Perubahan Tugas Menyingkapkanku

30 Agustus 2023

Oleh Saudari Daisy, Amerika

Aku membuat video di gereja, tapi karena pekerjaannya sedikit, pemimpin memindahkanku untuk menyirami petobat baru. Aku lalu dipindahkan ke tempat sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan. Tak disangka, beberapa bulan kemudian pekerjaan kami berkurang, dan aku kembali ke tugas menyiram. Lalu, aku dipindahkan lagi, dan seorang saudari berkata kepadaku, "Kau pergi ke mana pun mereka membutuhkanmu!" Saat itu, aku tak terlalu memikirkannya. Namun, belum sampai sebulan, pekerjaan video berkurang lagi dan aku mulai khawatir, sebentar lagi kami tak akan butuh orang sebanyak ini, lalu aku akan dikirim kembali untuk menyirami petobat baru. Tenggorokanku tercekat saat memikirkan itu. Kenapa aku begitu tak berguna? Segera setelah pekerjaan berkurang dan hanya sedikit orang yang dibutuhkan, akulah yang dipindahkan. Aku ini tak dibutuhkan oleh tim! Jika aku benar-benar dipindahkan lagi, akan seperti apa pendapat orang lain tentangku? Akankah mereka bertanya-tanya kenapa aku selalu berpindah-pindah, sedangkan orang lain tidak? Mereka akan mengira itu karena aku payah dan tak punya peran penting. Pikiran ini membuatku sangat sedih dan aku tak ingin menghadapi situasi itu.

Kemudian, ada hal-hal yang terjadi yang membuat situasiku makin buruk. Suatu kali, kami sedang mendiskusikan beberapa masalah dalam sebuah video, dan semua orang memberikan pandangan mereka dan berdiskusi dengan aktif. Namun, bahkan setelah berpikir satu abad, aku tetap belum punya ide bagus, atau pendapat apa pun. Aku yang kebingungan hanya bisa terdiam. Semua orang bekerja dengan semangat, tapi aku tak berkontribusi sama sekali. Aku bahkan merasa aku ini tidak ada. Kupikir aku harus mengatakan sesuatu. Aku harus berbagi sesuatu yang bermakna agar mereka tak meremehkanku. Aku benar-benar memeras otak dan akhirnya berhasil menyebutkan sesuatu, tapi tak ada yang setuju denganku. Aku sangat malu. Itu sangat memalukan—apa pendapat mereka tentangku? Terakhir kali aku mengerjakan video adalah delapan bulan lalu, jadi keterampilan profesional dan pemahaman prinsipku lebih buruk daripada saat aku meninggalkan tim. Aku tertinggal jauh di belakang orang lain. Orang harus tekun belajar untuk meningkatkan keterampilan semacam itu, dan orang lain sudah melakukan pekerjaan video sejak awal. Pemahaman mereka tentang keterampilan dan prinsip terus meningkat, sedangkan aku menghabiskan sedikit waktu di sana dan di sini. Aku sudah lama tak bertugas di satu tempat, jadi aku tak terlalu terampil dalam bidang tertentu apa pun. Segera setelah pekerjaan berkurang, akulah yang pertama pergi. Mereka baik-baik saja denganku atau tanpaku. Melihat beban kerja, kupikir Pengawas akan mengirimku untuk kembali menyirami petobat baru kapan saja. Pikiran itu sangat membuatku sedih, dan aku tak bisa menahan air mataku. Aku bertanya-tanya, "Kenapa ini selalu terjadi kepadaku?" Beberapa orang dalam tim punya keterampilan rofessional, ada yang kompeten, ada yang berpengalaman dan telah lama melakukan tugas ini, beberapa orang sangat efisien .... Mereka semua menonjol dalam beberapa hal, tapi kualitasku tak sebagus mereka, aku tak terampil, dan selalu selangkah di belakang mereka. Jadi, saat pekerjaan berkurang dan lebih sedikit orang yang dibutuhkan, tentu saja, akulah yang dicopot. Andai aku punya kualitas bagus dan keterampilan profesional seperti mereka, aku tak akan selalu dipindahkan. Namun sayangnya, aku tidak punya. Kenapa aku tak seterampil orang lain? Makin berpikir seperti ini, makin aku merasa sedih, dan aku mulai salah memahami Tuhan.

Setelah itu, meskipun aku melakukan tugasku, aku tak merasa termotivasi. Aku hanya mengikuti rutinitas dalam segala hal, puas dengan apa pun yang kuselesaikan. Aku tak memikirkan caranya bekerja lebih efisien untuk mencapai lebih banyak. Aku tak berusaha keras menyelesaikan masalah yang kutemui. Aku tak tahu berapa lama akan bertahan di tim, jadi kubiarkan saja. Selama masa itu, aku sangat cemas setiap kali pemimpin tim datang untuk bicara denganku, kupikir dia mungkin akan menyampaikan perubahan tugasku. Jantungku berdebar kencang sampai aku tahu itu hanya percakapan kerja biasa. Ini terjadi berulang kali, yang membuat setiap hari terasa melelahkan. Aku sudah cukup tidur, tapi terus terkantuk-kantuk di saat teduhku dan aku tak mendapatkan wawasan dari firman Tuhan. Aku sadar bahwa keadaanku keliru, jadi aku bergegas berdoa di hadapan Tuhan dan mencari, lalu merenungkan masalahku. Kemudian, aku membaca kutipan firman Tuhan yang membantuku memahami diriku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Apa prinsip-prinsipmu dalam berperilaku? Engkau harus berperilaku sesuai dengan posisimu, menemukan tempatmu yang tepat dan melakukan tugas yang seharusnya kaulakukan; hanya orang seperti inilah yang berakal sehat. Sebagai contoh, jika orang mahir dalam keterampilan profesional tertentu dan memahami prinsip-prinsipnya, mereka harus mengambil tanggung jawab dan melakukan pemeriksaan akhir di area tersebut; jika orang mampu memberikan gagasan dan wawasan, menginspirasi orang lain dan membantu mereka untuk melaksanakan tugas mereka dengan lebih baik—maka mereka harus menyampaikan ide-ide mereka. Jika engkau mampu menemukan tempatmu yang tepat dan bekerja secara harmonis dengan saudara-saudarimu, engkau akan mampu melaksanakan tugasmu dan engkau akan berperilaku sesuai dengan posisimu. Sebelumnya, engkau mungkin hanya mampu memberikan beberapa ide, tetapi jika engkau berusaha memberikan hal lain, dan engkau akhirnya berusaha sangat keras untuk melakukannya, tetapi tetap tak mampu melakukannya; dan kemudian, ketika orang lain memberikan hal tersebut, engkau merasa tidak nyaman dan tidak ingin mendengarnya, lalu hatimu sedih dan terkekang, dan engkau menyalahkan Tuhan dan menganggap Tuhan tidak adil—maka ini adalah ambisi. Watak apa yang melahirkan ambisi dalam diri seseorang? Watak congkaklah yang melahirkan ambisi. Semua keadaan ini tentu saja dapat muncul dalam dirimu setiap saat, dan jika engkau semua tidak mampu mencari kebenaran untuk menyelesaikannya dan tidak memiliki jalan masuk kehidupan, serta tidak dapat berubah dalam hal ini, maka tingkat kualifikasi dan kemurnianmu dalam pelaksanaan tugasmu akan menjadi rendah, dan hasilnya pun tidak akan terlalu bagus. Ini berarti engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan memuaskan dan berarti Tuhan belum mendapatkan kemuliaan darimu. Tuhan telah mengaruniakan kepada setiap orang bakat dan karunia yang berbeda. Ada yang berbakat dalam dua atau tiga bidang, ada yang berbakat dalam satu bidang, dan ada yang sama sekali tidak berbakat—jika engkau semua dapat memperlakukan hal-hal ini dengan benar, berarti engkau orang yang bernalar. Orang yang bernalar akan mampu menemukan tempat mereka dan melaksanakan tugas mereka dengan baik. Seseorang yang tak pernah dapat menemukan tempatnya adalah orang yang selalu memiliki ambisi. Dia selalu mengejar status dan keuntungan. Dia tak pernah puas dengan apa yang dia miliki. Untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan, dia berusaha mengambil sebanyak mungkin; dia selalu berharap untuk memuaskan keinginannya yang berlebihan. Dia berpikir jika dia berbakat dan berkualitasnya baik, dia seharusnya lebih menikmati kasih karunia Tuhan, dan memiliki keinginan yang berlebihan bukanlah suatu kesalahan. Apakah orang seperti ini memiliki nalar? Bukankah tak tahu malu jika selalu memiliki keinginan yang berlebihan? Orang yang berhati nurani dan berakal sehat dapat merasakan bahwa itu tak tahu malu. Orang yang memahami kebenaran tidak akan melakukan hal-hal bodoh ini. Jika engkau berharap mampu melaksanakan tugasmu dengan setia untuk membalas kasih Tuhan, maka harapanmu ini bukanlah keinginan yang berlebihan. Ini sesuai dengan hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal. Ini membuat Tuhan senang. Jika engkau benar-benar ingin melaksanakan tugasmu dengan baik, pertama-tama engkau harus menempatkan dirimu pada posisi yang tepat, dan kemudian melakukan apa yang dapat kaulakukan dengan segenap hatimu, dengan segenap pikiranmu, dengan segenap kekuatanmu, melakukannya sebaik mungkin. Ini artinya memuaskan, dan pelaksanaan tugas semacam itu memiliki tingkat kemurnian. Inilah yang harus dilakukan oleh makhluk ciptaan yang sejati" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Prinsip-Prinsip yang Seharusnya Menuntun Perilaku Orang"). Firman Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa aku merasa sedih akhir-akhir ini karena hasrat liarku belum terpuaskan. Orang lain tak mengagumi atau menghargaiku, aku juga tak bisa mengubah keadaanku, jadi aku salah paham dan menyalahkan Tuhan, merasa yang Dia berikan kepadaku tak cukup baik. Tugasku telah berubah dua kali karena pekerjaan berkurang, dan mungkin aku akan dipindahkan untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari sebulan setelah kembali. Dalam situasi ini, aku merasa akulah yang terburuk di tim, yang tak dibutuhkan, dan keberadaanku tak ada nilainya. Aku tak bisa menerima kenyataan ini, dan aku sengsara. Dalam diskusi kerja, aku tak ingin terlihat terlalu payah, jadi aku memutar otak dan mencoba memberikan pendapat yang berarti dan brilian, tapi saranku ditolak dan aku merasa sangat malu. Melihat keterampilanku jauh tertinggal dari yang lain membuatku merasa kesal dan jengkel. Kupikir aku tak terlalu terampil dalam hal apa pun karena tugasku terus berubah, dan ke mana pun aku pergi, aku selalu menjadi yang terbawah dan bisa dipindahkan kapan saja. Aku diam-diam membandingkan diriku dengan yang lain. Aku merasa mereka semua punya kekuatan dan unggul dalam bidang tertentu, dan dalam segala hal, aku berada di bawah standar Dan punya kekurangan yang fatal—lambat dalam segalanya. Aku tidak bisa menghadapi kenyataan itu, lalu menyalahkan Tuhan karena tak memberiku kualitas yang baik. Aku merasa tertekan dan bersalah, tak bersemangat dalam tugasku. Namun sebenarnya, Tuhan memberi setiap orang karunia, kekuatan, dan kualitas yang berbeda. Kita ditetapkan untuk melakukan tugas yang berbeda-beda—semuanya telah diatur oleh Tuhan. Orang yang bernalar punya hati yang tunduk. Mereka mengambil posisi yang sesuai dengan kekuatan mereka, dan memanfaatkan diri dengan baik. Namun, aku tak tunduk sama sekali—aku tak rela dinomorduakan. Aku mengejar tempat di hati manusia, juga rasa hormat dan kekaguman mereka, lalu melembek saat tak mendapatkannya. Aku tak punya nalar. Tuhan tak memberiku kualitas yang hebat, tapi Dia juga tak menuntut banyak dariku. Dia hanya ingin aku menemukan posisi yang tepat, dan mengerahkan seluruh kemampuanku untuk tugasku. Aku merasa cukup hanya dengan melakukan apa yang bisa kulakukan. Namun, aku sangat congkak dan tak punya nalar. Aku tak pandai dalam hal apa pun, dan tak ingin menghadapi kenyataan. Aku memendam ambisi liar untuk menjadi sukses dalam semalam dan dikagumi orang-orang. Akibatnya, aku menggunakan banyak energi, tapi tak pernah mencapainya dan merasa negatif. Aku menyiksa diriku sendiri.

Kemudian, aku bertanya-tanya: Kenapa aku selalu iri pada karunia dan kekuatan orang lain? Kenapa aku selalu berusaha mendapatkan tempat di hati orang dan tak ingin tertinggal? Apa akar penyebab dari semua ini? Dalam pencarianku, aku menemukan ini dalam firman Tuhan: "Bagi antikristus, reputasi dan status adalah hidup dan tujuan mereka di sepanjang hidup. Dalam segala hal yang mereka lakukan, pertimbangan pertama mereka adalah: 'Apa yang akan terjadi dengan statusku? Dan apa yang akan terjadi dengan reputasiku? Apakah melakukan hal ini akan memberiku reputasi yang baik? Apakah melakukan hal ini akan meningkatkan statusku di benak orang?' Itulah hal pertama yang mereka pikirkan, yang merupakan bukti yang cukup bahwa mereka memiliki watak dan esensi antikristus; mereka tak akan mempertimbangkan masalah ini dengan cara lain. Dapat dikatakan bahwa bagi antikristus, reputasi dan status bukanlah tuntutan tambahan, apalagi sesuatu yang tidak diperlukan oleh mereka. Reputasi dan status adalah bagian dari natur para antikristus, kedua hal tersebut ada dalam naluri mereka, tertanam dalam karakter mereka, reputasi dan status adalah hakikat mereka. Para antikristus tidak acuh tak acuh apakah mereka memiliki reputasi dan status atau tidak; ini bukanlah sikap mereka. Lantas, apa sikap mereka terhadap kedua hal ini? Reputasi dan status berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari mereka, dengan keadaan sehari-hari mereka, dengan apa yang mereka perjuangkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian bagi antikristus, reputasi dan status adalah hidup mereka. Bagaimanapun cara mereka hidup, di lingkungan mana pun mereka tinggal, pekerjaan apa pun yang mereka lakukan, apa pun yang mereka perjuangkan, apa pun tujuan mereka, apa pun arah hidup mereka, semua itu berkisar tentang bagaimana memiliki reputasi yang baik dan status yang tinggi. Dan tujuan ini tidak berubah; mereka tak pernah mampu melepaskan hal-hal semacam ini. Inilah wajah para antikristus yang sebenarnya dan esensi mereka. ... Jika mereka merasa bahwa mereka tidak memiliki reputasi atau status, bahwa tak seorang pun mengagumi mereka, atau memuja mereka, atau mengikuti mereka, mereka merasa sangat frustrasi, mereka yakin tidak ada gunanya percaya kepada Tuhan, itu tidak bernilai, dan mereka berkata dalam hati, 'Apakah kepercayaan kepada Tuhan seperti itu adalah sebuah kegagalan? Apakah itu sia-sia?' Mereka sering kali memikirkan hal-hal semacam itu di dalam hatinya, mereka memikirkan bagaimana mereka dapat memiliki kedudukan di rumah Tuhan, bagaimana mereka dapat memiliki reputasi yang tinggi di gereja sehingga orang-orang mendengarkan ketika mereka berbicara, dan mendukung mereka ketika mereka bertindak, dan mengikuti mereka ke mana pun mereka pergi; agar mereka memiliki hak bicara di gereja, dan memiliki gengsi, keuntungan, dan status—mereka sangat berfokus pada hal-hal semacam itu di dalam hati mereka. Semua ini adalah hal-hal yang dikejar oleh orang-orang semacam itu" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Sembilan (Bagian Tiga)). Tuhan menyingkapkan bahwa antikristus sangat menghargai martabat dan status. Dalam segala hal, mereka selalu memikirkan tempat mereka di antara orang-orang. Mereka menjadikan martabat dan status sebagai hidup dan tujuan pengejaran mereka. Jika tak punya martabat atau tak dikagumi orang, mereka merasa tertekan, sampai kehilangan minat dalam segala hal. Bukankah aku bertindak seperti itu? Saat bolak-balik dipindahka, aku merasa aku dapat dibuang dan tak berarti, tak punya status apa pun dan tak penting, jadi aku merasa sangat kesal. Saat mendiskusikan masalah, aku tak punya ide berharga untuk dikontribusikan, dan tak seorang pun menerima pandangan yang kuungkapkan. Aku merasa akulah yang terburuk dalam tim, tak ada yang menghormatiku, dan hidupku tampak tak berarti. Aku menjadi lemah, negatif, salah paham, serta menyalahkan Tuhan. Aku menjadikan martabat dan status sebagai hidupku, lalu melembek dan tak punya motivasi saat tak mendapatkannya. Aku terlalu memedulikan semua itu. Aku merenungkan alasanku selalu mengejar hal-hal itu. Itu karena aku tepengaruh oleh racun iblis seperti: "Capailah puncak", "Manusia mati meninggalkan nama", dan "Orang harus selalu berusaha menjadi lebih baik dari rekan seangkatannya." Kupikir itu tujuan paling masuk akal dalam hidup, dan mengejar hal-hal itu berarti punya cita-cita. Aku belajar sangat keras di sekolah. Aku menjadi juara kelas pada hampir semua ujian saat SMP dan SMA. Aku sangat populer dan sering dipuji oleh teman-teman sekelas dan guruku. Aku merasa hanya kehidupan seperti itulah yang layak dijalani. Setelah bergabung dengan gereja dan menjalankan tugas, aku tetap hidup berpedoman kepada racun iblis itu, dan sangat peduli tentang tempatku di hati orang lain, selalu berusaha memamerkan kemampuanku dan membuat orang mengagumiku. Meskipun aku bukan pemimpin tim atau pengawas, aku harus menjadi orang penting, yang diakui orang lain. Jika tak mendapatkan itu dan ambisiku tak terpuaskan, aku mengeluh dan merasa tak puas dengan pengaturan Tuhan yang berdaulat. Aku tak berani mengatakan apa pun, tapi menentang Tuhan dalam hati, serta mengendur dalam tugasku. Aku hanya mendatangkan kesengsaraan dan siksaan bagi diriku karena hidup berpedoman pada racun iblis itu, juga berlawanan dengan Tuhan, berunding, dan tawar-menawar dengan-Nya, bahkan meragukan keadilan-Nya dan menentang-Nya. Jika terus begini, aku akan menyinggung watak Tuhan dan disingkirkan oleh-Nya. Aku teringat pada firman Tuhan: "Orang tidak boleh berambisi atau memiliki impian yang tidak realistis, mencari ketenaran, keuntungan, dan status atau ingin terlihat paling menonjol. Terlebih lagi, mereka tidak boleh berusaha menjadi orang yang hebat atau manusia super, unggul di antara manusia dan membuat orang lain memuja mereka. Itu adalah keinginan manusia yang rusak, dan ini adalah jalan Iblis; Tuhan tidak menyelamatkan orang-orang semacam itu. Jika orang-orang tak henti-hentinya mengejar ketenaran, keuntungan, dan status dan tidak mau bertobat, maka tidak ada harapan bagi mereka, dan hanya satu kesudahannya: mereka akan diusir" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Penyelesaian Tugas yang Benar Membutuhkan Kerja Sama yang Harmonis"). Sebelumnya, aku tak pernah menyadari seberapa serius konsekuensinya. Kupikir aku tak akan melakukan kejahatan besar seperti antikristus atau mengganggu pekerjaan gereja. Paling-paling, aku hanya merasa negatif dan kesal saat tak dikagumi orang lain. Namun, aku sadar itu sangat keliru. Dari luar, aku tampak tak melakukan hal buruk apa pun, tapi aku tak puas dengan situasi yang Tuhan tetapkan, dan selalu mengeluh. Aku melawan Tuhan dalam hati. Aku sedang menentang Tuhan! Bagaimana mungkin Tuhan menyelamatkan orang sepertiku? Aku teringat pada seorang saudari yang pernah bekerja denganku. Awalnya dia antusias dalam tugasnya, lalu terpilih sebagai pemimpin, tapi kemudian dipecat serta kehilangan martabat dan statusnya. Dia selalu negatif karena tak bisa dikagumi orang, lalu akhirnya dia mengkhianati Tuhan dan pergi. Jika orang selalu mengejar martabat dan status, saat ambisinya tak terpuaskan, mereka menjadi negatif, salah paham, dan menyalahkan Tuhan. Mereka bergumul dengan Tuhan, bahkan mengkhianati Dia. Pada titik ini, aku sadar bahwa keadaanku berbahaya. Aku tak ingin terus menentang Tuhan, aku ingin melepaskan diri dari kekangan martabat dan status.

Dalam saat teduhku, aku membaca beberapa kutipan firman Tuhan. "Ketika Tuhan menuntut agar orang-orang melaksanakan tugas mereka dengan baik, Dia tidak meminta mereka untuk menyelesaikan sejumlah tugas atau melakukan upaya besar apa pun, atau melakukan hal-hal besar apa pun. Yang Tuhan inginkan adalah agar orang melakukannya semampu mereka dengan praktis dan realistis, dan hidup sesuai dengan firman-Nya. Tuhan tidak menginginkanmu menjadi orang yang hebat atau mulia, atau melakukan mukjizat apa pun, dan Dia juga tidak ingin melihat kejutan yang menyenangkan dalam dirimu. Dia tidak membutuhkan hal-hal seperti itu. Yang Tuhan butuhkan adalah agar engkau dengan teguh melakukan penerapan sesuai dengan firman-Nya. Ketika engkau mendengarkan firman Tuhan, lakukanlah apa yang telah kaupahami, laksanakanlah apa yang telah kaupahami, ingatlah baik-baik apa yang telah kaudengar, dan kemudian, ketika tiba waktunya untuk menerapkannya, terapkanlah sesuai dengan firman Tuhan. Biarkan semua itu menjadi hidupmu, menjadi kenyataanmu, dan menjadi apa yang kaujalani. Dengan demikian, Tuhan akan dipuaskan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Penyelesaian Tugas yang Benar Membutuhkan Kerja Sama yang Harmonis"). "Jika Tuhan menciptakanmu bodoh, maka ada makna dalam kebodohanmu; jika Dia menciptakanmu cerdas, maka ada makna dalam kecerdasanmu. Bakat apa pun yang Tuhan berikan kepadamu, apa pun kelebihanmu, setinggi apa pun IQ-mu, semuanya memiliki tujuan bagi Tuhan. Semua hal ini sudah Tuhan tentukan sejak semula. Peran yang kaumainkan dalam hidupmu dan tugas yang harus kaupenuhi, telah sejak lama ditentukan oleh Tuhan. Ada orang yang melihat bahwa orang lain memiliki kelebihan yang tidak mereka miliki dan merasa tidak puas. Mereka ingin mengubah segala sesuatunya dengan belajar lebih banyak, melihat lebih banyak, dan menjadi lebih rajin. Namun, ada batas yang mampu dicapai oleh ketekunan mereka, dan mereka tak dapat melampaui orang-orang yang memiliki bakat dan keahlian. Sebanyak apa pun engkau berjuang, itu tidak ada gunanya. Tuhan telah menentukan akan menjadi apa dirimu, dan tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun untuk mengubahnya. Apa pun yang kaukuasai, di situlah engkau harus berupaya. Tugas apa pun yang sesuai untukmu, engkau harus melaksanakannya. Jangan coba memaksakan dirimu terjun di bidang yang berada di luar keahlianmu dan jangan iri kepada orang lain. Setiap orang memiliki fungsinya masing-masing. Jangan menganggap dirimu mampu melakukan semuanya dengan baik, atau menganggap dirimu lebih sempurna atau lebih baik daripada yang lain, selalu ingin menggantikan orang lain dan memamerkan dirimu. Ini adalah watak yang rusak. Ada orang-orang yang berpikir bahwa mereka tidak dapat melakukan apa pun dengan baik, dan mereka tidak memiliki keterampilan sama sekali. Jika engkau menganggap dirimu seperti itu, engkau harus menjadi orang yang mendengarkan dan taat dengan sikap yang rendah hati. Lakukan apa yang bisa kaulakukan dan lakukanlah itu dengan baik, dengan segenap kekuatanmu. Itu sudah cukup. Tuhan akan dipuaskan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Prinsip-Prinsip yang Seharusnya Menuntun Perilaku Orang"). Dari firman Tuhan aku menyadari bahwa Dia tak berkehendak agar kita menjadi orang hebat. Dia berharap kita rendah hati dan bertindak sesuai tempat kita, melakukan tugas kita, fokus menerapkan firman-Nya, dan menjadi makhluk ciptaan yang taat. Apa pun kualitas atau kemampuan profesional yang kita miliki, itu karena pengaturan Tuhan yang berdaulat. Aku harus belajar menerima dan tunduk, memanfaatkan karunia Tuhan untukku dengan baik sesuai kekuatanku, serta melakukan yang terbaik. Keterampilanku tak sebaik yang lain, tapi bukannya aku tak mampu melakukan pekerjaan itu. Karena gereja telah mengaturku untuk melaksanakan tugas itu, aku harus dengan teguh mencurahkan segenap kemampuanku dan berusaha sekeras mungkin. Saat mendiskusikan pekerjaan, aku hanya perlu membicarakan hal-hal yang kupahami. Jika pikiranku buntu atau tak mengetahui prinsip, aku harus mencari dan bersekutu dengan yang lain, mendengarkan gagasan mereka, dan belajar dari kelebihan mereka untuk menutupi kelemahanku. Memikirkan ini, hatiku tercerahkan, aku juga punya jalan dan arah untuk membuat penerapan. Dulu, kupikir dipindahkan adalah hal yang memalukan. Saat itu terjadi, aku merasa itu membuktikan bahwa akulah yang terburuk, jadi aku tak bisa menghadapinya dengan sepatutnya. Sekarang saat dipikirkan, masalahnya ada pada perspektifku. Tuhan memberi setiap orang karunia, kekuatan, dan kualitas yang berbeda-beda. Setiap orang diberi tuntutan yang berbeda-beda. Memang benar, keterampilanku tak terlalu bagus, jadi saat tim sedang tak punya banyak pekerjaan, gereja menyesuaikan tugasku sesuai dengan kekuatanku. Itu sejalan dengan prinsip dan bermanfaat bagi pekerjaan gereja. Selain itu, Tuhan mengukur seseorang, bukan hanya berdasarkan pada apakah dia bisa bekerja dengan baik, tapi apakah dia mengejar kebenaran, benar-benar tunduk kepada-Nya, dan berbakti dalam tugasnya. Pikiran ini mencerahkan hatiku, dan aku tak lagi merasa terkekang oleh perubahan-perubahan pada tugasku. Aku juga tahu persis apa yang harus kukejar. Aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, terima kasih telah mencerahkanku dan membantuku memahami kehendak-Mu. Aku tak tahu kapan akan dipindahkan, tapi aku siap tunduk pada pengaturan-Mu. Di mana pun aku melaksanakan tugasku, aku hanya ingin memberikan segalanya dan memuaskan-Mu. Tolong bimbinglah aku!"

Setelah mengubah pandanganku, keadaan tugasku juga berubah. Aku selalu berpikir bahwa aku tak seperti yang lain, aku hanya anggota tim sementara yang bisa pergi kapan pun. Aku merasa akulah yang terbawah dan aku tak punya rasa memiliki. Aku salah paham dan merasa jauh dari Tuhan, serta tak mencurahkan segalanya demi tugasku. Namun, aku tak merasa seperti itu lagi. Di mana pun aku melakukan tugas atau untuk berapa lama, ada kehendak baik Tuhan di baliknya, jadi aku harus belajar untuk tunduk. Meskipun nanti aku harus pergi, saat ini tugasku adalah membuat video, dan aku harus melakukan yang terbaik setiap hari, serta mencurahkan hati pada tugasku dan pada setiap situasi yang kualami. Saat melakukan tugas, aku sering berdoa kepada Tuhan, meminta Dia membimbingku agar bisa lebih efisien. Aku juga memikirkan masalah yang ada dalam pekerjaanku, agar bisa meringkas dan memperbaikinya dengan cepat. Saat menemukan prinsip yang tak kumengerti, aku bersekutu dengan yang lain. Aku merasa nyaman melakukan tugasku dengan cara ini, juga merasa lebih dekat dengan Tuhan.

Dalam sebuah pertemuan, aku membaca sebuah bagian dari firman Tuhan yang sangat menyentuhku. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Apa yang harus orang lakukan sebagai tanggapan atas pengaturan dan kedaulatan Tuhan atas nasib mereka? (Tunduk pada pengaturan dan penataan Tuhan.) Engkau harus terlebih dahulu berusaha memahami mengapa Sang Pencipta telah mengatur nasib dan lingkungan hidup semacam ini untukmu, mengapa Dia membuatmu menghadapi dan mengalami hal-hal tertentu, dan mengapa nasibmu seperti itu. Dari sini, engkau seharusnya memahami apa yang hatimu dambakan dan butuhkan, dan memahami kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Setelah engkau memahami dan mengetahui hal-hal ini, engkau tidak boleh menentang, membuat pilihanmu sendiri, menolak, menyanggah, atau menghindari nasibmu. Tentu saja, engkau juga tidak boleh berusaha tawar-menawar dengan Tuhan. Sebaliknya, engkau harus tunduk. Mengapa engkau harus tunduk? Karena engkau adalah makhluk ciptaan, engkau tidak dapat mengatur nasibmu dan engkau tidak berdaulat atas nasibmu. Nasibmu ditentukan oleh Tuhan. Berkenaan dengan nasibmu, engkau pasif dan tak punya pilihan. Satu-satunya hal yang harus kaulakukan adalah tunduk. Engkau tidak boleh membuat pilihanmu sendiri tentang nasibmu atau menghindarinya, engkau tidak boleh tawar-menawar dengan Tuhan, dan engkau tidak boleh menentang nasibmu atau mengeluh. Tentu saja yang terutama, engkau tidak boleh mengatakan sesuatu seperti, 'Nasib yang telah Tuhan atur bagiku sungguh buruk. Nasibku menyedihkan dan lebih buruk daripada nasib orang lain,' atau 'Nasibku buruk dan aku tidak bisa menikmati kebahagiaan atau kemakmuran apa pun. Tuhan telah mengatur hal-hal buruk bagiku.' Perkataan ini adalah kritikan dan dengan mengucapkannya, engkau sedang bersikap lancang. Itu bukanlah perkataan yang boleh diucapkan oleh makhluk ciptaan dan bukan sudut pandang atau sikap yang seharusnya dimiliki oleh makhluk ciptaan. Sebaliknya, engkau harus melepaskan berbagai pemahaman, definisi, pandangan, dan pemahamanmu yang salah tentang nasib. Pada saat yang sama, engkau harus mampu memiliki sikap dan pendirian yang benar untuk tunduk pada semua hal yang akan terjadi dengan menganggapnya bagian dari nasib yang telah Tuhan atur untukmu. Engkau tidak boleh menentang, dan tentu saja engkau tidak boleh sedih dan mengeluh bahwa Surga tidak adil, bahwa Tuhan telah mengatur hal-hal yang buruk bagimu, dan tidak memberimu hal-hal yang terbaik. Makhluk ciptaan tak punya hak untuk memilih nasib mereka. Tuhan tidak memberimu kewajiban semacam ini dan Dia tidak memberikan hak ini kepadamu. Jadi, engkau tidak boleh berusaha membuat pilihan, bernalar dengan Tuhan, atau mengajukan tuntutan tambahan terhadap-Nya. Engkau harus menyesuaikan diri dan menghadapi pengaturan Tuhan, apa pun itu. Engkau harus menghadapi dan berusaha mengalami dan menghargai apa pun yang telah Tuhan atur. Engkau harus tunduk sepenuhnya pada semua yang harus kaualami melalui pengaturan Tuhan. Engkau harus tunduk dengan nasib yang telah Tuhan atur untukmu. Meskipun engkau tidak menyukai sesuatu, atau jika engkau menderita karena hal itu, meskipun itu mengancam dan menekan harga diri dan martabatmu, asalkan itu adalah sesuatu yang harus kaualami, sesuatu yang Tuhan telah atur dan tata untukmu, engkau harus tunduk akan hal itu dan engkau tak punya pilihan tentangnya. Karena Tuhan mengatur nasib manusia dan berdaulat atas diri mereka, nasib mereka tidak dapat dinegosiasikan dengan-Nya. Jadi, jika orang berakal sehat dan memiliki nalar kemanusiaan yang normal, mereka tidak boleh mengeluh bahwa nasib mereka buruk ataupun hal ini atau hal itu tidak baik bagi mereka. Mereka tidak boleh memperlakukan tugas mereka, hidup mereka, jalan yang mereka tempuh dalam iman mereka, keadaan yang telah Tuhan atur, atau tuntutan-Nya terhadap mereka dengan sikap yang depresi hanya karena mereka merasa nasib mereka buruk" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (2)"). Merenungkan firman Tuhan membantuku melihat dengan lebih jelas cara menghadapi pengaturan Tuhan yang berdaulat. Semua nasib kita ada di tangan Tuhan. Di keluarga seperti apa seseorang dilahirkan, pendidikan apa yang dia tempuh, karunia dan kekuatannya, kapan dia datang ke gereja dan mengemban tugas, serta tugas apa yang dia laksanakan, semuanya diatur oleh Tuhan, dan kehendak baik Tuhan ada di baliknya. Sebelumnya, aku tak pernah mengerti alasan aku selalu dipindahkan, tapi setelah memikirkannya baik-baik, aku sadar itulah yang kubutuhkan. Tanpa pengalaman-pengalaman ini, aku tak akan melihat betapa buruknya hasratku akan martabat dan status. Aku masih berpikir bahwa aku telah berubah sedikit, dan tak menyadari betapa berurat-berakarnya falsafah Iblis dalam diriku, juga bahwa itu telah membuatku kehilangan nalar kemanusiaan yang normal dan melawan Tuhan, serta tak akan sadar bahwa aku akan disingkirkan jika terus mengejar itu. Dengan mengalami hal ini, aku menyadari pandangan keliruku tentang mengejar martabat dan status, aku juga paham bahwa itu bukanlah jalan yang benar, itu adalah cara Iblis untuk merusak dan mencelakakan manusia. Aku juga belajar bahwa aku harus menyikapi kualitasku dengan benar, menerima pengaturan Tuhan dan tunduk padanya, bisa berdiri di tempatku, dan menjadi makhluk ciptaan yang bernalar. Tidak masalah jika aku dipindahkan di masa depan, tak soal tugas apa pun yang kulakukan, aku harus tunduk pada pengaturan Tuhan yang berdaulat, mencari kehendak-Nya, beradaptasi, menghadapinya, dan membenamkan diri dalam setiap situasi yang Dia atur untukku, serta berusaha memetik pelajaran dan belajar tentang diriku melaluinya.

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Keputusan yang Tak Terubahkan

Oleh Saudari Bai Yang, TiongkokSaat aku berusia 15 tahun, ayahku mendadak sakit dan meninggal dunia. Ibuku tak mampu menerima pukulan ini...