Rasa Menjadi Orang Jujur
Suatu hari dalam pertemuan di akhir Maret, seorang pemimpin berbicara tentang seorang saudara yang telah ditahan dan disiksa secara brutal. Ketika sudah sangat lemah, dia mengadukan dua orang anggota gereja lain—dia mengkhianati Tuhan. Dia merasa sangat menyesal dan dengan membaca firman Tuhan tentang penghakiman dan penyingkapan, dia menyadari akar kesalahannya dan sungguh-sungguh bertobat. Pemimpin bertanya kepada kami apa pendapat kami akan pengalaman itu dan apa itu dianggap sebagai kesaksian sejati. Dia juga meminta kami membagikan pikiran kami. Ini membuatku sangat gugup dan aku mulai berspekulasi: Mengapa dia ingin mendiskusikan ini? Apa itu untuk menguji apa kami melihat masalah itu dengan benar? Aku berpikir, "Saudara itu mengadukan yang lain hanya karena merasa lemah. Itu adalah pelanggaran. Namun, dia menyadari diri dan benar-benar bertobat, jadi pengalamannya harus dianggap sebagai kesaksian." Namun, kemudian aku ragu, berpikir, "Aku akan melihat apa pendapat yang lain terlebih dahulu agar aku tidak mengacau atau mengatakan sesuatu yang samar dan membuat diriku terlihat buruk." Yang lain mulai mengutarakan pikiran mereka. Pertama, seorang saudari mengatakan sesuatu yang mirip dengan yang kupikirkan, sehingga aku merasa benar. Namun setelah itu, saudari lain mengatakan bahwa saudara itu seperti Yudas, mengkhianati Tuhan, jadi itu bukan kesaksian yang bisa menjadi saksi bagi Tuhan. Kemudian beberapa orang yang lain berkata dengan percaya diri bahwa pengalaman ini tidak dianggap sebagai kesaksian. Melihat begitu banyak orang mengatakan yang sama dan mendukungnya membuatku ragu dan tak tahu harus berpikir apa. Baru kemudian, pemimpin berkata, "Jika kalian berpikir ini bukan kesaksian, angkat tangan kalian." Hanya sedikit orang yang mengangkat tangan, tetapi aku ragu, jadi aku tidak mengangkat tangan. Aku berpikir, "Aku tak boleh mengangkat tangan di saat yang salah. Bukankah itu menunjukkan bahwa aku tak punya kualitas dan pemahaman?" Saat aku memikirkan ini, pemimpin bertanya padaku, "Mengapa engkau tak mengangkat tangan?" Aku berpikir, "Oh tidak, mengapa dia bertanya kepadaku? Haruskah aku mengangkat tangan?" Aku langsung mengangkat tanganku ke udara. Jantungku mulai berdegup kencang—aku mulai merasa tidak nyaman. Apakah mengangkat tangan ini benar atau tidak? Dalam hati aku merasa bahwa itu bisa menjadi kesaksian, tetapi aku mengangkat tangan tanpa berpikir panjang. Kupikir aku sudah mengangkat tangan, jadi aku mulai mendengarkan pikiran yang lain. Mereka membagikan apa yang mereka pikirkan, jadi aku mulai mempertimbangkannya pelan-pelan. Saudara itu telah benar-benar bertobat, jadi kesaksiannya haruslah dianggap. Aku merasa mungkin seharusnya aku tak mengangkat tangan. Ketika itu aku ingin sekali membagikan apa yang aku pikirkan, tetapi kemudian aku berpikir aku tak punya pemahaman lengkap, jadi tidak apa-apa jika aku benar. Namun sebaliknya, apa yang akan pemimpin pikirkan tentang diriku? Apa dia akan berkata aku tak punya kualitas atau kedalaman dalam pengalamanku? Jika pemimpin melihat ini dalam diriku, dia akan berpikir aku tak pantas ikut pelatihan, dan aku tak akan punya masa depan di rumah Tuhan. Ditambah lagi, ada banyak saudara-saudari di sana, jadi pasti akan memalukan jika salah. Aku berulang kali maju-mundur ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya aku tetap diam.
Setelah itu, pemimpin mempersekutukan bahwa itu bisa dijadikan kesaksian, dan bahwa mengkhianati Tuhan di saat lemah, kemudian mengalami penghakiman dan hajaran, dan benar-benar bertobat adalah kesaksian yang hebat. Kesaksian itu memotivasi banyak orang dan menunjukkan bahwa Tuhan menganugerahkan belas kasih yang begitu besar kepada mereka yang memiliki iman sejati. Tuhan tahu betapa rusak diri kita, jadi selama kita benar-benar menyesal dan kembali kepada-Nya, Dia akan memberi kita kesempatan bertobat, dan kesaksian semacam itu memuliakan Tuhan dan paling mempermalukan Iblis. Kemudian pemimpin menjelaskan bahwa pemahaman kita tidak murni dan mengatakan bahwa kita licik dan tidak jujur, bahwa kita tidak mendasarkan pandangan kita pada firman Tuhan. Menyadari kita seharusnya membahas masalah itu, kita menduga ada yang salah dengan pengalaman saudara tadi. Kita coba menebak apa yang dipikirkan pemimpin dan sama sekali tidak berkata jujur. Dengan sabar, pemimpin bersekutu dengan kami bahwa kita harus memikirkan diri kita dan memiliki pandangan sendiri dalam segala hal serta harus berkata jujur, entah kita benar atau salah. Itulah inti dari perilaku kita. Mendengar kata "intinya" membuatku sangat tidak nyaman. Aku berpikir, "Dia benar. Membagikan pikiranku yang sebenarnya, meskipun aku salah, lebih baik dibanding mengikuti kebanyakan orang. Setidaknya itu akan jadi sudut pandangku sendiri dan aku telah bersikap jujur." Aku benci pada diriku karena tak mengatakan apa yang kupikirkan. Hanya dalam waktu sepuluh menit ketika seharusnya aku membagikan pendapatku, aku telah berlaku licik dan tidak menerapkan kebenaran, bahkan tidak memenuhi inti dasar perilaku manusia. Aku bukan hanya mengatakan dan melakukan hal yang salah, tetapi aku juga gagal berperilaku pantas.
Dalam saat teduhku setelah pertemuan, aku membaca ini dalam firman Tuhan: "Dalam iman mereka kepada Tuhan dan cara mereka berperilaku, orang harus mengambil jalan yang benar; jangan gunakan cara dan sarana yang bengkok dan jahat. Apakah arti cara dan sarana yang bengkok dan jahat? Cara dan sarana yang bengkok dan jahat adalah iman kepada Tuhan yang selalu didasarkan pada kecerdikan kecil, tipu muslihat, dan taktik licik; cara dan sarana yang bengkok dan jahat berusaha menyembunyikan kerusakanmu, dan menyembunyikan masalah seperti kekurangan, kesalahan, dan kualitasmu yang rendah. Cara dan sarana yang bengkok dan jahat selalu menangani segala sesuatu dengan menggunakan falsafah iblis, mencoba menjilat Tuhan dan para pemimpin gereja dalam hal-hal yang terbuka, tetapi tidak menerapkan kebenaran, tidak menangani segala sesuatu sesuai prinsip, dan selalu memperhatikan orang-orang dengan saksama untuk menyanjung dan mengesankan mereka; mereka bertanya, 'Bagaimana kinerjaku baru-baru ini? Apakah engkau semua mendukungku? Apakah Tuhan tahu tentang hal-hal baik yang telah kulakukan? Dan jika Dia tahu, akankah Dia memujiku? Di manakah posisiku di hati Tuhan? Apakah aku membawa beban apa pun bersama Tuhan?' Yang sebenarnya mereka tanyakan adalah apakah mereka dapat diberkati atau tidak dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan. Bukankah perenungan terus-menerus akan hal-hal semacam itu adalah cara dan sarana yang bengkok dan jahat? Ini bukanlah jalan yang benar. Jadi, apakah arti jalan yang benar? Jalan yang benar adalah ketika orang mengejar kebenaran dalam iman mereka, saat mereka dapat memperoleh kebenaran, dan mencapai perubahan dalam watak mereka" ("Enam Indikator Kemajuan dalam Kehidupan" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Di sini Tuhan mengingatkan dan memperingatkan kita untuk mengambil jalan yang benar dalam perilaku kita dan sebagai orang percaya. Kita harus mengejar dan menerapkan kebenaran. Jika kita tidak berusaha melakukan hal-hal positif ini, jika kita sibuk menutupi kekurangan kita sendiri, pamer, menyenangkan para pemimpin, mempunyai posisi di gereja, dan terlalu memikirkan apa yang Tuhan dan para pemimpin pikirkan tentang kita, ini berarti kita berjalan di jalan kejahatan. Aku sadar apa yang aku lakukan adalah apa yang Tuhan ungkapkan. Aku tidak yakin apakah pengalaman saudara itu adalah kesaksian sejati atau bukan, tetapi aku tidak bicara dari hati. Sebaliknya, aku mengamati sekitar, bermain dengan pikiran dan memperhitungkan apa yang mungkin dipikirkan orang lain. Ketika pemimpin bertanya mengapa aku tak mengangkat tangan, aku berpikir itu tindakan yang salah, dan ketika kebanyakan orang berpikir pengalaman saudara itu bukanlah kesaksian, aku langsung mengikutinya. Aku bersikap picik, melihat ke arah mana angin bertiup. Aku hanya menunjukkan watak licik Iblis. Aku bertanya-tanya mengapa sulit sekali membuat satu pernyataan benar. Itu karena aku takut mempermalukan diri sendiri dengan mengatakan yang salah, lalu pemimpin akan memandang aku rendah dan tak mau menghargai atau mendidikku, dan mungkin aku akan diberhentikan dari tugasku jika hal seperti itu terus terjadi. Aku hanya ingin melindungi gengsiku dan menjaga posisiku, untuk menutupi kualitas burukku dan berusaha keras untuk tampil terbaik. Aku ingin bersikap seperti orang dengan kualitas tinggi yang mengerti kebenaran dan memiliki wawasan yang baik akan berbagai hal. Aku selalu ingin punya jawaban yang benar untuk setiap pertanyaan yang sesuai dengan pemikiran pemimpin sehingga dia akan menganggapku lebih baik dan aku bisa memberi kesan yang baik. Lalu, saudara-saudari akan mengikutiku dan menghormatiku juga. Aku melihat kelicikan dan akal bulus dalam pendekatanku. Aku tak bisa berterus terang bahkan tentang sesuatu yang sederhana. Aku hampir tak bisa mengucapkan satu pun kata yangjujur dan tulus. Aku selalu dengan licik mengamati sekitar untuk menjaga posisiku di rumah Tuhan. Aku mengambil jalan kejahatan, bukan jalan yang benar. Aku menyadari semua ini, tetapi tidak melakukan introspeksi lebih dalam.
Tiga bulan kemudian, aku mendengarkan persekutuan ini dari Tuhan. Tuhan berkata: "Para antikristus berhubungan dengan Kristus dengan cara yang sama mereka memperlakukan orang, meniru perilaku Kristus dalam semua yang mereka katakan dan lakukan, mendengarkan nada suara-Nya, dan mendengarkan dengan saksama untuk mendapatkan makna dalam firman-Nya. Ketika mereka berbicara, tak sepatah kata pun yang nyata atau tulus; mereka hanya tahu mengucapkan perkataan dan doktrin yang kosong. Mereka mencoba menipu dan mengelabui orang ini yang, di mata mereka, hanyalah orang biasa. Mereka berbicara seperti ular yang merayap, jalannya berkelok-kelok dan tidak terus terang. Cara dan arah perkataan mereka seperti tanaman anggur yang sedang merambat naik di sebuah tiang. Ketika engkau mengatakan seseorang berkualitas baik dan dapat dipromosi, mereka segera berbicara tentang betapa baiknya orang ini, dan apa yang diwujudkan dan diungkapkan dalam dirinya; dan jika engkau mengatakan seseorang itu buruk, mereka dengan cepat berbicara tentang betapa buruk dan jahatnya dia, tentang bagaimana dia menyebabkan kekacauan dan gangguan di dalam gereja. Ketika engkau ingin mengetahui kebenaran tentang sesuatu, mereka tidak punya apa pun untuk dikatakan; mereka mengelak, menunggu untuk engkau membuat keputusan, mendengarkan dengan saksama makna dalam perkataanmu, berusaha mencari tahu niatmu. Semua yang mereka katakan adalah sanjungan, kecurangan, dan kepatuhan; tak sepatah kebenaran sedikit pun yang keluar dari mulut mereka" ("Untuk Pemimpin dan Pekerja, Memilih Jalan adalah yang Paling Penting (20)" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Firman Tuhan ini membedahku sangat cepat. Selama itu aku telah tidak jujur dan menyesuaikan sikapku dengan apa yang orang lain pikirkan. Meski aku tak punya kontak langsung dengan Kristus, aku tak mau menerima pengawasan Tuhan dalam lingkungan yang Dia tetapkan. Aku hanya ingin pamer dan membuat pemimpin menyukaiku, jadi aku mengukur kata-kataku dan mengatakan apa yang ingin dia dengar tanpa sedikit pun bersikap jujur. Semuanya hanya kebohongan. Cara bicara dan sikapku seperti ular dan itu menjijikkan bagi Tuhan. Kupikir dengan melakukannya seperti itu bisa menipu pemimpin, dan kupikir aku telah memberikan kesan baik dengan terlihat bagus saat menjawab pertanyaannya, lalu aku bisa mengamankan posisi dan masa depanku di rumah Tuhan. Aku benar-benar bodoh, dan bahkan sebenarnya, aku mencoba menipu Tuhan. Aku tidak benar-benar percaya bahwa Tuhan memperhatikan segalanya. Kualitasku, tingkat pertumbuhanku, pikiranku, sikapku, dan sudut pandangku dalam segala situasi—Dia melihat semua itu dengan sangat jelas. Bahkan jika aku bisa menipu orang-orang di sekitarku, aku tak akan bisa menipu Tuhan. Bahkan sebenarnya, Tuhan tidak melihat apa yang aku katakan atau lakukan di depan yang lain, tetapi bagaimana pendekatanku terhadap kebenaran. Dia melihat apa yang aku terapkan dan jalani setiap hari, dan bagaimana aku bersikap dalam tugasku. Tuhan khususnya mengamati setiap hal kecil seperti ini. Dia mengamati apakah aku mencintai dan menerapkan kebenaran, dan penampilan palsuku itu sama sekali tak bisa menipu-Nya. Akhirnya aku sadar bahwa aku tidak hanya licik, tetapi juga menyangkal kebenaran Tuhan dan fakta bahwa dia mengamati segala hal. Aku bersikap seperti orang tidak percaya. Sebelumnya, ketika mendengar analisis Tuhan tentang antikristus yang mencemooh Kristus dan menjilat-Nya, aku tak berpikir itu ada hubungannya denganku. Aku pribadi tak pernah bertemu Kristus, jadi kupikir aku tak akan menunjukkan watak Iblis seperti itu. Lalu, akhirnya aku sadar bahwa aku salah, bahwa kita tak perlu berhubungan dengan Kristus untuk mengungkap watak Iblis itu. Aku mencoba untuk menjilat dan membuat pemimpin terkesan, dan aku melakukan hal seperti itu untuk menjaga posisiku di rumah Tuhan. Aku telah menunjukkan watak Iblis yang seperti itu. Jika aku benar-benar berhadapan dengan Kristus, hal itu pasti akan semakin jelas. Aku takkan bisa menghentikan diriku dari berusaha menipu dan menentang Tuhan.
Selama beberapa hari, aku terus memikirkan tentang bagaimana meski kami memberi jawaban salah, pemimpin tidak memangkas dan menangani kami seperti yang kuduga, dan tidak mengatakan bahwa kualitas kami kurang, memberhentikan kami, atau menolak melatih kami. Dia hanya meminta kami membagikan pendapat agar dia bisa memahami kekurangan kami sebelum mempersekutukan kebenaran dan memberi kami bimbingan tentang prinsip. Dia juga mengungkap watak rusak kami dan meminta kami untuk merenungkan diri. Semua yang dia lakukan adalah untuk membantu dan mendukung kami. Tak perlu berspekulasi dalam rumah Tuhan dan dengan saudara-saudari. Itu membuatku teringat akan firman Tuhan: "Secara hakikat, Tuhan adalah setia, jadi firman-Nya selalu bisa dipercaya; tindakan-tindakan-Nya, terlebih lagi, tidak mengandung kesalahan dan tidak dapat disangkal, inilah sebabnya Tuhan menyukai mereka yang sepenuhnya jujur kepada-Nya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tiga Peringatan"). Perbuatan dan firman Tuhan-lah yang paling pantas kita percaya, dan Dia memperlakukan kita dengan ketulusan. Ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia memberi tahu buah mana yang bisa dan tak bisa dimakan di taman. Dia berbicara secara sederhana dan langsung—tanpa perlu menebak-nebak. Di Zaman Kasih Karunia, Tuhan Yesus selalu berkata "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu". Dan pada tahap pekerjaan Tuhan kali ini, kita bisa merasakan betapa jujur dan nyata firman Tuhan Yang Mahakuasa. Sebagian besarnya adalah firman yang menyentuh hati, hangat dan baik, dan meski bagian yang mengungkap watak rusak kita terkesan kasar, semua berdasarkan kenyataan dan ditujukan untuk memurnikan dan menyelamatkan kita. Tuhan itu tulus dan transparan kepada kita. Tak ada kepura-puraan sama sekali. Namun, aku menghitung-hitung dan membuat rencana dalam situasi itu tanpa sedikit pun kejujuran. Aku merasa diriku terlalu licik dan hina.
Lalu, aku teringat beberapa firman Tuhan. "Aku sangat menghargai orang-orang yang tidak menaruh curiga terhadap orang lain, dan Aku juga sangat menyukai mereka yang siap menerima kebenaran; terhadap kedua jenis manusia ini Aku menunjukkan perhatian yang besar, karena di mata-Ku mereka adalah orang-orang yang jujur. Jika engkau adalah orang yang curang, engkau akan selalu waspada dan curiga terhadap semua orang dan segala hal, dan dengan demikian imanmu kepada-Ku akan dibangun di atas dasar kecurigaan. Aku tidak pernah bisa membenarkan iman seperti ini" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Cara Mengenal Tuhan yang di Bumi"). Sebelumnya, aku tak pernah mengerti mengapa Tuhan berkata bahwa seseorang yang tidak curiga kepada orang lain dan siap menerima kebenaran adalah orang jujur di mata Tuhan. Namun kini, setelah merenungkan firman-Nya, aku mulai mengerti. Orang jujur tak menyimpan kecurigaan kepada Tuhan atau manusia; mereka lugu. Mereka tak mencoba mencari tahu dengan otak manusia mereka, melainkan dengan menghadap Tuhan untuk mencari kebenaran. Mereka menerima dan menerapkan apa yang bisa mereka pahami dan mereka melakukan apa yang Tuhan katakan. Mereka mendekati kebenaran dengan hati yang jujur, dan hati seperti itu sangat berharga. Inilah yang dimaksud dengan seperti anak-anak. Tuhan memberkati mereka, Roh Kudus bekerja dalam diri mereka dan membimbing serta menerangi mereka. Kemudian mereka bisa memahami dan mendapatkan kebenaran dengan lebih mudah. Namun, bahkan jika seseorang bisa mengatakan beberapa kebenaran dan melakukan tugas mereka, jika dalam diri mereka seperti labirin, selalu curiga dan waspada, dan bahkan curiga kepada Tuhan yang baik dan penyayang, maka mereka adalah tipe orang yang paling licik dan tidak jujur. Saat itu aku mulai mengerti mengapa Tuhan berkata orang-orang yang licik tak bisa diselamatkan. Sebagian karena Tuhan begitu tulus, dia membenci orang licik dan tidak menyelamatkan mereka. Sebagian lagi ada hubungannya dengan pengejaran subjektif kita. Orang yang licik sangatlah rumit. Mereka selalu menebak, menganalisis, dan waspada terhadap manusia, benda, dan Tuhan. Mereka juga sangat tahu cara membaca manusia. Pikiran mereka dikuasai oleh hal-hal ini dan mereka sama sekali tak mencari kebenaran. Roh Kudus tak bisa melakukan pekerjaan apa-apa dalam diri mereka. Karena itu mereka takkan pernah mengerti kebenaran. Seperti yang Tuhan katakan, "Tuhan tidak menyempurnakan orang yang curang. Jika hatimu tidak jujur, jika engkau bukan orang yang jujur, engkau tidak akan pernah didapatkan oleh Tuhan. Demikian pula, engkau juga tidak akan pernah mendapatkan kebenaran dan juga tidak akan mampu mendapatkan Tuhan" ("Enam Indikator Kemajuan dalam Kehidupan" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Jadi, di saat itu aku kembali merenungi diri. Menghadapi sebuah masalah, aku tidak menghadap Tuhan untuk mencari kebenaran dengan hati yang jujur, sebaliknya, justru terobsesi menimbang suara orang lain. Aku sering seperti itu bahkan dalam diskusi yang biasa dengan saudara-saudari. Terkadang aku tak memahami sesuatu secara utuh, tetapi aku justru mengikuti pemahaman yang dimiliki kebanyakan orang. Terkadang aku punya pendapat sendiri, tetapi aku takut mengatakan hal yang salah sehingga aku menahan diri dan terlebih dahulu mendengarkan pendapat orang lain dan hanya bicara jika aku tahu aku benar. Jika tidak, aku berpikir tidak perlu mengatakan apa pun agar aku tidak malu. Aku sadar betapa licik dan tidak jujurnya diriku. Aku hanya mengikuti yang lain ketika tidak memahami sesuatu serta memperhatikan dan mengikuti apa yang orang lain lakukan. Itu menghalangiku dari benar-benar memahami kebenaran. Namun, tak ada yang menakutkan dari kurangnya kualitas atau tak mengetahui kebenaran. Yang menakutkan adalah ketika orang selalu menutupi apa yang mereka tidak mengerti. Lalu, mereka tak akan bisa memahami kebenaran. Aku merasa berbahaya untuk terus seperti itu dan sangat penting untuk bersikap jujur.
Aku mulai mencari bagaimana menjadi jujur ketika menghadapi sesuatu di masa depan, dan prinsip apa yang harus kupegang. Aku membaca beberapa bagian firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Untuk bersikap jujur dengan Tuhan, engkau harus terlebih dahulu mengesampingkan keinginan pribadimu. Alih-alih berfokus pada bagaimana Tuhan memperlakukanmu, katakanlah apa yang ada di dalam hatimu, dan janganlah merenungkan atau mempertimbangkan apa akibat dari perkataanmu nantinya; katakanlah apa pun yang kaupikirkan, kesampingkan motivasimu, dan jangan mencoba dan menggunakan perkataan untuk mencapai suatu tujuan. 'Aku harus mengatakan ini, bukan itu, aku harus berhati-hati dengan apa yang kukatakan, aku harus mencapai tujuanku'—apakah ada motivasi pribadi yang terlibat di sini? Orang-orang ini telah memikirkan masak-masak dalam benak mereka sebelum mengucapkan perkataan, mereka telah memroses apa yang akan mereka katakan berkali-kali, dan menyaringnya berkali-kali di benak mereka. Setelah keluar dari mulut mereka, perkataan ini mengandung rencana curang Iblis; ini bukanlah cara bersikap jujur kepada Tuhan" ("Untuk Pemimpin dan Pekerja, Memilih Jalan adalah yang Paling Penting (20)" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). "Dalam segala hal, engkau harus terbuka kepada Tuhan dan engkau harus bersikap jujur—inilah satu-satunya kondisi dan keadaan yang harus dipertahankan di hadapan Tuhan. Bahkan saat engkau tidak terbuka, engkau terbuka di hadapan Tuhan. Tuhan mengetahui apakah engkau terbuka atau tidak. Bukankah engkau bodoh jika engkau tidak dapat menyadari hal itu? Jadi bagaimana engkau dapat bersikap bijak? Engkau tahu bahwa Tuhan memeriksa dan mengetahui segalanya, jadi jangan berpikir Dia mungkin tidak tahu; karena Tuhan sudah pasti secara diam-diam melihat pikiran orang, orang lebih baik bersikap bijak dengan menjadi sedikit lebih jujur, sedikit lebih murni, dan bersikap tulus—itulah hal yang cerdas untuk dilakukan. ... Ketika orang mulai memperhatikan cara bersikap, ketika hal itu melewati otak mereka, ketika mereka memikirkannya, ini menjadi masalah yang merepotkan. Dalam benaknya, mereka selalu berpikir, 'Apa yang dapat kukatakan untuk membuat Tuhan mengagumiku dan tidak mengetahui apa yang sedang kupikirkan di dalam hati? Apa hal yang benar untuk dikatakan? Aku harus lebih menyembunyikannya, aku harus sedikit lebih bijaksana, aku harus memiliki metode; mungkin barulah Tuhan akan mengagumiku.' Apakah menurutmu Tuhan tidak akan tahu jika engkau selalu berpikir seperti itu? Tuhan tahu apa pun yang kaupikirkan. Sangat melelahkan untuk berpikir seperti itu. Jauh lebih sederhana untuk berbicara dengan jujur dan sesungguhnya, dan itu membuat hidupmu lebih mudah. Tuhan akan berkata bahwa engkau tulus dan murni, bahwa engkau jujur—dan itu sangat berharga. Jika engkau memiliki hati yang jujur dan sikap yang tulus, bahkan jika ada saat-saat ketika engkau bertindak terlalu jauh dan bertindak bodoh, bagi Tuhan ini bukanlah pelanggaran; itu lebih baik daripada tipuan kecilmu, dan lebih baik daripada perenungan dan pemrosesanmu yang terus-menerus" ("Untuk Pemimpin dan Pekerja, Memilih Jalan adalah yang Paling Penting (9)" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Disebutkan dalam firman Tuhan bahwa hal terpenting dan paling mendasar dalam mendekati Tuhan dan situasi yang telah Dia atur adalah dengan membuka hati. Kita harus membuka hati lebar-lebar kepada Tuhan tanpa ditutupi atau disamarkan, tanpa mencoba mempelajari atau memproses segala hal. Kita tak boleh menyimpan motif dibalik kata-kata kita atau menggunakan taktik apa pun, melainkan hanya membagikan pikiran kita dengan semangat kejujuran. Kita harus mengakui bahwa kita tidak mengerti hal-hal yang tidak bisa kita pahami, lalu datang ke hadapan Tuhan untuk mencari kebenaran dengan hati lugu dan jujur. Itulah bersikap bijaksana. Tuhan melihat segalanya dan mengenal kita seperti punggung tangan-Nya sendiri. Kualitasku, seberapa besar kebenaran yang aku mengerti, kedalaman pengalamanku, dan apakah aku memahami sesuatu adalah hal-hal yang juga Tuhan ketahui. Aku sangat terbuka di hadapan Tuhan. Apa perlunya menutupi kesalahanku dan pura-pura memahami segalanya? Sebenarnya, selalu memperhitungkan, mengawasi orang lain dan menebak apa yang mereka pikirkan serta memikirkan apa yang harus kukatakan sungguh melelahkan secara mental maupun emosional, dan Tuhan membeci itu. Saat itulah akhirnya aku melihat betapa penting menjadi lugu dan jujur dari hati. Tuhan menghargai itu, dan itu juga merupakan cara hidup yang lebih bebas dan menenangkan. Aku juga menyadari bahwa Tuhan tidak memandang kualitas seseorang atau apakah pendapat mereka benar atau tidak. Dia melihat hati kita, sikap kita pada kebenaran, dan watak apa yang kita tunjukkan. Bahkan jika kita terkadang salah, jika kita terbuka dan jujur, Tuhan tak akan peduli jika kita bodoh atau kurang dalam kualitas, dan Dia tak akan mengutuk kita karena itu. Sebaliknya, selalu bersikap licik adalah hal yang menurut Tuhan menjijikkan dan membencikan. Di titik itu aku memutuskan akan menerapkan kebenaran dan menjadi orang jujur. Dengan bersikap terbuka kepada Tuhan di lingkungan yang Dia ciptakan, jujur dalam berurusan dengan orang lain, berbicara dari hati dan terbuka tentang apa yang aku mengerti, perlahan aku bisa menyelesaikan watak rusakku yang munafik dan licik.
Aku teringat suatu kali ketika kami mendekati pemimpin tentang lagu pujian gereja yang beberapa liriknya terasa hampa bagi kami. Dia tak mengatakan apa pun tentang lirik itu, tetapi dia berkata lagu pujian itu tak memiliki nilai dan tidak bagus. Kata "Ya" keluar begitu saja dari mulutku. Aku langsung sadar bahwa aku telah bersikap menipu lagi. Aku tak melihat masalah yang dia lihat. Aku hanya menjadi orang setuju, berpura-pura mengerti. Aku benci bagaimana kebohonganku muncul begitu aku membuka mulut dan aku tak ingin berpura-pura. Jika aku tak memahaminya, maka aku tak memahaminya. Aku teringat akan firman Tuhan: "Jujur berarti kudus dalam tindakan dan perkataanmu ...." (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tiga Peringatan"). Aku tahu harus memperbaiki kebohongan yang baru saja kukatakan, dan bersikap jujur. Jadi, aku berkata pada pemimpin, "Aku rasa ada masalah dengan dua barisnya. Aku tak menyadari bahwa lagu pujian ini tidak memiliki nilai." Dengan sabar dia bersekutu dengan kami tentang masalah dalam lagu pujian dan ini sedikit membuka mataku tentang lagu tersebut. Aku merasakan kedamaian. Sebenarnya, tidak perlu mengemas kata-kata, tindakan, atau pandangan kita, kita cukup menjadi orang jujur yang praktis dan realistis. Aku juga mulai menerapkan kejujuran ketika saudara-saudari di dalam timku mendiskusikan masalah. Entah benar atau salah, aku bagikan saja pendapatku yang sebenarnya. Aku jujur tentang apa pun yang tidak kupahami, dan jika aku salah, aku memperbaiki kesalahanku. Itu membuatku merasa sangat damai. Aku belum mendekati standar orang jujur sejati, tetapi aku telah merasakan pentingnya bersikap jujur dan aku tahu hanya itu satu-satunya jalan untuk diselamatkan Tuhan. Aku ingin sekali menjadi orang jujur dan aku ingin tetap berjuang untuk itu, mengejar hal itu. Syukur kepada Tuhan!
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.