Memilih Antara Sekolah dan Tugas
Sejauh yang kuingat, orang tuaku tak pernah akur. Mereka selalu bertengkar, dan terkadang ayah akan memukul ibuku. Ibuku harus hidup seperti ini selama bertahun-tahun demi aku dan adikku. Separuh hidupnya dihabiskan membesarkan kami, aku merasakan kasihnya begitu besar untuk kami, dan saat dewasa, aku harus menghormatinya. Lalu, ibuku menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman dan membagikan Injil kepadaku dan adikku. Kami sering berkumpul untuk menari dan bernyanyi memuji Tuhan, dan aku begitu bahagia. Tapi ibuku tidak terlalu mengejar kebenaran, makin jarang berkumpul dan membaca firman Tuhan. Beberapa tahun kemudian, ayahku masih sering bertengkar dan memukul ibuku, hingga akhirnya mereka bercerai. Setelah bercerai, ibuku bekerja demi membayar sewa dan sekolahku, yang membuatku merasa sedih. Aku berjanji akan giat belajar, mencari pekerjaan bagus, dan membelikan ibuku rumah agar bisa menjalani sisa hidupnya dengan lebih bahagia. Aku merasa ini tugasku sebagai anaknya. Belakangan ini, aku jarang berkumpul dan membaca firman Tuhan agar fokus belajar. Aku mencurahkan semua waktu dan tenaga demi tugas sekolah.
Pada September 2019, aku masuk SMK di provinsi lain. Tiap hari, aku giat belajar, berharap melanjutkan ke universitas dan sekolah pascasarjana, agar bisa memberi ibuku kehidupan yang lebih baik. Tapi aku kecewa dengan kehidupan kampus. Mereka yang pandai menyenangkan guru akan diuntungkan, sehingga nilai mereka selalu lebih tinggi dalam ujian, tapi mereka yang benar-benar mampu tak mendapat nilai setinggi itu jika tidak mencari muka. Teman sekelas yang tampaknya akur, mengobrol, tertawa, dan tersenyum bersama akan saling mengkhianati dan menjadi orang yang berbeda di belakang mereka. Bahkan ada yang terang-terangan berselingkuh tanpa rasa malu. Kehidupan kampus membuatku tertekan dan aku sudah benar-benar muak, tapi saat memikirkan janjiku ke ibuku bahwa aku akan giat belajar, membuat terobosan di dunia ini dan tidak mengecewakannya, aku tak punya pilihan selain bertahan.
Lalu, saat pulang untuk liburan musim dingin tahun 2020, aku bersekutu dengan bibiku tentang firman Tuhan dan dia menunjukkan video berjudul "Dia yang Berdaulat Atas Segalanya." Video ini sungguh menyentuh hatiku! Aku merasakan kedaulatan Tuhan yang maha kuasa. Dia adalah Penguasa nasib umat manusia, dan selalu membimbing perkembangan umat manusia. Aku memikirkan bencana yang kian buruk dan pandemi dan bagaimana pekerjaan Tuhan hampir selesai, tapi karena sedang bersekolah, aku tidak melakukan tugas, bahkan tak bisa ikut dalam kehidupan gereja. Pada akhirnya, aku tak akan mendapat kebenaran, dan akan binasa dalam bencana dan dihukum. Persekutuan bibiku tentang firman Tuhan membantu, mendukung dan menghangatkan hatiku. Aku paham bahwa Tuhan selalu bersamaku, dan aku ingin lebih sering ikut pertemuan dan bertugas di gereja.
Suatu hari, di saat teduh, aku membaca beberapa kutipan firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Dari saat engkau lahir dengan menangis ke dalam dunia ini, engkau mulai melakukan tugasmu. Oleh karena rencana Tuhan dan oleh karena penentuan-Nya dari semula, engkau melakukan peranmu dan memulai perjalanan hidupmu. Apa pun latar belakangmu, dan apa pun perjalanan yang ada di hadapanmu, tak seorang pun dapat lolos dari pengaturan dan penataan Surga, dan tak seorang pun dapat mengendalikan nasibnya sendiri, sebab hanya Dia yang mengatur segala sesuatu yang mampu melakukan pekerjaan tersebut. Sejak hari manusia diciptakan, Tuhan telah bekerja sedemikian rupa, mengelola alam semesta, mengarahkan irama perubahan untuk segala sesuatu dan jalur pergerakannya. Sebagaimana halnya segala sesuatu, manusia secara diam-diam dan tanpa sadar dipelihara oleh kemanisan dan hujan serta embun dari Tuhan; seperti segala sesuatu, manusia tanpa sadar hidup di bawah pengaturan tangan Tuhan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). "Tak seorang pun di antara umat manusia yang dipelihara Tuhan siang dan malam mengambil inisiatif untuk menyembah-Nya. Tuhan hanya terus membentuk manusia tanpa mengharapkan apa pun darinya, sebagaimana yang telah direncanakan-Nya. Dia berbuat demikian dengan harapan bahwa, suatu hari, manusia akan terjaga dari mimpinya dan tiba-tiba memahami nilai dan makna kehidupan, harga yang Tuhan bayar untuk semua yang telah diberikan-Nya kepada manusia, dan perhatian penuh semangat yang dengannya Tuhan menantikan manusia berbalik kepada-Nya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Aku tergugah saat memikirkan firman Tuhan. Aku teringat saat kecil, aku dan ibuku menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, tapi karena harus bersekolah, aku berhenti ikut pertemuan dan membaca firman Tuhan, makin menjauh dari Tuhan. Saat aku berpikir hidupku akan terus seperti ini, tiba-tiba bibi mendatangiku membacakan firman Tuhan dan menunjukkan video Injil. Jelas sekali bahwa ini telah diatur Tuhan. Nasibku selalu berada di tangan Tuhan. Sejak lahir, aku telah hidup di bawah kekuasaan dan takdir-Nya. Meskipun di tengah jalan aku menyimpang dari Tuhan, Dia mengatur orang dan keadaan untuk membangkitkan semangatku dan membawaku kembali ke rumah-Nya. Aku melihat kasih dan perlindungan Tuhan. Aku kembali mendengar firman Tuhan dan tak bisa memberontak atau melukai-Nya lagi. Aku sungguh ingin memercayai Tuhan dan melakukan tugas makhluk ciptaan.
Tapi aku bertanya-tanya, apa nilai dan makna hidup yang sebenarnya? Apakah mengejar diploma dan gelar? Aku teringat firman Tuhan saat merenungkan pertanyaan ini. "Begitu seseorang terperosok dalam ketenaran dan keuntungan, mereka tidak lagi mencari apa yang cerah, apa yang benar, atau hal-hal yang indah dan baik. Ini karena kekuatan menggoda yang dimiliki ketenaran dan keuntungan atas diri orang-orang terlalu besar; ketenaran dan keuntungan menjadi hal yang dikejar orang sepanjang hidup mereka dan bahkan untuk selamanya tanpa akhir. Bukankah benar demikian? Beberapa orang akan berkata bahwa mempelajari pengetahuan tidak lebih dari membaca buku atau mempelajari beberapa hal yang belum mereka ketahui agar tidak ketinggalan zaman atau tertinggal oleh dunia. Pengetahuan dipelajari hanya agar mereka dapat menyediakan makanan di meja, untuk masa depan mereka sendiri, atau untuk menyediakan kebutuhan dasar. Adakah orang yang akan belajar keras selama satu dekade hanya demi kebutuhan dasar, hanya untuk menyelesaikan masalah makanan? Tidak, tidak ada yang seperti ini. Jadi, mengapa orang menderita kesukaran ini selama bertahun-tahun? Ini adalah demi ketenaran dan keuntungan. Ketenaran dan keuntungan menanti mereka di kejauhan, menarik mereka, dan mereka percaya bahwa hanya melalui kerajinan, kesukaran, dan perjuangan mereka sendiri, mereka dapat mengikuti jalan yang akan menuntun mereka untuk memperoleh ketenaran dan keuntungan. Orang seperti itu harus menderita kesukaran-kesukaran ini demi jalan masa depan mereka sendiri, demi kesenangan masa depan mereka, dan demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan apa ini—dapatkah engkau semua mengatakannya kepada-Ku? Bukankah ini adalah aturan dan falsafah kehidupan yang Iblis tanamkan dalam diri manusia, seperti 'Cintailah Partai, cintailah negara, dan cintailah agamamu' dan 'Orang bijak tunduk pada keadaan'? Bukankah ini adalah 'cita-cita luhur' kehidupan yang ditanamkan Iblis dalam diri manusia? Ambil contoh, gagasan orang-orang hebat, integritas orang terkenal, atau semangat keberanian tokoh heroik, atau ambil contoh sikap kesatria dan kebaikan para tokoh utama dan pendekar pedang dalam novel seni beladiri—bukankah semua ini adalah cara yang digunakan Iblis untuk menanamkan cita-cita ini? Gagasan ini memengaruhi generasi demi generasi, dan orang-orang di setiap generasi dipaksa untuk menerima gagasan ini. Mereka terus-menerus berjuang dalam mengejar 'cita-cita luhur' mereka yang demi mencapainya mereka bahkan akan mengorbankan hidup mereka. Inilah cara dan pendekatan yang dengannya Iblis memakai pengetahuan untuk merusak manusia. Jadi setelah Iblis memimpin orang-orang di jalan ini, apakah mereka mampu menaati dan menyembah Tuhan? Dan apakah mereka mampu menerima firman Tuhan dan mengejar kebenaran? Sama sekali tidak—karena mereka telah disesatkan oleh Iblis. Mari kita melihat kembali pengetahuan, pemikiran, dan opini yang ditanamkan Iblis ke dalam diri manusia: apakah hal-hal ini mengandung kebenaran tentang ketaatan kepada Tuhan dan penyembahan kepada Tuhan? Apakah ada kebenaran tentang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan? Apakah ada firman Tuhan? Apakah ada sesuatu di dalamnya yang berkaitan dengan kebenaran? Sama sekali tidak—hal-hal ini sama sekali tidak ada" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Dari firman Tuhan aku paham Iblis menanamkan idenya ke dalam diri manusia dengan meminta mereka belajar tanpa henti, dan membuat orang ingin unggul dan membawa kehormatan bagi nama keluarga. Meyakinkan mereka untuk menentukan nasibnya sendiri dan pengetahuan bisa membantu mereka mengubahnya. Dengan menjalani hidup berdasarkan ide ini, orang menentang Tuhan, makin menjauh dari-Nya. Saat sedang belajar, guru sering memberi tahu kami: "Jika ingin berhasil dalam hidup, kau perlu gelar sarjana dan pascasarjana. Hanya ini yang akan membuktikan kau mampu." Setelah menerima ide ini, aku berusaha meningkatkan keterampilanku, mengikuti kompetisi, mempersiapkan diri untuk ujian sertifikasi professional. Kukira aku bisa mengubah nasib dengan cara ini. Tapi sejak aku hanya memikirkan sekolah dan berencana memakai pendidikan dan pengetahuan agar aku bisa unggul, hatiku perlahan menjauh dari Tuhan. Aku berhenti baca firman Tuhan dan jarang berdoa. Aku sama seperti orang tidak percaya. Aku sadar aku tidak memahami kebenaran dan selalu ingin unggul dengan belajar dan memperoleh pengetahuan. Setelah itu, aku baru paham mengejar pengetahuan adalah cara Iblis untuk merusak dan menyesatkan kita, dan makin mengejar pengetahuan, makin kita menyimpang dari Tuhan dan menentang-Nya. Memikirkan konsekuensi ini, aku mulai mengevaluasi jalan yang telah kupilih.
Suatu hari, aku membaca kutipan firman Tuhan: "Sebagai anggota umat manusia dan orang Kristen yang taat, adalah tanggung jawab dan kewajiban kita semua untuk mempersembahkan pikiran dan tubuh kita untuk memenuhi amanat Tuhan, sebab seluruh keberadaan kita berasal dari Tuhan, dan kita ada berkat kedaulatan Tuhan. Apabila pikiran dan tubuh kita bukan dipersembahkan untuk amanat Tuhan dan bukan untuk tujuan kebenaran bagi umat manusia, maka jiwa kita akan merasa malu dengan jiwa orang-orang yang telah menjadi martir demi amanat Tuhan, dan bahkan lebih malu lagi dengan Tuhan, yang telah menyediakan segalanya untuk kita" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Lampiran 2: Tuhan Mengendalikan Nasib Seluruh Umat Manusia"). Setelah membaca firman Tuhan, aku dipenuhi rasa tanggung jawab yang kuat. Manusia diciptakan Tuhan. Memercayai dan menyembah Tuhan, melakukan tugas makhluk ciptaan adalah hal yang benar dan alami untuk dilakukan. Dan juga terhormat. Tuhan ingin agar kita menyebarkan Injil-Nya, dan membawa lebih banyak orang agar diselamatkan. Aku cukup beruntung telah menerima pekerjaan Tuhan, jadi aku harus mengindahkan kehendak-Nya dan mengambil tanggung jawab ini. Gagal memenuhi tugas ini sama dengan memberontak dan membuatnya tak layak hidup di bumi ini. Hanya dengan melakukan tugas makhluk ciptaan, seseorang layak disebut manusia. Saat itu, aku mendengar lagu pujian dari firman Tuhan, yakni "Yang Harus Kaum Muda Kejar." Ada beberapa baris di dalamnya yang berbunyi: "Orang-orang muda, haruslah memiliki tekad untuk memahami berbagai isu dan mencari keadilan dan kebenaran. Engkau semua haruslah mengejar segala hal yang indah dan bagus, dan engkau harus mewujudkan semua hal yang positif. Engkau harus bertanggung jawab terhadap kehidupanmu, dan tidak boleh menganggapnya enteng" (Ikuti Anak Domba dan Nyanyikan Lagu Baru). Firman Tuhan memberiku jalan penerapan. Sebagai manusia, aku harus mengejar kebenaran, melakukan tugas makhluk ciptaan, dan menjalani hidup bermakna. Aku harus bertanggung jawab atas hidupku sendiri. Aku tak mau melanjutkan sekolah, hanya ingin bertugas di gereja.
Lalu, aku memberi tahu ibuku tentang perasaanku. Dia sangat marah. Ibuku bilang: "Ibu telah membiayai pendidikanmu selama ini agar masa depanmu lebih cerah dan saat kau lulus dan punya pekerjaan yang baik, Ibu pun juga akan bahagia. Apa pun ucapanmu, Ibu tidak mengizinkanmu putus sekolah. Ibu hanya memikirkan yang terbaik untukmu." Mendengar ucapan ibuku, aku sangat marah. Tak kusangka dia akan bereaksi seperti ini. Tapi di saat yang sama, muncul pertentangan dalam hatiku dan aku tak bisa melupakan semua yang telah dia berikan. Jika memilih bertugas, aku akan membuatnya kecewa dan tak memenuhi harapannya, tapi jika tetap bersekolah, meninggalkan iman dan tugasku, aku akan merasa bersalah, dan juga tak mau hidup seperti itu. Meski bimbang, aku tetap bersikeras berhenti sekolah. Melihatku telah memutuskan, dia setuju menemaniku mengundurkan diri. Tapi di sekolah, pengawasku berkata: "Tolong pikirkan ini baik-baik. Tahun depan kau akan lulus, dan setelah mendapat gelar, kau bisa melakukan apa pun. Kau harus tahu, mendapat pekerjaan tanpa gelar itu jauh lebih sulit. ..." Melihatku tidak bersikeras, ibuku bilang dengan tulus: "Tak bisakah kau tetap bersekolah? Ibu berharap banyak darimu. Kau tak perlu mencemaskan uang. Ibu akan selalu membiayai pendidikanmu. Ayahmu dan Ibu telah bercerai, hanya kau yang Ibu punya. Kau satu-satunya harapan Ibu. ..." Ibuku menangis saat mengatakan ini. Melihat ibuku menangis, hatiku benar-benar tergugah. Aku berpikir: "Tahun depan aku lulus. Haruskah aku menyelesaikan sekolahku saja? Jika aku mulai bertugas setelah lulus, ibuku tak akan keberatan." Jadi aku berkompromi dan memilih tetap bersekolah. Tapi saat bersekolah, aku tak bisa melakukan tugasku dan merasa sangat bersalah. Aku pun berdoa kepada Tuhan: "Tuhan, aku sungguh lemah dan tak tahu cara menempuh jalan yang ada di depanku. Mohon bimbing aku."
Suatu hari, aku membaca kutipan firman Tuhan. "Karena dipengaruhi oleh budaya tradisional Tiongkok, orang Tionghoa percaya bahwa orang haruslah berbakti kepada orang tua mereka. Siapa pun yang tidak berbakti kepada orang tua adalah anak yang durhaka. Gagasan ini telah ditanamkan dalam diri orang sejak masa kanak-kanak, dan diajarkan di hampir setiap rumah tangga, serta di setiap sekolah dan masyarakat pada umumnya. Ketika pikiran seseorang dipenuhi dengan hal-hal seperti itu, dia berpikir, 'Berbakti kepada orang tua lebih penting dari apa pun. Jika aku tidak berbakti, aku tidak akan menjadi orang yang baik—aku akan menjadi anak yang durhaka dan akan dicerca oleh masyarakat. Aku akan menjadi orang yang tidak memiliki hati nurani.' Benarkah pandangan ini? Orang-orang telah melihat semua kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan—apakah Tuhan menuntut agar seseorang berbakti kepada orang tua mereka? Apakah ini adalah salah satu kebenaran yang harus dipahami oleh orang yang percaya kepada Tuhan? Tidak. Tuhan hanya mempersekutukan beberapa prinsip. Dengan prinsip apa firman Tuhan menuntut orang memperlakukan orang lain? Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, dan bencilah apa yang Tuhan benci: inilah prinsip yang harus dipatuhi. Tuhan mengasihi orang yang mengejar kebenaran dan mampu mengikuti kehendak-Nya. Mereka juga adalah orang-orang yang harus kita kasihi. Orang yang tidak mampu mengikuti kehendak Tuhan, yang membenci Tuhan, dan memberontak terhadap Tuhan—orang-orang ini dibenci oleh Tuhan, dan kita juga harus membenci mereka. Inilah yang Tuhan tuntut dari manusia. Jika orang tuamu tidak percaya kepada Tuhan, jika mereka tahu betul bahwa percaya kepada Tuhan adalah jalan yang benar, dan itu dapat menuntun menuju keselamatan, tetapi tetap tidak mau menerima, maka tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang yang muak akan kebenaran, yang membenci kebenaran, dan tidak ada keraguan bahwa mereka adalah orang yang menentang Tuhan, dan membenci Tuhan—dan Tuhan tentu saja merasa jijik dan membenci mereka. Bisakah engkau membenci orang tua semacam itu? Mereka cenderung menentang Tuhan dan mengumpat Tuhan—dalam hal ini, mereka pasti adalah setan-setan dan Iblis. Bisakah engkau membenci dan mengutuk mereka juga? Semua ini adalah pertanyaan nyata. Jika orang tuamu menghalangimu agar tidak percaya kepada Tuhan, bagaimana engkau harus memperlakukan mereka? Sebagaimana yang dituntut oleh firman Tuhan, engkau harus mengasihi apa yang Tuhan kasihi, dan membenci apa yang Tuhan benci. Selama Zaman Kasih Karunia, Tuhan Yesus berkata, 'Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara laki-laki-Ku?' 'Karena siapa saja yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku laki-laki, dan saudara-Ku perempuan, dan ibu-Ku.' Perkataan ini sudah ada sejak Zaman Kasih Karunia dan sekarang firman Tuhan bahkan lebih jelas: 'Kasihilah apa yang Tuhan kasihi, bencilah apa yang Tuhan benci.' Firman ini sangat terus terang, tetapi orang sering kali tidak mampu memahami makna yang sesungguhnya. Jika seseorang adalah orang yang menyangkal dan menentang Tuhan, yang dikutuk oleh Tuhan, tetapi mereka adalah orang tua atau kerabatmu, bukan pelaku kejahatan sejauh yang engkau tahu, dan memperlakukanmu dengan baik, maka engkau mungkin tidak mampu membenci orang tersebut, dan bahkan tetap dekat dengan mereka, hubunganmu dengan mereka tidak berubah. Mendengar bahwa Tuhan membenci orang-orang semacam itu akan mengganggumu, dan engkau tak mampu berpihak kepada Tuhan dan dengan tegas menolak mereka. Engkau selalu dikendalikan oleh emosi, dan engkau tidak mampu melepaskannya. Karena apa hal ini terjadi? Ini terjadi karena engkau terlalu menghargai emosi, dan itu menghalangimu untuk menerapkan kebenaran. Orang itu baik kepadamu, jadi engkau tak mampu memaksa dirimu untuk membenci mereka. Engkau hanya bisa membenci mereka jika mereka menyakitimu. Apakah kebencian itu sesuai dengan prinsip kebenaran? Selain itu, engkau dikendalikan oleh gagasan tradisional, berpikir bahwa mereka adalah orang tua atau kerabat, jadi jika engkau membenci mereka, engkau pasti dicemooh oleh masyarakat dan dicerca oleh opini publik, dikutuk sebagai orang yang tidak berbakti, tidak memiliki hati nurani, dan bahkan bukan manusia. Engkau berpikir engkau pasti menerima kutukan dan hukuman ilahi. Sekalipun engkau ingin membenci mereka, hati nuranimu tidak akan membiarkanmu. Mengapa hati nuranimu berfungsi seperti ini? Ini adalah cara berpikir yang telah ditanamkan kepadamu oleh keluargamu sejak engkau kecil, oleh apa yang orang tuamu ajarkan kepadamu dan oleh apa yang budaya tradisional tanamkan dalam dirimu. Ini berakar sangat dalam di hatimu, membuatmu secara keliru percaya bahwa berbakti kepada keluarga sudah ditetapkan oleh Surga dan diakui oleh bumi, bahwa itulah yang kauwarisi dari leluhurmu dan itu selalu merupakan hal yang baik. Engkau telah mempelajarinya terlebih dahulu dan itu tetap dominan, menciptakan batu sandungan dan gangguan besar dalam iman dan penerimaanmu akan kebenaran, membuatmu tak mampu menerapkan firman Tuhan, dan mengasihi apa yang Tuhan kasihi, membenci apa yang Tuhan benci. ... Bukankah manusia itu menyedihkan? Apakah mereka tidak butuh diselamatkan oleh Tuhan? Ada orang-orang yang telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, tetapi masih tidak mengerti hal tentang berbakti. Mereka sebenarnya tidak memahami kebenaran" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mengenali Pandangannya yang Keliru Barulah Orang Dapat Benar-Benar Berubah"). Dari firman Tuhan aku jadi paham, pengaruh budaya tradisional yang sangat kuat, "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya" telah membentuk perilakuku. Kukira bakti adalah hal yang terpenting dan aku bukan manusia jika tidak melakukannya. Mengenang kembali masa kecilku, aku melihat ibuku sangat menderita, dan itu tak mudah baginya, jadi aku berjanji untuk patuh dan tidak menyakitinya. Ibuku bersusah payah membesarkanku, dan jika tak bisa menghormati atau mematuhinya, maka aku tak bersyukur dan tak berperasaan. Sejak kecil, aku memutuskan untuk giat belajar dan membuat diriku berhasil agar ibuku bisa hidup dengan baik. Aku menuruti semua ucapannya agar ibuku tak sakit hati. Setelah menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, aku paham, melakukan tugas dan mengejar kebenaran itu bermanfaat dan bermakna, tapi dengan ibuku menangis dan memintaku tetap bersekolah, aku berkompromi. Demi memenuhi harapan ibuku, aku tidak bertugas, meski ingin memuaskan Tuhan. Aku terjebak dalam ide "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya." Tuhan menuntut agar kita mengasihi yang Dia kasihi dan membenci yang Dia benci. Ini tuntutan Tuhan kepada kita dan prinsip yang harus kupatuhi. Jika orang tuaku sungguh memercayai Tuhan, aku harus mengasihi dan mengganggap mereka sebagai saudara-saudari. Tapi jika mereka tak memercayai Tuhan, menganiaya atau menghalangi imanku, lalu meremehkan dan membenci kebenaran, dan menentang Tuhan, aku tak seharusnya begitu saja mengikuti ucapan mereka. Ibuku memercayai Tuhan tapi tak mengejar kebenaran dan mencegahku bertugas. Menurutku dia orang tidak percaya dan musuh Tuhan. Sebelumnya, aku tak punya kearifan, dan kukira sebagai anak mereka, aku harus menghormati orang tua dan selalu patuh, memiliki kemanusiaan dan hati nurani. Setelah itu, aku baru paham pandangan keliru ini tak sesuai kebenaran. Menghormati orang tua harus sesuai prinsip, bukan hanya ketaatan buta. Ini prinsip penerapan.
Lalu, aku kembali baca firman Tuhan: "Sekarang seharusnya engkau mampu melihat dengan jelas jalan yang ditempuh oleh Petrus. Jika engkau dapat melihat jalan Petrus dengan jelas, engkau pasti akan yakin tentang pekerjaan yang sedang dikerjakan saat ini, sehingga engkau tidak akan mengeluh atau bersikap pasif, atau merindukan apa pun. Engkau harus mengalami suasana hati Petrus pada saat itu: Petrus dilanda kesedihan; dia tidak lagi meminta masa depan atau berkat. Petrus tidak mencari keuntungan, kebahagiaan, ketenaran, atau kekayaan di dunia; dia hanya berusaha menjalani kehidupan yang paling bermakna, yaitu membalas kasih Tuhan dan mempersembahkan apa yang dianggapnya paling berharga kepada Tuhan. Kemudian barulah Petrus merasa puas dalam hatinya. ... Dalam penderitaannya selama ujian, Yesus kembali menampakkan diri kepadanya dan berkata: 'Petrus, Aku ingin menyempurnakanmu, sehingga engkau menjadi buah, yang merupakan perwujudan penyempurnaan-Ku akan dirimu, dan yang akan Kunikmati. Dapatkah engkau sungguh-sungguh menjadi kesaksian bagi-Ku? Sudahkah engkau melakukan apa yang Kuminta? Sudahkah engkau hidup dalam perkataan yang Kuucapkan? Engkau pernah mengasihi-Ku, tetapi walaupun engkau mengasihi-Ku, sudahkah engkau hidup dalam-Ku? Apa yang telah kaulakukan untuk-Ku? Engkau menyadari bahwa engkau tidak layak menerima kasih-Ku, tetapi apa yang telah kaulakukan untuk-Ku?' Petrus menyadari bahwa dia belum pernah melakukan apa pun untuk Yesus dan mengingat sumpahnya di masa lalu untuk memberikan hidupnya kepada Tuhan. Oleh karena itu, Petrus tidak mengeluh lagi, dan doa-doanya sejak saat itu menjadi jauh lebih baik" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Cara Petrus Mengenal Yesus"). Ini yang Tuhan Yesus tanyakan kepada Petrus, tapi terasa seperti Tuhan menanyaiku hal yang sama. Aku bertanya ke diriku: "Apa yang telah kulakukan bagi Tuhan? Petrus sangat mengasihi Tuhan sehingga dia rela meninggalkan segalanya demi mengikuti-Nya. Tapi aku? Tuhan memberiku hidup, tapi apa yang telah kulakukan bagi Dia? Sama sekali tak ada. Aku hanya memikirkan orang tua dan masa depanku. Aku bahkan rela menghabiskan seluruh waktu dan tenaga untuk belajar dan mencari uang agar bisa membalas kebaikan mereka. Jika tak bisa memenuhi harapan mereka, aku merasa mengecewakan mereka dan diliputi rasa bersalah, padahal aku belum melakukan tugasku sebagai makhluk ciptaan, tapi tak merasa mengecewakan Tuhan. Aku tak punya hati nurani." Memikirkan pengalaman Petrus, meski orang tuanya menentang, dia tak peduli dan tetap meninggalkan segalanya demi mengikuti Tuhan Yesus. Dia benar-benar orang dengan hati nurani dan akal. Kita diciptakan Tuhan, jadi wajar dan alami bagi kita untuk memercayai dan menyembah-Nya. Tuhan memilih dan membawaku ke hadapan-Nya, memberiku kesempatan untuk diselamatkan. Kasih Tuhan sungguh luar biasa! Aku harus membalas kasih Tuhan dan meninggalkan segalanya demi mengikuti Tuhan seperti Petrus. Setelah ini aku membaca beberapa kutipan firman Tuhan yang makin mengilhamiku. "Bangkitlah, saudara-saudara! Bangkitlah, saudari-saudari! Hari-Ku tidak akan tertunda; waktu adalah kehidupan, dan memanfaatkan waktu berarti menyelamatkan kehidupan! Waktunya tidak lama lagi! Jika engkau semua gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi, engkau dapat belajar lagi dan mengulangi ujian itu sesering yang engkau mau. Namun, hari-Ku tidak akan mengalami penundaan lagi. Ingat! Ingat! Aku memintamu dengan perkataan baik ini. Akhir dunia dibukakan di depan matamu, dan bencana besar mendekat dengan cepat. Mana yang lebih penting: hidupmu, ataukah tidur, makanan, minuman, dan pakaianmu? Waktunya telah tiba bagimu untuk menimbang hal-hal ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 30"). "Waspadalah! Waspadalah! Waktu yang terhilang tidak akan pernah kembali—ingatlah ini! Tidak ada obat di bumi yang dapat menyembuhkan penyesalan! Jadi bagaimana Aku harus berbicara kepadamu? Apakah firman-Ku tidak layak engkau pertimbangkan dengan teliti berulang kali?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 30"). Setiap firman Tuhan berbicara ke lubuk hatiku. Waktu kini hampir habis. Bencana makin besar dan negara di seluruh dunia berada dalam kekacauan. Hari berganti hari mendekati akhir, dan mengejar kebenaran sangatlah penting. Jika aku tak mengikuti pekerjaan Tuhan dan mengejar hal-hal duniawi, berfokus pada pendidikan, masa depan, dan keluargaku, maka sudah terlambat mengejar kebenaran saat pekerjaan Tuhan berakhir. Tanpa kebenaran, aku akan binasa dalam bencana dan dihukum, sudah terlambat untuk bertobat. Keselamatan Tuhan telah mendatangiku sekali lagi dan aku harus mengambil kesempatan ini, mengejar kebenaran, dan melakukan tugas makhluk ciptaan demi membalas kasih-Nya.
Aku memang memutuskan akan putus sekolah. Jadi aku bilang ke ibuku: "Bu, aku tak akan kembali ke sekolah. Aku tak peduli ucapan orang, aku memilih jalanku sendiri, semoga Ibu bisa menghormatiku." Ibuku bilang "Bibimu sudah bilang setelah kau lulus dan mendapat gelar, dia akan mengatur pekerjaan untukmu. Kami bisa mencarikanmu pasangan yang baik dan kau bisa hidup dengan bahagia." Tapi aku tak akan terbujuk ucapan ibuku lagi, karena aku melihat dengan jelas ibuku tidak melakukan ini karena kasih sejati. Dia hanya memikirkan kepentingan langsungku, bukan hidup atau tempat tujuan masa depanku. Lalu, aku teringat kutipan firman Tuhan. "Katakan kepada-Ku, berasal dari siapakah segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia? Siapa yang paling terbeban akan hidup manusia? (Tuhan.) Hanya Tuhan yang paling mengasihi manusia. Apakah orang tua dan kerabat kita benar-benar mengasihi kita? Apakah kasih yang mereka berikan itu kasih yang sejati? Dapatkah kasih itu menyelamatkan orang dari pengaruh Iblis? Tidak bisa. Manusia itu mati rasa dan bodoh, tidak mampu memahami hal-hal ini, dan selalu berkata, 'Bagaimana cara Tuhan mengasihiku? Aku tidak merasakannya. Lagi pula, ibu dan ayahku sangat menyayangiku. Mereka membiayai studiku dan membuatku mempelajari keterampilan teknis sehingga aku dapat menjadi orang yang berhasil saat besar nanti, menjadi sukses, menjadi seorang bintang, orang terkenal. Orang tuaku menghabiskan begitu banyak uang untuk mendidikku dan membiayai pendidikanku, menghemat pengeluaran uang untuk membeli makanan. Bukankah itu kasih yang sangat besar? Aku tidak akan pernah mampu membalas mereka!' Apakah menurutmu itu adalah kasih? Dengan orang tuamu membuatmu sukses, menjadi terkenal di dunia, memiliki pekerjaan yang baik, dan berbaur dengan dunia, apa konsekuensinya? Mereka akan terus-menerus membuatmu mengejar kesuksesan, membawa kehormatan bagi keluargamu, dan berbaur dengan tren jahat dunia, sehingga pada akhirnya engkau jatuh ke dalam pusaran dosa, mengalami penderitaan dan binasa, sebelum ditelan oleh Iblis. Apakah itu kasih? Itu bukan mengasihimu, itu merusakmu, menghancurkanmu" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Untuk Memperoleh Kebenaran, Orang Harus Belajar dari Orang-Orang, Peristiwa dan Hal-Hal di Sekitar Mereka"). Meski ibuku terlihat seperti melakukan segala hal demi kebaikanku, mengurangi makan dan pakaian dan bekerja keras membiayai sekolahku, dia tak sadar ada racun jahat dan kekeliruan dalam apa yang kupelajari yang akan membuatku terhanyut menjauh dari Tuhan dan mengingkari keberadaan-Nya. Ide-ide ateis yang diajarkan ke siswa seperti, "Yang namanya Juruselamat itu tidak pernah ada," "Orang dapat menciptakan tanah air yang menyenangkan dengan tangannya sendiri," "Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian," dan "Jika engkau lebih menonjol dari orang lain, engkau akan membawa kehormatan bagi nenek moyangmu," membuat kita berjuang demi cita-cita dan berusaha unggul dibandingkan yang lain. Orang hidup dengan ide dan pandangan ini, berusaha melepaskan diri dari aturan Tuhan dan mengubah nasibnya sendiri. Mereka akhirnya menentang dan menyangkal Tuhan, kehilangan kesempatan diselamatkan. Ini jalan Iblis yang jahat. Mengejar hal ini hanya menjauhkanku dari Tuhan dan menuju kerusakan Iblis. Membuatku jatuh ke neraka! Kini, aku paham hanya Tuhan yang mampu memberiku kasih sejati, bukan orang tuaku. Berusaha unggul dan membawa kehormatan bagi nama keluarga bukan jalan hidup yang benar. Hanya dengan mengejar kebenaran dan melakukan tugas makhluk ciptaan, kita akan dilindungi Tuhan. Setelah memahami semua ini, aku putus sekolah dan fokus bertugas bagi Tuhan. Aku memberi tahu ibuku: "Ibu ingin aku terus belajar, mencari pekerjaan dan mencari suami yang baik, membuat diriku berhasil, tapi bisakah Ibu jamin aku akan bahagia seperti ini? Nasibku akan baik? Ibu tak bisa, tak ada yang bisa! Hal terbaik yang Ibu lakukan dalam hidup adalah menyebarkan Injil Tuhan Yang Mahakuasa dan menuntunku ke jalan benar. Ini sepenuhnya benar." Ibuku terdiam sejenak, lalu bilang: "Jaga dirimu. Tetap berhubungan." Setelah itu, aku mengundurkan diri dari sekolah. Saat menginjakkan kaki di luar sekolah, aku sungguh bebas. Aku tak lagi dibatasi pendidikan atau keluargaku dan akhirnya bisa bertugas di gereja.
Ini semua beberapa tahun lalu, tapi tiap kali teringat, aku merasa sangat senang. Bimbingan dari Tuhan-lah yang memungkinkanku memilih dengan tepat antara tugasku dan pendidikanku, dan menempuh jalan hidup yang benar. Aku sungguh merasakan kasih dan niat baik Tuhan. Kini, aku bisa melakukan tugas makhluk ciptaan, dan hidupku tak sia-sia. Aku sungguh bahagia.
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.