Konsekuensi Mengandalkan Orang Lain dalam Tugas
Pada November 2021, pemimpin mengatur agar aku bermitra dengan Saudari Sandra membuat gambar untuk video. Awalnya, aku menghabiskan banyak waktu membaca prinsip dan materi terkait agar keterampilan teknisku meningkat. Tapi menurutku gambar ini sulit dibuat, dan ini pertama kali aku membuatnya. Aku merasa pekerjaan ini sangat sulit, dan butuh latihan langsung untuk belajar secara perlahan. Jadi aku mulai mendesain tanpa memikirkan prinsip, dan Sandra terus menunjukkan masalah dalam gambarku. Menghadapi hal ini, aku tidak meninjau kesalahan atau melihat kekuranganku. Aku terdiam dan berpikir, "Kualitasku kurang dan aku tak ahli dengan jenis gambar ini. Aku sudah cukup berlatih tapi masih terus mengalami masalah. Sepertinya aku terjebak di tingkat ini." Aku juga iri dan kagum terhadap Sandra. Aku merasa karena dia telah lama membuat gambar, dia lebih baik dariku dalam segala hal, dia jauh lebih unggul dariku, dan aku harus lebih sering mengandalkan dia. Sejak itu, aku mengandalkan dia dalam desainku, dan jika ada bagian yang tak bisa kugambar, akan kuserahkan ke dia untuk diselesaikan. Terkadang, saat menyelesaikan konsep, aku tak terlalu memikirkan kesesuaiannya dengan prinsip, tinggal meminta saran dari saudariku. Terkadang aku sadar gambarku bermasalah, tapi karena tak mau berusaha lebih, aku menyerahkannya ke Sandra. Aku akan butuh banyak waktu dan tenaga memperbaikinya, tingkat kemahiranku pun terbatas, jadi lebih baik menunggu Sandra memperbaikinya karena dia lebih ahli dalam hal itu. Tiap kali aku melihat Sandra memperbaiki gambarku, aku sangat senang, karena punya saudari seperti dia untuk diajak bermitra, dan ini menghemat banyak waktu dan tenagaku.
Lalu, permintaan akan gambar meningkat, supaya lebih efisien, Sandra menyarankan agar kami mendesainnya bersama. Tapi saat menggambar, aku tak fokus untuk bekerja lebih baik. Aku benar-benar pasif. Aku merasa tak mahir dengan jenis gambar ini, dan gambar buatan Sandra akan lebih baik, jadi aku harus menurutinya. Aku lebih sering membuat gambar sesuai arahan Sandra, dan terkadang saat dia sibuk, aku menunggu agar kami mengerjakannya bersama. Terkadang aku mencari cara tercepat menguasai prinsip, meningkatkan keterampilanku, dan mengonsep gambar sendiri. Tapi kutahu aku akan kesulitan melakukannya, dan karena ada Sandra yang sangat mahir dalam hal ini, biar dia saja yang berperan aktif. Aku tidak perlu repot-repot khawatir. Jadi, aku terus mengandalkan Sandra dalam tugasku. Beberapa bulan kemudian, pemimpin melihat kemajuanku lambat, jadi aku ditangani karena kurang inisiatif dan terus-terusan minta bantuan Sandra, yang memengaruhi pekerjaannya. Aku sangat sedih mendengar ucapan pemimpin. Aku diatur untuk bermitra dengan Sandra agar aku bisa paham dengan cepat, dan akhirnya bisa mendesain sendiri. Tapi aku selalu mengandalkan Sandra dan tak berkomitmen. Aku sudah lama berlatih tapi perkembangannya sedikit. Bagaimana bisa aku bertugas dengan seperti itu? Aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar dibimbing untuk memahami masalahku.
Seorang saudari membagikanku beberapa kutipan firman Tuhan: "Sering kali, engkau semua tidak mampu menjawab ketika ditanya tentang masalah pekerjaan. Beberapa orang di antaramu pernah terlibat dalam pekerjaan, tetapi engkau semua tidak pernah bertanya apakah pekerjaan berjalan dengan baik atau memikirkan dengan saksama tentang hal ini. Mengingat kualitas dan pengetahuanmu, tidak seharusnya engkau tidak mengetahui apa pun karena engkau telah mengambil bagian dalam pekerjaan ini. Jadi mengapa kebanyakan orang tidak mengatakan apa pun? Ada kemungkinan engkau semua benar-benar tidak tahu harus berkata apa—engkau tidak tahu apakah semuanya sedang berjalan dengan baik atau tidak. Ada dua alasan untuk ini: pertama, engkau semua sama sekali tidak peduli, dan tidak pernah memedulikan hal-hal ini, dan hanya memperlakukannya sebagai tugas yang harus diselesaikan. Kedua, engkau semua tidak bertanggung jawab dan tidak mau memedulikan hal-hal ini. Jika engkau benar-benar peduli, dan benar-benar terlibat, engkau pasti memiliki pandangan dan perspektif terhadap segala sesuatunya. Tidak memiliki perspektif atau pandangan sering kali berasal dari sikap acuh tak acuh dan apatis, serta tidak bertanggung jawab. Engkau tidak tekun terhadap pelaksanaan tugasmu, engkau tidak memikul tanggung jawab sedikit pun, engkau tidak mau membayar harga atau terlibat, engkau juga tidak mau bersusah payah, atau bersedia mengerahkan tenaga yang lebih besar; engkau hanya ingin menjadi bawahan, yang sama dengan ketika orang tidak percaya bekerja untuk majikan mereka. Pelaksanaan tugas seperti itu tidak disukai oleh Tuhan dan tidak menyenangkan hati-Nya. Itu tidak bisa mendapat perkenanan-Nya" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Bersikap Jujur Orang Dapat Hidup sebagai Manusia Sejati"). "Saat melaksanakan tugas, orang selalu memilih pekerjaan ringan, yang tidak akan melelahkannya, yang tidak melibatkan unsur di luar ruangan. Ini disebut memilih pekerjaan yang mudah dan mengabaikan pekerjaan yang sulit, dan inilah yang terwujud ketika orang mendambakan kenyamanan daging. Apa lagi? (Selalu mengeluh ketika tugasnya sedikit sulit, sedikit melelahkan, ketika harus membayar harga.) (Sibuk dengan makanan dan pakaian, dan kesenangan daging.) Semua inilah yang terwujud ketika orang mendambakan kenyamanan daging. Ketika orang seperti itu melihat bahwa suatu tugas terlalu melelahkan atau berisiko, dia melemparkannya ke orang lain; dia sendiri hanya melakukan pekerjaan santai, dan berdalih tentang mengapa dia tidak dapat melakukan pekerjaan yang satu ini, mengatakan bahwa kualitasnya buruk dan tidak memiliki keterampilan yang diperlukan, bahwa itu terlalu berat baginya—padahal kenyataannya, itu karena dia mendambakan kenyamanan daging. ... Apakah orang yang mendambakan kenyamanan daging cocok untuk melaksanakan tugas? Selama membahas topik tentang pelaksanaan tugasnya, selama berbicara tentang membayar harga dan mengalami kesukaran, dia akan terus menggelengkan kepalanya: dia selalu memiliki terlalu banyak masalah, dia penuh dengan keluhan, dia bersikap negatif tentang segala sesuatu. Orang semacam itu tidak berguna, dia tidak berhak melaksanakan tugasnya, dan harus diusir. Mengenai mendambakan kenyamanan daging, kita akan membahasnya sampai di sini saja" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Memikirkan firman Tuhan membuatku sadar, selama ini, aku tidak berkembang dalam tugasku, terutama karena aku terlalu malas, kurang inisiatif, dan tak bertanggung jawab. Saat menghadapi ketidakpastian dalam pekerjaanku, aku tak menenangkan diri dan mencari prinsip. Akan terlalu merepotkan bagiku untuk memikirkan semua itu, jadi kuserahkan saja ke Sandra. Saat dia memberi banyak saran tentang pekerjaanku yang sudah selesai, aku tidak merenungkannya, atau mengenali kekuranganku, tapi hanya berdalih kualitasku kurang dan tak mahir dalam hal itu, dan menyerahkan yang sulit ke saudariku untuk dikerjakan. Bahkan, meski tahu ada bagian yang bermasalah, aku tak mau memperbaikinya. Alih-alih, aku tak fokus, malas-malasan, dan licik, membiarkan Sandra yang memperbaikinya. Ini membuatku tak repot dan lebih efisien, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Karena diriku tak kompeten dan kualitasku kurang, dengan senang hati aku jadi pengikut. Aku merasa karena aku tak mampu dan Sandra lebih mahir, wajar baginya untuk lebih aktif, jadi kubiarkan begitu. Aku akan berusaha sebisaku, aku pun tidak menganggur. Aku mendambakan kenyamanan fisik, bertindak culas dan licik. Aku teringat orang tidak percaya yang kerja di dunia luar, tak memedulikan hati nurani atau kemanusiaan mereka atau memikirkan cara berkorban dan bekerja dengan baik, hanya berusaha sesantai dan semudah mungkin, selalu bertindak curang, tak pernah bertanggung jawab. Ini sikapku terhadap tugasku—main-main dan tak bertanggung jawab, memakai pengalaman orang lain sebagai dalih mencari kenyamanan dan tak berkorban dalam tugas. Aku selalu menyerahkan yang sulit ke orang lain, lalu bersembunyi dan tak peduli. Aku sungguh egois dan culas. Karena selalu mendambakan kenyamanan dan tidak inisiatif, Aku tidak mengembangkan keterampilanku atau berperan nyata. Aku tak layak untuk pekerjaan itu. Aku mengecewakan Tuhan. Aku tak mau lagi melakukan tugasku seperti itu.
Lalu, aku kembali membaca firman Tuhan. "Ada orang-orang yang, pekerjaan atau tugas apa pun yang mereka lakukan, mereka tak mampu melakukannya, itu terlalu berat bagi mereka, mereka tak mampu memenuhi kewajiban atau tanggung jawab apa pun yang seharusnya orang lakukan. Bukankah mereka itu sampah? Apakah mereka masih layak disebut manusia? Kecuali orang-orang bodoh, cacat mental, dan mereka yang menderita berbagai gangguan fisik, adakah orang hidup yang tidak diharuskan melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka? Namun, orang seperti ini selalu licik dan bermain kotor, dan tidak ingin memenuhi tanggung jawab mereka; kesimpulannya mereka tidak ingin berperilaku seperti orang normal. Tuhan memberi mereka kualitas dan karunia, Dia memberi mereka kesempatan untuk menjadi manusia, tetapi mereka tak mampu memanfaatkan semua ini dalam melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak melakukan apa-apa, tetapi ingin menikmati semuanya. Apakah orang seperti itu pantas disebut manusia? Pekerjaan apa pun yang diberikan kepada mereka—entah itu penting atau biasa, sulit atau sederhana—mereka selalu ceroboh dan asal-asalan, selalu malas dan licik. Ketika muncul masalah, mereka mencoba untuk mengalihkan tanggung jawab mereka kepada orang lain; mereka tidak memikul tanggung jawab, ingin tetap hidup dalam kehidupan parasit mereka. Bukankah mereka sampah yang tidak berguna? Di tengah masyarakat, siapa yang tidak perlu bergantung pada diri mereka sendiri untuk bertahan hidup? Setelah orang tumbuh dewasa, mereka harus mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Orang tua mereka telah memenuhi tanggung jawab mereka. Meskipun orang tua mereka bersedia mendukung mereka, mereka akan merasa tidak nyaman akan hal itu, dan seharusnya dapat mengakui, 'Orang tuaku telah menyelesaikan pekerjaan mereka membesarkan anak-anak. Aku sudah dewasa, tubuhku sehat dan kuat—aku harus bisa hidup mandiri.' Bukankah inilah akal sehat yang minimal harus dimiliki orang dewasa? Jika orang benar-benar memiliki akal sehat, mereka tidak boleh terus merengek kepada orang tua mereka; mereka pasti takut ditertawakan orang lain, takut dipermalukan. Jadi, apakah orang yang bermalas-malasan memiliki akal sehat? (Tidak.) Mereka selalu menginginkan sesuatu tanpa usaha, mereka tidak pernah ingin bertanggung jawab, mereka mencari makan siang gratis, mereka ingin makan tiga kali sehari—dan ada orang yang melayani mereka, dan selalu tersedia makanan lezat—tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Bukankah ini pola pikir parasit? Dan apakah orang yang parasit memiliki hati nurani dan akal? Apakah mereka memiliki martabat dan integritas? Sama sekali tidak; mereka semua para pendompleng yang tidak berguna, mereka semua binatang buas yang tidak berhati nurani ataupun bernalar. Tak seorang pun dari mereka layak untuk tetap berada di rumah Tuhan" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). "Orang malas tidak bisa melakukan apa-apa. Singkatnya, mereka itu sampah, tidak berguna karena kemalasannya. Sebagus apa pun kualitas orang malas, itu tidak lebih dari sekadar riasan luar; kualitas bagus mereka tidak ada gunanya. Ini karena mereka terlalu malas, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan, tetapi tidak melakukannya; sekalipun mereka tahu ada sesuatu yang menjadi masalah, mereka tidak mencari kebenaran untuk menyelesaikannya; mereka tahu kesulitan apa yang harus mereka tanggung agar pekerjaan menjadi efektif, tetapi tidak mau menanggung penderitaan yang begitu berharga tersebut. Akibatnya, mereka tidak memperoleh kebenaran apa pun, dan tidak melakukan pekerjaan nyata apa pun. Mereka tidak ingin menanggung kesukaran yang seharusnya orang alami; mereka hanya tahu bersikap serakah untuk mendapatkan kenyamanan, kesenangan daging, nikmatnya saat bersenang-senang dan bersantai, nikmatnya kehidupan yang bebas dan santai. Bukankahh mereka tidak berguna? Orang yang tak mampu menanggung kesukaran tidak layak untuk hidup. Siapa pun yang selalu ingin hidup sebagai parasit adalah orang yang tidak berhati nurani ataupun bernalar; mereka adalah sejenis binatang buas yang tidak layak bahkan untuk memberikan pelayanan. Karena mereka tak mampu menanggung kesukaran, pelayanan yang mereka berikan buruk, dan jika mereka ingin memperoleh kebenaran, harapan mereka untuk memperolehnya sangat kecil. Orang yang tak mampu menderita dan tidak mencintai kebenaran adalah orang tidak berguna, tidak memenuhi syarat bahkan untuk memberikan pelayanan. Mereka adalah binatang buas, tanpa sedikit pun kemanusiaan. Mengusir orang-orang seperti itu sesuai dengan kehendak Tuhan" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). Dari firman Tuhan aku paham, bagi Tuhan, mereka yang selalu mendambakan kenyamanan, tak mau berkorban, tidak menyelesaikan pekerjaan dengan benar, dan tidak memenuhi tanggung jawabnya, sama sekali tak berguna. Orang-orang ini tak punya inisiatif dan selalu menikmati hasil kerja orang lain. Mereka adalah benalu yang menumpang di gereja, dan harus disingkirkan. Aku terus memikirkan apa yang Tuhan maksud dengan "benalu" dan "sampah." Aku teringat orang dewasa di dunia luar yang masih mencemooh orang tua mereka. Setelah dewasa, mereka tak bekerja, hanya menikmati bantuan orang tuanya, menjalani hidup dengan mengandalkan bantuan, tak tahu arti mencari nafkah sendiri. Mereka tak punya nalar manusia normal. Mereka ini benalu. Aku tak melihat ada perbedaan antara perilakuku dan perilaku benalu yang tak bertanggung jawab. Gereja telah mengatur agar aku membuat gambar, dan ini tanggung jawabku. Meski pekerjaannya sulit, seharusnya aku rajin belajar untuk memikulnya secepat mungkin. Tapi aku kesulitan membuat gambar itu dan tak mau berusaha memikirkannya. Aku berdalih demi kemalasanku, beranggapan akan menguasai banyak prinsip setelah sekian lama, dan saat muncul masalah, aku tak membahas penyimpangan atau mencari prinsip. Saat tahu Sandra berpengalaman, aku menyia-nyiakan dukungannya, menyerahkan yang sulit ke dia, dan hanya menerima hasilnya. Saat kami bekerja bersama pun, aku masih bergantung padanya. Aku hanya menuruti Sandra dan tak terlalu memikirkannya. Aku tidak bertanggung jawab atas tugasku, hanya mengandalkan orang lain. Aku tidak berusaha, hanya ingin menikmati hasil kerja orang lain. Aku orang yang tak berguna, benalu yang menumpang di gereja. Aku sungguh dibenci Tuhan! Saat saudariku sudah menyelesaikan pekerjaannya, dia lalu meluangkan waktu membantu pekerjaanku, yang menghambat tugasnya. Aku merasa lebih buruk, bahkan lebih bersalah. Selama ini, aku bermalas-malas karena telah dipengaruhi kekeliruan jahat seperti "Kau harus baik kepada dirimu sendiri dan belajar mencintai dirimu sendiri", "Bersandar pada pohon dan menikmati keteduhan", dan "Tidak mengandalkan dukungan saat kau main-main." Ide jahat ini membuatku hanya memedulikan daging dan menjadikanku makin jatuh, buruk, dan pasif. Aku ingin menuai tanpa menabur, dan saat tugasku agak sulit, aku tak mau berpikir atau berkorban. Melihat rekan kerjaku lebih mahir, aku menyerahkan yang sulit ke dia, membiarkannya memikul beban. Aku bodoh jika tidak mengandalkan dukungan yang ada. Aku sungguh culas dan licik! Meski bertugas dengan cara ini tidak membuatku lelah, pekerjaan gambarku tak pernah berkembang. Jika tak kunjung berperan dalam pekerjaan, cepat atau lambat aku akan disingkirkan! Aku sangat sedih saat memikirkan ini. Aku berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku mendambakan kenyamanan, dan kurang inisiatif dalam tugasku. Kini, aku ingin bertobat dan menerima pengawasan-Mu. Jika kembali memedulikan daging, tolong hukum dan disiplinkan aku."
Aku teringat beberapa hari sebelumnya, saat Sandra menunjukkan beberapa masalah dalam gambarku, menjelaskannya secara detail. Aku tahu dia pernah menjelaskan masalah ini sebelumnya kepadaku, meskipun begitu, aku benar-benar lupa. Aku sangat menyesal. Tiap kali menemukan sesuatu yang tak bisa kulakukan, Sandra dengan sabar bersekutu denganku. Jika aku berusaha sedikit saja untuk mengingat dan mencatat, masalah yang sama tak akan muncul terus. Tapi aku tak pernah menerapkan prinsip, hanya mengandalkan orang lain. Tak peduli berapa banyak yang orang lain katakan, tak ada yang kuperhatikan, jadi aku masih belum menguasai prinsip-prinsip dasar. Oleh karena itu, aku membuat daftar tentang masalah dan prinsip yang perlu kuperhatikan saat mendesain gambar. Jadi, saat menghadapi ketidakpastian lagi, aku bisa mencari tahu sendiri. Saat muncul masalah, aku segera mencatat dan meninjaunya. Secara bertahap pekerjaan gambarku mulai membaik.
Lalu, aku merenungi diriku. Selain kemalasan, masalah apa lagi yang menghalangiku dalam bertugas? Dalam perenunganku, aku membaca kutipan firman Tuhan: "Dan berdasarkan apa orang menganggap diri mereka sangat berkualitas? Berdasarkan pada sudah berapa tahun mereka melaksanakan tugas tertentu, sudah sebanyak apa pengalaman mereka, bukan? Dan ketika orang merasa seperti ini, bukankah mereka akan mulai secara berangsur memikirkan senioritas? Sebagai contoh, ada seorang saudara telah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun dan melaksanakan suatu tugas untuk waktu yang lama, jadi dia adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk berbicara tentang tugas ini; ada seorang saudari belum lama berada di sini, dan meskipun dia sedikit berkualitas, dia belum berpengalaman dalam melaksanakan tugas ini, dan belum lama percaya kepada Tuhan, jadi dia adalah orang yang paling tidak memenuhi syarat untuk berbicara. Orang yang paling memenuhi syarat untuk berbicara berpikir dalam hatinya, 'Karena aku memiliki senioritas, itu berarti pelaksanaan tugasku memenuhi standar, dan pengejaranku telah mencapai puncaknya, dan tidak ada yang perlu kuperjuangkan atau kumasuki. Aku telah melaksanakan tugas ini dengan baik, bisa dikatakan aku telah menuntaskan pekerjaan ini, Tuhan pasti dipuaskan.' Dengan demikian, mereka pun mulai makin berpuas diri. Apakah ini menunjukkan bahwa mereka telah masuk ke dalam kenyataan kebenaran? ... Apa yang sebenarnya orang kejar dan jalan apa yang mereka tempuh, apakah mereka benar-benar menerima kebenaran atau menolaknya, apakah mereka tunduk kepada Tuhan atau menentang-Nya—Tuhan selalu mengamati semua hal ini. Setiap gereja dan setiap individu diawasi oleh Tuhan. Sebanyak apa pun orang yang sedang melaksanakan suatu tugas atau mengikut Tuhan di sebuah gereja, pada saat mereka meninggalkan firman Tuhan, pada saat itulah mereka kehilangan pekerjaan Roh Kudus, mereka tidak lagi mengalami pekerjaan Tuhan, dan dengan demikian, mereka pun—serta tugas yang mereka laksanakan—tidak ada hubungannya dan tidak lagi menjadi bagian dalam pekerjaan Tuhan, dan dengan demikian gereja ini pun telah menjadi sebuah kelompok keagamaan. Menurutmu, apa akibatnya jika gereja menjadi sebuah kelompok keagamaan? Bukankah menurutmu orang-orang ini berada dalam bahaya besar? Mereka tidak pernah mencari kebenaran ketika menghadapi masalah dan mereka tidak bertindak sesuai dengan prinsip kebenaran, tetapi tunduk pada pengaturan dan manipulasi manusia. Bahkan ada banyak orang yang, saat melaksanakan tugasnya, tidak pernah berdoa atau mencari prinsip kebenaran; mereka hanya bertanya kepada orang lain dan melakukan apa yang orang lain katakan, bertindak berdasarkan petunjuk dari orang lain. Apa pun yang orang suruh mereka lakukan, itulah yang mereka lakukan. Mereka merasa berdoa kepada Tuhan tentang masalah mereka dan tentang mencari kebenaran sangatlah samar dan sulit, jadi mereka mencari solusi yang mudah dan sederhana. Menurut mereka, mengandalkan orang lain dan melakukan apa yang orang lain katakan mudah dan sangat praktis, jadi mereka hanya melakukan apa yang orang lain katakan, bertanya kepada orang lain dan melakukan apa yang mereka katakan dalam segala hal. Akibatnya, bahkan setelah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, ketika menghadapi masalah, mereka tidak pernah sekali pun datang ke hadapan Tuhan, berdoa serta mencari kehendak-Nya dan kebenaran, dan kemudian memperoleh pemahaman akan kebenaran, dan bertindak serta berperilaku sesuai dengan kehendak Tuhan—mereka tidak pernah memiliki pengalaman seperti itu. Apakah orang-orang semacam itu benar-benar menerapkan iman kepada Tuhan?" (Firman, Vol. 3, Pembicaraan Kristus Akhir Zaman, "Hanya dengan Takut akan Tuhan Orang Dapat Menempuh Jalan Keselamatan"). Setelah memikirkan firman Tuhan dan merenungi diri, aku sadar aku punya rasa segan terhadap senioritas dalam diriku. Aku menganggap bakat, kualitas dan pengalaman kerja sebagai modal untuk bertugas dengan baik, dan mereka yang punya itu, berhak memberikan perintah dalam tugas. Jadi, saat aku tahu sudah berapa lama Sandra membuat gambar, betapa berpengalaman dan mahirnya dia, aku iri dan kagum terhadapnya. Saat ada hal yang tak bisa kulakukan, aku tak berdoa dan mengandalkan Tuhan atau mencari dan memikirkan prinsip. Kuserahkan yang aku tak bisa ke dia, selalu mengandalkannya dan hanya menuruti perintahnya. Kusadari bukan hanya dalam pekerjaan ini aku bergantung pada orang lain. Tiap kali bertemu orang yang lebih berbakat, berkualitas, berkemampuan, atau berpengalaman kerja dariku, dengan sepenuh hati, aku memuja, mengagumi, dan sering mengandalkan mereka, sampai-sampai Tuhan tak punya tempat di hatiku, dan aku tidak mengandalkan Tuhan atau mencari kebenaran untuk mengatasi masalahku. Alhasil, aku tidak berkembang dan tugasku tak ada hasil. Aku dibenci Tuhan dan tak bisa memperoleh pekerjaan Roh Kudus. Seperti yang tertulis di Alkitab, "Terkutuklah manusia yang berharap kepada manusia dan bersandar pada kekuatannya sendiri, dan hatinya menjauh dari Yahweh" (Yeremia 17:5). Benar, dalam iman, kita harus menghormati Tuhan sebagai yang agung. Mengandalkan dan memandang Tuhan dalam segala hal adalah kebijaksanaan terbesar. Tak peduli kualitas, bakat, kemampuan, pengalaman kerja, atau tahun keimanan seseorang, ini tak berarti mereka punya kebenaran. Semua makhluk ciptaan derajatnya sama. Hanya dengan mengandalkan dan memandang Tuhan dan lebih mencari prinsip kebenaran kita bisa mendapat bimbingan-Nya dan bertugas dengan baik.
Lalu, aku kembali membaca kutipan firman Tuhan yang memberiku jalan untuk bertugas dengan baik. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Misalkan gereja memberimu pekerjaan untuk kaulaksanakan, dan engkau berkata, 'Entah pekerjaan itu dapat menjadi kesempatanku untuk menonjol atau tidak—karena pekerjaan itu diberikan kepadaku, aku akan melakukannya dengan baik. Aku akan menerima tanggung jawab ini. Jika aku ditugaskan untuk menjadi penyambut tamu, aku akan mengerahkan segenap kemampuanku untuk melakukan pekerjaan itu dengan baik; aku akan melayani saudara-saudari dengan baik, dan berusaha sebaik mungkin menjaga keselamatan semua orang. Jika aku ditugaskan untuk mengabarkan Injil, aku akan memperlengkapi diriku dengan kebenaran dan mengabarkan Injil dengan penuh kasih dan melaksanakan tugasku dengan baik. Jika aku ditugaskan untuk belajar bahasa asing, aku akan mempelajarinya dengan rajin dan berupaya keras, dan mempelajarinya dengan baik secepat mungkin, dalam waktu satu atau dua tahun agar aku dapat bersaksi tentang Tuhan kepada orang asing. Jika aku diminta untuk menulis artikel kesaksian, aku akan melatih diriku dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya dan memandang segala sesuatu berdasarkan prinsip kebenaran; aku akan belajar tentang bahasa, dan meskipun aku mungkin tak mampu menulis artikel dengan prosa yang indah, setidaknya aku akan dapat menyampaikan pengalaman dan kesaksianku dengan jelas, mempersekutukan kebenaran dengan jelas, dan memberikan kesaksian yang nyata bagi Tuhan, sampai sedemikian rupa hingga ketika orang membaca artikelku, mereka merasa terdidik dalam kerohanian mereka dan memperoleh manfaat. Pekerjaan apa pun yang gereja tugaskan kepadaku, aku akan melaksanakannya dengan segenap hati dan kekuatanku. Jika ada sesuatu yang tidak kupahami atau muncul masalah, aku akan berdoa kepada Tuhan, mencari kebenaran, memahami prinsip kebenaran, dan melaksanakan pekerjaan itu dengan baik. Apa pun tugasku, aku akan berupaya sebaik mungkin untuk melaksanakannya dengan baik dan memuaskan Tuhan. Untuk apa pun yang dapat kucapai, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memikul semua tanggung jawab yang harus kutanggung, dan setidaknya, aku tidak akan menentang hati nurani dan nalarku, atau bersikap ceroboh dan asal-asalan, atau bersikap licik dan penuh tipu muslihat, atau menikmati hasil kerja orang lain. Semua yang kulakukan tidak akan berada di bawah standar hati nurani.' Ini adalah standar minimum manusia dalam berperilaku, dan orang yang melaksanakan tugas mereka dengan cara seperti itu dapat dianggap memenuhi syarat sebagai orang yang berhati nurani dan berakal sehat. Engkau setidaknya harus memiliki hati nurani yang bersih dalam melaksanakan tugasmu, dan engkau setidaknya harus merasa bahwa engkau layak mendapatkan makan tiga kali sehari dan tidak mengemis untuk itu. Ini disebut rasa tanggung jawab. Entah kualitasmu tinggi atau rendah, dan entah engkau memahami kebenaran atau tidak, engkau harus memiliki sikap ini: 'Karena pekerjaan ini diberikan kepadaku untuk kulaksanakan, aku harus memperlakukannya dengan serius; aku harus menganggapnya penting dan melaksanakannya dengan baik, dengan segenap hati dan kekuatanku. Tentang apakah aku dapat melaksanakannya dengan sempurna atau tidak, aku tidak bisa memberikan jaminan, tetapi sikapku adalah, aku akan berupaya sebaik mungkin untuk memastikan pekerjaan itu dilaksanakan dengan baik, dan aku pasti tidak akan bersikap ceroboh dan asal-asalan terhadap pekerjaan itu. Jika masalah muncul, aku harus bertanggung jawab, dan memastikan aku memetik pelajaran darinya dan melaksanakan tugasku dengan baik.' Inilah sikap yang benar" (Firman, Vol. 5, Tanggung Jawab Para Pemimpin dan Pekerja). "Apa pun tugas yang kaulaksanakan, engkau harus penuh perhatian dan memperhatikan kehendak Tuhan. Hanya dengan mentalitas inilah, tugas dapat dilaksanakan dengan baik. Apa pun kesulitan yang muncul, andalkanlah Tuhan, berdoalah kepada Tuhan, dan carilah kebenaran untuk menyelesaikannya. Jika ada kesalahan, perbaiki kesalahan itu tepat pada waktunya, petiklah pelajaran, dan jangan mengulang kesalahan yang sama. Mereka yang melaksanakan tugas mereka dengan pola pikir yang benar adalah orang yang teliti dan bertanggung jawab—apa pun tugas penting yang mereka lakukan, mereka tidak akan menyebabkan penundaan dalam pekerjaan mereka" (persekutuan Tuhan). Dari firman Tuhan aku sadar, pekerjaan yang diatur gereja adalah tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada kita. Orang yang bertanggung jawab bisa bertugas dengan tekun, dan memikirkan kehendak Tuhan. Tak peduli kualitas, bakat, tingkat kemahiran mereka, kesulitan atau penderitaan yang harus mereka hadapi, orang-orang ini bisa mengandalkan Tuhan untuk berkorban, mengatasi kesulitan, dan berfokus melakukan tugas dengan baik. Seperti Nuh yang menghadapi banyak kesulitan membangun bahtera. Tak hanya menyiapkan semua bahan dan mengumpulkan banyak makhluk, dia juga hidup di zaman industri yang belum maju, jadi dia harus mengandalkan kekuatannya untuk setiap bagian pekerjaan. Dia harus melalui banyak kegagalan dan pengerjaan ulang, ditambah kelelahan fisik, dan banyak hal lain. Tapi Nuh tak pernah memedulikan dagingnya, bertindak culas atau licik, apalagi menyerahkan amanat Tuhan ke orang lain. Sebaliknya, dia selalu mengingat amanat Tuhan dan mengandalkan-Nya untuk mengatasi berbagai masalah. Setelah 120 tahun, dia berhasil membangun bahtera dan menyelesaikan amanat Tuhan. Ketaatan dan ketulusan Nuh terhadap amanat Tuhan membuatku terharu dan malu. Aku lahir di akhir zaman dan telah mendengar begitu banyak firman Tuhan, dan Tuhan telah banyak bahas kebenaran dalam bertugas. Pekerjaanku tidak sesulit membangun bahtera Nuh, tapi aku masih culas dan licin, benar-benar tak punya kemanusiaan. Aku menemukan jalan penerapan dalam firman Tuhan. Tiap kali menemui kesulitan, aku tak bisa hanya mengandalkan Sandra. Aku harus berdoa kepada Tuhan dan mencari prinsip yang sesuai untuk menanganinya. Saat aku bekerja sepenuh hati, gambar yang kubuat terus meningkat. Terkadang, Sandra hampir tak punya saran. Aku menganggap diriku mampu berperan aktif, dan pekerjaan ini tak sesulit yang kukira. Sebelumnya, aku tak mau memikirkan prinsip, hanya memedulikan daging, bergantung pada orang lain, tak pernah memahami prinsip.
Suatu kali, ada saudari mendatangiku dan meminta gambar yang dibutuhkan segera. Pikirku: "Gambar ini terlihat sulit dan dibutuhkan segera, mungkin aku tak bisa membuat dengan baik. Aku harus meminta Sandra untuk membuatnya." Saat ingin memintanya, aku sadar aku kembali memedulikan daging dan menyerahkan pekerjaan. Aku segera berdoa dan menenangkan diri untuk memikirkan prinsip dengan teliti. Ternyata aku menyelesaikannya dengan cepat dan tak menunda pekerjaan. Aku tidak melalaikan tugasku meskipun sulit, dan hatiku sangat lega!
Melalui pengalaman ini aku jadi tahu, apa pun tugasnya, tak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kualitas, bakat, atau pengalaman. Kuncinya mengejar kebenaran dan prinsip. Saat menghadapi kesulitan, jika kau bisa mengabaikan daging, melepaskan kenyamanan, mengandalkan Tuhan dan mencari kebenaran untuk mengatasi kesulitan dan memenuhi tanggung jawab, kau akan dibimbing Tuhan dan bertugas dengan baik! Aku juga paham, hanya karena Tuhan memberiku rekan kerja, bukan berarti aku harus mengandalkan mereka. Sebaliknya, kita harus saling membantu dan mengisi kekurangan satu sama lain. Karena Tuhan telah memberi kita bakat, kemampuan, dan kualitas yang berbeda, kita harus bekerja sama dengan satu hati dan pikiran, dan mendedikasikan diri memenuhi tanggung jawab kita!
Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.