Berpura-pura Paham Membuatku Lelah

27 Februari 2023

Oleh Saudari Yi Fan, Korea

Dahulu aku bekerja sebagai desainer untuk gereja. Seiring waktu, setelah menyelesaikan beragam desain dan gambar, keterampilanku meningkat pesat dan aku ditunjuk sebagai ketua tim. Aku lantas berpikir: "Karena aku ditunjuk sebagai ketua tim, berarti aku punya keterampilan dan bakat tertentu saat bekerja, aku lebih terampil dari saudara-saudari lain, dan aku mampu mengemban tanggung jawab ini. Aku harus menghargai tugas ini, bekerja keras, mencari prinsip kebenaran, dan memberikan usaha terbaikku. Jangan sampai aku membuat kesalahan yang menghambat pekerjaan gereja. Aku harus menunjukkan kepada semua orang bahwa aku pantas menjadi ketua tim."

Suatu hari, pemimpin gereja menghampiriku dan berkata: "Gereja butuh gambar latar untuk salah satu video himne kita. Ini akan lebih sulit dibandingkan pembuatan gambar latar sebelumnya. Karena anggota lain sedang sibuk mengerjakan desain berbeda, dan progres akan terganggu jika kita meminta bantuan orang lain, kami ingin memintamu mengerjakannya. Apa kau bisa?" Saat mendengar ucapan pemimpinku, aku lantas berpikir: "Aku belum pernah membuat gambar latar sesulit itu, aku tak yakin bisa menjanjikan hasil yang baik." Namun, aku berpikir, "Pemimpin dan saudara-saudari akan memantau proyek ini—aku sudah melakukan tugas ini lebih dari dua tahun, aku telah menangani cukup banyak masalah dan tugas sulit, serta mempelajari keterampilan yang cukup baik. Ini akan menjadi pengalaman pertamaku mengerjakan gambar latar sesulit itu, dan pasti akan ada beberapa masalah tak terduga, tapi jika aku tak sanggup menyelesaikan tugas semacam ini, lantas bagaimana anggapan orang lain terhadapku? Jika aku tak bisa menanganinya, apa mereka akan berpikir bahwa aku pekerja tak berbakat dan tak mengalami kemajuan? Saudara-saudari lain sedang mengerjakan proyek mereka masing-masing, dan jika orang lain harus dikirim untuk bekerja denganku saat ini, maka semua orang akan menganggapku tak mampu mengemban tanggung jawab besar, tak dapat diandalkan, dan tak pantas menjadi ketua. Jangan sampai itu terjadi! Aku harus mengerjakan proyek ini apa pun situasinya. Aku akan belajar agar bisa menyelesaikannya dengan benar dan membuktikan bahwa aku mampu menangani tugas menantang." Setelah membulatkan tekad, aku menjawab dengan percaya diri: "Aku bisa melakukannya, jangan khawatir. Gambar latar kali ini hanya sedikit lebih sulit dan menantang dibandingkan yang sebelumnya. Dengan sedikit usaha ekstra, aku jamin hasilnya akan berkulitas." Melihat kepercayaan diriku, pemimpin pun mengangguk: "Tenggat untuk latar ini mendesak dan desainnya harus melambangkan makna serta perasaan di balik himne itu. Jika kau mengalami kendala dalam prosesnya, segera hubungi aku." Pengawasku juga berkata: "Jika kau benar-benar tak sanggup, beri tahu kami dan kami akan meminta seseorang membantumu." Aku mengangguk setuju dengan perasaan bersemangat dan gugup: Aku bersemangat karena akan mengerjakan desain penting, yang akan membuatku dihormati jika aku berhasil, tapi aku juga khawatir dengan kemampuanku menangani tugas sesulit itu. Aku tak yakin bisa menghasilkan kualitas yang sesuai keinginan mereka! Namun apa pun yang terjadi, aku tak boleh mengecewakan orang-orang. Aku harus mulai melakukan riset dan percobaan selama mengerjakan agar bisa memanfaatkan kesempatan langka ini sebaik-baiknya. Terlepas dari kesulitannya, aku akan menyelesaikan tugas ini hingga akhir.

Saat mendesain, waktu bergulir sangat cepat dan berbagai masalah muncul. Aku merasakan tekanannya membesar. Pemimpin dan pengawas sering menanyakan progres dan kendala yang mungkin kuhadapi. Karena terlalu gugup, aku hanya bilang bahwa "semua aman," meski sebenarnya aku gemetar: Desainnya masih perlu beberapa inovasi dan perbaikan besar. Aku sama sekali tak bisa memprediksi hasil akhirnya. Jika ternyata gagal, semua orang akan mengetahui keterampilanku yang sesungguhnya, mereka akan bilang bahwa aku tak mampu dan hanya berusaha pamer. Karena telah berjanji akan menyelesaikannya, jika aku menarik ucapanku, maka reputasiku akan hancur, jadi aku harus terus maju dan mencari jalan keluar sambil bekerja. Aku belum mengembangkan konsep, jadi proses pencarian ide berlangsung lama. Suatu saat, pemimpin mendatangi studio kami dan melihatku bekerja, jadi aku sengaja mengerjakan bagian yang mudah dan menyelesaikannya dengan cepat agar terkesan bahwa semuanya aman terkendali. Sebenarnya, aku sangat gugup hingga telapak tanganku berkeringat. Begitu pemimpin pergi, aku kembali mengerjakan bagian yang sulit dan memeras otak. Aku tak ingin mengaku bahwa aku kesulitan, khawatir pemimpin akan meragukan kemampuanku. Aku berpikir karena telah besar mulut, aku akan malu jika harus mundur. Aku harus menguatkan tekad dan mencari jalan keluar sambil bekerja, tapi progresnya sangat lambat dan emosiku terkuras. Sehari sebelum tenggat, aku menyelesaikan desain hingga larut malam. Pemimpin dan pengawas memeriksa, lalu bilang hasilnya bagus, tapi butuh sedikit perbaikan. Aku tetap tak merasa bahagia saat melakukan tugasku—aku merasa hilang arah dan tak mampu menyemangati diriku.

Setelah itu, selama saat teduh, aku membaca kutipan firman Tuhan: "Jika engkau sering merasa tertuduh dalam hidupmu, jika hatimu selalu tidak tenang, jika engkau tidak memiliki kedamaian dan sukacita, dan sering dilanda kekhawatiran dan kecemasan tentang segala macam hal, menunjukkan apakah hal ini? Ini hanya menunjukkan bahwa engkau tidak menerapkan kebenaran, tidak tetap teguh dalam kesaksianmu tentang Tuhan. Jika engkau hidup berdasarkan watak Iblis dalam dirimu, kemungkinan besar engkau akan sering gagal menerapkan kebenaran, memalingkan diri dari kebenaran, menjadi egois dan keji; engkau hanya akan melindungi citramu, reputasi dan statusmu, serta kepentinganmu. Selalu hidup bagi dirimu sendiri membuatmu sangat menderita. Engkau memiliki begitu banyak keinginan yang egois, keterikatan, belenggu, kekhawatiran, dan kekesalan sehingga engkau sama sekali tidak memiliki kedamaian atau sukacita. Hidup demi daging yang rusak adalah hidup yang penuh penderitaan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Jalan Masuk Kehidupan Dimulai dengan Pelaksanaan Tugas"). Saat merenungi firman Tuhan tersebut, aku sadar bahwa penyebab aku merasa lelah dan putus asa meski telah menyelesaikan desain adalah karena aku terlalu berhasrat mengejar status. Demi menyembunyikan ketakmampuanku dalam bertugas, aku berpura-pura, aku memasang kedok di depan orang lain. Setelah itu, aku membaca kutipan firman Tuhan lainnya yang membantuku memahami watak rusakku dengan lebih baik. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Manusia sendiri adalah objek ciptaan. Mampukah objek ciptaan mencapai kemahakuasaan? Mampukah mereka mencapai kesempurnaan dan keadaan tanpa cela? Mampukah mereka mencapai kemahiran dalam segala sesuatu, memahami segala sesuatu, dan cakap dalam segala sesuatu? Mereka tidak mampu. Namun, di dalam diri manusia, ada watak-watak yang rusak dan kelemahan yang fatal: begitu mereka mempelajari sebuah keterampilan atau profesi, manusia merasa bahwa mereka cakap, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki status dan nilai, dan bahwa mereka adalah para profesional. Betapa pun tidak istimewanya mereka, mereka semua ingin mengemas diri mereka sebagai tokoh terkenal atau mulia, mengubah diri mereka menjadi selebritas yang kurang terkenal, dan membuat orang berpikir bahwa mereka sempurna dan tanpa cacat, tanpa kekurangan sedikit pun; di mata orang lain, mereka ingin menjadi terkenal, kuat, tokoh yang hebat, dan mereka ingin menjadi perkasa, mampu melakukan apa saja, tak satu pun yang tidak mampu mereka lakukan. Mereka merasa bahwa jika mereka mencari bantuan orang lain, mereka akan terlihat tidak mampu, lemah, dan kurang cerdas, serta orang-orang akan memandang rendah mereka. Karena alasan ini, mereka selalu ingin berpura-pura. Beberapa orang, ketika disuruh melakukan sesuatu, berkata mereka tahu bagaimana melakukannya, padahal sebenarnya mereka tidak tahu. Setelah itu, diam-diam, mereka mencari tahu tentang hal tersebut dan mencoba mempelajari bagaimana melakukannya, tetapi setelah mempelajarinya selama beberapa hari, mereka tetap tidak mengerti cara melakukannya. Ketika ditanya sudah sampai di mana mereka dalam pekerjaan itu, mereka berkata, 'Segera, segera selesai!' Namun di dalam hati, mereka berpikir, 'Itu masih jauh dari selesai, aku sama sekali tidak tahu kapan selesainya, aku tak tahu harus berbuat apa! Aku tak boleh menyingkapkan diriku, aku harus terus berpura-pura, aku tak boleh membiarkan orang melihat kekurangan dan kebodohanku, aku tak boleh membiarkan mereka memandang rendah diriku!' Masalah apa ini? Ini adalah kehidupan bagai neraka karena berusaha mempertahankan reputasi dengan segala cara. Watak macam apa ini? Kecongkakan orang semacam itu tidak mengenal batas, mereka telah kehilangan akal! Mereka tidak ingin menjadi seperti orang lain, mereka tidak ingin menjadi orang biasa, orang normal, tetapi ingin menjadi manusia super, orang yang ahli, orang yang cakap. Ini sebuah masalah besar! Mengenai kelemahan, kekurangan, ketidaktahuan, kebodohan, dan kurangnya pemahaman dalam kemanusiaan yang normal, mereka akan menyembunyikannya rapat-rapat, dan tidak membiarkan orang lain melihatnya, dan kemudian terus menyamarkan diri. ... Bagaimana menurutmu, bukankah orang-orang semacam itu hidup dalam angan-angan? Bukankah mereka sedang bermimpi? Mereka tidak mengenal diri mereka sendiri, mereka juga tidak tahu bagaimana hidup dalam kemanusiaan yang normal. Mereka tidak pernah sekali pun bertindak seperti manusia yang nyata. Jika engkau menjalani hari-harimu dengan hidup dalam angan-angan, bersikap asal-asalan, tidak melakukan apa pun berdasarkan kenyataan, selalu hidup berdasarkan imajinasimu sendiri, maka ini adalah masalah. Jalan dalam kehidupan yang kaupilih itu tidak benar" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Lima Keadaan yang Harus Dipenuhi Sebelum Memasuki Jalur yang Benar dalam Kepercayaan kepada Tuhan"). Firman Tuhan menyingkapkan keadaanku saat itu. Karena sudah cukup lama bekerja di bidang desain, mempelajari beberapa keterampilan, dan ditunjuk sebagai ketua tim, aku menganggap diriku mampu dan memiliki bakat yang langka. Karena pemikiran tersebut, aku sangat memedulikan anggapan orang lain terhadapku, khawatir bahwa mereka akan melihat ketakmampuanku dan berkata bahwa aku tak pantas untuk pekerjaan itu. Terutama saat pembuatan gambar latar ini, aku belum pernah melakukan tugas sesulit itu, dan aku tak yakin akan berhasil, tapi demi menjaga reputasi dan statusku, serta mendapatkan kepercayaan pengawas dan pemimpin, aku berpura-pura semuanya aman terkendali. Saat menemui masalah dan mengalami hambatan, bukannya meminta bantuan, aku malah berjuang sendirian. Saat pemimpin menanyakan progres atau kendala yang kuhadapi, aku tak memberi tahu soal masalahku meski aku benar-benar hilang arah, tapi aku justru membohongi dan mengelabuinya, bahkan berpura-pura terampil agar dia berpikir aku mampu menyelesaikan pekerjaan itu. Aku memasang kedok di segala aspek demi menyembunyikan ketakmampuanku. Aku selalu berpura-pura sebagai pekerja berbakat agar orang lain berpikir bahwa aku mahir dalam segala hal, dan mengetahui segalanya. Aku sadar bahwa diriku sangat angkuh dan congkak. Firman Tuhan berbunyi, "Manusia sendiri adalah objek ciptaan. Mampukah objek ciptaan mencapai kemahakuasaan? Mampukah mereka mencapai kesempurnaan dan keadaan tanpa cela? Mampukah mereka mencapai kemahiran dalam segala sesuatu, memahami segala sesuatu, dan cakap dalam segala sesuatu? Mereka tidak mampu." Benar, bagaimana bisa orang dengan watak rusak menjadi sempurna dan serbabisa? Tak memahami atau tak mampu melakukan sesuatu dalam tugas adalah hal yang normal, tapi aku tak bersikap seperti itu terhadap kekuranganku. Aku justru bersikeras menampilkan kesan sebagai pekerja berbakat. Aku tak ingin dianggap sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang biasa. Aku ingin menjadi sempurna dan tak bercela. Aku sangat congkak hingga kehilangan akal sehat. Karena selalu memasang kedok saat bertugas, merasa khawatir orang lain akan melihat diriku yang asli, dan enggan meminta bantuan saat tak memahami sesuatu, progres desainnya lambat meski sebenarnya pekerjaan itu harus segera selesai, dan akibatnya emosiku pun terkuras. Aku sadar bahwa upayaku mengejar kesempurnaan adalah tindakan konyol. Aku selalu menyembunyikan ketakmampuanku, tak pernah berani menghadapinya. Akibatnya, bukan hanya merasa lelah dan tak tulus dalam bertugas, tapi aku juga menunda pekerjaan gereja. Setelah menyadarinya, aku pun berdoa kepada Tuhan: "Tuhan! Terima kasih atas pencerahan dan bimbingan-Mu, yang telah membantuku menyadari bahwa upayaku untuk memasang kedok adalah tindakan menyedihkan. Aku siap memperbaiki pandanganku yang keliru mengenai pengejaran dalam penerapan di masa yang akan datang, menghadapi kekuranganku dengan sikap yang benar, bertanya saat aku tak paham, berhenti menutup-nutupi, serta melakukan tugasku secara praktis dan jujur."

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Engkau harus mencari kebenaran untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul, apa pun masalahnya, dan sama sekali tidak menyamarkan dirimu atau mengenakan kedok di hadapan orang lain. Kekuranganmu, kelemahanmu, kesalahanmu, watakmu yang rusak—terbukalah sepenuhnya mengenai semua itu, dan bersekutulah tentang semuanya itu. Jangan menyembunyikannya di dalam hati. Belajar untuk membuka dirimu sendiri adalah langkah awal untuk masuk ke dalam hidup, dan inilah rintangan pertama, yang paling sulit untuk diatasi. Begitu engkau berhasil mengatasinya, masuk ke dalam kebenaran menjadi mudah. Apa yang ditunjukkan dari mengambil langkah ini? Ini menunjukkan bahwa engkau sedang membuka hatimu dan menunjukkan semua yang kaumiliki, baik atau buruk, positif atau negatif; menelanjangi dirimu agar dilihat oleh orang lain dan oleh Tuhan; tidak menyembunyikan apa pun dari Tuhan, tidak menutupi apa pun, tidak menyamarkan apa pun, bebas dari kecurangan dan tipu muslihat, dan juga bersikap terbuka serta jujur dengan orang lain. Dengan cara ini, engkau hidup dalam terang, dan bukan saja Tuhan akan memeriksamu, tetapi orang lain juga akan bisa melihat bahwa engkau bertindak dengan prinsip dan dengan suatu tingkat keterbukaan. Engkau tak perlu menggunakan cara apa pun untuk melindungi reputasi, citra, dan statusmu, engkau juga tak perlu menutupi atau menyamarkan kesalahanmu. Engkau tak perlu terlibat dalam upaya yang sia-sia ini. Jika engkau dapat melepaskan hal-hal ini, engkau akan sangat tenang, engkau akan hidup tanpa belenggu atau rasa sakit, dan akan sepenuhnya hidup dalam terang" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Aku sadar bahwa jika ingin melakukan tugasku dengan baik dan dihargai oleh Tuhan, kuncinya adalah mencari kebenaran. Separah apa pun kerusakan watak yang kutampilkan atau masalah yang kuhadapi saat bertugas, aku harus terbuka kepada Tuhan dalam doa untuk mencari bimbingan, menyingkirkan hasratku terhadap reputasi dan status, bersekutu dengan saudara-saudari, berhenti menutup-nutupi dan berpura-pura, membiarkan orang melihat diriku yang sesungguhnya, bekerja sesuai kemampuanku, mengaku saat diriku tak mampu, serta mencari kebenaran bersama orang lain. Melakukan tugas dalam kondisi seperti itu tak akan menguras emosiku dan menghambat progres—prosesnya pasti menyenangkan. Setelah menyadari ini, aku membuka diri dalam persekutuan dengan saudara-saudari mengenai pemikiranku selama proses mendesain dan mengemukakan masalah yang kuhadapi agar dapat berdiskusi bersama mereka. Saudara-saudari mengajariku beberapa teknik dan memberikan beberapa ide baru. Setelah itu, proses pembuatan gambar latar berjalan tanpa hambatan. Lalu, beberapa saudara-saudari berkata kepadaku, "Gambar latarmu tampak jauh lebih baik daripada yang sebelumnya. Bisakah suatu hari nanti kau membagikan pengalamanmu dan ilmu yang kau pelajari kepada kami?" Aku merasa sangat bahagia mendengarnya dan merasa telah memenuhi tugasku secara praktis. Saat mengingat pengalamanku mendesain gambar latar, aku menyadari bahwa memiliki kekurangan dan diketahui orang lain bukanlah hal yang salah atau merugikan. Mampu membuka diri dan mencari kebenaran, serta mengesampingkan kehendak pribadi dan hasrat yang tak pantas adalah kualitas terpenting. Kau bisa merasa damai dan lega jika bekerja dalam kondisi seperti itu.

Secara perlahan aku mampu menghasilkan desain berkualitas untuk proyek-proyek yang sulit dan melahirkan lebih banyak produk dibandingkan saudara-saudari lain. Mereka selalu meminta saranku untuk konsep desain dan berbagai pertanyaan teknis lain. Awalnya, aku selalu menyampaikan hal-hal yang kuketahui, tapi saat makin banyak orang yang bertanya, secara tak sadar aku mulai berpikir, "Kurasa kini semua orang mengakui bakatku. Jika tidak, apa mungkin mereka meminta saranku?" Secara tak sadar aku mulai menikmati perasaan puas tersebut dan cukup puas terhadap diriku. Namun, terjadi sesuatu yang tak terduga. Di salah satu desain gambar latar untuk video himne, pemimpinku menyadari satu masalah yang melanggar prinsip dan lantas memanggilku untuk membahasnya. Dia bilang gambarnya harus diperbaiki hari itu juga agar pekerjaannya tak tertunda, dan dia bertanya apakah aku bisa bekerja sendiri atau perlu bantuan orang lain. Aku pun berpikir: "Aku yang mendesain gambar ini, jadi jika kulimpahkan perbaikannya kepada orang lain, bukankah aku akan dicap tak terampil? Bukankah orang akan berpikir bahwa aku besar mulut dan tak mampu memenuhi janjiku? Jangan sampai itu terjadi! Aku tak boleh menyerah. Jika aku bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, semua orang akan tahu bahwa aku mampu, dapat dipercaya, dan layak dibina." Saat menyadari ini, aku mengaku sanggup bekerja sendiri untuk memperbaiki gambarnya sesuai prinsip. Saat memperbaiki gambar, aku kesulitan memikirkan konsep yang bagus untuk salah satu bagian. Karena kehabisan waktu dan aku masih belum mendapatkan ide, aku merasa stres, aku ingin segera menyelesaikannya, tapi segala perubahan yang kulakukan tak berhasil. Aku fokus memikirkan konsep itu hingga pukul 5 pagi, tapi tetap tak membuahkan hasil. Saat itulah aku mulai bertanya pada diriku, kenapa aku mengalami masalah ini? Aku mendadak sadar bahwa desainku melanggar prinsip karena ada beberapa aspek dalam prinsip yang tak kupahami. Perbaikan ini mengakibatkan pekerjaan tertunda. Aku bahkan tak yakin jika perbaikanku berhasil, dan gambar ini dibutuhkan secepatnya, jadi aku tahu aku harus meminta bantuan. Namun, demi menjaga status dan reputasiku, serta menyembunyikan ketakmampuanku, aku berusaha melewati kesulitan itu sendirian. Bukankah tindakanku menunda pekerjaan gereja? Saat menyadari ini, aku merasa sangat bersalah dan bergegas berdoa kepada Tuhan untuk bertobat, "Tuhan! Aku terbelenggu oleh watak rusakku. Saat memiliki masalah, aku berpura-pura semua baik-baik saja agar dihormati orang lain. Aku tak bisa menghadapi ketakmampuanku dengan baik. Melakukan tugas seperti ini sangat melelahkan! Tuhan, tolong bimbing aku untuk menyadari kerusakanku dan melepaskan kesombonganku, agar aku dapat bertindak sesuai firman-Mu." Setelah berdoa, aku memikirkan firman Tuhan berikut ini, "Engkau selalu mencari kebesaran, kemuliaan, dan status; engkau selalu mencari peninggian. Bagaimana perasaan Tuhan saat Dia melihat ini? Dia membencinya, dan Dia akan menjadi jauh darimu. Semakin engkau mengejar hal-hal seperti kebesaran, kemuliaan, dan menjadi lebih unggul daripada orang lain, terhormat, terkemuka, dan penting, semakin Tuhan menganggapmu menjijikkan. Jika engkau tidak merenungkan dirimu sendiri dan bertobat, Tuhan akan membencimu dan meninggalkanmu. Pastikan untuk tidak menjadi orang yang Tuhan anggap menjijikkan; jadilah orang yang Tuhan kasihi. Jadi, bagaimana orang bisa memperoleh kasih Tuhan? Dengan menerima kebenaran dengan taat, dengan berdiri pada posisi sebagai makhluk ciptaan, bertindak dengan firman Tuhan dengan kerendahhatian, melaksanakan tugas dengan benar, berusaha menjadi orang yang jujur, dan hidup dalam keserupaan dengan manusia. Ini sudah cukup, Tuhan akan dipuaskan. Orang harus memastikan dirinya tidak menyimpan ambisi atau mimpi-mimpi kosong, jangan mencari ketenaran, keuntungan, dan status atau berusaha lebih menonjol dari orang banyak. Selain itu, mereka tidak boleh berusaha menjadi orang hebat atau manusia super, yang lebih unggul di antara manusia dan membuat orang lain memujanya. Itu adalah keinginan dari manusia yang rusak, dan itulah jalan Iblis; Tuhan tidak menyelamatkan orang semacam itu. Jika orang tak henti-hentinya mengejar ketenaran, keuntungan, dan status serta tidak mau bertobat, maka tidak ada lagi yang bisa diperbaiki dari mereka dan hanya ada satu kesudahan bagi mereka: disingkirkan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Penyelesaian Tugas yang Benar Membutuhkan Kerja Sama yang Harmonis"). Firman Tuhan membahas keadaanku dengan tepat: Aku selalu mengejar reputasi, status, dan kekaguman. Saat aku mampu menyelesaikan lebih banyak desain dibandingkan orang lain dan menyelesaikan proyek menantang dengan jaminan kualitas, secara tak sadar aku bersikap congkak. Terlebih lagi, saat orang lain terus bertanya kepadaku, aku merasakan kepuasan mendalam dan senang saat dikagumi. Saat salah satu gambarku memiliki masalah dan dikembalikan, dan pemimpin menyarankan agar saudara-saudari membantuku memperbaikinya demi menghemat waktu, aku tak mempertimbangkan pekerjaan gereja hanya karena khawatir bantuan tersebut akan menyingkapkan ketakmampuanku. Demi menjaga reputasi dan status pribadi, juga agar tak diremehkan, aku melakukan perbaikan itu sendirian. Saat menemui masalah, bukannya meminta bantuan, aku malah berkeras hati dan memeras otak, memendam semuanya sendiri. Dari luar, aku tampak bekerja lembur demi tugas, tapi nyatanya, aku hanya berusaha membuktikan bakatku melalui proses perbaikan itu, memberi kesan bahwa aku dapat diandalkan. Aku sadar bahwa diriku terlalu berhasrat terhadap reputasi dan status. Tuhan mampu menelaah pikiran kita—meski mampu mengelabui orang lain, aku tak bisa mengelabui Tuhan, dan serapi apa pun aku menyembunyikan ketakmampuanku, jika watak rusakku tak berubah dan aku tak memperoleh kebenaran, Tuhan akan tetap membenci dan menyingkirkanku. Aku menunda pekerjaan gereja demi mengejar reputasi dan status, dan jika tak bertobat pada Tuhan dan merenung, maka aku menipu diriku dan orang lain, merugikan diri sendiri. Saat menyadari ini, aku segera meminta bantuan dari saudari yang mahir mendesain. Dia dan aku berdiskusi mengenai cara memperbaiki gambar, dan aku mendapatkan konsep yang lebih jelas. Tak lama kemudian, aku menyelesaikan perbaikannya.

Setelah itu, aku terus merenung mengenai alasanku menyembunyikan ketakmampuanku. Aku membaca kutipan firman Tuhan yang meninggalkan kesan mendalam padaku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Apakah ketidakmampuan melakukan beberapa hal adalah hal yang memalukan? Manusia mana yang mampu melakukan segalanya? Tidak ada yang memalukan tentang hal itu—jangan lupa, engkau adalah manusia biasa. Manusia hanyalah manusia; jika engkau tidak mampu melakukan sesuatu, katakan saja. Mengapa harus berpura-pura? Jika engkau selalu berpura-pura, orang lain akan menganggap hal itu memuakkan, dan cepat atau lambat, akan tiba saatnya engkau tersingkap, dan martabat atau kehormatanmu itu tidak akan lagi kaumiliki. Seperti itulah watak antikristus. Mereka selalu menampilkan diri sebagai orang serba bisa yang mampu melakukan segalanya, yang cakap dan berpengetahuan luas dalam segala sesuatu. Ini berarti masalah, bukan? Jika mereka memiliki sikap yang jujur, apa yang akan mereka lakukan? Mereka akan berkata, 'Aku bukan orang yang ahli dalam hal ini, aku hanya memiliki sedikit pengalaman di dalamnya, tetapi sekarang keterampilan yang kita butuhkan lebih kompleks daripada sebelumnya. Aku telah memberitahumu apa saja yang mampu kulakukan, dan aku tidak mengerti masalah baru yang sedang kita hadapi. Jika kita ingin melaksanakan tugas kita dengan baik, kita harus mempelajari lebih banyak keahlian teknis. Setelah kita menguasainya, kita akan mampu melaksanakan tugas kita secara efektif. Tuhan memercayakan tugas ini kepada kita, dan kita harus bertanggung jawab untuk melaksanakannya dengan baik. Karena kita ingin bertanggung jawab, kita harus mempelajari lebih banyak keahlian teknis.' Itulah artinya menerapkan kebenaran. Jika seseorang memiliki watak antikristus, dia tidak akan mengatakan seperti ini. Jika dia sedikit berakal sehat, dia akan mengatakan sesuatu seperti, 'Hanya inilah batas kemampuanku. Jangan menganggapku terlalu ahli agar aku tidak merasa lebih baik daripada orang lain—akan lebih mudah seperti itu, bukan? Selalu berpura-pura dan menipu sangat menyengsarakan. Jika kita tidak tahu cara melakukan sesuatu, kita akan belajar cara melakukannya bersama-sama. Kita harus bekerja sama untuk melaksanakan tugas kita dengan baik. Kita semua harus memiliki sikap yang bertanggung jawab.' Saat orang mendengar perkataan ini, mereka berpikir, 'Orang ini lebih baik daripada kita semua. Ketika ada masalah, dia tidak membesar-besarkan keahliannya, dan dia tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain atau berusaha mengelak dari tanggung jawab. Sebaliknya, dia rela memikul segala sesuatunya, dan melakukannya dengan sikap yang serius dan bertanggung jawab. Ini adalah orang yang baik, memiliki sikap yang bertanggung jawab dan serius terhadap pekerjaan dan tugasnya. Dia dapat dipercaya. Adalah hal yang tepat bahwa rumah Tuhan menyerahkan pekerjaan penting ini kepadanya. Tuhan benar-benar memeriksa lubuk hati manusia yang terdalam!' Dengan melaksanakan tugasnya seperti ini, orang ini mampu menyempurnakan keterampilannya, dan mendapatkan pujian dari semua orang. Berasal dari manakah pujian ini? Pertama, itu berasal dari sikap serius dan bertanggung jawab orang tersebut terhadap tugasnya. Kedua, berasal dari kemampuannya untuk menjadi orang yang jujur, dengan sikap yang selalu memberi manfaat dan kemauan untuk belajar. Dan ketiga, tidak dapat dipungkiri bahwa kemungkinan orang tersebut dibimbing dan dicerahkan oleh Roh Kudus. Orang semacam ini diberkati oleh Tuhan, dan ini adalah sesuatu yang dapat dicapai oleh orang yang memiliki hati nurani dan akal sehat. Dia mungkin memiliki kerusakan dan kekurangan, dan mungkin ada banyak hal yang tidak mampu dia lakukan, tetapi jalan penerapannya adalah jalan yang benar. Dia tidak berpura-pura atau menipu, dia memiliki sikap yang serius dan bertanggung jawab terhadap tugasnya, serta sikap yang saleh dan merindukan kebenaran. Antikristus tidak akan pernah mampu melakukan hal-hal itu, karena cara berpikir mereka tidak akan pernah sama seperti cara berpikir orang yang mencintai dan mengejar kebenaran. Mengapa demikian? Karena mereka memiliki natur Iblis. Mereka hidup berdasarkan watak Iblis dalam diri mereka untuk mencapai tujuan mereka memperoleh kekuasaan. Mereka selalu berusaha, dengan berbagai cara, melakukan tipu muslihat, membuat rencana licik, memperdaya orang dengan cara apa pun agar orang memuja dan mengikuti mereka. Jadi, untuk menipu dan mengelabui orang, mereka memikirkan berbagai cara untuk menyamarkan diri, menipu, berbohong, memperdaya orang—untuk membuat orang percaya bahwa mereka selalu benar, bahwa mereka tahu segalanya, dan mampu melakukan segalanya; bahwa mereka lebih cerdas dan lebih bijaksana dan mengerti lebih banyak hal daripada orang lain; bahwa mereka lebih baik daripada orang lain dalam segala hal, bahwa mereka lebih unggul daripada orang lain dalam segala hal, dan bahkan bahwa mereka adalah orang terbaik di kelompok mana pun. Keinginan semacam inilah yang mereka miliki; inilah watak antikristus. Jadi mereka belajar berpura-pura, yang menghasilkan segala macam praktik dan perilaku" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Delapan (Bagian Tiga)). Antikristus adalah pribadi yang licik dan jahat. Demi menjaga status dan reputasinya, mereka rela melakukan apa pun; memasang kedok, berbohong, dan mengelabui orang lain. Aku mengingat seorang antikristus yang telah diusir dair gereja kami: Demi mengukuhkan reputasi dan menerima pujian, dia enggan meminta bantuan saat menghadapi masalah, dan berpura-pura menguasai hal di luar kapasitasnya, serta bersedia menunda pekerjaan gereja demi menjaga status dan citra dirinya. Dia hanya menyebutkan kesuksesannya, bukan kegagalannya, dan mengganggu pekerjaan gereja di beberapa kesempatan, tapi tak pernah bertobat. Karena itu, dia akhirnya diusir dari gereja. Aku membandingkan perilakunya dengan diriku: aku tak fokus mencari kebenaran dan prinsip saat bertugas, tak menerima penelaahan atau pekerjaan Tuhan dengan kerendahan hati, serta selalu memasang kedok agar dikagumi orang lain. Sudah jelas ada masalah dalam desainku, tapi meski tak punya konsep yang jelas untuk memperbaikinya, aku tak mencari dan mendiskusikan apa pun dengan saudara-saudariku, aku justru bertekad memperbaikinya sendiri. Aku tak mempertimbangkan pekerjaan gereja, dan selama masih ada secercah harapan, aku tak ingin menyingkapkan kelemahanku, menganggap bahwa menunda pekerjaan gereja bukan masalah besar dan lebih mengutamakan menjaga citra diriku. Aku melakukan segala upaya untuk menyembunyikan hal-hal yang mengancam citra dan statusku, meski hal tersebut melelahkan dan sulit. Aku merasa kehilangan "citra baik" sama seperti kehilangan nyawa. Tindakanku mencerminkan watak seorang antikristus. Saat menyadarinya, aku merasa sedikit takut. Aku mungkin belum sepenuhnya jahat seperti seorang antikristus, tapi aku selalu mencari reputasi, status, dan kekaguman orang lain, bahkan bersikap licik dan mengelabui orang lain. Jika tak mengubah watak ini, pada akhirnya aku akan disingkapkan dan disingkirkan oleh Tuhan. Jadi, aku berdoa kepada Tuhan dan bertobat, bersedia mengesampingkan kesombongan dan statusku untuk bertindak sesuai firman-Nya.

Setelah itu, jika ada kendala dalam proses mendesain yang tak bisa kutangani sendiri, aku akan segera menghubungi seseorang dan membuka diri dalam persekutuan, mencari, dan mendengarkan semua saran mereka. Terkadang, aku meminta mereka mendesain bersamaku. Suatu kali, aku kembali menghadapi kendala saat mendesain dan gagal menunjukkan progres meski telah berkutat cukup lama. Pemimpin menanyakan progresku dan aku hendak berbohong, tapi aku segera sadar bahwa aku berusaha menjaga status dan reputasiku lagi. Lalu, firman Tuhan menghampiriku: "Jika engkau tidak menyembunyikan apa pun, jika engkau tidak menyamar, berpura-pura, menutup diri, jika engkau membuka diri kepada saudara-saudari, tidak menyembunyikan gagasan dan pikiran terdalammu, tetapi membiarkan orang lain melihat sikap jujurmu, maka kebenaran berangsur-angsur akan berakar di dalam dirimu, itu akan berbunga dan berbuah, itu akan membuahkan hasil, sedikit demi sedikit. Jika hatimu semakin jujur, dan semakin memiliki kecenderungan kepada Tuhan, dan jika engkau tahu untuk melindungi kepentingan rumah Tuhan ketika engkau melaksanakan tugasmu, dan hati nuranimu terganggu ketika engkau gagal melindungi kepentingan ini, ini adalah bukti bahwa kebenaran telah memengaruhimu, dan telah menjadi hidupmu" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Firman Tuhan sangat memotivasi. Aku tahu bahwa aku tak boleh terus memasang kedok; aku harus menghadapi ketakmampuanku dengan jujur dan tenang. Apa pun anggapan orang lain terhadapku, aku harus jujur dan mencari solusi bersama orang lain. Kebetulan hari itu ada pertemuan kerja, jadi aku membuka diri dalam persekutuan mengenai masalah dan kerusakanku. Setelah berbicara, aku merasa lega. Saat mendiskusikan segala hal dengan orang lain, mereka membantuku mencari cara untuk memperbaiki desainnya, dan tak lama kemudian, aku berhasil menyelesaikan perbaikannya. Aku sangat bahagia! Aku merasakan manfaat membuka diri dan berkata jujur! Berkat penyelamatan Tuhan aku dapat menyaadari ini dan mengalami perubahan. Syukur kepada Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait