Mengapa Aku Tak Ingin Membayar Harga dalam Tugasku
Aku bekerja di bidang desain grafis, dan pemimpin kelompok memberiku tugas membuat jenis gambar baru. Aku tak terlalu berpengalaman saat itu, jadi aku tak tahu prinsip atau esensi dari tugas itu. Aku telah bekerja keras, tapi hasil kerjaku tidak terlalu bagus. Aku mengeditnya beberapa kali tanpa ada banyak peningkatan. Mendesain dengan gaya baru ini sangat sulit. Saat ketua kelompok menyuruhku membuat gambar yang sama, aku agak menolak. Aku terus memikirkan cara mengalihkannya kepada orang lain, dan bahkan sengaja berkata di depan pemimpin kelompok bila aku tak pandai mendesain gaya itu. Dia bisa lihat yang kupikirkan dan berhenti memberiku pekerjaan itu. Lalu, pemimpin gereja memintaku mengedit gambar di menit terakhir dan meminta pemimpin kelompok memberiku instruksi terperinci. Memang agak mendesak, dan aku harus secepat mungkin mengedit bentuknya sesuai komposisi asli, dan memperbaiki detailnya. Itu terdengar sederhana bagiku. Karena sudah ada bentuk dasarnya, hanya perlu penyesuaian kecil. Namun, pemimpin grup tidak puas dengan hasil editku dan memberi saran tentang cara memperbaikinya. Rasanya merepotkan dan aku tak ingin melakukannya. Aku merasa gambarnya cukup baik—yang penting bisa digunakan. Apakah perlu memperbaikinya dengan sangat mendetail? Itu hanya membuang waktu dan energi. Jadi aku menyampaikan pikiranku. Namun ternyata pemimpin kelompok mengirimiku pesan ini: "Kau tidak sepenuh hati melakukan tugas atau berusaha mencapai hasil. Kau selalu menyelamatkan diri dari masalah dan bersikap asal-asalan. Bagaimana kau bisa bertugas dengan baik jika sikapmu seperti itu?" Berbagai kritikan ini membuat keadaanku kacau dan aku merasa tidak adil. Apakah aku sungguh seburuk itu? Beberapa hari kemudian, pemimpin gereja menanganiku karena mendambakan kenyamanan daging dan mundur saat ada kesulitan. Dia bilang aku ingin menghindari kerumitan desain, dan tidak bekerja keras, aku bertugas asal-asalan dan tak bisa diandalkan Ucapan dia benar-benar membuatku sedih. Bahkan saudari yang sangat mengenalku berkata terus terang, "Jika kau desainer yang tidak berusaha membuat desain yang bagus, bagaimana bisa kau bertugas?" Mendengar itu seperti tersiram air dingin, membuatku mati rasa. Aku merasa kesempatanku bertugas telah berakhir—semua orang tahu siapa aku, jadi tak ada yang memercayaiku sejak itu.
Malam itu, aku memikirkan lagi semua yang telah terjadi dan penilaian orang lain tentangku. Aku kesal dan benci diriku karena mengecewakan semua orang. Mengapa aku bertugas seperti itu? Aku menangis. Dalam kesengsaraanku, aku membaca firman Tuhan ini: "Saat melaksanakan tugas, orang selalu memilih pekerjaan ringan, yang tidak akan melelahkannya, yang tidak melibatkan unsur di luar ruangan. Ini disebut memilih pekerjaan yang mudah dan mengabaikan pekerjaan yang sulit, dan inilah yang terwujud ketika orang mendambakan kenyamanan daging. Apa lagi? (Selalu mengeluh ketika tugasnya sedikit sulit, sedikit melelahkan, ketika harus membayar harga.) (Sibuk dengan makanan dan pakaian, dan kesenangan daging.) Semua inilah yang terwujud ketika orang mendambakan kenyamanan daging. Ketika orang seperti itu melihat bahwa suatu tugas terlalu melelahkan atau berisiko, dia melemparkannya ke orang lain; dia sendiri hanya melakukan pekerjaan santai, dan berdalih tentang mengapa dia tidak dapat melakukan pekerjaan yang satu ini, mengatakan bahwa kualitasnya buruk dan tidak memiliki keterampilan yang diperlukan, bahwa itu terlalu berat baginya—padahal kenyataannya, itu karena dia mendambakan kenyamanan daging. ... Selain itu, ketika orang selalu mengeluh saat melaksanakan tugasnya, ketika dia tidak mau berupaya keras, ketika, segera setelah dia memiliki sedikit waktu luang, dia beristirahat, mengobrol santai, atau ikut serta dalam kesenangan dan hiburan. Dan ketika pekerjaan meningkat dan itu merusak ritme dan rutinitas hidupnya, dia tidak senang dan tidak puas akan hal itu. Dia menggerutu dan mengeluh, menjadi ceroboh dan asal-asalan dalam melaksanakan tugasnya. Ini artinya mendambakan kenyamanan daging, bukan? ... Apakah orang yang mendambakan kenyamanan daging cocok untuk melaksanakan tugas? Selama membahas topik tentang pelaksanaan tugasnya, selama berbicara tentang membayar harga dan mengalami kesukaran, dia akan terus menggelengkan kepalanya: dia selalu memiliki terlalu banyak masalah, dia penuh dengan keluhan, dia bersikap negatif tentang segala sesuatu. Orang semacam itu tidak berguna, dia tidak berhak melaksanakan tugasnya, dan harus diusir" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Dari firman Tuhan aku sadar aku hanya memilih tugas yang sederhana dan mudah, selalu membuat orang lain melakukan yang lebih rumit dan sulit bukan tentang kecerdasan atau kualitas. Aku serakah akan kenyamanan, dan tidak mau membayar harga. Mengingat kembali saat pemimpin kelompok menyuruhku mengerjakan jenis desain baru, aku kesulitan karena baru belajar. Aku harus menderita, membayar harga, berpikir cermat dan merevisinya berulang kali agar mengerjakannya dengan baik. Tidak ingin bersusah payah, aku mundur dan cari alasan untuk mengalihkannya. Aku hanya ingin pekerjaan yang sederhana dan mudah. Saat pemimpin gereja memintaku mengedit gambar, pemimpin kelompok memberiku instruksi terperinci, agar aku bisa bekerja dengan lebih baik. Meskipun setuju, menurutku itu merepotkan, jadi aku tidak memikirkan atau berusaha keras, yang penting aku tidak kerepotan. Jadinya gambar tidak bagus, dan harus diulang beberapa kali. Apa pun itu, aku tak mau melakukan sesuatu yang perlu berpikir atau berusaha. Aku ingin melakukan dengan cara yang paling sederhana dan mudah, aku berfokus pada daging. Aku membaca firman Tuhan, "Orang semacam itu tidak berguna, dia tidak berhak melaksanakan tugasnya, dan harus diusir." Ini membuatku agak takut. Aku selalu menginginkan daging dan mendambakan kenyamanan saat bertugas, dan tak mau menderita dan membayar harga. Hanya cari cara agar tidak berusaha secara fisik dan tidak membebani hati atau pikiranku. Tak ada ketulusan atau pengabdian kepada Tuhan dalam caraku bertugas, Kupikir, asal-asalan bertugas dan menyelesaikannya sudah cukup. Aku tidak berperan positif dan telah menghambat kemajuan pekerjaan. Jika terus seperti tanpa perubahan, Tuhan pasti akan mengusirku.
Lalu, aku kembali baca firman Tuhan. "Di luarnya, ada orang-orang yang sepertinya tidak memiliki masalah serius apa pun selama mereka melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak melakukan apa pun yang terang-terangan jahat; mereka tidak menyebabkan gangguan atau kekacauan, atau menempuh jalan antikristus. Dalam melaksanakan tugas mereka, tidak ada kesalahan besar atau masalah prinsip apa pun yang muncul, tetapi tanpa menyadarinya, dalam beberapa tahun saja, tersingkaplah bahwa mereka sama sekali tidak menerima kebenaran, bahwa mereka adalah salah satu dari orang-orang tidak percaya. Mengapa demikian? Orang lain tidak dapat melihat adanya masalah, tetapi Tuhan memeriksa lubuk hati orang-orang ini, dan Dia melihat masalah tersebut. Mereka selalu bersikap asal-asalan dan tidak mau bertobat dalam pelaksanaan tugas mereka. Seiring berjalannya waktu, mereka secara alami tersingkap. Apa arti tetap tidak bertobat? Itu artinya meskipun mereka telah melaksanakan tugas mereka selama ini, mereka selalu memiliki sikap yang salah terhadap tugas mereka, sikap yang ceroboh dan asal-asalan, sikap sembrono, dan mereka tidak pernah bertanggung jawab, apalagi setia. Mereka mungkin mengerahkan sedikit upaya, tetapi mereka hanya melakukannya dengan asal-asalan. Mereka tidak mengerahkan segenap kemampuan mereka dan pelanggaran mereka tidak ada habisnya. Di mata Tuhan, mereka tidak pernah bertobat; mereka selalu bersikap asal-asalan, dan tidak pernah ada perubahan sedikit pun dalam diri mereka—artinya, mereka tidak melepaskan kejahatan di tangan mereka dan bertobat kepada-Nya. Tuhan tidak melihat ada sikap pertobatan di dalam diri mereka dan Dia tidak melihat pembalikan dalam sikap mereka. Mereka gigih dalam hal melakukan tugas dan amanat Tuhan dengan sikap dan metode yang ceroboh dan asal-asalan. Secara keseluruhan, tidak ada perubahan dalam watak mereka yang keras kepala dan keras hati ini, dan selain itu, mereka tidak pernah merasa berutang kepada Tuhan, tidak pernah merasa bahwa kecerobohan dan sikap asal-asalan mereka merupakan pelanggaran atau perbuatan jahat. Di dalam hati mereka tidak ada perasaan berutang, tidak ada rasa bersalah, tidak ada penyesalan, apalagi menyalahkan diri sendiri. Dan, seiring berjalannya waktu, Tuhan melihat bahwa orang ini tidak dapat diselamatkan. Apa pun yang Tuhan katakan, dan sebanyak apa pun khotbah yang mereka dengar atau sebanyak apa pun kebenaran yang mereka pahami, hati mereka tidak tergerak dan sikap mereka tidak berubah atau berbalik. Tuhan melihat ini dan berkata: 'Tidak ada harapan bagi orang ini. Tidak ada apa pun yang Kukatakan menyentuh hati mereka, dan tidak ada apa pun yang Kukatakan mengubah mereka. Tidak ada cara untuk mengubah mereka. Orang ini tidak layak untuk melakukan tugas mereka dan mereka tidak layak untuk memberikan pelayanan di rumah-Ku.' Mengapa Tuhan mengatakan ini? Karena ketika mereka melaksanakan tugas dan bekerja, mereka secara konsisten bersikap ceroboh dan asal-asalan. Sebanyak apa pun mereka dipangkas dan ditangani, dan sebanyak apa pun kesabaran yang diberikan kepada mereka, itu tidak berpengaruh dan tidak dapat membuat mereka sungguh-sungguh bertobat dan berubah. Itu tidak dapat membuat mereka melakukan tugas mereka dengan baik, itu tidak memungkinkan mereka untuk mulai menempuh jalan mengejar kebenaran. Jadi, orang ini tidak dapat diselamatkan. Ketika Tuhan menetapkan bahwa seseorang tidak dapat diselamatkan, apakah Dia akan tetap memegang erat orang ini? Tidak. Tuhan akan melepaskan mereka" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). "Standar apa yang digunakan untuk menilai apakah perbuatan seseorang itu baik atau buruk? Itu tergantung pada apakah mereka, dalam pemikiran, ungkapan, dan tindakan mereka, memiliki kesaksian dalam hal menerapkan kebenaran dan hidup dalam kenyataan kebenaran atau tidak. Jika engkau tidak memiliki kenyataan ini atau tidak hidup di dalamnya, dengan demikian tidak diragukan lagi, engkau adalah seorang pelaku kejahatan. Bagaimana Tuhan memandang pelaku kejahatan? Pemikiran dan tindakan lahiriahmu tidak menjadi kesaksian untuk Tuhan, juga tidak mempermalukan atau mengalahkan Iblis; sebaliknya, pemikiran dan tindakan lahiriahmu mempermalukan Tuhan, dan penuh dengan tanda-tanda yang menyebabkan Tuhan menjadi malu. Engkau tidak bersaksi bagi Tuhan, tidak mengorbankan dirimu untuk Tuhan, engkau juga tidak memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu kepada Tuhan; sebaliknya, engkau bertindak demi kepentinganmu sendiri. Apakah sebenarnya arti dari 'demi kepentinganmu sendiri'? Tepatnya, itu berarti demi Iblis. Karena itu, pada akhirnya, Tuhan akan berkata, 'Pergilah daripada-Ku, engkau yang melakukan kejahatan.' Di mata Tuhan, engkau belum melakukan perbuatan baik, tetapi sebaliknya, perilakumu telah berubah menjadi jahat. Bukan hanya gagal mendapatkan perkenanan Tuhan, perbuatan itu akan dikutuk. Apa yang ingin diperoleh orang yang percaya kepada Tuhan seperti ini? Bukankah kepercayaan seperti itu pada akhirnya akan sia-sia?" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Kebebasan dan Kemerdekaan Hanya Dapat Diperoleh dengan Menyingkirkan Watak yang Rusak"). Aku dulu berpikir meskipun telah menghindari pekerjaan yang lebih sulit dan rumit, aku tak pernah diam diri dan kadang kerja hingga larut malam untuk suatu desain. Kukira melakukan tugasku dengan cara ini sudah cukup. Dari firman Tuhan, aku sadar Dia tak melihat banyaknya pekerjaan yang telah dilakukan atau usaha yang telah diberikan, tapi melihat cara kita bertugas, apakah mempertimbangkan kehendak Tuhan, jika kita punya kesaksian menerapkan kebenaran. Itu cara Dia memutuskan apakah tugas seseorang akan berkenan bagi-Nya. Meskipun aku terlihat seperti sedang melakukan tugas, aku punya sikap asal-asalan dan ceroboh, hanya menginginkan daging dan memanjakan diri. Aku hanya melakukan yang mudah dan mengabaikan yang sulit, tanpa ada sikap taat atau tunduk. Melayani dengan cara ini tidak cukup, dan hanya menipu Tuhan. Aku teringat pemimpin kelompok yang memberiku tugas penting saat aku baru mulai, tapi karena aku bertugas asal-asalan, hanya ingin hal yang mudah, dan tak mempertimbangkan pekerjaan gereja, hanya diriku, dia berhenti memberiku pekerjaan penting. Aku menjadi orang yang tidak bisa diandalkan Tuhan atau orang lain, hanya melayani dengan tugas sederhana. Dengan memperlakukan tugasku seperti itu, tak hanya tidak berbuat perbuatan baik, aku juga melakukan pelanggaran. Jika aku tidak melepaskan kejahatan ini dan bertobat kepada Tuhan, Dia akan membenci dan menolak saat pelanggaranku bertambah, aku akan sepenuhnya disingkapkan dan diusir. Saat itu, aku sadar betapa berbahayanya sikapku terhadap tugas dan ini membuatku merasa agak takut. Aku pun sadar aku dipangkas dan ditangani adalah pengingat dan peringatan Tuhan bagiku. Aku terlalu mati rasa dan lambat menyadari. Jika bukan karena ucapan orang lain tentang diriku, aku tak akan sadar sikapku terhadap tugas membuat Tuhan jijik. Aku tahu harus segera mengubah keadaanku yang salah ini dan bertobat kepada Tuhan, berhenti keras kepala dan memberontak.
Aku membaca firman Tuhan tentang keadaanku yang memanjakan daging dan mencari kemudahan, termasuk kutipan ini: "Ada orang-orang yang, pekerjaan atau tugas apa pun yang mereka lakukan, mereka tak mampu melakukannya, itu terlalu berat bagi mereka, mereka tak mampu memenuhi kewajiban atau tanggung jawab apa pun yang seharusnya orang lakukan. Bukankah mereka itu sampah? Apakah mereka masih layak disebut manusia? Kecuali orang-orang bodoh, cacat mental, dan mereka yang menderita berbagai gangguan fisik, adakah orang hidup yang tidak diharuskan melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka? Namun, orang seperti ini selalu licik dan bermain kotor, dan tidak ingin memenuhi tanggung jawab mereka; kesimpulannya mereka tidak ingin berperilaku seperti orang normal. Tuhan memberi mereka kualitas dan karunia, Dia memberi mereka kesempatan untuk menjadi manusia, tetapi mereka tak mampu memanfaatkan semua ini dalam melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak melakukan apa-apa, tetapi ingin menikmati semuanya. Apakah orang seperti itu pantas disebut manusia? Pekerjaan apa pun yang diberikan kepada mereka—entah itu penting atau biasa, sulit atau sederhana—mereka selalu ceroboh dan asal-asalan, selalu malas dan licik. Ketika muncul masalah, mereka mencoba untuk mengalihkan tanggung jawab mereka kepada orang lain; mereka tidak memikul tanggung jawab, ingin tetap hidup dalam kehidupan parasit mereka. Bukankah mereka sampah yang tidak berguna?" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). "Orang macam apakah yang tidak berguna? Orang yang tidak berguna adalah orang yang bingung, orang yang hanyut tanpa tujuan. Orang semacam ini tidak bertanggung jawab atas apa pun yang mereka lakukan, mereka juga tidak berhati nurani; mereka mengacaukan segalanya. Mereka tidak mengindahkan perkataanmu bagaimanapun engkau mempersekutukan kebenaran kepada mereka. Mereka berpikir, 'Aku hanyut tanpa tujuan jika mau. Itu tak penting. Aku melaksanakan tugasku dan punya makanan untuk dimakan, itu sudah cukup. Setidaknya aku tak perlu mengemis. Jika suatu hari aku tak punya apa pun untuk dimakan, aku akan memikirkannya nanti. Surga akan selalu membukakan pintu. Jika menurutmu aku tak punya hati nurani atau akal sehat, atau aku bingung, memangnya kenapa? Aku tidak melanggar hukum, aku tidak membunuh siapa pun atau membakar apa pun. Paling buruk, karakterku saja yang kurang baik, tetapi itu pun bukan kerugian besar bagiku. Asalkan aku punya makanan untuk dimakan, itu sudah cukup.' Apa pendapatmu tentang cara pandang ini? Kukatakan kepadamu, orang bingung seperti ini yang hanyut tanpa tujuan semuanya ditakdirkan untuk diusir. Tidak mungkin mereka dapat memperoleh keselamatan. Mereka yang telah percaya kepada Tuhan selama beberapa tahun tetapi sama sekali tidak menerima kebenaran akan diusir. Tak seorang pun akan selamat. Sampah dan orang yang tidak berguna semuanya adalah para pendompleng dan mereka ditakdirkan untuk diusir. Jika para pemimpin dan pekerja hanya ingin diberi makan, mereka terlebih lagi harus diberhentikan dan diusir. Orang bingung seperti ini tetap ingin menjadi pemimpin dan pekerja, tetapi mereka tidak layak. Mereka tidak melakukan pekerjaan nyata, tetapi mereka ingin memimpin. Mereka benar-benar tidak tahu malu" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Penyingkapan keras Tuhan membuatku sadar yang selalu lalai dalam bertugas, tak pernah bertanggung jawab, berarti kau sama dengan sampah. Jika kau tak sepenuh hati mengerjakan sesuatu, selalu malas, tidak melakukan tugas yang semestinya atau mempelajari keterampilan baru, kau sampah. Aku merenung dan sadar seperti itu aku bertugas. Tak peduli pekerjaan yang diberikan kepadaku, aku tak ingin serius memikirkannya, menderita, atau berjuang demi hasil. Aku puas hanya terlihat sibuk dan mengerjakan sesuatu. Bukankah aku hanya main-main dengan bertugas seperti itu? Aku pun teringat sejak kecil, aku selalu iri terhadap keluarga kaya yang tak pernah peduli, bisa jalan-jalan dan punya kehidupan yang nyaman dan mudah. Aku ingin sekali punya kehidupan seperti itu. Aku merasa karena manusia hanya hidup selama beberapa dekade, jika kita tidak menikmati diri bukankah hidup akan sia-sia? Setelah dewasa, aku melihat semua orang bekerja keras menghasilkan uang, jadi aku memulai bisnis. Namun, aku tetap tak mau menghabiskan energi, selalu asyik dengan acara TV dan novel. Aku tak serius memikirkan bisnisku dan tak peduli apakah untung atau rugi. Pada akhir tahun, aku tak hanya gagal memperoleh sesuatu, tapi juga kehilangan uang. Namun, itu tetap tidak membuatku kesal, aku hanya menghibur diri, berpikir tak masalah merugi asalkan aku masih bisa makan. Pandanganku akan hidup adalah "Nikmatilah kesenangan sekarang pada hari ini, dan khawatirkan hari esok pada hari selanjutnya," dan "Isi harimu dengan kesenangan karena hidup ini singkat." Karena aku telah dipengaruhi ide jahat ini, aku tak pernah melakukan tugas yang semestinya, dan tidak berusaha maju; tak punya tujuan hidup. Aku masih hidup dengan ide ini setelah jadi orang percaya. Aku merasa selalu bermain-main dalam tugas, tidak membebani diri, serius berpikir, atau mengalami stres adalah cara hidup yang bagus. Tapi nyatanya, aku tak bisa menanggung pekerjaan. Aku tidak berguna, bagaikan sampah. Makin aku merenungkan perilakuku, makin aku terkejut. Bukankah aku seperti parasit yang disingkap Tuhan? Demi menyelamatkan manusia, Tuhan tak hanya mewartakan firman-Nya dan memberi kita kebenaran dan kehidupan, Dia menganugerahkan semua yang kita butuhkan untuk hidup dan agar kita menikmatinya dengan berlimpah. Dia mengawasi dan melindungi, menjaga kita agar tidak jatuh ke dalam perangkap Iblis. Namun, aku tak punya hati. Aku tak tahu harus membalas kasih Tuhan dalam tugasku, dan malah jadi parasit yang malas. Pemikiran jahat ini meracuni dan meresap ke dalam diriku. Aku hanya tahu kesenangan dan memanjakan daging. Aku tak pernah serius mempertimbangkan tugasku, atau cara melakukannya dengan baik demi memuaskan Tuhan. Saat itu dalam perenunganku, aku mual dan jijik pada diriku, dan membenci diriku. Aku merasa benar-benar telah dirusak Iblis. Aku telah kehilangan semua hati nurani, akal sehat, dan menjadi mati rasa. Aku juga melihat Iblis memakai pikiran ini untuk melumpuhkan orang dan membuat kita lebih jahat. Pada akhirnya, kita jadi sampah, seperti mayat berjalan tanpa jiwa. Aku sangat menyesal tidak bertugas dengan baik, aku tidak melakukan satu hal pun untuk menghibur Tuhan. Aku merasa sangat berutang budi kepada Tuhan dan berdoa, "Tuhan, aku telah dirusak Iblis. Tanpa penyingkapan-Mu, aku tak akan pernah tahu betapa seriusnya masalahku. Aku tak bertanggung jawab dan kurang kemanusiaan dalam tugas, menikmati banyak anugerah tapi tak pernah tahu cara membalas kasih-Mu. Aku menjadi parasit. Aku sadar daging adalah penghalang terbesar untuk menerapkan kebenaran. Aku ingin meninggalkannya dan bertobat kepada-Mu, agar bisa secara sadar mencari kebenaran, dan melakukan tugas sesuai persyaratan-Nya."
Aku kembali membaca firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Karena engkau adalah seorang manusia, engkau harus merenungkan apa tanggung jawab seorang manusia. Tanggung jawab yang sangat dijunjung tinggi oleh orang tidak percaya, seperti berbakti, menafkahi orang tua, dan membesarkan nama keluarga tidak perlu disebutkan. Semua ini hal yang hampa dan tidak memiliki makna nyata apa pun. Apa tanggung jawab paling minimum yang harus dipenuhi seseorang? Yang paling nyata adalah bagaimana agar engkau dapat melaksanakan tugasmu dengan baik hari ini. Hanya puas dengan bersikap asal-asalan bukanlah memenuhi tanggung jawabmu, dan hanya mampu mengulang-ulang perkataan doktrin bukanlah memenuhi tanggung jawabmu. Engkau memenuhi tanggung jawabmu hanya ketika engkau menerapkan kebenaran dan melakukan segala sesuatu berdasarkan prinsip, dan engkau benar-benar memenuhi tanggung jawabmu hanya ketika penerapan kebenaranmu itu efektif, dan bermanfaat bagi orang-orang. Tugas apa pun yang sedang kaulaksanakan, hanya jika engkau bertekun dalam bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, barulah engkau akan benar-benar memenuhi tanggung jawabmu. Bersikap asal-asalan sesuai dengan cara manusia melakukan segala sesuatu berarti bersikap acuh tak acuh dan sembrono; berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran adalah satu-satunya cara melaksanakan tugasmu dengan benar dan memenuhi tanggung jawabmu. Dan ketika engkau memenuhi tanggung jawabmu, bukankah ini adalah perwujudan kesetiaan? Ini adalah wujud kesetiaan terhadap tugasmu. Hanya jika engkau memiliki rasa tanggung jawab ini, memiliki tekad dan keinginan ini, jika ditemukan dalam dirimu perwujudan kesetiaan terhadap tugasmu, barulah Tuhan akan memperkenan dirimu, dan memandangmu dengan berkenan. Jika engkau bahkan tidak memiliki rasa tanggung jawab ini, Tuhan akan memperlakukanmu sebagai orang pemalas, orang bodoh, dan akan memandang rendah dirimu. ... Apa harapan Tuhan terhadap seseorang yang kepadanya Tuhan memberi tugas khusus di gereja? Pertama, Tuhan berharap agar orang itu bertanggung jawab dan rajin, agar dia memperlakukan tugas sebagai sesuatu yang sangat penting, dan melaksanakan tugas itu dengan baik. Kedua, Tuhan berharap orang itu adalah orang yang layak dipercaya, bahwa berapa pun waktu yang dibutuhkannya untuk melakukan pekerjaan itu, dan bagaimanapun lingkungannya berubah, rasa tanggung jawabnya tidak goyah, dan karakternya tetap teguh dalam menghadapi ujian. Jika orang itu adalah orang yang dapat dipercaya, Tuhan akan merasa tenang. Dia tak perlu lagi memantau atau menindaklanjuti hal ini karena di dalam hati-Nya, Tuhan memercayai orang itu. Ketika Tuhan memberinya tugas tertentu, dia pasti akan menyelesaikannya tanpa kesalahan apa pun. Ketika Tuhan memercayakan suatu tugas kepada manusia, bukankah ini adalah kehendak-Nya? (Ya.) Lalu, setelah engkau memahami kehendak Tuhan, apa yang harus kaulakukan untuk membuat Tuhan memercayaimu dan berkenan akan engkau? Sering kali, kinerja dan perilaku orang serta sikap mereka saat memperlakukan tugas malah membuat mereka membenci diri mereka sendiri. Jadi, bagaimana engkau bisa menuntut Tuhan agar memperkenan dirimu dan memperlihatkan kepadamu kasih karunia, atau memberimu perlakuan khusus? Bukankah ini tidak masuk akal? (Ya, benar.) Engkau bahkan memandang rendah dirimu sendiri, engkau bahkan membenci dirimu sendiri, jadi bukankah tidak masuk akal bagimu untuk menuntut agar Tuhan memperkenan dirimu? Dengan demikian, jika engkau ingin agar Tuhan berkenan akan engkau, orang lain setidaknya harus dapat memercayaimu. Jika engkau ingin orang lain memercayaimu, mendukungmu, berpikir baik tentang dirimu, setidaknya engkau harus bermartabat, bertanggung jawab, menepati janjimu, dan dapat dipercaya. Lalu, bagaimana dengan di hadapan Tuhan? Jika engkau juga bertanggung jawab, rajin, dan setia dalam pelaksanaan tugasmu, engkau pada dasarnya telah memenuhi tuntutan Tuhan terhadap dirimu. Maka ada harapan bagimu untuk mendapatkan perkenanan Tuhan, bukan?" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Aku belajar dari firman Tuhan setiap orang punya tanggung jawab dan tugas masing-masing, dan untuk hidup dengan martabat dan nilai, yang penting apakah kita bisa memenuhi tanggung jawab dan memperlakukan tugas dengan serius dan penuh perhatian. Tidak seharusnya kita butuh orang lain untuk menasihati, kita harus bertanggung jawab. Tak peduli bagaimana keadaannya, yang penting adalah sepenuh hati dalam mengerjakan sesuatu. Hanya mereka yang bersikap seperti itu yang punya karakter dan martabat, dan bisa diandalkan, dan tindakan mereka akan diingat Tuhan. Memahami kehendak Tuhan mencerahkan dan memberiku jalan penerapan. Setelah itu, dalam bertugas, aku terus mengingatkan diriku untuk lebih memperhatikan, mencari prinsip kebenaran, dan berusaha yang terbaik.
Suatu saat, aku dan seorang saudari sedang membahas desain suatu gambar, dia bilang kami harus mengacu pada gaya Barat, dan membuatnya berkesan. Saat dia bilang "berkesan" aku merasa itu akan sulit, dan meskipun aku tahu gaya Barat terlihat bagus, membuat berbagai efek dekoratif tidaklah sederhana. Saudari lain selalu melakukan desain semacam itu sebelumnya, dan aku tidak ahli dalam hal itu. Membuatnya menjadi bagus akan sangat sulit bagiku, butuh banyak waktu dan tenaga. Aku ragu dan ingin menolaknya, meminta saudari lain yang melakukannya, tapi aku teringat kutipan firman Tuhan yang pernah kubaca: "Misalkan gereja memberimu pekerjaan untuk kaulaksanakan, dan engkau berkata, '... Pekerjaan apa pun yang gereja tugaskan kepadaku, aku akan melaksanakannya dengan segenap hati dan kekuatanku. Jika ada sesuatu yang tidak kupahami atau muncul masalah, aku akan berdoa kepada Tuhan, mencari kebenaran, memahami prinsip kebenaran, dan melaksanakan pekerjaan itu dengan baik. Apa pun tugasku, aku akan berupaya sebaik mungkin untuk melaksanakannya dengan baik dan memuaskan Tuhan. Untuk apa pun yang dapat kucapai, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memikul semua tanggung jawab yang harus kutanggung, dan setidaknya, aku tidak akan menentang hati nurani dan nalarku, atau bersikap ceroboh dan asal-asalan, atau bersikap licik dan penuh tipu muslihat, atau menikmati hasil kerja orang lain. Semua yang kulakukan tidak akan berada di bawah standar hati nurani.' Ini adalah standar minimum manusia dalam berperilaku, dan orang yang melaksanakan tugas mereka dengan cara seperti itu dapat dianggap memenuhi syarat sebagai orang yang berhati nurani dan berakal sehat. Engkau setidaknya harus memiliki hati nurani yang bersih dalam melaksanakan tugasmu, dan engkau setidaknya harus merasa bahwa engkau layak mendapatkan makan tiga kali sehari dan tidak mengemis untuk itu. Ini disebut rasa tanggung jawab. Entah kualitasmu tinggi atau rendah, dan entah engkau memahami kebenaran atau tidak, engkau harus memiliki sikap ini: 'Karena pekerjaan ini diberikan kepadaku untuk kulaksanakan, aku harus memperlakukannya dengan serius; aku harus menganggapnya penting dan melaksanakannya dengan baik, dengan segenap hati dan kekuatanku. Tentang apakah aku dapat melaksanakannya dengan sempurna atau tidak, aku tidak bisa memberikan jaminan, tetapi sikapku adalah, aku akan berupaya sebaik mungkin untuk memastikan pekerjaan itu dilaksanakan dengan baik, dan aku pasti tidak akan bersikap ceroboh dan asal-asalan terhadap pekerjaan itu. Jika masalah muncul, aku harus bertanggung jawab, dan memastikan aku memetik pelajaran darinya dan melaksanakan tugasku dengan baik.' Inilah sikap yang benar" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Aku memikirkan betapa aku tidak bertanggung jawab dalam tugas sebelumnya. Aku asal-asalan dan lakukan banyak hal yang buat Tuhan jijik. Kali ini aku tak bisa memanjakan daging dan mendambakan kenyamanan, Aku harus memikirkan kehendak Tuhan dan bertanggung jawab atas tugas. Aku diam-diam memutuskan terlepas dari seberapa besar pencapaianku, aku harus tunduk dan bekerja keras terlebih dulu. Melakukan yang terbaik adalah yang terpenting. Dengan pemikiran ini, aku merasa punya arah. Aku memikirkan prinsip pekerjaan kami dan mengumpulkan bahan acuan, lalu membuat beberapa versi dan mengirimkannya ke saudari lain untuk diberikan saran. Setelah beberapa kali revisi akhirnya selesai. Hatiku terasa damai saat melakukan hal seperti itu dan kini aku jadi lebih pragmatis.
Lalu, aku fokus merenungkan diri dan meninggalkan daging dalam tugasku. Aku memastikan untuk lebih memikirkan hal kecil dalam kehidupan sehari-hariku dan tugas yang diberikan oleh gereja, dan memikirkan cara bertugas dengan lebih baik. Sebenarnya, ini tidak membuatku lelah, tapi aku merasa puas. Menjadi orang seperti itu sungguh luar biasa. Meskipun terkadang aku masih mendambakan daging dan memanjakan diri, kini, aku punya kesadaran yang lebih baik akan kerusakanku. Kutahu aku harus segera berdoa dan meminta Tuhan membantuku meninggalkan daging, dan meminta-Nya mendisiplinkanku jika aku asal-asalan, menipu dan tak bertanggung jawab lagi. Seiring berjalannya waktu, aku mampu memikul beban dalam tugasku, serta sanggup bertanggung jawab dan bertugas. Ini satu-satunya cara hidup dengan integritas, martabat, dan kedamaian batin!
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.