Apa Makna Kehidupan Sejati? Perkataan Terakhir Seorang Raja Memberikan Inspirasi?

25 Juli 2019

Oleh Mo Yan

Suatu hari aku kebetulan menemukan sebuah kisah sejarah di ponselku—kisah ini benar-benar menginspirasiku, jadi aku ingin membagikannya dengan orang lain. Kisahnya seperti ini: Alexander Agung adalah salah satu komandan militer yang paling sukses dalam sejarah. Dia jatuh sakit amat parah dalam perjalanan kembali dari operasi militernya yang penuh kemenangan, dan ketika dia hampir meninggal dunia, dia membagikan tiga harapan terakhirnya dengan para jenderalnya. Pertama, dia ingin dokter-dokternya membawa peti matinya pulang kembali, dan dia ingin agar di sepanjang jalan ke kuburan di mana peti matinya akan dibawa ditaburi dengan emas, perak, dan batu-batu berharga. Terakhir, dia ingin agar kedua tangannya diposisikan agar berada di luar peti mati. Alexander menjelaskan bahwa dengan melakukan hal-hal ini, dia ingin memberikan tiga pelajaran kepada orang-orang yang masih hidup. Pertama, tidak peduli seberapa hebat keterampilan seorang dokter, dia tidak bisa menyelamatkan nyawa manusia; mereka tidak dapat menentukan hidup dan mati seseorang. Kedua, tidak layak menghabiskan seluruh hidup untuk mengejar kekayaan; hal ini membuang-buang waktu yang berharga. Dan akhirnya, kita masing-masing datang ke dunia ini dengan tangan kosong, dan kita akan kembali dengan tangan kosong. Kita tidak dapat membawa satu hal pun bersama kita.

Alexander Agung meninggal dunia dengan penyesalan yang luar biasa, dan sementara berada di ranjang kematiannya dia menggunakan pengalaman-pengalaman pribadinya untuk memperingatkan orang lain: mencurahkan seumur hidup untuk mengumpulkan kekayaan tidak ada gunanya, karena tidak peduli seberapa kayanya engkau, kekayaan itu tidak dapat membeli kehidupanmu kembali, dan tentunya tidak bisa memperpanjang hidupmu satu detik pun. Sedihnya, dia tidak memiliki penyingkapan ini sampai dia berada di ambang kematian. Sesuatu yang dikatakan Tuhan Yesus muncul di kepalaku: "Karena apa untungnya jika seseorang mampu mendapatkan seluruh dunia, dan kehilangan jiwanya sendiri? Atau apa yang bisa diberikan seseorang sebagai ganti jiwanya?" (Matius 16:26). Ini benar sekali. Karena bagi kita manusia, hidup adalah lebih besar daripada segalanya, dan jika kita kehilangan nyawa kita, tidak peduli berapa banyak uang yang kita miliki, ini mungkin hanya menjadi tumpukan sampah. Sama sekali tidak ada gunanya. Meskipun Alexander Agung menggunakan pengalaman pribadinya untuk membagikan pelajaran ini dengan generasi selanjutnya agar mereka tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti yang dia lakukan, sayangnya, hal ini tidak membawa kesadaran bagi manusia. Dalam upaya-upaya mereka, sebagian besar manusia masih menempuh jalan salah yang ditempuh Alexander—mereka sibuk dari fajar hingga petang setiap hari, bergegas ke sana kemari, bekerja keras, dan beberapa bahkan menggunakan segala macam taktik lainnya hanya demi memperoleh lebih banyak uang dan menikmati gaya hidup kelas tinggi. Kemudian aku merasa terdorong untuk berpikir tentang ayahku sendiri ...

Sejak aku cukup umur untuk memperhatikan, satu-satunya kesanku terhadap ayahku adalah melihatnya dari belakang ketika dia berusaha keras untuk menghasilkan uang, bangun pagi-pagi dan bekerja hingga larut malam. Suatu hari dia tiba-tiba pingsan karena kelelahan dan tidak pernah bangun lagi. Kematiannya yang tiba-tiba merupakan tragedi besar bagi keluarga kami, dan orang-orang yang kami kenal semuanya berseru, "Dia kelihatannya sangat baik-baik saja, tetapi dia meninggal dunia begitu saja! Tidak peduli berapa banyak uang yang dia hasilkan, apa gunanya uang tersebut tanpa menjalani kehidupan? Bukankah kita semuanya hanya akan berakhir dengan tangan kosong?" Kematian ayahku membuatku merasa sakit, menderita, dan menyesal baginya. Aku memikirkan bagaimana dia telah bekerja sangat keras demi mengurus keluarga kami dan menyediakan makanan di atas meja, betapa berhematnya dia dan betapa dia hampir tidak pernah beristirahat sepanjang hidupnya, tetapi akhirnya dia benar-benar hanya bertangan kosong, meninggalkan dunia ini dengan begitu banyak penyesalan .... Aku merasa terdorong untuk menghela napas, dan bertanya-tanya: Mengapa orang hidup seperti itu? Sebenarnya apa nilai dan tujuan hidup manusia?

Aku kemudian menemukan jawabannya dalam firman Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III" Firman Tuhan berkata: "Orang-orang menghabiskan hidup mereka mengejar uang dan ketenaran; mereka mencengkeram erat kedua hal ini, menganggap hal-hal ini sebagai satu-satunya sarana pendukung mereka, seakan dengan memiliki hal-hal tersebut mereka bisa terus hidup, bisa terhindar dari kematian. Namun, hanya ketika mereka sudah hampir meninggal, barulah mereka sadar betapa jauhnya hal-hal itu dari mereka, betapa lemahnya mereka ketika berhadapan dengan kematian, betapa rapuhnya mereka, betapa sendirian dan tak berdayanya mereka, tanpa tempat untuk berpaling. Mereka menyadari bahwa hidup tidak bisa dibeli dengan uang atau ketenaran, bahwa sekaya apa pun seseorang, setinggi apa pun kedudukan mereka, semua orang sama-sama miskin dan tidak berarti ketika berhadapan dengan kematian. Mereka menyadari bahwa uang tidak bisa membeli hidup, bahwa ketenaran tidak bisa menghapus kematian, bahwa baik uang maupun ketenaran tidak dapat memperpanjang hidup orang barang semenit atau sedetik pun." "Walaupun berbagai keterampilan bertahan hidup yang orang berupaya kuasai selama hidupnya bisa menawarkan banyak kenyamanan materiel, semua itu tidak pernah bisa mendatangkan kedamaian dan ketenangan yang sejati di hati orang, melainkan membuat orang terus-menerus kehilangan arah, mengalami kesulitan mengendalikan diri mereka, dan kehilangan setiap kesempatan untuk belajar arti hidup; keterampilan bertahan hidup ini menciptakan arus kecemasan terpendam tentang bagaimana menghadapi kematian dengan benar. Hidup orang-orang menjadi hancur dengan cara ini." Membaca firman Tuhan ini, aku merasa terdorong untuk merenungkan: kita semua benar-benar memandang uang lebih berharga daripada kehidupan itu sendiri, dan kita semua berpikir bahwa jika kita memiliki uang, kita memiliki segalanya. Uang adalah pilar kita, mata uang kita untuk menikmati kehidupan yang menyenangkan, dan kita terus-menerus sibuk dengan upaya-upaya kita untuk mendapatkan lebih banyak uang. Ketika sebagian dari kita mulai bekerja, kita hanya berusaha menafkahi keluarga kita, untuk bertahan hidup, tetapi begitu tujuan tersebut tercapai maka standar kita naik, dan kita mulai berjuang untuk membeli rumah dan mobil. Setelah mendapatkan semuanya itu, kita terus melanjutkannya agar kita dapat menjalani gaya hidup kelas tinggi dengan mobil mewah dan rumah besar. Kita tidak pernah berhenti untuk menghela napas—ini tidak ada akhirnya. Beberapa orang bahkan memaksa diri mereka sendiri secara fisik untuk mengejar uang dan mati karena terlalu banyak bekerja, mengorbankan hidup mereka sendiri. Kendatipun demikian, kita masing-masing hanya meluncur cepat di jalan pencarian uang, tidak peduli sedikitpun tentang hal-hal yang tampaknya tak terkait dengan uang atau ketenaran. Kita berhenti dan merenungkan kehidupan dari waktu ke waktu, bertanya-tanya: mengapa kita hidup? Apakah nilai kehidupan itu? Mungkinkah uang benar-benar menjadi tujuan di mana kita mencurahkan seluruh hidup kita? Kehidupan seperti apa yang seharusnya dijalani manusia? Namun demikian, kita tidak meluangkan waktu untuk mencari jawabannya, tetapi sekali lagi terjebak dalam kecenderungan jahat masyarakat dan terus bergegas menyusuri jalan itu. Sedikit demi sedikit, kita membuang apa yang tersisa dari hidup kita. Setiap orang memainkan tragedi lama yang sama ini, dan meskipun kita tahu kita tidak dapat membeli kehidupan dengan uang kita, kita tidak berdaya untuk menghindarinya. Kita hanya terseret oleh keinginan-keinginan kita, tidak pernah berhenti dalam perjuangan kita untuk menghasilkan uang sampai tubuh kita runtuh karena kelelahan dan terlalu banyak bekerja. Hanya pada saat itulah kita mulai merasakan penyesalan dan ketakutan—ketika kematian berada di depan mata, akhirnya kita terbangun dengan penuh kesadaran. Bukankah saat itu sudah terlambat?

Karena kita kurang memiliki kemampuan untuk melampaui diri kita sendiri, siapa yang dapat membantu kita melepaskan diri dari belenggu pengejaran uang? Aku membaca firman Tuhan ini: "Ada cara yang sangat sederhana untuk membebaskan diri seseorang dari keadaan ini, yakni mengucapkan selamat tinggal pada cara hidupnya yang lama, pada tujuan hidupnya yang lama; merangkum dan menganalisis gaya hidup, pandangan hidup, pengejaran, hasrat, dan cita-cita mereka yang sebelumnya; lalu kemudian membandingkan hal-hal tersebut dengan kehendak dan tuntutan Tuhan terhadap manusia, dan melihat apakah ada dari hal-hal tersebut yang sejalan dengan kehendak dan tuntutan Tuhan, apakah ada dari hal-hal tersebut yang menyampaikan nilai-nilai hidup yang benar, yang menuntun orang pada pemahaman yang lebih baik akan kebenaran, dan memampukan orang untuk hidup dengan kemanusiaan dan keserupaan dengan seorang manusia. Ketika engkau berulang kali menyelidiki dan dengan saksama membedah berbagai tujuan yang dikejar orang dalam hidup beserta berbagai cara-cara hidup mereka, engkau akan mendapati bahwa tidak ada satu pun dari semua iu yang sesuai dengan maksud mula-mula Sang Pencipta ketika Dia menciptakan umat manusia. Semua itu menjauhkan orang dari kedaulatan dan pemeliharaan Sang Pencipta; semua itu adalah perangkap yang menyebabkan orang menjadi bejat, dan yang menuntun mereka ke neraka. Setelah engkau mengakui ini, tugasmu adalah menyingkirkan pandangan hidupmu yang lama, menjauhi berbagai perangkap, membiarkan Tuhan mengendalikan hidupmu dan membuat pengaturan bagimu; tugasmu hanyalah berusaha untuk tunduk pada pengaturan dan bimbingan Tuhan, untuk hidup tanpa memiliki pilihan pribadi, dan menjadi seseorang yang menyembah Tuhan" ("Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III").

Firman Tuhan menunjukkan jalan bagi kita. Ketika kita terperosok dalam pusaran kekayaan materi dan tidak dapat membebaskan diri kita sendiri, hidup dalam kepedihan semacam itu, itu karena kita telah begitu dalam dirusak oleh Iblis dan telah tenggelam dalam hukum-hukum bertahan hidup yang keliru seperti: "Uang adalah yang utama," dan "Uang bukan segalanya, tetapi tanpa uang, engkau tidak bisa melakukan apa pun." Kita telah diperdaya dan dirusak oleh perspektif-perspektif yang keliru ini dan memperlakukan uang sebagai hal yang paling berharga untuk dikejar, sebagai tujuan hidup kita yang tepat. Kita merencanakan, bersusah payah mencari, dan memutar otak demi menghasilkan lebih banyak uang. Kita menghabiskan semua energi kita dan sebagai akibatnya, kita emakin bertambah jauh dari Tuhan, relung-relung jiwa kita yang terdalam semakin bertambah kosong, dan kita hidup dalam penderitaan dan kepedihan. Jelas, ini disebabkan karena, setelah dirusak oleh Iblis, kita membangun pandangan yang salah tentang kehidupan dan nilai-nilai. Namun begitu kita telah menyadari bagaimana Iblis merusak kita, kita benar-benar dapat menyingkirkan pandangan-pandangan keliru tersebut dan tidak lagi menjadikan uang dan ketenaran sebagai tujuan kita satu-satunya. Ini adalah satu-satunya cara agar kita dapat hidup dengan damai dan nyaman. Yang benar adalah bahwa Tuhanlah yang menentukan berapa banyak uang dan berapa banyak harta yang dapat dikumpulkan oleh setiap orang. Perjuangan kita sendiri, jerih payah kita sendiri tidak bisa mengubah hal itu. Selama kita kembali ke hadapan Tuhan, menerima keselamatan-Nya, memberikan segala yang kita miliki kepada Tuhan dan memandang kepada-Nya, menaati aturan dan rencana-rencana-Nya, kita kemudian akan dapat melepaskan diri dari kekosongan dan kesakitan hidup manusia, mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan sejati.

Tertulis di dalam Alkitab bahwa Ayub adalah orang yang sepenuhnya jujur, yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Dia sangat kaya raya dan merupakan yang terbesar dari semua orang di Timur pada saat itu, tetapi dalam perjalanan pencobaan dan ujian Iblis kepadanya, semua harta miliknya diambil oleh para perampok, anak-anaknya binasa dalam musibah, dan dia sendiri dipenuhi bisul-bisul yang sangat menyakitkan dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Namun, dia tidak pernah menyalahkan Tuhan. Sebaliknya, dia tunduk pada aturan dan rencana-rencana Tuhan, bersujud di hadapan Tuhan dalam doa: "Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dengan telanjang aku juga akan kembali ke situ: Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub 1:21). Ayub memiliki hati yang menghormati Tuhan, jadi dia percaya bahwa kekayaan materi manusia bukanlah sesuatu yang mereka peroleh melalui kerja keras mereka sendiri, tetapi ditentukan oleh aturan Tuhan. Jadi apakah Tuhan memberi, atau apakah Tuhan mengambil, dia sepenuhnya bersedia tunduk kepada Tuhan dan tidak akan menyalahkan Dia. Ayub tidak berupaya mendapatkan lebih banyak harta; alih-alih, dia berusaha mencapai penghormatan yang tulus dan tunduk kepada Tuhan. Ini memungkinkan Ayub untuk menjadi saksi bagi Tuhan dan benar-benar mempermalukan Iblis, memberikan semua kemuliaan kepada Tuhan. Tuhan kemudian memuji Ayub dengan memberikannya kekayaan yang bahkan lebih besar dan umur yang sangat panjang, serta anak-anak yang paling cantik di dunia. Dia juga berbicara kepada Ayub dari dalam badai agar Ayub bisa mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan. Ayub tidak ditinggalkan dengan penyesalan dalam hidup; dia meninggal setelah menikmati umur yang amat panjang. Kita dapat melihat dari kesaksian Ayub bagi Tuhan bahwa pencarian manusia akan kekayaan adalah tanpa makna, bahwa hanya dengan mencari pengetahuan tentang Tuhan, tunduk pada aturan dan rencana-rencana Tuhan, dan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan seumur hidup, kita dapat hidup dalam pemeliharaan dan perlindungan Tuhan, dan mencapai kebahagiaan, kelepasan, dan kebebasan sejati. Inilah satu-satunya jenis kehidupan yang memiliki nilai dan makna sejati.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Pilihanku untuk Sisa Hidupku

Oleh Saudara Xiao Yong, Tiongkok Saat masih anak-anak, keluargaku terbilang miskin dan kami sering dirundung oleh penduduk desa lain. Aku...

Pilihanku

Pada bulan Maret 2012, ibuku berbagi Injil Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman denganku. Aku mulai membaca firman Tuhan setiap hari dan...

Pilihan Seorang Dokter

Oleh Saudari Yang Qing, Tiongkok Ketika aku masih kecil, keluargaku sangat miskin. Ibuku lumpuh, terbaring di tempat tidur, dan minum obat...