Perubahan Seorang Aktor

02 September 2020

Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Sebagai salah satu makhluk, manusia harus mempertahankan posisinya sendiri, dan berperilaku dengan bersungguh-sungguh, dan dengan patuh menjaga apa yang dipercayakan kepadanya oleh Sang Pencipta. Dan manusia tidak boleh bertindak di luar garis, atau melakukan hal-hal di luar jangkauan kemampuannya atau melakukan hal-hal yang menjijikkan bagi Tuhan. Manusia tidak boleh mencoba menjadi hebat, atau luar biasa, atau berada di atas yang lain, atau berusaha menjadi Tuhan. Ini adalah hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan oleh manusia. Berusaha menjadi hebat atau luar biasa itu tidak masuk akal. Berusaha menjadi Tuhan lebih memalukan lagi; menjijikkan, dan tercela. Apa yang patut dipuji, dan apa yang harus dipegang oleh makhluk-makhluk lebih dari apa pun, adalah menjadi makhluk yang sejati; ini adalah satu-satunya tujuan yang harus diikuti oleh semua orang" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik I").

Bulan Mei 2016, aku melakukan tugas berakting di gereja. Aku merasa sangat terhormat bisa berperan dalam film gereja untuk menyebarkan firman Tuhan dan menjadi saksi untuk pekerjaan-Nya hingga mereka yang lama menantikan penampakan Tuhan bisa mendengar suara-Nya dan diselamatkan. Ketika mendapat peran utama dalam film pendek lewat audisi, aku sangat senang. Itu peran utama pertamaku. Aku tahu jika bermain bagus, orang lain akan menghormatiku. Bertekad bermain baik, aku serius dan mulai bekerja. Saat sulit mengucapkan dialog, kuminta aktor berpengalaman mengucapkannya, lalu aku tirukan. Ketika gerakanku salah, aku minta orang lain mencontohkan lalu aku latih berulang kali. Terkadang aku berlatih semalaman tanpa merasa lelah. Aku berusaha keras untuk itu, kemudian beberapa saudara-saudari berkata padaku, setelah pratinjau, "Kau sama sekali tidak buruk di film itu." Itu benar-benar membuatku sombong. Aku hampir merasa seperti orang terkenal, seperti menjadi bintang. Tapi secara mengejutkan, sutradara bilang film itu harus dibuat ulang karena berbagai alasan. Hatiku hancur. "Dibuat ulang? Sekarang aku juga jadi figuran di film gereja lainnya. Jika naskah film pendek itu disunting dan jadwalnya bentrok, apa aku bisa memainkan peran utama lagi?" Tapi kemudian aku berpikir karena semua bilang kerjaku bagus, seharusnya hanya aku yang cocok untuk peran itu. Beberapa hari kemudian aku dengar naskahnya sudah direvisi, tapi tak ada yang mengajakku syuting. Aku merasa gelisah. Setiap pagi, setiap membuka mata, aku periksa pesan di ponselku, berharap ada yang kirim pesan untuk aku ke lokasi. Tapi aku juga takut mendapat pesan bahwa mereka punya pemeran utama lain. Setiap kali mendapat pesan, aku merasa sangat tertekan, takut akan kehilangan peran utama itu. Beberapa hari itu, aku tak bisa fokus pada apa yang kulakukan, dan aku tak bisa konsentrasi pada film yang kumainkan saat itu. Aku merasa tak sabar dan tak peduli soal perkembangan film gereja itu. Kuhubungi manajer kru film pendek, mengatakan bahwa aku bisa meluangkan waktu. Tapi beberapa hari kemudian, dia bilang bahwa mereka sudah menunjuk Saudari Zhao sebagai peran utama agar syuting film gereja tidak terganggu. Aku merasa sangat dirugikan. Aku sudah berusaha keras dan menderita untuk fim itu. Kenapa peran itu direnggut dariku tepat di depan mataku ketika naskah sudah direvisi? Aku tak bisa menerima itu. Aku masuk ke kamar mandi dan menangis. Pikiran buruk tiba-tiba muncul: "Pasti bagus jika Saudari Zhao tak bisa melakukan peran itu, maka aku akan dapat kesempatan ...." Memang tak seharusnya aku berpikir begitu, tapi aku tak bisa menahannya. Hatiku tersiksa. Syuting ulang itu selesai dalam waktu singkat, dan semua bilang kali ini hasilnya lebih baik. Pemimpin juga bilang hasilnya terlihat nyata dan natural, serta mendapat bimbingan Tuhan, dan dia ingin kami belajar dari film itu. Aku hanya bisa menggerutu dan berpikir, "Kenapa syuting mereka berlangsung tanpa hambatan, sedangkan syutingku banyak pasang surutnya? Kenapa mereka tak atur jadwal agar aku bisa ikut serta?" Aku iri dan marah kepada Saudari Zhao. Aku tak ingin bertemu dengannya. Aku merasa dia telah merampok kejayaanku. Aku sangat tersiksa oleh nama dan status, itu menyesakkan. Aku berada di tempat yang sangat gelap dan menyakitkan. Setiap hari aku berdoa kepada Tuhan, meminta bimbingannya agar bisa keluar dari keadaan itu.

Suatu hari aku membaca satu bagian firman Tuhan dalam kebaktian yang langsung menyentuh hatiku. Firman Tuhan berkata, "Begitu bersangkut-paut dengan kedudukan, gengsi, atau reputasi, hati setiap orang melompat dalam pengharapan, dan masing-masing dari engkau selalu ingin unggul, menjadi terkenal, dan diakui. Setiap orang tidak mau menyerah, sebaliknya selalu ingin bersaing—meskipun bersaing itu memalukan dan tidak diizinkan di rumah Tuhan. Namun, tanpa persaingan, engkau masih belum puas. Ketika engkau melihat seseorang unggul, engkau merasa iri, benci, dan merasa bahwa itu tidak adil. 'Mengapa aku tidak bisa unggul? Mengapa selalu orang itu yang unggul, dan aku tidak pernah mendapat giliran?' Engkau kemudian merasakan kebencian. Engkau mencoba menekannya, tetapi engkau tidak bisa. Engkau berdoa kepada Tuhan dan merasa lebih baik untuk sementara waktu, tetapi begitu engkau menghadapi masalah semacam ini lagi, engkau tidak dapat mengatasinya. Bukankah ini menunjukkan tingkat pertumbuhan yang tidak dewasa? Bukankah kejatuhan seseorang ke dalam keadaan seperti itu adalah sebuah perangkap? Ini adalah belenggu natur Iblis yang rusak dan mengikat manusia. ... Jika engkau ingin memutarbalikkan keadaan semacam ini, dan tidak dikendalikan oleh hal-hal ini, engkau pertama-tama harus mengesampingkan dan melepaskannya. Jika tidak, semakin engkau berjuang, semakin kegelapan akan mengelilingimu, dan semakin besar perasaan iri dan kebencian yang akan kaurasakan, dan keinginanmu akan pencapaian justru akan bertumbuh semakin kuat. Semakin kuat keinginanmu akan pencapaian, semakin kecil kemampuanmu untuk melakukannya, dan ketika mencapai lebih sedikit, kebencianmu akan bertambah. Ketika kebencianmu bertambah, batinmu akan menjadi semakin gelap. Semakin gelap batinmu, semakin buruk engkau akan melakukan tugasmu; semakin buruk engkau melakukan tugasmu, semakin tak berguna dirimu. Ini adalah lingkaran setan yang saling terkait. Engkau tidak dapat melakukan tugasmu dengan baik dalam keadaan seperti itu, jadi, lambat laun, engkau akan disingkirkan" ("Serahkanlah Hatimu yang Sejati kepada Tuhan, maka Engkau Dapat Memperoleh Kebenaran" dalam "Rekaman Pembicaraan Kristus"). Firman Tuhan mengungkapkan keadaanku saat itu. Aku ingin menjadi terkenal dan menjadi bintang sejak menerima tugas berakting. Begitu mendapat peran utama di film pendek itu, aku hanya ingin jadi terkenal, sehingga aku tak pernah mengeluh sekeras apa pun keadaannya. Saat tahu film itu akan syuting ulang, aku jadi takut kehilangan peranku, dan hidup dalam perasaan ragu dan gelisah. Hatiku tidak lagi mementingkan tugasku. Ketika aku kehilangan peran itu dan impianku menjadi terkenal pun hancur, aku tak bisa menerimanya dan menyalahkan Tuhan serta manusia. Aku iri kepada penggantiku dan pikiran jahat pun muncul. Kuharap dia tak bisa melakukannya sehingga kudapat lagi peran utama itu. Semua orang merasa senang saat syuting ulang itu berhasil, tapi aku justru menyesali itu dan bahkan semakin merasa iri dan sakit hati. Aku tak melakukan tugasku untuk menuruti kehendak Tuhan dan bersaksi untuk Tuhan, melainkan hanya untuk tampil di depan publik dan jadi terkenal. Aku bahkan bersedia menunda syuting agar bisa mendapat peran utama itu. Aku tidak memiliki rasa hormat kepada Tuhan. Hingga aku merenungi Firman Tuhan, aku tak sadar betapa egois, tercela dan jahat diriku hanya demi nama dan keuntungan. Aku tak punya rasa kemanusiaan dan ini membuat Tuhan jijik. Jika aku tak bertobat, pasti akan ditolak dan disingkirkan oleh Tuhan.

Kemudian, aku membaca Firman Tuhan ini: "Emosi manusia itu egois dan merupakan milik dunia kegelapan. Emosi manusia tidak muncul demi kehendak Tuhan, apalagi demi rencana-Nya, dan karena itulah manusia dan Tuhan tidak bisa dibicarakan secara bersamaan. Tuhan selamanya tertinggi dan selamanya mulia, sedangkan manusia selamanya rendah dan tidak berharga. Ini karena Tuhan selamanya berkorban dan menyerahkan diri-Nya sendiri bagi umat manusia; sedangkan manusia selamanya hanya mengambil dan berjuang demi dirinya sendiri. Tuhan selamanya bersusah payah demi kelangsungan hidup umat manusia, tetapi manusia tidak pernah bersumbangsih apa pun demi terang atau untuk kebenaran. Sekalipun manusia berupaya selama beberapa waktu, upaya itu sangatlah lemah sehingga tidak sanggup menahan satu hantaman pun, karena upaya manusia selalu demi dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain. Manusia selalu egois, sedangkan Tuhan selamanya tidak pernah mementingkan diri sendiri. Tuhan adalah sumber segala sesuatu yang adil, baik, dan indah, sedangkan manusia adalah pihak yang berhasil melakukan dan mewujudkan segala keburukan dan kejahatan. Tuhan tidak akan pernah mengubah hakikat-Nya yang adalah kebenaran dan keindahan, tetapi manusia sangat mampu, kapan pun dan dalam situasi apa pun, mengkhianati kebenaran dan menyimpang jauh dari Tuhan" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Sangatlah Penting untuk Memahami Watak Tuhan"). Membaca Firman Tuhan ini membuat sangat sedih. Aku melihat betapa egois dan hina naturku. Kegembiraan dan kesenanganku hanya untuk diriku sendiri. Aku ingin sekali syuting itu jadi kacau hanya karena aku tak bisa membintanginya. Kuharap film itu tak tayang. Bahkan ketika pemimpin meminta kami belajar dari film itu, aku sama sekali tak meliriknya. Hati Tuhan bersuka cita ketika gereja merilis film yang bagus karena kebenaran yang dipersekutukan dalam setiap film bisa memecahkan masalah dan gagasan para pencari kebenaran, orang-orang yang menyelidiki jalan yang benar. Mereka bisa memberi cahaya kepada mereka yang hidup dalam kegelapan. Ini adalah hal yang positif. Tuhan menyukai hal-hal yang positif. Aku tak bisa berbagi dalam kesenangan Tuhan, malah membenci yang membuat-Nya senang. Aku tak senang dengan yang menyenangkan Tuhan. Bukankah aku berarti menentang Tuhan? Apa aku bisa dianggap sebagai orang percaya? Jelas aku bukan orang percaya, melainkan iblis! Aku membenci diriku yang sangat hina dan mengucapkan doa ini: "Ya Tuhan, aku salah. Aku bersedia menunda pekerjaan Rumah-Mu demi nama dan statusku sendiri. Aku pemberontak. Aku ingin bertobat, berhenti berusaha pamer dan menjadi terkenal. Aku ingin tunduk pada pengaturan-Mu dan melakukan tugasku dengan baik." Kemudian aku membaca beberapa Firman Tuhan yang membahas keadaanku dan mengerti bahwa tugas kita adalah tanggung jawab kita. Bukan untuk pamer atau memuaskan ambisi liar kita, melainkan untuk mengetahui tempat kita dan bekerja keras untuk menyenangkan Tuhan. Entah gereja memberiku peran utama atau sebagai figuran, aku harus mengerahkan segalanya, melakukan bagian kecilku untuk menyebarkan pekerjaan Tuhan di akhir zaman. Menyadari semua ini benar-benar membebaskanku. Aku diuji coba untuk beberapa peran utama di film dan tidak mendapatkannya, tapi aku menerimanya dengan benar dan memainkan peranku dengan baik.

Belum lama, aku terpilih menjadi peran utama dalam sebuah film. Aku merasa sangat terharu dan diam-diam bertekad untuk meluruskan motifku dan melakukan tugasku untuk menyenangkan Tuhan. Begitu naskah kuterima, aku berusaha menganalisa karakter dan menghafal dialogku. Lalu saudara-saudari memintaku mencoba kostum dan memperagakannya. Melihat semua orang mengerumuniku, aku merasa seperti berada di atas angin. Aku berpikir, "Menjadi peran utama memang sangat istimewa. Jika aku bisa bagus dalam peran ini, akan lebih banyak orang mengakuiku dan menghormatiku." Dengan pikiran itu, tiba-tiba aku sadar telah mulai mengejar nama dan status kembali, jadi aku segera berdoa kepada Tuhan untuk bisa meninggalkan diriku. Tapi karena aku belum sepenuhnya paham esensi dari masalah itu, aku masih tetap berfantasi soal menjadi seorang bintang. Di saat yang sama, aku sangat khawatir. Aku belum pernah menjadi peran utama, jadi kemampuan aktingku masih kurang. Jika sampai diganti karena kerjaku buruk, bagaimana? Takkan ada yang mau aku berakting dalam film setelah itu. Aku harus bisa mempelajari keterampilan yang dibutuhkan agar bisa melakukan peranku dengan baik. Aku tak boleh melewatkan kesempatan itu. Aku mulai mencari materi dan film yang bisa kupelajari secara online setiap hari, berusaha keras menambah pengetahuan agar bisa pantas menjadi peran utama secepat mungkin. Aku kerahkan banyak upaya, tapi setelah kami syuting beberapa adegan, aku melihat diriku jauh melenceng dari karakterku di film. Caraku mengekspresikan diri tak pernah benar. Sutradara bilang tatapanku kosong, terlalu banyak berkedip dan ekspresiku melenceng. Mendengar ini langsung membuatku gugup. Aku sadar diriku masih banyak kekurangan dan jika tidak segera diperbaiki, aku pasti akan diganti. Aku gandakan usahaku dalam berlatih, tapi semakin aku berusaha, semakin banyak masalah muncul. Aku lakukan tiap adegan dengan sangat lambat. Ketika melihat raut wajah orang lain dan mendengar helaan napas sutradara, aku merasa ada beban berat menindihku hingga sulit bernapas. Suatu hari sutradara bilang, "Lihat, Saudari Liu sangat cocok dengan karakter ini. Amati dia dan cobalah untuk mencontohnya." Aku berpikir, "Tamat aku. Aku yakin sutradara berpikir dia lebih pantas untuk peran ini. Jika aktingku tak berkembang, mungkin dia akan memintanya menggantikan aku. Aku tak boleh kehilangan peran ini. Jika gagal, semua orang akan tahu aku tak pandai berakting, lalu bagaimana aku akan mendapat peran utama lagi? Aku hanya akan menjadi figuran dan takkan pernah menjadi pusat perhatian." Aku semakin merasa seperti menghadapi situasi krisis dan aku mulai berpura-pura di depan sutradara. Aku tidak istirahat siang, melainkan membaca bahan referensi berakting dan mempelajari naskah saat aku tahu sutradara akan melihatku. Aku terus mengawasinya, dan ketika dia terlihat senang, aku bisa bernapas lega. Saat tak bisa mengawasinya, aku mulai berpikir apakah dia akan menggantiku. Aku tak berani bilang tak bisa menghayati perasaan karakter itu, takut dia akan menyingkirkanku jika tahu yang sebenarnya. Aku semakin jauh dari Tuhan dan jiwaku turun ke dalam kegelapan. Aku hanya terus menguatkan diri dan melanjutkannya.

Pernah, sebelum syuting di stasiun kereta, sutradara menjelaskan adegan itu padaku berulang kali dan memintaku memerankannya. Aku memahami adegan itu, tapi aku belum memahami perasaan karakter itu. Takut sutradara berpikir aku tak bisa melakukannya, aku berpura-pura mengerti. Ketika tiba saatnya syuting, aku tak bisa mengungkapkan perasaan yang tepat. Setelah dua setengah jam kami masih belum menyelesaikan beberapa adegan sederhana. Juga ketika kami akan syuting di taman dan waktunya sangat sempit. Aku berpikir harus menyelesaikan adegan ini dengan cepat, tapi semakin aku ingin berperan bagus, semakin aku merasa gugup. Aku tak bisa melakukan adegan itu. Kami syuting mulai siang hingga petang tanpa satu pun pengambilan gambar yang bagus. Semua kecewa, tapi tak berdaya. Melihat keadaanku yang tidak benar, sutradara berbagi persekutuan denganku, tapi aku membuat alasan kuat untuk menghindarinya, karena takut kehilangan peran itu jika kukatakan yang sebenarnya. Selama beberapa hari itu, aku merasa sangat sedih dan bersalah setiap kali memikirkan soal bagaimana aku telah sangat menunda pembuatan film. Aku terus mengatakan pada diri sendiri untuk meluruskan motif, melakukan tugas dengan baik dan berhenti mengejar nama dan status. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku terobsesi mencari cara memainkan peran itu dengan baik untuk mempertahankannya. Bahkan aku hanya bermimpi tentang syuting. Aku terus berada dalam kecemasan dan insomniaku semakin memburuk. Saudara-saudari bertanya kepadaku, "Kenapa belakangan kau terlihat sangat berbeda? Kau selalu terlihat tidak bahagia." Aku takut mereka akan memandang rendah diriku jika kukatakan yang sebenarnya, jadi aku diam saja.

Aku terjebak dalam pusaran menginginkan nama dan status. Aku tak bisa melepaskan diri. Aku berkali-kali berdoa kepada Tuhan setiap hari, meminta Dia membimbingku keluar dari keadaan ini. Dalam pertemuan, saudara-saudari mempersekutukan pengalaman berharga mereka, tapi aku hanya duduk diam di sana, kehilangan kata-kata. Pernah seorang saudari bertanya kepadaku, "Kau pasti punya banyak pengalaman dari semua program yang kau ikuti. Bisa kau bagikan beberapa?" Aku panik. Aku tak tahu harus berkata apa. Pada saat itu aku harus merenung saat itu. Apa yang aku capai dari melakukan tugas berakting selama itu? Kenapa aku merasa seperti keluar dengan tangan kosong? Aku hanya fokus pada nama dan status, benar-benar membuang semua kesempatan untuk mengalami pekerjaan Tuhan. Kenapa aku begitu tak berperasaan? Saat itulah aku mulai membenci diriku karena tak mengejar kebenaran. Aku pun menghadap Tuhan untuk berdoa dan bertobat.

Kemudian aku menemukan beberapa Firman Tuhan yang membedah pengejaran nama dan status untuk aku pikirkan. Aku membaca ini dalam Firman Tuhan: "Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan pikiran manusia, sampai satu-satunya yang orang pikirkan adalah ketenaran dan keuntungan. Mereka berjuang demi ketenaran dan keuntungan, menderita kesukaran demi ketenaran dan keuntungan, menanggung penghinaan demi ketenaran dan keuntungan, mengorbankan semua yang mereka miliki demi ketenaran dan keuntungan, dan mereka akan melakukan penilaian atau mengambil keputusan demi ketenaran dan keuntungan. Dengan cara ini, Iblis mengikat orang dengan belenggu yang tak kasat mata, dan mereka tidak punya kekuatan ataupun keberanian untuk membuang belenggu tersebut. Mereka tanpa sadar menanggung belenggu ini dan berjalan maju dengan susah payah. Demi ketenaran dan keuntungan ini, umat manusia menjauhi Tuhan dan mengkhianati Dia dan menjadi semakin jahat. Jadi, dengan cara inilah, generasi demi generasi dihancurkan di tengah ketenaran dan keuntungan Iblis" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Setelah memikirkan hal ini, aku mengerti bahwa Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk tetap mengendalikanku. Aku telah dipengaruhi dan dididik oleh Iblis sejak kecil. "Jika engkau lebih menonjol dari orang lain," "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang," dan "Manusia hidup untuk martabat dan nama baiknya" Racun dan falsafah Iblis seperti ini telah mengendalikan pikiran dan tindakanku, sehingga aku hanya mengejar nama dan status. Aku berpikir hidup hanya layak dijalani dengan penghormatan orang lain, dan mereka yang menjadi bintang, dikagumi oleh banyak orang, benar-benar menjalani hidup yang layak. Ketika aku mengambil tugas berakting dalam rumah Tuhan, aku mulai memupuk mimpiku untuk menjadi bintang, menjadi terkenal suatu hari nanti. Aku kerahkan segalanya dalam setiap kesempatan untuk tampil di depan publik, senang menderita dan melelahkan diri dalam keadaan apa pun. Dalam memerankan peran utama itu, keinginan untuk menjadi terkenal muncul lagi. Tak ingin kehilangan kesempatan itu, aku tak bertanya tentang hal yang tak kumengerti dan tak terbuka ketika keadaanku buruk. Aku berusaha keras untuk berpura-pura, aku mengamati sekitarku dan mengawasi semuanya. Aku takut orang lain melihat aku tak bisa melakukannya lalu membatalkan peran utama itu. Aku lebih memilih berulang kali menunda kemajuan dibanding melepas keinginanku, membuka persekutuan atau mencari kebenaran. Aku tak memikirkan pekerjaan rumah Tuhan karena berusaha meraih nama dan keuntungan. Aku mengabaikan tugas atau tanggung jawabku. Aku begitu egois dan keji. Aku tak melakukan tugasku. Aku benar-benar melakukan kejahatan! Pada akhirnya, apa hasil dari semua kerja keras demi ketenaran, keuntungan dan status itu bagiku? Aku hanya menjadi semakin egois, hina, menipu, keras kepala dan tak memiliki martabat. Aku sadar bahwa ketenaran dan keuntungan adalah jaring yang ditebar Iblis hingga membuat diriku benar-benar terjerat. Ketika tak ada ketenaran atau keuntungan, aku memutar otak untuk mendapatkannya, dan ketika ada, aku melakukan segalanya untuk mempertahankannya. Demi ketenaran dan keuntungan, aku kehilangan integritas, hati nurani dan akal sehat, dan dasar untuk menjadi orang yang baik. Berulang kali aku memberontak terhadap Tuhan, dan tak apa pun dalam hatiku, hanya penderitaan. Aku sadar Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk menelan manusia secara utuh, merusak mereka, dan mengejar semua itu hanya akan membuat kita semakin jahat, rusak, dan jauh dari Tuhan. Jika aku terus berada di jalan yang salah, bukan saja aku akan hidup dalam kesakitan, tapi akhirnya aku juga akan binasa karena menentang Tuhan. Aku berlutut di hadapan Tuhan dalam doa ketika menyadari semua ini: "Ya Tuhan, aku tak ingin menyembunyikan jati diriku lagi. Bahkan jika saudara-saudari mengetahui kebenaran akan kecuranganku dan membatalkan peran utama itu, aku harus menerapkan kebenaran dan bertobat kepada-Mu." Aku mengungkapkan tentang kerusakanku dalam pertemuan berikutnya. Aku merasa jauh lebih tenang dan nyaman. Sama sekali tak ada yang memandang rendah, melainkan bersekutu tentang kehendak Tuhan denganku. Aku merasa sangat terharu.

Kemudian, aku membaca Firman Tuhan ini: "Sebagai salah satu makhluk, manusia harus mempertahankan posisinya sendiri, dan berperilaku dengan bersungguh-sungguh, dan dengan patuh menjaga apa yang dipercayakan kepadanya oleh Sang Pencipta. Dan manusia tidak boleh bertindak di luar garis, atau melakukan hal-hal di luar jangkauan kemampuannya atau melakukan hal-hal yang menjijikkan bagi Tuhan. Manusia tidak boleh mencoba menjadi hebat, atau luar biasa, atau berada di atas yang lain, atau berusaha menjadi Tuhan. Ini adalah hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan oleh manusia. Berusaha menjadi hebat atau luar biasa itu tidak masuk akal. Berusaha menjadi Tuhan lebih memalukan lagi; menjijikkan, dan tercela. Apa yang patut dipuji, dan apa yang harus dipegang oleh makhluk-makhluk lebih dari apa pun, adalah menjadi makhluk yang sejati; ini adalah satu-satunya tujuan yang harus diikuti oleh semua orang" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik I"). Melalui Firman Tuhan, aku mengerti bahwa Tuhan menghendaki aku menjadi makhluk ciptaan yang memenuhi standar-Nya. Sebaliknya, aku justru benar-benar menentang kehendak Tuhan, hanya ingin menjadi aktor terkenal. Aku ingin menjadi bintang, diidolakan, dipuja dan dikagumi. Pengejaranku itu sama seperti Iblis yang bersaing memperebutkan status dengan Tuhan. Aku benar-benar telah menyinggung watak-Nya dan berada di jalur kehancuran. Aku tak lebih dari makhluk ciptaan yang sangat rusak, benar-benar tidak layak dihormati. Aku tahu harus mengambil tempat yang layak sebagai makhluk ciptaan dan melakukan tugas dengan baik untuk menyenangkan Tuhan. Masih perlu banyak perbaikan dalam aktingku, tapi aku bertekad untuk tidak berusaha demi nama, keuntungan, dan status lagi. Aku akan berjuang untuk perbaikan dan tetap fokus pada tugasku. Aku perbaiki motifku ketika syuting dan berhenti berpikir apa aku akan jadi terkenal. Aku jadi bisa memikirkan tentang karakter dengan tenang, lalu aku bisa memahami karakter itu dalam waktu singkat. Syuting jadi jauh lebih cepat. Melakukan tugas dengan cara itu juga membuatku merasa nyaman. Orang lain mengatakan bahwa seluruh sikapku telah berubah. Aku tidak lagi terganggu dan kemampuanku juga meningkat. Aku terus menerus bersyukur kepada Tuhan untuk ini.

Keuntungan terbesarku dari pengalaman ini adalah memahami bahwa melakukan tugas dalam rumah Tuhan bukanlah masalah pribadi. Bukan demi kepentingan seseorang, melainkan untuk menyebarkan Firman Tuhan dan menjadi saksi. Ini adalah tanggung jawab semua makhluk ciptaan. Sebelumnya aku berpikiran pendek dan tidak memahami kebenaran. Aku mengikuti tren duniawi, mengejar ketenaran, dan dipermainkan serta disiksa oleh Iblis hingga aku bukan lagi manusia. Aku juga merusak pekerjaan rumah Tuhan. Penghakiman dan penghajaran Firman Tuhan telah mengembalikanku dari pengejaran salahku, menyelamatkanku dari sabotase Iblis dan mengembalikanku ke jalan yang benar. Kini aku berdiri tegar di tempatku sebagai makhluk ciptaan, melakukan tugasku dengan baik. Aku merasa sangat damai. Inilah keselamatan dan kasih Tuhan. Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa!

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait

Keputusan yang Tak Terlupakan

Oleh Saudari Bai Yang, Tiongkok Ayahku meninggal karena sakit saat aku berusia 15 tahun dan keluarga kami kehilangan penopang hidup. Aku...

Setelah Kematian Putraku

Oleh Saudari Wang Li, Tiongkok Suatu hari pada Juni 2014, putriku tiba-tiba menelepon dan mengatakan putraku tersengat listrik saat...