Saat Aku Mengalami Kesulitan dalam Mengkhotbahkan Injil

16 September 2022

Oleh Saudari An'fen, Myanmar

Tahun 2020, aku menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa pada akhir zaman. Bisa menyambut kedatangan Tuhan kembali adalah berkat yang luar biasa. Untuk menyebarkan kabar baik yang sangat penting ini, aku mulai menghotbahkan Injil, berharap lebih banyak orang bisa kembali kepada Tuhan setelah mendengar suara-Nya. Namun, pada Februari 2022, karena penindasan keyakinan agama oleh pemerintah Myanmar, gerejaku dipersekusi, dan pekerjaan Injil sangat terhambat. Beberapa saudara-saudari tak menghadiri pertemuan karena takut dan lemah, beberapa menjadi pasif dalam tugas, dan pekerjaan Injil terhenti. Saat itu aku juga pasif dalam tugasku. Aku melakukan semua yang diatur oleh pemimpin untukku. Aku merasa menyirami orang secara normal, tapi merekalah yang tak rutin menghadiri pertemuan dan pasif dalam tugas. Jadi, tak ada yang bisa kulakukan. Lalu, kadang, tak ada internet, jadi aku tak bisa online dengan saudara-saudariku untuk mempelajari pekerjaan, artinya aku harus mencari koneksi internet. Terkadang aku sangat lama mencari dan tetap tak bisa menemukan koneksi bagus, lalu seiring waktu, aku tak ingin online lagi untuk mempelajari pekerjaan. Saat itu aku mengkhotbahkan Injil kepada kerabat seorang saudari. Keluarga berisi tiga orang itu menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman, jadi aku tinggal di sana dan menyirami mereka selama 10 hari. Aku puas menyirami ketiga petobat baru ini dan tak ingin berkhotbah lagi. Kupikir, "Ada sangat banyak rumor di desa-desa terdekat sehingga sulit menyebarkan Injil. Jika aku bisa menyirami keluarga ini dengan baik, mereka akan membawaku untuk berkhotbah kepada kerabat dan teman-teman. Bukankah ini cara bagus mengkhotbahkan Injil?" Jadi, saat saudara-saudariku menyebutkan calon penerima Injil di desa-desa tetangga, aku jarang membahas cara mengkhotbahkan Injil kepada mereka. Ini secara langsung memengaruhi pekerjaan Injil.

Lalu, saat membahas pekerjaan, pemimpin bilang pekerjaan Injil gereja kami telah terhenti untuk bulan itu, dan menyebutkan beberapa masalah lain. Ini membuatku sangat sedih. Kemudian, seorang saudari mengingatkanku bahwa aku puas dengan status quo dan tak mencari kemajuan dalam tugasku. Aku tiba-tiba tersadar. Kusadar bahwa aku tak memikul beban dalam tugas. Sebagai pemimpin gereja, aku tak melakukan pekerjaan seorang pemimpin dan tak menghadapi atau mengatasi kesulitan, akibatnya pekerjaan Injil terpengaruh. Makin dipikirkan, makin buruk perasaanku. Saat merenung, kubaca dalam firman Tuhan, "Sekarang ini, ada sebagian orang yang tidak memanggul beban bagi gereja. Mereka ini orang-orang yang malas dan ceroboh, dan hanya peduli pada daging mereka sendiri. Mereka terlalu egois dan juga buta. Jika tidak mampu melihat masalah ini dengan jelas, engkau tidak akan memikul beban apa pun. Semakin engkau memperhatikan kehendak Tuhan, semakin besar pula beban yang akan Tuhan percayakan kepadamu. Orang-orang egois tidak sudi memanggul derita semacam ini; mereka tidak mau membayar harga, dan sebagai akibatnya, mereka akan melewatkan kesempatan untuk disempurnakan oleh Tuhan. Bukankah ini mencelakakan diri sendiri? Jika engkau adalah orang yang memperhatikan kehendak Tuhan, engkau akan mengembangkan beban sejati bagi gereja. Sebenarnya, alih-alih menyebutnya beban bagi gereja, lebih tepat menyebutnya sebagai beban yang kautanggung bagi hidupmu sendiri, karena tujuan dari beban yang engkau kembangkan bagi gereja ini dimaksudkan agar engkau menggunakan pengalaman semacam itu untuk disempurnakan oleh Tuhan. Oleh sebab itu, barang siapa memikul beban terberat bagi gereja dan barang siapa membawa beban untuk memasuki kehidupan—merekalah yang akan menjadi orang-orang yang disempurnakan oleh Tuhan. Sudahkah engkau melihatnya dengan jelas? Jika gereja tempatmu berada tercerai berai bagai pasir, tetapi engkau tak merasa khawatir maupun cemas, dan engkau bahkan menutup mata saat saudara-saudarimu tidak makan dan minum firman Tuhan dengan normal, berarti engkau tidak memikul beban. Orang-orang semacam ini bukanlah jenis orang yang disukai oleh Tuhan. Mereka yang disukai-Nya selalu lapar dan haus akan kebenaran serta memperhatikan kehendak-Nya" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perhatikan Kehendak Tuhan Agar Dapat Mencapai Kesempurnaan"). Saat merenungkan firman Tuhan, aku merasa sangat bersalah. Aku adalah pemimpin gereja, tapi saat melihat pekerjaan Injil terhenti, aku tak merasakan urgensi, justru mencari alasan objektif, dan kupikir karena tak punya koneksi internet bagus, wajar aku tak bisa mempelajari pekerjaan. Untuk calon penerima Injil yang ditemukan saudara-saudariku, aku jarang bersekutu dengan semua orang tentang cara mengkhotbahkan Injil kepada mereka, saat saudariku ingin mendiskusikan pekerjaan, mereka tak bisa menemukanku. Menghadapi persekusi gereja, saudara-saudariku takut dan lemah, tak bisa berkumpul secara normal atau melakukan tugas, tapi aku tak mencari kebenaran untuk jalan keluar. Aku akhirnya sadar terhentinya pekerjaan Injil berhubungan langsung denganku. Tuhan berfirman, "Sekarang ini, ada sebagian orang yang tidak memanggul beban bagi gereja. Mereka ini orang-orang yang malas dan ceroboh, dan hanya peduli pada daging mereka sendiri. Mereka terlalu egois dan juga buta." Kusadar akulah orang egois yang dijelaskan dalam firman Tuhan. Aku tak memikul beban dalam pekerjaan gereja, selalu puas dengan status quo, hanya memedulikan kenyamanan sendiri, menolak menderita atau membayar mahal. Saat melihat pekerjaan Injil gereja terpengaruh, aku tak merasakan urgensi atau cemas, juga menjadi lemah dan pasif dalam masa sulit. Aku benar-benar terlalu egois. Aku teringat gereja di tempat lain yang juga dipersekusi pemerintah, tapi saudara-saudari masih mengkhotbahkan Injil dan membangun gereja baru, sementara pekerjaan Injil gereja kami terhenti. Ini karena aku egois dan tercela, tak memikul beban, dan tak bertanggung jawab. Aku merasa sangat berutang kepada Tuhan. Saat dahulu aku memikul beban, jika ada yang menyelidiki jalan yang benar, aku segera mengatur seseorang untuk mengkhotbahkan Injil, dan saat saudara-saudari punya masalah, aku bersekutu tentang kebenaran untuk menyelesaikannya. Makin bekerja sama, makin aku memiliki pekerjaan Roh Kudus, pekerjaan Injil kami efektif, aku juga merasakan kemudahan dan kenikmatan. Namun, baru-baru ini, karena melakukan tugas tanpa memikul beban, pekerjaan Injil tak efektif. Di titik itu saat membaca firman Tuhan ini, "Barang siapa memikul beban terberat bagi gereja dan barang siapa membawa beban untuk memasuki kehidupan—merekalah yang akan menjadi orang-orang yang disempurnakan oleh Tuhan." aku pun akhirnya mendapatkan pemahaman. Hanya mereka yang memikirkan kehendak Tuhan dan memikul beban dalam pekerjaan gereja bisa disempurnakan Tuhan. Aku juga sadar jika tak bisa mengubah keadaan pasifku, bukan hanya itu memengaruhi pekerjaan gereja, tapi aku akan disingkap dan disingkirkan. Memikirkan ini, aku merasa sedikit takut. Aku tak boleh pasif dan lalai lagi. Aku berdoa kepada Tuhan, meminta dibantu memikul beban, membimbingku dalam memikirkan kehendak-Nya dan melakukan tugasku dengan baik.

Setelah itu, aku berdiskusi dengan pengawas dan pempimpin kelompok tentang di mana lagi kami bisa mengkhotbahkan Injil. Kami menemukan sebuah desa yang semua warganya percaya Tuhan, tapi tak ada orang yang cocok untuk diutus saat itu. Kupikir, "Kali ini, aku harus memikirkan kehendak Tuhan dan memikul beban. Aku harus aktif mengambil tanggung jawab ini." Jadi, aku menawarkan diri pergi ke desa itu untuk mengkhotbahkan Injil. Namun, aku sedikit gugup, karena belum pernah bersaksi tentang pekerjaan Tuhan pada akhir zaman sendirian, jadi khawatir tak bisa bicara dengan jelas. Kupikir, "Aku tak tahu apakah mereka punya internet di sana. Apakah memungkinkan saudara-saudari pengkhotbah Injil memberi persekutuan daring?" Kusadar keadaanku salah dan aku mengandalkan orang, jadi aku berdoa dalam hati, meminta Tuhan memberiku hikmat dan iman saat menyebarkan Injil di sana. Setibanya di sana, seorang saudari membawaku langsung ke rumah wali kota untuk berkhotbah. Tanpa diduga, wali kota itu ingin membawaku ke pendeta. Mendengar itu, aku sangat senang, tapi juga sedikit khawatir, "Aku tak pernah mengkhotbahkan Injil sendirian. Jika pendeta itu punya gagasan, bagaimana aku harus bersekutu dengannya? Bagaimana jika dia bukan hanya tak menerima, tapi juga menentangku? Apakah kami masih bisa menyebarkan Injil di desa ini?" Aku sangat khawatir. Saat sampai di rumah pendeta, aku ingin menghubungi saudara-saudariku untuk minta bantuan, tapi tak ada koneksi internet. Aku tak tahu harus mulai dari mana, jadi aku berdoa kepada Tuhan berulang kali, memohon Tuhan agar menyertaiku dan memberiku iman sehingga bisa bersaksi tentang pekerjaan Tuhan pada akhir zaman. Setelah berdoa, aku teringat firman Tuhan, "Hati dan roh manusia berada di tangan Tuhan, segala sesuatu dalam kehidupannya berada dalam pengamatan mata Tuhan. Entah engkau memercayainya atau tidak, setiap dan segala hal, apakah hidup atau mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Begitulah cara Tuhan memimpin segala sesuatu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Benar. Tuhan itu mahakuasa, semua orang, perkara, dan segala hal ada di tangan Tuhan, termasuk hati dan jiwa manusia, jadi aku harus belajar mengandalkan Tuhan. Aku berdoa kepada Tuhan dalam hati, "Tuhan, jika pendeta ini adalah domba-Mu, aku yakin dia akan memahami suara-Mu dan menerima pekerjaan-Mu." Setelah berdoa, Aku merasakan kekuatan di hatiku, seolah tak ada yang mustahil dengan Tuhan di sisiku. Kemudian, aku menggunakan bencana saat ini dan urusan dunia untuk membicarakan nubuat kedatangan Tuhan. Setelah mendengar ini, pendeta setuju dan merasa Tuhan mungkin telah datang kembali. Dia juga mengirim orang untuk memanggil dua pendeta lain agar mendengarkan. Aku khawatir tak bisa bicara dengan jelas dan menyelesaikan masalah mereka, jadi dalam hati, aku berulang kali berseru kepada Tuhan, memohon bimbingan Tuhan. Aku ingat saat Tuhan meminta Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Musa tahu pergi ke Firaun Mesir akan sulit dan berbahaya, tapi sikap Musa taat dan tunduk. Tuhan bersamanya, mendukungnya, dan dengan bimbingan Tuhan, Musa membawa bangsa Israel keluar dari Mesir. Kemudian aku ingat kisah Daud mengalahkan Goliat. Saat bangsa Israel melihat Goliat, mereka ketakutan. Hanya Daud yang berani keluar dan bertarung. Daud berkata kepada Goliat, "Kau datang kepadaku dengan pedang, dan tombak, serta perisai: tetapi aku datang kepadamu dalam nama Tuhan penguasa alam semesta" (1 Samuel 17:45). Alhasil, Daud membunuh Goliat hanya dengan sebutir kerikil. Dari dua cerita ini, aku melihat dalam menghadapi kesulitan, hanya dengan iman sejati kita bisa melihat perbuatan Tuhan, dan bahwa akhir manusia adalah awal Tuhan. Memikirkan ini, aku menemukan keberanian.

Pada saat ini, dua pendeta lain datang. Aku menggunakan nubuat alkitab untuk bersekutu tentang bagaimana Tuhan muncul dan bekerja dalam daging yang berinkarnasi pada akhir zaman, arti inkarnasi Tuhan, dan apa itu inkarnasi. Aku juga bersaksi bahwa Tuhan datang untuk melakukan pekerjaan penghakiman dan penyucian, bahwa nama Tuhan pada akhir zaman adalah Tuhan Yang Mahakuasa, serta Dia adalah Tuhan Yesus yang datang kembali. Saat aku selesai, pendeta pertama sangat bersemangat sehingga dia menangis. Dia menyeka air matanya sambil berkata, "Aku telah berkhotbah untuk Tuhan lebih dari 40 tahun dan menunggu kedatangan-Nya kembali seumur hidupku. Kini Tuhan benar-benar telah datang kembali! Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena bisa menyambut Tuhan hari ini!" Mendengar perkataan pendeta itu, aku tergerak menangis bersamanya, juga sangat bersyukur kepada Tuhan. Sebenarnya persekutuanku tak terlalu terperinci, jadi pendeta bisa menerima Injil dan memahami firman Tuhan itu sepenuhnya karena bimbingan Tuhan.

Pendeta menerimanya dan berkata akan membuat seluruh desa mendengar khotbahku malam itu. Aku sangat gembira sehingga mengucap syukur kepada Tuhan berulang-ulang di dalam hati. Malam itu, pendeta dan wali kota mengundang penduduk dari dua desa untuk berkumpul dan memberi tahu semua orang kabar baik tentang kedatangan Tuhan. Malam itu, lebih dari 30 orang menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman. Beberapa penduduk desa bilang, "Sudah empat tahun pemerintah melarang kami percaya Tuhan. Kami semua hidup dalam kesakitan dan rindu mengadakan pertemuan. Syukur kepada Tuhan!" Penduduk desa lain tergerak dan bilang, "Sudah bertahun-tahun kami tak mengadakan pertemuan. Kau datang untuk mengkhotbahkan Injil agar kami bisa mendengar suara Tuhan, dan aku sangat bersyukur kepada Tuhan untuk ini." Dalam satu malam, Injil tersebar ke seluruh desa. Aku tak pernah menyangka di kali pertama aku mengkhotbahkan Injil, pendeta akan menerimanya, bersama begitu banyak orang lain. Itu sangat luar biasa! Aku tahu ini hasil pekerjaan Roh Kudus, tapi aku tetap berpikir diriku terampil dan melakukan tugas dengan sangat baik. Sebelum menyadarinya, aku berbangga dan puas dengan status quo lagi, jadi aku hanya ingin menyirami para petobat baru ini dengan saudari yang mengepalai penyiraman dan tak ingin mengkhotbahkan Injil lagi. Selama masa itu, aku jarang menanyakan pekerjaan gereja, dan lebih sedikit berdoa kepada Tuhan.

Suatu hari, saat mengecas ponsel, terjadi korsleting. Aku memasukkan kartu SIM-ku ke ponsel lain, tapi anehnya, ponsel itu juga rusak. Pada titik ini, kusadar aku menghadapi jalan buntu, dan ini mungkin pendisiplinan Tuhan, jadi aku mulai merenungkan masalahku. Aku membaca dalam firman Tuhan, "Secara umum, engkau semua berada dalam keadaan malas, tidak termotivasi, tidak rela berkorban secara pribadi; atau engkau menunggu dengan pasif, dan beberapa orang bahkan mengeluh; mereka tidak memahami tujuan dan makna penting pekerjaan Tuhan, dan sulit bagi mereka untuk mengejar kebenaran. Orang-orang seperti itu membenci kebenaran dan pada akhirnya akan disingkirkan. Tidak seorang pun di antara mereka bisa disempurnakan, dan tak seorang pun yang bisa bertahan. Jika manusia tidak memiliki sedikit saja tekad untuk melawan kekuatan Iblis, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari mereka!" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penerapan (7)"). "Janganlah menjadi pengikut Tuhan yang pasif, dan janganlah mengejar hal-hal yang membuatmu penasaran. Dengan menjadi tidak dingin maupun panas, engkau akan menghancurkan dirimu sendiri dan menunda hidupmu. Engkau harus mengenyahkan sikap pasif dan kemalasan seperti itu dari dirimu, dan menjadi mahir dalam mengejar hal-hal positif dan mengatasi kelemahanmu sendiri, sehingga engkau dapat memperoleh kebenaran dan hidup dalam kebenaran. Tidak ada yang menakutkan tentang kelemahanmu, dan kekuranganmu bukanlah masalahmu yang terbesar. Masalah terpenting dan kelemahan terbesarmu, adalah keadaanmu yang tidak panas atau dingin dan kurangnya keinginan untuk mencari kebenaran. Masalah terbesar engkau sekalian adalah mentalitas pengecut, yang dengannya engkau bahagia dengan segala hal sebagaimana adanya, dan sekadar menunggu dengan pasif. Inilah rintangan terbesarmu, dan musuh terbesar bagi pengejaranmu akan kebenaran" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). Setelah membaca firman Tuhan, aku merenungkan diri. Saat melihat Injil telah tersebar ke seluruh desa, aku merasa Tuhan puas dengan kinerja tugasku, jadi aku bangga dan puas dengan status quo dan tak ingin menyebarkan Injil lagi. Setelah mendapatkan hasil, aku tak mengejar kemajuan lagi. Hasratku untuk puas dengan status quo terlalu kuat. Dahulu aku menunda pekerjaan Injil karena puas dengan status quo, dan kini aku melakukannya lagi. Tuhan menuntut kita mencurahkan hati dan pikiran ke dalam tugas. Bagaimana mungkin Tuhan puas dengan kinerja tugasku? Saat itulah kusadar jika tak membuat kemajuan dalam tugas, aku berjalan mundur, lalu dalam hal jalan masuk kehidupan dan hasil khotbah Injil, aku akan tertinggal. Aku selalu puas dengan status quo, tak mengejar kebenaran, dan makin jauh dari Tuhan. Dalam jangka panjang, aku hanya akan merugikan diriku. Puas dengan status quo adalah hambatan terbesarku untuk mengejar kebenaran dan melakukan tugas, hanya akan merugikan dan menghancurkan diri sendiri. Sama seperti firman Tuhan, "Dengan menjadi tidak dingin maupun panas, engkau akan menghancurkan dirimu sendiri dan menunda hidupmu." Lalu, kitab Wahyu berkata, "Jadi karena engkau suam-suam kuku dan tidak panas atau dingin, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku" (Wahyu 3:16). Aku adalah air suam-suam kuku dalam firman Tuhan, tak dingin atau panas, dan puas dengan status quo. Jika terus seperti ini, tak akan ada harapan bagiku, dan aku akan disingkirkan. Memikirkan ini, aku sedikit takut, jadi aku berdoa kepada Tuhan untuk bertobat, apa pun kesulitan yang kuhadapi di masa depan, aku akan berusaha, tak pernah mundur dan puas dengan status quo.

Namun, saat mulai aktif dalam khotbahku, aku menghadapi kesulitan besar lain. Kami dilaporkan, jadi pemerintah kota praja tahu ada orang datang mengkhotbahkan Injil. Jika ketahuan, kami kemungkinan akan ditangkap, bersama penduduk desa dan wali kota. Wali kota dan penduduk desa takut terlibat, jadi mereka minta kami pergi dan kembali setelah keadaan tenang. Kupikir, "Apa yang akan terjadi kepada para petobat baru ini jika kami pergi? Mereka baru menerima Injil dan tak punya pijakan. Namun, jika kami berdua tinggal, kami akan mudah menarik perhatian." Akhirnya, kami putuskan mengirim saudari penyiram itu pergi, sementara aku tinggal di desa untuk mendukung petobat baru. Meskipun tahu pengaturan ini yang terbaik, aku sedikit sedih. Aku merasa benar-benar sendirian di tempat asing. Pendeta itu masih punya banyak gagasan dan tak sepenuhnya yakin tentang jalan yang benar, juga takut ditangkap, jadi dia ingin aku pergi. Aku merasa sangat sedih. Pendeta dan wali kota mengusirku, seolah-olah aku tak punya rumah. Hidup dalam keadaan ini, aku tak termotivasi berdoa dan sedikit rindu rumah. Saat bersekutu dengan pendeta, kulihat dia masih punya banyak gagasan. Jadi, aku yakin pendeta itu tak punya pemahaman yang baik. Saat melihat hanya sedikit petobat baru ikut pertemuan karena takut ditangkap, aku tak sepenuh hati mendukung mereka. Saat itu kupikir, "Baguslah beberapa orang ini datang. Aku menelepon mereka, tapi sisanya tak datang, jadi aku tak bisa apa-apa." Perlahan, makin sedikit petobat baru yang rutin menghadiri pertemuan, aku tenggelam dalam kesulitan dan makin tertekan. Kemudian, aku bicara dengan seorang saudari di telepon tentang keadaanku, dan dia mengirimiku kutipan firman Tuhan. "Seperti inilah sikap orang-orang ketika mereka belum memperoleh kebenaran, mereka semua hidup berdasarkan semangat—sebuah semangat yang sangat sulit dipertahankan: harus ada seseorang yang berkhotbah dan menyampaikan persekutuan kepada mereka setiap hari; begitu tak seorang pun menyirami dan membekali mereka, dan tak seorang pun menyokong mereka, hati mereka kembali menjadi dingin, mereka kembali mengendur. Dan ketika hati mereka mengendur, mereka menjadi kurang efektif dalam tugas mereka; jika mereka bekerja lebih keras, keefektifan mereka meningkat, kinerja tugas mereka menjadi semakin produktif, dan mereka mendapatkan lebih banyak. Apakah ini pengalamanmu? ... Orang harus memiliki tekad; hanya mereka yang memiliki tekad yang benar-benar mampu mengejar kebenaran, dan hanya setelah mereka memahami kebenaran, barulah mereka mampu melaksanakan tugas mereka dengan benar, dan memuaskan Tuhan, serta mempermalukan Iblis. Jika engkau memiliki ketulusan seperti ini, dan tidak membuat rencana untuk kepentinganmu sendiri, tetapi hanya ingin memperoleh kebenaran dan melaksanakan tugasmu dengan benar, maka pelaksanaan tugasmu akan menjadi normal, dan keadaanmu akan tetap konsisten selama pelaksanaan tugasmu itu; keadaan apa pun yang kauhadapi, engkau akan mampu bertekun dalam melaksanakan tugasmu. Siapa pun atau apa pun yang mungkin datang untuk menyesatkan atau mengganggumu, entah suasana hatimu baik atau buruk, engkau akan tetap mampu melaksanakan tugasmu secara normal. Dengan demikian, Tuhan tidak lagi mengkhawatirkanmu, dan Roh Kudus akan dapat mencerahkanmu untuk memahami prinsip kebenaran, dan membimbingmu untuk masuk ke dalam kenyataan kebenaran, dan sebagai hasilnya, pelaksanaan tugasmu pasti akan memenuhi standar. ... Engkau harus percaya bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan, dan bahwa manusia hanya bekerja sama dengan Dia. Jika hatimu tulus, Tuhan akan melihatnya, dan Dia akan membuka semua jalan bagimu, menjadikan yang sulit tidak lagi sulit. Inilah iman yang harus kaumiliki. Oleh karena itu, engkau tak perlu khawatir tentang apa pun juga sementara engkau melaksanakan tugasmu, selama engkau menggunakan semua kekuatanmu dan melakukannya dengan segenap hati. Tuhan tidak akan mempersulit dirimu atau memaksamu untuk melakukan apa yang tak mampu kaulakukan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Dalam Kepercayaan kepada Tuhan, yang Terpenting adalah Menerapkan dan Mengalami Firman-Nya"). Dengan menerapkan firman Tuhan, kulihat aku melakukan tugasku hanya dari antusiasme dan aku tak setia kepada Tuhan. Setelah persekusi pemerintah terjadi, wali kota memintaku pergi dan para petobat baru tak menghadiri pertemuan karena takut ditangkap. Dalam menghadapi kesulitan itu, aku tak bersikap positif, mencari bimbingan Tuhan, atau berusaha yang terbaik menyirami petobat baru agar mereka punya pijakan dalam iman. Sebaliknya, aku menjadi pasif dan puas dengan hanya beberapa petobat baru. Justru karena aku melakukan tugas tanpa memikul beban atau mengejar kemajuan, peserta di pertemuan petobat baru makin tak stabil. Seperti firman Tuhan, "Dan ketika hati mereka mengendur, mereka menjadi kurang efektif dalam tugas mereka; jika mereka bekerja lebih keras, keefektifan mereka meningkat, kinerja tugas mereka menjadi semakin produktif, dan mereka mendapatkan lebih banyak." Benar. Saat aku memikul beban dan bersedia membayar mahal, aku bisa melihat bimbingan dan berkat Tuhan, khotbah Injilku pun efektif. Namun, saat mengalami kesulitan, aku tak memikul beban dalam tugas, tak bertanggung jawab, lemah, dan pasif, serta tak efektif dalam tugas. Bisa melakukan tugas adalah kasih karunia Tuhan, tapi aku tak bisa melakukannya dengan baik untuk memuaskan Tuhan. Aku terlalu memberontak!

Kemudian, aku membaca kutipan lain dari firman Tuhan, "Apa artinya orang harus 'berteguh dalam tugasnya'? Ini berarti kesulitan apa pun yang orang hadapi, mereka tidak menyerah, atau meninggalkan tugas mereka, atau melalaikan tanggung jawab mereka. Mereka berupaya sebaik mungkin. Itulah arti orang harus berteguh dalam tugasnya. Misalnya, katakanlah engkau telah diatur untuk melakukan suatu tugas. Tak seorang pun berada di sana untuk mengawasimu, juga tak seorang pun mengawasi dan mendorongmu. Menurutmu, bagaimana caramu berteguh dalam tugasmu? (Menerima pemeriksaan Tuhan dan hidup di hadapan-Nya.) Menerima pemeriksaan Tuhan adalah langkah pertama; itu salah satu caranya. Cara lainnya adalah melaksanakan tugas itu dengan segenap hati dan pikiranmu. Apa yang harus kaulakukan untuk dapat bertindak dengan segenap hati dan pikiranmu? Engkau harus menerima kebenaran dan menerapkannya; engkau harus menerima dan menaati apa pun yang Tuhan tuntut; engkau harus memperlakukan tugasmu sebagai urusan pribadimu sendiri, tak perlu diperhatikan seorang pun, juga tak perlu menuntut pengamatan, pemeriksaan, dan dorongan mereka yang terus-menerus, ataupun pengawasan mereka—bahkan tak perlu menuntut penanganan dan pemangkasan mereka. Engkau harus berpikir dalam hatimu, 'Melaksanakan tugas ini adalah tanggung jawabku. Ini adalah tugasku, dan karena tugas ini telah diberikan kepadaku untuk kulaksanakan, dan aku telah diberi tahu prinsip-prinsipnya dan memahaminya, aku akan bertekad melaksanakannya dengan segenap pikiranku. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memastikan tugas itu terlaksana dengan baik. Aku hanya akan berhenti ketika seseorang berkata 'berhenti'; sebelum itu terjadi, aku akan terus melaksanakannya dengan segenap pikiranku.' Inilah arti berteguh dalam tugasmu dengan segenap hati dan pikiranmu. Beginilah cara orang harus bersikap. Jadi, apa yang harus orang miliki agar dapat berteguh dalam tugas dengan segenap hati dan pikiran mereka? Pertama-tama, mereka harus memiliki hati nurani yang seharusnya dimiliki makhluk ciptaan. Itu adalah standar minimum. Selain itu, mereka juga harus setia. Sebagai manusia, untuk menerima amanat Tuhan, orang harus setia. Dia harus sepenuhnya setia kepada Tuhan dan tidak boleh setengah hati, atau tidak bertanggung jawab; bertindak berdasarkan kepentingan atau suasana hatinya sendiri adalah keliru, itu bukanlah sikap yang setia. Apa arti bersikap setia? Itu berarti selagi melaksanakan tugasmu, engkau tidak dipengaruhi dan dibatasi oleh suasana hati, lingkungan, orang-orang, perkara-perkara, atau hal-hal. Engkau harus berpikir dalam hatimu, 'Aku telah menerima amanat ini dari Tuhan; Dia telah memberikannya kepadaku. Inilah yang harus kulakukan. Oleh sebab itu, aku akan melakukannya dengan menganggapnya sebagai urusan pribadiku, dengan cara apa pun yang memberikan hasil yang baik, dengan kepentingan untuk memuaskan Tuhan.' Ketika engkau memiliki keadaan ini, engkau tidak hanya sedang dikendalikan oleh hati nuranimu, tetapi kesetiaanmu juga ada di dalamnya. Jika engkau hanya puas dengan menyelesaikan amanat, tanpa ingin menjadi efisien dan mencapai hasil, dan merasa cukup untuk sekadar mengerahkan sedikit upaya, artinya ini hanyalah standar hati nurani, dan tidak bisa diperhitungkan sebagai kesetiaan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Bagian Tiga"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami cara menjalankan tugasku. Tugas ini dipercayakan kepadaku, jadi aku harus berusaha keras untuk melakukannya dengan baik, dan tanpa pengawasan orang lain. Meski menghadapi kesulitan, kepentinganku terlibat, atau harus menderita, aku harus menerima pengawasn Tuhan dan melakukan tugasku dengan baik. Selama pekerjaan Injil masih berlangsung, aku harus mengerahkan segenap daya dan memperlakukan tugasku sebagai misiku, aku tak boleh berhenti, mengelak dari tanggung jawab, atau bekerja berdasarkan suasana hatiku. Dengan begitu, aku menjaga tugasku.

Selanjutnya, aku bersekutu dengan para petobat baru yang tak menghadiri pertemuan. Aku bilang, "Jika tak bisa datang ke pertemuan di malam hari, saat kau punya waktu di siang hari, aku bisa datang untuk bersekutu denganmu." Ini menggerakkan beberapa petobat baru, lalu bersedia ikut pertemuan. Suatu malam, aku mengadakan pertemuan dengan pendeta dan penduduk desa. Aku bilang, "Pekerjaan Tuhan akan segera berakhir, jadi kita tak perlu takut berkumpul untuk membaca firman Tuhan karena persekusi pemerintah. Jika melakukan itu, kita akan kehilangan penyelamatan Tuhan. Kini bencana makin besar dan hanya Tuhan Yang Mahakuasa yang bisa menyelamatkan kita. Kita harus percaya bahwa Tuhan berkuasa atas segala sesuatu, beriman kepada Tuhan, dan tak mundur saat menghadapi persekusi. Aku mengkhotbahkan Injil di desa kalian, jika mereka menemukanku, mereka akan menangkapku. Aku hanya wanita muda dan takut ditangkap, jadi kenapa aku tak pergi? Karena ini adalah tanggung jawabku. Kalian baru menerima Injil Kerajaan Tuhan dan akhirnya mendengar suara Tuhan. Persekusi ini datang, lalu kalian memintaku pergi, tapi jika aku pergi untuk melindungi diri sendiri dan meninggalkan kalian, artinya melalaikan tugas." Setelah aku bicara dengan jujur, pendeta memberi tahu penduduk desa, "Kita harus melindungi dia mulai sekarang. Jangan beri tahu siapa pun bahwa dia mengkhotbahkan Injil di desa ini. Jika ada yang bertanya, bilang tak tahu." Mendengar perkataan pendeta, aku sangat tersentuh. Meskipun masih punya banyak gagasan agama, dia bersedia mencari, jadi aku memberikan persekutuan yang ditargetkan untuk gagasannya, dan saudara-saudari mengirimkan beberapa firman Tuhan Yang Mahakuasa kepada pendeta. Pendeta mendengarkan dengan penuh perhatian dan beberapa gagasannya terselesaikan. Kemudian, pendeta aktif datang ke pertemuan dan memberi tahu penduduk desa, "Aku ingin kalian semua datang ke pertemuan, kita harus menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman, bertahan, dan jangan sampai tertinggal. Tuhan Yang Mahakuasa adalah Tuhan Yesus yang datang kembali!" Syukur kepada Tuhan! Setelah pengalaman ini, aku benar-benar melihat bahwa semuanya ada di tangan Tuhan. Di masa lalu, aku hanya berkata semuanya ada di tangan Tuhan, tapi kini aku benar-benar mengalami bahwa semuanya memang ada di tangan Tuhan, dan selama orang dengan tulus bekerja sama dengan Tuhan, Tuhan akan memimpin mereka. Bagi Tuhan, tak ada yang mustahil.

Beberapa saat kemudian, pejabat kota praja datang ke desa, lalu membawaku dan pendeta ke pemerintah kota praja. Aku gugup dan takut, tapi kuingat semuanya ada di tangan Tuhan, karena Tuhan mengizinkan lingkungan ini datang kepadaku, aku harus patuh. Saat kami berjalan, aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, meminta Dia menyertaiku. Aku teringat firman Tuhan, "'Sekuat' apa pun Iblis, seberani dan seambisius apa pun dirinya, sehebat apa pun kemampuannya untuk menimbulkan kerusakan, seluas apa pun teknik yang digunakannya untuk merusak dan memikat manusia, selihai apa pun trik dan rencana jahat yang digunakannya untuk mengintimidasi manusia, sehebat apa pun kemampuannya merubah bentuk keberadaan dirinya, ia tidak pernah mampu menciptakan satu makhluk hidup pun, tidak pernah mampu menetapkan hukum atau aturan untuk keberadaan segala sesuatu, dan tidak pernah mampu mengatur dan mengendalikan objek apa pun, baik yang hidup atau mati. Di alam semesta dan cakrawala, tidak ada orang atau objek apa pun yang lahir dari dirinya, atau ada karena dirinya; tidak ada orang atau objek apa pun yang diatur olehnya, atau dikendalikan olehnya. Sebaliknya, ia bukan saja harus hidup di bawah kekuasaan Tuhan, tetapi, lebih dari itu, ia harus menaati semua perintah dan titah Tuhan. Tanpa izin Tuhan, sulit bagi Iblis untuk menyentuh bahkan setetes air pun atau butiran pasir di atas tanah; tanpa izin Tuhan, Iblis bahkan tidak bebas untuk memindahkan semut di atas tanah, apalagi umat manusia, yang diciptakan oleh Tuhan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik I"). Saat teringat firman Tuhan, aku tenang, rasa takutku berkurang, dan percaya semuanya ada di tangan Tuhan.

Di pemerintah kota praja, aku dan pendeta dikurung di sebuah ruangan untuk interogasi. Saat itu, migrain pendeta muncul kembali. Dia tak punya kekuatan, tangan dan kakinya gemetar, dia kesakitan dan takut akan mati di sana. Aku bersekutu dengannya, berkata, "Lingkungan ini adalah ujian bagi kita, untuk melihat apa kita benar-benar mengikuti Tuhan. Semuanya ada di tangan Tuhan, dan Iblis tak akan melakukan apa pun kepada kita tanpa izin Tuhan, jadi kita harus punya iman." Setelah persekutuanku, pendeta itu meneteskan air mata. Dia bilang, "Syukur kepada Tuhan! Semuanya ada di tangan Tuhan, dan Tuhan bersama kita, jadi aku tak takut mati." Lalu, dia memberitahuku, "Jika mereka menginterogasi kita, aku akan bilang kau putriku, dan kau di sini untuk membantu pekerjaanku." Jadi, aku dan pendeta punya kepercayaan diri untuk mengalami lingkungan ini. Pada akhirnya, gubernur kota praja mendenda kami 300 yuan dan membebaskan kami.

Setelah melalui penangkapan ini, aku melihat kedaulatan Tuhan yang mahakuasa, serta hati dan jiwa manusia ada di tangan Tuhan. Meskipun jalan mengkhotbahkan Injil sulit dan berbahaya, selama masa ini, aku sedikit mendewasa. Saat dipersekusi di masa lalu, aku pasif, tapi kini aku bisa aktif mengambil tanggung jawab saat menghadapi bahaya. Perubahan dan pencapaian berharga ini adalah hal yang tak bisa kudapatkan dengan cara lain. Syukur kepada Tuhan!

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait