Renungan Setelah Kalah dalam Pemilihan
Setelah beberapa tahun menjadi orang percaya, aku terpilih sebagai pemimpin. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah dipercayakan amanat yang begitu besar, dan aku bertekad melakukan pekerjaan gereja dengan baik. Aku bekerja seperti mesin setiap hari, dan pekerjaan gereja makin berkembang berkat bimbingan Tuhan. Saudara-saudari bisa dikatakan mengagumiku, melihat kemampuanku untuk mengorbankan diri untuk Tuhan, serta menyelesaikan beberapa masalah nyata. Suatu kali dalam pertemuan, aku mendengar pemimpinku berkata bahwa pendekatanku terhadap tugasku membuahkan hasil, dan aku sangat senang—ini membuatku makin bersemangat. Dalam pertemuan dengan rekan sekerja, aku selalu menceritakan pengalaman kerjaku kepada saudara-saudari lainnya dan merasa cukup bangga dengan diriku saat melihat ekspresi mereka yang mendukung. Aku merasa diriku adalah orang yang tak tergantikan di dalam gereja.
Saat pekerjaan Injil diperluas, saudara-saudari merekomendasikan agar aku pergi ke wilayah selatan untuk menyokong beberapa gereja yang baru didirikan di sana. Terpikir olehku karena gereja-gereja itu baru saja didirikan, pasti ada kesulitan dan masalah dalam pekerjaan, jadi aku harus lebih berfokus pada pekerjaan nyata agar dapat memenuhi harapan Tuhan terhadap diriku. Lalu, kupikir jika aku bekerja dengan baik, aku bahkan mungkin akan dibina untuk posisi yang lebih penting. Setelah berada di sana, meskipun ada banyak tantangan dalam tugasku dalam aspek seperti kendala bahasa dan gaya hidup, serta banyak waktu di perjalanan dan sebagainya, aku tidak mundur. Setiap hari aku sibuk sepanjang hari mengadakan pertemuan dan mengatur pekerjaan gereja dalam upaya melakukan tugasku dengan baik, bahkan membenci waktu yang "terbuang" untuk makan—aku selalu makan sesuatu yang bisa kumakan di bus dalam perjalanan ke suatu tempat. Setelah setahun lebih melakukan pekerjaan ini, ada peningkatan nyata di bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku, dan Saudari Zhang, yang selama ini datang ke wilayah selatan untuk melakukan tugasnya pada saat yang sama denganku, berkata kepadaku dengan kagum, "Hasil kerjamu benar-benar bagus. Hasil kerjaku tidak sebaik hasil kerjamu." Aku menghibur dan mendorongnya dengan berkata: "Tuhan adalah Pengurus pekerjaan-Nya sendiri. Asalkan kita mengerahkan segenap kemampuan, kita akan melihat kemajuan di semua aspek." Itulah perkataan di bibirku, tetapi dalam hati aku merasa senang. Karena pekerjaanku berjalan dengan cukup baik, Saudari Xin, pemimpinku, menulis surat untuk memintaku menuliskan pengalaman kerjaku untuk dipelajari orang lain. Aku menjadi makin sombong, merasa sepertinya aku sudah menjadi calon untuk dilatih untuk fungsi yang lebih penting, dan bahwa aku adalah salah satu sokoguru gereja. Lalu, tak lama kemudian, Saudari Xin meminta kami memilih pemimpin lain untuk bekerja bersamanya. Aku merasa bersemangat mendengar hal ini, berpikir karena aku telah bekerja di wilayah itu selama lebih dari setahun dan melakukannya dengan cukup baik selama ini, aku pasti mendapatkan posisi itu.
Lalu, dalam pertemuan setengah bulan kemudian, di luar dugaanku, Saudari Wang-lah yang terpilih sebagai pemimpin. Saat mendengar berita itu, aku merasa sangat sedih. Aku merasa diperlakukan tidak adil, merasa tidak puas, dan penuh keluhan—semua perasaan ini muncul ke permukaan. "Bagaimana mungkin Saudari Wang yang terpilih?" pikirku, "Hasil kerjanya biasa-biasa saja. Mengapa dia yang dipilih, bukan aku? Bukankah aku telah cukup membayar harga? Atau bukankah aku telah cukup berinisiatif dalam tugasku? Aku sangat sering bekerja hingga larut malam untuk menyelesaikan kesulitan dan masalah yang muncul di gereja, aku bahkan sudah berkali-kali pergi bekerja dalam keadaan sakit. Aku tak hanya sudah mengurus pekerjaanku sendiri, tetapi aku telah membantu pekerjaan pemimpin. Setelah mengalami semua ini, jika tidak bisa dipilih sebagai pemimpin, masa depan seperti apa yang kumiliki? Karena begini keadaannya, buat apa repot-repot terus berusaha keras melakukan tugasku? Lagipula, sebanyak apa pun kesulitan yang kuderita, semahal apa pun harga yang kubayar, tidak ada yang memperhatikan..."
Saudari Xin melihat aku terlihat sangat sedih setelah pertemuan itu, dan dia menanyakan apa yang ada di benakku. Aku menceritakan keadaanku kepadanya. Saudari Xin dengan sangat sabar berkata kepadaku, "Sebenarnya, semua orang bisa melihat betapa bersemangatnya kau melakukan tugasmu, tetapi kebanyakan saudara-saudari telah menyatakan bahwa kau tidak berfokus pada jalan masuk ke dalam kehidupan, dan ketika sesuatu terjadi, kau hampir tidak pernah merenungkan dan mengenal dirimu untuk belajar. Sebaliknya, kau cenderung meninggikan diri dan pamer—inilah masalah terbesarmu. Di rumah Tuhan, kebenaran dan keadilan berkuasa. Saat saudara-saudari tidak memilih kita, itulah keadilan Tuhan, dan kita harus merenungkan diri kita. Apa pun tugas yang kita lakukan, kita harus menaati pengaturan dan penataan Tuhan; kita harus berfokus mencari kebenaran di dalam lingkungan yang telah Tuhan atur, merenungkan watak rusak kita, mengejar perubahan watak, dan melakukan tugas dengan baik. Hanya inilah yang sejalan dengan kehendak Tuhan." Saudari Xin langsung membahas masalahku, tetapi aku sama sekali tidak mengenal diriku sendiri. Meskipun tidak mengatakan apa pun, dalam hati aku marah. Kuakui bahwa aku tidak memiliki jalan masuk kehidupan dan tidak mengenal diriku sendiri, tetapi kupikir aku jauh lebih baik daripada orang-orang yang hanya berbicara tentang pemahaman mereka, tetapi tidak mengabdikan diri ke dalam tugas mereka. Aku merasa mereka memandang rendah diriku, jadi sekeras apa pun aku bekerja dalam tugasku, apa gunanya? Sejak itu, aku memendam sikap yang menentang ini, dan setiap kali Saudari Xin memintaku untuk membantunya, aku hanya memilih tugas yang lebih ringan dan mudah, serta menghindari apa pun yang lebih sulit diselesaikan, apa pun yang mengharuskanku untuk membayar harga. Aku tidak lagi bersedia menanggung kesulitan itu. Aku senang saat melihat Saudari Xin menghadapi kesulitan dalam pekerjaannya, berpikir, "Sekarang kau bisa melihat betapa pentingnya diriku." Aku menolak saat Saudari Wang, pemimpin yang baru terpilih, datang untuk mengadakan pertemuan dengan kami. Aku bahkan berpikir dalam hati, "Bukankah kau sedikit lebih tua dariku? Kau tetap bukan tandinganku dalam hal apa pun, mulai dari mempersekutukan kebenaran hingga menyelesaikan kesulitan dan masalah gereja." Karena keinginanku akan status tidak terpenuhi, aku dipenuhi prasangka dan ketidakpuasan terhadap pemimpin. Aku bermalas-malasan dalam tugasku, bersikap negatif dan menentang.
Aku benar-benar mati rasa dan keras hati saat itu, dan meskipun pemimpin memangkas dan menanganiku, memperingatkanku, dan menawarkan bantuan, aku tidak pernah merenungkan diriku. Aku hidup dalam keadaan negatif seperti itu selama sekitar tiga bulan sementara kegelapan dalam rohku makin bertambah. Persekutuanku terasa membosankan dan kering di setiap pertemuan. Aku tidak memiliki wawasan apa pun tentang masalah orang lain dan tidak bisa membantu menyelesaikannya. Persekutuanku benar-benar kaku dan akhir dari setiap pertemuan selalu ditunggu. Aku juga tidak bisa membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi para penginjil, yang berarti kemajuan dalam pekerjaan Injil kami melambat. Tak lama kemudian, aku dihadapkan pada pendisiplinan berupa kesehatan yang buruk. Suatu hari, tiba-tiba aku merasa lemah dan lemas, tidak mampu bernapas, lalu aku pingsan. Saudara-saudari membawaku ke rumah sakit untuk perawatan. Namun, aku tetap dengan keras kepala menolak merenungkan diri dan bertobat, dan akhirnya aku diberhentikan dari tugasku karena tidak melakukan pekerjaan nyata apa pun. Pemimpin mengatur agar aku kembali ke kampung halamanku untuk melakukan perenungan dan merenungkan diri. Dengan hati getir, aku menangis tersedu saat menerima berita itu. Aku tahu dalam hatiku bahwa aku telah kehilangan pekerjaan Roh Kudus, dan kehilangan tugasku adalah watak benar Tuhan yang telah datang atasku, tetapi memikirkan tentang bagaimana semua rekan sekerja yang datang ke selatan bersamaku berada di posisi penting sementara aku disuruh pulang ke kampung halaman, aku merasa dipermalukan.
Karena aku telah ditangkap beberapa tahun sebelumnya dan memiliki catatan kriminal di sana, tidak aman bagiku untuk kembali ke kampung halamanku, jadi pemimpin akhirnya menyuruhku pergi ke rumah seorang saudara yang tinggal di daerah pegunungan terpencil. Pada malam hari, aku selalu berbaring di tempat tidur kayu kasar, teringat saat aku melakukan perjalanan ke selatan untuk melakukan tugasku, penuh ketetapan hati, bertekad melakukan pekerjaan gereja dengan baik, dan dipromosikan untuk mengisi peran penting. Sebaliknya, aku justru diberhentikan dari tugasku karena mengganggu pekerjaan gereja. Apa yang akan dipikirkan saudara-saudari di kampung halamanku jika mereka tahu? Akankah mereka berkata aku diberhentikan karena melalaikan tugas dan tidak mampu melakukan pekerjaan nyata? Pemikiran dipandang rendah oleh orang lain karena kehilangan posisiku membuatku merasa kacau, dan makin dipikirkan, aku menjadi makin sedih. Aku bahkan berpikir untuk mati. Aku berdoa, "Ya Tuhan, aku benar-benar menderita. Kehilangan tugasku sebagai pemimpin rasanya seperti nyawaku dicabut. Aku tahu seharusnya tidak mengejar status, tetapi aku tidak bisa lepas dari belenggunya. Ya Tuhan! Tolong bimbing aku agar bisa mengenal diriku sendiri dan memahami kehendak-Mu." Aku membaca beberapa kutipan firman Tuhan setelah berdoa. Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Saat engkau menempuh jalanmu sekarang, pengejaran seperti apakah yang paling sesuai? Dalam pengejaranmu, menjadi orang seperti apa engkau harus mengusahakan dirimu? Engkau harus tahu bagaimana seharusnya engkau memahami semua hal yang menimpamu sekarang ini, baik itu ujian atau kesukaran, baik itu hajaran yang tak berbelas kasihan atau kutukan. Diperhadapkan dengan semua ini, engkau harus merenungkan semuanya dengan cermat apa pun yang terjadi. ... Engkau tidak tahu bagaimana beradaptasi dengan lingkunganmu, dan terlebih lagi engkau tak mau berusaha untuk melakukannya, karena engkau tidak mau mendapatkan apa pun dari hajaran yang berulang ini—dan yang bagimu adalah hajaran yang kejam. Engkau tidak berupaya mencari ataupun menyelidiki, dan sekadar pasrah pada nasibmu, dan menerima saja ke mana pun hajaran itu membawamu. Apa yang kauanggap sebagai didikan yang kejam belum mengubah hatimu, juga belum mengambil alih hatimu; sebaliknya, hal itu menikammu tepat di hatimu. Engkau memandang 'hajaran yang kejam' ini hanya sebagai musuhmu dalam kehidupan ini, sehingga engkau tidak mendapatkan apa pun. Engkau merasa dirimu paling benar! Jarang engkau memercayai bahwa engkau menderita ujian seperti itu karena engkau begitu hina; sebaliknya, engkau menganggap dirimu sangat malang, dan lebih dari itu mengatakan bahwa Aku selalu mencari-cari kesalahan pada dirimu. Dan sekarang, setelah sampai sejauh ini, berapa banyak yang benar-benar engkau ketahui tentang apa yang Kukatakan dan Kulakukan? Jangan mengira bahwa engkau adalah orang yang berbakat alami, yang hanya sedikit lebih rendah dari surga tetapi jauh lebih tinggi dari bumi. Engkau tidak lebih pintar dari siapa pun juga—bahkan bisa dikatakan sungguh menggemaskan seberapa jauh lebih konyolnya dirimu daripada siapa pun di bumi yang memiliki akal, karena engkau memandang dirimu sendiri terlalu tinggi, dan tidak pernah memiliki perasaan rendah diri; seolah-olah engkau mengetahui tindakan-Ku hingga ke rincian yang terkecil. Kenyataannya, engkau adalah seseorang yang pada dasarnya tidak berakal, karena engkau sama sekali tidak tahu apa yang ingin Kulakukan, dan terlebih lagi engkau tidak menyadari apa yang sedang Kulakukan sekarang. Karena itu, Aku katakan bahwa engkau bahkan tidak sebanding dengan petani tua yang berjerih-payah mengerjakan ladangnya, seorang petani yang tidak memiliki persepsi sedikit pun tentang kehidupan manusia tetapi bergantung pada berkat dari surga ketika ia mengolah ladang. Engkau sama sekali tidak memikirkan tentang hidupmu, engkau tidak mengetahui apa pun tentang kemasyhuran, dan terlebih lagi engkau tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang dirimu sendiri. Engkau terlalu 'meninggikan diri'!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Tidak Belajar dan Tetap Tidak Mengetahui Apa pun: Bukankah Mereka itu Binatang Buas?"). "Dalam upaya yang engkau semua lakukan, ada terlalu banyak gagasan, harapan dan cita-cita yang bersifat individual. Pekerjaan saat ini adalah untuk menangani keinginanmu memiliki status serta hasratmu yang muluk-muluk. Harapan, status, dan gagasan, semuanya itu merupakan representasi klasik dari watak Iblis. ... Sulit bagimu untuk mengesampingkan prospek dan nasibmu. Sekarang, engkau semua adalah para pengikut dan telah memperoleh sedikit pemahaman tentang tahap pekerjaan ini. Namun, engkau semua belum mengesampingkan hasratmu akan status. Ketika statusmu tinggi, engkau semua mencari dengan baik, tapi ketika statusmu rendah, engkau semua tidak mau lagi mencari. Berkat-berkat yang berkaitan dengan status selalu ada dalam pikiranmu. Mengapa sebagian besar orang tidak dapat melepaskan diri mereka dari sikap yang negatif? Bukankah jawabannya selalu akibat prospek yang suram? ... Semakin engkau mencari dengan cara seperti ini, semakin sedikit yang akan engkau tuai. Semakin kuat keinginan seseorang untuk meraih status, semakin serius dirinya harus ditangani dan semakin berat pemurnian yang harus mereka alami. Orang-orang semacam itu tidak layak! Mereka harus ditangani dan dihakimi sepantasnya supaya mereka mau melepaskan hasratnya akan hal-hal tersebut. Jika engkau semua mengejar dengan cara seperti ini sampai pada akhirnya, engkau tidak akan menuai apa pun. Mereka yang tidak mengejar kehidupan tidak dapat diubah, dan mereka yang tidak haus akan kebenaran tidak akan memperoleh kebenaran. Engkau tidak berfokus mengejar perubahan pribadi dan pada jalan masukmu, sebaliknya engkau selalu berfokus pada keinginan-keinginan yang berlebihan dan hal-hal yang menghalangi dirimu untuk mengasihi Tuhan serta menghalangimu untuk semakin dekat dengan Dia. Dapatkah semua hal itu mengubah dirimu? Dapatkah semua itu membawamu masuk ke dalam Kerajaan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mengapa Engkau Enggan Menjadi Sebuah Kontras?"). Firman penghakiman Tuhan langsung menyentuh hatiku dan menyingkap keadaan pribadiku. Aku teringat bagaimana, setelah terpilih untuk posisi pemimpin dan berhasil dalam pekerjaanku, kupikir diriku istimewa dan salah satu pilar gereja. Aku terus menanti hari saat aku memiliki kesempatan untuk naik peringkat, memimpin lebih banyak gereja, dan dihormati lebih banyak saudara-saudari. Saat tidak mendapatkan nama dan posisi yang kuinginkan, aku tidak merenungkan diri, justru diliputi ketidakpuasan, tersesat dalam kemarahan, merasa semua usahaku sia-sia. Aku didisiplinkan oleh serangan kesehatan buruk, tetapi aku tetap mati rasa dan mengeras, serta tidak berpaling kepada Tuhan. Aku terus berpikir keras bahkan setelah diberhentikan dari tugasku. Aku dipusingkan oleh ambisi, hasratku akan status—itu telah menodai hati nuraniku, aku juga telah kehilangan nalar yang layak dan seluruh kemanusiaan. Petani yang mengandalkan Surga saat mengolah tanah tahu mereka berada di bawah belas kasih nasib dan tunduk pada kehendak Surga, tetapi aku benar-benar kurang kesadaran diri serta tidak bisa dengan patuh mengambil tempatku dan melakukan tugasku. Sebaliknya, aku selalu ingin melangkah keluar dari batas yang telah Tuhan buat untukku dan mengejar status yang lebih tinggi, menjadi pemimpin yang lebih besar, serta memenuhi ambisi dan hasratku untuk mendapatkan kekaguman orang lain. Bukankah itu natur dari malaikat agung? Saat Tuhan Yesus datang ke bumi untuk bekerja, Dia rendah hati dan tersembunyi, serta tidak pernah mengeklaim status yang Dia bisa miliki. Dia makan bersama para pendosa dan membungkuk untuk membasuh kaki para murid. Lalu, sekarang, Tuhan sekali lagi menjadi daging dan datang untuk bekerja di bumi, tetapi Dia tidak pernah menyebut diri-Nya Tuhan atau menuntut orang menyembah Dia. Sebaliknya, Dia dengan diam-diam dan tidak mencolok mengungkapkan kebenaran dan menyediakan makanan bagi kehidupan orang-orang. Lalu, aku, aku sangat ingin dikagumi semua orang karena telah mencapai sedikit dalam pekerjaanku. Aku bahkan dengan berani percaya aku harus satu tingkat di atas yang lain dan posisi pemimpin itu adalah milikku. Aku benar-benar tidak puas saat tidak terpilih. Aku menjadi negatif dan menentang. Aku dengan congkak kehilangan segala nalar—aku sangat tidak tahu malu! Perangaiku bukanlah mengadu diriku dengan manusia lain, tetapi melawan Tuhan. Aku secara langsung menentang Tuhan dan sudah lama menyinggung watak-Nya. Diberhentikan adalah penghakiman benar Tuhan atas diriku dan itu untuk menangani hasratku akan status, atau hatiku yang mati rasa tidak akan sadar.
Lalu, aku membaca dua kutipan lain dari firman Tuhan. "Aku akan menjatuhkan hukuman-Ku kepada semua orang yang membangkitkan kemarahan-Ku, Aku akan menghujankan seluruh amarah-Ku ke atas binatang-binatang tersebut yang pernah ingin berdiri setara di samping-Ku tetapi tidak menyembah atau menaati-Ku; tongkat yang Aku gunakan untuk memukul manusia akan dihantamkan kepada semua binatang itu yang pernah menikmati pemeliharaan-Ku dan pernah menikmati segala misteri yang Aku ucapkan, dan yang pernah berusaha mengambil kenikmatan materiel dari Aku. Aku tidak akan mengampuni siapa pun yang mencoba untuk mengambil tempat-Ku; Aku tidak akan mengampuni siapa pun yang berusaha merebut makanan dan pakaian dari-Ku. Untuk saat ini, engkau semua tetap bebas dari bahaya dan terus melewati batas dalam tuntutan yang engkau semua ajukan kepada-Ku. Ketika hari kemurkaan tiba, engkau semua tidak akan lagi mengajukan tuntutan terhadap-Ku; pada saat itu, Aku akan membiarkanmu 'menikmati' dirimu sendiri sepuas hatimu, Aku akan memaksa wajahmu untuk tunduk hingga ke tanah, dan engkau semua tidak akan pernah bisa bangun lagi!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memiliki Watak yang Tidak Berubah Berarti Memusuhi Tuhan"). "Setelah memimpin beberapa gereja, beberapa orang menjadi congkak, mereka berpikir bahwa rumah Tuhan tidak dapat berjalan tanpa mereka, bahwa mereka harus menikmati perlakuan khusus dari Tuhan. Bahkan, semakin tinggi status mereka, semakin tinggi tuntutan mereka kepada Tuhan; semakin mereka memahami doktrin, semakin terselubung dan licik tuntutan mereka. Mulut mereka tidak mengatakannya, tetapi tersembunyi di dalam hati mereka dan tidak mudah ditemukan. Kemungkinan besar, akan ada saatnya ketika keluhan dan penentangan mereka tersingkap, dan hal itu bahkan lebih merepotkan. Mengapa semakin banyak orang menjadi pemimpin dan tokoh agama, semakin banyak mereka menjadi antikristus yang berbahaya? Karena semakin besar status mereka, semakin besar ambisi mereka; semakin mereka memahami doktrin, watak mereka menjadi semakin congkak. Jika, dalam kepercayaanmu kepada Tuhan, engkau tidak mengejar kebenaran, dan malah mengejar status, engkau berada dalam bahaya" ("Manusia Mengajukan Terlalu Banyak Tuntutan Kepada Tuhan" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Membaca firman Tuhan ini menunjukkan esensi dan konsekuensi dari mengejar status, membuatku gemetar ketakutan. Saat mencapai beberapa hal dalam tugasku dan bertanggung jawab atas pekerjaan beberapa gereja, aku lupa tempatku, dengan berani mendambakan prestise yang lebih besar, berharap mengelola lebih banyak orang, dan lebih banyak yang mengagumi dan mengikutiku. Pada dasarnya, aku mencoba merebut orang-orang pilihan Tuhan dari-Nya dan itu menyinggung watak-Nya. Ini mengingatkanku pada Zaman Hukum Taurat saat gerombolan Korah dan Datan melawan kepemimpinan Musa dan mencoba merebut posisinya. Tuhan membelah bumi dan mereka ditelan utuh-utuh. Lalu, ada Zaman Kasih Karunia, saat orang-orang Farisi Yahudi, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat bepergian ke seluruh daratan dan lautan untuk mencari pengikut baru, tetapi saat Tuhan Yesus datang untuk melakukan pekerjaan penebusan, mereka melindungi posisi mereka dengan sekuat tenaga, menentang dan mengutuk Tuhan Yesus. Pada akhirnya, mereka memaku Dia ke kayu salib dan menerima kutukan Tuhan. Memikirkan hal ini menunjukkan kepadaku bahwa mengejar status adalah mengambil jalan yang secara langsung bertentangan dengan Tuhan—itu adalah jalan menuju neraka dan kebinasaan. Pada saat itu, aku berlutut di tanah dan menangis tersedu-sedu saat berdoa, "Ya Tuhan! Aku tidak ingin menjadikan diriku musuh-Mu lagi, aku hanya ingin merenungkan diriku dan bisa sepenuhnya bertobat. Lingkungan apa pun yang Kau atur untukku, yang kuinginkan hanyalah mengambil tempat makhluk ciptaan dan tunduk kepada-Mu."
Setelah itu, aku mulai melakukan tugasku sebaik mungkin. Saudara tua yang menampungku membawaku untuk membagikan Injil dengan beberapa kerabatnya dan mereka mengajukan banyak pertanyaan selama aku bersama mereka, tetapi aku tidak memiliki pemahaman yang baik tentang kebenaran yang relevan. Melihat betapa kurangnya pengetahuanku, benar-benar membuatku malu. Aku telah menyelesaikan beberapa pekerjaan dan meraih keberhasilan di masa lalu, jadi aku mulai memandang rendah semua orang, berpikir aku akan dilatih untuk posisi yang lebih penting. Namun, kemudian aku sadar aku tidak bisa melihat diriku dengan jelas sama sekali. Sifat terpenting yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah pemahaman tentang kebenaran; pemimpin harus menggunakan kebenaran untuk menyelesaikan masalah, tetapi aku bahkan tidak bisa bersekutu dengan jelas tentang aspek kebenaran yang paling mendasar untuk membagikan Injil. Meski begitu aku terus berjuang untuk posisi pemimpin—sungguh tidak masuk akal! Saat menghadapi kesulitan dan masalah saudara-saudari, aku dulu hanya berbicara tentang teori-teori luhur dan memberi mereka sedikit dorongan, tetapi tidak pernah membantu menyelesaikan tantangan nyata dalam jalan masuk kehidupan mereka. Aku sadar jika seseorang tidak memiliki kebenaran, mereka tidak akan bisa melakukan kerja nyata, setinggi apa pun mereka naik peringkat. Mereka hanya akan mengganggu pekerjaan gereja dan merugikan kehidupan saudara-saudari. Aku juga merasa Tuhan menempatkanku di sana untuk menyebarkan Injil dan membimbing pendatang baru agar aku bisa lebih memahami kebenaran. Ini adalah cara untuk menebus kekuranganku. Setelah memahami kehendak Tuhan, aku dengan senang hati tunduk dan melakukan tugasku dengan baik dalam lingkungan itu, serta menerapkan masuk ke kebenaran. Setelah beberapa waktu bekerja keras, aku memiliki segala macam kebenaran dalam aspek visi, dan pekerjaan Injil setempat perlahan-lahan makin dinamis. Aku makan dan minum firman Tuhan serta menyanyikan lagu pujian untuk Tuhan dengan orang percaya baru setiap hari. Aku merasa benar-benar tergenapi dan bersyukur kepada Tuhan atas rahmat dan belas kasih-Nya dari lubuk hatiku.
Tiga tahun di wilayah pegunungan itu berlalu dalam sekejap mata. Lalu, suatu hari, hujan sangat lebat turun saat aku dalam perjalanan pulang dari sebuah pertemuan—hujannya deras, ada angin kencang, dan aku hampir tidak bisa mendorong sepedaku. Berjalan di jalan gunung yang bergelombang itu, hujannya sangat deras sampai aku tidak bisa membuka mata, dan terlintas di benakku membagikan Injil di pegunungan itu sangat sulit. Aku telah melakukan tugasku di sana selama hampir tiga tahun dan banyak belajar, jadi mengapa aku tidak dipindahkan? Saat saudara-saudari lain diberhentikan dari suatu tugas, setelah mereka merenung dan mengetahui watak rusak mereka, kemudian bertobat dan membuat beberapa perubahan, mereka diberi posisi pemimpin lagi. Aku telah merenungkan diri selama ini, tetapi bahkan tidak diizinkan memimpin kelompok kecil. Aku telah mendapatkan pemahaman tentang diriku, dan dengan sikapku terhadap tugasku dan kebenaran yang kumiliki, kupikir aku setidaknya bisa memimpin sebuah gereja. Jadi, mengapa aku tidak dipindahkan? Apakah aku harus terus memberitakan Injil di pegunungan selamanya? Pikiran ini membuatku kehilangan semangat. Saat tiba di rumah, aku menyadari di sepanjang perjalanan pulang aku telah menunjukkan keluhan dan kesalahpahaman pribadi, dan aku sekali lagi melebih-lebihkan prestise di dalam hatiku. Aku meminta Tuhan untuk melindungi hatiku agar bisa mengheningkan diri di hadapan-Nya.
Tak lama setelah itu, aku membaca dua kutipan firman Tuhan ini: "Masalah terbesar dengan manusia adalah bahwa dia tidak memikirkan apa pun kecuali nasib dan prospeknya dan memberhalakan hal-hal ini. Manusia mengejar Tuhan demi nasib dan prospeknya; dia tidak menyembah Tuhan karena kasihnya kepada-Nya. Karena itu, dalam penaklukan manusia, keegoisan manusia, keserakahan dan hal-hal yang paling menghalangi penyembahannya kepada Tuhan semuanya harus ditangani dan dengan demikian disingkirkan. Dengan melakukan itu, hasil penaklukan manusia akan tercapai. Sebagai hasilnya, pada tahap awal penaklukan manusia, adalah perlu untuk membersihkan semua ambisi liar dan kelemahan paling fatal manusia, dan melalui ini, mengungkapkan kasih manusia kepada Tuhan dan mengubah pengetahuannya tentang kehidupan manusia, pandangannya tentang Tuhan, dan arti keberadaannya. Dengan cara ini, kasih manusia kepada Tuhan ditahirkan, yang berarti, hati manusia ditaklukkan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memulihkan Kehidupan Normal Manusia dan Membawanya ke Tempat Tujuan yang Mengagumkan"). "Tuhan menciptakan sebuah lingkungan untukmu, yang memaksamu dimurnikan di sana untuk mengetahui kerusakanmu sendiri. Pada akhirnya, engkau mencapai titik di mana engkau lebih suka mati dan meninggalkan rencana dan keinginanmu, dan tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Jadi, jika orang tidak mengalami beberapa tahun pemurnian, jika mereka tidak menanggung tingkat penderitaan tertentu, mereka tidak akan dapat menyingkirkan ikatan kerusakan daging dalam pikiran dan hati mereka. Dalam aspek mana saja engkau masih tunduk pada perbudakan Iblis, dalam aspek mana saja engkau masih memiliki keinginanmu sendiri, tuntutanmu sendiri—dalam aspek inilah engkau harus menderita. Hanya dalam penderitaan, pelajaran dapat dimengerti, yang berarti orang bisa mendapatkan kebenaran dan memahami kehendak Tuhan" ("Bagaimana Seharusnya Orang Memuaskan Tuhan di Tengah Ujian" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Dengan membaca firman Tuhan, aku melihat bahwa setelah dirusak oleh Iblis, setiap orang hidup dengan racunnya, oleh hal-hal seperti "Di seluruh alam semesta ini, akulah yang berkuasa," "Manusia bergelut ke atas; air mengalir ke bawah," "Manusia membutuhkan wajah seperti pohon membutuhkan kulit kayu," "Seorang manusia harus hidup dengan berani berbekal prinsip dan tekad," dan seterusnya. Aku telah hidup dengan racun-racun iblis itu, mengejar nama dan status. Saat mendapatkan kekaguman saudara-saudari, aku dipenuhi motivasi untuk melakukan pekerjaanku. Namun, saat melihat seseorang melampauiku, saat statusku terancam, aku menjadi cemburu dan melawan. Saat kehilangan posisiku, aku menjadi negatif, menentang, dan bahkan berhenti melakukan tugasku. Aku tidak memikirkan kepentingan rumah Tuhan. Bagaimana bisa itu memiliki hati nurani atau nalar? Itu adalah racun iblis yang bersarang jauh di dalam diriku. Tuhan menyelamatkan manusia dengan menghakimi, menghajar, memangkas, menangani, menguji, dan memurnikan mereka; dengan begini, pikiran, sudut pandang, dan tujuan pengejaran orang-orang yang keliru bisa diubah, mentrasformasi watak iblis mereka. Lalu, mereka tidak lagi hidup berdasarkan racun Iblis serta mampu mengasihi dan menaati Tuhan, juga bisa didapatkan oleh Tuhan. Inilah tujuan pekerjaan Tuhan pada umat manusia. Tuhan telah menempatkanku di medan gunung yang keras itu tempat aku tidak memiliki kesempatan untuk mencari nama demi mengekspose dan menangani ambisi batinku. Itu untuk mentahirkanku dari watak iblisku dan membuatku mampu hidup dalam keserupaan dengan manusia, agar aku bisa dengan teguh melakukan tugas makhluk ciptaan serta sepenuhnya menyembah dan tunduk kepada Tuhan. Kesadaran ini memenuhiku dengan rasa syukur kepada Tuhan dan aku memutuskan di hadapan-Nya untuk mengejar kebenaran dengan baik, dan tidak pernah lagi mengejar nama dan pencapaian, hal-hal yang sama sekali tidak berharga.
Saat beberapa hal muncul setelah itu, aku terkadang masih memikirkan nama dan pencapaian, tetapi aku bisa mencari kebenaran dan membalikkan keadaanku. Aku ingat suatu kali, gereja menugaskanku untuk berpartisipasi dalam pembuatan film video Injil. Aku sangat senang dan merasa sangat terhormat memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan film itu, serta melayani sebagai saksi pekerjaan Tuhan pada akhir zaman. Namun, pada saat yang sama, kerinduanku untuk menonjol mulai muncul. Aku berpikir saudara-saudari lain pasti akan memandangku jika mereka melihatku berakting dalam video Injil itu. Namun, saat pergi ke lokasi, aku terkejut pemimpin di sana berkata kepadaku, "Keadaannya benar-benar sibuk sekarang. Bekerjalah dengan saudara yang melakukan tugas tuan rumah untuk membuat makanan dan juga mengurus bersih-bersih." Aku merasa sangat menentang terhadap ini. Aku pikir tugas menjadi tuan rumah adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh saudara-saudari lain di gereja—kenapa harus aku? Selain itu, aku telah melayani sebagai pemimpin di utara dan selatan. Aku tidak bisa memiliki posisi kepemimpinan apa pun, tetapi bukankah aku seharusnya diberi tugas yang pantas? Aku merasa, yang mengejutkan, yang lain tidak memandangku sehingga membuatku melakukan pekerjaan remeh semacam itu. Bukankah itu menyia-nyiakan kemampuanku? Ini membuatku sangat kecewa, tetapi berdasarkan pengalamanku, aku tahu aku harus tunduk. Aku memaksakan diri menerima tugas itu. Saudara-saudari lain tiba di sana satu demi satu untuk syuting, dan aku melihat beberapa orang dari kampung halamanku berakting di sana, sementara aku memakai celemek, memasak makanan mereka, dan menyapu lantai. Itu terasa memalukan. Pada suatu saat yang memilukan, seorang saudara lebih muda melihatku dan berkata dengan hangat, "Saat kau menjadi pemimpin, kau bertanggung jawab atas pekerjaan gereja kami. Aku tidak mengerti apa-apa saat itu, aku hanya suka pergi ke pertemuan. Pertemuan yang kau adakan untuk kami sangat membantuku." Pernyataan yang sangat santai darinya ini sangat mengganggu telingaku—aku merasa dia sedang mengejekku. Wajahku mulai terbakar dan aku hanya ingin menemukan lubang untuk bersembunyi. Ada saat lain ketika saudara-saudari menyelesaikan syuting sangat larut, dan sang pemimpin berkata syuting akan dimulai lagi keesokan paginya. Dia memintaku bekerja lembur untuk membersihkan kamar-kamar. Mendengar ini membuatku merasa sangat tidak nyaman dan aku berpikir, "Kalian semua lelah dan bisa istirahat, tetapi aku masih bersih-bersih di tengah malam, seolah-olah aku semacam pelayan." Aku merasa sangat dizalimi, melihat yang lain mulai santai setelah seharian bekerja keras dan sudah tertidur, sementara aku di sana berbenah. Aku benar-benar tersinggung, seolah-olah aku buruh kasar. Aku merasa tidak memiliki sedikit pun martabat dan aku lebih baik membagikan Injil di pegunungan, di sana setidaknya orang percaya baru menikmati persekutuanku dan harga diriku bisa dipuaskan. Aku tidak memiliki itu sama sekali di sana. Setelah itu, karena aku tidak dalam keadaan yang baik, aku membuat makanan dengan linglung, dan setiap makanan rasanya entah pahit dan terlalu asin atau hambar dan tanpa rasa. Namun, tidak ada yang mengatakan apa-apa—mereka memakannya seperti biasa. Aku merasa sangat bersalah—bagaimana aku bisa membuat makanan seperti itu? Bagaimana mereka bisa memakan itu? Saat itu sebuah pikiran jernih muncul di benakku: Bukankah aku bekerja asal-asalan karena hasratku akan status tak terpenuhi, jadi hatiku tidak ada di dalamnya? Aku memikirkan ini dan merenungkan diriku. Aku melihat itulah masalahnya. Aku merasa menentang dan tidak puas, karena merasa telah direndahkan dan tidak memiliki prestise apa pun. Aku masih menyembah status.
Saat itu, aku membaca dua bagian firman Tuhan. "Di masa lalu, Petrus disalibkan terbalik demi Tuhan; tetapi engkau harus memuaskan Tuhan pada akhirnya, dan menghabiskan seluruh tenagamu untuk kepentingan-Nya. Apa yang bisa dilakukan seorang makhluk ciptaan atas nama Tuhan? Karena itu, engkau harus menyerahkan dirimu kepada Tuhan, lebih cepat lebih baik, agar Dia memakaimu seperti yang Dia inginkan. Asalkan Tuhan bahagia dan senang, biarkan Dia melakukan apa yang Dia mau denganmu. Apa hak manusia untuk mengeluhkannya?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 41"). "Jadi sekarang saat Aku menghakimimu dengan cara seperti ini, tingkat pemahaman seperti apakah yang akan engkau miliki pada akhirnya? Engkau semua akan mengatakan bahwa meskipun statusmu tidak tinggi, engkau telah menikmati perbuatan Tuhan yang meninggikan dirimu. Karena engkau semua terlahir rendah, engkau tidak memiliki status, tetapi engkau mendapatkan status karena Tuhan telah meninggikan engkau—inilah sesuatu yang dianugerahkan Tuhan kepadamu. ... Beginilah engkau seharusnya berdoa: 'Ya Tuhan! Entah aku memiliki status atau tidak, aku sekarang telah mengerti tentang diriku sendiri. Jika statusku tinggi, itu karena Engkau yang meninggikannya, dan jika statusku rendah, itu karena ketetapan-Mu. Segala sesuatu berada di tangan-Mu. Aku tidak punya pilihan atau keluhan apa pun. Engkau telah menetapkan bahwa aku harus lahir di negeri ini dan di tengah orang-orang ini, dan satu-satunya yang harus kulakukan adalah taat sepenuhnya di bawah kekuasaan-Mu karena segala sesuatu berada di dalam ketetapan-Mu. Aku tidak memikirkan status; bagaimanapun juga, aku hanyalah makhluk ciptaan. Jika Engkau menaruhku dalam jurang maut, dalam lautan api dan belerang, diriku bukan apa-apa selain makhluk ciptaan. Jika Engkau memakai aku, diriku hanya makhluk ciptaan. Jika Engkau menyempurnakan aku, aku hanya makhluk ciptaan. Jika Engkau tidak menyempurnakanku, aku akan tetap mengasihi-Mu karena aku tidak lebih dari makhluk ciptaan. Aku tidak lebih dari makhluk ciptaan yang sangat kecil, yang diciptakan oleh Tuhan Sang Pencipta, hanya salah satu dari antara umat manusia yang diciptakan. Engkaulah yang menciptakan diriku, dan sekarang Engkau telah sekali lagi menaruh aku kembali di tangan-Mu untuk Kau perlakukan diriku seturut kehendak-Mu. Aku bersedia menjadi alat-Mu dan kontras-Mu karena segala sesuatu sudah ditetapkan oleh-Mu. Tidak seorang pun dapat mengubahnya. Segala sesuatu dan semua peristiwa ada di tangan-Mu.' Ketika waktunya tiba, engkau tidak lagi memikirkan tentang status, engkau akan terbebas darinya. Hanya setelah itulah, engkau dapat mencari dengan percaya diri dan penuh keberanian, dan hanya setelah itulah hatimu dapat merdeka dari apa pun yang menghalangi. Begitu orang telah dimerdekakan dari hal-hal ini, mereka tidak akan memiliki kekhawatiran lagi" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mengapa Engkau Enggan Menjadi Sebuah Kontras?"). Saat merenungkan firman Tuhan, pencerahan datang ke dalam hatiku. Pengejaran Petrus adalah melakukan tugas sebagai makhluk ciptaan; dia berupaya untuk mengasihi dan memuaskan Tuhan. Ketaatannya kepada Tuhan mutlak dan dia mengikuti pengaturan Tuhan. Pada akhirnya, dia bahkan disalibkan, melayani sebagai saksi yang bergema bagi Tuhan. Lalu aku, Tuhan melakukan begitu banyak pekerjaan dalam diriku, dan kehendak-Nya adalah membuatku tetap di tempatku dan menjadi makhluk ciptaan yang taat, mengejar kebenaran, melakukan tugasku dengan baik, membuang watak iblisku yang rusak, dan sepenuhnya tunduk kepada Tuhan. Inilah yang harus dikejar oleh makhluk ciptaan.
Pemimpin telah mengatur agar aku mengerjakan pekerjaan remeh ini karena itulah yang perlu dilakukan, jadi itulah yang harus kulakukan. Itu seperti menyuruh anak-anak dalam sebuah keluarga membuat makanan dan bersih-bersih—itu semua pekerjaan rumah tangga, dan tidak ada status tinggi atau rendah. Namun, aku meremehkan tugas itu, merasa seperti aku diturunkan, serta kehormatan dan prestiseku terancam. Aku sakit hati dan terus mengeluh, sama sekali tidak taat. Aku tidak memiliki hati nurani dan nalar! Pikiran-pikiran ini memenuhiku dengan penyesalan dan rasa jijik terhadap diriku. Aku berdoa dan mengaku kepada Tuhan, bersedia untuk tunduk dan melakukan tugasku dengan baik. Saat memasak setelahnya, aku berinisiatif pergi ke dapur untuk memotong sayuran dan mencuci piring, merenungkan firman Tuhan saat aku bekerja. Aku merasakan kedamaian dan sukacita dalam jiwaku. Lalu, saat bersih-bersih, aku tidak lagi merasa tersinggung, justru merasa lebih dekat dengan Tuhan. Aku bisa terbuka dan tulus dengan saudara-saudari serta berbagi yang telah kupelajari dari tugasku dengan mereka. Dari lubuk hatiku, aku merasa itulah satu-satunya cara untuk hidup dengan sedikit keserupaan dengan manusia.
Mengalami semua hal ini mengajariku pada tingkat yang sangat dalam bahwa penghakiman dan hajaran Tuhan atas diriku adalah penyelamatan-Nya untukku: Itu semua adalah kasih. Penghakiman dan hajaran Tuhanlah yang mengubah pengejaran dan sudut pandangku yang keliru serta memungkinkanku untuk ditahirkan dari watak iblisku. Fakta bahwa aku bisa dengan tabah melakukan tugasku di rumah Tuhan hari ini adalah sepenuhnya berkat penghakiman dan hajaran Tuhan atas diriku. Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa!
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.