Interogasi Rahasia di Sebuah Hotel

27 September 2024

Oleh Saudari Song Ping, Tiongkok

Suatu hari pada Februari 2013, aku dan seorang saudari membuat janji untuk pergi ke pertemuan. Sekitar pukul dua siang, ketika sedang menunggunya di dekat toko sepatu, aku melihat seorang pria memandangiku dari waktu ke waktu sambil berbicara di telepon, dan aku merasa ada yang tidak beres. Saat hendak pergi, aku mendengar "Jangan bergerak!" Aku melihat empat atau lima orang bergegas ke arahku, dan aku berpikir, "Oh tidak, itu polisi!" Aku berusaha melarikan diri, tetapi dua orang pria mengejarku, menjatuhkanku ke tanah, dan kemudian mendorongku ke dalam mobil, di mana aku melihat tiga saudari lainnya yang ditangkap bersamaku.

Polisi membawa kami ke kantor polisi dan memerintahkan kami untuk berdiri di dekat tembok halaman. Aku sangat gugup. Aku berdoa kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh dan memikirkan firman Tuhan: "Jangan takut, Tuhan Yang Mahakuasa atas alam semesta pasti akan menyertaimu; Dia berdiri di belakang engkau semua dan Dia adalah perisaimu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 26"). Benar, dengan Tuhan di sisiku, apa yang harus kutakuti? Aku harus mengandalkan Tuhan untuk mengalami lingkungan ini. Perlahan, aku berhasil menenangkan diri. Setelah itu, seorang polisi wanita memaksaku telanjang untuk digeledah, dan dengan sengaja membuatku jongkok dengan kaki terbuka. Aku merasa dipermalukan dan marah.

Malam berikutnya, polisi membawaku ke sebuah hotel berlantai enam. Mereka telah menyewa tiga lantai teratas hotel itu dan mengubahnya menjadi pusat interogasi rahasia untuk menahan dan menyiksa orang-orang yang percaya kepada Tuhan. Ketika sampai di lantai enam, aku melihat lebih dari 20 saudara-saudari berdiri berjajar, dan aku terkejut: Banyak sekali yang sudah tertangkap! Tampaknya Partai Komunis telah menangkap mereka semua pada saat bersamaan. Aku tidak tahu bagaimana polisi akan memperlakukan kami, jadi aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, meminta-Nya untuk melindungi kami agar kami dapat berdiri teguh. Polisi kemudian memisahkan kami untuk diinterogasi.

Pukul lima pagi pada hari ketiga, seorang polisi gemuk masuk dan berkata dengan nada marah, "Laki-laki yang tadi kuinterogasi adalah seorang pemimpin, dan dia seorang yang keras kepala. Interogasi tidak berakhir sampai pukul dua atau tiga." Dia dengan bangga memberi isyarat sambil melanjutkan, "Pertama, kutendang wajahnya dengan keras, dan kemudian kutendangnya di sisi lain wajahnya dengan keras, lalu kutampar wajahnya berulang kali dengan kedua tanganku." Dia menggoncang-goncangkan tangannya dan melanjutkan keluhan marahnya, "Aku memukulnya sangat keras sampai tanganku terluka, jadi aku mengambil setengah botol air mineral dan kupukul wajahnya sampai aku tak bisa lagi menggerakkan tanganku. Seluruh wajahnya berubah bentuk. Dia benar-benar tak bisa dikenali lagi." Aku ngeri mendengar apa yang dilakukan polisi itu. Jantungku berdebar kencang, dan aku merasa sangat marah, "Polisi-polisi ini sangat kejam, jika mereka memukuliku seperti mereka memukuli saudaraku, sanggupkah aku menanggungnya?" Aku tidak berani memikirkannya lebih jauh. Aku segera berdoa kepada Tuhan untuk meminta-Nya melindungi saudara yang dipukuli, dan juga melindungiku, sehingga kami memiliki keteguhan hati untuk mengalami lingkungan ini.

Pada pagi hari keempat, polisi membawaku ke kantor polisi. Seorang polisi bermarga Wu bertanya apa kedudukanku di gereja. Aku katakan bahwa aku orang percaya biasa. Dia berdiri tiba-tiba dan berkata, "Kurasa kau tidak akan mengatakan yang sebenarnya kalau tidak merasakan sedikit rasa sakit!" Dia memerintahkanku untuk meluruskan lenganku, berjongkok, berdiri, dan kemudian mengulangi gerakan itu. Setelah melakukan ini untuk waktu yang lama, aku sangat lelah hingga keringat membanjiri tubuhku, dan kakiku sakit. Aku jatuh ke tanah. Dia mencibir dan berkata, "Kau tahu? Sekuat apa pun orang, di sini, mereka harus tunduk kepadaku. Apakah kau seorang pemimpin? Siapa atasanmu?" Karena aku tidak mengatakan apa pun, dia memerintahkanku untuk berjongkok. Setelah baru berjongkok beberapa menit, kakiku mulai gemetar, bengkak, dan segera, aku pun terjatuh. Dia menyuruhku bangun lalu terus berjongkok, dan aku mengulanginya lebih dari 800 kali. Seorang polisi berkata dengan nada mengancam, "Lihat, keringatmu banyak sekali. Kau terlihat menyedihkan. Mengapa kau menderita seperti ini? Di mana Tuhanmu? Jika kauberi tahu kami apa yang kau ketahui, kau tak perlu menderita. Jika tidak, kau akan menderita lebih dari yang kau tahu." Mendengarkan kata-kata polisi, aku merasa jijik. Aku meliriknya dan berkata aku tidak tahu apa-apa. Mereka memborgol tanganku di belakang punggung pada bangku harimau. Setelah diborgol sebentar, dadaku terasa sesak dan sulit bernapas. Aku hampir tercekik. Aku meminta mereka untuk melepaskan borgol, dan setelah waktu yang lama, mereka akhirnya membukanya. Kemudian, seorang petugas polisi masuk dan berkata, "Cobalah untuk memahami situasimu. Semua orang lain sudah mengaku. Bodoh untuk kau duduk di sini dan bertahan sendiri, bukan? Katakan apa yang kau ketahui sekarang dan kami akan membiarkanmu pergi." Kemudian dia mengambil beberapa foto dan memintaku untuk mengidentifikasi orang-orang di dalamnya. Dia berkata, "Orang-orang ini semua sudah ditangkap, dan mereka bilang mereka mengenalmu. Apa kau kenal mereka? Apa pekerjaan mereka di gereja?" Kupikir, "Jika saudara-saudari benar-benar mengaku mengenalku, tetapi kukatakan aku tidak mengenal mereka, polisi pasti tidak akan melepaskanku. Namun, jika kukatakan aku mengenal mereka, aku akan mengkhianati saudara-saudariku. Itu akan membuatku menjadi Yudas yang mengkhianati Tuhan. Apa yang harus kulakukan?" Pada saat ini, aku ingat sebuah bagian firman Tuhan: "Setiap saat, umat-Ku harus berjaga-jaga terhadap rencana licik Iblis, menjaga gerbang rumah-Ku untuk-Ku ... untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap Iblis, di mana pada saat itulah penyesalan akan terlambat" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 3"). Aku menyadari ini salah satu muslihat Iblis. Polisi mungkin menggunakan metode ini untuk menipuku dan membuatku mengkhianati saudara-saudariku, dan mengkhianati Tuhan. Aku tidak boleh tertipu. Meskipun saudara-saudariku mengaku bahwa mereka mengenalku, aku tetap tak bisa mengkhianati mereka. Dengan pemikiran ini, aku berkata bahwa aku tidak mengenal mereka.

Petugas polisi bermarga Wu melihat bahwa aku tidak tertipu dan berkata dengan marah, "Aku ingin lihat seberapa keras kepalanya kau!" Kemudian dia memerintahkanku untuk bangun dan memborgol tanganku pada jeruji besi yang menutupi jendela lorong. Tubuhku menggantung di udara, pergelangan tanganku sakit tak tertahankan, dan sementara itu, polisi melihatku dan tertawa. Setelah beberapa saat, mereka menurunkanku dan menyuruhku untuk terus jongkok. Malam itu, polisi membawaku kembali ke hotel. Keesokan paginya, petugas polisi bermarga Wu berkata, "Mulai hari ini, aku akan memborgolmu ke jendela. Jika kau tidak mengatakan yang sebenarnya, kau bahkan tak akan bisa makan." Setelah itu, mereka memborgol salah satu tanganku pada jeruji besi. Dari waktu ke waktu, mereka datang untuk menanyakan detail gerejaku. Ketika salah satu polisi melihat bahwa aku tetap tidak bicara, dia menamparku keras-keras dengan map, dan dengan sengaja membuka pintu agar aku bisa mendengar suara saudari lain yang sedang disiksa. Mendengar jerit kesakitan mereka, aku merasa patah hati dan sangat marah.

Empat hari kemudian, seorang polisi bermarga Mu mengambil buku catatanku, menunjuk nomor-nomor di atasnya, dan bertanya apakah itu nomor ponsel saudara-saudariku. Ketika aku tidak menjawab, dia berteriak keras, "Meskipun kau tidak mengatakan apa pun, buku catatan ini cukup untuk menghukummu!" Dia mengambil foto, menunjuk orang di foto itu, dan bertanya apakah dia pemimpin gereja. Dia kemudian mengambil tiga foto rumah penyelenggara gereja, lalu memintaku mengidentifikasi rumah-rumah itu. Aku tahu semua rumah ini, tapi kukatakan aku tidak mengenalinya. Dia menambahkan, "Kami akan masukkan kau ke dalam mobil dan membawamu ke sana. Kau hanya perlu mengarahkan kami ke lokasi. Dan kami akan merahasiakannya untukmu, tidak ada yang akan tahu bahwa kau memberikan informasi itu." Melihatku tetap tidak mengatakan apa-apa, dia berkata kepada polisi di sebelahnya, "Telanjangi dia, gantung dia menghadap ke luar jendela, agar orang yang lewat dapat melihat. Lalu, ambil fotonya dan unggah di Internet, katakan dia adalah seorang Yudas, dan katakan dia memberi tahu kita segalanya." Setelah itu, dia datang untuk melucuti pakaianku. Aku sangat takut. Jika dia benar-benar melakukan ini dan memposting fotoku di Internet, kerabat dan temanku akan melihatnya. Bagaimana aku bisa hidup setelah itu? Aku memohon kepadanya untuk tidak melucuti pakaianku, tetapi dia mencibir dan berkata, "Apa? Kau takut?" Kemudian mereka semua tertawa terbahak-bahak. Melihat penampilan mereka yang berpuas diri, aku sadar bahwa ini adalah tipuan Iblis lainnya, jadi aku segera menenangkan diri dan berseru kepada Tuhan. Saat ini, aku teringat sebuah lagu pujian firman Tuhan berjudul "Engkau Harus Tinggalkan Semua demi Kebenaran": "Engkau harus menderita kesukaran demi kebenaran, engkau harus mengabdikan diri kepada kebenaran, engkau harus menanggung penghinaan demi kebenaran, dan untuk memperoleh lebih banyak kebenaran, engkau harus mengalami penderitaan yang lebih besar. Inilah yang harus engkau lakukan. Janganlah membuang kebenaran demi kehidupan keluarga yang damai, dan janganlah kehilangan martabat dan integritas hidupmu demi kesenangan sesaat" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Firman Tuhan memberiku keteguhan hati dan kekuatan. Aku percaya kepada Tuhan dan mengikuti jalan yang benar dalam hidup. Disiksa dan dipermalukan karena keyakinanku kepada Tuhan bukanlah hal yang memalukan. Aku dianiaya karena kebenaran, dan Tuhan memperkenankan hal ini. Jika aku menyerah kepada Iblis dan mengkhianati Tuhan demi melindungi reputasiku, itu akan menjadi hal paling memalukan yang bisa kulakukan, dan aku benar-benar akan kehilangan martabat manusiaku. Aku membenci diriku sendiri karena tidak berdaya dan memohon belas kasihan dari Iblis, dengan demikian mengubah diriku menjadi bahan tertawaan Iblis. Aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa bagaimanapun cara polisi jahat ini mempermalukanku, meskipun mereka benar-benar melucuti pakaianku, aku takkan pernah tunduk kepada mereka dan memohon belas kasihan, dan aku tak akan pernah menjadi seorang Yudas. Ketika polisi melihat bahwa aku tidak takut lagi, mereka sangat marah sehingga memborgol kedua tanganku pada jeruji besi. Seorang polisi wanita berteriak, "Bukankah kau akan menelanjanginya? Lepaskan saja semuanya, agar kau bisa melihat semuanya." Sekelompok polisi itu tertawa terbahak-bahak, seperti setan dari neraka. Pada saat itu, kakiku berada di udara, dan berat badanku tertumpu di pergelangan tanganku, yang terasa sakit seolah-olah akan patah. Aku berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan dalam hatiku, memohon kepada-Nya agar memberiku keteguhan hati dan kekuatan agar aku dapat menanggung siksaan polisi dan tidak berkompromi dengan Iblis. Setelah lebih dari setengah jam, polisi membiarkanku turun. Kakiku mati rasa dan kebas, lalu aku jatuh ke lantai begitu kakiku menyentuhnya. Seorang petugas polisi berkata dengan kejam, "Pikirkan tentang situasimu. Jika kau tetap tak mau berbicara, kami punya lebih banyak trik untuk berurusan denganmu." Setelah itu, mereka pergi.

Dua hari kemudian, seorang polisi gemuk masuk. Begitu masuk, dia berkata kepada dua polisi yang menjagaku, "Kalian tahu kenapa kalian tidak bisa menghancurkan wanita ini? Itu karena kalian terlalu lembek, dan tidak menggunakan teknik yang tepat. Hari ini, aku akan mengajari kalian beberapa trik, dan menunjukkan kepada kalian bagaimana caraku menyelesaikannya!" Dia memintaku untuk jongkok, dan kemudian setengah jongkok, dan kemudian mengulanginya sampai aku kehilangan semua kekuatanku dan jatuh. Dia kemudian berkata kepada dua petugas polisi agar masing-masing memegangi salah satu lenganku, mendorongku ke bawah dan mengangkatku, dan terus menyiksaku seperti ini berulang kali. Melihat ekspresi sengit mereka, aku tahu bahwa siksaan yang lebih berat akan datang berikutnya. Aku teringat penampilanku yang seperti budak ketika membungkuk kepada Iblis dan memohon belas kasihan dua hari sebelumnya karena ketakutanku dipermalukan, jadi kuputuskan bahwa hari ini, aku akan mengandalkan Tuhan dan menjadi kesaksian bagi-Nya di hadapan Iblis. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hatiku, "Tuhan, aku tidak tahu cara lain apa yang akan polisi gunakan untuk menyiksaku, tetapi aku ingin membuat kesaksian yang kuat dan bergema untuk-Mu, jadi kumohon kepada-Mu, berilah aku keteguhan hati dan kekuatan." Setelah beberapa saat, mereka menjadi sangat lelah dan berkeringat hingga tak mampu lagi mengangkatku. Begitu tangan mereka melepaskanku, aku jatuh dengan keras ke lantai. Mereka menyuruhku bangun lalu jongkok lagi dan lagi. Polisi gemuk itu mencibir dan berkata, "Dia terlihat kepanasan. Siram dia dengan air dingin. Aku yakin dia akan menyukainya." Kemudian mereka menyiramkan air dingin kepadaku sampai aku benar-benar basah kuyup. Namun, hal yang menakjubkan adalah aku merasakan uap panas muncul dari tubuhku, dan aku tidak merasa kedinginan sama sekali. Aku tahu bahwa ini perlindungan Tuhan atasku. Aku terus-menerus bersyukur kepada Tuhan dalam hatiku dan merasa imanku kepada Tuhan bertumbuh.

Kemudian kedua polisi itu menyeretku dan memborgol tangan kiriku pada jeruji besi. Pergelangan tanganku sudah terluka karena digantung sebelumnya, jadi ketika aku diborgol kali ini, rasanya jauh lebih sakit. Polisi tertawa melihatku kesakitan, dan aku tidak ingin mereka melihat kelemahanku, jadi aku menahan rasa sakit itu tanpa mengeluarkan suara. Untuk mengurangi rasa sakit, aku berusaha keras berjinjit. Salah satu jari kakiku masih bisa menyentuh lantai, tetapi sedikit saja. Namun, ketika seorang petugas polisi melihat ini, dia menekankan kakinya ke tumitku, menahan tubuhku untuk sementara waktu, dan kemudian memindahkan kakinya, menyebabkan sentakan keras pada tanganku yang terasa sangat menyakitkan. Melihatku tetap diam, polisi mengikat tali di salah satu kakiku, menarik tali itu untuk menggantung tubuhku di udara, lalu tiba-tiba melepaskannya. Mereka melakukan itu berulang kali. Dengan demikianlah, tubuhku bergoyang dari satu sisi ke sisi lainnya, dan rasanya seperti ada pisau memotong pergelangan tanganku. Saat ini berlanjut, aku berdoa kepada Tuhan dengan perasaan terdesak dalam hatiku. Kemudian, polisi gemuk itu membawa kursi rotan. Dua polisi lainnya masing-masing memegang salah satu kakiku, meletakkannya di atas punggung kursi, dan kemudian menarik kursi itu. Semua berat badanku tertumpu di pergelangan tanganku. Rasa sakitnya hampir tak tertahankan. Tiga puluh atau empat puluh menit kemudian, polisi menurunkan tangan kiriku, memborgol tangan kananku pada jeruji besi, dan melanjutkan penyiksaan. Aku mulai sesak napas, dan berpikir, "Aku tidak tahu berapa lama lagi polisi akan menyiksaku. Jika mereka menahanku seperti ini, tanganku akan lumpuh, dan jika tanganku benar-benar menjadi lumpuh, bagaimana aku akan bertahan hidup di masa depan?" Makin kupikirkan, makin aku merasa sengsara, bahkan sampai bernapas pun sulit bagiku. Aku merasa tidak tahan lagi, jadi aku berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, "Tuhan, dagingku terlalu lemah. Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Berilah aku kekuatan, agar aku dapat berdiri teguh dan mempermalukan Iblis." Pada saat itu, aku teringat sebuah bagian dari firman Tuhan: "Dalam perjalanan menuju Yerusalem, Yesus merasakan kesakitan, seolah-olah pisau sedang dipelintir di jantung-Nya, namun Dia tidak memiliki niat sedikit pun untuk mengingkari perkataan-Nya; selalu ada kekuatan dahsyat yang mendorong-Nya menuju ke tempat Dia akan disalibkan. Akhirnya, Dia dipaku di kayu salib dan menjadi keserupaan dengan daging yang berdosa, menyelesaikan pekerjaan penebusan umat manusia. Dia melampaui belenggu kematian dan alam maut. Di hadapan-Nya, kematian, neraka, dan alam maut kehilangan kuasa mereka, dan ditaklukkan oleh-Nya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Bagaimana Melayani dalam Keselarasan dengan Maksud-Maksud Tuhan"). Firman Tuhan memberiku kekuatan. Untuk menebus umat manusia, Tuhan Yesus disalibkan dan menderita penghinaan dan rasa sakit luar biasa, tetapi Dia melakukannya tanpa ragu-ragu. Kasih Tuhan kepada manusia terlalu besar, dan dalam hal ini, Tuhan telah memberikan teladan bagi kita. Namun, ketika aku menghadapi siksaan polisi, aku tidak berpikir tentang bagaimana menjadi kesaksian. Sebaliknya, aku memikirkan tubuhku sendiri. Aku sangat egois dan tercela! Dengan pemikiran ini, aku merasa hina dan malu. Kali ini, aku bertekad bahwa aku akan memuaskan Tuhan. Memikirkan kasih Tuhan mengilhamiku dan memberiku keberanian untuk melawan Iblis sampai akhir. Pada saat ini, salah satu polisi melihatku menutup mata dan berkata, "Dia sedang berdoa kepada Tuhan mereka, dan dia mendapat ledakan kekuatan setiap kali melakukannya." Yang lain menusuk kelopak mataku dengan batang logam tipis. Saat menusuk mataku, dia berkata, "Buka matamu. Kau tidak diizinkan untuk berdoa kepada Tuhanmu." Ketika melihatku tetap diam, dia menampar wajahku dengan ikat pinggang tiga atau empat kali, tetapi aku tidak merasakan sakit sama sekali. Lebih dari setengah jam kemudian, seorang polisi berkata, "Borgol dia lebih tinggi, agar dia tidak bisa menyentuh lantai. Mari kita lihat bagaimana dia menikmatinya." Kemudian, dua polisi mengangkatku, tetapi ketika yang lain membuka borgol dan hendak menutupnya di sekitar jeruji yang lebih tinggi, borgol itu tiba-tiba putus dan tidak bisa dikunci. Mereka mencoba borgol yang lain, tetapi tetap tidak berhasil. Aku tahu ini adalah perlindungan Tuhan, dan aku bersyukur kepada Tuhan dalam hatiku. Polisi terlalu lelah untuk mengangkatku lagi, jadi mereka melepaskan borgol itu, dan aku langsung jatuh ke lantai. Mereka telah menyiksaku selama hampir dua jam, dan aku sangat lelah sehingga aku berbaring di sana tanpa bergerak. Melihat kembali seluruh proses polisi menyiksaku, aku dengan jelas melihat natur keji dan jahat dari polisi. Aku juga merasakan pemeliharaan Tuhan terhadapku dan keyakinanku kepada Tuhan semakin kuat. Setelah beberapa saat, seorang petugas polisi datang dan menendangku beberapa kali. Melihatku tetap tidak bergerak, dia mengoleskan seluruh botol salep pendingin ke mataku, tetapi aku tidak merasakan apa-apa. Polisi itu melihat bahwa aku tidak bereaksi, lalu dia pergi. Aku tahu ini perlindungan Tuhan untukku.

Sekitar pukul tujuh malam, seorang petugas polisi masuk. Ketika dia melihatku basah kuyup dan menggigil kedinginan, dia menegur polisi lainnya. Dengan keramahan yang palsu, dia meminta mereka membawakanku pakaian ganti kering, dan kemudian memberiku semangkuk mie, setelah itu dia mencoba untuk mengambil hatiku. Dia berkata, "Kau berada sangat jauh dari rumahmu, dan sekarang kau tak bisa kembali. Apakah anak-anakmu tidak merindukanmu? Apa yang kau lakukan percaya kepada Tuhan di usia yang begitu muda? Kudengar kau seorang pemimpin, jadi beri tahu kami apa yang ingin kami ketahui, dan aku berjanji kami akan membiarkanmu pergi. Kau akan bisa pulang dan berkumpul dengan keluargamu." Begitu mendengar ini, aku sadar dia sedang mencoba menipuku agar memercayainya dan memberitahunya informasi tentang gereja. Aku berkata, "Aku sudah memberitahumu semua yang kuketahui. Aku tidak tahu apa-apa lagi." Dia tiba-tiba menggebrak meja, berdiri, dan berkata dengan kejam, "Jangan kaupikir kami tidak bisa melakukan apa pun padamu jika kau tidak bicara! Pemerintah pusat memerintahkan kami untuk membasmi habis-habisan orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Kami akan melenyapkan organisasimu. Jika kau tidak mulai bekerja sama, kau akan dihukum." Lalu dia pergi. Pada saat ini, polisi bermarga Wu berkata, "Sebaiknya kau melakukan hal yang cerdas dan memberi kami informasi yang kami inginkan. Dengan begitu, kau tidak perlu terlalu menderita." Kupikir, "Polisi tidak akan berhenti jika mereka tidak mendapatkan informasi yang mereka inginkan. Jika aku tidak tahan dengan siksaan dan menjadi Yudas, itu berarti mengkhianati Tuhan, jadi sebaiknya aku bunuh diri saja." Aku berpikiran untuk bunuh diri. Pada saat itu, aku sadar keadaanku salah, jadi aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, "Tuhan! Dagingku lemah, dan aku ingin melepaskan diri dari lingkungan ini dengan mati. Aku terlalu lemah, dan tingkat pertumbuhanku terlalu kecil. Kumohon berilah aku pencerahan dan bimbingan, dan berilah aku keteguhan hati dan kekuatan untuk berdiri teguh." Setelah berdoa, aku tiba-tiba menyadari bahwa aku memiliki file firman Tuhan dalam pemutar MP5-ku. Aku berkata kepada petugas polisi muda itu, "Berikan MP5-ku. Di dalamnya ada sesuatu yang ingin kutunjukkan pada kalian." Dia pikir aku akan mengaku, jadi dia menyerahkannya kepadaku. Aku menyalakan pemutar MP5, di mana aku melihat bagian dari firman Tuhan: "Mereka yang Tuhan sebut 'para pemenang' adalah mereka yang tetap mampu menjadi kesaksian dan mempertahankan keyakinan dan pengabdian mereka kepada Tuhan ketika berada di bawah pengaruh Iblis dan dikepung oleh Iblis, yaitu saat mereka mendapati diri mereka berada di tengah kekuatan kegelapan. Jika engkau tetap mampu menjaga hati yang murni di hadapan Tuhan dan mempertahankan kasih yang tulus kepada Tuhan apa pun yang terjadi, engkau sedang menjadi kesaksian di hadapan Tuhan, dan inilah yang Tuhan maksudkan sebagai 'pemenang'" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Engkau Sudah Seharusnya Mempertahankan Kesetiaanmu kepada Tuhan"). Dari firman Tuhan, aku mengerti kehendak Tuhan. Ketika aku menghadapi penganiayaan dan kesengsaraan, yang Tuhan inginkan adalah iman dan kesetiaanku. Tuhan ingin aku menjadi kesaksian yang penuh kemenangan saat dikepung oleh Iblis. Polisi jahat ini menyiksaku dengan cara ini untuk memaksaku mengkhianati Tuhan. Jika aku bunuh diri, kehilangan kesaksianku, itu sama dengan jatuh pada tipu daya Iblis, dan gagal memenuhi upaya yang telah Tuhan keluarkan untukku—itu akan terlalu menyakiti Tuhan. Aku tidak boleh mati, aku harus hidup, kuat, berdiri teguh dan memuaskan Tuhan. Memikirkan hal ini, aku merasakan kekuatan. Aku berlutut dan memanjatkan doa syukur kepada Tuhan. Polisi muda itu berkata dengan heran, "Kau cukup berani, berani berlutut dan berdoa di sini!" Aku mengabaikannya. Setelah aku berdoa, dia bertanya kepadaku, "Kau sudah ambil keputusan? Setelah kau memikirkannya, beri tahu aku apa yang kau ketahui." Dengan tegas kukatakan, "Aku sudah mengatakan semua yang perlu kukatakan. Tidak ada lagi yang bisa kukatakan." Petugas bermarga Wu menjadi sangat marah sehingga dia mengambil borgol dan memborgol salah satu tanganku pada jeruji besi. Petugas polisi muda itu berkata, "Doa sangat kuat. Sepertinya itu membuatnya menjadi orang yang sama sekali berbeda. Dia tidak takut apa pun, dan tidak mengatakan apa-apa." Ketika mendengar itu, aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku, dan aku menjadi lebih yakin bahwa aku bisa berdiri teguh.

Keesokan paginya, ketika polisi melihat bahwa tak satu pun taktik mereka berhasil terhadapku, mereka berkata, "Mulai hari ini, kami akan memborgolmu ke jendela setiap hari, dan kami takkan biarkan kau makan, minum, atau tidur. Mari kita lihat berapa hari kau bisa bertahan." Dalam hati aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, aku percaya bahwa hidup dan matiku ada di tangan-Mu. Lindungilah aku. Sekalipun aku mati, aku akan berdiri teguh dan menjadi kesaksian bagi-Mu!" Setelah itu, polisi bergantian mengawasiku, dan mereka membangunkanku dengan suara keras ketika melihatku tertidur. Pada hari ketiga, seorang pria di seberang jalan melihatku diborgol ke jendela dan berteriak kepadaku, "Apakah kau diculik oleh seseorang? Kalau ya, lambaikan tanganmu padaku, dan aku akan menelepon 110 untukmu." Kupikir, "Aku dipenjara di sini oleh polisi. Apakah kau pikir polisi melakukan hal-hal baik untuk orang biasa? Polisi Partai Komunis hanyalah sekumpulan setan buas." Setelah beberapa hari lagi, makin banyak orang di lantai bawah melihat aku diborgol ke jendela. Mereka menunjuk ke arahku dan terus membicarakannya, jadi polisi memindahkanku ke ruangan seberang.

Suatu malam, sekitar 20 Maret, aku dibawa ke kantor investigasi khusus. Di sana, tiga orang polisi membuatku dicuci otak sampai pukul empat pagi lebih, ketika seorang petugas polisi bermarga Liu berkata kepadaku, "Gereja Tuhan Yang Mahakuasa telah berkembang menjadi beberapa juta orang sekarang, dan ini secara langsung membahayakan kepentingan Partai Komunis. Jika kita tidak menindasnya, siapa yang akan mendengarkan Partai Komunis? Presiden Xi secara pribadi memerintahkan agar 'Kilat dari Timur' dimusnahkan sepenuhnya, dan agar mereka yang percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa menerima pendidikan ulang, sehingga mereka melepaskan keyakinan mereka dan menerima pendidikan dan kepemimpinan Partai. Jika menolak, mereka akan dihukum penjara, dan tidak ada yang peduli jika mereka dipukuli sampai mati." Dia melanjutkan, "Saat ini, seluruh provinsi dan seluruh negeri sedang menangkapi anggota Gereja Tuhan Yang Mahakuasa. Pada akhirnya, gereja itu akan ditumbangkan. Jika kau pikir kau bisa terus percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, kuberitahu kepadamu kalau sekarang itu tidak mungkin!" Aku berkata, "Kami yang percaya kepada Tuhan hanya pergi ke pertemuan, membaca firman Tuhan, mengejar perubahan watak untuk menjadi orang yang jujur, dan mengikuti jalan hidup yang benar. Bagaimana kami bisa merugikan kepentingan Partai Komunis? Jika kalian tidak percaya, bacalah firman Tuhan Yang Mahakuasa dan kalian akan tahu. Kalian telah menyita begitu banyak buku firman Tuhan Yang Mahakuasa, jadi mengapa tidak membuka salah satunya dan membacanya?" Petugas polisi lainnya berkata dengan keras, "Jangan beri tahu kami tentang percaya kepada Tuhan! Kami tidak percaya ini, kami hanya percaya pada Partai Komunis dan Presiden Xi." Kemudian dia mengancamku, "Pikirkan baik-baik. Jika kauberi tahu kami apa yang ingin kami ketahui, aku berjanji tidak akan menjatuhkan hukuman penjara kepadamu. Kami akan biarkan kau pulang sekarang juga. Jika kau masih tidak mengerti situasimu, aku akan kirim kau ke rumah sakit jiwa. Dokter akan memberimu suntikan setiap hari, sehingga kau kehilangan akal. Kau akan hidup bersama semua jenis orang yang sakit mental, kemudian mereka akan memukulimu dan memarahimu setiap hari. Kita lihat saja berapa lama kau bisa bertahan di sana." Setelah mendengar ini, aku sangat takut. Jika dikirim ke rumah sakit jiwa, aku akan berada di sekitar orang sakit jiwa setiap hari. Hidup bersama orang-orang seperti itu, bahkan orang normal pun akan menjadi gila. Ketika polisi melihatku diam, mereka mengancamku lagi, "Kembalilah dan pikirkan. Tuliskan semua yang harus kami ketahui. Berdasarkan bukti yang kami miliki, kami dapat menghukummu setidaknya tiga hingga tujuh tahun."

Kembali ke hotel, memikirkan apa yang polisi katakan, aku tak bisa tidur sama sekali. Memikirkan orang-orang yang sakit mental mengejar dan memukuliku, dan bayangan diriku menjadi gila dan berlarian telanjang di jalan membuatku menangis, berkeringat dingin dan langsung terduduk tegak di atas tempat tidur. Aku berseru dan berdoa kepada Tuhan, "Tuhan! Aku takut menjadi orang gila. Tolonglah aku, tuntunlah aku, dan tenangkan aku. Lingkungan apa pun yang harus kuhadapi, aku tidak akan pernah mengkhianati-Mu." Setelah berdoa, aku memikirkan bagian dari firman Tuhan: "Ketika manusia siap mengorbankan nyawa mereka, semuanya menjadi tidak penting, dan tidak ada orang yang bisa mengalahkannya. Apakah yang lebih penting daripada nyawa? Karenanya, Iblis menjadi tidak mampu bertindak lebih jauh dalam manusia, tidak ada yang bisa dilakukannya dengan manusia" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 36"). Saat merenungkan firman Tuhan, aku perlahan-lahan menjadi tenang. Jika aku bersedia mempertaruhkan nyawaku, penderitaan apa yang tidak dapat kutanggung? Hidup dan matiku ada di tangan Tuhan, dan aku pasti tidak akan sakit jiwa tanpa izin Tuhan. Setelah fajar, aku mengeluarkan pena dan kertas, dan menulis satu baris, "Dinding tinggi dan halaman besar, membusuk selamanya di penjara." Ketika petugas polisi melihatnya, wajahnya berubah. Dia sangat marah sehingga membanting pintu lalu pergi.

Setelah lebih dari sebulan, aku dikirim ke rumah tahanan. Karena interogasi tetap tidak berhasil, mereka menghukumku dengan pengawasan rumah selama enam bulan, dan memperingatkanku, "Kau adalah tersangka kriminal sekarang, dan kau tidak memiliki kebebasan di mana pun. Jika kau percaya kepada Tuhan lagi, kau akan dihukum jika kami menangkapmu." Polisi menelepon rumahku dari waktu ke waktu, dan orang-orang dari Biro Urusan Agama datang ke rumahku untuk menanyaiku tentang kepercayaanku kepada Tuhan. Aku tidak berani menghubungi saudara-saudariku, dan aku tidak bisa menjalani kehidupan bergereja. Karena disiksa oleh polisi, aku tidak bisa menekuk jari di kedua tangan, dan pergelangan tanganku sangat sakit sehingga aku tidak bisa menggerakkannya. Aku bahkan tak punya kekuatan untuk mengambil sisir, dan bahkan sekarang aku tak punya kekuatan di pergelangan tanganku.

Setelah ditangkap, dianiaya, dan disiksa oleh Partai Komunis, aku dengan jelas melihat natur mereka yang brutal, jahat, dan menentang Surga. Aku juga melihat dengan jelas bahwa Iblislah yang menentang Tuhan dan melukai manusia. Pada saat yang sama, aku melihat bahwa Tuhan itu maha kuasa dan bijaksana, dan aku merasakan perlindungan dan pemeliharaan Tuhan terhadapku. Firman Tuhan-lah yang menuntunku, langkah demi langkah, untuk meraih kemenangan atas Iblis, dan berdiri teguh. Syukur kepada Tuhan!

Selanjutnya: Hidup di Ambang Kematian

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Hari-hari Penyiksaan Brutal

Oleh Saudari Chen Hui, TiongkokAku tumbuh dalam sebuah keluarga biasa di Tiongkok. Ayahku menjalani dinas militer dan karena telah dibentuk...