Hanya untuk 300.000 Yuan

27 September 2024

Oleh Saudara Li Ming, Tiongkok

Sekitar pukul 9 malam pada 9 Oktober 2009, ketika aku, istri, dan putriku sedang mengadakan pertemuan, tiba-tiba kami mendengar suara gedoran keras pada pintu. Aku bergegas menyembunyikan buku-buku firman Tuhan milik kami, dan begitu istriku membuka pintu, tujuh petugas polisi menerobos masuk, seorang dari mereka berteriak, "Kami dari Brigade Keamanan Nasional. Kau ikut dengan kami!" Mereka memaksaku masuk ke dalam mobil polisi dan tiga petugas tetap tinggal untuk menggeledah rumah kami. Belakangan kuketahui bahwa sekitar setengah jam setelah mereka membawaku, mereka juga menahan istriku.

Di dalam mobil mereka mengancamku: "Pemimpinmu telah ditangkap. Asalkan kau memberi tahu kami semua yang kauketahui, kami tak akan mempersulitmu." Mereka juga mengatakan beberapa hal yang memfitnah gereja. Aku sangat marah mendengar semua perkataan setan dari mereka, tetapi sekaligus merasa agak takut, tak tahu bagaimana mereka akan menyiksaku. Dalam hati aku berdoa kepada Tuhan memohon Dia melindungiku supaya bagaimanapun aku menderita, aku tak akan menjadi Yudas dan mengkhianati Tuhan. Mereka membawaku ke dalam Brigade Keamanan Nasional, dan dua petugas berpakaian preman menarikku ke dalam sebuah ruangan di lantai atas, lalu mendorongku ke atas sofa. Kapten itu bertanya kepadaku, "Kapan kau percaya kepada Tuhan? Di mana tempat pertemuanmu? Siapa pemimpinmu? Berapa banyak orang di gerejamu?" Aku tak menjawab. Dia mengambil beberapa foto dari sakunya dan bertanya apakah aku mengenali orang-orang di foto-foto itu, yang kujawab, "Tidak." Kemudian dia berkata, "Tuhan Yang Mahakuasa yang kaupercayai itu secara tegas dilarang di Tiongkok. Komite Pusat telah lama menetapkan bahwa gereja bawah tanah mana pun harus dimusnahkan, jadi sebaiknya kau mulai bicara sekarang juga!" Dia melanjutkan, memaksaku memberitahukan di mana 300.000 yuan (sekitar $45.000) uang gereja berada. Salah seorang petugas menggebrak meja dan berteriak, dengan mata terbelalak, "Kami punya kuitansinya dan kami tahu kau punya 300.000 yuan. Serahkan uang itu kepada kami sekarang juga!" Melihat ekspresi garang di wajahnya membuatku marah dan kujawab, "Itu bukan uang kalian. Mengapa kalian menuntutnya? Mengapa kalian mau menyitanya?" Kedua petugas itu bergegas menghampiriku dan mulai meninju wajahku, dan terus memukuliku dari pukul 10 malam hingga tengah malam. Seluruh wajah dan kepalaku bengkak, telingaku berdenging, dan sekujur tubuhku terasa sakit. Aku terbaring di lantai, memejamkan mata, dan berdoa dalam hati kepada Tuhan, memohon kepada-Nya agar memberiku kekuatan dan melindungi hatiku, agar meskipun dipukuli sampai mati, aku tak akan pernah menyerahkan uang gereja, tak akan pernah menjadi Yudas. Polisi melihatku tak mengatakan apa pun, jadi mereka membawaku ke pusat penahanan dan meninggalkanku diborgol ke pagar besi semalaman.

Setelah itu, mereka memasukkanku ke rumah tahanan. Selama beberapa hari selanjutnya, polisi membawaku untuk diinterogasi tiga kali untuk mencari tahu di mana uang gereja disimpan, dan aku tidak mengatakan apa pun. Sekitar pukul 8 pagi pada 17 Oktober, polisi membawaku kembali ke Brigade Keamanan Nasional, memborgol tangan dan kakiku ke kursi besi di ruang interogasi, dan kemudian memaksaku untuk memberitahukan di mana uang itu berada. Aku tetap tak mau bicara. Seorang petugas mengambil dua lapis bambu yang dipotong tipis dan mulai mencambuki kepala dan tubuh bagian atasku dengan itu, dan menggunakannya untuk membuka mulutku dengan paksa. Kepalaku dipukul bolak-balik. Ketika dia tak mampu membuka mulutku, dia menjewer telingaku dengan keras sambil menariknya ke atas dengan sangat keras dan berteriak, "Aku bertanya kepadamu! Kau tuli ya? Kaupikir kau bisa mengabaikanku? Akan kupukul kau jika berlagak kuat, dan kita lihat saja nanti siapa yang benar-benar tangguh!" Sembari mengatakan ini, dia menarik rambut di dekat telingaku, dan kemudian menarik rambut di atas kepalaku ke depan dan ke belakang. Aku merasa kulit kepalaku akan robek dan merasa sangat pusing. Mereka menyiksaku tanpa henti hingga sekitar pukul 10 malam, dan melihatku dengan tegas menolak untuk bicara, mereka berkata dengan kejam, "Hari ini cukup, tapi lebih baik kau pikirkan masak-masak malam ini dan berikan jawaban besok!" Sekujur tubuhku dipenuhi bekas pukulan mereka dan punggungku terasa sangat sakit. Tidak tahu apa yang mereka siapkan untukku keesokan harinya, aku merasa sedikit lemah, jadi aku berdoa dalam hati, "Tuhan Yang Mahakuasa! Kumohon lindungilah aku dan berikan aku iman agar aku tidak menjadi Yudas atau mengkhianati-Mu, meskipun itu berarti kematianku."

Keesokan malamnya, kapten Brigade Keamanan Nasional datang untuk menginterogasiku. Dia memelototiku dan berteriak, "Buktinya ada di depan kami, tapi kau tak mau mengakuinya. Kusarankan kau sadar dan buka mulut, atau kaurasakan akibatnya!" Melihatku tetap tak bicara, dia menjadi sangat marah sehingga dia berdiri dan mengepalkan tinjunya dengan tatapan sengit di wajahnya. Aku benar-benar tak tahu bagaimana aku akan menahannya jika dia mulai memukuliku dengan tinju itu! Aku segera berdoa, "Ya Tuhan Yang Mahakuasa! Kumohon tetaplah besertaku dan singkirkan ketakutanku. Bimbinglah aku untuk menjadi kesaksian." Setelah berdoa, aku teringat sesuatu yang Tuhan katakan: "Para penguasa mungkin tampak ganas dari luar, tetapi jangan takut, karena ini disebabkan engkau semua memiliki sedikit iman. Asalkan imanmu bertumbuh, tidak akan ada yang terlalu sulit" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 75"). Seganas apa pun para polisi, mereka juga berada di tangan Tuhan. Mereka tak dapat melakukan apa pun terhadapku tanpa seizin Tuhan, jadi aku tahu aku harus bersandar kepada Tuhan untuk menjadi kesaksian. Pemikiran ini memperkuat imanku dan aku tidak lagi merasa takut. Tepat pada saat itu, seorang petugas berkepala botak menatapku dan berteriak, "Kami punya banyak siasat jika kau tak bicara! Kami akan membawamu ke kantor provinsi dan orang-orang itu pasti mampu membuka mulutmu." Namun, aku tetap tak mengatakan apa pun bagaimanapun mereka mengancamku.

Beberapa hari kemudian, mereka membawaku ke ruangan interogasi Brigade Keamanan Nasional lainnya. Keempat dindingnya dilapisi dengan spons yang sangat tebal dan ada kursi besi diletakkan di tengah ruangan itu. Seorang petugas mendudukkanku di kursi itu, mengikatkan tangan dan kakiku ke situ, dan kemudian menginterogasiku tentang keberadaan uang gereja. Dia menanyaiku dengan sengit, "Mau serahkan 300.000 yuan itu atau tidak? Kaupikir semuanya aman jika kau tak mau bicara? Aku punya banyak waktu untuk menyiksamu!" Dia mengambil salah satu potongan bambu yang dipotong tipis itu dan mulai mencambuki tubuh bagian atasku dengan sangat keras sembari berteriak, "Kau tuli ya? Kau dengar tidak?" Kemudian, dia menarik telingaku ke atas dengan paksa dan menarik kuat-kuat rambut di pelipisku. Dia menjambak rambut di atas kepalaku dan menyentakkannya ke depan dan belakang sekuat mungkin. Rasanya sangat menyakitkan, seolah-olah kulit kepalaku akan koyak. Setelah itu, mereka mulai mencambukiku lagi dengan irisan bambu itu, dan sekujur tubuhku bengkak penuh bekas darah. Rasa sakitnya benar-benar tak tertahankan. Aku sangat membenci polisi itu dan sekaligus merasa agak takut, tak tahu berapa lama mereka akan terus menyiksaku atau apakah aku sanggup menahannya. Aku berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, Iblis menyiksaku tanpa henti, berusaha menghancurkan tekadku agar aku mengkhianati-Mu dan mereka dapat mencuri uang gereja. Ya Tuhan, aku khawatir tubuhku takkan sanggup bertahan. Kumohon lindungilah aku dan berikan aku iman." Setelah berdoa, aku teringat sebuah lagu pujian firman Tuhan yang berjudul "Rasa Sakit Ujian adalah Berkat dari Tuhan": "Jangan berkecil hati, jangan lemah, dan Aku akan menjadikan segalanya jelas bagimu. Jalan menuju kerajaan tidaklah mulus; tidak ada yang sesederhana itu! Engkau ingin memperoleh berkat dengan mudah, bukan? Sekarang, semua orang akan mengalami ujian pahit yang harus dihadapi. Tanpa ujian semacam itu, hati yang mengasihi-Ku tidak akan tumbuh lebih kuat, dan engkau tidak akan memiliki kasih yang sejati bagi-Ku. Bahkan jika ujian itu hanya berupa peristiwa-peristiwa kecil, semua orang harus melewatinya; hanya saja tingkat kesulitan ujian-ujian itu berbeda-beda untuk masing-masing orang. Ujian merupakan berkat dari-Ku, dan berapa banyak dari antaramu sering datang ke hadapan-Ku dan berlutut untuk meminta berkat-Ku? Engkau selalu mengira bahwa beberapa kata kemujuran merupakan berkat-Ku, tetapi tidak mengira bahwa kepahitan merupakan salah satu berkat-Ku" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Perkataan Kristus pada Mulanya, Bab 41"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku sadar bahwa mengalami penindasan dan kesukaran berarti Tuhan sedang menyempurnakan iman kita. Tuhan berharap aku dapat menjadi kesaksian bagi Dia di hadapan Iblis. Sebanyak apa pun penderitaan yang mungkin kutanggung dalam daging, aku tak boleh menyerah kepada Iblis, tetapi aku harus menjadi kesaksian bagi Tuhan dan memuaskan-Nya. Dengan pemikiran itu, aku tidak merasa itu terlalu sulit, tetapi aku menguatkan diriku saja dan menahan siksaan mereka. Mereka mengancamku ketika mereka melihatku tetap tak bicara setelah mereka memukuliku selama 10 atau 15 menit: "Kau diam saja—kau tak takut dipenjara? Jika kau dipenjara, itu akan jadi noda permanen. Anak-anakmu takkan pernah bisa menjadi pegawai negeri atau bergabung dengan Partai. Kau akan merusak masa depan mereka!" Aku tidak terpengaruh dengan apa yang mereka katakan karena aku tahu dalam hatiku bahwa nasib manusia berada di tangan Tuhan sepenuhnya. Masa depan anak-anakku tunduk pada penataan dan pengaturan Tuhan, dan polisi tak punya kuasa atasnya. Saat itu, salah seorang petugas menelepon putriku, dan kudengar suaranya di seberang sana: "Ayah! Apa Ayah dan Ibu baik-baik saja di sana?" Kukatakan kepadanya, "Kami baik-baik saja, jangan khawatir. Tinggal saja di rumah dan jaga adikmu." Polisi mencoba taktik lain ketika mereka melihat bahwa taktik itu tidak berhasil, dengan berkata, "Terus terang saja. Aku dan kakak iparmu berasal dari kota yang sama dan kami bekerja di unit yang sama. Aku dan sekretaris desamu juga pernah bertugas bersama di militer. Aku mencari informasi tentangmu dan semua orang mengatakan kau orang yang baik, jadi katakan saja apa yang kauketahui dan kami akan membebaskanmu." Yakin ini adalah tipu muslihat Iblis, aku berdoa dalam hati kepada Tuhan, memohon agar Dia melindungi hatiku. Ketika aku tak menjawab, dia melanjutkan: "Istrimu sudah buka mulut, jadi katakan saja apa yang ingin kami ketahui. Di mana 300.000 yuan itu?" Aku menjawab, "Tak ada yang perlu kukatakan." Mereka mulai kembali menyiksaku ketika mereka melihat bujukan itu tidak berhasil.

Suatu malam, mereka tidak mengizinkanku makan atau tidur, dan begitu aku memejamkan mataku, mereka mulai memukuli kepalaku dengan bambu. Jika punggungku sedikit membungkuk, mereka pasti mencambuknya dengan sangat keras. Saat itu bulan Oktober, jadi malam sangat dingin dan aku hanya mengenakan kemeja dan jas. Menjelang dini hari, aku merasa sangat kedinginan sehingga seluruh tubuhku menggigil. Salah seorang petugas berteriak, "Jangan pikir bisa enak jika kau tak bicara. Kau akan mati sengsara!" Mendengar ini agak melemahkanku. Aku tidak tahu berapa lama mereka akan menyiksaku atau apakah aku akan sanggup terus menerima siksaan. Aku berdoa kepada Tuhan tanpa henti, memohon Dia membimbing dan melindungiku. Aku juga bertekad bahwa apa pun yang mungkin kuhadapi, aku tak pernah boleh mengkhianati Tuhan. Petugas polisi yang sedang bertugas saat itu mengenakan pakaian yang tebal dan mereka semua terkena flu, tetapi meskipun aku hanya mengenakan kemeja tipis dan disiksa oleh mereka sepanjang malam, aku baik-baik saja. Aku bersyukur kepada Tuhan atas pemeliharaan-Nya. Seorang petugas menggerutu kepadaku, sambil terbatuk-batuk, "Flu yang kuderita ini semua salahmu!" Kemudian, salah seorang dari mereka menghampiriku dan menampar pipi kiriku begitu keras sehingga mataku berkunang-kunang. Aku merasa seluruh ruangan itu berputar. Petugas lainnya berjalan ke samping sambil tertawa-tawa, lalu dia menghampiriku dan menampar pipi kananku dengan sangat keras, sambil berteriak, "Kau mau bicara atau tidak? Di mana uang itu? Kami semua jadi sakit gara-gara interogasi ini. Kami pukuli saja kau sampai mati dan selesai sudah!" Sembari mengatakan ini, dia mendorong borgol dengan sangat keras ke pergelangan tanganku, lalu memukul borgol dengan sikunya beberapa kali sampai gerigi borgol itu menancap sedemikian dalam ke dagingku. Aku merasa tanganku akan patah. Dengan segera lenganku menjadi lebam—aku merasakan sakit yang menyiksa, seluruh tubuhku gemetar, dan keringatku bercucuran. Rasa sakit seperti itu tak terlukiskan. Pada waktu itu, aku merasa tak sanggup lagi bertahan, jadi aku berdoa kepada Tuhan berulang kali, memohon Dia melindungiku sehingga aku mampu berdiri teguh. Melihat ekspresi wajahku yang kesakitan, seorang petugas yang berdiri di sampingku mengejekku, "Kau percaya kepada Tuhan, mintalah supaya Tuhanmu datang menyelamatkanmu!" Aku tahu Iblis sedang mencobaiku. Aku yakin Partai Komunis ingin menggunakan siksaan untuk membuatku mengkhianati dan menyangkal Tuhan, tetapi semakin mereka menganiayaku, semakin jelas aku melihat wajah jahatnya yang membenci dan menentang Tuhan, dan semakin aku bertekad untuk beriman dan mengikut Tuhan. Kemudian aku berdoa, "Ya Tuhan! Penyiksaan kejam Partai Komunis terhadapku hari ini adalah sesuatu yang Engkau izinkan terjadi sehingga aku dapat melihat bahwa Iblis si setan, itulah musuh-Mu. Aku siap untuk meninggalkan dan menolak mereka dari lubuk hatiku, dan aku dengan tegas bertekad untuk mengikuti-Mu!"

Setelah itu, seorang petugas menginjak-injak borgolku dengan sol sepatunya begitu keras sehingga membuat borgol itu tertancap dalam di pergelangan tanganku. Rasa sakitnya begitu hebat hingga aku hampir tak mampu bernapas. Satu jam kemudian, tanganku mulai menghitam dan pembuluh darah di sekujur tubuhku membengkak. Kepalaku rasanya mau pecah dan bahkan jantungku terasa nyeri. Aku merasakan nyeri di sekujur tubuh yang bahkan tak terlukiskan. Aku takut tanganku menjadi cacat seandainya siksaan itu terus berlanjut. Aku teringat ayahku yang lanjut usia yang membutuhkan perawatan dan putri serta putraku yang masih harus kami besarkan. Bagaimana aku bisa merawat mereka, yang tua dan yang muda, jika tanganku cacat? Mungkin aku bisa memberi tahu mereka beberapa hal yang tidak penting? Namun kemudian, aku tahu bahwa berkhianat berarti aku akan menjadi orang berdosa di sepanjang zaman. Namun, aku benar-benar tak sanggup lagi menanggung siksaan itu, dan mau mati saja untuk mengakhiri penderitaan ini, dan dengan demikian aku juga tak akan mengkhianati Tuhan. Aku mau membenturkan kepalaku ke sudut meja agar aku mati dan selesai sudah. Sambil menangis, aku memanjatkan doa terakhirku kepada Tuhan: "Tuhan Yang Mahakuasa! Karena anugerah-Mu, aku dapat mengalami pekerjaan-Mu pada akhir zaman. Aku tak mau mati secepat ini, tetapi aku benar-benar tak tahan lagi dengan siksaan Iblis dan aku takut pada akhirnya aku akan mengkhianati-Mu. Aku tak mau menyakitimu." Selama doaku, beberapa firman Tuhan terlintas di benakku: "Selama akhir zaman ini engkau semua harus menjadi saksi bagi Tuhan. Seberapa besarnya pun penderitaanmu, engkau harus menjalaninya sampai akhir, dan bahkan hingga akhir napasmu, engkau harus setia dan tunduk pada pengaturan Tuhan; hanya inilah yang disebut benar-benar mengasihi Tuhan, dan hanya inilah kesaksian yang kuat dan bergema" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Hanya Dengan Mengalami Ujian-Ujian yang Menyakitkan Engkau Semua Bisa Mengenal Keindahan Tuhan"). Firman Tuhan menguatkan imanku. Tuhan mengizinkanku untuk melewati penderitaan itu guna menyempurnakan imanku, tetapi aku tidak memahami kehendak Tuhan, aku tidak memikirkan bagaimana menjadi kesaksian bagi Tuhan di hadapan Iblis. Aku hanya memikirkan bagaimana cara melepaskan diri dari situasi itu. Betapa egoisnya diriku! Aku tahu aku tak boleh mati seperti itu—selama masih bernapas, aku harus menjadi kesaksian bagi Tuhan! Aku berdoa, "Ya Tuhan, hidupku berada di tangan-Mu dan aku mau tunduk pada apa yang Engkau rencanakan untukku. Kumohon berikan aku iman dan lindungilah aku agar aku bisa tetap kuat." Polisi melihat mereka tidak akan mendapatkan apa pun dariku dan mengancam, "Pikirkan baik-baik malam ini, dan besok kami akan kembali untuk menanyakan beberapa pertanyaan."

Pada saat itu aku sudah tiga hari dua malam tidak tidur. Aku berada di ambang kelelahan, jantungku terasa nyeri, dan sekujur tubuhku sakit sekali tak tertahankan. Pemikiran tentang polisi yang akan menginterogasiku lebih lanjut keesokan harinya membuatku terjaga sepanjang malam, berdoa kepada Tuhan tanpa henti, "Ya Tuhan! Aku takut besok polisi akan terus menyiksaku dan aku takkan sanggup menahannya secara fisik. Ya Tuhan, kumohon lindungilah aku dan berikan aku iman dan kekuatan. Aku ingin menjadi kesaksian dan mempermalukan Iblis." Setelah berdoa, aku teringat sesuatu dari firman Tuhan: "Ketika menghadapi penderitaan, engkau harus mampu untuk tidak memedulikan daging dan tidak mengeluh kepada Tuhan. Ketika Tuhan menyembunyikan diri-Nya darimu, engkau harus mampu memiliki iman untuk mengikuti-Nya, menjaga kasihmu kepada-Nya tanpa membiarkan kasih itu hilang atau berkurang. Apa pun yang Tuhan lakukan, engkau harus tunduk pada rancangan-Nya, dan siap untuk mengutuki dagingmu sendiri daripada mengeluh kepada-Nya. Ketika dihadapkan pada ujian, engkau harus memuaskan Tuhan, meskipun engkau mungkin menangis getir atau merasa enggan berpisah dengan beberapa objek yang engkau kasihi. Hanya inilah kasih dan iman yang sejati" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Mereka yang Akan Disempurnakan Harus Mengalami Pemurnian"). Aku merenungkan firman Tuhan dan dapat mengerti bahwa Dia mengizinkan hal itu terjadi padaku untuk menguji apakah aku memiliki iman yang sejati atau tidak, dan memberiku kesempatan untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan. Aku teringat tentang Ayub yang dicobai oleh Iblis, kehilangan semua harta miliknya, anak-anaknya, dan sekujur tubuhnya dipenuhi barah. Meskipun demikian, Ayub tidak menyalahkan Tuhan, tetapi memuji nama-Nya, menjadi kesaksian yang berkumandang bagi Tuhan. Petrus juga mengalami penganiayaan dan benar-benar bersedia disalibkan terbalik demi Tuhan, mengasihi Tuhan dan tunduk kepada-Nya sampai menyerahkan nyawanya. Namun, setelah mengalami beberapa penyiksaan kejam oleh beberapa petugas polisi, yang kupikirkan hanyalah dagingku sendiri dan aku mau melarikan diri meskipun baru mengalami sedikit penderitaan. Aku tak punya iman dan ketaatan yang sejati kepada Tuhan, apalagi kesaksian sedikit pun. Semakin kupikirkan, semakin aku merasa malu dan memanjatkan doa, "Ya Tuhan, hidupku tak berharga. Apa pun yang polisi lakukan terhadapku setelah ini, sebanyak apa pun penderitaan fisik yang harus kualami, aku tak mau lagi hanya memikirkan diriku sendiri. Aku mau menyerahkan diriku ke dalam tangan-Mu, dan tunduk pada pengaturan dan penataan-Mu." Setelah doa itu, sesuatu yang luar biasa terjadi—semua rasa sakit di tubuhku lenyap begitu saja dan seolah-olah aku merasa tiba-tiba aku jauh lebih ringan. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku. Keesokan harinya sekitar pukul 8 pagi, polisi datang kembali untuk menginterogasiku, memaksaku untuk memberitahukan keberadaan uang itu, tetapi bagaimanapun mereka menginterogasiku, aku hanya menjawab tidak tahu. Mereka menginterogasiku beberapa kali lagi, dan ketika mereka tetap tak mampu mendapatkan informasi yang berguna dariku, mereka meninggalkanku dengan kata perpisahan, "Sampai jumpa di penjara!" Kupikir dalam hatiku bahwa meskipun aku di penjara sampai akhir hayatku, aku tak akan pernah mengkhianati Tuhan.

Setelah menahanku selama sebulan, akhirnya mereka memvonisku satu tahun pendidikan ulang melalui kerja paksa, dengan tuduhan "menggunakan organisasi kultus untuk mengganggu penegakan hukum". Melihat betapa besarnya kebencian Partai Komunis terhadap orang-orang beriman mengingatkanku pada sesuatu yang Tuhan katakan: "Maka, tidaklah mengherankan bahwa inkarnasi Tuhan tetap sepenuhnya tersembunyi bagi mereka: di tengah masyarakat yang gelap seperti ini, di mana Iblis begitu kejam dan tidak manusiawi, bagaimana mungkin raja Iblis, yang menghabisi orang-orang tanpa mengedipkan matanya, menoleransi keberadaan Tuhan yang penuh kasih, baik, dan juga kudus? Bagaimana mungkin ia akan menghargai dan menyambut kedatangan Tuhan dengan gembira? Para antek ini! Mereka membalas kebaikan dengan kebencian, sejak dahulu mereka mulai memperlakukan Tuhan sebagai musuh, mereka menyiksa Tuhan, mereka luar biasa buasnya, mereka sama sekali tidak menghargai Tuhan, mereka merampas dan merampok, mereka sudah sama sekali kehilangan hati nurani, mereka sepenuhnya mengabaikan hati nuraninya, dan mereka menggoda orang tidak bersalah agar tidak sadar. Nenek moyang? Pemimpin yang dikasihi? Mereka semuanya menentang Tuhan! Tindakan ikut campur mereka membuat segala sesuatu di kolong langit ini menjadi gelap dan kacau! Kebebasan beragama? Hak dan kepentingan yang sah bagi warga negara? Semua itu hanya tipu muslihat untuk menutupi dosa! ... Mengapa bersusah payah merintangi pekerjaan Tuhan? Mengapa menggunakan segala macam tipu muslihat untuk menipu umat Tuhan? Di manakah kebebasan sejati serta hak dan kepentingan yang sah? Di manakah keadilan? Di manakah penghiburan? Di manakah kehangatan? Mengapa menggunakan rencana licik untuk menipu umat Tuhan? Mengapa menggunakan kekerasan untuk menekan kedatangan Tuhan? Mengapa tidak membiarkan Tuhan melangkah bebas di bumi yang Dia ciptakan? Mengapa memburu Tuhan sampai Dia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya? Di manakah kehangatan di antara manusia?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pekerjaan dan Jalan Masuk (8)"). Partai Komunis berusaha terlihat penuh dengan kebajikan dan moralitas, membual tentang kebebasan beragama sambil secara diam-diam menggunakan taktik untuk menangkap dan menganiaya umat pilihan Tuhan, dengan sia-sia berpikir bahwa mereka dapat menyingkirkan orang-orang percaya. Umat manusia diciptakan oleh Tuhan dan kepercayaan serta penyembahan kita kepada Tuhan adalah benar dan normal, tetapi Partai Komunis dengan gila-gilaan menangkap dan menindas kami, berusaha membuat kami menyangkal dan mengkhianati Tuhan. Aku dapat memahami bahwa memiliki Partai Komunis yang berkuasa berarti memiliki Iblis yang berkuasa—PKT membenci kebenaran dan membenci Tuhan. Pada dasarnya, Iblis si setanlah yang memusuhi Tuhan. Sebelumnya, aku tak pernah mampu melihat esensi jahat Partai Komunis, tetapi penangkapan itu memberiku sedikit pemahaman dan aku jadi mampu meninggalkan dan menolak mereka dari lubuk hatiku. Aku juga menjadi semakin teguh dalam keyakinanku untuk mengikut Tuhan.

Aku dibawa ke kamp kerja paksa pada 9 November 2009 di mana polisi menugaskan dua tahanan lain untuk mengawasiku. Mereka tidak pernah meninggalkanku seorang diri, dan aku harus melapor kepada mereka walaupun hanya untuk ke kamar kecil. Penjaga penjara tidak mengizinkanku berbicara dengan siapa pun, takut aku akan memberitakan Injil kepada seseorang, dan aku harus mengucapkan peraturan penjara setiap hari. Jika aku melakukan kesalahan dengan pengucapanku, aku harus berdiri sebagai hukuman. Aku melakukan pekerjaan yang sangat berat dari pagi hingga malam hari demi hari, dan jika aku tak mampu menyelesaikan tugasku, aku pasti dimaki, dipukuli, dan harus berdiri sebagai hukuman. Makanan yang diberikan kepadaku lebih buruk daripada makanan babi. Setiap waktu makan, aku hanya mendapatkan sebuah bakpao kecil dan sup encer yang hanya diberi sepotong wortel seukuran jari kelingking di dalamnya. Aku selalu bekerja dengan perut kosong. Setiap kali aku merasa sedih dan tertekan, aku berdoa kepada Tuhan atau secara diam-diam menyenandungkan beberapa lagu pujian firman Tuhan. Begitulah caraku melewati kehidupan penjara selama setahun.

Setelah keluar dari penjara, polisi memperingatkanku, "Kau tak boleh pergi jauh dari rumah selama setahun penuh. Kau harus siap untuk datang saat kami meneleponmu." Setibanya di rumah, aku baru mengetahui bahwa setelah istriku ditangkap, polisi juga menginterogasinya tanpa henti tentang di mana uang gereja disimpan. Dia tidak mengatakan apa pun kepada mereka dan dibebaskan dari rumah tahanan setelah ditahan selama 23 hari. Ketika polisi tak dapat mendapatkan informasi apa pun tentang keberadaan uang itu, mereka pergi ke rumah kami untuk menggeledahnya dua kali, bahkan membongkar langit-langit rumah kami dan mencecar kedua anak kami tentang iman kami. Mereka bahkan pergi ke sekolah putra kami untuk mengganggunya. Anak-anak kami menjadi sangat ketakutan sehingga mereka selalu gelisah dan tak pernah merasa aman. Melihat bagaimana para petugas itu bahkan tidak mau melepaskan dua anak hanya untuk mendapatkan sejumlah uang membuatku sangat membenci setan-setan Partai Komunis itu. Setelah aku keluar dari penjara, pengawasan polisi menghalangiku membaca firman Tuhan atau menghadiri pertemuan. Aku tak punya pilihan selain pergi ke luar kota untuk memberitakan Injil dan melakukan tugasku. Polisi masih memburuku sampai hari ini, dan mereka terus menekan kerabat dan saudara-saudariku yang dahulu berhubungan denganku untuk mendapatkan informasi tentang keberadaanku.

Aku mengalami beberapa penderitaan fisik melalui penganiayaan dan kesukaran ini, tetapi aku benar-benar mengalami kasih Tuhan. Ketika aku disiksa, setiap kali aku sudah tak sanggup lagi, firman Tuhanlah yang memberiku iman dan kekuatan dan menunjukkan kepadaku jalan untuk berdiri teguh. Firman Tuhan jugalah yang membimbingku untuk mengetahui tipu muslihat Iblis yang sebenarnya dan mengalahkan pencobaan Iblis satu demi satu. Melalui semua ini, aku dapat melihat kuasa dan otoritas firman Tuhan dan bahwa hanya Tuhan yang mampu menyelamatkan umat manusia. Imanku kepada Tuhan bertumbuh. Aku juga melihat dengan jelas wajah jahat Partai Komunis, bahwa mereka membenci Tuhan dan menentang-Nya. Aku meninggalkan dan menolak mereka dari lubuk hatiku. Sebanyak apa pun penganiayaan dan kesukaran yang mungkin kualami kelak, aku akan benar-benar melakukan tugasku untuk memuaskan Tuhan!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Keajaiban Hidup

Oleh Saudari Yang Li, Provinsi JiangxiIbuku meninggal saat aku masih kecil, jadi aku harus menanggung beban berat tanggung jawab rumah...

Satu Cobaan Demi Cobaan Lain

Suatu pagi di bulan April 2009, sekitar pukul 9 pagi, saat baru saja melangkah ke luar jalan setelah sebuah pertemuan, aku dan Saudari Ding...