Sang tokoh utama selalu menganggap dirinya sebagai orang yang jujur—dia hampir tidak pernah berbohong, dan dia jujur dan dapat dipercaya. Namun, pengalaman kehidupan nyata memperlihatkan kepadanya bahwa ketika kepentingan pribadinya terlibat, dia mau tak mau bersikap licin dan curang, bahwa dia sebenarnya sangat licik. Menyadari hal ini, dia mulai membenci dirinya sendiri dan menjadi orang yang jujur sesuai dengan tuntutan Tuhan. Pengalaman seperti apakah yang dia alami? Bagaimana dia menyelesaikan sifatnya yang licik dan penuh kecurangan?