Renungan tentang Kehilangan Tugasku

19 Januari 2022

Oleh Saudari Wang Lin, Korea

Karena memiliki keterampilan pengelasan, pada tahun 2017, aku ditugaskan menangani urusan gereja. Itu tugas yang menuntut secara fisik dan memerlukan lembur. Terkadang aku tidak bisa makan atau menghadiri pertemuan sesuai jadwal. Pada awalnya aku tidak peduli, berpikir punya kesempatan menggunakan keterampilan itu dalam tugasku adalah suatu kehormatan bagiku. Aku ingin mengerahkan segenap kemampuanku. Belakangan, tim kami makin sibuk dan tugasku menjadi cukup padat. Aku agak lelah setelah beberapa waktu dan mulai merasa sedikit kesal.

Dalam suatu pertemuan, seorang saudari tiba-tiba memberi tahu kami harus pergi membantu membongkar beberapa material. Aku tidak ingin melakukannya. Aku bertanya-tanya mengapa tidak bisa menunggu pertemuan selesai, dan jika itu sangat mendesak, orang lain bisa melakukannya! Kenapa harus kami? Apakah kami tidak lebih dari pekerja upahan? Dengan perasaan menentang di dalam hati, meskipun aku pergi, aku melakukannya dengan enggan. Aku tidak mengerahkan seluruh kemampuanku, hanya bekerja asal-asalan. Semua orang bekerja lembur saat sesuatu muncul pada menit terakhir, tetapi aku mengambil jalan pintas kapan pun aku bisa. Jika bisa bekerja lebih sedikit, aku menghindari kerja keras. Setiap kali harus bekerja ekstra beberapa jam, aku merasa kesal dan tidak bersedia, seolah-olah aku sangat dirugikan. Di permukaan, aku menyelesaikan pekerjaan, tetapi itu dilakukan dengan enggan. Aku ingin bersantai setelah menyelesaikan tugas yang diberikan pemimpin tim kepadaku dan tidak mau membantu orang lain yang belum selesai. Aku pikir itu urusan mereka dan tidak ada hubungannya denganku. Pemimpin tim menegur dan menanganiku karena melihatku bekerja dengan enggan, tetapi kupikir dia hanya rewel dan aku tidak merenungkan diriku. Aku melakukan tugasku dengan sangat pasif seperti ini, puas dengan hasil minimum. Semua saudara-saudari lain bekerja sangat keras, dan aku bukan saja tidak iri kepada mereka, aku bahkan diam-diam menertawakan mereka. Suatu kali saat mengangkut kayu, aku hanya membawa satu bundel pada satu waktu, sementara saudara lain membawa dua sekaligus. Aku pikir, "Kenapa kau menyusahkan dirimu? Dasar bodoh. Tidak perlu melakukan itu bahkan jika kau memiliki kekuatan. Kau akan membuat dirimu lelah." Faktanya, aku lebih muda darinya, jadi membawa dua sekaligus tidak akan menjadi masalah bagiku, tetapi memikul sebanyak itu akan membuatku sakit. Aku tidak mau melakukannya. Melihatku bermalas-malasan dalam pekerjaanku, para saudara lain menegur dan menyuruhku lebih memperhatikan tugasku, tetapi aku tidak peduli. Aku merasa telah menyelesaikannya, jadi tidak ada yang dirugikan. Karena menolak memperbaiki sikap terhadap tugasku, penghakiman dan hajaran Tuhan menimpaku.

Pada tanggal 21 Juli tahun ini, saat aku sedang bekerja, pemimpin tim tiba-tiba memberitahuku bahwa kemanusiaanku kurang dan aku malas dalam tugasku, jadi aku tidak cocok untuk posisi itu. Ada perasaan gundah dalam hatiku saat mendapat kabar itu. Tanpa tugas, bukankah aku sudah selesai? Apakah aku memiliki harapan penyelamatan? Aku makin kesal dan benar-benar tenggelam dalam depresi. Aku langsung berlutut di hadapan Tuhan dalam doa: "Ya Tuhan! Aku tahu Kau telah mengizinkan ini terjadi kepadaku, tetapi aku tidak memahami kehendak-Mu dalam hal ini dan tidak tahu pelajaran apa yang harus kupelajari. Tolong jaga hatiku agar aku bisa tunduk pada pekerjaan-Mu dan tidak mencari-cari kesalahan." Aku merasa jauh lebih tenang setelah berdoa. Dengan barang-barang telah dikemas dan hendak pergi, aku menatap saudara-saudara lain di kejauhan, semua bergegas mondar-mandir, bekerja dengan antusias saat aku akan memulai perjalanan. Aku merasa sangat buruk. Aku telah menjadi orang percaya selama lebih dari 10 tahun dan selalu merasa aku adalah orang yang mengejar kebenaran, yang bisa berkorban. Aku tidak pernah membayangkan akan diberhentikan dari suatu tugas. Jika aku tidak cocok untuk melakukan suatu tugas, apa yang bisa kulakukan? Aku tidak mengerti mengapa pemimpin tim berkata kemanusiaanku kurang. Biasanya aku tidak memiliki konflik dengan yang lain dan akur dengan kebanyakan orang. Aku merasa tidak ada yang salah dengan kemanusiaanku. Untuk tugasku, aku merasa telah mengerahkan cukup banyak energi ke dalamnya. Namun,aku berpikir Tuhan itu benar, jadi jika telah melakukan tugasku dengan baik, aku tidak akan diberhentikan. Setelah kehilangan tugasku, aku tidak perlu terlalu sibuk atau bekerja keras sepanjang waktu, tetapi aku merasa sangat kecewa, benar-benar sedih. Aku datang ke hadapan Tuhan dalam doa sepanjang waktu, meminta Dia mencerahkanku agar mengenal diriku. Pada satu titik aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Sebagian orang selalu membual bahwa mereka memiliki kemanusiaan yang baik, mengklaim tidak pernah melakukan apa pun yang buruk, tidak pernah mencuri milik orang lain, atau mengingini milik orang lain. Mereka bahkan sampai membiarkan orang lain mendapatkan keuntungan di atas kerugian mereka ketika ada perdebatan mengenai kepentingan tertentu, lebih suka menderita kerugian, dan mereka tidak pernah mengatakan apa pun yang buruk tentang siapa pun hanya agar semua orang berpikir mereka adalah orang yang baik. Namun, ketika melakukan tugas-tugas mereka di rumah Tuhan, mereka licik dan licin, selalu membuat rencana kotor bagi diri mereka sendiri. Mereka tidak pernah memikirkan kepentingan rumah Tuhan, mereka tidak pernah menganggap mendesak apa yang Tuhan anggap mendesak atau memikirkan apa yang Tuhan pikirkan, dan mereka tidak pernah bisa menyingkirkan kepentingan diri mereka sendiri untuk melakukan tugas mereka. Mereka tidak pernah meninggalkan kepentingan diri mereka sendiri. Bahkan ketika mereka melihat para pelaku kejahatan melakukan kejahatan, mereka tidak menyingkapkannya; mereka sama sekali tidak memiliki prinsip. Ini bukanlah contoh kemanusiaan yang baik. Jangan peduli pada apa yang dikatakan orang semacam itu; engkau harus melihat kehidupan yang dia jalani, apa yang dia singkapkan, dan apa sikapnya ketika dia melaksanakan tugas-tugasnya, serta apa keadaan batinnya dan apa yang dia sukai" ("Serahkanlah Hatimu yang Sejati kepada Tuhan, maka Engkau Dapat Memperoleh Kebenaran" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Merenungkan ini, aku sadar aku berpikir memiliki kemanusiaan yang baik karena melakukan hal baik di permukaan, tetapi ini tidak benar-benar sejalan dengan kebenaran. Tuhan menilai kemanusiaan seseorang berdasarkan kinerja dan sikap terhadap tugas mereka. Ini tentang apakah mereka mengesampingkan kepentingan pribadi dan menjunjung tinggi kepentingan rumah Tuhan. Seseorang dengan kemanusiaan yang sepenuhnya baik mengabdikan diri kepada Tuhan dalam tugasnya. Mereka bisa menderita dan membayar harganya. Pada saat-saat kritis, mereka bisa meninggalkan daging mereka dan menjunjung tinggi pekerjaan rumah Tuhan. Setelah itu, aku mulai merenungkan apakah aku benar-benar memiliki kemanusiaan atau tidak, dan sikap seperti apa yang kumiliki dalam tugasku dalam terang firman Tuhan.

Aku membaca kutipan ini: "Berbagai aspek kerja dan pekerjaan yang berhubungan dengan tuntutan Tuhan berasal dari apa yang Tuhan minta—semua ini membutuhkan kerja sama manusia, semua ini adalah tugas manusia. Ruang lingkup tugas sangatlah luas. Tugas adalah tanggung jawabmu, tugas adalah apa yang harus kaulakukan, dan jika dalam hal tugas, engkau selalu mengelak, itu berarti ada masalah. Bahasa halusnya, engkau terlalu malas, terlalu curang, engkau bermalas-malasan, engkau menyukai waktu luang dan tidak suka bekerja; bahasa kasarnya, engkau tidak rela melakukan tugasmu, engkau tidak punya komitmen, tidak memiliki ketaatan. Jika engkau bahkan tidak bisa mengerahkan upaya untuk melakukan tugas kecil ini, apa yang bisa kaulakukan? Apa yang mampu kaulakukan dengan benar? Jika orang benar-benar setia dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugasnya, maka selama tugas itu dituntut oleh Tuhan, dan selama tugas itu dibutuhkan oleh rumah Tuhan, mereka akan melakukan apa pun yang diminta, tanpa memilah dan memilih; mereka akan melakukan dan menyelesaikan apa pun yang mampu dan harus mereka lakukan. Apakah hal inilah yang harus orang pahami dan yang harus mereka capai? (Ya.) Beberapa orang tidak setuju, dan berkata, 'Engkau semua tidak perlu bekerja keras dan bersusah payah sepanjang hari, engkau tidak perlu menderita kesulitan apa pun. Mudah bagimu untuk terus mengangguk setuju, tetapi apakah engkau akan menganggukkan kepalamu jika engkau disuruh keluar di bawah terik matahari selama beberapa jam?' Perkataan ini tidak salah; segalanya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Ketika orang benar-benar bertindak, di satu sisi, engkau harus melihat karakter mereka, dan di sisi lain, engkau harus melihat seberapa besar mereka mencintai kebenaran. Mari kita terlebih dahulu membicarakan tentang kemanusiaan orang-orang tersebut. Jika seseorang memiliki karakter yang baik, mereka melihat sisi positif dari segala sesuatu, mereka menerima segala sesuatu, dan berusaha untuk melihatnya dari sudut pandang yang positif dan proaktif; dengan kata lain, hati, karakter, dan temperamen mereka itu benar—ini adalah dari sudut pandang karakter. Aspek lainnya adalah seberapa besar mereka mencintai kebenaran. Berkaitan dengan apakah hal ini? Artinya, sebanyak apa pun pendapat, pemikiran, dan pandangan di pikiranmu tentang sesuatu yang sesuai dengan kebenaran, sebanyak apa pun engkau memahaminya, engkau mampu menerima bahwa hal tersebut adalah dari Tuhan; sudah cukup bahwa engkau taat dan tulus. Ketika engkau taat dan tulus, engkau tidak mengendur saat engkau bekerja, engkau berupaya dengan sungguh-sungguh. Ketika engkau mengerahkan segenap hatimu ke dalam pekerjaanmu, tanganmu mengikuti. Ketika engkau putus asa, ketika engkau berhenti mencoba, engkau mulai bersikap curang, dan otakmu mulai berpikir: 'Kapan waktu makan malam? Mengapa hari masih siang? Ini sangat menjengkelkan—kapan aku akan menyelesaikan pekerjaan yang tak habis-habisnya ini? Aku bukan orang bodoh; aku akan melakukan pekerjaan ini seadanya saja, aku tidak akan mengerahkan semua upayaku ke dalamnya.' Seperti apa karakter orang ini? Apakah niat mereka benar? (Tidak.) Mereka telah tersingkap. Apakah orang semacam itu mencintai kebenaran? Seberapa besar mereka mencintai kebenaran? Mereka hanya memiliki sedikit kemauan untuk bekerja; hati nurani mereka tidak terlalu buruk, mereka masih mampu melakukan sedikit pekerjaan, tetapi mereka tidak benar-benar berupaya keras; mereka selalu berusaha mengendurkan upaya mereka, mereka hanya ingin melakukan hal-hal yang membuat mereka terlihat baik; ketika sudah waktunya bekerja, saat itulah rencana licik dan niat jahat mereka muncul, saat itulah pemikiran mereka yang jahat muncul dan terus memperlihatkan dirinya. Orang semacam ini bekerja dengan lamban dan tidak efisien. Mereka selalu merusak peralatan dan perlengkapan. Mungkin dibutuhkan waktu yang lama bagi orang lain untuk mengetahuinya, tetapi begitu ada pemikiran jahat di benak mereka, segera setelah lahir dalam diri mereka pikiran yang bertentangan dengan kebenaran, Tuhan tahu, Tuhan melihat. Namun, mereka berpikir dalam hati, 'Lihat betapa pintarnya diriku. Kami berdua makan makanan yang sama, tetapi aku tidak mengeluarkan biaya apa pun. Setelah menyelesaikan pekerjaanmu, engkau semua tertidur lelap—tetapi lihatlah diriku, aku sangat menikmati pekerjaanku. Akulah orang yang cerdas; orang yang bekerja keras semuanya adalah orang bodoh.' Sebenarnya, 'orang bodoh' adalah orang yang cerdas. Apa yang membuat mereka cerdas? Mereka berkata, 'Aku tidak melakukan apa pun yang Tuhan tidak minta untuk kulakukan, dan aku melakukan semua yang Dia minta. Aku melakukan apa pun yang Dia minta dan aku mengerahkan segenap hatiku ke dalamnya, memberikan 120% diriku, aku mengerahkan semua kemampuanku ke dalamnya, aku sama sekali tidak menipu. Aku tidak melakukan pekerjaan ini untuk siapa pun, aku melakukannya untuk Tuhan, dan aku melakukannya di hadapan Tuhan agar Tuhan melihat; Aku tidak melakukannya untuk dilihat siapa pun.' Dan hasilnya? Satu kelompok menyingkirkan orang-orang, tetapi 'orang bodoh' tetap tinggal; di kelompok lain, beberapa orang tersingkap, tetapi 'orang bodoh' tidak; sebaliknya, keadaan mereka bertumbuh makin baik, dan mereka dilindungi oleh Tuhan dalam segala hal yang menimpa mereka. Dan apa yang membuat mereka layak menerima perlindungan ini? Dalam hati mereka, mereka bersikap jujur. Mereka tidak takut kesulitan atau kelelahan, dan tidak bersikap memilah-milah tentang apa pun yang dipercayakan kepada mereka; mereka tidak menanyakan alasan mengapa mereka diberikan pekerjaan tersebut, mereka hanya melakukan apa yang diperintahkan, mereka taat, tanpa memeriksa atau menganalisis, atau mempertimbangkan hal lainnya; mereka tidak punya rencana licik, tetapi mampu taat dalam segala sesuatu. Keadaan batin mereka selalu sangat normal; ketika menghadapi bahaya, Tuhan melindungi mereka; ketika penyakit atau wabah menimpa mereka, Tuhan juga melindungi mereka—mereka sangat diberkati" ("Mereka Merendahkan Kebenaran, Melanggar Prinsip Secara Terang-terangan, dan Mengabaikan Pengaturan Rumah Tuhan (Bagian Empat)" dalam "Menyingkapkan Antikristus"). Setelah membaca ini, aku benar-benar yakin. Firman Tuhan benar-benar menyingkap sudut pandang, sikap, dan keadaanku dalam tugasku, dan aku melihat bahwa Tuhan benar-benar melihat ke dalam jiwa kita. Dia mengamati setiap tindakan, setiap langkah, setiap pikiran kita yang terlintas. Saat baru memulai tugasku, aku penuh tekad mengorbankan diri demi Tuhan dan membalas kasih-Nya. Namun, setelah beberapa waktu, dan begitu mengeluarkan lebih banyak usaha dan lebih menderita, natur sejatiku menunjukkan diri. Aku mulai mengambil jalan pintas dalam tugas, mencoba lolos dengan lebih sedikit upaya. Aku jadi menentang dan merasa dianiaya saat harus melakukan sedikit pekerjaan ekstra dan menanggung sedikit kesulitan fisik. Saat kami bekerja, orang lain melakukannya dengan sepenuh hati, tidak takut mereka akan kelelahan, tetapi aku melakukannya dengan enggan, memilih tugas yang lebih mudah. Saat melihat saudara itu bekerja sangat keras, aku bahkan diam-diam menertawakannya karena bertindak bodoh, berpikir akulah yang pintar, aku bisa menyelesaikan tugas tanpa membuat diriku lelah dan tetap menikmati berkat Tuhan, mendapatkan keduanya. Aku bahkan menghitung keuntungan dan kerugian pribadiku dalam tugasku. Itu sangat licik, sangat tercela! Firman Tuhan menunjukkan kepadaku saat aku menertawakan orang lain karena melakukan semua upaya itu, aku benar-benar bodoh. Dari semua saudara lainnya, tidak seorang pun yang kupikir bodoh telah kehilangan tugasnya, tetapi aku telah diberhentikan meskipun kupikir aku sangat pintar, kehilangan kesempatan untuk melayani. Aku adalah korban "kecerdasan"-ku sendiri. Akulah yang pantas disebut bodoh, dan melakukan tugas seperti itu membuat Tuhan jijik. Melakukan tugas dengan baik seharusnya menjadi panggilan dan misi hidup makhluk ciptaan, dan itu adalah sesuatu yang dipercayakan Sang Pencipta kepada umat manusia. Namun, aku bersikap seolah aku tidak lebih dari pekerja harian, hanya bekerja asal-asalan, tidak mengambil tanggung jawab apa pun. Aku benar-benar kehilangan hati nurani dan nalar yang seharusnya dimiliki makhluk ciptaan, lebih rendah dari anjing penjaga keluarga. Setidaknya seekor anjing bisa melayani pemiliknya, menjaga halaman rumahnya, dan setia kepadanya tidak peduli bagaimana ia diperlakukan. Sedangkan aku, aku makan dan minum dari apa yang Tuhan sediakan, menikmati berkat kasih karunia-Nya, tetapi aku tidak menyelesaikan tugas-tugas yang Dia berikan kepadaku. Aku lebih rendah dari binatang, tidak layak disebut manusia. Dicopot dari tugasku adalah manifestasi dari watak benar Tuhan. Itu disebabkan sepenuhnya oleh pemberontakanku. Aku tidak memiliki keraguan sedikit pun.

Aku kemudian membaca ini dalam firman Tuhan: "Jika tidak ada harga yang riil dan tidak ada kesetiaan ketika engkau melakukan tugasmu, maka itu tidak memenuhi standar. Jika Engkau tidak menanggapi imanmu kepada Tuhan dan pelaksanakan tugasmu dengan sungguh-sungguh; jika engkau selalu melakukan dengan asal-asalan dan seenaknya dalam tindakan-tindakanmu, seperti seorang tidak percaya bekerja untuk bosnya; jika engkau hanya melakukan upaya sepele, melakukannya sembarangan setiap hari, mengabaikan masalah-masalah ketika engkau melihatnya, melihat tumpahan tercecer dan tidak membersihkannya, dan tanpa pandang bulu menepis segala sesuatu yang tidak menguntungkan engkau sendiri—maka bukankah ini masalah? Bagaimana seseorang seperti ini bisa menjadi anggota keluarga Tuhan? Orang-orang seperti itu adalah orang luar; mereka bukan dari rumah Tuhan. Dalam hatimu, engkau jelas tentang apakah engkau benar, bersungguh-sungguh, ketika engkau melakukan tugasmu, dan Tuhan memperhatikannya juga. Jadi, pernahkah engkau menanggapi pelaksanaan tugasmu dengan sungguh-sungguh? Pernahkah engkau menanggapinya dengan sepenuh hati? Sudahkah engkau memperlakukannya sebagai tanggung jawabmu, kewajibanmu? Sudahkah engkau mengesampingkan kepentinganmu sendiri untuknya? Pernahkah engkau angkat bicara ketika engkau mendapati suatu masalah ketika melakukan tugasmu? Jika engkau tidak pernah angkat bicara setelah mendapati masalah, atau bahkan tidak berpikir untuk itu, jika engkau segan merepotkan dirimu sendiri dengan hal-hal seperti itu, dan berpikir semakin sedikit masalah semakin baik—jika itulah prinsip yang engkau ambil terhadapnya, maka engkau tidak melakukan tugasmu; engkau berpeluh mencari makananmu, engkau melakukan pelayanan. Para pelaku pelayanan tidak termasuk dalam rumah Tuhan. Mereka adalah pekerja; sesudah menyelesaikan pekerjaannya, mereka mengambil uang mereka dan pergi, masing-masing pergi menurut jalannya sendiri dan menjadi seorang asing bagi yang lain. Itulah hubungan mereka dengan rumah Tuhan. Para anggota rumah Tuhan berbeda: mereka berusaha keras dalam segala sesuatu, mereka mengambil tanggung jawab, mata mereka melihat apa yang perlu dilakukan di rumah Tuhan dan mereka mengingat tugas-tugas itu dalam benak, mereka mengingat segala sesuatu yang mereka pikirkan dan lihat, mereka terbeban, mereka memiliki rasa tanggung jawab—inilah para anggota rumah Tuhan. Sudahkah engkau mencapai tahap ini? (Belum.) Maka engkau masih memiliki jalan yang panjang untuk ditempuh, jadi engkau harus terus mengejar! Jika engkau tidak menganggap dirimu sebagai anggota rumah Tuhan—jika engkau menganggap dirimu sebagai di luar rumah-Nya—maka bagaimana Tuhan memandangmu? Tuhan tidak memperlakukanmu sebagai orang luar; engkaulah yang menempatkan dirimu sendiri di luar pintu-Nya. Jadi, berbicara secara objektif, engkau tidak berada dalam rumah-Nya. Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang Tuhan katakan atau tetapkan? Engkaulah yang sudah menempatkan akhir dan posisimu di luar rumah Tuhan—siapa lagi yang harus dipersalahkan?" ("Untuk Melaksanakan Tugas dengan Baik Dibutuhkan, Setidaknya, Hati Nurani" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Saat merenungkan firman Tuhan, aku sadar mempertimbangkan kepentingan rumah Tuhan dalam segala hal dan melihat rumah Tuhan sebagai rumahku sendiri adalah satu-satunya cara untuk menyenangkan Tuhan dan menghibur-Nya. Itulah satu-satunya cara untuk menjadi anggota rumah tangga-Nya. Aku telah melakukan tugasku di rumah Tuhan, tetapi karena sikap dan pendekatanku terhadap tugasku, aku bukan benar-benar anggota keluarga-Nya. Aku seperti pegawai rumah Tuhan, hanya melakukan pekerjaan di permukaan tanpa menaruh hatiku. Aku tidak secara pribadi berinvestasi dalam apa pun yang tidak secara langsung memengaruhiku. Aku melihat bahwa aku benar-benar tak memiliki kemanusiaan dan integritas sama sekali. Aku bahkan tidak layak menjadi pelaku pelayanan—aku adalah orang tidak percaya. Aku sama sekali tidak layak melakukan tugas apa pun di gereja.

Setelah itu aku memohon dan berdoa kepada Tuhan tanpa henti, memikirkan apa yang telah merasukiku sehingga memiliki sikap seperti itu dalam tugasku. Aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Sebelum manusia mengalami pekerjaan Tuhan dan beroleh kebenaran, natur Iblislah yang mengendalikan dan menguasai mereka dari dalam. Secara spesifik, apa yang terkandung dalam natur itu? Misalnya, mengapa engkau egois? Mengapa engkau mempertahankan posisimu? Mengapa memiliki emosi yang begitu kuat? Mengapa engkau menikmati hal-hal yang tidak benar? Mengapa engkau menyukai kejahatan? Apakah dasar kesukaanmu akan hal-hal seperti itu? Dari manakah asal hal-hal ini? Mengapa engkau begitu senang menerimanya? Saat ini, engkau semua telah memahami bahwa alasan utama di balik semua hal-hal ini adalah karena racun Iblis ada di dalam dirimu. Adapun apa yang dimaksud dengan racun Iblis, itu dapat dinyatakan sepenuhnya lewat perkataan. Misalnya, jika engkau bertanya, 'Bagaimana seharusnya orang hidup? Untuk apa seharusnya orang hidup?' Orang akan menjawab: 'Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri.' Satu frasa ini mengungkapkan sumber penyebab masalahnya. Logika Iblis telah menjadi kehidupan manusia. Apa pun yang terjadi, orang melakukannya hanya demi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka hanya hidup demi dirinya sendiri. 'Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri'—ini adalah kehidupan dan falsafah manusia dan ini juga mewakili natur manusia. Perkataan Iblis ini justru adalah racun Iblis, dan ketika diinternalisasi oleh manusia, itu menjadi natur mereka. Natur Iblis dinyatakan lewat perkataan ini; perkataan ini sepenuhnya mewakilinya. Racun ini menjadi kehidupan orang sekaligus dasar keberadaan mereka, dan umat manusia yang rusak telah terus-menerus dikuasai oleh racun ini selama ribuan tahun" ("Cara Menempuh Jalan Petrus" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Ini membantuku mengerti bahwa aku telah hidup berdasarkan hukum bertahan hidup Iblis, seperti "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya." "Biarkan hal-hal berlalu jika tidak memengaruhi seseorang secara pribadi" Ada juga "Selalu dapatkan keunggulan, jangan sampai merugi." Semua ini berakar dalam dalam diriku dan telah menjadi naturku. Aku hidup berdasarkan itu dan menjadi makin egois dan tercela. Aku hanya memikirkan kepentinganku dalam tugasku, apa yang akan menguntungkanku, dan melakukan apa pun yang paling mudah untukku. Aku tidak memikirkan bagaimana menjaga kehendak Tuhan dalam tugasku. Aku berpikir tentang bagaimana Tuhan menjadi daging dan datang ke bumi, menanggung penghinaan besar dan penderitaan untuk mengungkapkan kebenaran demi mentahirkan dan menyelamatkan umat manusia, tetapi Tuhan tidak pernah meminta manusia untuk membalas-Nya. Kasih-Nya untuk kita begitu besar. Aku juga telah menikmati ketersediaan materi yang banyak dan penyiraman firman yang dianugerahkan Tuhan tanpa rasa terima kasih, membenci kesulitan sekecil apa pun dalam tugasku. Aku benar-benar tak memiliki hati nurani dan nalar. Tidak memiliki kualitas, aku tidak bisa melakukan tugas penting apa pun, tetapi Tuhan tidak menolakku. Dia mengatur agar aku memiliki tugas yang sesuai, memberiku kesempatan mendapatkan kebenaran dan diselamatkan. Ini adalah kasih Tuhan. Memikirkan ini, aku dipenuhi penyesalan dan membenci diriku sendiri karena begitu malas dan lalai dalam tugasku. Aku sangat membenci diriku karena dalamnya kerusakan iblisku serta tak memiliki kemanusiaan, dan aku tidak ingin hidup seperti itu lagi. Aku memutuskan apa pun tugas yang diberikan kepadaku setelah itu, aku akan memberikan seluruh hati dan upaya penuhku, serta berhenti meremehkan Tuhan. Aku datang ke hadapan Tuhan dalam doa: "Ya Tuhan! Terima kasih atas penghakiman dan hajaran-Mu yang memungkinkan aku melihat bahwa aku menganggap enteng tugasku, bersikap egois, tercela, dan tak memiliki kemanusiaan. Aku mengakui kesalahanku dan bertobat. Aku akan bekerja keras melakukan tugasku dan membayar utangku kepada-Mu, untuk menghibur hati-Mu." Setelah itu aku mulai mencurahkan seluruh waktu dan upayaku untuk membagikan Injil, hanya ingin melakukan tugas itu dengan baik untuk menebus kesalahan masa laluku.

Setelah satu bulan, pemimpin melihat aku dalam keadaan lebih baik dan telah memperbaiki sikap terhadap tugasku, lalu dia menelepon untuk memberitahuku bahwa aku bisa kembali untuk menjalankan tugasku lagi. Aku sangat bersemangat dan berkata pelan-pelan, "Aku bersyukur kepada Tuhan karena memberiku kesempatan lagi untuk melakukan tugasku." Air mata menggenang di sudut mataku saat menutup telepon. Hatiku dipenuhi rasa syukur kepada Tuhan serta rasa berutang yang besar. Mengingat sikap dan pemberontakanku dalam tugasku di masa lalu, aku dipenuhi penyesalan dan rasa malu. Aku berlutut di hadapan Tuhan dalam doa, menangis tanpa tahu harus berkata apa kepada-Nya. Apa pun yang bisa kukatakan tampaknya sama sekali tidak memadai, jadi aku hanya terus mengulangi: "Ya Tuhan! Aku bersyukur kepada-Mu!" Aku berpikir tentang berapa banyak pekerjaan yang telah dilakukan Tuhan dalam diriku, menghakimi, menghajar, mentahirkan, dan menyelamatkanku. Yang bisa kulakukan hanyalah mengungkapkan rasa terima kasihku. Aku tidak menginginkan apa pun selain mempersembahkan seluruh diriku untuk Tuhan dan mengerahkan segenap kemampuan ke dalam tugasku untuk membalas kasih Tuhan. Mendapatkan kembali tugasku setelah kehilangan itu, aku belajar untuk benar-benar menghargainya dan akhirnya mengerti apa yang Tuhan maksud dengan "Berbagai aspek kerja dan pekerjaan yang berhubungan dengan tuntutan Tuhan berasal dari apa yang Tuhan minta—semua ini membutuhkan kerja sama manusia, semua ini adalah tugas manusia." Aku tidak lagi berpikir mengerahkan upaya dalam pekerjaanku adalah penderitaan, bahwa itu merendahkan, tetapi itu suatu kehormatan. Karena itu adalah amanat dari Tuhan. Itulah yang Dia minta, dan terlebih lagi, itu adalah tugasku. Dahulu aku salah memahami bahwa tidak ada perbedaan antara melakukan pekerjaan di rumah Tuhan dan melakukan pekerjaan di dunia, bahwa itu hanyalah jerih payah. Namun, pengalaman ini mengajarkanku bahwa bekerja di dunia hanya untuk mencari nafkah, dan kesulitan apa pun adalah untuk keuntungan pribadi. Itu tidak berarti. Lalu, meskipun di rumah Tuhan itu juga melakukan pekerjaan, itu adalah melakukan tugasku. Kesulitan apa pun untuk tugasku memiliki nilai dan mendapatkan persetujuan Tuhan.

Penyesuaian tugasku ini memungkinkanku untuk benar-benar merasakan kasih Tuhan. Aku tidak ingin lagi hanya menjadi pegawai di rumah Tuhan, tetapi berusaha menjadi bagian dari keluarga. Sejak itu, aku penuh dengan energi dalam tugasku. Terkadang, keadaan sedikit sulit atau melelahkan, tetapi aku tidak mengeluh lagi. Aku bisa mencurahkan seluruh hatiku, semua kekuatanku untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Aku sangat bersyukur atas penghakiman dan hajaran Tuhan karena mengubah sikapku terhadap tugasku dan menuntaskan sudut pandangku yang tak masuk akal tentang hal itu. Itu juga sedikit mengubah watakku yang rusak.

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Emosi Menutupi Hatiku

Pada Mei 2017, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Ketika suamiku melihat aku sembuh dari penyakit dan menikmati...

Hari-hariku dalam Penahanan

Oleh Saudari Yang Qing, Tiongkok Juli 2006, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Suamiku mendukung dan menyambut...

Ujian bagi Keturunan Moab

Oleh Saudari Zhuan Yi, TiongkokTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Semua pekerjaan yang dilakukan sekarang ini bertujuan agar manusia dapat...