Akibat Selalu Menyenangkan Orang Lain

14 Desember 2022

Oleh Saudari Xin Cheng, Amerika

Aku memimpin pekerjaan penginjilan di gereja. Aku dan Saudari Wanda melayani bersama sebagai pemimpin kelompok. Awalnya, aku dapat melihat Saudari Wanda proaktif dalam tugasnya, dan dia cukup efektif dalam pekerjaannya. Menurutku dia orang yang bertanggung jawab yang terbeban. Namun setelah beberapa waktu, kuperhatikan dia makin pasif dalam tugasnya. Dia jarang mengidentifikasi masalah dalam pekerjaan, apalagi menyelesaikannya. Dahulu, ketika kami merangkum pekerjaan kami, dia selalu menemuiku untuk merangkum masalah atau penyimpangan dalam pekerjaan, dan mendiskusikan cara untuk menyelesaikannya. Namun, kali ini dia hanya diam saja. Biasanya, kami berbagi sebagian besar pekerjaan dalam kelompok kami, dan masalah-masalah dirangkum tepat waktu. Hal ini dapat menyelesaikan masalah dengan lebih baik dan meningkatkan efektivitas kerja. Namun sekarang, Saudari Wanda tak mengerahkan segenap hatinya ke dalam masalah kelompok. Kupikir, "Dia tak melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin kelompok. Ini tak dapat diterima, aku harus bersekutu dengannya tentang hal ini." Namun setelah dipikir-pikir, "Hubunganku dengan Saudari Wanda biasanya cukup baik. Jika aku langsung berkata dia tak terlalu terbeban dalam tugasnya dan tak melakukan pekerjaan nyata apa pun, akankah itu membuatnya malu? Jika dengan mengatakan ini aku mengganggu kedamaian, bagaimana kita akan rukun setelah ini? Lupakan saja. Lebih baik tak mengambil risiko. Aku tak boleh membuatnya kesal." Pada waktu itu, aku selalu menuduh diriku sendiri dalam benakku, "Bukankah keadaan Saudari Wanda telah buruk selama kurun waktu ini? Jika ini terus berlanjut, hidupnya akan menderita dan itu akan memengaruhi pekerjaannya. Haruskah aku segera bersekutu dengannya? Namun, jika aku hanya langsung menunjukkan bahwa dia tak terbeban, akankah dia merasa terkekang dan mengira aku mengawasi pekerjaannya? Mungkin aku harus memberi tahu pemimpin dan membiarkannya membantu Saudari Wanda. Dengan begitu aku tak perlu menyinggungnya." Namun kemudian kupikir, "Jika aku memberi tahu pemimpin dan Saudari Wanda mengetahuinya, akankah dia berkata aku mengadukannya? Tidak, lebih baik diam saja." Aku terus menimbang seperti ini dan tak bisa mendapatkan kelegaan dari masalah ini. Aku sadar keadaanku salah, jadi aku berdoa kepada Tuhan, memohon Dia memimpinku untuk mencari kebenaran dan menyelesaikan masalahku.

Suatu kali selama pertemuan, aku melihat firman Tuhan berkata, "Ketika engkau semua melihat suatu masalah dan tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya, dan tidak bersekutu tentangnya, dan tidak berusaha untuk membatasinya, dan selain itu, engkau tidak melaporkannya kepada atasanmu, tetapi berperan sebagai 'orang baik', apakah itu tanda ketidaksetiaan? Apakah orang-orang baik tersebut setia kepada Tuhan? Tidak sedikit pun. Orang semacam itu bukan saja tidak setia kepada Tuhan—mereka juga bertindak sebagai kaki tangan Iblis, pelayan dan pengikutnya. Mereka tidak setia dalam tugas dan tanggung jawab mereka, melainkan kepada Iblislah, mereka sangat setia. Di sinilah letak inti masalahnya. Adapun dalam hal kurangnya profesionalitas, adalah mungkin untuk terus-menerus belajar dan menyatukan pengalamanmu sementara melaksanakan tugasmu. Masalah-masalah seperti itu dapat dengan mudah diselesaikan. Hal yang paling sulit diselesaikan adalah watak manusia yang rusak. Jika engkau tidak mengejar kebenaran atau menyelesaikan watak rusakmu, tetapi selalu bersikap sebagai orang yang baik, dan tidak menangani atau membantu mereka yang kaulihat telah melanggar prinsip, ataupun menyingkapkan atau mengungkapkan mereka, tetapi selalu mundur, tidak mengambil tanggung jawab, maka pelaksanaan tugasmu yang seperti itu hanya akan merugikan dan menunda pekerjaan gereja" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Penyelesaian Tugas yang Benar Membutuhkan Kerja Sama yang Harmonis"). "Perilaku dan cara orang memperlakukan orang lain haruslah didasarkan pada firman Tuhan; ini adalah prinsip paling dasar bagi perilaku manusia. Bagaimana orang bisa menerapkan kebenaran jika mereka tidak memahami prinsip-prinsip perilaku manusia? Menerapkan kebenaran bukanlah mengucapkan kata-kata kosong dan meneriakkan slogan. Apa pun yang mungkin orang hadapi dalam hidup ini, selama itu melibatkan prinsip-prinsip perilaku manusia, sudut pandang mengenai peristiwa, atau hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas mereka, mereka dihadapkan dengan pilihan, dan mereka harus mencari kebenaran, mereka harus mencari dasar dan prinsip di dalam firman Tuhan, dan kemudian mereka harus mencari jalan penerapannya; orang yang mampu menerapkan dengan cara ini adalah orang yang mengejar kebenaran. Jika orang mampu mengejar kebenaran dengan cara ini, sebesar apa pun kesulitan yang dihadapinya, orang itu sedang menempuh jalan Petrus dan jalan mengejar kebenaran. Sebagai contoh: prinsip apakah yang harus orang ikuti ketika berinteraksi dengan orang lain? Sudut pandangmu yang semula adalah engkau tidak boleh menyinggung siapa pun, tetapi menjaga perdamaian dan menghindari membuat siapa pun dipermalukan sehingga di masa depan semua orang dapat hidup rukun. Jika engkau dibatasi oleh sudut pandang ini, ketika engkau melihat seseorang melakukan sesuatu yang buruk, melakukan kesalahan, atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip, engkau pasti lebih memilih untuk menoleransi hal itu daripada membicarakannya dengan orang tersebut. Karena dibatasi oleh sudut pandangmu, engkau menjadi enggan untuk menyinggung siapa pun. Dengan siapa pun engkau berhubungan, karena terhalang oleh pemikiran tentang reputasi, emosi, atau perasaan yang telah bertumbuh selama bertahun-tahun engkau berinteraksi dengannya, engkau akan selalu mengatakan hal-hal yang baik untuk menyenangkan hati orang tersebut. Ketika ada hal-hal yang kauanggap tidak memuaskan, engkau juga membiarkannya; engkau hanya secara diam-diam melepaskan sedikit kekesalanmu, melontarkan beberapa umpatan, tetapi ketika bertemu langsung dengan mereka, engkau tidak mengatakan apa pun yang menegur mereka dan tetap mempertahankan hubunganmu dengan mereka. Apa pendapatmu tentang perilaku seperti itu? Bukankah itu perilaku orang yang selalu setuju dengan pemimpinnya? Bukankah ini sangat licik? Itu melanggar prinsip berperilaku. Jadi, bukankah bertindak seperti itu hina? Orang yang bertindak seperti ini bukanlah orang baik ataupun mulia. Sebanyak apa pun engkau telah menderita, dan berapa pun harga yang telah kaubayar, jika engkau berperilaku tanpa prinsip, engkau telah gagal dan tidak akan mendapat perkenanan di hadapan Tuhan, ataupun diingat oleh-Nya, ataupun menyenangkan Dia" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Untuk Melaksanakan Tugas dengan Baik, Orang Setidaknya Harus Memiliki Hati Nurani dan Nalar"). Firman Tuhan membuatku sadar, aku telah memiliki pandangan yang keliru bahwa hubungan antara orang selalu dibutuhkan untuk menjadi rukun. Jika aku selalu menunjukkan dan menyingkapkan masalah orang lain, itu akan menyinggung mereka dan kemungkinan melukai harga diri mereka dan hubungan kami, membuatnya sulit hidup rukun. Setelah membandingkan pandangan ini dengan firman Tuhan, akhirnya aku memahami itu tak sesuai dengan kebenaran, dan bertentangan dengan prinsip menjadi manusia. Orang semacam ini egois, hina, licin, dan curang. Untuk menjaga hubungan baik, mereka diam saja ketika melihat orang memiliki masalah, dan hanya mengucapkan kata-kata sanjungan dan pujian. Mereka tidak tulus dalam interaksi mereka dan tak benar-benar membantu, tapi malah merugikan orang. Semua orang ini adalah orang yang rendah di mata Tuhan, dan Dia tak memperkenan mereka. Sama seperti bagaimana aku memperlakukan Saudari Wanda—aku melihat dengan jelas dia tak terbeban dalam tugasnya dan tak melakukan pekerjaan nyata, tapi aku tak menerapkan kebenaran dengan menunjukkan masalahnya. Aku bahkan tak punya keberanian untuk melaporkan masalahnya. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana menjaga hubunganku dengan saudariku. Kupikir menyingkapkan masalah orang akan menyinggung dan melukai perasaan mereka. Meskipun aku melihat itu memengaruhi pekerjaan, aku masih tak mau menyangkali daging dan menerapkan kebenaran. Aku sedang menjadi penyenang orang yang curang! Aku menemukan masalah saudariku tapi tak menyingkapkannya. Meskipun aku menjaga hubungan kami, itu sama sekali tak bermanfaat bagi jalan masuk kehidupannya, dan juga memengaruhi pekerjaan penginjilan gereja. Dengan melakukan ini, aku benar-benar merugikan orang lain dan pekerjaan gereja.

Setelah ini, aku merenungkan apa seharusnya prinsip untuk berinteraksi dengan orang. Aku melihat firman Tuhan berkata, "Engkau semua harus berfokus pada kebenaran—hanya dengan cara demikianlah engkau dapat masuk ke dalam hidup, dan hanya setelah engkau masuk ke dalam hidup, barulah engkau dapat membekali orang lain dan memimpin mereka. Jika ditemukan bahwa tindakan orang lain bertentangan dengan kebenaran, kita harus dengan penuh kasih membantu mereka mengejar kebenaran. Jika orang lain mampu menerapkan kebenaran, dan ada prinsip dalam cara mereka melakukan segala sesuatu, kita harus berusaha belajar dan meneladani mereka. Inilah yang dimaksud dengan saling mengasihi. Suasana seperti inilah yang harus ada di dalam gereja—semua orang berfokus pada kebenaran dan berusaha untuk memperolehnya. Tidak masalah apakah mereka orang-orang berusia lanjut atau orang muda, atau apakah mereka orang yang sudah lama percaya atau belum lama percaya. Tidak masalah juga apakah mereka berkualitas tinggi atau rendah. Hal-hal ini tidak penting. Di hadapan kebenaran, semua orang setara. Hal-hal yang harus engkau lihat adalah siapa yang mampu berbicara dengan benar dan sesuai dengan kebenaran, siapa yang memikirkan kepentingan rumah Tuhan, siapa yang paling terbeban dalam pekerjaan rumah Tuhan, siapa yang memahami kebenaran dengan lebih jelas, siapa yang juga memiliki rasa keadilan, dan siapa yang bersedia membayar harga. Orang-orang seperti itu harus didukung dan dihargai oleh saudara-saudari mereka. Atmosfer kejujuran yang berasal dari mengejar kebenaran ini harus ada di dalam gereja; dengan demikian, engkau akan memiliki pekerjaan Roh Kudus dan Tuhan akan memberikan berkat dan bimbingan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya Orang yang Melaksanakan Tugas dengan Segenap Hati, Pikiran, dan Jiwalah Orang yang Mengasihi Tuhan"). Di dalam gereja kebenaran berkuasa. Jemaat gereja hendaknya menempatkan kebenaran sebagai prioritas mereka ketika berinteraksi. Siapa pun yang melanggar prinsip harus diberitahu, ditangani, dan dibantu dengan penuh kasih agar mereka dapat berjuang mengejar kebenaran. Siapa pun yang berbicara dan bertindak berdasarkan kebenaran, dan jujur serta mampu melindungi pekerjaan gereja harus didukung dan dilindungi. Hanya jika setiap orang berfokus mencari dan menerapkan kebenaran, dan membiarkan pengejaran akan kebenaran berkuasa di gereja, barulah Roh Kudus dapat melakukan pekerjaan-Nya. Ketika memahami hal-hal ini, hatiku dicerahkan, dan aku memiliki jalan penerapan. Aku juga berpikir, sebenarnya, setiap orang percaya sejati kepada Tuhan ingin melaksanakan tugas mereka dengan baik dan membalas kasih-Nya. Namun, tak seorang pun berdaya untuk tidak menyingkapkan kerusakan dan banyak kekurangan dalam pelaksanaan tugas mereka. Saudara-saudari harus saling membantu dan mengoreksi dalam hal ini. Menunjukkan dan menyingkapkan masalah orang lain bukan dilakukan untuk mempermalukan, ataupun menyerang mereka, melainkan, ini dilakukan untuk membantu orang menyadari masalah mereka dan membalikkan keadaan mereka yang salah. Hanya inilah arti kasih sejati, dan ungkapan kasih timbal balik. Ini untuk melindungi pekerjaan gereja. Sebaliknya, ketika kau melihat masalah orang lain tapi diam saja, menjalankan falsafah Iblis untuk melindungi kepentingan pribadimu, ini artinya tak bertanggung jawab terhadap jalan masuk kehidupan orang dan pekerjaan gereja. Hidup dengan cara seperti ini sangat egois dan hina. Aku mengingat interaksiku dengan Saudari Wanda. Aku melihat ada masalah dalam tugasnya, tapi tak memberinya bantuan nyata karena aku hanya peduli untuk melindungi citraku, dan tak memikirkan jalan masuk kehidupannya, atau pekerjaan gereja. Aku benar-benar egois, hina, dan tak punya kemanusiaan! Pada titik ini, aku dipenuhi dengan rasa bersalah, dan mau menerapkan firman Tuhan, dan memperlakukan saudariku sesuai prinsip kebenaran.

Kemudian, aku menemui Saudari Wanda dan membuka diri serta bersekutu dengannya. Aku menceritakan semua masalah yang kulihat satu per satu. Dia sangat tersentuh setelah membaca satu bagian firman Tuhan, dan berkata keadaannya sangat buruk belakangan ini dan bahkan tak tahu harus berkata apa selama berdoa. Aku terkejut mendengar hal ini dan menyalahkan diriku sendiri. Jika saja aku telah menunjukkan masalahnya dan membantunya lebih cepat, mungkin dia sudah membalikkan keadaannya yang salah, dan itu pasti tak memengaruhi tugasnya. Aku sadar tindakanku yang tak menerapkan kebenaran dan bertindak sebagai penyenang orang hanya untuk menjaga hubunganku dengan saudariku benar-benar merugikannya. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan dan bertekad, kelak dalam interaksiku dengan orang, aku akan berfokus untuk menerapkan kebenaran, dan jika menemukan masalah, aku akan menunjukkannya dan segera membantu daripada menjadi penyenang orang.

Sejak saat itu, Saudari Wanda lebih aktif dalam tugasnya. Namun, setelah beberapa waktu, kuperhatikan pekerjaannya sering melanggar prinsip. Meskipun orang memiliki kemanusiaan yang buruk dan tak memenuhi syarat untuk diinjili, dia selalu tetap memberitakan Injil kepada mereka, menyia-nyiakan upaya. Aku bingung. Saudari Wanda telah begitu lama memberitakan Injil. Seharusnya dia memiliki pemahaman yang lebih baik tentang setiap aspek dari prinsip. Bagaimana dia bisa membuat kesalahan yang begitu jelas? Apakah keadaannya belum berbalik? Mungkin aku harus mengingatkannya. Namun kemudian kupikir, "Aku sudah membantu dia sebelumnya. Aku tak perlu selalu mengoreksinya. Ini sangat tak nyaman. Jika aku selalu mengoreksinya, akankah dia menganggapku orang yang congkak, selalu mencari-cari masalah orang lain, atau terlalu banyak menuntut orang lain? Itu akan buruk untuk citraku. Sebaiknya kubiarkan saja." Jadi, aku melihat keadaan dan kondisi Saudari Wanda tidak benar selama tugasnya, tapi tetap berpura-pura tidak melihatnya dan tidak menunjukkan atau membantunya. Setelah beberapa waktu, Saudari Wanda diberhentikan karena telah bersikap ceroboh dan tak efektif dalam tugasnya untuk waktu yang lama. Aku merasa sangat bersalah. Aku jelas melihat ada masalah dalam tugas saudariku, tapi aku tak mengindahkannya. Aku berpura-pura tidak melihatnya, dan tak melakukan apa pun untuk mengingatkan atau membantunya. Sekarang dia telah diberhentikan, bukankah aku juga bertanggung jawab? Aku merasa tersiksa dan bingung. Mengapa aku selalu menjadi penyenang orang dan tak mampu menerapkan kebenaran? Apa sumber dari masalah ini?

Saat merenung dan mencari, aku melihat firman Tuhan berkata, "Ada prinsip dalam falsafah kehidupan yang berkata, 'Tidak membicarakan kesalahan teman baik menghasilkan persahabatan yang lama dan berkualitas.' Artinya, untuk menjaga hubungan persahabatan, orang harus tutup mulut tentang masalah teman mereka, meskipun mereka melihatnya dengan jelas—artinya mereka harus menjunjung tinggi prinsip untuk tidak menyerang martabat orang lain atau menyingkapkan kekurangan mereka. Mereka harus saling menipu, saling menyembunyikan, saling terlibat dalam persekongkolan; dan meskipun mereka tahu betul orang macam apa orang lain itu, mereka tidak mengatakannya secara langsung, tetapi menggunakan cara-cara licik untuk menjaga hubungan persahabatan mereka. Mengapa orang ingin menjaga hubungan seperti itu? Ini adalah tentang tidak mau menciptakan musuh di tengah masyarakat atau di dalam kelompok tertentu, karena melakukan ini berarti orang akan sering menempatkan dirinya dalam situasi berbahaya. Karena engkau tidak tahu dengan cara apa seseorang akan menyakitimu setelah engkau menyingkapkan kesalahan atau menyakiti mereka dan mereka menjadi musuhmu, dan engkau tidak ingin menempatkan dirimu dalam posisi seperti itu, engkau menggunakan prinsip falsafah kehidupan yang berkata, 'Jangan pernah mengucapkan hal yang terlalu pribadi'. Berdasarkan falsafah ini, jika dua orang berada dalam hubungan seperti itu, dapatkah mereka dianggap sebagai sahabat sejati? (Tidak.) Mereka bukan sahabat sejati, apalagi sahabat karib. Jadi, sebenarnya hubungan macam apakah ini? Bukankah ini adalah hubungan sosial yang dangkal? (Ya.) Dalam hubungan sosial semacam itu, orang tidak dapat mengungkapkan perasaan mereka, tidak bisa berbicara dari hati ke hati, tidak dapat mengatakan apa pun yang mereka suka, atau menyampaikan apa yang ada dalam hati mereka, atau mengemukakan masalah yang mereka lihat dalam diri orang lain, atau mengucapkan perkataan yang akan bermanfaat bagi orang lain. Sebaliknya, mereka memilih mengucapkan perkataan yang muluk-muluk agar tidak menyakiti orang lain. Mereka tidak ingin menciptakan musuh. Tujuannya adalah agar orang-orang di sekitar dirinya tidak menjadi ancaman. Ketika tak seorang pun mengancam mereka, bukankah hidup mereka menjadi relatif tenang dan damai? Bukankah ini tujuan orang dalam mengucapkan ungkapan, 'Jangan pernah mengucapkan hal yang terlalu pribadi'? (Ya.) Jelas, ini adalah cara hidup yang licik dan menipu, yang mengandung unsur kewaspadaan, dan yang tujuannya adalah melindungi diri sendiri. Orang yang hidup seperti ini tidak memiliki sahabat karib, sama sekali tidak ada teman dekat yang dengannya mereka dapat membicarakan apa pun. Mereka bersikap waspada terhadap satu sama lain, penuh perhitungan, dan bersikap strategis, masing-masing mengambil apa yang mereka butuhkan dari hubungan tersebut. Bukankah begitu? Kesimpulannya, tujuan dari 'Jangan pernah mengucapkan hal yang terlalu pribadi' adalah untuk menjaga agar tidak menyinggung orang lain dan menciptakan musuh, melindungi diri sendiri dengan tidak menyakiti siapa pun. Ini adalah teknik dan metode yang orang pakai untuk menjaga dirinya agar tidak dirugikan" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran, "Apa Arti Mengejar Kebenaran (8)"). "Natur Iblis dalam diri manusia mengandung banyak falsafah. Terkadang engkau sendiri bahkan tidak menyadari semua itu, dan tidak memahami semua itu; meskipun demikian, setiap saat dalam hidupmu didasarkan pada hal-hal ini. Selain itu, engkau berpikir bahwa falsafah-falsafah ini cukup benar dan masuk akal, serta sama sekali tidak salah. Ini cukup untuk menunjukkan bahwa falsafah Iblis telah menjadi natur manusia, dan bahwa mereka sedang hidup sepenuhnya sesuai dengan falsafah Iblis, menganggap cara hidup ini baik, dan sama sekali tanpa rasa pertobatan. Karena itu, mereka selalu menyingkapkan natur Iblis dalam diri mereka, dan dalam segala aspek, mereka terus hidup berdasarkan falsafah Iblis, dan itu adalah natur dan esensi manusia" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Cara Menempuh Jalan Petrus"). Melalui penyingkapan firman Tuhan, aku mengerti. Alasan aku tak berdaya untuk tidak menjadi penyenang orang karena aku telah dirusak sedemikian dalam oleh Iblis. Hatiku penuh dengan falsafah dan hukum Iblis, seperti "Jangan pernah mengucapkan hal yang terlalu pribadi", dan "Lindungi pertemananmu dengan tak pernah menunjukkan kesalahan orang lain", dll. Hal-hal ini telah menjadi prinsipku untuk menjalani hidup. Di bawah kekuasaan falsafah Iblis ini, kupikir, tidak menyinggung orang dengan perkataan dan tindakanku, menjaga hubungan baik, dan memelihara kerukunan adalah cara yang bijak untuk hidup. Jadi, meskipun aku melihat Saudari Wanda ceroboh dalam tugasnya dan melanggar prinsip, dan hal itu telah memengaruhi pekerjaan, aku tak mau menyingkapkan atau mengoreksinya. Aku lebih suka membiarkan pekerjaan penginjilan dirugikan untuk menjaga hubunganku. Aku sangat terikat oleh falsafah Iblis, aku tak mampu menerapkan kebenaran, dan sama sekali tak punya hati nurani atau nalar! Aku melihat firman Tuhan berkata, "Jelas, ini adalah cara hidup yang licik dan menipu, yang mengandung unsur kewaspadaan, dan yang tujuannya adalah melindungi diri sendiri." Aku sangat tersentuh. Firman Tuhan sungguh benar, dan menyingkapkan niatku yang hina ketika aku hidup berdasarkan falsafah Iblis. Sebelumnya, aku dengan congkak berpikir, alasanku tak mengoreksi saudariku adalah karena aku takut dia akan merasa terkekang. Namun sebenarnya, ini hanya alasan bagiku untuk tak menerapkan kebenaran. Aku takut jika terlalu sering mengoreksinya, dia bisa tersinggung, dan menganggapku orang yang congkak yang suka mencari-cari kesalahan dan tak mampu memperlakukan orang dengan adil. Untuk memberikan kesan yang baik kepada saudariku, aku berpura-pura tak melihat masalahnya, menyebabkan dia selalu hidup dalam kerusakan dan tak memiliki kesadaran diri. Aku tak jujur dalam interaksiku dengan orang lain, semua itu penampilan palsu dan tipu muslihat. Aku sangat licin dan curang! Aku teringat ketika bekerja sama dengan Saudari Wanda dalam tugas kami, aku tak menerapkan kebenaran yang seharusnya kuterapkan, dan tak memenuhi tanggung jawab yang seharusnya kupenuhi. Sekarang dia telah diberhentikan, dan aku merasa menyesal. Aku telah mengalami betapa hidup berdasarkan falsafah Iblis benar-benar merugikan orang lain dan dirimu sendiri. Hidupmu hina dan tercela. Aku tak mau lagi hidup berdasarkan falsafah Iblis. Aku ingin mencari kebenaran dan melaksanakan tugasku dengan baik.

Kemudian, aku melihat firman Tuhan berkata, "Sedikit lebih spesifik: menjadi orang yang jujur artinya menjadi orang yang sederhana dan terbuka, yang tidak menyembunyikan diri, yang tidak berbohong atau berbicara berputar-putar, yang berterus terang, yang memiliki rasa keadilan dan berkata jujur. Inilah hal pertama yang harus orang lakukan. ... Orang yang curang adalah orang yang paling dibenci Tuhan. Jika engkau ingin menyingkirkan pengaruh Iblis dan diselamatkan, engkau harus menerima kebenaran. Engkau harus memulainya dengan menjadi orang yang jujur, mengatakan yang sebenarnya, tidak dikendalikan oleh emosi, membuang kepura-puraan dan tipu muslihat, dan mulai berbicara dan bertindak dengan berprinsip. Hidup seperti ini bebas dan bahagia, dan engkau dapat hidup di hadapan Tuhan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Menerapkan Kebenaran Engkau Dapat Melepaskan Belenggu Watak yang Rusak"). "Kerajaan-Ku memerlukan orang-orang yang jujur, orang-orang yang tidak munafik atau curang. Bukankah orang-orang yang tulus dan jujur tidak disenangi di dunia? Aku justru sebaliknya. Orang-orang jujur boleh datang kepada-Ku; Aku menyenangi orang-orang seperti ini, dan Aku juga membutuhkan orang-orang seperti ini. Inilah kebenaran-Ku" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 33"). Firman Tuhan membuatku mengerti Tuhan menyukai orang yang murni, lurus, dan jujur, orang yang bisa berterus terang dan tidak menipu dalam ucapan dan tindakan mereka. Hanya orang jujur yang layak masuk ke dalam Kerajaan Tuhan. Ini telah diputuskan oleh watak Tuhan yang benar. Renungkanlah keadaan di dunia sekuler, setiap hubungan adalah kepura-puraan. Hanya perkataan yang menyenangkan dan menyanjung yang diucapkan di depan orang lain. Tanpa kejujuran sedikit pun. Dalam menghadapi hal-hal jahat yang bertentangan dengan hati nurani dan etika, kebanyakan orang memilih melindungi diri mereka sendiri, dan merasa lebih baik menghindarkan diri membuat masalah. Mereka bahkan sama sekali tak berani berkata jujur. Mereka sangat munafik dan tak dapat dipercaya, dan tak punya integritas atau karakter. Namun, ketika berinteraksi dengan orang lain, aku pun menjalankan falsafah Iblis ini. Ketika melihat masalah, aku tak menyingkapkannya atau membantu. Aku hanya menjaga hubunganku dengan orang lain. Hidup dengan cara seperti ini sangat licin dan curang. Ini membuat Tuhan jijik dan Dia membencinya. Pada titik ini, aku teringat betapa Tuhan itu kudus dan memiliki esensi yang dapat dipercaya. Tuhan yang berinkarnasi berinteraksi dengan manusia secara nyata. Dia selalu mengungkapkan kebenaran, melakukan penghakiman, dan menyingkapkan orang di mana-mana, berdasarkan watak rusak yang mereka singkapkan, dan gagasan mereka tentang Tuhan. Secara khusus, firman penghakiman dan penyingkapan Tuhan berbicara langsung ke sumber dan esensi kerusakan kita. Meskipun perkataan-Nya keras dan tajam, semua itu untuk membuat kita mengenal diri kita sendiri, bertobat dan berubah. Firman Tuhan itu kuat dan tegas. Semuanya adalah perkataan yang tulus. Tuhan memiliki hati yang sangat jujur dan dapat dipercaya bagi manusia. Jika Tuhan tidak menunjukkan dan mengatakannya bagi kita dengan jelas, jika Dia tidak menyingkapkan kebenaran tentang seberapa dalamnya manusia telah dirusak oleh Iblis, kita pasti tak pernah mengenal diri kita sendiri. Sebaliknya, kita akan hidup dalam imajinasi kita sendiri, menganggap diri kita baik. Watak rusak kita pasti tak pernah berubah, dan kita takkan pernah memperoleh keselamatan. Tuhan berharap kita mampu memahami kebenaran tentang kerusakan kita melalui firman penghakiman dan penyingkapan-Nya, dan kita mampu bertobat kepada Tuhan, hidup berdasarkan firman-Nya, dan berusaha menjadi orang yang jujur. Inilah kasih Tuhan terhadap manusia. Setelah merenungkan semua ini, aku merasakan dorongan yang sangat besar. Aku bertekad untuk mengikuti tuntutan Tuhan, dan menjadi orang yang murni, lurus, dan jujur.

Suatu ketika, pemimpin kami, Saudari Belinda, sedang mendiskusikan pekerjaan dengan kami. Aku menemukan ada penyimpangan dalam pekerjaan yang dia tugaskan, dan ingin menunjukkan hal itu kepadanya. Namun kemudian kupikir, "Saudari ini adalah pemimpin. Jika aku menunjukkan kekeliruan atau penyimpangan dalam tugasnya, akankah dia merasa malu? Lalu bagaimana jika dia mengira aku berusaha mempersulit dirinya dan kelak berusaha membalasku? Lupakan saja, aku seharusnya diam saja. Semua orang melakukan kesalahan." Pada titik ini, aku sadar mentalitasku yang suka menyenangkan orang kembali muncul. Jadi aku berdoa agar Tuhan membimbingku untuk menerapkan prinsip kebenaran. Setelah itu, aku membaca firman Tuhan yang berkata, "Jika engkau memiliki motivasi dan sudut pandang 'orang baik', engkau tidak akan mampu menerapkan kebenaran dan mematuhi prinsip dalam segala hal, dan engkau akan selalu gagal dan jatuh. Jika engkau tidak sadar dan tidak pernah mencari kebenaran, artinya engkau adalah orang tidak percaya, dan engkau tidak akan pernah memperoleh kebenaran dan hidup. Lalu, apa yang harus kaulakukan? Ketika menghadapi hal-hal semacam itu, engkau harus berseru kepada Tuhan dalam doa, memohon keselamatan, dan memohon agar Tuhan memberimu lebih banyak iman dan kekuatan untuk memampukanmu mematuhi prinsip, melakukan apa yang harus kaulakukan, menangani segala sesuatu berdasarkan prinsip, berdiri teguh, melindungi kepentingan rumah Tuhan, dan mencegah kerugian apa pun terjadi pada pekerjaan rumah Tuhan. Jika engkau mampu meninggalkan kepentingan diri sendiri, reputasi, dan pendirianmu tentang 'orang baik', dan jika engkau melakukan apa yang harus kaulakukan dengan hati yang jujur dan seutuhnya, engkau akan mengalahkan Iblis dan akan mendapatkan aspek kebenaran ini. Jika engkau selalu hidup berdasarkan falsafah Iblis, mempertahankan hubunganmu dengan orang lain dan tidak pernah menerapkan kebenaran, tidak berani mematuhi prinsip, akan mampukah engkau menerapkan kebenaran dalam hal-hal lain? Engkau tidak akan memiliki iman, tidak ada kekuatan. Jika engkau tak pernah mampu mencari atau menerima kebenaran, apakah percaya kepada Tuhan seperti itu akan memungkinkanmu memperoleh kebenaran? (Tidak.) Dan jika engkau tidak mampu memperoleh kebenaran, dapatkah engkau diselamatkan? Tidak. Jika engkau selalu hidup berdasarkan falsafah Iblis, sama sekali tidak memiliki kenyataan kebenaran, engkau tidak akan pernah dapat diselamatkan. Seharusnya engkau mengerti dengan jelas bahwa memperoleh kebenaran adalah syarat yang diperlukan untuk memperoleh keselamatan. Jadi, bagaimana agar engkau dapat memperoleh kebenaran? Jika engkau mampu menerapkan kebenaran, jika engkau mampu hidup berdasarkan kebenaran, dan kebenaran menjadi dasar hidupmu, maka engkau akan memperoleh kebenaran dan memiliki hidup, dan karena itu engkau akan menjadi salah satu dari mereka yang diselamatkan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Setelah membaca firman Tuhan, aku sadar, jika orang hidup berdasarkan falsafah Iblis dan selalu menjadi penyenang orang, mereka takkan pernah memperoleh kebenaran, dan pada akhirnya takkan pernah memperoleh keselamatan. Pada saat yang sama, aku memahami, jika kau ingin menyelesaikan masalah menjadi penyenang orang, kau harus banyak berdoa dan mengandalkan Tuhan, memohon kekuatan kepada Tuhan, mampu menyangkali daging, melepaskan kepentingan pribadi, dan memikirkan pekerjaan gereja. Dengan sering melakukan penerapan seperti ini, kau secara berangsur mampu mengalahkan belenggu watakmu yang rusak. Jika kau selalu tak mampu menerapkan kebenaran dan tidak setia pada tugasmu, akhirnya kau akan disingkapkan dan diusir. Dengan pemikiran ini, aku memiliki keberanian dan motivasi untuk menerapkan kebenaran. Aku tak boleh terus menjadi penyenang orang tanpa hati nurani dan kemanusiaan. Jadi, aku menyampaikan masalah ini kepada pemimpinku. Setelah menyampaikan kepadanya, aku merasa sangat lega. Kemudian, dalam sebuah pertemuan, pemimpin mempersekutukan perenungan dan manfaat yang dia terima setelah dikonfrontasi. Mendengar tentang pengalaman dan kesadaran saudariku sangat menyentuhku, dan aku merasakan manisnya menerapkan kebenaran! Memiliki pengalaman ini meningkatkan keyakinanku untuk menerapkan kebenaran. Setelah ini, ketika menghadapi situasi yang serupa, meskipun aku sering kali masih menyingkapkan diri sebagai penyenang orang, penderitaan dan pergumulan yang kualami lebih ringan daripada sebelumnya. Aku dapat dengan sadar menyangkali diriku dan menerapkan kebenaran. Dengan menerapkan kebenaran seperti ini, hatiku merasa sangat lega dan tenang. Firman Tuhanlah yang mencapai efek ini. Syukur kepada Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait