Apa Watak di Balik Sikapmu yang Suka Berdebat?

24 November 2022

Oleh Saudari Chen Mo, Korea

Setelah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, aku tahu pada prinsipnya Tuhan menyukai orang yang menerima kebenaran. Jika orang percaya kepada Tuhan tanpa menerima kebenaran, sebanyak apa pun mereka menderita, watak hidup mereka takkan pernah berubah. Aku ingin menjadi orang yang menerima kebenaran, tapi ketika dipangkas dan ditangani, aku tanpa sadar berdebat dan membela diri, dan terkadang menyanggah orang lain. Setelah beberapa waktu, aku menyesalinya, dan heran: mengapa aku berdebat? Mengapa aku merasa perlu bicara begitu banyak? Namun, penyesalan itu terbatas, dan karena tak pernah melihat esensi masalahnya dengan jelas, aku tak pernah mendapatkan jalan masuk yang sejati. Baru-baru ini, setelah beberapa pengalaman, akhirnya aku mulai merenungkan diri sendiri, mencari kebenaran, menyadari bahwa selalu berdebat sebenarnya watak jahat karena muak akan kebenaran, dan tahu jika tak bertobat dan berubah, aku berada dalam bahaya.

Aku mengawasi pekerjaan penginjilan di gerejaku. Suatu ketika, di rapat rangkuman pekerjaan, pengawas penyiraman, Saudari Liu, melaporkan masalah dalam pekerjaan penginjilan, berkata, "Belakangan ini, para penginjil tak segera memberi tahu kita tentang keadaan petobat baru yang membutuhkan penyiraman, yang berarti kita tak dapat memberikan penyiraman yang menargetkan gagasan dan masalah petobat baru." Ketika kudengar Saudari Liu menyebutkan masalah dalam pekerjaanku di depan banyak orang, aku merasa sangat malu. "Bukankah sebenarnya kau bermaksud mengatakan aku tak melakukan pekerjaan nyata? Bukannya aku tak bersekutu dengan saudara-saudari tentang masalah ini. Aku memberi tahu mereka tentang hal ini sejak lama, tapi semuanya butuh waktu untuk berubah, bukan? Banyak dari mereka baru mulai melakukan pekerjaan penginjilan. Mengapa kau menuntut begitu banyak dari mereka?" Aku sama sekali tak dapat menerima apa yang dia katakan, dan merasa dia tak peduli dengan kesulitan orang lain. Pada waktu itu, aku ingin langsung mengungkapkan pemikiranku, tapi khawatir semua orang akan berkata aku tidak menerima saran, yang akan membuatku terlihat buruk, jadi dengan enggan aku menerima sarannya dan menurutinya. Setelah itu, aku menekankan kepada saudara-saudariku bahwa mereka harus meluangkan waktu untuk memberikan umpan balik yang tepat waktu kepada petobat baru yang membutuhkan penyiraman. Setelah beberapa waktu, segalanya menjadi sedikit lebih baik, dan aku tak terlalu memikirkannya di luar itu. Sampai suatu hari, ketika aku mengetahui beberapa penyiram tak bekerja dengan baik dengan para penginjil, dan memiliki prasangka terhadap para penginjil. Mau tak mau aku berasumsi, "Ini pasti karena Saudari Liu selalu berbicara tentang masalah para penginjil." Aku mulai mengeluh tentang dia dalam pikiranku, "Dia sangat menyebalkan. Dia tak pernah memikirkan apa yang seharusnya dia katakan dalam situasi tertentu. Setiap kali kami membahas pekerjaan, dia pasti selalu menyinggung para penginjil tak memberikan umpan balik yang tepat waktu tentang petobat baru. Semua orang mendengar hal itu dan mulai beropini tentang kami. Jika ini terus berlanjut, bagaimana kelak kami akan bekerja sama dalam tugas?" Saat memikirkan hal ini, kemarahan yang tak terlukiskan menguasaiku. Aku melaporkan situasi ini kepada pemimpin kami, dan berkata Saudari Liu selalu menyebarkan ketidakpuasan dalam kelompoknya tentang para penginjil, yang membuat kami tak dapat bekerja sama. Saat mengetik pesan, aku memiliki beberapa kekhawatiran tentang hal itu. "Apakah pantas melaporkan hal ini sebagai masalah? Apakah 'menyebarkan' benar-benar istilah terbaik untuk digunakan di sini?" Namun kemudian kupikir, "Yang kukatakan adalah fakta. Setiap kali Saudari Liu berbicara tentang masalah para penginjil, dia menghela napas. Desahannya saja membuat itu terdengar seperti situasi tanpa harapan. Bukankah dia hanya menyebarkan ketidakpuasannya? Yang kukatakan tentang dia itu tidak salah." Dengan begitu saja, aku mengirim pesan tanpa memikirkannya lagi. Keesokan harinya, Saudari Liu mengirimiku pesan: "Jika yang kukatakan tak pantas, kau boleh memberitahuku. Bagaimana perkataanku bisa disamakan dengan 'menyebarkan ketidakpuasan'?" Ketika melihat pesannya, aku tahu pemimpin telah bersekutu dengannya. Ketika melihat sikapnya tidak mau menerima atau merenungkan dirinya sendiri, aku sangat marah. "Seberapa mati rasakah dirimu? Kau bahkan tak menyadari apa yang kaupikirkan dan katakan, bukan? Desahanmu menunjukkan betapa tak puasnya kau dengan para penginjil. Sikapmu yang merendahkan memengaruhi orang lain. Bukan ini artinya menyebarkan ketidakpuasan?" Aku bahkan ingin meneleponnya dan berdebat dengannya, tapi kemudian kupikir, "Jika meneleponnya sekarang, bukankah kami berdua akan mulai bertengkar? Jika semua orang mendengar pertengkaran kami, itu hanya akan memalukan. Itu akan membuat hubungan menjadi canggung, lalu bagaimana kami bisa bekerja sama? Ini tidak melindungi pekerjaan gereja. Aku sudah lama percaya kepada Tuhan, jadi mengapa masih begitu impulsif ketika terjadi hal-hal seperti ini?" Pada saat ini, aku teringat firman Tuhan. "Bagi semua orang yang melaksanakan tugas mereka, sedalam atau sedangkal apa pun pemahaman mereka akan kebenaran, cara penerapan paling sederhana yang dapat digunakan untuk masuk ke dalam kenyataan kebenaran adalah dengan memikirkan kepentingan rumah Tuhan dalam segala sesuatu, dan melepaskan keinginan yang egoistis, niat, motif, kesombongan, dan status pribadi. Prioritaskan kepentingan rumah Tuhan—inilah setidaknya yang harus orang lakukan" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Dengan Menyerahkan Hatinya kepada Tuhan, Orang Dapat Memperoleh Kebenaran"). Kata-kata "kepentingan rumah Tuhan" akhirnya menenangkan pikiranku dan membuatku merenungkan diri sendiri. Kepentingan rumah Tuhan-lah yang terpenting. Perselisihanku dengan saudariku hanyalah bertengkar tentang siapa yang salah, bukan? Kami berdua pengawas. Jika kami mulai bertengkar karena hal ini dan menjadi renggang dan berprasangka, itu akan memengaruhi pekerjaan. Ini akan merusak tujuan yang lebih besar. Selain itu, aku menggolongkan laporan masalah Saudari Liu sebagai menyebarkan ketidakpuasan, tapi penggolongan ini mungkin tak akurat. Menyebarkan ketidakpuasan berarti membalikkan hitam dan putih, membingungkan benar dan salah, dan menyebut hal yang positif negatif. Itu berarti memiliki niat yang tidak benar dan mengatakan sesuatu untuk menyerang dan mengutuk orang lain untuk mencapai tujuanmu sendiri. Namun, masalah yang dijelaskan Saudari Liu dalam pekerjaan kami akurat. Dia secara objektif mengatakan masalahnya. Ada hal-hal yang dilakukan para penginjil dengan asal-asalan dan tak bertanggung jawab saat melaksanakan tugas mereka, jadi dia mengatakan ini untuk memperbaiki penyimpangan dan celah dalam pekerjaan kami. Ini bermanfaat bagi pekerjaan penginjilan, dan tak ada niat pribadi yang tak pantas di dalamnya. Meskipun nada bicaranya salah, itu untuk membuat pekerjaan lebih baik. Namun, aku menggolongkan tindakannya sebagai menyebarkan ketidakpuasan tentang para penginjil. Aku menyerang dan melabelinya. Dengan memikirkan ini, aku merasa sedikit bersalah, jadi aku menjawabnya, "Perkataanku tidak tepat. Aku minta maaf." Dia menerima permohonan maafku, dan berkata kami harus lebih banyak berkomunikasi dan bekerja sama untuk melaksanakan tugas dengan baik. Ketika melihat jawabannya, aku merasa malu. Namun, aku juga senang telah menjadi tenang. Jika tidak, akan ada keretakan di antara kami, dan pekerjaan pasti akan terpengaruh. Pada waktu itu, di situlah kuanggap selesai masalah ini, tapi aku merasa tak mendapatkan banyak pengenalan diri dari kerusakanku, jadi aku berdoa kepada Tuhan, memohon Dia mencerahkanku agar aku bisa mengenal diriku.

Kemudian suatu hari, ketika sedang menulis sebuah artikel, aku melihat beberapa firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ditangani atau dipangkas, apa sikap terpenting yang harus orang miliki terhadapnya? Pertama, engkau harus menerimanya, siapa pun yang menanganimu, untuk alasan apa pun, entah itu terkesan kasar, atau seperti apa pun nada bicara dan kata-katanya, engkau harus menerimanya. Kemudian, engkau harus mengenali kesalahan apa yang telah kaulakukan, watak rusak apa yang telah kausingkapkan, dan apakah engkau telah bertindak sesuai dengan prinsip kebenaran atau tidak. Ketika engkau dipangkas dan ditangani, pertama dan terutama, inilah sikap yang harus kaumiliki. Dan apakah antikristus memiliki sikap seperti itu? Tidak; dari awal hingga akhir, sikap yang mereka tunjukkan adalah sikap yang menentang dan menolak. Dengan sikap seperti itu, bisakah mereka menenangkan diri di hadapan Tuhan dan dengan rendah hati menerima diri mereka dipangkas dan ditangani? Tidak mungkin bisa. Jadi, apa yang akan mereka lakukan? Pertama-tama, mereka akan berdebat dengan penuh semangat dan memberikan pembenaran, membela diri dan memperdebatkan kesalahan yang telah mereka lakukan dan watak rusak yang mereka singkapkan, dengan harapan mendapatkan pengertian dan pengampunan orang sehingga mereka tidak perlu memikul tanggung jawab atau menerima firman yang menangani dan memangkas mereka. ... Mereka berpura-pura tidak melihat kesalahan mereka sendiri, betapapun nyatanya kesalahan itu dan betapapun besarnya kerugian yang telah mereka timbulkan. Mereka tidak merasa sedih atau bersalah sedikit pun, dan hati nurani mereka sama sekali tidak menegur mereka. Sebaliknya, mereka membenarkan diri mereka sendiri dengan segenap kekuatan mereka dan berdebat, berpikir, 'Semua orang boleh memiliki alasan. Setiap orang memiliki alasan mereka sendiri; itu tergantung siapa yang lebih fasih bicara. Jika pembenaran dan penjelasanku diterima mayoritas orang, berarti aku menang, dan kebenaran yang kaubicarakan bukanlah kebenaran, dan faktamu tidak valid. Engkau mau menghukumku? Tidak mungkin!' Ketika antikristus ditangani dan dipangkas, di lubuk hati dan jiwanya, mereka secara mutlak, dengan tegas menentang dan menolaknya. Sikap mereka adalah, 'Apa pun yang kaukatakan, betapapun benarnya dirimu, aku tak mau menerimanya, dan aku tak mau mengakuinya. Aku tidak bersalah.' Bagaimanapun fakta memperlihatkan watak rusak mereka, mereka tidak mengakui atau menerimanya, melainkan terus saja bersikap membangkang dan menentang. Apa pun yang orang lain katakan, mereka tidak menerima atau mengakuinya, tetapi malah berpikir, 'Mari kita lihat siapa yang bisa berbicara lebih banyak; mari kita lihat mulut siapa yang lebih cepat.' Inilah salah satu sikap antikristus ketika mengalami dirinya ditangani dan dipangkas" (Firman, Vol. 3, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Sembilan: Mereka Melakukan Tugas Mereka Hanya untuk Membedakan Diri Mereka Sendiri dan Memuaskan Kepentingan dan Ambisi Mereka Sendiri; Mereka tidak Pernah Mempertimbangkan Kepentingan Rumah Tuhan, dan Bahkan Menjual Kepentingan Tersebut sebagai Ganti Kemuliaan Pribadi (Bagian Delapan)"). "Ketika antikristus ditangani dan dipangkas, pertanyaan pertama: mampukah mereka mengakui perbuatan jahat mereka? Pertanyaan kedua: mampukah mereka merenungkan diri mereka dan mengenal diri mereka sendiri? Dan pertanyaan ketiga: ketika menghadapi diri mereka ditangani dan dipangkas mampukah mereka menerima bahwa itu adalah dari Tuhan? Dengan ketiga pertanyaan ini, orang dapat melihat natur dan esensi antikristus. Jika orang dapat tunduk ketika diri mereka ditangani dan dipangkas, dan merenungkan diri mereka sendiri, dan dengan demikian mengenali penyingkapan kerusakan dan esensi mereka sendiri, maka orang itu adalah orang yang mampu menerima kebenaran. Mereka bukan antikristus. Ketiga hal inilah yang justru tidak dimiliki oleh antikristus. Ketika antikristus dipangkas dan ditangani, mereka malah melakukan sesuatu yang lain, sesuatu yang tak disangka seorang pun—yaitu, ketika mereka dipangkas dan ditangani, mereka balik menyerang. Alih-alih mengakui kesalahan mereka dan mengakui watak rusak mereka, mereka mengutuk orang yang menangani dan memangkas mereka. Bagaimana cara mereka melakukannya? Mereka berkata, 'Tidak semua penanganan dan pemangkasan selalu benar dan perlu. Penanganan dan pemangkasan adalah tentang penghukuman manusia; penghakiman manusia, itu bukan dilakukan atas nama Tuhan. Hanya Tuhan yang adil. Siapa pun yang mengutuk orang lain harus dikutuk.' Bukankah ini berarti mereka balik menyerang? Orang macam apa yang akan menyerang balik seperti itu? Hanya orang yang tidak bernalar yang akan melakukannya, dan hanya orang yang sejenis dengan Iblis si setan yang akan melakukannya. Orang yang memiliki hati nurani dan akal sehat tidak akan pernah melakukan hal semacam itu" (Firman, Vol. 3, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Sembilan: Mereka Melakukan Tugas Mereka Hanya untuk Membedakan Diri Mereka Sendiri dan Memuaskan Kepentingan dan Ambisi Mereka Sendiri; Mereka tidak Pernah Mempertimbangkan Kepentingan Rumah Tuhan, dan Bahkan Menjual Kepentingan Tersebut sebagai Ganti Kemuliaan Pribadi (Bagian Delapan)"). Firman Tuhan menyingkapkan sikap antikristus terhadap pemangkasan dan penanganan adalah kemuakan dan penentangan. Bahkan jika fakta disampaikan di hadapannya, mereka tak mengakui kesalahan. Untuk menjaga martabat dan status, mereka berusaha membenarkan diri, membela diri, dan berdebat dengan orang lain, sampai-sampai mampu membalikkan hitam dan putih dan mengutuk orang yang menangani mereka. Aku sadar perilakuku sama seperti perilaku antikristus yang disingkapkan dalam firman Tuhan. Aku pengawas pekerjaan penginjilan. Masalah yang disinggung Saudari Liu tentang pelaksanaan tugas para penginjil adalah celah dalam pekerjaanku sendiri, tapi bukan saja tak mau menerimanya, aku berdebat dan membela diri dalam hatiku. Aku merasa tak ada yang salah denganku, dan saudariku sengaja berusaha mempermalukanku, jadi aku mulai berprasangka terhadapnya. Setelah itu, aku menemukan sesuatu untuk mengkritiknya, membalikkan hitam dan putih untuk menghakiminya, membalikkan kesalahan, dan mengeluh kepada pemimpin. Aku benar-benar tak punya kemanusiaan. Aku menggunakan dalih memikirkan kesulitan para penginjil untuk menghalangi orang lain agar tidak menunjukkan masalah. Di luarnya, aku berempati terhadap saudara-saudariku, tapi sebenarnya, aku berdebat dan membela diri. Jika aku benar-benar bertanggung jawab atas hidup saudara-saudariku, aku pasti memberikan lebih banyak petunjuk dan bantuan untuk menyelesaikan masalah dan membalikkan penyimpangan. Itu akan benar-benar bermanfaat bagi mereka. Namun, aku melakukan yang sebaliknya. Berkenaan dengan pekerjaan mereka, aku bukan saja tak membantu atau menyelesaikannya melalui mempersekutukan kebenaran, aku berulang kali menutupinya. Bagaimana aku bisa dikatakan bertanggung jawab atas hidup saudara-saudariku? Aku jelas hanya mempertahankan citra dan statusku sendiri. Semua kesulitan itu menjadi alasan dan dalih bagiku untuk tak menerima kebenaran atau pemangkasan dan penanganan. Aku sangat curang dan sangat jahat.

Kemudian kupikir, jelas ada masalah dalam caraku melaksanakan tugas, jadi mengapa aku begitu percaya diri menyalahkan orang lain atas masalahku? Mengapa aku tak merasa malu atau gelisah? Apa sumber penyebab masalah ini? Aku terus mencari, dan membaca bagian lain firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ketika antikristus dipangkas dan ditangani, hal pertama yang mereka lakukan adalah menentang dan menolaknya di lubuk hati mereka. Mereka melawannya. Dan mengapa mereka melakukannya? Karena berdasarkan natur dan esensi mereka, antikristus sangatlah muak dan membenci kebenaran, dan mereka sama sekali tidak menerima kebenaran. Tentu saja, esensi dan watak antikristus menghalangi mereka untuk mengakui kesalahan mereka sendiri atau mengakui watak rusak mereka sendiri. Berdasarkan dua fakta ini, sikap antikristus ketika mereka dipangkas dan ditangani adalah sama sekali menolak dan menentang sepenuhnya. Mereka membenci dan menentangnya dari lubuk hati mereka, dan tidak memiliki sedikit pun penerimaan atau ketundukan, apalagi perenungan atau pertobatan sejati. Ketika antikristus dipangkas dan ditangani, siapa pun yang melakukannya, berkenaan dengan apa pun, sejauh mana pun mereka harus disalahkan atas masalah ini, sejelas apa pun kesalahannya, sebanyak apa pun kejahatan yang mereka lakukan, atau konsekuensi apa pun yang diakibatkan oleh kejahatan mereka terhadap gereja—antikristus tidak memikirkan semuanya ini. Bagi antikristus, orang yang memangkas dan menangani mereka adalah orang yang mengasingkan mereka, atau dengan sengaja mencari-cari kesalahan untuk menghukum mereka. Antikristus bahkan mungkin bertindak terlalu jauh sampai mengatakan bahwa mereka dirundung dan dipermalukan, bahwa mereka tidak diperlakukan secara manusiawi, dan bahwa mereka diremehkan dan dicemooh. Setelah antikristus dipangkas dan ditangani, mereka tidak pernah merenungkan apa sebenarnya perbuatan salah mereka, watak rusak seperti apa yang telah mereka singkapkan, apakah mereka mencari prinsip dalam masalah ini, atau apakah mereka bertindak sesuai dengan prinsip kebenaran atau memenuhi tanggung jawab mereka. Mereka tidak memeriksa diri mereka sendiri atau merenungkan semua ini, mereka juga tidak merenungkan masalah ini. Sebaliknya, mereka memperlakukan penanganan dan pemangkasan terhadap diri mereka sesuai keinginan mereka sendiri dan dengan sikap keras kepala" (Firman, Vol. 3, Menyingkapkan Antikristus, "Bab Dua Belas: Mereka Ingin Mundur Ketika Tidak Ada Status atau Harapan untuk Memperoleh Berkat"). Dari firman Tuhan aku mengerti antikristus tak mampu menerima pemangkasan dan penanganan karena natur mereka yang muak akan kebenaran dan membenci kebenaran. Mereka tak mampu menerima semua hal positif dari Tuhan dan membenci nasihat yang sesuai dengan kebenaran. Aku merenungkan diriku sendiri dan sadar, dari awal sampai akhir, sikapku terhadap nasihat saudariku adalah tidak mau menerima, karena dalam pikiranku, aku sudah memutuskan, "Tak satu pun di antara kalian yang secara langsung bekerja dengan kami, tapi memberi saran tanpa memahami situasinya, yang artinya kalian tak masuk akal dan membuat segalanya menjadi sulit." Meskipun aku tak mengatakan apa pun, dan kelihatannya taat, dalam pikiranku, aku telah mempersiapkan banyak alasan, siap digunakan untuk menyangkal pandangan orang lain dan tak mau menerima nasihat. Aku juga berulang kali menekankan, aku telah mengatakan apa yang diminta untuk kukatakan dan telah melakukan seperti yang diminta, yang menyiratkan, "Apa lagi yang kauinginkan dariku? Aku melakukan apa yang diminta, jadi aku menerapkan kebenaran. Kau tak boleh menuduhku. Jika kau kembali menuduhku, kau salah." Dalam penolakanku untuk menerima petunjuk dan bantuan mereka, yang kusingkapkan adalah watak jahat karena muak akan kebenaran. Pada saat ini, aku teringat satu bagian firman Tuhan yang menyentuhku. Tuhan berfirman: "Banyak yang percaya bahwa kebenaran yang tidak dapat mereka terima atau yang tidak dapat mereka lakukan berarti bukanlah kebenaran. Bagi orang-orang seperti ini, kebenaran-Ku menjadi sesuatu yang ditolak dan dikesampingkan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Engkau Semua Harus Memikirkan Perbuatanmu"). Aku mengakui firman Tuhan adalah kebenaran, dan pemangkasan dan penanganan bermanfaat bagi jalan masuk kehidupan orang, dan itu membantu orang merenungkan diri mereka sendiri, tapi kenyataannya, ketika aku benar-benar menghadapi pemangkasan dan penanganan, atau ketika orang lain mengkritikku, aku merasakan penentangan dan kebencian. Jika ada yang menuduhku atau memberiku nasihat, aku tak menerimanya, Aku memberikan alasan untuk berdebat dan membela diri, dan sama sekali tak mencari prinsip kebenaran. Aku hanya melakukan apa pun yang kuinginkan dan bertindak sesukaku. Setelah menganalisis, aku melihat argumenku kelihatannya membela para penginjil, tapi sebenarnya itu melindungi citra dan statusku sendiri, seolah-olah makin aku berdebat, makin banyak pengertian dan simpati yang akan kuperoleh dari saudara-saudariku. Dengan begitu, sebesar apa pun masalah pekerjaan penginjilan, aku tak pernah harus disalahkan, tak seorang pun dapat menuduhku, dan citraku tak pernah rusak. Aku sangat curang! Di luarnya, perdebatan ini melindungi citraku sendiri, tapi karena aku tak mencari atau menerima kebenaran, yang kusingkapkan adalah watak jahat, dan aku kehilangan karakter dan martabatku. Menyadari hal ini, Aau mulai menyesal percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun tanpa mengejar kebenaran dengan benar. Setiap kali dipangkas dan ditangani, meskipun aku diam saja, pikiranku penuh dengan argumen, dan tak mampu tenang dan merenungkan diriku dengan baik. Akibatnya, aku mengalami hal-hal tanpa mendapatkan apa pun. Dengan memikirkan ini, aku berkata dalam hati, aku tak mau lagi berdebat jika sesuatu terjadi yang tak sesuai dengan gagasanku. Sebaliknya, aku akan menenangkan diri, berdoa kepada Tuhan, dan memetik pelajaran dengan benar. Inilah hal yang terpenting.

Tak lama kemudian, aku mengambil beberapa pekerjaan film paruh waktu. Suatu hari, aku menerima pesan bahwa seorang petobat baru memercayai kabar bohong dan menyebarkan beberapa gagasan keliru di grup. Untuk mencegah lebih banyak petobat baru tertipu, kami harus segera mempersekutukan kebenaran dengan mereka. Namun pada waktu itu, masalah pekerjaan film juga membutuhkan perhatianku. Aku bingung, karena kedua hal itu mendesak, tapi aku sudah menyerahkan masalah petobat baru kepada orang lain, jadi kuputuskan untuk terlebih dahulu pergi ke syuting film. Sesampainya di lokasi syuting, ada sesuatu yang membuatku tertahan lama di sana. Kemudian, pemimpinku memanggilku dan berkata, "Mengapa kau tak tahu bagaimana memprioritaskan segala sesuatu? Ketika petobat baru tertipu, hal ini lebih penting daripada apa pun. Apa yang bisa lebih penting daripada hal itu? Kau boleh memiliki pekerjaan film paruh waktu, tapi kau tak boleh membiarkannya mengganggu pekerjaan utamamu, bukan? Kau harus memeriksa diri sendiri dan melihat apakah kau memiliki motif karena memperlakukan pekerjaanmu seperti ini. Mungkin kau terlalu menghargai kesempatan untuk menampilkan wajahmu di depan kamera." Dihadapkan dengan pemangkasan dan penanganan semacam ini, mau tak mau aku kembali ingin berdebat. "Bukankah aku sudah meminta orang lain untuk menangani petobat baru yang tertipu? Paling buruk, aku hanya sedikit menunda penyelesaian masalah, bukan? Mungkin aku bisa menerima perkataanmu bahwa aku tak tahu bagaimana memprioritaskan apa yang penting, tapi berkata aku ingin pamer sama sekali tak bisa diterima! Pertama, aku tak melakukan pekerjaan film paruh waktu sebagai aktor, dan kedua, aku tak punya keinginan untuk menampilkan wajahku di depan kamera, jadi mengapa kau mengatakan ini tentang diriku? Apakah karena kau khawatir aku akan teralihkan dan kurang efektif dalam pekerjaanku, yang akan membuat hasil pekerjaanmu terlihat buruk?" Ketika memikirkan hal-hal ini, tiba-tiba aku sadar aku salah. Bagaimana aku mengubah ini menjadi kesalahan orang lain dalam pikiranku? Mengapa aku berpikir untuk kembali menyerang orang lain? Bukankah aku baru saja mulai kembali bersikap argumentatif? Pada saat ini, aku teringat satu bagian firman Tuhan, "Apa pun alasannya—meskipun engkau mungkin memiliki keluhan yang sangat besar—jika engkau tidak menerima kebenaran, maka tamatlah riwayatmu. Tuhan melihat sikapmu, khususnya dalam hal-hal yang menyangkut penerapan kebenaran. Apakah keluhan akan berguna bagimu? Dapatkah keluhanmu menyelesaikan masalah watak yang rusak? Dan meskipun keluhanmu beralasan, memangnya kenapa? Akankah engkau memperoleh kebenaran? Apakah Tuhan akan berkenan terhadapmu? Jika Tuhan berkata, 'Engkau bukan orang yang menerapkan kebenaran. Pergi sana; Aku muak terhadapmu', bukankah tamat riwayatmu? Dengan satu perkataan itu—'Aku muak terhadapmu'—Tuhan sudah menyingkapkan dirimu dan menganggapmu orang seperti itu" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Ketundukan kepada Tuhan adalah Pelajaran Dasar dalam Memperoleh Kebenaran"). Dari firman Tuhan aku mengerti ketika aku dipangkas dan ditangani, Tuhan ingin melihat sikapku. Jika aku selalu berdebat, mencari kesalahan orang lain, tak mencari kebenaran, dan berfokus pada masalah, artinya aku belum memetik pelajaran. Sebagus atau semuluk apa pun kedengarannya alasanku, meskipun semua orang memahami dan menyetujui, apa gunanya? Jika aku tidak menerima kebenaran, watak hidupku takkan pernah berubah. Dengan memikirkan ini, aku datang ke hadapan Tuhan untuk berdoa, dan memohon Dia mencerahkanku agar aku bisa mengenal diriku. Selama beberapa hari selanjutnya, aku sering bertanya dalam hati, "Niat salah apa yang kumiliki?" Saat merenung, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dalam pekerjaan film paruh waktuku, aku tahu para pemimpin tingkat atas telah memintaku melakukan pekerjaan itu, jadi aku segera menjadi proaktif. Film itu sangat penting bagi para pemimpin tingkat atas, jadi aku tahu aku harus berupaya sebaik mungkin. Meskipun itu paruh waktu, aku ingin memikirkan semuanya secara menyeluruh dan komprehensif dalam saranku. Aku tak mau ada masalah apa pun yang muncul. Jika ada yang tak beres, apa pendapat pemimpin tentang diriku? Jadi, selama ini, aku sangat antusias dan proaktif. Tak mau tampil di depan kamera bukan berarti aku tak punya niat pribadi. Sebenarnya, aku melakukannya agar dihormati para pemimpin dan mengesankan orang lain. Aku melakukannya untuk mempertahankan citra dan statusku. Dalam masalah yang penting seperti petobat baru yang tertipu, aku seharusnya mendiskusikan jadwalku dan bekerja sama dengan saudara-saudari yang melakukan pekerjaan film. Aku bisa saja dengan mudah menangani masalah petobat baru terlebih dahulu. Namun, ketika memikirkan bagaimana para pemimpin tingkat atas memperhatikan film tersebut, aku gagal memprioritaskan hal yang penting, mengesampingkan petobat baru, dan pergi ke syuting film terlebih dahulu. Aku tak memikirkan kehendak Tuhan dalam tugasku, tapi mempertahankan status dan reputasiku. Aku sangat egois dan hina! Jika saudariku tak memangkas dan menanganiku, aku pasti tak merenungkan diriku sendiri, dan pasti tak mengenali niat pribadi yang mencemari tugasku. Begitu menyadari hal ini, keluhan di hatiku lenyap. Aku merasa aku rusak dan niatku buruk. Tuhan tak memakai orang dan hal-hal untuk memangkas dan menanganiku sebagai sarana untuk mempermalukanku, tapi untuk menyucikanku, membimbingku agar melaksanakan tugasku sesuai prinsip, dan membantuku masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Aku juga memahami, ketika tak membela diri, dan mampu taat dan mencari, Tuhan akan mencerahkanku untuk membuatku menyadari kekurangan dan kelemahanku sehingga mampu menghindarkan diri dari melakukan segala sesuatu berdasarkan ideku dan merugikan pekerjaan gereja. Dengan pengenalan diri dan keuntungan ini, aku bukan saja tak merasakan siksaan di hatiku, tapi sebenarnya merasa sangat puas. Ini pengalaman yang luar biasa.

Kemudian, aku menemukan beberapa jalan penerapan dalam firman Tuhan. Tuhan berfirman: "Keadaan orang yang manakah yang terutama dapat diperbaiki dengan memetik pelajaran tentang ketaatan? Ini memperbaiki watak orang yang congkak dan sombong, dan ini memperbaiki watak yang paling memberontak: kecenderungan untuk bernalar. Ketika orang mampu menerima kebenaran dan berhenti bernalar, masalah pemberontakan ini akan teratasi, dan mereka akan mampu untuk taat. Dan jika orang ingin mampu mencapai ketaatan, apakah mereka perlu memiliki tingkat rasionalitas tertentu? Mereka harus memiliki akal sehat orang normal. Dalam beberapa hal, misalnya: entah kita telah melakukan hal yang benar atau tidak, jika Tuhan tidak puas, kita harus melakukan sebagaimana yang Tuhan katakan, firman Tuhan adalah standar untuk segala sesuatu. Apakah ini masuk akal? Itulah akal sehat yang terutama harus ditemukan dalam diri orang. Seberat apa pun kita menderita, dan apa pun niat, tujuan, dan alasan kita, jika Tuhan tidak puas—jika tuntutan Tuhan tidak dipenuhi—itu berarti tindakan kita pasti tidak sesuai dengan kebenaran, jadi kita harus mendengarkan dan menaati Tuhan, dan tidak boleh berusaha bernalar atau berdebat dengan Tuhan. Jika engkau memiliki rasionalitas seperti itu, jika engkau memiliki akal sehat orang normal, akan mudah menyelesaikan masalahmu, dan engkau akan benar-benar taat, dan keadaan apa pun yang kauhadapi, engkau akan mampu untuk taat, dan tidak akan menentang tuntutan Tuhan, engkau tidak akan menganalisis apakah yang Tuhan tuntut itu benar atau salah, baik atau buruk, engkau akan mampu menaatinya—sehingga dengan demikian keadaan bernalar, kedegilan, dan pemberontakanmu dapat diatasi. Apakah setiap orang memiliki keadaan yang memberontak ini di dalam diri mereka? Keadaan ini sering kali muncul dalam diri orang, dan mereka berpikir dalam hati, 'Selama pendekatan, pendapat, dan saranku masuk akal, meskipun aku melakukan segala sesuatu secara salah, aku tak boleh dipangkas atau ditangani, dan aku boleh menolak untuk dipangkas atau ditangani.' Ini adalah keadaan yang biasa ada dalam diri orang, dan merupakan kesulitan utama dalam diri orang yang tidak mampu menaati Tuhan. Jika orang benar-benar memahami kebenaran, mereka akan mampu secara efektif memperbaiki keadaan memberontak semacam ini" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Lima Keadaan yang Harus Dipenuhi Sebelum Memasuki Jalur yang Benar dalam Kepercayaan kepada Tuhan"). Setelah merenungkan firman Tuhan, aku mengerti, untuk menyelesaikan watak pemberontak yang argumentatif, kuncinya memiliki sikap ketaatan. Sebagus apa pun argumenmu, jika itu tak sesuai dengan kebenaran, atau jika orang mengajukan keberatan, kau harus terlebih dahulu menerima, mencari kebenaran, merenungkan diri sendiri, dan mengenal diri sendiri. Inilah nalar dan jalan penerapan yang harus kaumiliki. Orang yang argumentatif tak mencari atau menerima kebenaran dan tak memiliki sikap taat, jadi sebanyak apa pun hal yang mereka alami, mereka takkan pernah bertumbuh dalam hidup. Hanya dengan menaati Tuhan, menerima kebenaran, dan merenungkan diri sendiri menggunakan firman Tuhan barulah watak rusak kita berubah. Selama bertahun-tahun aku percaya kepada Tuhan, setiap kali dipangkas dan ditangani, biasanya aku merasakan penentangan di hatiku dan selalu ingin berdebat. Aku melewatkan begitu banyak kesempatan untuk memperoleh kebenaran. Percaya dengan cara seperti ini, aku mungkin percaya dua puluh tahun lagi, tapi apa yang akan kudapatkan? Menyadari hal ini, aku berkata dalam hati, mulai sekarang, ketika dipangkas dan ditangani, seburuk apa pun rasanya, aku akan taat dan memetik pelajaran. Ini kesempatan untuk memperoleh kebenaran dan perubahan, jadi aku harus menghargainya dan berusaha menjadi orang yang menerima kebenaran dan taat kepada Tuhan.

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait