Akhirnya Kupahami Artinya Untuk Penuhi Tugasku

17 September 2020

Oleh Saudari Xun Qiu, Korea

Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Pelaksanaan tugas manusia sebenarnya adalah pencapaian dari semua yang melekat di dalam diri manusia, yaitu, apa yang mungkin dilakukan manusia. Saat itulah tugasnya terpenuhi. Kekurangan manusia selama pelayanannya secara berangsur-angsur berkurang melalui pengalaman yang progresif dan proses pengalaman penghakiman yang dialaminya; kedua hal ini tidak menghalangi atau memengaruhi tugas manusia. Mereka yang berhenti melayani atau menyerah dan mundur karena takut ada kekurangan dalam pelayanan mereka adalah orang yang paling pengecut di antara umat manusia. Jika manusia tidak dapat mengungkapkan apa yang seharusnya dia ungkapkan selama pelayanan atau mencapai apa yang secara mendasar mungkin dicapainya, dan malah bermain-main dan asal-asalan, mereka telah kehilangan fungsi yang seharusnya dimiliki oleh makhluk ciptaan. Orang-orang semacam ini dikenal sebagai 'orang yang biasa-biasa saja'; mereka adalah sampah yang tidak berguna. Bagaimana orang-orang semacam ini dapat disebut makhluk ciptaan? Bukankah mereka adalah makhluk rusak yang bersinar di luar tetapi busuk di dalam?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perbedaan antara Pelayanan Tuhan yang Berinkarnasi dan Tugas Manusia"). Firman Tuhan membantuku memahami apa artinya melakukan tugas kita. Artinya, betapapun berbakat atau penuh karunia, kita harus menggunakan semua yang kita tahu. Kita tak bisa mencari jalan pintas atau tak sungguh-sungguh. Kita harus tetap bekerja keras berdasarkan keinginan Tuhan. Dengan begitu, kita bisa mengimbangi kelemahan atau kekurangan dalam pelaksanaan tugas kita dan kita akan dapat hasil yang semakin baik.

Baru-baru ini, gereja mau merekam video pemazmur solo untuk firman Tuhan. Ketua tim kami mau aku menjadi penyanyi utama dan bermain gitar untuk satu lagu. Saat dia mengatakan itu, aku agak gugup. Bernyanyi dan bermain gitar lebih sulit daripada cuma menyanyi. Ditambah, aku pernah coba tampil solo seperti itu, tetapi selagi menyanyi aku fokus pada penampilanku dan salah kunci, tetapi saat aku fokus pada kuncinya, ekspresiku tak benar. Pada akhirnya, mereka tak bisa memakai rekamannya. Dihadapkan pada tugas yang sama, aku mau menolak, tetapi aku rasa itu tak akan sejalan dengan kehendak Tuhan. Semua saudara-saudariku pikir aku sangat cocok dengan lagu itu, jadi kupikir aku harus mencobanya dan melakukan tugasku. Aku pun menerima peran itu. Setelah dua hari latihan, aku bisa menyanyi sambil tampil dengan cukup baik. Namun kunci gitarnya cukup rumit dan sulit dihafal. Sehari sebelum syuting, aku menjadi sangat gelisah. Aku takut sudah tak ada waktu untuk berlatih, dan jika aku tetap berlatih, tidakkah tanganku akan bengkak? Selain tak nyaman, aku mungkin tak mengingatnya. Karena memikirkan itu, aku tak mau dapat akibat yang buruk, jadi aku terus coba memikirkan solusi yang sempurna untuk masalah sulit ini. Saat itulah aku dapat ide. Aku bisa minta juru kameranya tak terlalu banyak merekam tanganku, maka aku tak perlu bekerja keras untuk berlatih kunci menyebalkan itu, 'kan? Dan kami tetap bisa merekam videonya. Itu tampaknya ide bagus. Sebenarnya, aku agak tak tenang saat dapat ide ini. Rasanya aku seperti tak bertanggung jawab. Bagaimana jika kuncinya salah dan kami harus merekam ulang videonya? Kemudian aku berpikir. "Waktunya sangat mepet dan itu lagu sulit. Memainkan lagu itu dengan baik akan sangat menantang dan membuat stres. Aku tak bisa tampil melampaui standarku. Lagi pula, ini agar kami bisa merilis video secepat mungkin. Semua orang harus paham." Setelah itu, aku fokus hanya pada menyanyi dan penampilanku, tanpa terlalu mencemaskan soal kuncinya. Kupikir itu akan cukup baik.

Saat waktunya syuting, aku meminta juru kameranya tak sering fokus pada tanganku. Kupikir tak akan ada masalah. Namun keesokan harinya, sutradaranya bilang ada beberapa kunci yang salah dan bertanya kenapa. Aku merasa sangat bersalah dan wajahku memerah. Kupikir, "Gawat, apa kami harus merekam ulang?" Aku segera bertanya pada editornya apa ada solusi lain. Dia cuma menggeleng dan bilang, "Aku sudah coba, tak bisa." Saat itu, aku tahu kami harus merekam ulang. Aku merasa tak enak karena tahu aku telah menyebabkan masalah. Sesudahnya, saat kami berkumpul untuk mendiskusikan yang terjadi, aku beri tahu semuanya alasanku kenapa aku lakukan itu. Seorang saudari mendekatiku dan bilang, "Kenapa kau tak bilang pada kami kau belum pelajari kuncinya? Kini kita harus merekam ulang dan proyek ini tertunda. Kau sangat lalai dan tak bertanggung jawab!" Aku tak bisa menerima ucapannya dan kupikir, "Tidakkah aku sudah berusaha sebaik mungkin? Faktanya aku tak bisa memainkan kuncinya, dan aku melakukan itu untuk memastikan videonya selesai cepat. Mereka mestinya tak merekam tanganku, 'kan?" Aku cuma mencari alasan tanpa introspeksi diri. Namun ada saudari lain bilang, "Jika kesulitan, kau bisa saja lebih sering berlatih, walau syutingnya harus ditunda beberapa hari. Kau tak bisa bekerja sebisanya saja seperti itu. Kau penyanyi utama, bagaimana jadinya jika kita tak menampilkan kau memainkan gitar? Kau sangat tak bertanggung jawab dan lalai!" Mendengar dia bilang "sangat" seperti itu sungguh menggangguku. Aku berpikir, "Jika semua saudara dan saudariku berpikir aku lalai dalam bertugas, apa mungkin aku sungguh salah? Aku juga mau syutingnya berjalan lancar. Bagaimanapun juga, proyeknya sudah tertunda dan kami harus merekam ulang karena kuncinya salah. Aku yang salah." Aku merasa tak enak saat memikirkan itu. Aku berhenti protes dan mulai introspeksi diri.

Kemudian aku menemukan ayat firman Tuhan yang sungguh menggugahku. Inilah isinya. "Apa hasil dari melakukan tugasmu dengan cepat dan terburu-buru, serta tidak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh? Hasilnya adalah kinerja yang buruk dalam melakukan tugasmu, meskipun engkau sanggup melakukannya dengan baik—kinerjamu tidak akan memenuhi standar, dan Tuhan tidak akan puas dengan sikapmu terhadap tugasmu. Jika, pada awalnya, engkau telah mencari dan bekerja sama secara normal; jika engkau telah mencurahkan seluruh perhatianmu untuk hal itu; jika engkau telah melakukannya dengan segenap hati dan jiwa, dan mengerahkan seluruh upayamu dalam melakukannya, dan telah mempersembahkan waktu kerjamu, perjuanganmu, dan pikiranmu ke dalamnya, atau telah menyediakan waktu untuk mencari referensi materi, dan mengabdikan seluruh pikiran dan ragamu untuk hal itu; jika saja engkau sanggup untuk bekerja sama seperti itu, maka Tuhan akan berjalan di depanmu, menuntunmu. Engkau tidak perlu mengerahkan banyak tenaga; ketika engkau berupaya sekeras mungkin untuk bekerja sama, Tuhan akan telah mengatur segala sesuatunya untukmu. Jika engkau licik serta curang, dan, di tengah pekerjaan, hatimu berubah dan engkau mulai menyimpang, Tuhan tidak akan tertarik kepadamu; engkau akan kehilangan kesempatan ini, dan Tuhan akan berkata, 'Engkau tidak cukup baik; engkau tidak berguna. Sana menyingkirlah. Engkau suka bermalas-malasan, bukan? Engkau suka bersikap curang dan licik, bukan? Engkau suka beristirahat? Kalau begitu, beristirahatlah.' Tuhan akan memberikan kasih karunia dan kesempatan ini kepada orang yang berikutnya. Apa yang engkau semua katakan: ini kerugian atau keuntungan? Ini adalah kerugian yang teramat besar!" ("Bagaimana Mengatasi Masalah Mengenai Bersikap Sembrono dan Acuh Tak Acuh Saat Melaksanakan Tugasmu" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Firman Tuhan mengungkapkan keadaan diriku. Aku sudah setuju untuk berlatih dan menjadi penyanyi utama, tetapi tak melakukan yang kujanjikan. Aku tak mengatasi kelemahanku dan tak mencari informasi untuk memperbaiki kunciku. Aku malas berlatih karena kukira itu akan terlalu sulit. Aku beralasan kalau aku tak punya waktu dan meminta juru kamera untuk tak merekam tanganku dari dekat. Kukira aku bisa lolos dengan itu, tetapi akhirnya malah menunda proyek ini. Aku sungguh tak bertanggung jawab dan lalai! Saat dapat tugas, aku tak mau berusaha untuk memainkan lagu itu dengan baik dan menjadi saksi Tuhan. Malah aku mengambil jalan yang termudah, dan kini kami harus mengulang semuanya. Bagaimana bisa aku tak bertanggung jawab seperti itu? Sedikit latihan lagi, sedikit usaha lagi, dan aku tak akan merusak pekerjaan dari rumah Tuhan. Aku membenci diriku sedikit saat itu. Kupikir, "Jika aku dapat peluang lain, aku tak akan seceroboh itu lagi. Walau harus berlatih kunci hingga kelelahan, aku akan lakukan yang diperlukan."

Yang lain putuskan untuk memberiku dua hari lagi untuk berlatih. Itu sangat menggugahku dan aku bersyukur pada Tuhan sudah memberiku peluang untuk menebus pelanggaranku. Saat latihan sesudah itu, aku bekerja keras untuk mengingat semua kuncinya, tetapi aku merasa sangat stres. Aku takut teknikku masih tak memuaskan dan dua hari itu tak akan cukup untuk meningkatkan diri. Aku mulai gelisah lagi. Namun makin aku gelisah, makin aku lupa, dan makin aku lupa, makin aku gelisah. Pagi itu berlalu dengan cepat. Aku masih tak bisa memainkannya dengan sangat bagus, dan tanganku sangat sakit. Biasanya aku istirahat latihan usai makan siang, tetapi kali ini, aku tahu aku harus terus latihan. Aku tahu aku tak boleh istirahat, tetapi harus memakai tiap detik untuk menghafal kuncinya. Begitu aku menetapkan hatiku, Tuhan membimbingku. Sore itu, tanpa sadar, aku tahu cara menghafal kuncinya per bagian. Permainanku makin membaik. Namun aku berlatih sangat lama hingga tanganku mulai bengkak dan aku tergoda untuk bermalas-malasan lagi. Jika aku mulai berpikir seperti itu lagi, aku langsung memikirkan firman Tuhan dan segera membacanya. "Ketika dihadapkan dengan tugas yang membutuhkan upaya dan dana, serta yang menuntutmu untuk menyerahkan tubuh, pikiran, dan waktumu, engkau tidak boleh menahan apa pun, menyembunyikan kepintaranmu yang tidak seberapa, atau menyisakan ruang sedikit pun. Jika engkau menyisakan ruang sedikit saja, membuat perhitungan, atau licik dan curang, engkau pasti akan melakukan pekerjaan yang buruk. Engkau mungkin berkata, 'Tak seorang pun yang melihatku berbuat licik. Keren sekali!' Pikiran macam apa ini? Engkau mengira engkau telah menipu orang dan juga membodohi Tuhan. Namun kenyataannya, Tuhan tahu atau tidak tentang apa yang telah kaulakukan? (Dia tahu). Biasanya, orang-orang yang berinteraksi denganmu dalam jangka waktu yang lama akan mengetahuinya juga, dan akan berkata bahwa engkau adalah orang yang selalu bersikap licik, tidak pernah rajin, dan hanya memberikan 50 atau 60% upayanya, atau maksimal 80%. Mereka akan berkata bahwa engkau melakukan segala sesuatu dengan cara yang membingungkan, mengabaikan kesalahan pada apa pun yang sedang kaulakukan; engkau sama sekali tidak bertanggung jawab penuh dalam pekerjaanmu. Jika engkau disuruh melakukan sesuatu, barulah engkau mengerahkan sedikit upaya; jika seseorang ada di sekitarmu untuk memeriksa apakah pekerjaanmu sudah benar, barulah engkau melakukan pekerjaan itu sedikit lebih baik—tetapi jika tak seorang pun di sekitarmu yang memeriksanya, engkau sedikit bermalas-malasan. Jika engkau ditangani, barulah engkau bersungguh-sungguh melakukan pekerjaanmu; kalau tidak, engkau selalu tertidur saat bekerja dan berusaha sebisa mungkin agar tidak ketahuan, berasumsi bahwa tak seorang pun yang akan memerhatikan. Waktu berlalu dan orang-orang memerhatikan. Mereka berkata, 'Orang ini tidak bisa diandalkan dan tidak dapat dipercaya; jika engkau memberinya tugas penting untuk dilakukan, dia harus diawasi. Dia bisa melakukan tugas dan pekerjaan biasa yang tidak melibatkan prinsip, tetapi jika engkau memberinya tugas penting apa pun untuk diselesaikan, dia kemungkinan besar akan mengacaukannya dan kemudian engkau akan tertipu.' Orang-orang akan melihat dirinya yang sebenarnya dan dia akan sepenuhnya kehilangan martabat dan integritasnya. Jika tak seorang pun yang percaya kepadanya, lalu bagaimana Tuhan bisa percaya kepadanya? Akankah Tuhan memercayakan tugas-tugas penting kepadanya? Orang semacam ini tidak bisa dipercaya" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan Masuk Kehidupan Dimulai dengan Pelaksanaan Tugas").

Firman Tuhan membuatku sadar betapa asal-asalannya aku dalam melakukan tugas. Aku cepat puas dalam berlatih kuncinya dan tak mencapai standar tertinggi. Aku tak berusaha sekeras mungkin. Aku tak begitu memperhatikan dan melakukan tugasku asal-asalan. Aku tak berintegritas, tak bisa dipercaya. Aku selalu menganggap diriku bergairah dan bekerja keras dalam melaksanakan tugasku, dan kesetiaanku sangat tinggi. Namun sekarang, aku melihat aku tak fokus pada hasilnya, tetapi cuma kerja sebisanya. Apa itu namanya melakukan tugas? Jika aku terus begitu, siapa yang berani memercayaiku lagi? Tidakkah aku mempertaruhkan integritas dan kehormatanku? Sebelumnya, aku melakukan pelanggaran. Aku tak mau mengulanginya. Tak penting tanganku bengkak atau aku lelah, moral dan kehormatanku lebih penting. Jadi, aku bertekad untuk terus berlatih kuncinya, Begitu bertekad untuk bertobat sepenuhnya, aku melihat berkat dan bimbingan Tuhan. Hari itu, aku berlatih hingga lewat tengah malam, dan berhasil menghafal hampir semua kuncinya. Keesokannya aku berlatih sepanjang hari hingga hafal satu lagu itu. Saat syuting, aku sangat fokus di tiap langkahku dan berdoa dalam hati, mengandalkan pada Tuhan. Yang mengagetkanku, kami syuting semuanya dalam sekali pengambilan gambar! Melihatnya berjalan seperti itu membuatku merasa damai. Aku merasakan buah manisnya dari mengamalkan kebenaran.

Kemudian aku diberi tugas untuk membuat musik. Aku sudah lama tak membuat musik, jadi aku agak kaku. Terutama, belakangan ini kami membuat lagu rock, yang tak pernah kubuat, jadi aku agak cemas. Namun aku tahu itu adalah tugas yang mesti kukerjakan dan harus berusaha sebaik mungkin. Jadi, aku berencana untuk menyelesaikan dua lagu di akhir bulan. Aku bekerja lembur dalam membuat lagu itu, dan saat lelah, aku meminta pada Tuhan untuk membantuku meninggalkan daging. Aku menemukan satu melodi dan dengan cepat menjadikannya satu lagu. Begitu selesai, aku minta para saudara-saudari mendengarkannya. Mereka bilang itu bagus dan punya gaya yang cocok untuk musik rock. Namun dalam hatiku, aku berpikir, "Jika aku bekerja lebih banyak dan memoles melodi di chorus, lagunya akan jauh lebih baik." Namun aku merasa ragu. Aku tak punya tujuan jelas saat itu dan tak mau menuntut diriku terlalu banyak. Lagi pula para saudara-saudari tak masalah dengan itu. Itu cukup bagus. Ditambah, aku baru belajar membuat lagu jenis ini, jadi wajar saja jika itu tak sempurna. Aku menyerahkannya pada ketua tim.

Beberapa hari kemudian, dia bilang aku sudah di jalur benar, tetapi melodinya agak kasar. Dia menyarankan aku memikirkan lagi soal liriknya. Aku merasa agak enggan melakukannya dan kupikir, "Aku baru belajar membuat lagu jenis ini. Kau menuntut terlalu banyak dariku!" Aku sudah habiskan waktu lama membuatnya dan beberapa hari lagi menunggu tanggapannya. Setengah bulan sudah berlalu. Melihat tak ada perkembangan, aku merasa agak gelisah. Untuk merevisi lagu itu akan butuh banyak usaha dan aku tak tahu akan seperti apa hasilnya. Jadi, aku menulis ulang not utamanya. Ketua tim bilang itu kekurangan melodi dan seperti lagu anak-anak. Aku merasa sangat sedih. Kupikir, "Aku berusaha sebaik mungkin tetapi tak ada satu lagu pun yang disetujui. Apa yang mesti kulakukan?" Setelahnya, aku menulis beberapa melodi lain, tetapi tak ada yang diterima. Aku sangat putus asa. Aku berpikir bagaimana caranya aku bisa membuat dua lagu di akhir bulan, bahkan satu pun belum kuselesaikan. Aku sudah gagal. Apa aku payah?

Saat pertemuan berikutnya, ketua tim mengingatkanku, "Komposisimu cukup orisinal dan gayanya bagus, lalu kenapa tak ada yang disetujui? Kau tak memperhatikan liriknya, jadi kata-kata dan melodinya tak cocok. Setiap kau menggantinya, itu makin buruk. Ini menunda pekerjaan dari rumah Tuhan." Lalu ada saudara yang menyela, "Kau tak bernyanyi dengan baik saat merekam lagu. Ada yang tak cocok dengan lembaran musiknya. Kau lalai!" Ditangani dan ditegur oleh para saudara itu memalukan. Rasanya aku mau merangkak ke lubang. Saat pulang, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku sudah asal-asalan dalam tugasku. Aku tak setia, tetapi tak tahu cara menyelesaikan masalah ini. Tolong bantu dan bimbing aku."

Sesudahnya, aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Bukankah ada sesuatu di dalam watak yang rusak yang membuat orang menangani segala sesuatu dengan sembrono dan tidak bertanggung jawab? Apakah sesuatu itu? Itu adalah keberengsekan; dalam segala hal, mereka berkata 'itu sepertinya sudah benar' dan 'seperti ini sudah cukup'; ini adalah sikap 'mungkin', 'boleh jadi', dan 'tidak 100%'; mereka melakukan segala sesuatu dengan acuh tak acuh, puas hanya melakukan sesuatu dengan seadanya, dan puas hanya bekerja tanpa tujuan yang jelas; mereka merasa tidak ada gunanya menanggapi segala sesuatu dengan serius atau berusaha mengerjakan segala sesuatu dengan teliti, dan mereka merasa lebih tidak ada gunanya mencari prinsip. Bukankah ini sesuatu yang ada di dalam watak yang rusak? Apakah itu perwujudan dari kemanusiaan yang normal? Jika menyebutnya kecongkakan, itu benar, dan menyebutnya tidak bermoral juga sepenuhnya tepat—tetapi kata yang paling sempurna untuk menyebutnya adalah 'berengsek'. Keberengsekan seperti itu ada dalam kemanusiaan kebanyakan orang; dalam segala hal, mereka berharap untuk melakukan sesedikit mungkin, sebisa mungkin tidak ketahuan, dan ada aroma tipu muslihat dalam segala sesuatu yang mereka lakukan. Mereka menipu orang lain saat ada kesempatan, sebisa mungkin mengambil jalan pintas, dan tidak mau menghabiskan banyak waktu dan pikiran untuk memikirkan suatu perkara. Selama mereka dapat menghindari disingkapkan perbuatannya, dan tidak menyebabkan masalah, serta tidak dimintai pertanggungjawaban, mereka pikir semuanya baik-baik saja, dan karena itu mereka bekerja asal-asalan dengan hasil yang seadanya. Bagi mereka, melakukan tugas dengan baik lebih merupakan suatu masalah dibandingkan nilainya. Orang semacam itu tidak mau belajar sampai menjadi ahli, dan mereka tidak berupaya keras dalam pembelajaran mereka. Mereka hanya ingin mendapatkan garis besar suatu mata pelajaran dan kemudian menyebut diri mereka ahli dalam mata pelajaran itu, lalu mereka mengandalkan kemampuan mereka yang seadanya itu untuk sekadarnya saja dalam mengerjakan tugas. Bukankah ini sikap yang dimiliki orang-orang terhadap segala sesuatu? Apakah ini sikap yang baik? Sikap seperti ini yang diterapkan orang-orang semacam itu terhadap orang lain, peristiwa, dan hal-hal, dalam beberapa kata, disebut 'sekadarnya saja', dan keberengsekan semacam ini ada dalam diri semua manusia yang rusak" ("Untuk Pemimpin dan Pekerja, Memilih Jalan adalah yang Paling Penting (9)" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). "Bagaimana orang dapat membedakan antara manusia yang berbudi luhur dan manusia yang hina? Lihat saja pada sikap dan perilaku mereka dalam memperlakukan orang, peristiwa, dan hal-hal—lihatlah cara mereka bertindak, cara mereka menangani segala sesuatu, dan cara mereka berperilaku ketika masalah muncul. Orang yang berkarakter dan bermartabat itu teliti, serius dan rajin dalam bertindak, serta mereka rela berkorban. Orang yang tidak berkarakter dan bermartabat itu asal-asalan dan serampangan dalam bertindak, selalu ingin menipu, sekadar saja dalam melakukan sesuatu. Mereka tidak belajar keterampilan untuk dikuasai, dan, berapa pun lamanya mereka belajar, mereka tetap dibingungkan oleh ketidaktahuan dalam hal keterampilan atau profesi. Jika engkau tidak menuntut jawaban dari mereka, semua tampak baik-baik saja, tetapi, segera setelah engkau menuntut jawaban darinya, mereka panik—keringat membasahi kening mereka, dan mereka tidak bisa menjawab. Itulah orang-orang yang berkarakter rendah" ("Untuk Pemimpin dan Pekerja, Memilih Jalan adalah yang Paling Penting (9)" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Saat membaca ini aku sadar aku lalai dalam melakukan tugasku, karena ada sesuatu yang berengsek dalam diriku. Aku mau berusaha seminimal mungkin dalam segalanya, tanpa memikirkan kualitas dari pekerjaanku. Aku tak mau mengikuti prinsip kebenaran dan melakukan tugas sesuai keinginan Tuhan. Saat aku memikirkan saat itu, entah syuting video atau membuat lagu, setiap kali menghadapi masalah yang membutuhkan usaha, setiap kali mesti berkorban, aku senang dengan usaha minimal. Aku tak coba meningkatkan diri atau kerja lebih keras. Sebenarnya, aku tahu jika aku kerja lebih keras dan penuh perhatian, aku akan bisa lebih baik dalam mengerjakan tugasku. Namun aku cuma melakukan usaha minimal, selalu memanjakan diri. Jadi, aku tak bisa maju dalam pekerjaan atau bersaksi untuk Tuhan lewat tugasku, dan hasilnya aku menunda pekerjaan gereja. Bagaimana aku bisa bilang aku sudah melakukan tugasku? Jelas aku menghalangi pekerjaan dari rumah Tuhan. Saat itulah aku menyadari betapa serius keberengsekanku. Aku kerja sebisanya, tak berusaha maksimal, aku coba menipu Tuhan. Aku tak berkarakter dan tak terhormat. Tuhan suka orang yang melakukan tugas dengan jujur dan rajin, yang mengikuti prinsip kebenaran di tengah kesulitan dan penuhi tugasnya sesuai keinginan Tuhan. Mereka akan terhormat dan berintegritas, dan sangat dihargai di mata Tuhan. Dibanding mereka, aku tak layak disebut manusia. Aku merasa malu. Saat itulah, aku paham: Tuhan menyelamatkanku lewat para saudaraku yang memangkas dan menanganiku. Kalau tidak, aku akan selalu kerja sebisanya seperti ini. Aku tak akan bekerja dengan baik. Aku akan mengganggu pekerjaan dari rumah Tuhan dan diusir oleh Tuhan.

Aku membaca lagi firman Tuhan: "Pekerjaan Tuhan dilakukan demi kebaikan manusia, dan kerja sama manusia adalah demi kepentingan pengelolaan Tuhan. Setelah Tuhan melakukan segala sesuatu yang harus Dia lakukan, manusia dituntut untuk melakukan penerapannya tanpa kenal lelah, dan bekerja sama dengan Tuhan. Dalam pekerjaan Tuhan, manusia tidak boleh membatasi usahanya, harus mempersembahkan kesetiaannya, dan tidak boleh memuaskan diri dengan berbagai pemahaman atau duduk diam dengan pasif menunggu ajal menjemput. Tuhan bisa mengorbankan diri-Nya bagi manusia, lalu mengapa manusia tidak dapat mempersembahkan kesetiaannya kepada Tuhan? Tuhan bersikap sehati dan sepikir terhadap manusia, lalu mengapa manusia tidak bisa bekerja sama sedikit saja? Tuhan bekerja bagi manusia, lalu mengapa manusia tidak mampu melakukan sebagian tugasnya untuk kepentingan pengelolaan Tuhan? Pekerjaan Tuhan telah diselesaikan sampai sejauh ini, tetapi engkau semua melihat tetapi tetap tidak bertindak, engkau mendengar tetapi tidak bergerak. Bukankah orang-orang semacam ini adalah objek pembinasaan? Tuhan telah mengabdikan segala keberadaan-Nya kepada manusia, lalu mengapa, pada zaman sekarang, manusia tidak bisa melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh? Bagi Tuhan, pekerjaan-Nya adalah prioritas pertama-Nya, dan pekerjaan pengelolaan-Nya adalah yang paling penting. Bagi manusia, melakukan firman Tuhan dan memenuhi tuntutan Tuhan adalah prioritas pertamanya. Engkau semua harus memahami hal ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan Tuhan dan Penerapan Manusia"). Aku sangat tergugah saat memikirkan firman Tuhan. Hati dan pikiran Tuhan hanya tertuju pada manusia. Dia telah menjadi daging dua kali untuk menyelamatkan manusia, yang dirusak Iblis. Dia dipermalukan, ditolak oleh berbagai generasi, dan sangat menderita. Dihadapkan pada kerusakan kita yang mendalam dan sikap apatis yang bodoh, Tuhan tak pernah meninggalkan kita. Dia masih mengungkapkan kebenaran untuk menyelamatkan kita. Kualitas kita buruk dan lambat dalam menerima kebenaran, tetapi Tuhan bersekutu dengan kita dengan sangat tulus dan sepenuhnya. Kadang Dia memakai metafora dan contoh, serta bercerita untuk membimbing kita dari tiap sisi, dan di tiap jalan. Ini agar kita bisa memahami kebenaran dan terlibat di dalamnya. Tuhan bertanggung jawab akan hidup kita dan Dia tak akan istirahat hingga melengkapi kita. Melihat watak Tuhan dan niat tulus-Nya benar-benar menginspirasi. Namun saat kupikirkan bagaimana perlakuanku pada Tuhan dan caraku melakukan tugasku, aku dipenuhi penyesalan. Aku tak mau kerja sebisanya saat melakukan tugas lagi. Aku menghadap Tuhan dan berdoa, bertanya pada-Nya bagaimana aku bisa berhenti lalai dan bekerja dengan baik.

Lalu aku membaca firman Tuhan yang berisi: "Apa yang dimaksud dengan tugas? Tugas adalah amanat yang dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia. Jadi, bagaimana caramu menunaikan tugasmu? Dengan bertindak sesuai dengan tuntutan dan standar Tuhan, serta dengan mendasarkan perilakumu pada kebenaran prinsip-prinsip dan bukannya pada keinginan manusia yang subjektif. Dengan demikian, pelaksanaan tugasmu akan sesuai dengan standar" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Mencari Prinsip Kebenaran Orang Dapat Melaksanakan Tugasnya dengan Baik"). "Apakah arti menanggapinya dengan sungguh-sungguh? Melakukannya dengan sungguh-sungguh bukan berarti memberikan sedikit upaya atau menderita suatu siksaan fisik. Kuncinya adalah bahwa ada Tuhan dalam hatimu, dan beban. Dalam hatimu, engkau harus menimbang pentingnya tugasmu, dan kemudian memikul beban dan tanggung jawab ini dalam semua yang engkau lakukan dan melakukannya dengan segenap hati. Engkau harus menjadikan dirimu layak bagi misi yang telah Tuhan berikan kepadamu, serta segala sesuatu yang telah Tuhan lakukan untukmu, dan harapan-Nya untukmu. Hanya melakukan yang demikian berarti bersungguh-sungguh. Tidak ada gunanya engkau melakukannya asal-asalan; engkau mungkin bisa menipu orang, tetapi engkau tidak bisa membodohi Tuhan. Jika tidak ada harga yang riil dan tidak ada kesetiaan ketika engkau melakukan tugasmu, maka itu tidak memenuhi standar" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Untuk Melaksanakan Tugas dengan Baik, Orang Setidaknya Harus Memiliki Hati Nurani dan Nalar"). Aku mendapat kejelasan dalam hatiku. Tugas kita diberikan oleh Tuhan. Kita harus melakukan permintaan-Nya dan bertindak sesuai kebenaran. Kita tak bisa memilih-milih atau cuma mengikuti keinginan kita. Kita harus mencapai standar tertentu dalam melakukan tugas, hanya terlihat bekerja keras tak akan bisa. Yang terpenting adalah punya rasa tanggung jawab, rajin, dan tulus, untuk mencari, merenungkan, dan mencari jalan untuk memperbaiki diri. Saat itulah kita bisa melakukan tugas dan memuaskan Tuhan. Sesudahnya, saat aku membuat lagu, aku menganalisis liriknya dengan saksama, dan menemukan beberapa lagu yang sesuai dengan suasana lagunya. Aku berpikir keras bagaimana orang lain memakai melodi untuk mengungkapkan perasaan yang sama, dan makna dari liriknya, suasana lagu, dan arah dari melodinya. Setelah memahami semua itu, aku mulai membuat lagunya. Setelah itu aku meminta nasihat dari para saudara-saudari, merevisi lagunya dua kali, lalu lagu itu siap. Hanya butuh waktu seminggu. Lagu lain yang kurevisi juga diterima. Saat kulihat butuh waktu sebentar untuk menyelesaikan komposisinya, aku merasa lebih menyesal karena coba kerja sebisanya sebelumnya. Aku melihat betapa dalamnya aku sudah dirusak oleh Iblis, betapa seriusnya keberengsekanku, dan betapa lalainya diriku dalam pekerjaan. Berkat pengaturan Tuhan, para saudara-saudariku menanganiku, aku bisa memahami kebenaran untuk memperbaiki watak rusakku dan melakukan tugasku dengan penuh kesetiaan. Aku bersyukur atas penyelamatan Tuhan!

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Iri Hati Membusukkan Tulang

Oleh Saudari Su Wan, Tiongkok Pada November 2020, aku terpilih menjadi pemimpin tim penyiraman—aku sangat senang. Terpilih sebagai pemimpin...

Peperangan Rohani

Oleh Saudara Yang Zhi, AmerikaTuhan Yang Mahakuasa berkata: "Sejak manusia percaya kepada Tuhan, mereka telah menyimpan banyak niat yang...