Meloloskan Diri dari Sarang Iblis

28 Januari 2025

Oleh Saudari Xiao Kang, Tiongkok

Suatu hari di bulan Mei 2004, aku sedang berkumpul dengan dua saudari ketika lebih dari 20 polisi tiba-tiba datang menggerebek. Mereka berteriak, "Jangan ada yang bergerak, duduk di lantai!" Kemudian, mereka memotret kami bertiga sebelum kemudian mengubrak-abrik seisi rumah seperti segerombolan perampok. Salah seorang polisi menemukan tanda terima uang gereja sebesar 200.000 yuan di dompetku. Jantungku berdegup kencang saat kupikir: "Kini setelah mereka menemukan tanda terima ini, mereka pasti akan menanyaiku tentang keberadaan uang gereja." Aku segera berdoa kepada Tuhan, memohon Dia membantuku agar tidak mengkhianati-Nya seperti yang dilakukan Yudas dan memampukanku untuk tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Nya. Lalu seorang polisi bertanya kepadaku: "Apa ini dompetmu?" Karena aku tidak menjawab, dia menampar wajahku dengan keras dan menendangku beberapa kali. Kemudian, mereka membawa kami dengan paksa ke dalam mobil patroli mereka.

Sesampainya di biro keamanan publik, kami dipisahkan dan dibawa masuk untuk diinterogasi. Kapten Brigade Keamanan Nasional bertanya setinggi apa kedudukanku dalam kepemimpinan dan dengan siapa saja biasanya aku berkumpul. Karena aku tidak menjawab, dia mengambil sebuah buku, lalu memukulkan buku itu ke wajah dan kepalaku beberapa kali, membuat wajahku terasa sakit. Kupikir dalam hatiku, "Siksaan macam apa yang akan mereka lakukan untuk mendapatkan 200.000 yuan itu dariku? Akankah aku mampu menanggungnya? Bagaimana jika aku tak sanggup menanggungnya dan mengkhianati Tuhan seperti Yudas?" Saat semua pemikiran ini terlintas di benakku, aku segera menjadi cemas dan memohon kepada Tuhan untuk memberiku iman dan kekuatan. Kemudian, aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Para penguasa mungkin tampak ganas dari luar, tetapi jangan takut, karena ini disebabkan engkau semua memiliki sedikit iman. Asalkan imanmu bertumbuh, tidak akan ada yang terlalu sulit" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 75"). "Benar," pikirku. "Sekejam apa pun para polisi ini, mereka semua berada di tangan Tuhan. Tanpa seizin Tuhan, mereka sama sekali tak bisa menyentuhku. Aku harus percaya kepada Tuhan dan menyerahkan diriku ke dalam tangan-Nya. Bagaimanapun polisi memperlakukanku, aku harus mengandalkan Tuhan dan tetap teguh dalam kesaksianku bagi-Nya." Dengan marah aku bertanya kepada mereka, "Atas dasar apa kalian menangkap dan memukuli kami? Hukum apa yang telah kami langgar?" Polisi lain dengan kejam menjawab: "Masih menyangkali kesalahanmu, ya? Percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa bertentangan dengan hukum, partai, dan negara kita!" Aku menjawab: "Dalam kepercayaan kami, yang kami lakukan hanyalah berkumpul dan membaca firman Tuhan. Kami tak pernah berpolitik, jadi mengapa kami dianggap bertindak menentang partai dan negara? Kalian dengan sengaja melanggar hukum dengan menangkap dan memukuli kami tanpa alasan." Dia menjadi sangat marah sehingga jelas sekali dia akan memukulku, tetapi tepat pada saat itu, petugas lain datang dan menyuruh mereka pergi makan malam dan melanjutkan interogasi nanti malam.

Malam itu, mereka membawaku ke sebuah hotel dan menginterogasiku tentang siapa yang menyimpan uang gereja sebesar 200.000 yuan itu dan di mana uang itu berada. Karena aku tak mau menjawab, salah seorang petugas menamparku begitu keras sehingga mataku mulai berkunang-kunang dan pipiku terasa sakit. Kapten Brigade Keamanan Nasional berusaha mengintimidasiku dengan berkata: "Baru beberapa hari yang lalu, kami menangkap beberapa pemimpin tingkat tinggi kalian. Kami telah membuntutimu selama beberapa waktu dan kami tahu kau adalah seorang pemimpin. Sebaiknya kau bekerja sama sepenuhnya dengan kami atau kami akan memukulimu sampai mati!" Aku mengabaikannya dan terus berdoa kepada Tuhan dalam hatiku, memohon kepada-Nya untuk memberiku keberanian dan hikmat agar aku tidak takut kepada Iblis. Setelah itu, petugas lainnya tersenyum sinis dan berkata: "Yang harus kaulakukan hanyalah memberi tahu kami apa yang kauketahui dan kemudian kau bisa pulang. Anakmu masih sangat kecil dan tak ada orang lain yang bisa merawat orang tuamu. Bagaimana mereka bisa bertahan hidup jika kau tidak berada di rumah untuk menjaga mereka? Katakan saja kepada kami apa yang kauketahui sekarang atau kau akan masuk penjara!" Mendengar perkataannya, kupikir: "Kedua orang tuaku sudah berusia tujuh puluhan dan putriku masih sangat kecil. Siapa yang akan menjaga mereka jika aku dijatuhi hukuman penjara?" Saat memikirkan hal ini, aku tak mampu menahan tangis. Tepat pada saat itu, aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Setiap saat, umat-Ku harus berjaga-jaga terhadap rencana licik Iblis, menjaga gerbang rumah-Ku untuk-Ku ... untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap Iblis, di mana pada saat itulah penyesalan sudah terlambat" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 3"). Firman Tuhan mengingatkanku bahwa Iblis sedang berusaha menggunakan kekhawatiranku akan anggota keluargaku untuk mencobaiku agar mengkhianati Tuhan. Aku tak boleh jatuh ke dalam perangkapnya. Aku teringat bagian lain firman Tuhan yang berkata: "Mengapa engkau tidak memercayakannya ke dalam tangan-Ku? Apakah engkau tidak memiliki iman yang cukup kepada-Ku? Atau apakah engkau takut Aku akan membuat pengaturan yang tidak pantas bagimu? Mengapa engkau selalu mengkhawatirkan keluarga lahiriahmu dan mengkhawatirkan orang-orang yang kaukasihi? Apakah Aku memiliki posisi khusus di hatimu?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 59"). Benar, nasib putri dan orang tuaku semuanya berada di tangan Tuhan dan Dialah yang menentukan dan mengaturnya, jadi apa yang harus kukhawatirkan? Aku harus menyerahkan mereka kepada Tuhan dan tak boleh mengkhianati saudara-saudariku karena mengkhawatirkan keluargaku. Dalam hati aku bertekad: "Sekalipun aku harus mendekam di penjara selama sisa hidupku, aku tak akan pernah mengkhianati saudara-saudariku ataupun Tuhan!" Tepat pada saat itu, petugas lain masuk dan berkata bahwa mereka harus menginterogasi dua saudari lainnya terlebih dahulu, kemudian mereka pindah ke ruangan sebelah, dengan hanya menyisakan dua petugas untuk menjagaku. Tak lama kemudian, kudengar suara jeritan saudariku yang berulang-ulang. Aku merasa sangat marah—sebagai orang percaya dan pengikut Tuhan, kami sedang menempuh jalan yang benar dan tidak melanggar hukum apa pun, tetapi PKT telah menangkap dan menganiaya kami! Aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Selama ribuan tahun, negeri ini telah menjadi negeri yang najis. Negeri ini tak tertahankan kotornya, penuh kesengsaraan, hantu merajalela di mana-mana, menipu dan menyesatkan, membuat tuduhan tak berdasar, dengan buas dan kejam, menginjak-injak kota hantu ini, dan meninggalkannya penuh dengan mayat; bau busuk menyelimuti negeri ini dan memenuhi udara dengan pekatnya, dan tempat ini dijaga ketat. Siapa yang bisa melihat dunia di balik langit? ... Nenek moyang? Pemimpin yang dikasihi? Mereka semuanya menentang Tuhan! Tindakan ikut campur mereka membuat segala sesuatu di kolong langit ini menjadi gelap dan kacau! Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipu muslihat untuk menutupi dosa!" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). PKT adalah setan yang membenci dan menentang Tuhan. Inkarnasi Tuhan dan penyelamatan manusia adalah peristiwa yang penuh dengan sukacita, tetapi PKT tidak mengizinkan Tuhan datang ke bumi. Mereka tidak akan mengizinkan kita untuk percaya kepada Tuhan, mengikuti Tuhan, dan menempuh jalan yang benar. Mereka dengan gila-gilaan memburu Kristus dan menindas para pengikut Tuhan. Mereka bertekad untuk membasmi kita semua, memusnahkan kita, dan menindas pekerjaan Tuhan untuk memperoleh kekuasaan abadi dan memuaskan ambisi liar mereka untuk mengendalikan umat manusia; mereka benar-benar menentang Tuhan. Aku membenci PKT, membenci si setan tua ini dengan segenap hatiku, dan makin mereka menganiayaku, makin aku ingin mengikuti Tuhan. Seberat apa pun aku harus menderita, aku ingin tetap teguh dalam kesaksianku bagi Tuhan untuk mempermalukan Iblis.

Kemudian, sekitar pukul 4 pagi, para penjaga berbaring di tempat tidur mereka dan tertidur. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk keluar dari sana dan melarikan diri, tetapi aku juga khawatir jika aku tak berhasil dan dibawa kembali, polisi akan menggunakan taktik penyiksaan yang jauh lebih keras terhadapku. Aku segera berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Jika Engkau telah membukakan jalan keluar ini untukku, kumohon penuhi aku dengan iman, keberanian, dan hikmat yang kuperlukan untuk keluar dari gua singa ini." Setelah mengakhiri doaku, aku merenungkan firman Tuhan, yang berkata: "Dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, tidak ada satu pun yang mengenainya Aku tidak mengambil keputusan yang terakhir. Apakah ada sesuatu, yang tidak berada di tangan-Ku?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 1"). Firman Tuhan memberiku kekuatan: Tuhan itu mahakuasa dan berkuasa atas segala sesuatu. Iblis juga berada di tangan Tuhan. Aku merenungkan ketika Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir dan terjebak di antara kereta-kereta yang mengejar di belakang mereka dan Laut Merah di depan mereka, Musa dengan sungguh-sungguh berseru kepada Tuhan Yahweh dan Tuhan membukakan jalan bagi mereka, membelah Laut Merah dan membuka sebidang tanah kering di tengahnya. Setelah orang Israel menyeberangi Laut Merah, Tuhan dengan segera membalikkan air laut ke tanah kering itu, menenggelamkan orang-orang Mesir yang mengejar mereka. Setelah menyadari bahwa segala sesuatu tunduk pada kedaulatan Tuhan, rasa takutku berkurang dan memiliki keberanian dan iman untuk melarikan diri. Diam-diam aku membuka pintu dan menutupnya dengan hati-hati saat keluar dan kemudian perlahan-lahan turun ke lantai satu, dengan membawa sandal di tanganku. Tak seorang pun berada di meja depan, tetapi saat aku sampai di pintu masuk gedung, kulihat pintu itu terkunci. Kupikir: "Aku tak akan bisa meloloskan diri sekarang. Sebaiknya aku kembali. Jika polisi mengetahui apa yang telah kulakukan, mereka pasti akan memukuliku dengan kejam." Aku sangat gugup dan jantungku berdegup kencang. Namun di luar dugaan, dalam perjalanan kembali ke lantai dua, tiba-tiba aku melihat ada pintu belakang keluar gedung. Jadi aku berjalan perlahan-lahan untuk melihatnya, tetapi pintu itu juga terkunci—kembali aku kecewa. Kupikir: "Ya Tuhan! Aku tak akan berusaha melarikan diri jika Engkau tidak mengizinkannya. Aku bersedia tunduk pada pengaturan dan penataan-Mu. Jika aku memang mendapatkan izin-Mu, maka kumohon bukakanlah jalan untukku." Dengan hati-hati aku menyentakkan kuncinya dan, di luar dugaan, pintu itu langsung terbuka! Aku sangat senang dan berlari keluar dari pintu belakang itu secepat mungkin. Aku berlari dengan sekuat tenaga, dan, setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya aku tiba di rumah bibiku yang jaraknya sekitar 4 kilometer.

Baru saja aku duduk di rumah bibiku, tiba-tiba kudengar lengkingan sirene polisi yang memekikkan telinga dari jalan—jenis sirene yang sama yang mereka gunakan saat mengejar penjahat kelas berat. Hanya dengan membayangkan wajah garang para petugas itu dan berbagai taktik penyiksaan mereka, aku menjadi panik dan khawatir mereka akan menangkapku setiap saat. Saat itu, firman Tuhan kembali memberiku semangat: "Jangan takut akan hal ini dan itu, Tuhan Yang Mahakuasa atas alam semesta pasti akan menyertaimu; Dia adalah kekuatan pendukungmu, dan Dia adalah perisaimu" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 26"). Seketika itu juga, firman Tuhan memberiku keberanian dan iman. Dengan Tuhan yang menyokongku, apa yang harus kutakutkan? Bukankah Tuhan telah menolong membebaskanku dari gua singa? Aku harus memiliki iman kepada Tuhan dan menyerahkan diriku sepenuhnya ke dalam tangan-Nya. Sebanyak apa pun aku akan menderita, itu telah ditentukan dari semula oleh Tuhan, dan jika aku kembali ditangkap, itu hanya atas seizin-Nya. Dengan pemikiran ini, aku merasa sedikit lebih tenang, tetapi kemudian aku teringat putra dan menantu bibiku yang menolak kepercayaan bibiku kepada Tuhan dan bahkan beberapa kali ingin mengirim bibiku ke kantor polisi. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan jika mereka tahu PKT sedang mencariku, jadi aku tahu aku harus pergi dari sana secepat mungkin.

Untuk memastikan aku tidak akan dikenali, aku memotong pendek rambutku dan mengganti pakaianku. Kemudian, pada hari ketiga aku tinggal di rumah bibiku, aku menyelinap keluar dari rumah sekitar pukul 4 pagi dan bersepeda sejauh 20 kilometer menyusuri jalan menuju rumah Saudari Dong En. Aku ingat bahwa aku telah berjanji kepada beberapa saudari untuk menelepon mereka setiap hari pada sekitar tengah hari, tetapi mereka tidak tahu bahwa aku telah ditangkap dan polisi telah menyita teleponku—jika mereka meneleponku, mereka pasti akan diawasi dan akhirnya ditangkap. Jadi, aku membeli kartu telepon baru dan menelepon untuk memberi tahu mereka agar segera mematikan telepon mereka. Sayangnya, polisi sudah memantau panggilan telepon mereka dan begitu aku menghubungi mereka, dengan segera lokasiku ketahuan. Beberapa hari kemudian sekitar pukul 7 malam, PKT mengerahkan sepasukan besar polisi yang terdiri dari petugas biro keamanan publik, polisi bersenjata, dan agen SWAT untuk mencari dan menangkapku di desa Dong En. Begitu suami Dong En mengetahuinya, dia segera memberitahuku bahwa polisi telah mengepung desa dan mereka mungkin telah datang untuk menangkapku. Pada saat itu, jantungku mulai berdegup kencang karena ketakutan dan aku segera berlari turun ke bawah bahkan tanpa mengganti sandalku. Begitu sampai di lantai satu, aku langsung disambut oleh Saudari Liu Yi, yang juga tinggal di desa yang sama. Dia memegang tanganku dan kami berdua berlari keluar rumah ke ladang kedelai yang berjarak sekitar lima puluh meter dari rumah. Tak lama setelah kami berjongkok di ladang itu, tim polisi yang terdiri dari tujuh atau delapan petugas menggerebek rumah Dong En dan mulai menggeledah setiap lantai dengan menggunakan senter. Karena mereka tetap tidak menemukanku setelah mencari selama lebih dari setengah jam, mereka menangkap suami Dong En sebagai gantinya. Aku dan Liu Yi bersembunyi di ladang kedelai itu sampai sekitar pukul 11 malam, dan pada saat itulah, dia memutuskan untuk kembali ke rumah Dong En untuk melihat bagaimana keadaannya, meyakini bahwa polisi sudah pergi. Dia pergi lama sekali, dan aku sangat mengkhawatirkannya, tetapi aku tak berani bertindak gegabah. Lalu tiba-tiba, sebuah mobil polisi berhenti di luar rumah dan, beberapa saat kemudian, aku harus menyaksikan tanpa daya saat mereka menangkap Liu Yi dan memasukkannya ke dalam mobil patroli. Aku tak mampu menahan air mataku dan aku membenci diriku sendiri karena membiarkan Liu Yi kembali ke rumah itu, tetapi yang bisa kulakukan pada waktu itu hanyalah berdoa dalam hati untuknya.

Pada waktu itu, aku tidak berani pergi ke rumah saudara-saudari lainnya dan aku tidak tahu ke mana harus melarikan diri, jadi aku mulai berlari tanpa tujuan ke arah selatan. Namun, beberapa anjing desa tidak mau berhenti mengejar dan menggonggongiku. Aku takut polisi akan datang mencari jika mereka mendengarnya, jadi aku segera bersembunyi di ladang jagung. Tak lama kemudian, aku mendengar suara mesin motor di sekitar ladang jagung itu dan aku sangat ketakutan. Kupikir dalam hatiku: "Tak mungkin aku dapat meloloskan diri dengan begitu banyaknya polisi yang mencariku di sini. Mereka tahu aku seorang pemimpin dan mereka memiliki tanda terima itu—jika mereka kembali menangkapku, mereka pasti akan membunuhku. Apakah ini benar-benar takdirku untuk dibunuh oleh PKT di usia yang masih sangat muda?" Ketika menyadari hal ini, aku menjadi sangat sedih, tetapi tepat pada saat itu aku teringat firman Tuhan yang berkata: "Siapakah dari seluruh umat manusia yang tidak diperhatikan di mata Yang Mahakuasa? Siapakah yang tidak hidup menurut apa yang telah ditentukan dari semula oleh Yang Mahakuasa? Apakah kehidupan dan kematian manusia terjadi karena pilihannya sendiri? Apakah manusia mengendalikan nasibnya sendiri?" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 11"). Benar, nasibku berada di tangan Tuhan, dan Dialah yang menjadi penentu keputusan apakah aku akan hidup atau mati. Jika Tuhan tidak mengizinkanku ditangkap dan disiksa sampai mati oleh PKT, polisi pasti tidak bisa mengambil nyawaku. Ketika Iblis menyerang dan mencobai Ayub, dia tidak memiliki izin Tuhan untuk membunuh Ayub, jadi dia hanya bisa menyakiti tubuhnya dan tidak bisa mengambil nyawanya. Aku teringat bagian lain firman Tuhan yang berkata: "Selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Firman Tuhan memenuhiku dengan iman. Aku tahu aku harus menyerahkan diriku ke dalam tangan Tuhan dan tunduk pada pengaturan dan penataan-Nya. Sekalipun hanya tersisa satu tarikan napas, aku harus tetap setia kepada Tuhan dan tidak pernah mengkhianati-Nya. Aku teringat Petrus, yang setelah mengalami segala macam penganiayaan dan kesukaran, rela disalibkan terbalik untuk menjadi kesaksian tentang kasihnya kepada Tuhan. Di sepanjang zaman, orang-orang kudus yang tak terhitung banyaknya telah mengorbankan hidup mereka untuk mengabarkan Injil, menjadi kesaksian yang teguh dan berkumandang bagi Tuhan untuk menggagalkan dan mempermalukan Iblis. Bisa mengalami penganiayaan dan kesukaran ini dan memiliki kesempatan untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan, sebenarnya adalah berkat. Saat menyadari hal ini, aku merasakan keberanian yang diperbarui, jadi aku berdoa kepada Tuhan, berjanji kepada-Nya bahwa aku akan selalu menjadi kesaksian bagi-Nya di hadapan Iblis sekalipun itu berarti mempertaruhkan nyawaku. Setelah berdoa, kepanikanku berkurang dan aku mulai memikirkan bagaimana aku dapat mengandalkan Tuhan untuk meloloskan diri. Aku tahu aku tak bisa mengambil jalan utama, jadi aku mengitari hutan di pinggiran desa dan melewatinya, terkadang berlari menyusuri tepi sungai. Dengan perlindungan Tuhan, akhirnya aku berhasil meloloskan diri dari desa itu dengan selamat.

Ketika aku keluar dari hutan, hari sudah larut malam dan aku tidak tahu ke mana aku harus pergi, jadi kuputuskan untuk pergi ke rumah saudariku, sekitar 10 kilometer dari tempatku. Aku mendengar suara motor melaju di sepanjang jalan utama dan menyadari bahwa polisi masih berusaha mengepung dan mencegatku, jadi aku berlari bertelanjang kaki melewati jalan setapak di hutan belantara. Setelah sekitar dua atau tiga kilometer, aku melewati beberapa sawah dan kakiku tertusuk sebuah ubin, tetapi tak ada waktu untuk mengurusi rasa sakitnya—aku terus berlari secepat yang kubisa. Akhirnya aku sampai di jalan yang berkerikil, yang merupakan jalan satu-satunya menuju rumah saudara perempuanku. Batu-batu kerikil itu menekan luka di kakiku, menyebabkan rasa sakit yang menyiksa, tetapi aku harus terus menguatkan diriku karena aku tak berani berhenti. Tepat ketika aku akan melewati stasiun irigasi listrik, aku mendengar suara motor di belakangku dan segera bersembunyi di semak-semak di pinggir jalan. Motor itu berhenti di stasiun irigasi dan seorang petugas polisi bertanya kepada pria tua yang bekerja sebagai petugas di sana apakah dia telah melihat seorang perempuan lewat. Pria tua itu berkata dia tidak melihat siapa pun. Kupikir dalam hatiku: "Aku tak bisa terus melanjutkan perjalanan di jalan berkerikil ini. Aku harus kembali berjalan menyusuri sawah atau jalan setapak; aku mungkin bisa menghindari polisi dengan cara itu." Setelah kira-kira setengah kilometer lagi, melihat fajar perlahan menjelang, kurasa polisi mungkin telah berhenti berpatroli setelah mencariku sepanjang malam dan aku bisa kembali ke jalan utama. Namun di luar dugaan, tiba-tiba aku melihat kapten Brigade Keamanan Nasional dan dua polisi berada hanya beberapa langkah dari tempatku, yang satu duduk di atas motor, yang satunya lagi berdiri di samping motor dan yang lainnya sedang berjongkok. Aku sangat ketakutan hingga merasa jantungku akan copot. Kupikir dalam hatiku, "Kini tamatlah riwayatku, tak mungkin aku bisa meloloskan diri sekarang. Aku telah berlari sepanjang malam, tetapi aku tetap tak berhasil meloloskan diri dari cengkeraman mereka." Aku segera berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan! Segala sesuatu berada dalam kendali-Mu. Jika Engkau mengizinkanku ditangkap polisi, aku bersedia tunduk dan membiarkan semuanya berjalan sesuai pengaturan-Mu." Setelah berdoa, aku merasa sedikit lebih tenang dan, setelah merapikan rambutku, aku berdiri di tempatku berada selama beberapa detik dan kemudian maju selangkah. Jika mereka ingin menangkapku, mereka dapat dengan mudah melakukannya saat itu juga, tetapi di luar dugaan, mereka tetap berada di tempatnya, diam seperti tiga patung kayu. Tampaknya mereka tidak mengenaliku karena aku telah memotong rambut dan mengganti pakaianku, dan aku terlihat sama sekali berbeda dari saat pertama mereka menangkapku. Ketika melihat mereka tampaknya tidak bereaksi terhadapku, aku merasa sedikit lebih berani dan lebih percaya diri dan aku terus berjalan maju. Saat aku berjalan melewati mereka, aku menahan napas dengan gugup; seolah-olah segala sesuatu di sekitarku telah membeku. Aku melihat sebuah jalan kecil menuju ke timur, jadi aku berjalan perlahan ke arah itu, tetapi ketiga petugas itu tetap tidak bergerak. Sekali lagi, aku telah melihat kedaulatan Tuhan yang mahakuasa. Ketika aku sudah berada sekitar 10 meter dari mereka, aku mendengar kapten itu berteriak dari belakangku, "Xiao Kang, Xiao Kang, apa kau Xiao Kang?" Dia pasti telah berteriak ke arahku empat atau lima kali. Saat kudengar dia meneriakkan namaku, jantungku berdegup kencang, dan aku berkeringat dingin. Aku sangat ingin berlari dengan cepat, tetapi kakiku tidak mendengarkan perintah otakku. Terpikir olehku jika aku kabur, mereka akan tahu itu aku dan pasti akan mengejarku. Aku segera berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia membuatku tetap tenang dan tidak membiarkanku panik. Setelah berdoa, aku merasa sedikit lebih tenang dan bagaimanapun polisi itu memanggilku, aku hanya mengabaikan mereka dan terus berjalan. Tak satu pun dari polisi itu yang mengejarku. Seperti itulah, dengan perlindungan Tuhan, aku dengan mudah meloloskan diri tepat di depan mereka.

Pelarian yang sangat berisiko ini membuatku teringat satu bagian firman Tuhan: "'Sekuat' apa pun Iblis, seberani dan seambisius apa pun dirinya, sehebat apa pun kemampuannya untuk menimbulkan kerusakan, seluas apa pun teknik yang digunakannya untuk merusak dan memikat manusia, selihai apa pun trik dan rencana jahat yang digunakannya untuk mengintimidasi manusia, sehebat apa pun kemampuannya mengubah bentuk keberadaan dirinya, ia tidak pernah mampu menciptakan satu makhluk hidup pun, tidak pernah mampu menetapkan hukum atau aturan untuk keberadaan segala sesuatu, dan tidak pernah mampu mengatur dan mengendalikan objek apa pun, baik yang hidup atau mati. Di alam semesta dan cakrawala, tidak ada orang atau objek apa pun yang lahir dari dirinya, atau ada karena dirinya; tidak ada orang atau objek apa pun yang diatur olehnya, atau dikendalikan olehnya. Sebaliknya, ia bukan saja harus hidup di bawah kekuasaan Tuhan, tetapi, lebih dari itu, ia harus menaati semua perintah dan titah Tuhan. Tanpa izin Tuhan, sulit bagi Iblis untuk menyentuh bahkan setetes air pun atau butiran pasir di atas tanah; tanpa izin Tuhan, Iblis bahkan tidak bebas untuk memindahkan semut di atas tanah, apalagi umat manusia, yang diciptakan oleh Tuhan" (Firman, Jilid 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik I"). Aku menyadari bahwa Tuhan itu mahakuasa, berkuasa atas segala sesuatu dan memiliki otoritas yang tertinggi dan terutama. Tuhanlah yang membutakan para polisi itu, membiarkanku lolos dengan mudah. Ketika mengingat kembali dua pengalaman penindasan dan penangkapan PKT ini, aku sadar bahwa tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh kuasa Tuhan. Ketika aku ditangkap, Tuhan membuka jalan keluar bagiku, memungkinkanku untuk meloloskan diri dengan selamat. Polisi mengerahkan operasi besar-besaran untuk memburu dan menangkapku, mengepung rumah dan desa tempat aku tinggal, tetapi mereka tetap tak mampu menangkapku. Kemudian, mereka berusaha mengejarku dan mencegatku di jalan, tetapi entah bagaimana mereka tidak mengenaliku saat aku berjalan melewati mereka. Makin aku merenungkannya, makin aku merasa bahwa Tuhan benar-benar mahakuasa dan, sekejam apa pun Iblis bertindak, dia sama sekali tak bisa menyentuhku tanpa seizin Tuhan.

Beberapa waktu kemudian, beberapa saudara-saudari memberitahuku bahwa PKT telah memasang fotoku sebagai buronan di seluruh wilayah dengan tuduhan "Pengacau ketertiban sosial yang membahayakan". Polisi juga memeriksa bus kota dengan membawa fotoku untuk menanyakan apakah ada yang mengetahui keberadaanku. Karena polisi masih mencariku, aku sama sekali tak bisa keluar untuk melaksanakan tugasku dan harus bersembunyi di rumah keluarga tuan rumah, dan aku selalu merasa gelisah. Setelah itu, aku tak keluar rumah selama lebih dari setahun, dan aku merasa sangat tertekan dan sedih. Terkadang, aku merasa betapa sulit dan menderitanya percaya kepada Tuhan di negeri si naga merah yang sangat besar. Aku membaca satu bagian firman Tuhan yang berkata: "Karena dimulai di sebuah negeri yang melawan Tuhan, semua pekerjaan Tuhan menghadapi rintangan-rintangan yang luar biasa, dan banyak firman-Nya yang tidak dapat segera digenapi; akibatnya, orang-orang dimurnikan sebagai hasil dari firman Tuhan, yang juga adalah bagian dari penderitaan. Teramat sulit bagi Tuhan untuk menjalankan pekerjaan-Nya di negeri si naga merah yang sangat besar—tetapi lewat kesulitan inilah Tuhan mengerjakan satu tahap pekerjaan-Nya, membuat hikmat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan menjadi nyata, dan menggunakan kesempatan ini untuk melengkapi kelompok orang ini" (Firman, Jilid 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Apakah Pekerjaan Tuhan Sesederhana yang Manusia Bayangkan?"). Aku menyadari bahwa Tuhan tidak dengan sengaja membuat orang menderita, tetapi Dia menggunakan keadaan buruk yang diakibatkan oleh penangkapan dan penganiayaan oleh PKT terhadap orang percaya untuk menyempurnakan iman dan kasih orang dan membentuk sekelompok pemenang.

Ketika mengingat kembali seluruh pengalaman ini—dari mulai ditangkap, melarikan diri, sampai pada saat ini—aku telah menghadapi cukup banyak kesukaran, tetapi itu membuatku mengetahui yang sebenarnya mengenai esensi jahat penentangan PKT terhadap Tuhan. PKT tidak bisa lagi menyesatkanku dan aku telah memberontak terhadap mereka dan meninggalkan mereka. Pada saat yang sama, aku telah melihat sendiri bahwa Tuhan telah menyertaiku di setiap langkahku, menolongku kapan pun aku membutuhkannya dan berulang kali membukakan jalan bagiku. Firman Tuhan telah memberiku iman dan kekuatan serta membimbingku keluar dari gua singa dari waktu ke waktu. Aku telah melihat kedaulatan Tuhan yang mahakuasa dan ini telah membuatku makin percaya kepada Tuhan. Makin kurenungkan, makin aku menyadari bahwa aku telah memperoleh banyak hal melalui kesukaran dan penganiayaan ini. Dengan pemikiran ini, aku tidak merasa sedih lagi, tetapi merasa seolah-olah Tuhan telah memperlihatkan kepadaku kasih karunia dan memberiku kemurahan dengan mengizinkanku mengalami pekerjaan-Nya melalui situasi yang sulit ini. Bagaimanapun PKT memburu dan menganiayaku, aku akan terus mengejar kebenaran, melaksanakan tugasku, dan membalas kasih Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Dua Puluh Hari Penderitaan

Oleh Saudara Ye Lin, TiongkokSuatu hari pada Desember 2002 sekitar pukul 4 sore, ketika aku sedang berdiri di pinggir jalan sambil...

Penderitaan adalah Berkat Tuhan

Oleh Saudara Wang Gang, TiongkokSuatu sore di musim dingin tahun 2008, saat aku dan dua orang saudari sedang bersaksi mengenai pekerjaan...

Pencobaan di Kelas Indoktrinasi

Oleh Saudari Xu Hui, TiongkokAkhir Juli 2018, aku ditangkap karena percaya kepada Tuhan dan memberitakan Injil. Suatu hari pada bulan...

Keajaiban Hidup

Oleh Saudari Yang Li, Provinsi JiangxiIbuku meninggal saat aku masih kecil, jadi aku harus menanggung beban berat tanggung jawab rumah...