, alih-alih bekerja keras untuk mempelajari keterampilan dan prinsip baru bersama saudara-saudariku, aku menghabiskan hari-hariku dengan mengabaikan tugasku. Aku telah berpikir dengan cara yang bengkok, khawatir tentang mendapatkan dan kehilangan pujian dari orang lain, dan berusaha sebaik mungkin untuk melindungi citraku sendiri. Aku telah begitu bodoh! Setelah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, aku masih tidak tahu di mana aku harus memusatkan pengejaranku. Aku telah membuang-buang waktu yang sangat berharga dengan ceroboh, dan pada akhirnya, aku tidak memperoleh apa pun darinya. Bukan saja aku tidak melaksanakan tugasku dengan baik, aku juga dihina dan dibenci oleh Tuhan. Makin aku memikirkannya, makin buruk perasaanku. Aku malu pada diriku sendiri. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, dengan keinginan untuk bertobat.
Setelah itu, aku menemukan jalan penerapan dari firman Tuhan. Tuhan berfirman: "Bagaimanakah perkataan dan perbuatan manusia yang normal terlihat? Manusia yang normal mampu berbicara dari hatinya. Mereka akan mengatakan apa pun yang terkandung dalam hati mereka tanpa kepalsuan atau kebohongan apa pun. Jika mereka mampu memahami suatu hal yang mereka hadapi, mereka akan bertindak berdasarkan hati nurani dan nalar mereka. Jika mereka tidak mampu memahaminya dengan jelas, mereka juga akan membuat kesalahan dan gagal, mereka akan memiliki kesalahpahaman, gagasan, dan imajinasi pribadi, dan mereka akan dibutakan oleh ilusi di depan mata mereka. Ini adalah ciri-ciri lahiriah dari kemanusiaan yang normal. Apakah ciri-ciri lahiriah dari kemanusiaan yang normal ini memenuhi tuntutan Tuhan? Tidak. Manusia tidak mampu memenuhi tuntutan Tuhan jika mereka tidak memiliki kebenaran. Ciri-ciri lahiriah dari kemanusiaan yang normal ini ada pada manusia biasa yang rusak. Ini adalah hal-hal yang manusia miliki sejak lahir, hal-hal yang merupakan bawaannya. Engkau harus membiarkan dirimu menunjukkan ciri-ciri dan penyingkapan lahiriah ini. Sambil membiarkan dirimu menunjukkan ciri-ciri dan penyingkapan lahiriah ini, engkau harus memahami bahwa hal-hal tersebut adalah naluri alami, kualitas, dan natur bawaan manusia. Apa yang harus kaulakukan setelah engkau memahami hal ini? Engkau harus memandangnya dengan benar. Namun, bagaimana engkau menerapkan pandangan yang benar ini? Hal ini dilakukan dengan lebih banyak membaca firman Tuhan, makin memperlengkapi dirimu dengan kebenaran, membawa hal-hal yang tidak kaupahami, hal-hal yang tentangnya engkau memiliki gagasan, dan hal-hal yang mungkin membuatmu lebih sering membuat penilaian yang salah terhadap Tuhan untuk kaurenungkan dan mencari kebenaran untuk menyelesaikan semua masalahmu. ... Karena engkau bukan manusia super atau manusia yang hebat, engkau tak mampu mengerti dan memahami segala sesuatu. Mustahil bagimu untuk memahami dunia secara sekilas, memahami manusia secara sekilas, dan memahami segala sesuatu yang terjadi di sekelilingmu secara sekilas. Engkau orang biasa. Engkau harus mengalami banyak kegagalan, banyak periode kebingungan, banyak penilaian yang salah, dan banyak penyimpangan. Hal ini dapat sepenuhnya menyingkapkan watakmu yang rusak, kelemahan dan kekuranganmu, ketidaktahuan dan kebodohanmu, memampukanmu memeriksa kembali dirimu dan mengenal dirimu sendiri, serta memiliki pengetahuan tentang kemahakuasaan Tuhan, hikmat sepenuhnya, dan watak-Nya. Engkau akan mendapatkan hal-hal positif dari-Nya, dan mulai memahami kebenaran dan memasuki kenyataannya. Akan ada banyak hal di tengah pengalamanmu yang tidak berjalan seperti yang engkau inginkan, dan terhadap hal itu engkau akan merasa tidak berdaya. Dengan mengalami semua ini, engkau harus mencari dan menunggu; engkau harus memperoleh jawaban dari Tuhan untuk setiap masalah, dan memahami dari firman-Nya esensi mendasar dari setiap masalah dan esensi dari setiap jenis orang. Beginilah caranya orang yang biasa dan normal berperilaku. Engkau harus belajar berkata, 'Aku tak bisa,' 'Itu di luar kemampuanku,' 'Aku tak bisa memahaminya,' 'Aku belum mengalaminya,' 'Aku tak tahu apa-apa,' 'Mengapa aku begitu lemah? Mengapa aku begitu tak berguna?' 'Kualitasku sangat buruk,' 'Aku sangat mati rasa dan bodoh,' 'Aku sangat bodoh sehingga perlu waktu beberapa hari sebelum aku mampu memahami hal ini dan menanganinya,' dan 'Aku perlu membahas hal ini dengan seseorang'. Engkau harus belajar menerapkan dengan cara seperti ini. Ini adalah ciri lahiriah dari pengakuanmu bahwa engkau adalah manusia yang normal dan dari keinginanmu untuk menjadi manusia yang normal" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Menghargai Firman Tuhan adalah Landasan Kepercayaan kepada Tuhan"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku memahami bahwa aku adalah orang biasa dengan kualitas rata-rata, dengan sedikit pengalaman dan pemahaman tentang prinsip-prinsip kebenaran. Ketika dihadapkan dengan teknologi baru dan masalah baru, terkadang aku melakukan kesalahan atau tidak dapat memahami sesuatu—tetapi ini hal yang wajar. Aku harus mengakui serta menerima kekurangan dan kelemahanku sendiri, dan mencari prinsip-prinsip kebenaran untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hanya dengan melakukan hal ini aku dapat terus berkembang. Setelah menyadari semua ini, pikiranku menjadi terang. Aku bersedia menerapkan sesuai dengan tuntutan Tuhan, berhenti berpura-pura dan menipu, berperilaku baik dan melaksanakan tugasku dengan rendah hati.
Suatu kali, kelompok kami sedang mendiskusikan cara memperbaiki video dengan pengawas kami. Setelah semua orang memberikan saran mereka, aku menemukan masalah lain—tetapi aku tidak yakin apakah aku benar atau tidak, dan ada beberapa hal yang kukhawatirkan. Pikirku, "Haruskah aku menyebutkannya, atau tidak? Jika aku mengemukakan masalah yang sebenarnya tidak menjadi masalah, itu akan membuatku terlihat bodoh dan bebal." Saat itu, aku menyadari bahwa aku ingin menutupi diri dan menyamarkan diriku lagi demi menjaga mukaku. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan, memohon kekuatan untuk memberontak terhadap niat salahku, lalu membuka diri kepada orang lain tentang pandanganku. Pengawas dan saudari-saudari lainnya juga menyampaikan pendapat mereka. Meskipun persoalan yang kukemukakan ternyata tidak menjadi masalah, melalui diskusi kami, aku memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang prinsip-prinsip tersebut. Seiring berjalannya waktu, ketika berkomunikasi dan berdiskusi tentang pekerjaan bersama, aku menjadi tidak terlalu cemas dan khawatir. Terkadang aku menyadari beberapa masalah, tetapi aku tidak yakin bagaimana cara mengatasinya. Jadi, aku menceritakan masalah tersebut dengan jujur kepada orang lain dan membiarkan semua orang mencari cara untuk mengatasinya bersama. Terkadang aku mengusulkan suatu solusi, tetapi solusi tersebut didapati tidak sesuai selama diskusi. Di saat-saat seperti ini, kuakui bahwa aku salah, dan aku berdiskusi dengan semua orang tentang cara memperbaikinya untuk mencapai hasil yang lebih baik. … Ketika aku menerapkan dengan cara ini, hatiku terasa jauh lebih tenang dan rileks, dan aku mampu melakukan bagian kecil dalam tugasku. Aku telah belajar melalui pengalaman pribadi bahwa bersikap baik dan melaksanakan tugasku dengan cara ini membuatku merasa damai, tenang, dan terbebas!
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.