Terkena Covid Telah Menyingkapkanku
Beberapa tahun terakhir ini, karena pandemi virus corona menyebar ke seluruh dunia, makin banyak orang yang terinfeksi virus tersebut, dan banyak dari mereka yang meninggal karenanya. Aku berpikir dalam hatiku, "Di akhir pekerjaan Tuhan, akan ada malapetaka besar, dan semua yang melakukan kejahatan serta menentang Tuhan akan terjatuh ke dalam bencana dan binasa. Hanya mereka yang menerima penghakiman dan hajaran dari firman Tuhan serta disucikan yang bisa mendapatkan perlindungan Tuhan dan memasuki kerajaan Tuhan. Aku harus meningkatkan pengabaran Injil dan melaksanakan tugasku, serta mempersiapkan lebih banyak perbuatan baik. Hanya dengan cara itulah aku akan memperoleh kesudahan dan tempat tujuan yang baik." Aku juga berpikir, "Setelah aku menerima pekerjaan Tuhan di akhir zaman, aku meninggalkan pekerjaanku untuk mengabarkan Injil. Meskipun sudah beberapa kali ditangkap, aku tidak pernah mengkhianati saudara-saudari ataupun gereja. Setelah itu, aku terus mengabarkan Injil seperti yang kulaksanakan sebelumnya, dan aku telah mendapatkan cukup banyak orang dalam beberapa tahun ini. Meski aku sudah berusia 70 tahun, aku masih bertanggung jawab atas pekerjaan penginjilan di beberapa gereja, dan hasilnya tidak buruk. Aku percaya bahwa selama aku terus melaksanakan tugasku dengan baik, Tuhan pasti akan menyelamatkanku di masa mendatang!" Memikirkan hal ini, aku bersukacita di dalam hatiku, dan aku sangat aktif dalam melaksanakan tugasku.
Suatu hari di bulan Desember 2022, saat aku bangun di pagi hari, aku merasa agak demam, tenggorokanku gatal, dan batuk. Belakangan ini, aku berkontak dengan seseorang yang terkena Covid, jadi aku menduga bahwa aku juga telah terinfeksi. Namun, gejala yang kualami saat itu tidak terlalu parah, dan aku masih bisa menahannya, jadi aku tidak menganggapnya terlalu serius. Setelah beristirahat di rumah selama beberapa hari, aku merasa sedikit lebih baik. Pada saat itu, aku merasa cukup senang, kupikir karena aku telah percaya kepada Tuhan dan selalu melaksanakan tugasku di gereja selama bertahun-tahun ini, Tuhan telah mengizinkanku untuk lekas pulih, maka aku harus makin gencar mengabarkan Injil dan mempersiapkan lebih banyak lagi perbuatan baik. Namun tak disangka, setelah itu penyakitku menjadi makin parah. Suatu hari, sepulang ke rumah setelah mengabarkan Injil, tiba-tiba seluruh tubuhku terasa lemas, aku mengalami demam tinggi dan merasa pusing. Keesokan harinya, demamku masih tinggi dan tidak kunjung turun. Pada saat itu, aku agak panik dan berpikir, "Saat aku sakit, aku tidak mengeluh dan tetap melaksanakan tugasku seperti biasa. Aku seharusnya mendapatkan perlindungan Tuhan, lantas mengapa aku tiba-tiba merasa makin parah? Sejak merebaknya virus corona, ada banyak sekali orang di seluruh dunia yang meninggal, banyak dari mereka yang sudah lanjut usia. Jika kondisiku makin parah, apakah aku akan meninggal juga?" Selama beberapa hari itu, aku minum obat penurun demam, tetapi demamku tetap tinggi. Aku merasa sangat lelah dan terus-menerus batuk. Terutama saat aku mendengar tentang orang-orang lanjut usia yang kukenal meninggal karena Covid, aku jadi agak takut dan cemas, berpikir, "Pekerjaan Tuhan akan segera selesai. Jika aku meninggal sekarang, apakah aku masih bisa diselamatkan? Apakah semua yang telah kukorbankan selama bertahun-tahun ini akan sia-sia? Ada beberapa orang di gereja yang tidak melaksanakan tugas apa pun; tetapi mengapa mereka belum terinfeksi? Sementara itu, aku telah meninggalkan keluargaku dan karierku, selalu melaksanakan tugasku, dan aku telah menanggung banyak penderitaan serta membayar harga yang mahal. Mengapa Tuhan tidak melindungiku?" Memikirkan hal ini, aku jadi merasa sedih. Meski aku tidak mengatakan apa pun dan terus melaksanakan tugasku, hatiku telah kehilangan semangatnya, dan aku tidak mau lagi menanggung penderitaan atau membayar harga dalam melaksanakan tugasku. Saat pemimpin memberitahuku bahwa aku ditugaskan untuk melakukan tugas penginjilan di beberapa gereja lain, aku merasa tidak terlalu senang tentang hal itu. Kupikir lebih penting bagiku untuk menjaga kesehatanku. Jika aku harus mengkhawatirkan terlalu banyak hal, tubuhku tidak akan sanggup menahannya. Terlebih lagi, aku belum sepenuhnya pulih dari serangan Covid yang kualami terakhir kali. Jika aku sampai terinfeksi lagi, aku mungkin tidak akan bisa bertahan. Setelah kejadian itu, setiap kali aku menggigil dan batuk di saat melaksanakan tugasku, aku takut kondisiku akan bertambah parah, dan aku sering khawatir serta takut. Menyadari bahwa keadaanku tidak benar, aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan! Aku menderita penyakit ini atas izin-Mu, tetapi aku terus menuntut-Mu dan tidak pernah bisa tunduk. Tolong bimbing aku agar dapat tunduk pada pengaturan dan penataan-Mu, mencari kebenaran, serta memetik pelajaran darinya!"
Setelah berdoa, aku membaca beberapa firman Tuhan: "Ketika orang tidak mampu mengenali, memahami, menerima, atau tunduk pada lingkungan yang Tuhan atur dan pada kedaulatan-Nya, dan ketika orang menghadapi berbagai kesulitan dalam kehidupan mereka sehari-hari, atau ketika kesulitan tersebut melampaui yang mampu ditanggung oleh manusia normal, mereka tanpa sadar akan merasakan segala macam kekhawatiran dan kecemasan, dan bahkan perasaan sedih. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi besok, atau lusa, atau apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan, atau akan seperti apa masa depan mereka, sehingga mereka merasa sedih, cemas, dan khawatir tentang segala macam hal. Dalam konteks apa orang merasa sedih, cemas dan khawatir tentang segala macam hal? Mereka merasa seperti itu karena mereka tidak percaya akan kedaulatan Tuhan—yang berarti, mereka tidak mampu memercayai dan memahami kedaulatan Tuhan. Sekalipun mereka melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri, mereka tidak akan memahaminya, ataupun memercayainya. Mereka tidak percaya bahwa Tuhanlah yang berdaulat atas nasib mereka, mereka tidak percaya bahwa hidup mereka berada di tangan Tuhan, sehingga ketidakpercayaan muncul di hati mereka terhadap kedaulatan dan pengaturan Tuhan, dan kemudian sikap yang menyalahkan pun muncul, dan mereka tidak mampu tunduk" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). "Orang yang menderita penyakit akan sering berpikir, 'Aku bertekad melaksanakan tugasku dengan baik, tetapi aku mengidap penyakit ini. Aku berdoa agar Tuhan menjauhkanku dari bahaya, dan dengan perlindungan Tuhan aku tak perlu takut. Namun, jika aku kelelahan saat melaksanakan tugasku, akankah penyakitku kambuh? Apa yang akan kulakukan jika penyakitku kambuh? Jika aku harus masuk rumah sakit untuk menjalani operasi, aku tak punya uang untuk membayarnya, lalu jika aku tidak meminjam uang untuk membayar pengobatanku, akankah penyakitku menjadi bertambah parah? Dan jika penyakitku menjadi bertambah parah, apakah aku akan mati? Dapatkah kematian semacam ini dianggap kematian yang wajar? Jika aku benar-benar mati, akankah Tuhan mengingat tugas-tugas yang telah kulaksanakan? Akankah aku dianggap orang yang telah melakukan perbuatan baik? Akankah aku memperoleh keselamatan?' ... Setiap kali mereka memikirkan hal-hal ini, perasaan cemas yang mendalam muncul dalam hati mereka. Meskipun mereka tak pernah berhenti melaksanakan tugas mereka dan selalu melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, mereka selalu memikirkan penyakit mereka, kesehatan mereka, masa depan mereka, serta hidup dan mati mereka. Akhirnya, mereka menarik kesimpulan yang berupa angan-angan, 'Tuhan akan menyembuhkanku, Tuhan akan melindungiku. Tuhan tidak akan meninggalkanku, dan Tuhan tidak akan tinggal diam dan pasti melakukan sesuatu jika dilihat-Nya aku sakit.' Pemikiran seperti itu sama sekali tidak ada dasarnya, bahkan dapat dianggap semacam gagasan. Orang tak akan pernah mampu menyelesaikan kesulitan nyata mereka dengan menggunakan gagasan dan imajinasi seperti ini, dan di lubuk hatinya, mereka secara samar-samar merasa sedih, cemas dan khawatir tentang kesehatan dan penyakit mereka; mereka tidak tahu siapa yang akan bertanggung jawab atas hal-hal ini, atau apakah ada orang yang mau bertanggung jawab atas hal-hal ini bagi mereka" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (3)"). Tuhan menyingkapkan bahwa manusia tidak sungguh-sungguh memahami kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan dan selalu takut akan kematian. Karena itu, mereka hidup dalam emosi negatif berupa kekhawatiran dan kecemasan. Keadaanku sama persis seperti yang disingkapkan Tuhan. Setelah terkena Covid, awalnya aku lekas membaik, jadi aku merasa senang dan bersyukur kepada Tuhan atas kepedulian dan perlindungan-Nya. Kemudian, saat kondisiku makin parah dan aku mengalami demam tinggi, aku jadi takut, merasa khawatir karena usiaku sudah lanjut, aku bisa mati karena virus ini jika penyakitku makin parah. Aku hidup dalam kesedihan, tidak punya energi dalam melaksanakan tugasku. Terutama, saat pemimpin ingin menugaskanku untuk memimpin pekerjaan penginjilan di beberapa gereja lain, aku takut jika tugasku terlalu berat, kondisiku akan menjadi makin parah, dan akhirnya aku akan meninggal karena Covid, jadi aku tidak berani menerimanya. Aku sering hidup dalam kecemasan dan ketakutan di tengah penyakit ini, aku bahkan tidak memiliki hati dan pikiran untuk melakukan tugas yang seharusnya kulaksanakan. Padahal Tuhan adalah Sang Pencipta yang memegang kedaulatan dan mengendalikan segala sesuatu. Sakitku, pulihku, berapa lama aku akan hidup, itu semua ada di tangan Tuhan, dan seharusnya aku tunduk pada pengaturan dan penataan-Nya. Namun, aku tidak percaya pada pengaturan Tuhan atau percaya bahwa Dia-lah yang mengendalikan segalanya selalu hidup dalam kekhawatiran dan ketakutan. Aku sangat bodoh! Aku menderita penyakit ini atas izin Tuhan, dan seharusnya aku mencari kebenaran serta memetik pelajaran darinya. Jika aku selalu hidup dalam emosi negatif ini, saat aku benar-benar dihadapkan dengan kematian suatu hari nanti, aku akan tetap mengeluh, salah memahami Tuhan dan menyalahkan-Nya, bahkan mengucapkan kata-kata yang menentang Tuhan, yang akan Dia benci dan kutuk. Aku jadi takut setelah memikirkan hal ini, dan juga merasa ingin segera mencari kebenaran dan membereskan keadaan ini.
Saat sedang mencarinya, aku membaca suatu bagian firman Tuhan: "Atas dasar apa engkau—makhluk ciptaan—mengajukan tuntutan terhadap Tuhan? Manusia tidak memenuhi syarat untuk mengajukan tuntutan terhadap Tuhan. Tidak ada yang lebih tak masuk akal selain manusia mengajukan tuntutan terhadap Tuhan. Dia akan melakukan apa yang harus Dia lakukan, dan watak-Nya adalah adil. Keadilan itu bukan berarti pantas atau masuk akal; keadilan bukanlah egalitarianisme, juga bukan perkara mengalokasikan kepadamu apa yang pantas engkau terima sesuai dengan berapa banyak pekerjaan yang telah kauselesaikan, atau memberimu upah untuk pekerjaan apa pun yang telah kaukerjakan, atau memberi kepadamu hakmu sesuai dengan upaya yang telah kaukeluarkan. Ini bukanlah keadilan. Itu hanyalah pantas dan masuk akal. Sangat sedikit orang yang mampu mengenal watak Tuhan yang adil. Seandainya Tuhan menyingkirkan Ayub setelah Ayub menjadi kesaksian bagi Dia: apakah ini adil? Sebenarnya, ini adil. Mengapa ini disebut adil? Bagaimana manusia memandang keadilan? Jika sesuatu selaras dengan gagasan-gagasan manusia, maka sangat mudah bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil; tetapi, jika mereka tidak melihat bahwa hal itu selaras dengan gagasan-gagasan mereka—jika hal itu adalah sesuatu yang tak mampu mereka pahami—maka menjadi sulit bagi mereka untuk mengatakan bahwa Tuhan itu adil. Jika Tuhan memusnahkan Ayub pada waktu itu, orang pasti tidak akan mengatakan bahwa Dia adil. Sebenarnya, entah manusia telah dirusak atau tidak, dan entah mereka telah dirusak sedemikian dalam atau tidak, apakah Tuhan harus membenarkan diri-Nya ketika Dia memusnahkan mereka? Haruskah Dia menjelaskan kepada manusia atas dasar apa Dia melakukannya? Haruskah Tuhan memberi tahu manusia aturan-aturan yang telah Dia tetapkan? Tidak perlu. Di mata Tuhan, orang yang rusak dan cenderung menentang Tuhan, sama sekali tidak layak; namun bagaimanapun cara Tuhan menangani mereka, itu akan tepat, dan semuanya adalah pengaturan Tuhan. Jika engkau tidak berkenan di mata Tuhan, dan jika Dia berkata bahwa engkau tidak lagi berguna bagi-Nya setelah kesaksianmu dan karena itu memusnahkanmu, apakah ini juga merupakan keadilan-Nya? Ya. ... Segala sesuatu yang Tuhan lakukan adalah adil. Walaupun manusia mungkin tidak mampu memahami keadilan Tuhan, mereka tak boleh membuat penilaian sesuka hati mereka. Jika sesuatu yang Dia lakukan tampak tidak masuk akal bagi manusia, atau jika mereka memiliki gagasan apa pun tentang hal itu, dan hal itu membuat mereka mengatakan bahwa Dia tidak adil, maka merekalah yang sangat tidak masuk akal" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Merenungkan firman Tuhan, aku menyadari bahwa di masa lalu, aku belum benar-benar memahami watak benar Tuhan. Aku selalu berpikir karena aku telah mengorbankan diriku demi Tuhan saat melaksanakan tugasku, aku seharusnya mendapatkan perhatian dan perlindungan-Nya dan tidak seharusnya diperhadapkan dengan penyakit atau bahkan kematian. Kupikir itulah kebenaran Tuhan. Akibat pengaruh pandangan yang keliru ini, aku selalu berpikir karena aku telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, telah banyak menderita dan membayar banyak harga bahkan tetap bertekun dalam tugasku setelah terkena Covid, Tuhan seharusnya menjaga keselamatanku atau membantuku pulih dari penyakit selekas mungkin. Namun, saat semua tidak berjalan sesuai harapanku, aku salah memahami dan mengeluh kepada Tuhan, aku menjadi tidak punya energi untuk melakukan tugasku. Terutama saat aku melihat beberapa saudara-saudari yang tidak melaksanakan tugas apa pun tidak tertular Covid, sementara aku yang selalu bersemangat mengorbankan diriku dan melaksanakan tugasku justru tertular, aku merasa ini tidak adil dan aku menganggap Tuhan tidak adil, aku tidak lagi memfokuskan diriku pada tugasku dan bahkan tidak bersedia menerima tanggung jawab terhadap beberapa pekerjaan gereja lagi. Awalnya, kukira setelah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun dan selalu bertekun dalam tugasku, aku telah cukup tunduk kepada Tuhan, tetapi begitu aku menghadapi kematian secara langsung, sikap memberontak dan menentangku disingkapkan, dan aku sama sekali tidak tunduk. Aku telah menikmati begitu banyak penyiraman dan pembekalan dari firman Tuhan; melaksanakan tugasku dan sedikit mengorbankan diriku adalah hal yang seharusnya kulakukan. Namun, aku justru menggunakannya sebagai modal untuk melakukan tawar-menawar dan bertransaksi dengan Tuhan, mengeluhkan-Nya saat keinginanku tidak terpuaskan. Aku benar-benar tidak bernalar! Tuhan adalah Sang Pencipta; apa pun yang Tuhan perbuat dan seperti apa pun cara-Nya memperlakukan manusia, semuanya adalah benar dan di dalam semua itu ada maksud-Nya. Aku tidak boleh menanggapi hal-hal yang Tuhan perbuat berdasarkan gagasan dan imajinasiku. Aku terpikir akan suatu bagian firman Tuhan: "Bukankah bodoh merasa tertekan, cemas, dan khawatir tentang hal-hal yang tidak dapat kautentukan sendiri? (Ya.) Orang seharusnya mengatasi hal-hal yang mampu mereka atasi sendiri, sedangkan untuk hal-hal yang tak mampu mereka lakukan sendiri, mereka harus menunggu Tuhan; orang harus tunduk di dalam hatinya dan memohon kepada Tuhan untuk melindungi mereka—inilah pola pikir yang harus orang miliki. Ketika penyakit benar-benar menyerang dan kematian sudah dekat, orang harus tunduk dan tidak mengeluh atau memberontak terhadap Tuhan atau mengatakan hal-hal yang menghujat Tuhan atau hal-hal yang menyerang diri-Nya. Sebaliknya, orang harus bersikap sebagai makhluk ciptaan, dan mengalami serta menghargai semua yang berasal dari Tuhan—mereka tidak boleh berusaha membuat pilihan mereka sendiri" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (4)"). Merenungkan firman Tuhan, aku merasa makin menyesali diri dan dipermalukan. Aku begitu jauh dari memenuhi tuntutan Tuhan. Kesehatanku, kehidupanku, kematianku, dan segala sesuatu tentangku telah diatur oleh Tuhan. Jika Covid merenggut nyawaku, itu merupakan sesuatu yang Tuhan izinkan, dan entah aku hidup atau mati, aku harus tunduk pada kedaulatan dan pengaturan-Nya. Itu adalah nalar minimal yang harus dimiliki oleh seorang makhluk ciptaan. Jadi, aku berlutut dan berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku sangat memberontak! Entah penyakitku membaik atau tidak, aku bersedia tunduk pada pengaturan-Mu. Aku tidak akan lagi mengeluhkan-Mu, dan aku tidak akan mengajukan tuntutan yang tidak bernalar kepada-Mu."
Kemudian, aku merenungkan diriku, berpikir, "Saat aku sedang tidak menghadapi penyakit atau kemalangan, aku bisa aktif melaksanakan tugasku dan sering bersekutu dengan saudara-saudari bahwa apa pun yang terjadi pada diri kami, kami harus selalu tunduk pada penataan dan pengaturan Tuhan. Lantas, mengapa aku salah memahami dan mengeluhkan Tuhan ketika penyakitku makin parah, bahkan kehilangan energi untuk melaksanakan tugasku? Mengapa aku memperlihatkan sikap memberontak dan menentang ini?" Sambil mencari, aku membaca beberapa firman Tuhan: "Sebelum memutuskan untuk melaksanakan tugas mereka, para antikristus dipenuhi dengan pengharapan dan menyimpan keyakinan penuh di dalam hati mereka terhadap masa depan, berkat, tempat tujuan yang baik, dan bahkan mahkota bagi mereka. Mereka datang ke rumah Tuhan untuk melaksanakan tugas mereka dengan niat dan cita-cita seperti itu. Jadi, apakah pelaksanaan tugas mereka mengandung ketulusan, iman yang sejati, dan kesetiaan yang Tuhan tuntut? Pada saat ini, orang belum dapat melihat kesetiaan, iman, atau ketulusan sejati, karena mereka memiliki pola pikir yang sepenuhnya transaksional sebelum melaksanakan tugas mereka, dan keputusan yang mereka ambil untuk melaksanakan tugas dimotivasi oleh kepentingan, dan juga berdasarkan prasyarat dari ambisi dan keinginan mereka yang meluap-luap. Apa niat para antikristus ketika melaksanakan tugas mereka? Niat mereka adalah untuk bertransaksi, untuk melakukan pertukaran. Dapat dikatakan bahwa ini adalah syarat-syarat yang mereka tetapkan untuk melaksanakan tugas: 'Jika aku melaksanakan tugasku, aku harus memperoleh berkat dan mendapatkan tempat tujuan yang baik. Aku harus memperoleh semua berkat dan manfaat yang Tuhan katakan telah dipersiapkan bagi manusia. Jika aku tidak dapat memperolehnya, aku tidak akan melaksanakan tugas ini.' Mereka datang ke rumah Tuhan untuk melaksanakan tugas mereka dengan niat, ambisi, dan keinginan seperti itu. Tampaknya seolah mereka memang memiliki ketulusan, dan tentu saja, bagi mereka yang baru percaya dan baru mulai melaksanakan tugas mereka, itu juga dapat disebut sebagai semangat. Namun, tidak ada iman atau kesetiaan sejati dalam hal ini; hanya ada tingkat semangat tertentu. Itu tidak dapat disebut ketulusan. Berdasarkan sikap antikristus terhadap pelaksanaan tugas mereka, ini sepenuhnya bersifat transaksional dan dipenuhi dengan keinginan mereka akan keuntungan, seperti menerima berkat, masuk ke dalam Kerajaan Surga, memperoleh mahkota, dan menerima upah. Jadi, tampak dari luar bahwa banyak antikristus, sebelum dikeluarkan, melaksanakan tugas mereka dan bahkan meninggalkan dan menderita lebih banyak daripada orang kebanyakan. Apa yang mereka korbankan, harga yang mereka bayar, dan jalan yang mereka tempuh setara dengan Paulus. Ini adalah sesuatu yang dapat dilihat semua orang. Dalam hal perilaku dan keinginan mereka untuk menderita dan membayar harga, mereka seharusnya menerima sesuatu. Namun, Tuhan tidak memandang seseorang berdasarkan perilaku lahiriahnya, tetapi berdasarkan esensinya, wataknya, apa yang disingkapkannya, serta natur dan esensi setiap perbuatannya. Ketika orang menilai dan memandang orang lain, mereka menentukan siapa diri mereka hanya berdasarkan perilaku lahiriah mereka, seberapa banyak mereka menderita, dan seberapa besar harga yang mereka bayar, dan ini adalah kesalahan besar" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Tujuh)). Melalui apa yang Tuhan ungkapkan, akhirnya aku mengerti bahwa saat aku melaksanakan tugasku dan dengan bersemangat mengorbankan diriku selama bertahun-tahun ini, aku tidak benar-benar memperhatikan maksud Tuhan dan melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan, dan aku juga bukan melakukannya karena ketulusan atau kesetiaanku kepada Tuhan. Sebaliknya, aku telah menjadikan tugasku sebagai alat tawar-menawar untuk memuaskan keinginanku untuk memperoleh berkat aku melaksanakan tugasku agar dapat bertahan hidup di masa depan dan menikmati berkat abadi. Melihat bencana yang terjadi silih berganti dan pekerjaan Tuhan yang hampir selesai, dalam hati aku merasa beruntung berpikir bahwa karena telah meninggalkan dan mengorbankan diriku demi Tuhan dan melaksanakan tugasku, aku pasti akan menerima perlindungan-Nya dan memperoleh keselamatan. Namun, saat aku terkena Covid dan kondisiku makin memburuk, aku khawatir karena sudah tua, aku akan mati karena virus ini, jadi aku berkecil hati dan kecewa serta kehilangan imanku. Aku bahkan mulai menggunakan apa yang kuanggap sebagai modalku untuk berunding dengan Tuhan, merasa bahwa karena aku telah begitu banyak menderita dalam melaksanakan tugasku serta membuahkan hasil saat mengabarkan Injil, Tuhan pasti melindungiku. Saat keinginanku yang berlebihan tidak terpuaskan, aku berpikir bahwa Tuhan tidak melindungiku dan memperlakukanku dengan tidak adil, dan aku menjadi tidak punya energi saat melaksanakan tugasku. Saat kebenarannya tersingkap, aku akhirnya menyadari bahwa sejak aku mulai percaya pada Tuhan, aku melakukannya untuk mendapatkan berkat. Aku berulang kali mengatakan bahwa aku percaya kepada Tuhan, dan bahwa melaksanakan tugasku adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, tetapi kenyataannya, aku memanfaatkan dan menipu Tuhan. Aku benar-benar sangat egois dan licik! Aku terpikir akan Paulus, yang pergi mengelilingi Eropa, mengabarkan Injil di Zaman Kasih Karunia, menanggung banyak penderitaan, dan mempertobatkan banyak orang. Namun, semua pengorbanan dan penderitaan yang dia tanggung itu bertujuan agar dia bisa masuk ke dalam Kerajaan Surga dan mendapatkan imbalan. Itu adalah tindakan bertransaksi dan menipu. Selain tidak berkenan dengan pengorbanannya, Tuhan juga sangat membenci hal itu. Pada akhirnya, alih-alih diberkati Tuhan, Paulus justru dihukum. Watak Tuhan itu benar dan kudus, dan saat Dia menentukan kesudahan dan tempat tujuan kita, Dia tidak menghakimi berdasarkan seberapa besar penderitaan yang kita tanggung dan sekeras apa kita bekerja di luarnya, atau seberapa banyak perilaku baik yang kita tunjukkan. Sebaliknya, hal itu didasarkan pada apakah kita telah memperoleh kebenaran dan apakah watak kita telah berubah. Jika aku selalu ingin mendapatkan kesudahan dan tempat tujuan yang baik sebagai imbalan atas kerja keras dan pengorbanan diriku, bukannya mengejar kebenaran atau membersihkan kerusakanku, kesudahanku akan sama seperti Paulus; aku akan disingkirkan oleh Tuhan dan dihukum. Kegagalan Paulus menjadi pengingat dan peringatan bagiku! Kemudian, aku memikirkan bagaimana Tuhan mencurahkan segenap hati-Nya untuk menyelamatkan umat manusia, mengerahkan seluruh upaya-Nya dan membayar semua harga, tetapi tak pernah meminta atau menuntut apa pun dari kita. Tuhan sungguh tanpa pamrih! Namun, aku telah menikmati segala yang Tuhan anugerahkan padaku tanpa pernah memperhatikan maksud-Nya. Aku bahkan bertransaksi dengan Tuhan saat melaksanakan tugasku agar mendapatkan tempat tujuan yang baik. Aku sungguh sangat egois dan tercela! Aku memandang Tuhan sebagai seseorang yang bisa dimanfaatkan dan ditipu. Melihat caraku mengorbankan diriku, bagaimana mungkin Tuhan tidak jijik dan membencinya? Setelah memahami ini, aku merasa menyesal dan berutang budi pada Tuhan, dan aku berdoa kepada Tuhan di dalam hatiku, berkata bahwa aku tak mau lagi bertransaksi dengan-Nya demi mendapatkan berkat, dan sebaliknya, aku ingin sungguh-sungguh mengejar kebenaran, melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan, dan memuaskan-Nya.
Kemudian, aku membaca bagian lain dari firman Tuhan yang menurutku cukup menyentuh hati. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Apa pun tugas yang orang laksanakan, itu adalah hal yang paling benar yang dapat mereka lakukan, hal yang paling indah dan adil di antara manusia. Sebagai makhluk ciptaan, manusia harus melaksanakan tugas mereka, dan baru setelah itulah mereka dapat menerima perkenan dari Sang Pencipta. Makhluk ciptaan hidup di bawah kekuasaan Sang Pencipta, dan mereka menerima semua yang disediakan oleh Tuhan serta segala sesuatu yang berasal dari Tuhan, jadi mereka harus memenuhi tanggung jawab dan kewajiban mereka. Hal ini sangat wajar dan dibenarkan, serta ditetapkan oleh Tuhan. Dari sini dapat dipahami bahwa jika manusia mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, itu lebih adil, indah, dan mulia daripada apa pun yang dilakukan selama hidup di bumi; tidak ada apa pun di antara manusia yang lebih bermakna atau berharga, dan tidak ada apa pun yang memberikan makna dan nilai yang lebih besar bagi kehidupan manusia ciptaan, selain melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan. Di bumi, hanya sekelompok orang yang sungguh-sungguh dan dengan tulus melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaanlah yang tunduk kepada Sang Pencipta. Kelompok ini tidak mengikuti tren duniawi; mereka tunduk pada pimpinan dan bimbingan Tuhan, hanya mendengarkan firman Sang Pencipta, menerima kebenaran yang diungkapkan oleh Sang Pencipta, dan hidup berdasarkan firman Sang Pencipta. Inilah kesaksian yang paling sejati dan paling berkumandang, dan merupakan kesaksian terbaik dari iman kepada Tuhan. Bagi makhluk ciptaan, mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, mampu memuaskan Sang Pencipta, adalah hal yang terindah di antara manusia, dan merupakan sesuatu yang patut disebarluaskan sebagai sebuah kisah yang patut dipuji oleh semua orang. Apa pun yang dipercayakan Sang Pencipta kepada makhluk ciptaan harus diterima tanpa syarat oleh mereka; bagi manusia, ini adalah masalah kebahagiaan dan hak istimewa, dan bagi semua orang yang mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk ciptaan, tidak ada yang lebih indah atau patut dikenang. Ini adalah sesuatu yang positif. ... Sebagai makhluk ciptaan, ketika menghadap Sang Pencipta, mereka harus melaksanakan tugas mereka. Ini adalah tindakan yang sangat benar, dan mereka harus memenuhi tanggung jawab ini. Atas dasar bahwa makhluk ciptaan melaksanakan tugas mereka, Sang Pencipta telah melakukan pekerjaan yang jauh lebih besar di antara manusia, dan Dia telah melakukan tahap pekerjaan lebih lanjut dalam diri manusia. Dan pekerjaan apakah itu? Dia membekali manusia dengan kebenaran, memungkinkan mereka untuk memperoleh kebenaran dari-Nya saat mereka melaksanakan tugas mereka dan dengan demikian membuang watak rusak mereka dan disucikan. Dengan demikian, mereka mulai melakukan maksud Tuhan dan mulai menempuh jalan yang benar dalam hidup, serta pada akhirnya, mereka mampu takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, memperoleh keselamatan penuh, serta tidak lagi menjadi sasaran penindasan Iblis. Inilah hasil akhir yang Tuhan ingin agar manusia peroleh dengan melaksanakan tugas mereka" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Tujuh)). Setelah membaca firman Tuhan, aku mengerti bahwa makhluk ciptaan yang melaksanakan tugasnya di hadapan Sang Pencipta adalah hal yang terbaik dan paling bermakna yang pernah ada. Sama halnya dengan anak yang berbakti kepada orang tuanya; itu adalah tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi orang tanpa transaksi atau tuntutan sama sekali. Yang lebih penting lagi, selama kita melaksanakan tugas, Tuhan mengatur berbagai keadaan yang menyingkapkan kerusakan dan kekurangan kita, sehingga kita dapat mencari kebenaran, memahami diri kita sendiri, membereskan watak kita yang rusak, menilai orang dan segala sesuatu berdasarkan firman-Nya, tidak lagi menderita kerusakan dan bahaya Iblis, dan akhirnya memperoleh keselamatan; inilah maksud Tuhan. Selama bertahun-tahun, aku telah beberapa kali ditangkap polisi, dan di tengah rasa sakitku, firman Tuhan-lah yang mencerahkan dan membimbingku, memberiku iman dan kekuatan serta memungkinkanku untuk mengatasi kekejaman setan-setan itu. Selain itu, saat aku meninggikan diriku dan pamer dalam tugasku, memperlihatkan watak congkakku, Tuhan menciptakan keadaan tersebut untuk mendidik dan mendisiplinkanku. Melalui apa yang telah disingkapkan firman-Nya, aku memperoleh pemahaman tentang diriku sendiri dan bisa segera bertobat kepada-Nya. Ini semua adalah penyelamatan Tuhan! Tuhan telah mengerahkan begitu banyak upaya kepadaku, tetapi aku tidak mengejar kebenaran atau membalas kasih-Nya, hanya fokus pada berkat saat melaksanakan tugasku. Aku benar-benar tidak punya hati nurani sama sekali. Saat aku jatuh sakit kali ini, setelah mencari kebenaran dan merenungkan diri, aku akhirnya mengerti dengan jelas motifku yang tercela yang selama bertahun-tahun ini hanya melaksanakan tugasku untuk memperoleh berkat, dan juga memperoleh pemahaman tentang watakku yang rusak. Semua ini adalah penyelamatan Tuhan terhadapku. Kini, Tuhan telah memberiku napas serta membiarkanku hidup, dan ini merupakan belas kasihan serta kasih karunia-Nya. Aku harus melepaskan motifku untuk memperoleh berkat dan melaksanakan tugasku dengan baik.
Kemudian, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Bagi siapa pun yang lahir ke dunia ini, kelahiran adalah pasti dan kematian tak terhindarkan; tidak seorang pun bisa melampaui hal-hal ini. Jika orang ingin meninggalkan dunia ini tanpa rasa sakit, jika orang ingin bisa menghadapi saat menentukan terakhir dalam hidup ini tanpa keengganan atau kekhawatiran, satu-satunya cara adalah dengan tidak menyesali apa pun. Dan satu-satunya cara untuk pergi tanpa penyesalan adalah dengan mengenal kedaulatan Sang Pencipta, mengenal otoritas-Nya, dan tunduk kepada kedaulatan dan otoritas-Nya. Hanya dengan cara ini, orang akan jauh dari perselisihan manusia, dari kejahatan, dari belenggu Iblis, dan hanya dengan cara inilah, orang dapat menjalani hidup seperti Ayub, dibimbing dan diberkati oleh Sang Pencipta, suatu kehidupan yang bebas dan merdeka, kehidupan yang bernilai dan bermakna, kehidupan yang jujur dan penuh keterbukaan hati. Hanya dengan cara inilah, orang bisa tunduk, seperti Ayub, pada ujian dan kehilangan oleh Sang Pencipta, pada penataan dan pengaturan Sang Pencipta. Hanya dengan cara inilah, orang dapat menyembah Sang Pencipta sepanjang hidupnya dan mendapatkan pujian-Nya, seperti Ayub, dan mendengar suara-Nya, melihat-Nya menampakkan diri. Hanya dengan cara inilah, orang bisa hidup dan mati dengan bahagia, seperti Ayub, tanpa rasa sakit, tanpa kekhawatiran, tanpa penyesalan. Hanya dengan cara inilah, orang bisa hidup dalam terang, seperti Ayub, dan melewati setiap saat menentukan dalam hidup ini di dalam terang, dengan lancar menyelesaikan perjalanannya dalam terang, berhasil menyelesaikan misinya—untuk mengalami, belajar, dan mengenal, sebagai makhluk ciptaan, kedaulatan Sang Pencipta—dan meninggal dalam terang, dan untuk selama-lamanya berdiri di sisi Sang Pencipta sebagai manusia ciptaan yang dipuji oleh-Nya" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Setelah membaca firman Tuhan, hatiku menjadi jauh lebih cerah. Sebelumnya, aku selalu berpikir karena aku sudah lanjut usia dan penyakitku makin parah, aku terancam kehilangan nyawaku kapan saja, dan jika aku meninggal karena Covid, aku tidak akan mendapatkan kesudahan dan tempat tujuan yang baik. Dari firman Tuhan, aku mengerti faktanya, semua orang harus menghadapi kematian, tetapi kematian memiliki sifat yang berbeda. Ada orang yang mati karena telah disingkapkan dan disingkirkan oleh Tuhan, sedangkan yang lainnya, mungkin tubuh mereka mati, tetapi jiwa mereka telah diselamatkan. Contohnya Ayub, yang memiliki iman sejati kepada Tuhan, mampu memuji nama Tuhan bahkan di tengah-tengah ujian, memiliki kesaksian yang benar di hadapan-Nya, dan menyelesaikan misinya sebagai makhluk ciptaan. Saat Ayub meninggal, dia tidak merasa cemas atau takut sama sekali, justru dia merasa puas dan bersyukur saat meninggalkan dunia. Tubuhnya telah mati, tetapi jiwanya diselamatkan. Ada pula Petrus, yang berusaha mengasihi dan memuaskan Tuhan sepanjang hidupnya dan mampu tunduk sampai mati dalam menghadapi ujian dan kesengsaraan. Pada akhirnya, dia disalib terbalik demi Tuhan, memberikan kesaksian yang baik dan memperoleh perkenanan Tuhan. Sekarang, aku mengerti bahwa matinya tubuh seseorang bukan berarti bahwa dia akan mendapatkan kesudahan dan tempat tujuan yang buruk. Yang penting adalah apakah dia mampu mengejar kebenaran dan melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan sepanjang hidupnya. Inilah kunci yang sebenarnya untuk menentukan apakah seseorang pada akhirnya mendapatkan kesudahan dan tempat tujuan yang baik atau tidak. Yang seharusnya kulakukan adalah berdiri teguh di posisiku sebagai makhluk ciptaan serta tunduk kepada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Selama aku hidup, aku harus mengandalkan Tuhan dan melaksanakan tugasku dengan baik, mengejar kebenaran, dan melakukan segala sesuatu berdasarkan prinsip dalam melaksanakan tugasku, sehingga aku bisa melaksanakan tugasku dengan baik dan menghibur hati Tuhan. Setelah memahami hal ini, aku merasa jauh lebih tenang dan tidak lagi terkekang oleh penyakitku. Tak kusangka, kondisiku membaik beberapa hari kemudian.
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.