Diselamatkan Dari Ambang Kematian

09 Desember 2019

Oleh Saudara Zhao Guangming, Tiongkok

Pada awal tahun 1980-an, aku berusia 30-an tahun dan bekerja di sebuah perusahaan konstruksi. Aku menganggap diriku masih muda dan bugar, memperlakukan orang dengan loyalitas dan rasa hormat, dan melakukan pekerjaanku dengan bertanggung jawab. Keahlian konstruksiku juga unggul, dan aku yakin bahwa aku akan berprestasi di perusahaan itu dan, begitu karierku benar-benar melejit, aku akan hidup seperti seorang pangeran. Ini adalah tujuanku dan karenanya aku tetap setia bekerja di perusahaan itu dan bekerja keras selama bertahun-tahun. Namun betapapun sempurna dan profesionalnya karakter dan keahlianku, upayaku tampaknya tidak pernah diakui oleh perusahaan, di mana ini adalah hal yang tidak pernah aku mengerti. Tingkat gaji tertinggi di perusahaan kami adalah tingkat 6, tetapi gajiku tidak pernah naik di atas tingkat 3. Aku melihat beberapa rekan sekerja, yang tidak memiliki keahlian sepertiku atau belum bekerja lebih lama dariku di perusahaan, mendapat kenaikan gaji, tetapi itu tidak pernah terjadi kepadaku. Aku bingung dan marah tentang alasan mereka mendapat kenaikan gaji sedangkan aku tidak. Akhirnya, salah satu rekan sekerja yang kukenal dengan baik memberiku sebuah saran: "Di perusahaan ini, hal yang paling penting adalah menjilat manajer dan setidaknya mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek kepadanya, dan melakukan hal yang sama di hari-hari besar lainnya." Mendengar ini, aku akhirnya mengerti alasan sebenarnya mengapa aku diabaikan oleh perusahaan, dan ketidakadilan itu membuatku sangat marah. Namun meskipun aku membenci para penjilat itu di perusahaan, dan bahkan sangat tidak menyukai mereka yang melakukan sedikit pekerjaan tetapi tetap mendapat kenaikan gaji dan promosi dengan menggunakan cara yang curang, aku perlu memperkuat posisiku di perusahaan itu sehingga aku harus beradaptasi dengan aturan yang tak tertulis ini. Jadi pada waktu Tahun Baru Imlek tiba, aku "memberikan ucapan selamatku yang tulus" kepada manajer itu dan dengan segera dipromosikan menjadi pemimpin tim.

Sebagai pemimpin tim, aku menjadi lebih teliti dan bertanggung jawab dalam pekerjaanku. Aku akan pergi ke lokasi pembangunan untuk mengawasi secara ketat dan mengarahkan pekerjaan demi memastikan semuanya dikerjakan sesuai standar dan memenuhi target proyek. Aku juga selalu memperhatikan keselamatan pekerja, dan etos kerja serta kepimpinanku yang profesional dipuji oleh seluruh pekerja di timku. Namun tak satu pun dari hal ini yang berpengaruh dalam hal mempertahankan atau memecat pemimpin tim—yang terpenting adalah nilai hadiah yang diberikan setiap pemimpin tim kepada manajer. Untuk mempertahankan pekerjaanku di perusahaan, aku tidak punya pilihan selain mengikuti hukum bertahan hidup ini, yang memungkinkanku mengalami secara mendalam kekejaman dan ketidakberdayaan yang diwujudkan oleh pepatah "siapa yang paling kuat, dialah yang menang."

Di tahun-tahun selanjutnya, reformasi ekonomi dan melonggarnya pembatasan oleh pemerintah menyebabkan proyek pembangunan dan konstruksi berskala besar dilakukan di seluruh Tiongkok. Jadi perusahaanku mulai mengalokasikan banyak proyek kepada perorangan, yang berarti para pemimpin tim harus bersaing untuk mendapatkan kontrak. Hal ini menyebabkan semakin lebih banyaknya mentraktir dan memberi hadiah kepada manajer, dengan setiap pemimpin tim berusaha melampaui yang lain. Setiap kali kami, para pemimpin tim, mendengar bahwa suatu unit kerja memiliki proyek yang ditawarkan, kami akan berjuang untuk melicinkan jalan dengan memberikan hadiah kepada orang-orang terkait di unit tersebut sesegera mungkin. Untuk memastikan agar hadiah kami sesuai dengan selera para pemimpin unit ini, kami akan memutar otak untuk memikirkan hadiah terbaik dan cara terbaik untuk memberikannya kepada mereka: beberapa orang menaruh emas di dalam perut ikan atau ayam; beberapa memberi uang tunai; beberapa memberi perhiasan emas atau cincin berlian. Aku juga terjebak dalam budaya penyuapan ini dan menghabiskan waktu berjam-jam memikirkan hadiah apa yang harus kuberikan untuk menjilat orang-orang ini. Akhirnya, aku memenangkan sebuah kontrak dengan banyak kesulitan, tetapi tak lama setelah kami memulai pekerjaan, para pejabat dari Biro Konstruksi, Instansi Desain Konstruksi, dan Biro Pengawasan Teknis dan Kualitas—serta kader-kader lokal—semuanya datang untuk "mengawasi dan mengarahkan pekerjaan itu." Mereka mengatakan ada masalah ini atau itu dengan lokasi tersebut, bahwa ini dan itu tidak memenuhi standar, dan setelah pemeriksaan di sepanjang pagi, kami masih tidak dapat memulai pekerjaan. Aku segera mengundang mereka semua untuk makan siang dan mabuk-mabukan di sebuah restoran berkelas, makan siang yang harganya ribuan yuan. Dan di akhir makan siang itu, aku masih harus menyuap setiap dari mereka, mulai dari 2.000 yuan hingga 10.000 yuan. Itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pengesahan dan persetujuan untuk memulai pekerjaan. Namun bahkan setelah pekerjaan dimulai, badan pengawas ini tetap secara teratur mengirim para pengawas untuk memeriksa proyek. Mereka menyebut pemeriksaan ini "rutinitas" padahal itu sebenarnya hanyalah dalih untuk memeras uang yang lebih banyak dari kami. Setiap kali mereka datang ke lokasi pekerjaan itu, aku akan sibuk ke sana kemari, mengatur makanan dan minuman untuk menghibur mereka, dan para pemimpin badan pengawas ini bahkan menemukan alasan untuk membuatku pergi bersama mereka ke pusat perbelanjaan di mana mereka akan membeli pakaian bermerek dan mengharapkan aku yang membayarnya. Terkadang mereka bahkan cukup berani untuk mengatakan bahwa mereka sedang tidak punya uang dan terang-terangan meminta uang kepadaku untuk dibelanjakan. Untuk menjaga proyek tetap berjalan sesuai rencana, yang bisa kulakukan hanyalah menggertakkan gigiku, menelan amarahku, bersikap baik kepada mereka, dan menerima perlakuan mereka. Lebih buruk lagi adalah aku harus menemani direktur agensi ini berkeliling kota untuk waktu yang lama. Karena mengonsumsi minuman keras yang berlebihan selama jangka waktu yang lama dan memiliki pola tidur yang tidak teratur, akhirnya aku memiliki masalah perut dan tekanan darah tinggi, dan aku merasa benar-benar kelelahan. Jadi, ketika proyek itu akhirnya selesai dan aku telah dibayar, aku mendapati bahwa aku hampir tidak menghasilkan uang sama sekali. Aku benar-benar ingin menangis. Diperhadapkan dengan cara hidup yang begitu sulit, aku berpikir dalam hati: "Mengapa sangat sulit bagiku untuk menghasilkan uang dengan mengandalkan keahlian dan kerja kerasku? Mengapa para pemimpin setiap departemen dalam sistem nasional begitu korup?" Aku merasa sangat tak berdaya, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain menggantungkan semua harapanku untuk menghasilkan uang kepada para pejabat ini. Awalnya aku berpikir bahwa membangun hubungan yang baik dengan mereka juga berarti membangun fondasi untuk pengembangan karierku, dan tidak pernah terpikir olehku bahwa semua yang sedang kulakukan malah membawaku semakin tenggelam ke dalam lumpur dosa dan membuatku melewati sebuah keadaan yang tak berpengharapan.

Pada tahun 1992, setelah proses yang rumit dan sulit, aku memenangkan kontrak untuk proyek konstruksi di kota, dan aku memperkirakan proyek tersebut akan menghasilkan sejumlah uang untukku. Tepat di saat aku sedang dengan antusias mengerahkan seluruh upayaku melakukan persiapan untuk memulai pekerjaan, manajerku mengatakan kepadaku bahwa aku harus terlebih dahulu membangun vila pribadi bagi masing-masing dari ke-4 pejabat kota. Dia mengatakan ini adalah peluang bagus demi pengembangan karierku, dan bahwa melakukan kebaikan bagi pejabat kota akan menjamin diriku tidak akan perlu khawatir lagi tentang uang di masa depan dan akan segera menjalani kehidupan yang baik. Dengan hati yang dipenuhi harapan, aku mengambil pinjaman dari bank dan juga meminjam uang dari teman serta kerabat, mengumpulkan uang dengan segala cara, demi mengumpulkan modal yang cukup untuk membangun 4 vila. Namun ketika pekerjaan pembangunan hampir selesai, beberapa pejabat senior dari Komisi untuk Pemeriksaan Ketertiban muncul, dan aku harus mengeluarkan lebih banyak uang demi melicinkan segalanya dan melindungi empat pejabat kota tersebut. Namun pada akhirnya, semua upayaku tidak dapat melepaskan mereka dari jerat hukum: karena keempat pejabat itu dicurigai telah menerima suap dan terlibat dalam korupsi, mereka ditangani oleh para petugas pemeriksaan itu. Semua rencanaku yang telah disusun dengan susah payah lenyap ditelan angin, dan 4 vila yang belum selesai itu disita oleh pihak berwajib. Aku berutang beberapa ratus ribu yuan yang tidak mungkin dapat kulunasi, dan kepahitan yang tak terkatakan menekan hidupku seperti batu yang berat.

Dalam keadaan tidak berdaya, aku hanya bisa menggantungkan harapan pada proyek konstruksi lainnya. Untuk melunasi semua utangku, aku mulai melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya di sepanjang karierku, hal yang paling tidak ingin kulakukan—mengambil jalan pintas dan menggunakan bahan bangunan yang bermutu lebih rendah. Sebagai ganti menggunakan baja standar nasional, aku mulai menggunakan bahan kelas 2, dan sebagai ganti 6 rangkaian balok di dalam beton, aku mulai menggunakan 4 rangkaian, sehingga mengurangi biaya baja sebesar sepertiganya. Aku juga mencampur beton yang bermutu lebih rendah untuk lebih mengurangi biaya keseluruhanku. Sejujurnya, setiap kali aku melakukan ini, jantungku seakan pindah ke mulutku karena aku takut kualitas bangunan yang sudah selesai akan sangat terpengaruh. Dan ketika aku mendengar banyak laporan tentang bangunan yang dibangun dengan buruk di seluruh Tiongkok yang telah runtuh dan menewaskan, melukai serta membahayakan begitu banyak penduduk sipil, aku akan menjadi sangat cemas dan sering mengalami mimpi buruk. Bahkan sampai pada titik di mana suara guntur menjadi seperti pengumuman akan hukumanku yang akan datang, mungkin dengan disambar petir atau semacamnya. Ketakutan terus menguntitku setiap hari. Keadaan ini menyebabkanku akhirnya jatuh sakit, dan aku sering diserang oleh rasa pusing, sakit kepala, dan susah tidur, semua disebabkan oleh tekanan darahku yang tinggi. Aku sangat menderita baik secara jasmani maupun rohani, dan kehidupan menjadi seperti neraka bagiku. Beginilah caraku dipengaruhi oleh tren dunia dan semakin tenggelam ke dalam lumpur dosa itu. Yang mengejutkanku, ketika proyek itu baru setengah jalan, unit yang sedang aku bangun menolak membayarku sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak. Pinjaman yang aku dapatkan dari bank tidak cukup untuk menutupi upah pekerja, jadi aku tidak punya pilihan selain mengambil pinjaman berbunga tinggi dari seorang rentenir. Setelah mengalami banyak kemunduran, akhirnya aku mengetahui bahwa unit kontraktor tersebut telah lama dalam keadaan berutang dan tidak mungkin mampu membiayai proyek konstruksi tersebut. Satu lagi proyekku yang gagal, dan aku memutar otak mencari cara untuk memperbaikinya. Aku benar-benar kelelahan dan hidup dalam keadaan putus asa. Kemudian aku mendengar berita bahwa seorang pemimpin tim di perusahaan lain yang telah memenangkan sebuah proyek konstruksi telah mengambil pinjaman yang sangat besar dan tidak dapat melunasinya, dan akhirnya dia tewas gantung diri. Aku juga merasa seperti sedang berdiri di pintu gerbang neraka dan tenggelam dalam keputusasaan. Setelah itu, para kreditur mulai datang ke rumahku untuk menagih utangku: beberapa dari mereka berbaring di tempat tidurku dan menolak untuk pergi, sementara yang lainnya membuat keributan dan mengancamku. Aku berusaha bersikap sopan dan rendah hati sebisa mungkin terhadap mereka, dan aku merasa benar-benar dipermalukan. Bahkan teman dan kerabat terdekatku berpikir bahwa aku tidak dapat melunasi utangku kepada mereka dan mulai berbalik melawanku. Pada masa itulah aku benar-benar mengerti betapa rapuhnya hubungan manusia. Aku teringat tahun-tahun penuh hiruk pikuk yang tidak hanya membuatku miskin tetapi juga membuatku kelelahan secara fisik dan mental, serta meninggalkan utang beberapa ratus ribu yuan yang harus dilunasi. Aku menatap langit dan menghela nafas panjang dan berkata, "Ya ampun, ini terlalu sulit. Aku benar-benar tidak mau hidup lebih lama lagi!"

Tepat ketika aku sedang terombang-ambing di pintu gerbang neraka, Injil kerajaan Tuhan Yang Mahakuasa sampai ke telingaku. Aku membaca firman Tuhan Yang Mahakuasa ini: "Sekarang ini, karena Aku telah menuntun engkau hingga ke titik ini, Aku sudah membuat pengaturan yang sesuai, dan memiliki tujuan-Ku sendiri. Jika Aku mengatakan tentang semua itu kepadamu sekarang, apakah engkau semua akan sungguh mampu mengetahuinya? Aku cukup mengenal pikiran dan keinginan hati manusia: Siapakah yang tidak pernah mencari jalan keluar untuk diri mereka sendiri? Siapakah yang tidak pernah memikirkan masa depan mereka sendiri? Namun, sekalipun manusia memiliki intelektual yang kaya dan bermacam-macam, siapakah yang dapat memprediksi bahwa, setelah zaman-zaman yang lalu, zaman sekarang akan menjadi seperti yang sekarang ini? Apakah ini benar-benar hasil dari usaha subjektifmu sendiri? Apakah ini upah bagi usaha kerasmu yang tanpa lelah? Apakah ini tablo indah yang dibayangkan oleh pikiranmu? Jika Aku tidak membimbing seluruh umat manusia, siapakah yang akan mampu memisahkan diri mereka dari pengaturan-Ku dan mencari jalan keluar lain? Apakah pikiran dan kehendak manusia yang telah membawanya sampai ke saat ini? Banyak orang menjalani hidup tanpa mendapatkan apa yang mereka kehendaki. Apakah ini benar-benar karena kesalahan dalam pemikiran mereka? Banyak orang hidup dengan kebahagiaan dan kepuasan tidak terduga. Apakah ini sebenarnya karena mereka mengharapkan terlalu sedikit? Siapakah dari seluruh umat manusia yang tidak diperhatikan Yang Mahakuasa? Siapakah yang tidak hidup menurut apa yang telah ditetapkan sejak semula oleh Yang Mahakuasa? Siapakah yang kelahiran dan kematiannya terjadi karena pilihan mereka sendiri? Apakah manusia mengendalikan nasibnya sendiri?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 11"). Ketika aku membaca firman ini, aku menjadi sepenuhnya diyakinkan. Aku benar-benar merasa bahwa nasib kita tidak berada di tangan kita sendiri. Aku mengingat tahun-tahun sebelumnya, tentang bagaimana aku telah merencanakan dan memperhitungkan masa depanku sendiri, tetapi tidak ada yang berhasil bagiku. Aku telah mengerahkan seluruh upayaku untuk menghasilkan banyak uang dan menjalani gaya hidup yang lebih baik, tetapi aku tidak hanya gagal menghasilkan uang, aku malah menghabiskan banyak uang. Aku tidak pernah sekalipun membayangkan bahwa aku—yang pernah menjadi orang penting—bisa berakhir dalam keadaan miskin yang menyedihkan. Mengapa aku yang telah bekerja sangat keras demi masa depanku tetapi malah terus mengalami kegagalan demi kegagalan? Itu karena nasib setiap orang bukan berada di tangan mereka sendiri tetapi berada di tangan Tuhan. Segala sesuatu dikendalikan dan telah ditentukan dari semula oleh Tuhan; nasib baik atau nasib buruk semuanya diatur oleh Tuhan. Dari lubuk hatiku, aku bisa merasakan bahwa ini adalah firman Tuhan, dan aku tidak bisa menahan diri untuk berseru kepada Tuhan Yang Mahakuasa: "Ya Tuhan! Di masa lalu aku tidak mengenal-Mu. Aku berusaha mengandalkan diriku sendiri dan kekuatan manusia tetapi berakhir dalam keadaan tanpa harapan. Kini, akhirnya aku mengerti bahwa nasib, serta hidup dan mati setiap orang berada di tangan-Mu. Jika keadaan ini tidak menimpaku, aku tidak akan datang ke hadapan-Mu. Ya Tuhan! Aku bersyukur kepada-Mu karena menyelamatkanku dari ambang kematian dan memberiku keberanian untuk menghadapi kehidupan dengan permulaan baru. Mulai sekarang, aku akan tunduk pada pengaturan-Mu tentang jalan hidup yang harus kuikuti."

Setelah itu, aku mulai menjalani kehidupan bergereja. Suasana di Gereja Tuhan Yang Mahakuasa benar-benar berbeda dari dunia luar: saudara-saudari memiliki hubungan yang sederhana dan jujur terhadap satu sama lain, dan saling memperlakukan satu sama lain dengan jujur tanpa ada kepura-puraan, pertikaian, atau agenda pribadi. Semua orang membaca firman Tuhan dan menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan bersama-sama; dalam persekutuan, saudara-saudari saling jujur dan terbuka satu sama lain, mempersekutukan tentang pengalaman, kekurangan, dan kesulitan mereka sendiri, serta tentang pemahaman dan pengetahuan mereka akan firman Tuhan. Aku merasa bahwa setiap persekutuan yang kuhadiri itu menyegarkan, baru, dan penuh kegairahan. Tidak ada permusuhan atau kecurigaan di antara saudara-saudari; semua orang saling mengerti dan mengenal satu sama lain dengan baik. Di sana aku merasakan perasaan lega dan kemerdekaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan aku merasa lebih santai dan lebih bahagia seperti yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Pada saat yang sama, Tuhan membimbingku untuk memahami mengapa aku telah hidup dalam penderitaan selama beberapa dekade terakhir. Aku membaca firman Tuhan Yang Mahakuasa ini: "Ada rahasia yang sangat besar di dalam hatimu, yang belum pernah kausadari, karena selama ini engkau hidup dalam dunia tanpa cahaya. Hati dan rohmu telah direnggut oleh si jahat. Matamu dikaburkan oleh kegelapan, dan engkau tidak dapat melihat baik matahari di langit maupun bintang yang berkelap-kelip di malam hari. Telingamu tersumbat oleh kata-kata dusta dan engkau tidak mendengar suara Yahweh yang bergemuruh, maupun suara air terjun yang mengalir dari takhta. Engkau telah kehilangan segala sesuatu yang seharusnya menjadi hak milikmu, semua hal yang telah dianugerahkan Yang Mahakuasa kepadamu. Engkau telah memasuki lautan penderitaan tak bertepi, tanpa kuasa pertolongan, tanpa harapan untuk kembali hidup-hidup, dan satu-satunya yang kaulakukan hanyalah berjuang dan senantiasa bergerak .... Sejak saat itu, engkau ditakdirkan untuk disengsarakan oleh si jahat, dijauhkan dari berkat-berkat Yang Mahakuasa, berada di luar jangkauan pembekalan Yang Mahakuasa, menapaki jalan tanpa bisa kembali. Jutaan panggilan pun sulit membangunkan hati dan rohmu. Engkau tertidur lelap di tangan si jahat, yang telah memikatmu ke dalam alam tanpa batas, tanpa tujuan, dan tanpa petunjuk jalan. Selanjutnya, engkau kehilangan kemurnian dan kesucianmu yang mula-mula, dan mulai bersembunyi dari pemeliharaan Yang Mahakuasa. Di dalam hatimu, si jahat mengarahkanmu dalam segala hal dan ia telah menjadi hidupmu. Engkau tak lagi takut terhadapnya, atau menghindarinya, atau meragukannya; engkau justru memperlakukannya sebagai Tuhan dalam hatimu. Engkau mulai memuja dan menyembahnya, kalian berdua menjadi tidak terpisahkan, bagaikan tubuh dan bayangannya, saling berkomitmen sehidup semati. Engkau sama sekali tidak tahu dari mana asalmu, alasan engkau dilahirkan, atau alasan engkau akan mati" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Keluhan Yang Mahakuasa"). "Iblis merusak manusia lewat pendidikan dan pengaruh pemerintah nasional dan orang-orang terkenal dan hebat. Kebohongan dan omong kosong mereka telah menjadi natur dan kehidupan manusia. "Setiap orang mengutamakan dirinya sendiri dan yang ketinggalan dimangsa setan" adalah pepatah terkenal Iblis dan telah ditanamkan dalam diri semua orang dan menjadi kehidupan manusia. Ada beberapa ungkapan falsafah hidup lainnya yang juga seperti ini. Iblis mendidik manusia lewat setiap budaya tradisional bangsa yang baik dan menyebabkan umat manusia jatuh dan ditelan oleh lubang kehancuran yang besar dan pada akhirnya, manusia dihancurkan oleh Tuhan karena mereka melayani Iblis dan menentang Tuhan" ("Cara Mengenal Natur Manusia" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus"). Jadi alasan mengapa aku telah melelahkan diriku sendiri dan membuat diriku begitu sedih di tengah hiruk pikuk di dunia ini selama beberapa dekade terakhir adalah karena aku telah hidup dengan aturan kehidupan Iblis, seperti, "Takdir seseorang berada di tangannya sendiri," "Uang membuat dunia berputar," "Setiap orang harus berusaha sendiri, yang ketinggalan dimangsa setan," "Seseorang tidak akan mencapai apa pun tanpa menjilat dan merayu," dan seterusnya. Dengan menjalani falsafah Iblis ini, aku sama sekali tidak mengetahui keberadaan Tuhan, dan tidak tahu bahwa Tuhan mengendalikan dan mengatur nasib semua orang. Aku telah hanyut bersama gelombang dunia yang gelap ini, tanpa arah dalam hidupku atau prinsip untuk berperilaku. Aku tentu saja tidak dapat melihat bahwa dunia yang gelap ini dikendalikan oleh Iblis, dan bahwa masyarakat dipenuhi dengan pencobaan, jerat, dan tipu daya Iblis. Agar dapat menghasilkan uang di dunia yang gelap dan jahat ini, aku telah belajar cara menyanjung dan menjilat orang-orang yang berkuasa dan bahkan secara diam-diam menggunakan bahan-bahan bangunan bermutu lebih rendah di banyak proyek konstruksiku. Hati nuraniku telah lenyap sedikit demi sedikit, dan akhirnya aku sama sekali tidak memiliki sedikit pun integritas atau harga diri. Semakin dalam aku tenggelam dalam dosa, semakin aku tidak merasa seperti manusia. Pada akhirnya, aku sama sekali tidak menghasilkan uang dan berakhir dengan utang yang bertumpuk, dan aku merasa sangat putus asa sehingga aku hampir bunuh diri. Aku teringat dengan pemimpin tim yang telah bunuh diri karena utangnya yang sangat besar—bukankah dia telah menjadi persembahan korban untuk Iblis? Dan siapa yang tahu berapa banyak tragedi serupa yang dimainkan setiap hari setiap tahun? Pada titik itu aku menyadari bahwa alasan mengapa orang berada dalam keadaan seperti itu adalah karena kerusakan yang disebabkan oleh racun Iblis, dan karena tren dunia yang diarahkan oleh pemerintahan Iblis. Ketika aku merenungkan semua ini, gelora rasa syukur kepada Tuhan memenuhi hatiku dan aku sangat bersyukur atas belas kasihan dan penyelamatan Tuhan. Tuhan telah menyelamatkanku dari dunia yang gelap dan membawaku kembali ke rumah Tuhan di mana aku dapat menikmati pemeliharaan dan perlindungan-Nya.

Setelah beberapa waktu, aku kembali harus menghadapi krediturku, dan hatiku dalam keadaan sangat kacau. Ketika aku memikirkan semua utang yang masih harus kulunasi, aku kembali ingin mengambil banyak proyek konstruksi. Namun aku tahu bahwa kemampuanku tidak sebanding dengan ambisiku. Masalah tekanan darah tinggiku muncul kembali, dan aku benar-benar bingung harus berbuat apa. Di salah satu pertemuan, salah seorang saudara membacakan beberapa firman Tuhan untukku, "Iman yang sejati kepada Tuhan berarti mengalami perkataan dan pekerjaan Tuhan berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan berdaulat atas segala hal. Jadi, engkau akan dibebaskan dari watakmu yang rusak, memenuhi keinginan Tuhan, dan mengenal Tuhan. Hanya setelah melewati perjalanan ini engkau dapat dikatakan percaya kepada Tuhan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Kata Penutup"). Saudara itu kemudian memberikan persekutuannya, "Karena kita percaya kepada Tuhan, maka kita harus memiliki iman yang sejati kepada Tuhan. Dari lubuk hati, kita harus percaya akan otoritas dan kuasa Tuhan untuk memegang kedaulatan atas segala sesuatu, dan kita harus menyerahkan segala sesuatu dalam hidup kita kepada Tuhan. Yang terpenting, kita harus belajar untuk mengandalkan Tuhan, memandang kepada Tuhan, mengalami pekerjaan Tuhan, mencari kepemimpinan Tuhan, dan tidak lagi terburu-buru dengan sibuk berpikir kita bisa melakukannya sendiri. Melunasi utang adalah sesuatu yang dilakukan oleh semua orang yang berakal sehat dan bertanggung jawab, jadi kita harus berani dan menghadapi utang kita. Kita harus percaya bahwa segala sesuatu berada di tangan Tuhan, dan bahwa tidak ada gunung yang tidak sanggup kita daki. Mengenai semua utangmu, engkau harus lebih banyak berdoa kepada Tuhan dan mencari kehendak-Nya."

Melalui bantuan saudara itu, aku sekarang memiliki jalan penerapan. Aku mendapatkan pekerjaan di lokasi konstruksi terdekat yang tidak menggangguku dalam menghadiri persekutuan atau memenuhi tugasku, dan aku mulai menghasilkan sejumlah uang untuk melunasi utangku. Aku tidak lagi hanya mengandalkan diriku sendiri untuk sukses dalam karier. Ketika para krediturku datang menagihku, aku akan berlatih bersikap jujur kepada mereka dan membayarkan berapa pun yang aku miliki. Aku juga dapat melunasi beberapa utang dari uang yang kuhasilkan dengan menjual hasil panen yang aku panen dari tanah pertanianku. Aku membuat janji serius kepada semua krediturku bahwa aku akan melunasi semua utangku, dan setelah itu mereka tidak lagi mempersulit hidupku. Ketika bank mengirim orang untuk memaksaku melunasi pinjaman, aku berdoa kepada Tuhan dan memercayakan kepada-Nya semua itu. "Jika aku harus masuk penjara karena aku tidak dapat melunasi pinjaman sebesar itu," pikirku, "Aku akan menaati semua pengaturan dan rencana Tuhan." Saat aku tunduk kepada Tuhan sementara mengalami pekerjaan-Nya, barulah aku melihat betapa ajaib perbuatan-Nya, karena aku melihat Dia membuka jalan bagiku. Pemerintah mengumumkan bahwa semua pinjaman bank yang diambil sebelum tahun 1993 tidak harus dilunasi, karena tidak ada satu pun darinya yang telah dimasukkan ke dalam sistem komputer bank dan informasi yang tidak lengkap berarti beberapa pinjaman tidak akan pernah dapat dilunasi. Syukur kepada Tuhan! Semua pinjamanku diambil sebelum tahun 1993 sehingga utangku yang beberapa ratus ribu yuan itu dibatalkan. Merasa begitu terharu, aku menaikkan syukur dan pujian kepada Tuhan. Aku berpikir: "Jika aku harus mendapatkan jumlah sebesar itu, aku mungkin akan mati karena kelelahan sebelum aku melunasi semuanya." Ini membuatku secara pribadi mengalami bahwa nasib setiap manusia benar-benar berada di tangan Tuhan, seperti yang dijelaskan dalam firman Tuhan ini: "Nasib manusia dikendalikan oleh tangan Tuhan. Engkau tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri: Meskipun selalu terburu-buru dan menyibukkan diri sendiri, manusia tetap tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Jika engkau dapat mengetahui prospekmu sendiri, jika engkau dapat mengendalikan nasibmu sendiri, apakah engkau masih menjadi makhluk? Singkatnya, terlepas dari bagaimana Tuhan bekerja, semua pekerjaan-Nya adalah demi manusia. Misalnya, perhatikanlah langit dan bumi dan segala hal yang diciptakan Tuhan untuk melayani manusia: Bulan, matahari, dan bintang-bintang yang Dia buat untuk manusia, hewan dan tumbuhan, musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin, dan seterusnya—semuanya diciptakan demi keberadaan manusia. Jadi, terlepas dari bagaimana Dia menghajar dan menghakimi manusia, itu semua demi penyelamatan manusia. Meskipun Dia melenyapkan harapan jasmaniah dari manusia, itu demi pemurnian manusia, dan pemurnian manusia adalah demi keberadaannya. Tempat tujuan manusia berada di tangan Sang Pencipta, jadi bagaimana mungkin manusia mengendalikan dirinya sendiri?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memulihkan Kehidupan Normal Manusia dan Membawanya ke Tempat Tujuan yang Mengagumkan").

Selama pengalamanku, aku menjadi lebih yakin tentang pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa dan imanku diperkuat. Pada tahun-tahun selanjutnya, aku terus menghadiri persekutuan dan memenuhi tugasku sementara juga bekerja untuk tim konstruksi lokal demi menghasilkan uang untuk membayar sisa utangku. Setiap kali aku bertemu seseorang yang berkarakter baik yang merupakan calon yang cocok untuk mendengar Injil, aku akan memberitakannya kepada mereka, dan aku membawa beberapa orang yang memiliki hubungan baik denganku ke hadapan Tuhan. Meskipun aku masih sibuk setiap hari, hidup ini berbeda karena aku tidak lagi hidup berdasarkan falsafah dan aturan Iblis, dan aku tidak lagi mengikuti tren jahat dunia dan berusaha menjadi kaya dan menjalani gaya hidup yang lebih baik. Sebaliknya, aku hidup dalam ketundukan kepada aturan Tuhan dan berdasarkan tuntutan-Nya, hidup sesuai dengan kebenaran, bersikap jujur dan manusiawi, takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Berperilaku seperti ini terasa terbuka dan jujur, dan aku mulai merasa nyaman dan dipenuhi dengan terang di dalam hatiku. Lambat laun, aku mulai mendapatkan kembali hati nurani dan nalarku, dan berbagai penyakit yang kuderita mulai lenyap. Tahun ini aku menginjak usia 75 tahun, tetapi aku sehat, energik, dan aku telah melunasi semua utangku. Semua orang yang mengenalku dengan baik mengatakan bahwa mereka mengagumiku dan menganggapku beruntung. Namun aku tahu dengan pasti bahwa semua ini adalah hasil dari penyelamatan dan kebaikan Tuhan Yang Mahakuasa. Tuhan Yang Mahakuasa yang menyelamatkanku dari ambang kematian, yang memulihkan hidupku pada saat aku membutuhkan, dan yang menunjukkan kepadaku arah yang benar untuk hidupku. Selama semua pengalaman ini, aku benar-benar merasa bahwa tanpa kepemimpinan Tuhan, kita manusia pasti akan dirusak dan ditelan oleh Iblis. Hanya Tuhan Yang Mahakuasa yang mampu menyelamatkan manusia; hanya firman yang diungkapkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa yang sanggup menuntun manusia menjauh dari belenggu dosa dan menunjukkan kepada kita cara hidup sebagai manusia sejati. Hanya dengan menerima kebenaran yang Tuhan telah ungkapkan serta tunduk dan menyembah Tuhan Yang Mahakuasa barulah manusia dapat hidup dalam kebahagiaan sejati dan memiliki masa depan dan tempat tujuan akhir yang baik!

Selanjutnya: Tuhan Ada di Sisiku

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Pilihanku untuk Sisa Hidupku

Oleh Saudara Xiao Yong, Tiongkok Saat masih anak-anak, keluargaku terbilang miskin dan kami sering dirundung oleh penduduk desa lain. Aku...

Renungan Di Masa Sakit

Oleh Saudari Shi Ji, Amerika Aku lemah dan rentan terhadap penyakit sejak kecil. Ibuku bilang aku lahir prematur dan sakit-sakitan sejak...