Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (7)
Belakangan ini, Aku telah mempersekutukan segala macam pepatah dari budaya tradisional tentang perilaku moral. Mengenai pepatah spesifik tertentu, Aku telah banyak membahasnya. Jadi, apakah topik dan pembahasan ini ada kaitannya dengan kebenaran? (Ya.) Adakah yang menganggap bahwa topik dan pembahasan ini sepertinya tidak ada kaitannya dengan kebenaran? Jika ada yang menganggapnya demikian, berarti kualitas mereka sangat buruk dan mereka sama sekali tak mampu untuk membedakannya. Apakah persekutuan-Ku mengenai hal ini mudah dimengerti? (Ya.) Seandainya Aku tidak mempersekutukan dan menganalisis dengan cara seperti ini, akankah engkau semua telah secara keliru menganggap pepatah tentang perilaku moral yang orang anggap relatif positif ini sebagai kebenaran dan terus mematuhinya? Pertama, dapat Kukatakan dengan pasti bahwa kebanyakan orang menganggap pepatah-pepatah ini sebagai hal yang positif, sebagai hal yang sesuai dengan kemanusiaan dan sebagai hal yang harus dipatuhi, serta menganggapnya hal yang sesuai dengan hati nurani, nalar, tuntutan, gagasan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kemanusiaan. Dapat dikatakan bahwa sebelum Aku mempersekutukan topik ini, hampir semua orang menganggap berbagai pepatah tentang perilaku moral ini sebagai hal yang positif dan sesuai dengan kebenaran. Setelah mendengar persekutuan dan analisis-Ku, apakah engkau semua sekarang mampu membedakan antara pepatah tentang perilaku moral dan kebenaran? Apakah engkau memiliki kemampuan membedakan seperti ini? Ada orang-orang yang akan berkata: "Aku tidak mampu membedakan keduanya, tetapi setelah mendengarkan persekutuan Tuhan, sekarang aku tahu bahwa ada perbedaan antara pepatah-pepatah ini dan kebenaran. Pepatah-pepatah ini tidak dapat menggantikan kebenaran, dan terutama, tidak dapat dikatakan sebagai hal yang positif ataupun sebagai kebenaran. Tentu saja, kita sama sekali tidak boleh menganggap pepatah-pepatah ini sesuai dengan firman dan tuntutan Tuhan ataupun standar kebenaran. Pepatah-pepatah ini tidak ada kaitannya dengan firman Tuhan, tuntutan Tuhan ataupun standar kebenaran. Singkatnya, entah pepatah-pepatah ini sesuai dengan hati nurani dan nalar manusia atau tidak, aku tidak akan lagi memuja hal-hal tersebut di dalam hatiku dan tidak akan lagi menganggapnya sebagai kebenaran." Hal ini memperlihatkan bahwa aspek-aspek budaya tradisional tersebut tidak lagi berperan sebagai penuntun di hati orang. Ketika orang mendengar pepatah tentang perilaku moral ini, tanpa sadar mereka akan membedakannya dari kebenaran dan, paling-paling, akan menganggapnya sebagai sesuatu yang disetujui orang dalam hati nurani mereka. Namun, mereka tahu bahwa pepatah ini tetap berbeda dari kebenaran dan sama sekali tidak dapat menggantikan kebenaran. Setelah orang memahami esensi dari pepatah tentang perilaku moral ini, mereka tidak akan lagi menganggapnya sebagai kebenaran dan tidak akan lagi mematuhi, memuja, atau mencarinya sebagai kebenaran—inilah dampak yang setidaknya harus orang peroleh. Jadi, apa, dampak positif terhadap pengejaran orang akan kebenaran setelah mereka memahami semua ini? Pemahaman ini tentu saja akan menghasilkan dampak positif, tetapi besarnya dampak tersebut akan bergantung pada sejauh mana engkau memahami kebenaran atau seberapa banyak kebenaran yang engkau pahami. Berdasarkan hal-hal ini, jelas sekali bahwa sangatlah penting untuk menganalisis aspek-aspek budaya tradisional yang orang patuhi dan yang sesuai dengan gagasan mereka tersebut. Setidaknya, analisis ini akan menghasilkan dampak yang membantu orang mencapai pemahaman murni tentang kebenaran dan membuat upaya mereka menjadi tidak sia-sia atau membuat mereka tidak menempuh jalan yang salah dalam mengejar kebenaran. Inilah dampak yang bisa diperoleh.
Sebelumnya, kita mempersekutukan dan menganalisis empat pepatah tentang perilaku moral, yaitu, "Jangan mengantongi uang yang kautemukan", "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", dan "Balaslah kejahatan dengan kebaikan". Hari ini, kita akan lanjutkan dengan mempersekutukan pepatah lainnya. Budaya tradisional Tiongkok telah menganjurkan banyak pernyataan yang jelas mengenai perilaku moral—selama zaman atau periode sejarah mana pun pernyataan ini pertama kali dianjurkan, semuanya itu telah diwariskan hingga saat ini dan telah berakar kuat di hati orang-orang. Seiring berjalannya waktu dan munculnya hal-hal baru secara berangsur-angsur, orang telah menganjurkan berbagai pernyataan baru mengenai perilaku moral. Pernyataan-pernyataan ini pada dasarnya adalah tuntutan yang dibuat dalam hal karakter moral dan perilaku orang. Apakah engkau semua pada dasarnya telah memahami keempat pepatah tentang perilaku moral yang kita bahas sebelumnya? (Ya.) Sekarang mari kita lanjutkan dengan mempersekutukan pepatah berikutnya: "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur." Gagasan bahwa kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur adalah salah satu standar klasik dalam budaya tradisional Tiongkok untuk menilai apakah perilaku seseorang bermoral atau tidak bermoral. Ketika menilai apakah kemanusiaan seseorang itu baik atau buruk dan seberapa bermoralnya perilaku mereka, salah satu tolok ukurnya adalah apakah dia membalas kebaikan atau bantuan yang diterimanya—apakah dia adalah orang yang membalas kebaikan yang diterimanya dengan rasa syukur atau tidak. Dalam budaya tradisional Tiongkok, dan dalam budaya tradisional manusia, orang memperlakukan ini sebagai ukuran perilaku moral yang penting. Jika orang tidak mengerti bahwa kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur, dan mereka tidak tahu berterima kasih, mereka akan dianggap tidak memiliki hati nurani dan tidak layak diajak bergaul dan harus dibenci, dipandang rendah atau ditolak oleh semua orang. Di sisi lain, jika orang mengerti bahwa kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur—jika mereka berterima kasih dan membalas kebaikan dan bantuan yang mereka terima dengan segala cara yang bisa mereka lakukan, mereka dianggap orang yang berhati nurani dan memiliki kemanusiaan. Jika seseorang menerima manfaat atau bantuan dari orang lain, tetapi tidak membalasnya, atau hanya menyatakan sedikit rasa terima kasih kepada orang tersebut dengan hanya mengucapkan "terima kasih" dan tak lebih dari itu, apa yang akan orang lain itu pikirkan? Mungkinkah dia akan merasa kesal karenanya? Mungkinkah dia berpikir, "Orang itu tidak pantas ditolong, dia bukan orang yang baik. Jika hanya seperti itulah caranya berterima kasih padahal aku telah banyak membantunya, artinya dia tidak memiliki hati nurani atau kemanusiaan, dan tidak layak untuk diajak bergaul"? Jika dia bertemu lagi dengan orang semacam ini, apakah dia akan tetap membantunya? Setidaknya, dia tidak ingin membantu lagi. Jika engkau mengalami keadaan serupa, akankah engkau juga mempertimbangkan apakah engkau harus membantunya atau tidak? Pelajaran yang pasti kaupetik dari pengalamanmu sebelumnya adalah, "Aku tidak dapat membantu orang begitu saja—hanya jika dia mengerti bahwa 'kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur', barulah aku akan membantunya. Jika dia adalah jenis orang yang tidak tahu berterima kasih yang tidak akan membalas bantuan yang telah kuberikan kepadanya, lebih baik aku tidak membantu." Bukankah seperti itulah pandanganmu tentang hal ini? (Ya.) Biasanya, saat orang membantu orang lain, apa sebenarnya yang mereka pikirkan tentang bantuan yang mereka berikan tersebut? Apakah mereka memiliki harapan atau tuntutan tertentu terhadap orang yang mereka bantu? Adakah yang berkata, "Aku membantumu tanpa pamrih. Aku tidak mengharapkan balasan apa pun darimu. Membantumu saat kau menghadapi kesulitan adalah hal yang seharusnya kulakukan, dan itu adalah tugasku. Entah kita punya hubungan satu sama lain dan entah kelak kau dapat membalas kebaikanku atau tidak, aku hanya melakukan tugas dasarku sebagai orang biasa dan aku tidak akan menuntut balasan apa pun. Tidak masalah bagiku apakah kau akan membalas kebaikanku atau tidak"? Adakah orang yang mengatakan hal seperti itu? Sekalipun ada orang semacam itu, perkataan mereka hanyalah karangan dan tidak sesuai dengan kenyataannya. Ada begitu banyak tokoh heroik yang dikarang dalam buku sejarah Tiongkok dan para pahlawan yang dikarang oleh negeri si naga merah yang sangat besar di tengah masyarakat modern, yang bahkan jauh lebih fiktif. Meskipun orangnya ada, kisah tentang mereka hanyalah rekaan. Memandangnya berdasarkan fakta-fakta ini, sudahkah engkau sekarang jelas tentang asal muasal pepatah "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", standar untuk menilai perilaku moral seseorang ini, dan dari siapakah pepatah itu berasal? Mungkin ada orang-orang yang masih belum begitu jelas mengenai hal ini. Dalam diri manusia yang rusak ini, semua orang memiliki semacam cita-cita dan harapan tertentu terhadap kehidupan bermasyarakat. Apa harapan mereka? "Jika semua orang memberikan sedikit kasih, dunia akan menjadi tempat yang indah". Selain harapan ini, orang juga berharap kasih yang mereka berikan dan harga yang mereka bayar mendapatkan balasan dan diberi imbalan. Di satu sisi, imbalan ini dapat berupa imbalan yang bersifat materi, seperti hadiah uang atau imbalan materi. Di sisi lain, imbalan ini bisa berarti imbalan yang bersifat rohani—yaitu, memberi mereka kepuasan rohani berupa penghargaan untuk meningkatkan reputasi mereka, misalnya dengan menggelari mereka "pekerja teladan", "panutan moral", atau "teladan moral". Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir semua orang mempunyai harapan seperti ini terhadap masyarakat dan dunia—mereka semua berharap menjadi orang baik, menempuh jalan yang benar, dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, memungkinkan orang untuk mendapatkan bantuan mereka dan memperoleh manfaat tertentu. Mereka berharap orang-orang yang menerima bantuan akan mengingat siapa yang memberikannya, dan bagaimana mereka memperoleh manfaat dari bantuan tersebut. Tentu saja, mereka juga berharap ketika mereka sendiri sedang membutuhkan, akan ada orang yang bisa membantu mereka. Di satu sisi, ketika orang membutuhkan bantuan, mereka berharap ada orang-orang yang akan menunjukkan kasih sayang kepada mereka; di sisi lain, mereka berharap ketika orang-orang yang menunjukkan kasih sayang itu mengalami masa-masa sulit, mereka juga akan mendapatkan bantuan yang mereka perlukan. Orang-orang mempunyai harapan seperti ini terhadap masyarakat dan dunia—sebenarnya, tujuan utama mereka adalah agar manusia hidup di tengah masyarakat yang harmonis, damai, dan stabil. Bagaimana harapan ini bisa muncul? Harapan dan pernyataan terkait ini telah[a] muncul dengan sendirinya karena orang tidak merasa aman dan bahagia dalam lingkungan sosial seperti ini. Oleh karena itu, orang-orang mulai menilai perilaku moral orang dan keluhuran karakter mereka berdasarkan apakah mereka membalas kebaikan orang lain atau tidak, dan pepatah "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", yang merupakan standar untuk menilai perilaku moral orang, muncul karena keadaan ini. Bukankah penyebab munculnya pepatah ini sangat aneh? (Ya.) Pada zaman sekarang, manusia tidak mencari dan menerima kebenaran, dan mereka telah menjadi menolak kebenaran. Manusia berada dalam keadaan kacau dan, meskipun hidup berdampingan satu sama lain, mereka semua tidak jelas tentang tanggung jawab apa yang seharusnya mereka emban, kewajiban apa yang seharusnya mereka laksanakan, dan posisi apa yang seharusnya mereka ambil, serta sudut pandang apa yang seharusnya mereka gunakan ketika memandang orang dan hal-hal. Selain itu, orang tidak jelas tentang tanggung jawab dan tugas apa yang mereka miliki terhadap masyarakat dan tidak yakin dari sikap atau perspektif apa mereka harus memandang dan memperlakukan masyarakat. Mereka tidak mempunyai penjelasan dan penilaian yang akurat tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia dan mereka tidak menemukan jalan penerapan yang tepat untuk menentukan bagaimana mereka berperilaku dan bertindak. Dihadapkan dengan dunia yang makin gelap dan menakutkan yang dipenuhi dengan pertengkaran, pembunuhan untuk membalas dendam, perang dan segala macam perlakuan tidak adil, orang merindukan dan menantikan dengan penuh harap kedatangan Sang Juruselamat. Namun, mereka tidak tertarik akan kebenaran dan tak seorang pun secara aktif mencari Tuhan atau pekerjaan-Nya. Sekalipun mereka mendengar perkataan Tuhan, mereka tidak mencarinya, apalagi menerimanya. Semua orang hidup dalam keadaan tak berdaya ini dan semuanya merasa bahwa masyarakat sangat tidak adil dan bahkan tidak aman. Semua orang benar-benar muak terhadap masyarakat ini dan dunia ini dan penuh permusuhan terhadap mereka, tetapi meskipun penuh permusuhan, mereka tetap berharap suatu hari kelak masyarakat akan menjadi lebih baik. Bagi mereka, seperti apakah masyarakat yang lebih baik itu? Mereka membayangkan sebuah masyarakat di mana pertengkaran dan pembunuhan untuk membalas dendam tidak ada lagi, di mana semua orang berinteraksi secara harmonis, tak seorang pun menjadi sasaran penindasan, penderitaan atau belenggu kehidupan, semua orang dapat menjalani kehidupan yang tenang, tidak terkekang, nyaman dan bahagia, berinteraksi secara normal dengan orang lain, memperlakukan mereka dengan adil dan, tentu saja, diperlakukan secara adil oleh orang lain. Namun, karena di dunia ini dan di antara manusia, tidak pernah ada keadilan, yang ada hanyalah pertengkaran dan pembunuhan untuk membalas dendam, dan tidak pernah ada keharmonisan di antara manusia, hal inilah yang selalu terjadi, di periode sejarah mana pun. Dihadapkan dengan konteks dan kondisi masyarakat yang kejam ini, tak seorang pun tahu bagaimana menyelesaikan masalah ini, bagaimana menyelesaikan pertengkaran dan pembunuhan untuk membalas dendam di antara manusia, atau keadaan tidak adil yang muncul di tengah masyarakat. Justru karena kenyataan bahwa masalah-masalah ini ada dan orang tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya, dari pandangan atau sudut pandang apa mereka harus menyelesaikan masalah-masalah tersebut, atau metode apa yang harus mereka gunakan untuk menyelesaikannya, maka visi utopis seperti ini pun muncul dalam pikiran mereka. Dalam visi utopis ini, orang mampu hidup bersama secara harmonis, dan semua orang diperlakukan secara adil oleh masyarakat dan orang-orang di sekitar mereka. Semua orang berharap bahwa "rasa hormat orang terhadap orang lain akan dikembalikan sepuluh kali lipat; jika kau membantuku, aku akan membalasmu; dan ketika kau membutuhkan bantuan, akan ada banyak orang di tengah masyarakat yang dapat memberikan bantuan dan memenuhi tanggung jawab sosial mereka; dan ketika aku membutuhkan bantuan, mereka yang sebelumnya mendapat manfaat dari bantuanku akan datang untuk membantuku. Seperti inilah seharusnya sebuah masyarakat, di mana orang-orang saling membantu." Orang-orang yakin bahwa hanya dengan cara seperti inilah manusia dapat hidup bahagia, harmonis, dan hidup di tengah masyarakat yang stabil dan damai. Hanya dengan cara seperti inilah, mereka yakin, pertengkaran di antara manusia dapat dilenyapkan dan diselesaikan sepenuhnya. Mereka mengira begitu masalah-masalah ini diselesaikan, harapan dan cita-cita yang mereka miliki di lubuk hati mereka mengenai kehidupan bermasyarakat manusia akan terwujud.
Di tengah masyarakat di antara orang-orang tidak percaya ada sebuah lagu populer berjudul "Esok akan Lebih Baik". Orang selalu berharap segala sesuatu akan menjadi lebih baik di masa depan—tidak ada yang salah dengan harapan tersebut—tetapi, sebenarnya, akankah esok segala sesuatunya menjadi lebih baik? Tidak, ini tidak mungkin; segala sesuatu akan menjadi makin buruk karena manusia menjadi makin jahat dan dunia menjadi makin gelap. Di antara manusia, bukan saja makin sedikit orang yang membalas kebaikan yang diterimanya dengan rasa syukur, tetapi juga, makin banyak orang yang tidak tahu berterima kasih dan membalas kebaikan dengan kejahatan. Sebaliknya, inilah kenyataan dari situasi yang terjadi sekarang ini. Bukankah ini fakta? (Ya.) Bagaimana segala sesuatunya bisa menjadi seperti ini? Mengapa standar perilaku moral "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", yang dianjurkan oleh kaum moralis, pendidik, dan sosiolog, belum menghasilkan dampak yang mampu mengekang manusia? (Karena manusia memiliki watak yang rusak.) Karena manusia memiliki watak yang rusak. Namun, apakah kaum moralis, pendidik, dan sosiolog itu mengetahui hal itu? (Tidak.) Mereka tidak tahu bahwa sumber penyebab pembunuhan untuk membalas dendam dan pertengkaran di antara manusia bukanlah disebabkan oleh masalah perilaku moral mereka, melainkan disebabkan karena watak rusak mereka. Manusia tidak tahu standar apa yang berdasarkannya mereka seharusnya berperilaku. Dengan kata lain, mereka tidak tahu cara berperilaku yang benar, dan tidak tahu apa sebenarnya prinsip dan cara berperilaku. Selain itu, semua manusia memiliki watak rusak dan natur Iblis, hidup demi keuntungan, dan mendahulukan kepentingan mereka sendiri di atas segalanya. Akibatnya, masalah pembunuhan untuk membalas dendam dan pertengkaran di antara manusia menjadi makin serius. Dapatkah manusia rusak seperti itu mematuhi standar perilaku moral seperti "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur"? Karena manusia telah kehilangan nalar dan hati nurani mereka yang paling dasar sekalipun, bagaimana mungkin mereka dapat dengan rasa syukur membalas kebaikan yang mereka terima? Tuhan selama ini selalu membimbing manusia, menyiapkan segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, memberikan sinar matahari, udara, makanan, air, dan sebagainya, tetapi berapa banyak di antara mereka yang bersyukur kepada-Nya? Berapa banyak di antara mereka yang mampu merasakan kasih sejati Tuhan kepada manusia? Ada banyak orang percaya yang, meskipun telah menikmati begitu banyak kasih karunia Tuhan, menjadi marah, mencaci Tuhan, dan mengeluh bahwa Tuhan tidak adil, begitu Tuhan tidak mengabulkan keinginan mereka satu atau dua kali. Bukankah seperti inilah sikap manusia? Sekalipun ada orang-orang tertentu yang mampu membalas kebaikan yang mereka terima dari orang tertentu dengan rasa syukur, masalah apa yang akan diselesaikan dengan orang bersikap seperti itu? Tentu saja, orang-orang yang menganjurkan pepatah tentang perilaku moral ini mempunyai niat baik—mereka hanya dimotivasi oleh harapan bahwa manusia mampu menyelesaikan permusuhan mereka, menghindari konflik, saling membantu, hidup dalam keharmonisan, saling memberikan pengaruh yang memperbaiki, memperlihatkan keramahan kepada satu sama lain, dan bersatu untuk saling membantu pada saat dibutuhkan. Betapa indahnya masyarakat jika manusia bisa masuk ke dalam keadaan seperti itu, tetapi sayang sekali, masyarakat seperti itu tidak akan pernah ada, karena masyarakat hanyalah kumpulan dari semua manusia yang rusak di dalamnya. Karena kerusakan manusia, masyarakat menjadi makin gelap dan jahat, dan cita-cita manusia untuk hidup di tengah masyarakat yang harmonis tidak akan pernah tercapai. Mengapa cita-cita akan keberadaan masyarakat yang seperti ini tidak pernah tercapai? Dari sudut pandang fundamental dan teoretis, masyarakat seperti itu tidak dapat dicapai karena watak rusak manusia. Sebenarnya, perilaku baik yang sesaat, tindakan moral yang baik yang hanya dilakukan sekali saja, dan kasih, bantuan, dukungan yang ditunjukkan kepada orang lain, dan sebagainya yang bersifat sementara sama sekali tidak dapat membereskan watak rusak manusia. Tentu saja, yang jauh lebih penting, hal-hal ini tidak dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana orang harus berperilaku dan bagaimana mereka seharusnya menempuh jalan hidup yang benar. Mengingat bahwa masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan, mungkinkah masyarakat ini akan mencapai keadaan harmonis yang orang-orang idamkan dan harapkan? Cita-cita seperti ini pada dasarnya hanyalah khayalan, dan kemungkinan terjadinya sangat kecil. Dengan menganjurkan ajaran moral dan mendidik masyarakat, kaum moralis ini berusaha mendorong mereka untuk menggunakan perilaku moral yang baik untuk membantu orang lain dan memberikan pengaruh korektif terhadap orang lain, dengan tujuan memengaruhi dan memperbaiki masyarakat. Namun, apakah gagasan dan cita-cita mereka ini benar atau salah? Tentu saja salah dan tidak dapat diwujudkan. Mengapa Kukatakan demikian? Karena mereka hanya memahami perilaku, pemikiran dan sudut pandang manusia, serta perilaku moral, tetapi sama sekali tidak memiliki pemahaman mengenai masalah yang lebih mendalam seperti esensi manusia, watak rusak manusia, sumber kerusakan manusia, dan cara membereskan watak rusak manusia. Akibatnya, mereka menganjurkan standar perilaku moral yang bodoh seperti "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur". Kemudian, mereka berharap untuk menggunakan pepatah semacam ini, standar perilaku moral semacam ini, untuk memengaruhi manusia, memengaruhi generasi demi generasi, mengubah standar perilaku manusia, dan mengubah arah dan tujuan perilaku manusia, sekaligus secara berangsur mengubah iklim sosial, dan mengubah hubungan di antara manusia dan hubungan di antara penguasa dan yang dikuasai. Mereka yakin bahwa begitu hubungan ini berubah, masyarakat tidak akan lagi bersikap tidak adil dan penuh dengan pertengkaran, permusuhan, dan pembunuhan. Hal ini akan memberikan banyak manfaat bagi rakyat jelata, yang akan memperoleh lingkungan hidup sosial yang adil, dan menjalani kehidupan yang relatif lebih puas. Namun, penerima manfaat terbesar bukanlah rakyat jelata, melainkan para penguasa, kelas penguasa, dan para bangsawan di setiap zaman. Mereka yang disebut tokoh-tokoh besar dan orang bijak yang terus-menerus menganjurkan doktrin-doktrin moral menggunakan doktrin-doktrin moral ini, yang dianggap oleh manusia sebagai sesuatu yang relatif luhur dan sesuai dengan kemanusiaan dan kepekaan hati nurani mereka, untuk mendidik dan memengaruhi orang, dan untuk mengubah sudut pandang moral mereka, sehingga mereka dengan rela hati akan hidup dalam lingkungan sosial yang beradab atau memiliki standar moral tertentu. Di satu sisi, standar moral ini bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari rakyat jelata, karena membuat lingkungan sosial di mana mereka hidup menjadi lebih harmonis, damai, dan beradab. Di sisi lain, standar moral ini juga menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan bagi para penguasa untuk mengendalikan rakyatnya. Pepatah yang menyampaikan standar perilaku moral ini sesuai dengan ide dan gagasan kebanyakan orang, dan juga sesuai dengan visi utopis orang tentang masa depan yang gemilang. Tentu saja, tujuan utama mereka dalam menganjurkan pepatah ini adalah untuk menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan bagi para penguasa untuk memerintah. Dalam kondisi seperti itu, rakyat jelata tidak akan menimbulkan masalah, akan hidup dalam keharmonisan dan tanpa konflik, dan semua rakyat akan mampu dengan rela mematuhi standar moral yang mengatur perilaku sosial. Sederhananya, maksud dari menganjurkan pepatah-pepatah ini adalah agar rakyat yang diperintah negara, yaitu rakyat jelata, bertindak dengan taat dan benar di bawah batasan standar moral masyarakat, belajar untuk menaati peraturan, dan menjadi warga negara yang patuh. Bukankah para penguasa akan merasa tenang dan tenteram? Jika para penguasa tidak perlu khawatir akan bangkitnya rakyat melawan mereka dan merebut kekuasaan mereka, bukankah hal ini akan menghasilkan apa yang disebut sebagai masyarakat yang harmonis? Bukankah hal ini akan memperkuat kekuatan politik para penguasa? Ini pada dasarnya adalah asal muasal pernyataan moral dan konteks di mana pernyataan tersebut muncul. Bahasa halusnya, agar dapat mengatur tindakan dan perilaku moral rakyatlah maka beberapa standar dasar moralitas sosial dirumuskan untuk mereka. Dengan kata lain, pepatah ini adalah demi kepentingan individu; pada dasarnya pepatah ini sebenarnya dianjurkan demi stabilitas masyarakat dan negara, dan untuk memungkinkan para penguasa memerintah untuk jangka waktu yang lama, untuk selama-lamanya. Inilah tujuan sebenarnya dari mereka yang disebut kaum moralis ketika menganjurkan budaya tradisional. Para penguasa sebenarnya tidak peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, dan sekalipun mereka tampaknya peduli, mereka hanya melakukannya demi menjaga stabilitas kekuasaan politik mereka. Mereka hanya peduli pada kebahagiaan mereka sendiri, stabilitas kekuasaan dan status mereka, kemampuan mereka untuk mengendalikan masyarakat selamanya dan kemungkinan untuk menguasai lebih banyak negara, dengan tujuan akhir untuk menguasai seluruh dunia. Inilah motif dan niat para raja setan. Sebagai contoh, ada orang-orang yang berkata: "Kami berasal dari keturunan petani, yang bekerja sebagai buruh tani untuk jangka waktu lama dan bekerja untuk tuan tanah dan tidak pernah memiliki tanah kami sendiri. Sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Partai Komunis menggulingkan para tuan tanah dan kaum kapitalis, memberi kami sebidang tanah milik kami sendiri, dan kami berubah dari petani menjadi pemilik. Kami berutang segalanya kepada Partai Komunis, mereka adalah penyelamat rakyat Tiongkok, dan kami harus membalas kebaikan mereka dengan rasa syukur dan tidak bersikap tak tahu berterima kasih. Ada orang-orang tertentu yang ingin bangkit melawan Partai Komunis—betapa tidak tahu berterima kasihnya mereka! Bukankah mereka sedang membalas kebaikan dengan kejahatan? Orang seharusnya memiliki nurani dan tidak boleh melupakan asal-usul mereka!" Maksud sebenarnya dari pernyataan ini adalah seperti apa pun lingkungan tempat engkau hidup saat ini, perlakuan apa pun yang kaualami, entah hak asasi manusiamu terjamin atau tidak, atau entah hakmu untuk hidup terancam atau dirampas, engkau harus selalu ingat untuk membalas kebaikan yang telah kauterima dengan rasa syukur dan tidak melupakan asal-usulmu. Engkau tidak boleh bersikap seperti orang jahat yang tidak tahu berterima kasih dan engkau harus terus-menerus membalas kebaikan mereka tanpa mengharapkan imbalan. Bukankah orang-orang semacam itu masih hidup sebagai budak? Mereka menganggap bahwa dahulu mereka adalah budak dari tuan tanah dan kaum kapitalis, tetapi apakah kaum kapitalis dan tuan tanah itu benar-benar mengeksploitasi rakyat jelata? Apakah kondisi para petani pada saat itu benar-benar lebih buruk dibandingkan dengan rakyat pada zaman sekarang? Tidak, ini adalah kebohongan yang dikarang oleh Partai Komunis. Fakta dan kenyataan yang ada kini mulai terungkap sedikit demi sedikit. Pernyataan mereka bahwa kaum kapitalis mengeksploitasi begitu banyak rakyat jelata dan kisah "Gadis Berambut Putih" semuanya adalah rekayasa dan kebohongan—tidak ada satu pun yang benar. Apa tujuan dari rekayasa dan kebohongan ini? Untuk membuat rakyat membenci para tuan tanah dan kaum kapitalis dan agar mereka terus-menerus memuji Partai Komunis dan tunduk kepada mereka untuk selamanya. Dahulu, banyak orang menyanyikan lagu "Tanpa Partai Komunis, Tidak akan Ada Tiongkok Baru". Lagu ini dinyanyikan di setiap sudut negara Tiongkok selama beberapa puluh tahun, tetapi sekarang tak seorang pun menyanyikannya. Ada terlalu banyak contoh rekayasa dan kebohongan Partai Komunis, yang semuanya bertentangan dengan fakta-fakta objektifnya. Sekarang ada orang-orang yang menyingkapkan kebenaran secara terbuka untuk memperlihatkan kenyataan yang sebenarnya kepada semua orang. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia, apa pun zamannya, standar perilaku moral "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" selalu memiliki tingkat efektivitas dalam mengekang perilaku orang dan menjadi tolok ukur kemanusiaan orang. Tentu saja, dampak yang lebih penting dari pepatah semacam itu adalah bahwa pepatah tersebut digunakan untuk membantu para penguasa memperkuat kekuasaan mereka atas rakyat. Dalam artian tertentu, pepatah ini dapat dikatakan berfungsi sebagai jalan untuk mengekang tindakan dan perilaku moral orang, membuat orang memikirkan dan memandang masalah dalam lingkup standar perilaku moral ini dan kemudian membuat penilaian dan pilihan berdasarkan standar tersebut. Standar perilaku moral ini tidak menasihati orang untuk memenuhi semua tanggung jawab yang seharusnya orang penuhi, baik kepada keluarga mereka maupun kepada masyarakat pada umumnya, tetapi sebaliknya, itu sangat melanggar norma-norma dan keinginan kemanusiaan yang normal, standar ini secara paksa mengatur orang tentang apa yang harus mereka pikirkan dan bagaimana memikirkannya, apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Pepatah ini bertindak sebagai semacam metode dan batasan yang tak kasatmata untuk menuntun, mengekang, dan membelenggu orang serta mengatur mereka tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya mereka lakukan. Tujuan dianjurkannya pepatah ini adalah untuk menggunakan opini publik dan standar moralitas sosial untuk memengaruhi pemikiran orang, sudut pandang, dan cara mereka berperilaku dan bertindak.
Pernyataan tentang perilaku moral seperti "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" tidak memberi tahu orang apa sebenarnya tanggung jawab mereka di tengah masyarakat dan di antara umat manusia. Sebaliknya, pernyataan itu adalah cara mengikat atau memaksa orang untuk bertindak dan berpikir dengan cara tertentu, tanpa memedulikan apakah mereka ingin melakukannya atau tidak, dan tanpa memedulikan keadaan atau konteks ketika tindakan kebaikan tersebut dilakukan terhadap kepada mereka. Ada banyak contoh di Tiongkok kuno tentang kebaikan yang dibalas. Sebagai contoh, seorang pengemis kecil yang kelaparan dipelihara oleh sebuah keluarga yang memberinya makan, pakaian, melatihnya dalam seni bela diri, dan mengajarinya segala macam pengetahuan. Mereka menunggu sampai anak laki-laki itu tumbuh dewasa, dan kemudian mulai menggunakannya sebagai sumber penghasilan, mengutusnya untuk melakukan kejahatan, membunuh orang, melakukan hal-hal yang tidak ingin dia lakukan. Jika engkau melihat kisah hidupnya berdasarkan semua bantuan yang dia terima, maka dirinya diselamatkan adalah hal yang baik. Namun, jika engkau mempertimbangkan apa yang terpaksa dilakukannya di kemudian hari, apakah diselamatkan sebenarnya hal yang baik atau buruk? (Buruk.) Namun, di bawah tuntutan budaya tradisional seperti "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", orang tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Di luarnya, kelihatannya anak itu tak punya pilihan selain melakukan hal-hal jahat dan menyakiti orang, menjadi pembunuh—hal-hal yang tidak ingin dilakukan kebanyakan orang. Namun, bukankah fakta bahwa dia melakukan hal-hal buruk ini dan membunuh atas perintah tuannya, berasal dari keinginan di lubuk hatinya untuk membalas kebaikan tuannya? Terutama karena tuntutan budaya tradisional Tiongkok, seperti "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", orang mau tak mau dipengaruhi dan dikendalikan oleh gagasan-gagasan ini. Cara mereka bertindak, dan niat serta motivasi di balik tindakan ini tentunya dikendalikan oleh semua gagasan ini. Ketika anak itu ditempatkan dalam situasi itu, apa yang pertama kali dia pikirkan? "Aku telah diselamatkan oleh keluarga ini, dan mereka telah bersikap baik kepadaku. Aku tak boleh melupakan kebaikan mereka, aku harus membalas kebaikan mereka. Aku berutang hidupku kepada mereka, jadi aku harus membaktikan hidupku untuk mereka. Aku harus melakukan apa pun yang mereka minta dariku, sekalipun itu berarti melakukan kejahatan dan membunuh orang. Aku tak boleh mempertimbangkan apakah itu benar atau salah, aku hanya harus membalas kebaikan mereka. Apakah aku masih layak disebut manusia jika aku tidak membalas kebaikan mereka?" Akibatnya, setiap kali keluarganya ingin dia membunuh seseorang atau melakukan sesuatu yang buruk, dia melakukannya tanpa ragu-ragu ataupun keberatan. Jadi, bukankah perilaku, tindakan, dan ketaatannya yang tak perlu dipertanyakan lagi, semuanya dikendalikan oleh gagasan dan pandangan bahwa "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur"? Bukankah dia sedang memenuhi standar perilaku moral tersebut? (Ya.) Apa yang bisa kaupahami dari contoh ini? Apakah pepatah "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" adalah hal yang baik, atau tidak? (Tidak, tidak ada prinsip di dalamnya.) Sebenarnya, orang yang membalas kebaikan memang punya prinsip. Yakni, bahwa kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur. Jika seseorang melakukan kebaikan kepadamu, engkau harus membalasnya. Jika engkau tidak membalasnya, berarti engkau bukan manusia dan tidak ada yang dapat kaukatakan jika engkau dikutuk karenanya. Pepatah yang berbunyi: "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan", tetapi dalam kasus ini, anak laki-laki itu bukan menerima tindakan kebaikan yang sedikit, melainkan kebaikan yang menyelamatkan nyawa, jadi sangat beralasan baginya untuk membalas kebaikan itu dengan nyawanya. Dia tidak tahu apa batasan atau prinsip membalas kebaikan. Dia percaya bahwa hidupnya telah diberikan kepadanya oleh keluarga itu, jadi dia harus mengabdikan hidupnya kepada mereka sebagai balasannya, dan melakukan apa pun yang mereka minta darinya, termasuk membunuh atau perbuatan jahat lainnya. Cara membalas kebaikan ini tidak memiliki prinsip atau batasan. Dia melayani sebagai kaki tangan para pelaku kejahatan dan menghancurkan dirinya sendiri selama prosesnya. Apakah benar baginya untuk membalas kebaikan dengan cara ini? Tentu saja tidak. Itu adalah cara bertindak yang bodoh. Memang benar bahwa keluarga ini telah menyelamatkan dirinya dan membiarkannya terus hidup, tetapi harus ada prinsip, batasan, dan sikap yang tidak berlebihan dalam membalas kebaikan orang. Mereka menyelamatkan nyawanya, tetapi tujuan hidupnya bukanlah untuk melakukan kejahatan. Makna dan nilai hidup serta misi manusia bukanlah untuk melakukan kejahatan dan membunuh, dan dia tidak boleh hidup semata-mata hanya untuk membalas kebaikan. Anak laki-laki itu telah secara keliru meyakini bahwa makna dan nilai hidupnya adalah untuk membalas kebaikan yang diterimanya dengan rasa syukur. Ini adalah kesalahpahaman yang serius. Bukankah inilah akibatnya jika orang dipengaruhi oleh standar perilaku moral, "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur"? (Ya.) Apakah dia telah disesatkan oleh pengaruh pepatah tentang membalas kebaikan ini, ataukah telah menemukan jalan yang benar dan prinsip penerapan? Jelas sekali dia telah disesatkan—ini sangat jelas. Jika standar perilaku moral ini tidak ada, apakah orang akan mampu membuat penilaian dalam kasus-kasus sederhana mengenai benar dan salah? (Ya.) Anak laki-laki itu pasti akan berpikir: "Keluarga ini mungkin telah menyelamatkanku, tetapi tampaknya mereka melakukannya demi bisnis dan masa depan mereka. Aku hanyalah alat yang dapat mereka gunakan untuk menyakiti atau membunuh siapa pun yang mengganggu atau menghambat bisnis mereka. Inilah alasan sebenarnya mereka menyelamatkanku. Mereka menyelamatkanku dari ambang kematian hanya untuk membuatku melakukan kejahatan dan pembunuhan—bukankah mereka hanya mengirimku ke neraka? Bukankah ini akan membuatku jauh lebih menderita? Jika demikian, lebih baik mereka tidak menyelamatkanku dan membiarkanku mati saja. Mereka tidak benar-benar menyelamatkanku!" Keluarga ini tidak menyelamatkan pengemis kecil itu karena dorongan untuk melakukan kebaikan dan untuk memungkinkannya untuk hidup dengan lebih baik, mereka menyelamatkannya hanya untuk mendapatkan kendali atas dirinya dan membuatnya melukai, mencelakakan, dan membunuh orang lain. Jadi, apakah mereka sebenarnya sedang berbuat baik ataukah berbuat jahat? Mereka jelas-jelas sedang berbuat jahat, bukan berbuat baik—para dermawan ini telah menjadi orang jahat. Apakah orang jahat layak menerima imbalan? Haruskah mereka diberi imbalan? Tentu saja tidak. Jadi, begitu engkau tahu bahwa mereka jahat, apa yang seharusnya kaulakukan? Engkau harus menjauh dari mereka, menghindari mereka, dan mencari cara untuk melarikan diri dari mereka. Ini adalah tindakan yang bijak. Ada orang-orang yang mungkin berkata: "Orang-orang jahat ini telah mengendalikanku, jadi tak mudah untuk melarikan diri dari mereka. Mustahil bagiku untuk melarikan diri!" Sering kali, inilah konsekuensinya jika orang membalas kebaikan yang diterima dengan rasa syukur. Karena orang baik terlalu sedikit dan orang jahat begitu banyak, jika engkau kebetulan bertemu dengan orang baik, engkau boleh saja membalas kebaikannya, tetapi engkau jika jatuh ke tangan orang jahat, itu sama saja dengan jatuh ke tangan Iblis si setan. Mereka akan bersekongkol melawanmu dan mempermainkanmu, dan tidak ada hal yang baik jika jatuh ke tangan mereka. Ada terlalu banyak contoh mengenai hal ini di sepanjang sejarah. Kini setelah engkau tahu bahwa membalas kebaikan yang diterima dengan rasa syukur bukanlah standar yang sah dalam hal caramu berperilaku dan bertindak, bagaimana seharusnya engkau bertindak jika seseorang melakukan kebaikan kepadamu? Bagaimana pandanganmu mengenai hal ini? (Siapa pun yang membantu kita, kita harus memutuskan apakah akan menerima bantuan mereka atau tidak berdasarkan situasinya. Dalam kasus tertentu, kita boleh menerima bantuan, tetapi dalam kasus lain, kita tidak boleh begitu saja menerima bantuan mereka. Jika kita akhirnya menerima bantuan, kita tetap harus berprinsip dan membuat batasan mengenai cara kita membalas kebaikan mereka, agar tidak tertipu atau dimanfaatkan oleh orang jahat.) Ini adalah cara yang sesuai dengan prinsip ketika menghadapi situasi tersebut. Selain itu, jika engkau tidak dapat memahami situasinya dengan jelas atau menghadapi jalan buntu, engkau harus berdoa kepada Tuhan dan memohon agar Dia membukakan jalan bagimu. Ini akan membuatmu terhindar dari pencobaan dan terlepas dari cengkeraman Iblis. Terkadang, Tuhan akan memakai pelayanan Iblis untuk membantu manusia, tetapi kita harus pastikan bahwa kepada Tuhanlah kita harus bersyukur dalam kasus-kasus seperti itu dan tidak membalas kebaikan Iblis—ini adalah masalah prinsip. Ketika pencobaan datang dalam wujud orang jahat yang melakukan kebaikan kepadamu, engkau harus terlebih dahulu jelas tentang siapa sebenarnya yang sedang membantumu dan memberimu bantuan, bagaimana situasimu sendiri, dan apakah ada jalan lain yang dapat kautempuh. Engkau harus menangani kasus-kasus seperti ini dengan cara yang fleksibel. Jika Tuhan ingin menyelamatkanmu, pelayanan siapa pun yang Dia pakai untuk mencapainya, engkau harus terlebih dahulu bersyukur kepada Tuhan dan menerima bahwa hal itu adalah dari Tuhan. Engkau tidak boleh memberikan rasa syukurmu hanya kepada manusia, apalagi mempersembahkan hidupmu kepada seseorang sebagai ucapan syukur. Ini adalah kesalahan besar. Yang terpenting adalah hatimu harus bersyukur kepada Tuhan, dan engkau menerima bahwa hal itu adalah dari Tuhan. Jika orang yang melakukan kebaikan kepadamu, membantumu, atau menyelamatkanmu adalah orang baik, maka engkau harus membalas kebaikannya, tetapi engkau hanya boleh melakukan apa yang mampu kaulakukan sesuai kemampuanmu. Jika orang yang membantumu memiliki niat yang salah dan ingin membuat rencana jahat terhadapmu dan memanfaatkanmu untuk mencapai tujuannya sendiri, maka apa pun yang terjadi, engkau tidak perlu membalas kebaikannya. Singkatnya, Tuhan memeriksa hati manusia, jadi selama hati nuranimu tidak menuduhmu dan engkau memiliki motivasi yang benar, melakukannya tidak menjadi masalah. Dengan kata lain, jika engkau belum memahami kebenaran, tindakanmu setidaknya harus sesuai dengan hati nurani dan nalar manusia. Engkau harus mampu memperlakukan situasi ini secara wajar sehingga kelak engkau tidak akan pernah menyesali tindakanmu. Engkau semua sudah dewasa dan telah melewati banyak hal di negeri si naga merah yang sangat besar—bukankah sudah banyak penindasan, penganiayaan, penyiksaan, atau penghinaan yang kaualami dalam hidupmu? Engkau semua sudah melihat dengan jelas betapa manusia telah dirusak sedemikian dalamnya, jadi apa pun pencobaan yang kauhadapi, engkau harus menghadapinya dengan berhikmat dan tidak tertipu oleh rencana jahat Iblis. Apa pun situasi yang mungkin kauhadapi, engkau harus mencari kebenaran dan hanya mengambil keputusan setelah memahami prinsip-prinsip melalui doa dan persekutuan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, gereja telah melakukan pekerjaan pembersihan dan banyak orang jahat, pengikut yang bukan orang percaya, dan antikristus telah disingkapkan dan dikeluarkan atau diusir. Kebanyakan orang tidak pernah menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Mengingat bahwa bahkan di dalam gereja masih sangat banyak orang yang bingung, orang yang jahat, dan pengikut yang bukan orang percaya, Kurasa engkau telah tahu dengan jelas betapa rusak dan jahatnya orang tidak percaya, bukan? Tanpa kebenaran dan hikmat, orang tidak akan mampu melihat apa pun dengan jelas dan hanya akan ditipu dan diperdaya, serta dipermainkan oleh orang jahat dan Iblis. Dengan demikian, mereka menjadi antek-antek Iblis. Mereka yang tidak memahami kebenaran dan tidak memiliki prinsip hanya akan melakukan hal-hal yang bodoh.
Ketika ada orang-orang yang berada dalam kesulitan atau bahaya dan kebetulan menerima bantuan dari orang jahat yang memungkinkan mereka untuk melepaskan diri dari kesulitan atau bahaya tersebut, mereka mulai meyakini bahwa orang jahat tersebut adalah orang baik dan mereka bersedia melakukan sesuatu bagi mereka untuk memperlihatkan rasa terima kasih mereka. Namun, dalam kasus seperti ini, orang jahat itu akan berusaha melibatkan mereka dalam perbuatan jahatnya dan memanfaatkan mereka untuk melakukan perbuatan buruk. Jika mereka tidak mampu menolak, maka hal itu bisa menjadi berbahaya. Ada orang-orang semacam itu yang akan mengalami dilema dalam situasi seperti ini, karena mereka menganggap jika mereka tidak membantu teman mereka yang jahat untuk melakukan beberapa perbuatan buruk, itu akan tampak seolah-olah mereka tidak cukup saling memberi dalam persahabatan ini, tetapi mereka tahu bahwa melakukannya bertentangan dengan hati nurani dan nalar mereka. Dengan demikian, mereka pun terjebak dalam dilema ini. Inilah akibatnya jika orang dipengaruhi oleh gagasan dalam budaya tradisional tentang membalas kebaikan—mereka menjadi dibelenggu, diikat, dan dikendalikan oleh gagasan ini. Dalam banyak kasus, pepatah dari budaya tradisional ini menggantikan kepekaan hati nurani dan penilaian normal manusia; tentu saja, hal-hal tersebut juga memengaruhi cara berpikir normal manusia dan pengambilan keputusan yang benar. Gagasan tentang budaya tradisional telah secara keliru dan secara langsung memengaruhi pandangan manusia terhadap segala sesuatu, menyebabkan mereka menentukan pilihan yang salah. Dari zaman kuno hingga zaman sekarang, banyak sekali orang yang telah dipengaruhi oleh gagasan, pandangan, dan standar perilaku moral tentang membalas kebaikan ini. Sekalipun orang yang melakukan kebaikan kepada mereka adalah orang jahat dan orang yang memaksa mereka untuk melakukan perbuatan jahat dan perbuatan buruk, mereka tetap saja melawan hati nurani dan nalar mereka sendiri, mematuhi mereka secara membabi buta untuk membalas kebaikan mereka, sehingga menimbulkan banyak bencana. Dapat dikatakan bahwa karena telah dipengaruhi, dibelenggu, dikekang, dan diikat oleh standar perilaku moral ini, banyak orang dengan membabi buta dan secara keliru mematuhi pandangan tentang membalas kebaikan ini, dan bahkan cenderung membantu dan bersekongkol dengan orang jahat. Sekarang setelah engkau semua mendengar persekutuan-Ku, engkau memiliki gambaran yang jelas tentang situasi ini dan mengetahui dengan pasti bahwa ini adalah kesetiaan yang bodoh, dan bahwa orang yang berperilaku seperti ini berarti sedang berperilaku tanpa membuat batasan apa pun, dan dengan ceroboh membalas kebaikan tanpa kearifan sedikit pun, dan bahwa berperilaku seperti ini tidak bermakna dan tidak berharga. Karena orang-orang takut dikecam oleh opini publik atau dikutuk oleh orang lain, mereka dengan enggan mengabdikan hidup mereka untuk membalas kebaikan orang lain, bahkan dengan mengorbankan nyawa mereka selama prosesnya, dan ini merupakan cara bertindak yang sangat keliru dan bodoh. Pepatah budaya tradisional ini bukan saja membelenggu cara berpikir orang, tetapi juga memberikan beban dan ketidaknyamanan yang tidak perlu pada kehidupan mereka dan membebani keluarga mereka dengan penderitaan dan beban tambahan. Banyak orang telah membayar harga yang mahal agar dapat membalas kebaikan yang mereka terima—mereka memandang membalas kebaikan sebagai tanggung jawab sosial atau tugas mereka sendiri dan mereka bahkan bisa saja menghabiskan seluruh hidup mereka untuk membalas kebaikan orang lain. Mereka yakin bahwa membalas kebaikan adalah hal yang sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, sebuah tugas yang wajib dilakukan. Bukankah sudut pandang dan cara bertindak ini bodoh dan tidak masuk akal? Ini sepenuhnya memperlihatkan betapa bodoh dan butanya orang-orang. Bagaimanapun juga, pepatah tentang perilaku moral—kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur—ini mungkin sesuai dengan gagasan orang, tetapi pepatah ini tidak sesuai dengan prinsip kebenaran. Pepatah ini tidak sesuai dengan firman Tuhan dan merupakan pandangan dan cara bertindak yang salah.
Mengingat bahwa membalas kebaikan tidak ada kaitannya dengan kebenaran dan tuntutan Tuhan terhadap manusia, dan telah menjadi sasaran kritik kita, bagaimana sebenarnya Tuhan memandang pepatah ini? Pandangan dan tindakan seperti apa yang seharusnya orang normal lakukan dalam menanggapi pepatah ini? Apakah engkau semua sudah jelas mengenai hal ini? Jika seseorang telah melakukan kebaikan yang sangat bermanfaat untukmu atau melakukan kebaikan besar kepadamu, haruskah engkau membalasnya? Bagaimana seharusnya engkau menghadapi situasi seperti ini? Bukankah ini adalah masalah bagaimana pandangan orang mengenai hal ini? Ini adalah masalah pandangan orang dan jalan penerapan mereka. Katakan kepada-Ku bagaimana pandanganmu mengenai hal ini—jika seseorang berbuat baik kepadamu, haruskah engkau membalasnya? Engkau berada dalam masalah jika masih belum juga memahami hal ini. Sebelumnya, engkau semua tidak memahami kebenaran dan engkau membalas kebaikan seolah-olah melakukannya berarti engkau menerapkan kebenaran. Sekarang, setelah mendengarkan analisis dan kritik-Ku, engkau semua telah memahami di mana letak masalahnya, tetapi engkau masih belum tahu bagaimana melakukan penerapan atau menangani masalah ini—apakah engkau masih belum mampu memahami masalah ini? Sebelum engkau memahami kebenaran, engkau hidup berdasarkan hati nuranimu dan siapa pun yang melakukan kebaikan kepadamu atau membantumu, sekalipun mereka adalah orang jahat atau penjahat, engkau pasti akan membalas kebaikan mereka, dan merasa terdorong untuk mengorbankan diri bagi teman-temanmu dan bahkan mempertaruhkan nyawamu untuk mereka. Laki-laki harus menjadi budak bagi para penolong mereka seumur hidup sebagai balasan kepada mereka, sedangkan perempuan harus mengikatkan diri dalam pernikahan dan melahirkan anak-anak bagi mereka—inilah gagasan yang ditanamkan budaya tradisional dalam diri orang, memerintahkan mereka untuk membalas kebaikan yang diterima dengan rasa syukur. Akibatnya, orang-orang berpikir, "Hanya orang yang membalas kebaikanlah yang memiliki hati nurani, dan jika mereka tidak membalas kebaikan, mereka pasti tidak memiliki hati nurani dan tidak manusiawi." Gagasan ini berakar kuat di hati orang. Katakan kepada-Ku, apakah binatang tahu cara membalas kebaikan? (Ya.) Dengan demikian, dapatkah manusia dianggap lebih maju daripada hewan hanya karena mereka tahu cara membalas kebaikan? Dapatkah tindakan manusia yang membalas kebaikan dianggap sebagai tanda bahwa mereka memiliki kemanusiaan? (Tidak.) Jadi, bagaimana seharusnya pandangan orang mengenai hal ini? Bagaimana seharusnya orang memahami hal semacam ini? Setelah memahaminya, bagaimana orang harus memperlakukan hal ini? Semua ini adalah pertanyaan yang harus engkau semua selesaikan pada saat ini. Silakan sampaikan pandanganmu mengenai hal ini. (Jika seseorang benar-benar membantuku menyelesaikan suatu persoalan atau masalah, pertama-tama aku akan berterima kasih kepada mereka dengan tulus, tetapi aku tidak mau dibatasi atau dikendalikan oleh situasi ini. Jika kelak mereka menghadapi kesulitan, aku akan membantu mereka sebatas kemampuanku. Aku akan membantu mereka semampuku, tetapi tidak akan memaksakan diriku melebihi kemampuanku.) Ini adalah pandangan benar dan cara bertindak seperti ini dapat diterima. Ada lagi yang ingin menyampaikan pandangannya mengenai hal ini? (Dahulu, pandanganku adalah jika ada seseorang yang menolongku, aku harus membalas kebaikannya jika dia menghadapi kesulitan. Melalui persekutuan dan analisis Tuhan tentang pandangan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" dan "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", akhirnya aku sadar bahwa orang harus mengikuti prinsip ketika membantu orang lain. Jika seseorang telah berbuat baik kepadaku atau menolongku, hati nuraniku memerintahkanku bahwa aku juga harus membantunya, tetapi bantuan yang kuberikan harus didasarkan pada keadaan dan kemampuanku untuk memberikannya. Selain itu, aku seharusnya hanya membantunya menyelesaikan kesulitannya dan dalam hal kebutuhan hidupnya; aku tidak boleh membantunya melakukan kejahatan atau melakukan perbuatan buruk. Kalau aku melihat ada saudara atau saudari yang mengalami kesulitan, aku akan membantu bukan karena mereka pernah membantuku, tetapi karena itu adalah tugasku, tanggung jawabku.) Ada lagi? (Aku teringat firman Tuhan yang berkata, "Jika ada orang yang berbuat baik kepada kita, kita harus menerima bahwa hal itu adalah dari Tuhan". Dengan kata lain, setiap kali seseorang berbuat baik kepada kita, kita harus menerima bahwa hal itu adalah dari Tuhan dan mampu memperlakukannya dengan benar. Dengan melakukan seperti itu, berarti kita mampu memahami pandangan tentang membalas kebaikan ini dengan benar. Selain itu, Tuhan berfirman bahwa kita harus mengasihi apa yang Tuhan kasihi dan membenci apa yang Tuhan benci. Ketika membantu orang lain, kita harus mengenali apakah orang tersebut adalah seseorang yang Tuhan kasihi atau benci. Ini adalah prinsip yang harus kita patuhi.) Ini berkaitan dengan kebenaran—ini adalah prinsip yang benar dan berdasarkan kebenaran. Sekarang ini, kita tidak akan membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran, tetapi kita akan membahas bagaimana orang seharusnya memperlakukan masalah ini dari sudut pandang kemanusiaan. Sebenarnya, berbagai situasi yang mungkin kauhadapi tidak selalu sesederhana itu—situasi yang kauhadapi tidak selalu terjadi di dalam gereja dan di antara saudara-saudari. Sering kali situasi tersebut terjadi di luar lingkup gereja. Sebagai contoh, seorang kerabat, teman, kenalan, atau rekan kerja yang tidak percaya kepada Tuhan mungkin melakukan kebaikan kepadamu atau membantumu. Jika engkau mampu memperlakukan hal ini dan orang yang membantumu dengan cara yang benar, yaitu dengan cara yang sesuai dengan prinsip kebenaran dan tampaknya pantas bagi orang lain, maka sikapmu terhadap hal ini dan gagasanmu mengenai hal ini akan relatif akurat. Konsep budaya tradisional bahwa "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" perlu dicermati. Bagian terpenting adalah kata "kebaikan"—bagaimana seharusnya engkau memandang kebaikan? Aspek dan natur kebaikan apa yang dimaksud? Apa makna penting "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur"? Orang harus menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dan dalam keadaan apa pun orang tidak boleh dibatasi oleh gagasan tentang membalas kebaikan ini—bagi siapa pun yang mengejar kebenaran, hal ini sangat penting. Apa arti "kebaikan" menurut pemahaman manusia? Pada tingkat yang lebih kecil, kebaikan adalah seseorang membantumu saat engkau berada dalam masalah. Sebagai contoh, seseorang memberimu semangkuk nasi saat engkau sedang lapar, atau sebotol air saat engkau hampir mati kehausan, atau membantumu berdiri saat engkau jatuh dan tidak bisa berdiri. Semua ini adalah tindakan kebaikan. Perbuatan baik yang besar adalah ketika seseorang menyelamatkanmu saat engkau sedang berada dalam kesusahan besar—itu adalah kebaikan yang menyelamatkan nyawamu. Ketika engkau berada dalam bahaya yang mengancam nyawa dan seseorang membantumu terhindar dari kematian, orang itu pada dasarnya menyelamatkan nyawamu. Ini adalah beberapa hal yang orang anggap sebagai "kebaikan". Kebaikan semacam ini jauh melampaui kebaikan materi apa pun—ini adalah kebaikan besar yang tidak dapat diukur dengan uang atau hal-hal materi. Mereka yang menerimanya merasakan semacam rasa terima kasih yang tak mungkin dapat diungkapkan hanya dengan ucapan terima kasih. Namun, tepatkah bagi orang untuk mengukur kebaikan dengan cara seperti ini? (Tidak.) Mengapa menurutmu itu tidak tepat? (Karena pengukuran ini didasarkan pada standar budaya tradisional.) Ini adalah jawaban yang didasarkan pada teori dan doktrin, dan meskipun tampaknya benar, jawaban ini tidak sampai ke inti permasalahannya. Jadi, bagaimana orang bisa menjelaskan hal ini secara praktis? Pikirkan dengan saksama. Beberapa waktu lalu, Aku mendengar tentang video di Internet di mana seorang pria tanpa sadar menjatuhkan dompetnya. Dompet itu diambil oleh seekor anjing kecil yang mengejarnya, dan ketika pria itu melihat ini, dia memukuli anjing itu karena mencuri dompetnya. Tidak masuk akal, bukan? Pria itu memiliki moral yang lebih rendah daripada anjing itu! Tindakan anjing itu sepenuhnya sesuai dengan standar moralitas manusia. Seorang manusia pasti akan berteriak "Kau menjatuhkan dompetmu!" Namun, karena anjing itu tidak bisa berbicara, dia hanya secara diam-diam mengambil dompet itu dan berlari mengejar pria itu. Jadi, jika seekor anjing mampu melakukan beberapa perilaku baik yang didorong oleh budaya tradisional, apa artinya ini bagi manusia? Manusia dilahirkan dengan hati nurani dan nalar, jadi mereka lebih mampu melakukan hal-hal ini. Asalkan seseorang memiliki perasaan hati nurani, dia mampu memenuhi tanggung jawab dan kewajiban semacam ini. Tidak perlu bagimu untuk bekerja keras atau membayar harga, ini hanya membutuhkan sedikit upaya dan hanya merupakan hal melakukan sesuatu yang membantu, sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Namun, apakah natur dari tindakan ini benar-benar memenuhi syarat untuk disebut "kebaikan"? Apakah tindakan ini naik ke tingkat perbuatan baik? (Tidak.) Karena tidak, apakah orang perlu berbicara tentang membalasnya? Tentu saja tidak perlu.
Sekarang, mari kita alihkan perhatian kita pada apa yang manusia sebut sebagai kebaikan. Sebagai contoh, katakanlah ada orang baik yang menyelamatkan seorang pengemis yang tak sadarkan diri karena kelaparan di tengah cuaca bersalju. Dia membawa pengemis itu ke rumahnya, memberinya makanan dan pakaian, dan mengizinkannya tinggal bersama keluarganya dan bekerja untuknya. Entah pengemis itu mau bekerja di sana atas keinginannya sendiri, entah dia mau bekerja di sana untuk membalas kebaikan orang itu atau bukan, apakah tindakan penyelamatan terhadapnya adalah tindakan kebaikan? (Bukan.) Bahkan binatang kecil pun mampu untuk saling membantu dan menyelamatkan. Bagi manusia, hanya dibutuhkan sedikit upaya untuk melakukan perbuatan baik semacam itu, dan siapa pun yang memiliki kemanusiaan akan mampu melakukan hal semacam itu dan mencapainya. Dapat dikatakan bahwa perbuatan semacam itu merupakan tanggung jawab dan kewajiban sosial yang sudah seharusnya dipenuhi oleh siapa pun yang memiliki kemanusiaan. Bukankah apa yang dianggap manusia sebagai ciri kebaikan agak berlebihan? Apakah ini ciri yang tepat? Sebagai contoh, selama masa kelaparan, saat banyak orang tidak memiliki makanan, jika ada orang kaya yang membagikan beras kepada keluarga-keluarga miskin untuk membantu mereka melewati masa sulit ini, bukankah ini hanyalah contoh jenis bantuan dan dukungan moral mendasar yang sudah seharusnya dilakukan di antara manusia? Dia hanya memberi mereka sedikit beras dan bukan memberikan semua persediaan makanannya kepada orang lain hingga dia sendiri kelaparan. Apakah ini dapat dianggap sebagai kebaikan? (Tidak.) Tanggung jawab dan kewajiban sosial yang mampu manusia penuhi, perbuatan-perbuatan yang secara naluri mampu dan sudah sepatutnya manusia lakukan, serta tindakan kebaikan sederhana yang membantu dan bermanfaat bagi orang lain—hal-hal ini sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kebaikan, karena semua itu adalah peristiwa di mana manusia hanya memberi bantuan. Memberi bantuan kepada seseorang yang kebetulan membutuhkannya, pada waktu dan tempat yang tepat, adalah peristiwa yang sangat wajar. Ini juga merupakan tanggung jawab setiap orang di antara umat manusia. Ini hanyalah semacam tanggung jawab dan kewajiban. Tuhan memberikan naluri ini kepada manusia ketika Dia menciptakan mereka. Apa yang Kumaksud dengan naluri di sini? Yang Kumaksud dengan naluri adalah hati nurani dan nalar manusia. Ketika engkau melihat seseorang jatuh terjerembap, reaksi pertamamu secara naluri adalah "Aku harus membantunya berdiri." Jika engkau melihatnya terjatuh tetapi berpura-pura tidak melihatnya, dan engkau tidak menolongnya, hati nuranimu akan merasa tertuduh dan engkau akan merasa tidak nyaman karena telah bertindak seperti ini. Orang yang benar-benar memiliki kemanusiaan akan segera berpikir untuk menolong seseorang yang mereka lihat telah terjatuh. Mereka tidak akan peduli apakah orang tersebut akan berterima kasih atau tidak, karena mereka yakin bahwa ini adalah hal yang sudah seharusnya mereka lakukan, dan mereka tidak perlu lagi mempertimbangkannya. Mengapa demikian? Karena ini adalah naluri yang Tuhan berikan kepada manusia, dan siapa pun yang berhati nurani dan bernalar pasti berpikir untuk menolong orang tersebut dan mampu bertindak seperti ini. Tuhan memberi manusia hati nurani dan hati manusia—karena manusia memiliki hati manusia, maka mereka memiliki pemikiran manusia, dan memiliki sudut pandang dan pendekatan yang sudah sepatutnya ketika mengalami hal-hal tertentu, jadi mereka mampu melakukan hal-hal ini secara alami dan melakukannya dengan mudah. Mereka tidak membutuhkan bantuan atau bimbingan ideologis dari pengaruh luar apa pun, dan mereka bahkan tidak membutuhkan pendidikan atau bimbingan yang positif—mereka tidak membutuhkan semua itu. Sama halnya seperti ketika orang akan mencari makanan saat mereka sedang lapar atau mencari air saat mereka sedang haus—ini adalah naluri manusia dan tidak perlu diajarkan oleh orang tua atau guru—hal itu terjadi secara alami, karena manusia memiliki cara berpikir manusia normal. Demikian juga halnya, manusia mampu melaksanakan tugas dan memenuhi tanggung jawab mereka di rumah Tuhan dan inilah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun yang berhati nurani dan bernalar. Jadi, membantu orang dan bersikap baik kepada mereka cukup mudah bagi manusia, itu berada dalam lingkup naluri manusia, dan sesuatu yang sepenuhnya mampu orang lakukan. Tak perlu menganggap hal ini sama dengan kebaikan. Namun, banyak orang menyamakan bantuan kepada orang lain dengan kebaikan, dan selalu membicarakannya dan selalu membalasnya, mengira jika mereka tidak membalasnya, berarti mereka tidak memiliki hati nurani. Mereka memandang rendah diri mereka sendiri dan membenci diri mereka sendiri, bahkan khawatir akan ditegur oleh pendapat publik. Apakah perlu mengkhawatirkan hal-hal ini? (Tidak.) Ada banyak orang yang tidak mampu mengetahui yang sebenarnya mengenai hal ini, dan selalu dikendalikan oleh masalah ini. Inilah yang dimaksud dengan tidak memahami prinsip-prinsip kebenaran. Sebagai contoh, jika engkau bepergian bersama seorang teman ke padang pasir dan dia kehabisan air minum, engkau pasti akan memberikan sebagian airmu kepadanya, engkau tidak akan membiarkannya mati kehausan begitu saja. Sekalipun engkau tahu bahwa sebotol airmu akan lebih cepat habis jika diminum oleh dua orang, engkau akan tetap membagikan airmu kepada temanmu. Jadi, mengapa engkau melakukan hal itu? Karena engkau tidak tega meminum airmu sementara teman yang bersamamu kehausan—engkau sama sekali tidak tega melihat temanmu kehausan. Apa yang menyebabkanmu tidak tega melihat temanmu kehausan? Perasaan hati nuranimulah yang memunculkan perasaan ini. Sekalipun engkau tidak ingin memenuhi tanggung jawab dan kewajiban seperti ini, hati nuranimu pasti akan membuat dirimu tidak tega sehingga engkau tidak sanggup melakukan hal yang sebaliknya, hati nuranimu pasti akan membuatmu merasa sedih. Bukankah semua ini dihasilkan dari naluri manusia? Bukankah semua ini ditentukan oleh hati nurani dan nalar manusia? Jika temanmu itu berkata, "Aku berutang budi kepadamu karena engkau telah memberiku sebagian airmu dalam keadaan itu!" bukankah keliru baginya berkata seperti itu? Ini sama sekali bukan kebaikan. Jika keadaannya berkebalikan, dan temanmu itu memiliki kemanusiaan, hati nurani, dan nalar, dia juga pasti akan membagikan airnya kepadamu. Ini hanyalah tanggung jawab sosial dasar atau hubungan antar manusia. Hubungan atau tanggung jawab atau kewajiban sosial yang paling dasar ini semuanya muncul karena kepekaan hati nurani manusia, kemanusiaan mereka, dan naluri yang Tuhan karuniakan kepada manusia pada waktu manusia diciptakan. Dalam keadaan normal, hal-hal ini tidak perlu diajarkan oleh orang tua atau ditanamkan oleh masyarakat, apalagi memerlukan nasihat berulang-ulang dari orang lain yang menyuruhmu untuk melakukannya. Pendidikan hanya diperlukan bagi mereka yang tidak memiliki hati nurani dan nalar, bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan kognitif yang normal—sebagai contoh, orang yang keterbelakangan mental atau orang bodoh—atau bagi mereka yang memiliki kualitas yang buruk, dan bagi mereka yang bodoh dan keras kepala. Mereka yang memiliki kemanusiaan normal tidak perlu diajarkan hal-hal ini—semua orang yang berhati nurani dan bernalar memiliki kemampuan untuk melakukannya. Jadi, tidaklah tepat untuk melebih-lebihkan perilaku atau tindakan tertentu sebagai suatu bentuk kebaikan padahal hal itu hanyalah apa yang sewajarnya dilakukan secara naluri dan sesuai dengan hati nurani dan nalar. Mengapa itu tidak tepat? Dengan menganggap perilaku semacam itu sebagai kebaikan, engkau membebani semua orang dengan beban yang berat, dan tentu saja ini memperbudak semua orang. Sebagai contoh, jika di masa lalu, seseorang memberimu uang, membantumu melewati keadaan sulit, membantumu mendapatkan pekerjaan, atau menyelamatkanmu, engkau akan berpikir: "Aku tidak boleh bersikap tak tahu berterima kasih, aku harus berhati nurani dan membalas kebaikannya. Jika aku tidak membalas kebaikan, apakah aku masih manusia?" Sebenarnya, apakah engkau membalasnya atau tidak, engkau tetap manusia dan tetap hidup dalam lingkup kemanusiaan yang normal—perbuatanmu yang membalas kebaikan tersebut tidak akan mengubah apa pun. Kemanusiaanmu tidak akan mengalami perubahan dan watak rusakmu tidak akan dapat ditundukkan hanya karena engkau membalas kebaikannya dengan baik. Demikian pula, watakmu tidak akan makin rusak hanya karena engkau tidak membalas kebaikannya. Fakta apakah engkau membalas dan melakukan kebaikan atau tidak, sama sekali tidak ada kaitannya dengan watak rusakmu. Tentu saja, entah kaitan itu ada atau tidak, bagi-Ku, "kebaikan" semacam ini sama sekali tidak ada, dan Kuharap engkau semua pun menganggapnya demikian. Jadi, bagaimana seharusnya engkau menganggap kebaikan semacam itu? Anggap saja itu sebagai kewajiban dan tanggung jawab, dan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki naluri manusia. Engkau harus memperlakukannya sebagai tanggung jawab dan kewajibanmu sebagai manusia, dan melakukannya sebatas kemampuanmu. Itu saja. Ada orang-orang yang mungkin berkata: "Aku tahu ini adalah tanggung jawabku, tetapi aku tidak mau memenuhinya." Itu juga tidak masalah. Engkau boleh memutuskan sendiri berdasarkan situasi dan keadaanmu. Engkau juga dapat memutuskan dengan lebih fleksibel berdasarkan suasana hatimu pada saat itu. Jika engkau khawatir bahwa setelah memenuhi tanggung jawabmu, si penerima kebaikan akan terus berusaha membalas kebaikanmu, lalu mencarimu, dan mengucapkan terima kasih kepadamu begitu sering sehingga engkau menjadi tidak nyaman dan terganggu, dan sebagai akibatnya, engkau tidak mau memenuhi tanggung jawab itu, itu juga tidak masalah—itu terserah padamu. Ada orang-orang yang akan bertanya: "Apakah orang yang tidak mau memenuhi tanggung jawab sosial semacam ini memiliki kemanusiaan yang buruk?" Seperti inikah cara yang benar untuk menilai kemanusiaan seseorang? (Tidak.) Mengapa cara menilai ini tidak benar? Di tengah masyarakat yang jahat ini, manusia harus mampu menjaga dan mengendalikan perilakunya dan tahu apa yang sepatutnya mereka lakukan. Tentu saja, yang jauh lebih penting lagi adalah mereka harus mengenali lingkungan dan konteks pada saat itu. Sebagaimana orang tidak percaya katakan, di tengah dunia yang kacau ini, orang harus pandai, cerdas, dan bijaksana dalam apa pun yang mereka lakukan—tidak boleh bersikap bodoh, dan tentu saja tidak boleh melakukan tindakan bodoh. Sebagai contoh, di tempat-tempat umum di beberapa negara, orang melakukan penipuan tertentu di mana mereka merekayasa kecelakaan palsu untuk kemudian secara curang mengajukan klaim asuransi. Jika engkau tidak mengetahui tipuan orang-orang jahat ini, dan bertindak secara membabi buta berdasarkan hati nuranimu, besar kemungkinan engkau akan tertipu dan membuatmu mendapat masalah. Sebagai contoh, jika engkau melihat seorang wanita lanjut usia yang terjatuh di jalan, engkau mungkin berpikir: "Aku harus memenuhi tanggung jawabku kepada masyarakat, dia tak perlu membalas kebaikanku. Karena aku memiliki kemanusiaan dan kepekaan hati nurani, aku harus membantunya, jadi aku akan membantunya berdiri." Namun, setelah engkau engkau membantunya berdiri, wanita itu memerasmu dan akhirnya engkau harus membawanya ke rumah sakit dan membayar tagihan medisnya, memberi ganti rugi atas kerugian emosional, dan uang pensiun. Jika engkau tidak membayar, engkau akan dipanggil ke kantor polisi. Sepertinya engkau mendapat masalah, bukan? Bagaimana situasi ini bisa terjadi? (Karena orang itu mengikuti niat baiknya dan tidak berhikmat.) Engkau buta, tidak memiliki kemampuan mengetahui yang sebenarnya, tidak menganalisa keadaan pada saat itu, dan tidak mampu memahami latar belakang keadaan itu. Di tengah masyarakat yang jahat seperti ini, orang harus membayar harga hanya karena membantu seorang lanjut usia yang terjatuh. Jika wanita itu benar-benar terjatuh dan membutuhkan bantuanmu, engkau tidak seharusnya dikutuk karena memenuhi tanggung jawab sosial, engkau seharusnya dipuji, karena perilakumu sesuai dengan kemanusiaan dan kepekaan hati nurani manusia. Namun, wanita tua ini mempunyai motif tersembunyi—sebenarnya dia tidak membutuhkan bantuanmu, dia hanya ingin menipumu, dan engkau tidak mengenali rencana liciknya. Dengan memenuhi tanggung jawabmu kepadanya sebagai sesama manusia, engkau terperangkap dalam rencana jahatnya, dan sekarang dia tidak akan melepaskanmu, memeras lebih banyak uang darimu. Orang memenuhi tanggung jawab sosialnya seharusnya berarti dia membantu orang yang membutuhkan dan memenuhi tanggung jawabnya sendiri. Hal ini tidak boleh mengakibatkan orang tersebut menjadi tertipu atau terperangkap. Banyak orang telah terperangkap dalam penipuan seperti ini dan telah dengan jelas menyadari betapa jahatnya orang-orang sekarang ini, dan betapa mahirnya mereka menipu orang lain. Mereka akan menipu siapa pun, entah mereka adalah orang tak dikenal, teman ataupun kerabat. Sungguh keadaan yang mengerikan! Siapakah yang menyebabkan kerusakan ini? Penyebabnya adalah si naga merah yang sangat besar. Si naga merah yang sangat besar telah merusak manusia sedemikian dalam dan sedemikian kejamnya! Si naga merah yang sangat besar akan melakukan segala hal yang tidak bermoral demi kepentingannya sendiri, dan manusia telah disesatkan oleh teladan jahat dirinya. Akibatnya, kini ada banyak penipu dan pencuri yang bermunculan. Berdasarkan fakta ini, dapat dilihat bahwa ada banyak orang yang lebih buruk daripada anjing. Mungkin ada orang-orang yang tidak mau mendengarkan perkataan seperti ini, mereka akan merasa tidak nyaman mendengarnya dan berpikir: "Benarkah kami lebih buruk daripada anjing? Engkau sedang memperlihatkan penghinaan-Mu terhadap kami dan meremehkan kami dengan selalu membandingkan kami dengan anjing. Engkau tidak menganggap kami sebagai manusia!" Aku ingin sekali menganggapmu sebagai manusia, tetapi perilaku apa yang seharusnya manusia perlihatkan? Sebenarnya, ada orang-orang yang benar-benar lebih buruk daripada anjing. Itu saja yang ingin Kukatakan mengenai masalah ini untuk saat ini.
Aku baru saja mempersekutukan bahwa ketika orang membantu orang lain sedikit saja, itu tidak dapat dianggap sebagai kebaikan dan itu hanya merupakan tanggung jawab sosial. Tentu saja, orang dapat memilih tanggung jawab sosial mana yang mampu mereka penuhi dengan sebatas kemampuan mereka. Mereka dapat memenuhi tanggung jawab yang pantas mereka penuhi dan memilih untuk tidak memenuhi tanggung jawab yang mereka anggap tidak pantas. Ini adalah kebebasan dan pilihan yang manusia miliki. Engkau dapat memilih tanggung jawab dan kewajiban sosial mana yang seharusnya kaupenuhi berdasarkan keadaan, kemampuan, dan tentu saja, berdasarkan konteks dan keadaan pada saat itu. Ini adalah hakmu. Dalam konteks apakah hak ini muncul? Dunia ini adalah tempat yang terlalu gelap, manusia itu terlalu jahat, dan tidak ada keadilan di tengah masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, engkau harus terlebih dahulu melindungi dirimu sendiri, menghindarkan dirimu agar tidak bertindak bodoh dan bebal, dan engkau harus bersikap bijak. Tentu saja, dengan melindungi dirimu sendiri, yang Kumaksud bukanlah melindungi dompet dan harta bendamu dari pencurian, melainkan melindungi keselamatan dirimu sendiri—inilah yang terpenting. Engkau harus memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu sebatas kemampuanmu sembari memastikan keselamatanmu sendiri. Jangan berfokus untuk mendapatkan rasa hormat dari orang lain, dan jangan dipengaruhi atau dikekang oleh opini masyarakat. Yang perlu kaulakukan hanyalah memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu. Engkau harus memutuskan bagaimana caramu memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu berdasarkan keadaanmu sendiri; jangan melakukan hal-hal yang melebihi kemampuanmu, tetapi sesuaikan dengan kondisi dan kapasitasmu. Jangan berusaha mengesankan orang lain dengan berpura-pura memiliki kemampuan yang tidak kaumiliki dan jangan takut diremehkan, dikritik, atau dikutuk oleh orang lain. Melakukan sesuatu demi memuaskan kesombongan dirimu sendiri adalah tindakan yang salah. Lakukan saja semampumu, penuhilah sebanyak rasa tanggung jawab yang kaumiliki, dan penuhilah kewajibanmu sebanyak yang mampu kaupenuhi. Ini adalah hakmu. Engkau tidak perlu memaksakan dirimu untuk melakukan hal-hal yang tidak Tuhan tuntut darimu. Tidak ada gunanya mengikuti hati nuranimu untuk melakukan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Sebanyak apa pun yang kaulakukan, Tuhan tidak akan memujimu atas hal itu, dan itu tidak menunjukkan bahwa engkau telah memberikan kesaksian yang sejati, dan itu juga tidak menunjukkan bahwa engkau telah memperlengkapi dirimu dengan perbuatan baik. Untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan tuntutan Tuhan, tetapi yang orang tuntut untuk kaulakukan, engkau seharusnya mempunyai pilihan dan prinsipmu sendiri. Jangan dikekang oleh orang. Asalkan engkau tidak melakukan apa pun yang melanggar hati nurani dan nalarmu, dan tidak melanggar kebenaran, itu sudah cukup. Jika engkau membantu orang dengan menyelesaikan masalah sesaat mereka, mereka akan bergantung kepadamu, dan menganggapmu orang yang harus dan sudah seharusnya menyelesaikan masalah mereka. Mereka akan sepenuhnya bergantung kepadamu dan menyerangmu jika engkau gagal menyelesaikan masalah mereka meskipun hanya sekali. Hal ini telah membawa masalah bagimu dan bukan hasil yang ingin kaulihat. Jika engkau telah mengantisipasi bahwa hasilnya akan seperti ini, engkau dapat memilih untuk tidak membantu mereka. Dengan kata lain, dalam hal ini tidaklah salah jika engkau menahan diri untuk tidak memenuhi tanggung jawab atau kewajiban tersebut. Pandangan dan sikap seperti inilah yang harus kaumiliki terhadap masyarakat, manusia, dan, secara lebih spesifik, terhadap komunitas di mana engkau tinggal. Dengan kata lain, curahkan kasihmu kepada orang sebanyak yang pantas kaulakukan dan sebanyak yang mampu kauberikan. Jangan melawan keyakinanmu sebagai upaya untuk pamer, jangan berusaha melakukan hal-hal yang tidak mampu kaulakukan. Engkau juga tidak perlu memaksakan dirimu untuk memberikan apa yang orang biasa tidak mampu berikan. Singkatnya, jangan terlalu memaksakan dirimu sendiri. Lakukan saja apa yang mampu kaulakukan. Bagaimana menurutmu prinsip ini? (Kedengarannya bagus.) Sebagai contoh, temanmu ingin meminjam mobilmu dan engkau berpikir: "Dahulu dia pernah meminjamkanku sesuatu, jadi wajar saja aku harus mengizinkan dia meminjam mobilku. Namun, dia tidak merawat atau menggunakan barang dengan baik. Dia bahkan bisa membuat mobilku rusak. Sebaiknya aku tidak mengizinkan dia meminjamnya." Jadi, engkau memutuskan untuk tidak mengizinkannya meminjam mobilmu. Apakah ini tindakan yang benar? Tidak masalah apakah engkau meminjamkan mobilmu atau tidak—asalkan engkau memiliki pemahaman yang akurat dan jelas mengenai hal tersebut, engkau sebaiknya mengambil tindakan apa pun yang kauyakini sebagai tindakan yang paling sesuai, dan itu adalah hal yang benar untuk kaulakukan. Namun, bagaimana jika engkau berpikir, "Baiklah, aku akan mengizinkannya meminjam mobilku. Sebelumnya dia tidak pernah menolak ketika aku mau meminjam barang darinya. Dia tidak terlalu hemat atau berhati-hati saat menggunakan sesuatu, tetapi itu tidak masalah. Jika mobilku rusak, aku akan mengeluarkan sedikit uang untuk memperbaikinya," dan kemudian engkau setuju untuk meminjamkan mobilmu kepadanya dan tidak menolaknya—apakah ini tindakan yang benar? Tindakan ini juga tidak salah. Sebagai contoh, jika seseorang yang sebelumnya membantumu datang kepadamu ketika keluarganya mengalami kesulitan, haruskah engkau membantunya atau tidak? Hal ini tergantung pada keadaanmu sendiri, dan keputusanmu untuk membantu atau tidak bukanlah masalah prinsip. Yang perlu kaulakukan hanyalah memenuhi tanggung jawabmu dengan segenap kemampuanmu dengan ketulusan dan sesuai nalurimu. Dengan melakukannya, berarti engkau bertindak dalam lingkup kemanusiaanmu dan kepekaan hati nuranimu. Entah engkau sepenuhnya memenuhi tanggung jawab ini atau melakukannya dengan baik atau tidak, itu tidak penting. Engkau berhak untuk menyetujui atau menolak—sekalipun engkau menolak, tidak dapat dikatakan bahwa engkau tidak memiliki hati nurani, dan temanmu tidak dapat dikatakan telah melakukan kebaikan karena membantumu. Tindakan ini tidak setara dengan melakukan kebaikan. Apakah engkau mengerti? (Ya.) Persekutuan ini membahas tentang kebaikan, yaitu tentang bagaimana engkau seharusnya memandang kebaikan, bagaimana engkau menyikapi masalah membantu orang lain, dan bagaimana seharusnya engkau memenuhi tanggung jawab sosialmu. Dalam hal ini, orang harus mencari prinsip kebenaran—engkau tidak boleh menyelesaikan masalah ini hanya dengan mengandalkan hati nurani dan nalarmu. Ada keadaan-keadaan tertentu yang bisa menjadi sangat rumit, dan jika engkau tidak menanganinya berdasarkan prinsip kebenaran, engkau akan cenderung menimbulkan masalah dan konsekuensi negatif. Jadi dalam hal ini, umat pilihan Tuhan harus memahami maksud-Nya dan bertindak sesuai dengan kemanusiaan, nalar, hikmat, dan prinsip kebenaran. Inilah cara yang paling tepat dalam memperlakukan kebaikan.
Mengenai pepatah "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", keadaan lain yang mungkin terjadi adalah, bantuan yang kauterima bukanlah sesuatu yang sepele seperti diberi sebotol air, senampan sayur-sayuran, atau sekarung beras, melainkan bentuk bantuan yang memengaruhi penghidupanmu dan keluargamu, bahkan berdampak pada nasib dan prospek masa depanmu. Sebagai contoh, ada orang yang mungkin memberimu bimbingan belajar atau bantuan keuangan yang memungkinkanmu untuk kuliah di universitas ternama, mendapatkan pekerjaan yang baik, menikah, dan mendapatkan banyak hal baik yang terjadi dalam hidupmu. Ini bukanlah sekadar kebaikan kecil atau bantuan sepele—banyak orang memandang bantuan semacam ini sebagai tindakan kebaikan yang luar biasa. Bagaimana seharusnya engkau semua menyikapi situasi semacam ini? Bentuk-bentuk bantuan semacam ini berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan kewajiban yang manusia penuhi yang baru saja kita bahas, tetapi karena bantuan ini memiliki dampak terhadap kelangsungan hidup, nasib, dan prospek masa depan manusia, maka bantuan tersebut jauh lebih berharga daripada sekadar sebotol air atau sekarung beras—bentuk bantuan semacam itu memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap kehidupan orang, penghidupan mereka, dan masa hidup mereka di bumi ini. Karena itu, nilai bantuan semacam itu jauh lebih besar. Jadi, apakah bentuk bantuan semacam ini harus disetarakan dengan kebaikan? Tetap saja, Aku tidak menganjurkanmu untuk memandang bentuk bantuan semacam ini sebagai kebaikan. Mengingat bahwa bentuk bantuan semacam ini tidak boleh dianggap sebagai kebaikan, lalu bagaimana cara yang tepat dan pantas untuk menangani situasi semacam ini? Bukankah ini adalah masalah yang manusia hadapi? Sebagai contoh, mungkin seseorang menyelamatkanmu dari kehidupan yang penuh kejahatan, menunjukkan jalan yang benar kepadamu, dan memberimu pekerjaan di bidang pekerjaan yang halal, memungkinkanmu untuk menjalani kehidupan yang baik, menikah dan membina keluarga, serta mengubah nasibmu menjadi lebih baik. Atau, mungkin, ketika engkau sedang berada dalam keadaan sulit dan merasa putus asa, ada orang baik yang memberimu bantuan dan bimbingan, yang mengubah prospek masa depanmu dengan cara yang positif, memungkinkanmu untuk lebih unggul daripada orang lain, dan memungkinkanmu menjalani kehidupan yang baik. Bagaimana sebaiknya engkau menyikapi keadaan seperti itu? Haruskah engkau mengingat kebaikan orang tersebut dan membalas kebaikannya? Haruskah engkau mencari cara untuk membalas kebaikannya? Dalam hal ini, engkau harus membiarkan prinsip yang membimbing keputusanmu, bukan? Engkau harus mengenali orang macam apa penolongmu itu. Jika dia adalah orang yang baik dan positif, maka selain mengucapkan "terima kasih" kepadanya, engkau juga dapat terus berinteraksi dengannya secara normal, berteman dengannya dan kemudian, ketika dia membutuhkan bantuan, engkau dapat memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu dengan membantunya sebatas kemampuanmu. Namun, pemenuhan tanggung jawab dan kewajiban ini bukannya tanpa batas, melainkan harus dibatasi oleh apa yang mampu kaulakukan sesuai dengan keadaanmu. Inilah cara yang tepat untuk memperlakukan orang-orang semacam itu dalam keadaan seperti ini. Tidak ada perbedaan kesetaraan antara engkau dan penolongmu—walaupun dia pernah membantumu dan melakukan kebaikan terhadapmu, dia tetap tidak dapat disebut sebagai juruselamatmu, karena hanya Tuhan-lah yang mampu menyelamatkan manusia. Dia hanya memberimu bantuan di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan—ini tentu saja bukan berarti dia lebih unggul daripadamu, dan bukan berarti engkau menjadi miliknya dan dia dapat memanipulasi dan mengendalikan dirimu. Dia tidak berhak untuk memengaruhi nasibmu dan tidak boleh mengkritik atau mengomentari kehidupanmu; engkau dan dia tetap setara. Mengingat bahwa engkau dan dia setara, engkau dan dia dapat berinteraksi satu sama lain sebagai teman dan, jika diperlukan, engkau dapat membantunya sebatas kemampuanmu. Dalam hal ini, engkau tetap memenuhi tanggung jawab dan kewajiban sosialmu dalam lingkup kemanusiaan dan melakukan apa yang seharusnya kaulakukan berdasarkan dan dalam lingkup kemanusiaan—engkau sedang memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu dengan cara yang tepat. Mengapa engkau harus melakukannya dengan cara seperti ini? Karena dia pernah membantumu di masa lalu dan membuatmu memperoleh manfaat dan mendapatkan keuntungan besar, jadi kepekaan hati nurani yang berasal dari kemanusiaanmu mengharuskanmu untuk memperlakukannya sebagai teman. Ada orang-orang yang akan bertanya: "Bolehkah aku memperlakukannya sebagai teman dekat?" Hal ini tergantung pada bagaimana engkau dan dia bergaul, dan tergantung pada apakah kemanusiaan dan kesukaan, serta apa yang dikejar dan caramu dan dia memandang dunia, sama atau tidak. Jawabannya akan tergantung pada dirimu sendiri. Jadi, dalam hubungan yang unik semacam ini, haruskah engkau membalas kebaikan penolongmu dengan mengorbankan nyawamu? Mengingat bahwa orang itu telah banyak membantumu dan berdampak besar bagimu, haruskah engkau membalas kebaikannya dengan mengorbankan nyawamu? Tidak perlu. Hidupmu tetaplah milikmu—Tuhan-lah yang memberi hidupmu, dan hidupmu adalah milikmu dan tak seorang pun boleh mengendalikannya. Tidak perlu dengan gegabah membiarkan orang lain mengatur hidupmu karena konteks dan keadaan ini. Ini adalah cara bertindak yang sangat bodoh dan tentu saja, sangat tidak masuk akal. Sedekat apa pun engkau dan dia sebagai teman atau sekuat apa pun ikatan di antaramu, engkau hanya boleh memenuhi tanggung jawabmu sebagai pribadi, berinteraksi secara normal dan saling membantu dalam lingkup nalar manusia. Taraf hubungan ini lebih masuk akal dan setara. Alasan utama engkau dan dia menjadi teman pada dasarnya adalah karena orang tersebut pernah membantumu, sehingga engkau merasa bahwa dia layak menjadi temanmu dan memenuhi standar yang kautuntut sebagai temanmu. Hanya karena alasan inilah engkau mau berteman dengannya. Pertimbangkan juga situasi berikut ini: ada seseorang yang pernah membantumu di masa lalu, bersikap baik kepadamu dengan cara tertentu, dan berdampak pada kehidupanmu atau peristiwa besar tertentu, tetapi kemanusiaan orang itu dan jalan yang ditempuhnya tidak sejalan dengan jalan yang kautempuh dan apa yang kaukejar. Pembicaraanmu dengannya tidak sejalan, engkau tidak menyukai orang ini dan mungkin, hingga taraf tertentu dapat dikatakan bahwa minatmu dan apa yang kaukejar sama sekali berbeda dengannya. Jalan hidupmu, pandanganmu, dan sudut pandangmu tentang hidup ini semuanya berbeda darinya—engkau dan dia adalah dua jenis orang yang sama sekali berbeda. Jadi, bagaimana sebaiknya engkau menyikapi dan menanggapi bantuan yang dia berikan kepadamu sebelumnya? Apakah ini keadaan nyata yang mungkin terjadi? (Ya.) Jadi, apa yang harus kaulakukan? Ini juga merupakan situasi yang mudah untuk ditangani. Mengingat bahwa engkau dan orang itu menempuh jalan yang berbeda, setelah membalas kebaikannya dengan apa pun yang mampu kauberikan sesuai kemampuanmu, engkau mendapati bahwa keyakinanmu dan keyakinannya sama sekali berbeda, engkau dan dia tidak bisa menempuh jalan yang sama, bahkan tidak bisa berteman dan tidak bisa lagi berinteraksi. Apa yang harus kaulakukan selanjutnya, mengingat bahwa engkau dan dia tidak dapat lagi saling berinteraksi? Jauhi orang itu. Dia mungkin pernah bersikap baik kepadamu di masa lalu, tetapi dia orang yang suka menipu dan berbuat curang di tengah masyarakat, melakukan segala macam perbuatan jahat dan engkau tidak menyukai orang ini, jadi sangatlah masuk akal untuk menjauhkan dirimu darinya. Ada orang-orang yang mungkin berkata, "Bukankah bertindak seperti itu artinya tidak berhati nurani?" Menjauh darinya bukan berarti engkau tidak berhati nurani—jika dia benar-benar menghadapi kesulitan dalam hidupnya, engkau tetap boleh membantunya, tetapi engkau tidak boleh dikekang olehnya atau ikut-ikutan melakukan kejahatan dan perbuatan yang tidak berhati nurani. Engkau juga tidak perlu bekerja sekuat tenaga untuknya hanya karena dia pernah membantumu atau melakukan kebaikan besar untukmu di masa lalu—itu bukan kewajibanmu dan dia tidak layak menerima perlakuan seperti itu. Engkau berhak memilih dengan siapa engkau mau berinteraksi dan meluangkan waktu, dan engkau berhak berteman dengan orang yang kausukai dan akrab, orang yang tepat. Engkau boleh memenuhi tanggung jawab dan kewajibanmu terhadap orang ini, ini adalah hakmu. Tentu saja, engkau juga boleh menolak untuk berteman dengannya dan menolak untuk berurusan dengan orang yang tidak kausukai, dan engkau tidak perlu memenuhi kewajiban atau tanggung jawab apa pun terhadapnya—ini pun adalah hakmu. Sekalipun engkau memutuskan untuk meninggalkan orang ini dan tidak mau berinteraksi dengannya atau memenuhi tanggung jawab atau kewajiban apa pun terhadapnya, ini tidak salah. Engkau harus menetapkan batasan tertentu dalam caramu berperilaku, dan memperlakukan berbagai orang dengan cara yang berbeda. Engkau tidak boleh bergaul dengan orang jahat atau mengikuti teladan buruk mereka, ini adalah pilihan yang bijaksana. Jangan terpengaruh oleh berbagai faktor seperti rasa syukur, perasaan, dan opini masyarakat—ini artinya engkau mengambil sikap dan berprinsip, dan itulah yang seharusnya kaulakukan. Dapatkah engkau semua menerima metode dan pernyataan ini? (Ya.) Meskipun pandangan, jalan penerapan, dan prinsip yang telah Kubahas ini tidak sesuai dengan gagasan dan budaya tradisional, pandangan dan prinsip ini akan dengan kuat melindungi hak dan martabat setiap orang yang memiliki kemanusiaan dan melindungi kepekaan hati nurani mereka. Semua ini akan memungkinkan orang untuk tidak dikekang dan dibelenggu oleh apa yang disebut standar perilaku moral budaya tradisional, dan akan memampukan mereka melepaskan diri dari penipuan dan penyesatan mengenai kesalehan palsu dan hal yang muluk-muluk ini. Pandangan dan prinsip ini juga akan memampukan mereka untuk memahami kebenaran melalui firman Tuhan, hidup berdasarkan firman Tuhan dan kebenaran, tidak dipengaruhi oleh opini masyarakat mengenai moralitas, dan membebaskan diri mereka dari kekangan dan belenggu yang disebut cara-cara duniawi, sehingga mereka mampu memperlakukan orang dan segala sesuatu berdasarkan firman Tuhan dan menggunakan pandangan yang benar, dan sepenuhnya melepaskan belenggu dan kesesatan dari hal-hal duniawi, tradisi, dan moralitas sosial. Dengan demikian, mereka akan mampu hidup dalam terang, hidup dalam kemanusiaan yang normal, hidup bermartabat, dan mendapatkan pujian Tuhan.
Perubahan seperti apa yang akan orang alami dengan mematuhi pepatah tentang moralitas sosial seperti "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain"? Dapatkah pepatah tersebut mengubah watak Iblis yang suka mengejar status dan keuntungan dalam diri manusia? Dapatkah pepatah tersebut mengubah ambisi dan keinginan manusia? Dapatkah pepatah tersebut menyelesaikan pertengkaran dan pembunuhan di antara manusia? Dapatkah pepatah tersebut menuntun manusia untuk menempuh jalan hidup yang benar dan menjalani kehidupan yang bahagia? (Tidak.) Lalu apa sebenarnya dampak mematuhi standar moralitas sosial seperti ini? Apakah standar moralitas sosial ini paling-paling hanya mendorong segelintir orang baik untuk melakukan perbuatan baik dan berkontribusi terhadap keselamatan dan keamanan masyarakat? (Ya.) Hanya itulah dampaknya, dan standar ini tidak menyelesaikan satu masalah pun. Sekalipun, di bawah pengaruh dari apa yang disebut standar perilaku moral ini, orang pada akhirnya mampu mematuhi dan menjalaninya, bukan berarti mereka mampu melepaskan diri dari watak rusak mereka dan hidup dalam keserupaan dengan manusia. Sebagai contoh, katakanlah ada seseorang yang pernah berbuat baik kepadamu, jadi engkau melakukan apa pun semampumu untuk membalas kebaikannya—ketika dia memberimu sekarung beras, engkau membalas dengan memberinya sekantong besar tepung, dan ketika dia memberimu dua kilogram daging babi, engkau membalas dengan memberinya dua kilogram daging sapi. Apa hasil dari saling membalas kebaikan secara terus-menerus seperti ini? Secara pribadi, engkau dan dia akan menghitung siapa yang mendapatkan hasil lebih banyak dan siapa yang mendapatkan hasil lebih sedikit, dan ini akan menyebabkan kesalahpahaman, pertengkaran, dan tipu muslihat di antara engkau dan dia. Apa yang Kumaksud dengan hal ini? Maksud-Ku, tuntutan perilaku moral "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur" bukan saja mengekang dan menyesatkan cara berpikir orang, tetapi juga membebani kehidupan orang dengan banyak ketidaknyamanan, beban dan bahkan kesedihan. Dan jika hal itu mengubahmu menjadi musuh seseorang, berarti engkau akan menghadapi lebih banyak masalah dan penderitaan yang tak terkatakan! Membina hubungan yang dibangun di atas dasar memberi dan menerima ini bukanlah jalan yang seharusnya orang tempuh. Orang selalu hidup berdasarkan perasaan dan cara-cara duniawi seperti itu, yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan banyak masalah yang tidak perlu. Ini hanyalah penyiksaan terhadap diri sendiri yang tidak ada gunanya. Dengan cara inilah budaya tradisional dan pernyataan mengenai perilaku moral tertanam dalam pikiran orang dan menyesatkan mereka. Karena sama sekali tak mampu mengenali hal ini, orang secara keliru meyakini bahwa aspek-aspek budaya tradisional ini benar dan mereka menjadikannya sebagai standar dan pedoman, secara ketat mematuhi pepatah ini dan hidup di bawah pengawasan opini masyarakat. Lambat laun dan tanpa sadar, mereka menjadi dikondisikan, dipengaruhi, dan dikendalikan oleh hal-hal ini dan akhirnya merasa tidak berdaya dan menderita, tetapi tak berdaya untuk melepaskan diri. Ketika Tuhan berfirman untuk menyingkapkan dan mengkritik aspek-aspek budaya tradisional yang ada dalam diri manusia, hal itu malah membuat kesal banyak orang. Setelah hal-hal ini disingkirkan sepenuhnya dari benak, pemikiran, dan gagasan manusia, mereka tiba-tiba merasa hampa seolah-olah tidak memiliki pegangan, dan akan bertanya, "Apa yang harus kulakukan kelak? Bagaimana aku harus hidup? Tanpa hal-hal ini, aku tidak memiliki jalan atau arah dalam hidupku. Mengapa kini aku merasa begitu hampa dan tanpa tujuan setelah hal-hal ini disingkirkan dari pikiranku? Jika orang tidak hidup berdasarkan pepatah ini, masih dapatkah mereka dianggap manusia? Akankah mereka masih memiliki kemanusiaan?" Ini adalah cara berpikir yang salah. Sebenarnya, setelah engkau dibersihkan dari aspek-aspek budaya tradisional ini, hatimu disucikan, engkau tidak lagi dikekang dan dibelenggu oleh hal-hal ini, engkau memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dan tidak lagi merasa kesal—bagaimana mungkin engkau tidak mau dibersihkan dari semua itu? Setidaknya, setelah engkau melepaskan aspek-aspek budaya tradisional yang bukan kebenaran ini, penderitaan dan kesedihanmu akan berkurang dan engkau akan dapat terlepas dari banyak kekangan dan kekhawatiran yang tidak perlu. Jika engkau mampu menerima kebenaran dan hidup berdasarkan firman Tuhan, engkau akan menempuh jalan hidup yang benar dan mampu hidup dalam terang. Mematuhi standar perilaku moral budaya tradisional mungkin tampak dapat dibenarkan sepenuhnya, tetapi apakah dengan mematuhinya engkau sedang hidup dalam keserupaan dengan manusia? Sudahkah engkau menempuh jalan hidup yang benar? Aspek-aspek budaya tradisional ini sama sekali tidak dapat mengubah apa pun. Semua itu tidak dapat mengubah pemikiran rusak orang atau watak rusak mereka, apalagi mengubah esensi rusak orang. Semua itu sama sekali tidak berdampak positif dan malah menyebabkan kemanusiaan orang menjadi menyimpang dan sesat melalui ajaran, pengondisian, dan pengaruhnya. Orang dengan jelas menyadari bahwa orang yang melakukan kebaikan kepada mereka bukanlah orang yang baik, tetapi mereka tetap menentang keyakinan mereka sendiri dan membalas kebaikan orang itu, hanya karena orang tersebut pernah berbuat baik kepada mereka di masa lalu. Apa yang menyebabkan orang membalas kebaikan orang lain meskipun mereka harus menentang keyakinan mereka sendiri? Mereka melakukannya karena gagasan kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur dari budaya tradisional ini telah menjadi berakar di dalam hati mereka. Mereka takut jika mereka tidak menentang keyakinan mereka dan tidak membalas kebaikan orang yang telah membantu mereka, mereka akan dicela oleh opini masyarakat, dan akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih karena tidak mau membalas kebaikan yang diterima, dan dianggap sebagai orang yang kejam dan keji, dan sebagai orang yang tidak memiliki hati nurani atau kemanusiaan. Justru karena mereka takut akan semua ini dan khawatir bahwa tak seorang pun akan membantu mereka kelak, maka mereka tidak punya pilihan selain hidup di bawah pengaruh dan belenggu gagasan budaya tradisional ini yaitu dengan penuh syukur membalas kebaikan yang diterima. Akibatnya, semua orang menjalani kehidupan yang salah dan menyedihkan, di mana mereka bertindak bertentangan dengan keyakinan mereka sendiri dan tidak dapat angkat bicara tentang kesukaran mereka sendiri. Apakah akibat ini sepadan dengan mematuhi pepatah ini? Bukankah gagasan kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur telah menyebabkan orang menderita?
Aku baru saja mempersekutukan apa sebenarnya arti "kebaikan" dalam pepatah "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", bagaimana Tuhan memandang definisi manusia tentang "kebaikan", bagaimana manusia seharusnya memperlakukan kebaikan ini, bagaimana memperlakukan orang yang telah melakukan kebaikan kepadamu atau pernah menyelamatkan nyawamu, apa sebenarnya perspektif dan jalan yang benar dan bagaimana seharusnya mereka diposisikan dalam hidupmu, bagaimana seharusnya orang memenuhi kewajiban mereka, dan bagaimana seharusnya orang menangani keadaan khusus tertentu dan dari perspektif apa hal itu harus dipandang. Hal-hal ini relatif rumit sehingga tidak dapat dijelaskan hanya dengan beberapa kalimat, tetapi Aku telah memberitahukan kepadamu masalah-masalah utamanya, inti masalah mengenai topik ini, dan sebagainya. Jika engkau kembali menghadapi masalah seperti ini, bukankah sekarang engkau semua merasa sudah cukup jelas mengenai sudut pandang apa yang harus kaugunakan dan jalan penerapan apa yang harus kauambil? Ada orang-orang yang berkata, "Secara teori, aku sudah mengerti, tetapi manusia terdiri dari darah dan daging. Selama hidup di dunia ini, kita pasti akan dipengaruhi oleh standar moral ini dan dikendalikan oleh opini masyarakat. Banyak orang hidup dengan cara seperti ini, menghargai perbuatan baik dan dengan penuh syukur membalas setiap kebaikan yang diterima. Jika aku tidak hidup dengan cara seperti ini, aku pasti akan dicela dan dicemooh oleh orang lain. Aku takut orang-orang akan mencelaku sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan, hidup seperti sampah masyarakat, dan aku tak mampu menanggungnya." Apa masalahnya di sini? Mengapa orang dikekang oleh hal ini? Apakah ini masalah yang mudah untuk diselesaikan? Ya, dan Aku akan memberitahukan caranya kepadamu. Jika engkau merasa akan hidup seperti sampah masyarakat jika engkau tidak hidup berdasarkan pandangan budaya tradisional bahwa kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur; jika engkau merasa bahwa engkau tidak lagi menyerupai orang Tionghoa tradisional, bahwa dengan menyimpang dari budaya tradisional engkau tidak hidup seperti manusia dan tidak memiliki sifat-sifat yang menjadikanmu manusia; jika engkau khawatir tidak cocok dengan masyarakat Tionghoa, bahwa engkau akan dibenci oleh sesama orang Tionghoa dan dipandang oleh mereka sebagai orang yang memberi pengaruh buruk; maka pilihlah untuk mengikuti tren sosial—tak seorang pun memaksamu dan tak seorang pun akan mengutukmu. Namun, jika engkau merasa bahwa hidup berdasarkan kendali budaya tradisional dan selalu menghargai perbuatan baik belum memberikan banyak manfaat kepadamu selama bertahun-tahun, engkau merasa bahwa itu adalah cara hidup yang melelahkan, dan jika engkau bertekad untuk melepaskan gaya hidup ini dan berusaha memandang orang dan hal-hal serta berperilaku dan bertindak berdasarkan firman-Ku, maka tentu saja itu akan jauh lebih baik. Meskipun kini engkau semua memahami hal-hal ini secara prinsip dan memiliki pemahaman yang baik tentang keadaan tersebut, mengenai bagaimana tepatnya engkau memandang orang dan hal-hal dan bagaimana engkau hidup dan berperilaku selanjutnya, itu adalah urusanmu sendiri. Sampai sejauh mana engkau mampu menerima apa yang telah Kukatakan, sampai sejauh mana engkau mampu menerapkan semuanya itu, dan sampai sejauh mana engkau akan menerimanya, itu adalah pilihanmu dan semuanya terserah padamu. Aku tidak sedang memaksamu. Aku hanya menunjukkan jalannya kepadamu. Namun, satu hal yang pasti: Kuberitahukan kepadamu bahwa sebenarnya jika engkau hidup berdasarkan budaya tradisional, engkau akan menjalani kehidupan yang makin tidak manusiawi dan makin tidak bermartabat, dan engkau akan mendapati bahwa perasaan hati nuranimu akan menjadi makin tidak peka. Perlahan-lahan, engkau akan menjalani kehidupan yang menyedihkan di mana engkau tidak menyerupai manusia, juga tidak menyerupai hantu. Sebaliknya, jika engkau melakukan penerapan berdasarkan firman-Ku dan prinsip-prinsip yang telah Kusampaikan, Kujamin hidupmu akan menjadi jauh lebih menyerupai manusia, makin berhati nurani, bernalar, dan bermartabat—ini sudah pasti. Ketika kelak engkau menghadapi keadaan semacam itu, engkau akan mampu hidup dengan merdeka dan bebas, dan engkau akan merasa damai dan penuh sukacita. Bayang-bayang dan beban di hatimu akan berkurang, dan engkau akan merasa percaya diri dan mampu berdiri tegak. Engkau tidak akan lagi diganggu, disesatkan, atau dipengaruhi oleh cara-cara dunia sekuler, dan engkau akan hidup dengan bermartabat. Setiap hari, engkau akan merasa tenang dan akan memperlakukan dan menangani setiap urusan dengan cara yang paling tepat, menghindarkan dirimu dari banyak jalan memutar dan dari banyak penderitaan yang tidak seharusnya kaualami. Engkau tidak akan melakukan apa pun yang tidak seharusnya kaulakukan, dan engkau juga tidak akan membayar harga apa pun yang tidak seharusnya kaubayar. Engkau tidak lagi hidup untuk orang lain. Engkau tidak akan lagi dipengaruhi oleh sudut pandang dan pendapat orang lain. Engkau tidak akan lagi dikekang oleh opini dan kecaman masyarakat. Bukankah ini kehidupan yang bermartabat? Bukankah ini kehidupan yang merdeka dan bebas? Pada saat inilah engkau akan merasa bahwa hidup berdasarkan firman Tuhan adalah satu-satunya jalan yang benar dalam hidup, dan hanya hidup dengan cara seperti inilah orang akan hidup dalam keserupaan dengan manusia dan memiliki kebahagiaan. Jika engkau hidup dalam kabut budaya tradisional, engkau tidak akan dapat melihat jalan dengan jelas dan akan secara keliru meyakini bahwa engkau sedang menuju dunia khayalan yang sempurna yang ada di dunia manusia. Namun pada akhirnya, engkau malah disesatkan, dikelabui, dan disiksa oleh Iblis. Hari ini, setelah engkau mendengar suara Tuhan, menemukan kebenaran, dan melihat terang datang ke dunia manusia, engkau semua telah menghilangkan kabut tersebut dan melihat dengan jelas jalan dan arah yang harus kautempuh dalam hidupmu. Engkau bergegas maju dan kembali ke hadapan Tuhan. Bukankah ini kasih karunia dan berkat Tuhan? Jadi, sudahkah engkau semua menghilangkan kabut itu sekarang dan melihat langit yang cerah? Mungkin engkau semua telah melihat secercah cahaya dan sedang bergerak menuju cahaya itu—ini adalah berkat terbesar. Jika engkau dapat mendengar suara Tuhan, menerima dan memahami kebenaran, menghilangkan kabut itu, melepaskan semua hal yang keliru dalam budaya tradisional ini, dan menyingkirkan semua hambatan, engkau akan dapat memulai jalan menuju keselamatan. Demikianlah persekutuan-Ku mengenai pepatah tentang perilaku moral "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur". Kelak, engkau semua dapat bersama-sama mempersekutukan firman ini lebih lanjut, dan akhirnya engkau akan memahami sepenuhnya. Orang tidak bisa langsung memahami hal-hal ini hanya dengan persekutuan dalam satu pertemuan. Meskipun sekarang Aku telah mengakhiri persekutuan-Ku mengenai pepatah tentang perilaku moral ini, dan engkau semua memahaminya secara teori dan prinsip, tidaklah mudah membuang gagasan tradisional dan usang ini dalam kehidupan nyata. Engkau semua mungkin masih berpaut pada gagasan-gagasan usang ini dan bergumul mengenainya selama beberapa waktu. Setidaknya, diperlukan beberapa waktu sebelum engkau mampu sepenuhnya melepaskan aspek-aspek budaya tradisional ini dan sepenuhnya menerima kebenaran firman Tuhan. Engkau harus secara berangsur mengalami, menjalani, dan menemukan konfirmasi dalam kehidupan nyata dan ketika menghadapi masyarakat dan manusia. Melalui pengalaman ini, engkau akan secara berangsur memahami firman Tuhan dan memahami kebenaran. Dengan melakukannya, engkau akan mulai mendapatkan manfaat, memperoleh keuntungan, dan menuai hasil, dan engkau akan mengoreksi pandangan dan gagasanmu yang keliru mengenai segala macam orang, peristiwa, dan hal-hal. Inilah proses dan jalan mengejar kebenaran.
Berikutnya, Aku akan mempersekutukan pepatah, "Korbankan kepentinganmu sendiri demi orang lain". Pepatah ini mengacu pada kebajikan dalam budaya tradisional Tiongkok yang orang pandang sebagai kebajikan yang luhur dan agung. Tentu saja, pendapat ini agak berlebihan dan tidak realistis, tetapi bagaimanapun juga, pepatah ini diakui secara universal sebagai kebajikan. Setiap kali siapa pun mendengar tentang kebajikan ini, pikiran mereka memunculkan adegan-adegan tertentu seperti: orang-orang menyendokkan makanan ke piring satu sama lain ketika makan bersama dan menyisakan makanan yang terenak untuk orang lain; orang memperbolehkan orang lain untuk maju ke depan mereka saat mengantre di toko kelontong; orang membiarkan orang lain membeli tiket mendahului mereka di stasiun kereta atau bandara; orang mengalah kepada orang lain ketika sedang berjalan atau mengemudi dan membiarkan orang lain mendahului mereka .... Semua ini adalah contoh-contoh "indah" dari pepatah "ada ubi ada talas, ada budi ada balas". Setiap adegan ini memperlihatkan betapa ramah, harmonis, bahagia, dan rukunnya masyarakat dan dunia. Tingkat kebahagiaannya begitu tinggi hingga melampaui standar. Jika seseorang bertanya kepada mereka, "Mengapa kau begitu bahagia?" mereka menjawab, "Budaya tradisional Tiongkok menganjurkan untuk mengorbankan kepentinganmu sendiri demi orang lain. Kami semua menerapkan gagasan ini, dan sama sekali tidak sulit bagi kami untuk melakukannya. Kami merasa sangat diberkati." Pernahkah adegan-adegan seperti itu terlintas di benakmu? (Ya.) Di manakah adegan-adegan ini dapat ditemukan? Semuanya dapat ditemukan tergambar pada lukisan festival musim semi yang biasa dipajang di dinding selama Tahun Baru Imlek sebelum tahun 1990-an. Semua itu dapat ditemukan dalam pikiran orang dan bahkan dalam apa yang disebut fatamorgana, atau istana di langit. Singkatnya, adegan-adegan seperti itu tidak ada dalam kehidupan nyata. "Korbankan kepentinganmu sendiri demi orang lain" tentu saja juga merupakan tuntutan kaum moralis sehubungan dengan standar moral. Ini adalah pepatah tentang perilaku moral manusia yang menuntut agar orang lebih memikirkan orang lain daripada diri mereka sendiri sebelum bertindak. Mereka harus lebih memikirkan kepentingan orang lain dan bukan kepentingan mereka sendiri. Mereka harus memikirkan orang lain dan belajar untuk mengorbankan diri mereka sendiri—yaitu, mereka harus mengesampingkan kepentingan, tuntutan, keinginan, dan ambisi mereka sendiri, dan mereka bahkan sampai harus melepaskan semua milik mereka dan memikirkan orang lain terlebih dahulu. Apakah tuntutan ini dapat dicapai oleh manusia atau tidak, kita harus terlebih dahulu bertanya: orang macam apa yang menganjurkan pandangan ini? Apakah mereka memahami kemanusiaan? Apakah mereka memahami naluri dan esensi kemanusiaan dari makhluk hidup yang adalah manusia ini? Mereka sama sekali tidak memahaminya. Orang-orang yang mengajukan pepatah ini pastilah sangat bodoh karena membebankan tuntutan yang tidak realistis untuk mengorbankan kepentingannya sendiri demi orang lain terhadap manusia, makhluk egois yang bukan saja memiliki pemikiran dan kehendak bebas, tetapi juga penuh ambisi dan keinginan. Entah orang mampu memenuhi tuntutan ini atau tidak, mengingat esensi dan naluri mereka sebagai makhluk hidup, kaum moralis yang mengajukan tuntutan ini sangatlah tidak manusiawi. Mengapa Kukatakan mereka tidak manusiawi? Sebagai contoh, ketika ada orang yang sedang merasa lapar, secara naluriah mereka akan merasakan rasa laparnya sendiri dan tidak akan memikirkan apakah orang lain juga merasa lapar. Mereka akan berkata, "Aku lapar, aku ingin makan sesuatu." Mereka pertama-tama memikirkan "aku". Ini normal, alami, dan wajar. Tak seorang pun yang lapar akan melawan perasaan mereka yang sebenarnya dan bertanya kepada orang lain, "Apa yang ingin kaumakan?" Normalkah jika ada orang yang bertanya kepada orang lain apa yang ingin mereka makan padahal dialah yang sedang merasa lapar? (Tidak.) Pada malam hari, ketika seseorang merasa lelah dan letih, dia akan berkata, "Aku lelah. Aku ingin tidur." Tak seorang pun akan berkata, "Aku lelah, bisakah kau tidur untukku? Saat kau tidur, rasa lelahku berkurang." Bukankah tidak normal jika mereka berperilaku dengan cara seperti ini? (Ya.) Secara naluriah, segala sesuatu yang dipikirkan dan dilakukan orang adalah untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka merasa keadaan mereka sudah cukup baik jika mereka mampu menjaga diri mereka sendiri—seperti inilah naluri manusia. Jika engkau mampu hidup secara mandiri, sudah mencapai taraf di mana engkau mampu hidup dan menangani segala sesuatunya seorang diri, mampu mengurus dirimu sendiri, tahu kapan harus pergi ke dokter saat sakit, tahu bagaimana memulihkan diri dari penyakitmu, dan tahu cara menyelesaikan segala persoalan dan kesulitan yang muncul dalam hidupmu, maka keadaanmu sudah sangat baik. Namun, mengorbankan kepentinganmu sendiri demi orang lain mengharuskanmu mengabaikan kebutuhan yang kaumiliki ini demi kepentingan orang lain; tidak melakukan apa pun untuk dirimu sendiri, malah dituntut untuk memikirkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dan melakukan apa pun demi orang lain—bukankah ini tidak manusiawi? Menurut-Ku, pepatah ini benar-benar merampas hak orang untuk hidup. Kebutuhan dasar hidup adalah sesuatu yang seharusnya kaupenuhi sendiri, jadi mengapa orang lain harus mengorbankan kepentingan mereka sendiri untuk melakukan hal-hal ini dan menangani hal-hal ini untukmu? Orang macam apa dirimu jika menuntut orang lain melakukan hal-hal ini untukmu? Apakah engkau adalah orang yang agak keterbelakangan mental, cacat, atau binatang peliharaan? Semua ini adalah hal-hal yang seharusnya orang lakukan secara naluriah—mengapa orang lain harus mengabaikan hal-hal yang seharusnya mereka lakukan dan mengorbankan tenaga mereka untuk melakukan hal-hal ini untukmu? Apakah itu pantas? Bukankah tuntutan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain hanyalah pernyataan yang muluk? (Ya.) Bagaimana kedengarannya pepatah ini, dan dari mana asalnya? Bukankah pepatah ini berasal oleh orang-orang yang disebut kaum moralis yang sama sekali tidak memahami naluri, kebutuhan, dan esensi manusia, dan yang berkeinginan untuk memamerkan keunggulan moral mereka? (Ya.) Bukankah ini tidak manusiawi? (Ya.) Jika semua orang mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi orang lain, lalu bagaimana mereka bisa menangani urusan mereka sendiri? Apakah engkau benar-benar memandang orang lain sebagai orang yang cacat, tidak mampu mengatur kehidupannya sendiri, bodoh, keterbelakangan mental, atau dungu? Jika tidak, lalu mengapa engkau harus mengorbankan kepentinganmu sendiri demi kepentingan orang lain, dan menuntut agar orang lain mengabaikan kepentingan mereka untukmu? Bahkan ada orang-orang cacat yang tidak ingin orang lain memberikan bantuan kepada mereka, tetapi malah ingin mencari nafkah sendiri dan mengatur hidup mereka sendiri—mereka tidak membutuhkan orang lain untuk mengeluarkan biaya ekstra atau memberikan bantuan tambahan kepada mereka. Mereka ingin orang lain memperlakukan mereka dengan benar; ini adalah cara bagi mereka untuk menjaga martabat mereka. Yang mereka butuhkan dari orang lain adalah rasa hormat, bukan simpati dan rasa kasihan. Ini terlebih lagi berlaku bagi mereka yang mampu menjaga dirinya sendiri, bukan? Oleh karena itu, tuntutan untuk mengorbankan kepentinganmu sendiri demi orang lain tidak berlaku dalam pandangan-Ku. Tuntutan ini bertentangan dengan naluri manusia dan perasaan hati nurani mereka, dan tuntutan ini, setidaknya, tidak manusiawi. Sekalipun tujuannya adalah untuk menjaga norma-norma sosial, ketertiban umum, dan hubungan antarpribadi yang normal, tidaklah perlu untuk menggunakan cara yang tidak masuk akal dan tidak manusiawi ini untuk menuntut agar semua orang menentang keinginan mereka dan hidup bagi orang lain. Bukankah akan menjadi agak aneh dan tidak normal jika orang hidup untuk orang lain dan bukan untuk diri mereka sendiri?
Dalam keadaan apa tuntutan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain dapat diterapkan? Salah satu keadaan tersebut adalah ketika orang tua bertindak demi anak-anak mereka. Hal ini kemungkinan besar hanya akan dilakukan dalam jangka waktu yang terbatas. Sebelum anak-anak menjadi orang dewasa, orang tua harus berupaya sebaik mungkin untuk memelihara mereka. Untuk membesarkan anak-anak mereka hingga dewasa dan memastikan mereka menjalani kehidupan yang sehat, bahagia, dan penuh sukacita, orang tua mengorbankan masa muda mereka, menghabiskan tenaga mereka, mengesampingkan kesenangan daging, dan bahkan mengorbankan karier dan hobi mereka. Mereka melakukan semua ini untuk anak-anak mereka. Ini adalah sebuah tanggung jawab. Mengapa orang tua harus memenuhi tanggung jawab ini? Karena setiap orang tua berkewajiban untuk membesarkan anak-anak mereka. Ini adalah tanggung jawab mereka yang tidak boleh dilalaikan. Namun, orang tidak berkewajiban untuk melakukan hal seperti ini terhadap masyarakat dan umat manusia. Jika engkau menjaga dirimu sendiri, tidak menimbulkan masalah, dan tidak membuat masalah bagi orang lain, maka keadaanmu sudah cukup baik. Ada keadaan lain di mana orang yang cacat tidak mampu menjaga diri mereka sendiri dan memerlukan orang tua, saudara kandung mereka, dan bahkan organisasi kesejahteraan sosial untuk menolong mereka dalam kehidupan mereka dan membantu mereka untuk bertahan hidup. Keadaan khusus lainnya adalah ketika orang atau daerah mengalami bencana alam, dan mereka tidak dapat bertahan hidup tanpa bantuan darurat. Ini adalah contoh di mana mereka membutuhkan bantuan orang lain. Apakah ada keadaan lain selain ini, di mana orang harus mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi membantu orang lain? Mungkin tidak ada. Dalam kehidupan nyata, masyarakat sangat kompetitif, dan jika orang tidak mengerahkan seluruh pikiran mereka untuk melakukan pekerjaannya dengan baik, akan sulit bagi mereka untuk bertahan hidup. Manusia tidak mampu mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi orang lain; sudah cukup baik jika mereka mampu menjamin kelangsungan hidupnya sendiri dan tidak merugikan kepentingan orang lain. Sebenarnya, wajah asli manusia tecermin jauh lebih akurat melalui bagaimana mereka saling bertarung dan saling mematikan dengan penuh dendam di tengah latar belakang sosial dan keadaan kehidupan nyata. Dalam pertandingan olahraga, engkau melihat bahwa ketika para atlet mengerahkan seluruh tenaga mereka untuk menunjukkan siapa diri mereka dan pada akhirnya meraih kemenangan, tak satupun dari mereka akan berkata, "Aku tidak menginginkan gelar juara ini. Menurutku, engkau yang harus menerimanya." Tak seorang pun akan pernah melakukannya. Sudah menjadi naluri manusia untuk bersaing menjadi nomor satu, menjadi yang terbaik, dan menjadi juara. Sebenarnya, orang tidak mampu mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi orang lain. Dalam naluri manusia, tidak ada kebutuhan atau keinginan untuk mengorbankan kepentingan mereka demi orang lain. Mengingat esensi dan natur manusia, mereka hanya mampu dan hanya akan bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Jika ada orang yang bertindak demi kepentingan mereka sendiri dan mampu menempuh jalan yang benar, maka ini adalah hal yang baik, dan orang tersebut dapat dianggap sebagai makhluk ciptaan yang baik di antara manusia. Jika, ketika bertindak demi kepentinganmu sendiri, engkau mampu menempuh jalan yang benar, mengejar kebenaran dan hal-hal positif, serta memberikan pengaruh positif kepada orang-orang di sekitarmu, maka keadaanmu sudah cukup baik. Menganjurkan dan mengajukan gagasan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain tidak lebih daripada pernyataan yang muluk. Itu tidak sejalan dengan kebutuhan manusia, apalagi dengan keadaan manusia saat ini. Meskipun faktanya tuntutan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain tidak sejalan dengan kenyataan dan tidak manusiawi, tetapi hal ini masih mempunyai tempat tersendiri di lubuk hati orang, dan, dalam taraf berbeda, pemikiran mereka masih dipengaruhi dan dibelenggu oleh tuntutan itu. Ketika orang hanya bertindak untuk diri mereka sendiri, tidak bertindak demi orang lain, tidak membantu orang lain, atau tidak memikirkan orang lain atau tidak memedulikan orang lain, sering kali hati mereka merasa tertuduh. Mereka merasakan tekanan yang tak terlihat dan terkadang bahkan merasa orang lain memandang mereka dengan tatapan sinis. Perasaan seperti itu muncul karena pengaruh ideologi moral tradisional yang berakar begitu dalam di hati mereka. Pernahkah engkau juga dipengaruhi dalam taraf berbeda oleh berbagai budaya tradisional yang menuntutmu untuk mengorbankan kepentinganmu sendiri demi orang lain? (Ya.) Banyak orang masih menyetujui tuntutan budaya tradisional ini, dan jika ada orang yang mampu mematuhi tuntutan ini, tuntutan mana pun yang mereka penuhi, orang-orang akan menganggap mereka baik dan tak seorang pun akan mencela atau menentang mereka. Seandainya ada seseorang yang melihat orang terjatuh di jalan dan tidak segera menolongnya, semua orang akan merasa tidak senang dengan orang yang tidak peduli tersebut, dan mengatakan bahwa orang tersebut sangat tidak berperikemanusiaan. Hal ini memperlihatkan bahwa standar yang dituntut oleh budaya tradisional untuk manusia terapkan telah memiliki tempat tertentu di hati orang. Jadi, tepatkah mengukur orang berdasarkan hal-hal dari budaya tradisional ini? Mereka yang tidak memahami kebenaran tidak akan pernah mampu memahami hal ini sepenuhnya. Budaya tradisional bisa dikatakan telah menjadi bagian dari kehidupan manusia selama ribuan tahun, tetapi apa sebenarnya dampak yang dihasilkannya? Sudahkah itu mengubah pandangan rohani manusia? Sudahkah itu membawa peradaban dan kemajuan bagi masyarakat? Sudahkah itu menyelesaikan masalah keamanan publik di tengah masyarakat? Sudahkah itu berhasil mendidik manusia? Budaya tradisional tidak menyelesaikan semua hal ini. Budaya tradisional sama sekali tidak efektif, jadi dapat dikatakan bahwa standar yang dituntut budaya tradisional terhadap manusia tidak dapat dianggap sebagai standar—semua itu hanyalah kekangan yang ditujukan untuk mengikat tangan dan kaki orang, membatasi pemikiran mereka, dan mengatur perilaku mereka. Standar itu memastikan bahwa di mana pun orang berada, dia akan berperilaku baik, mengikuti aturan, memiliki keserupaan dengan manusia, menghormati orang yang lanjut usia, mengasihi anak muda, dan tahu bagaimana menghormati orang yang lebih tua. Standar itu membuat orang tidak menjengkelkan orang lain dengan terlihat naif dan tidak sopan. Semua standar ini paling-paling hanya membuat orang terlihat sedikit lebih sopan dan anggun—padahal sebenarnya, ini tidak ada kaitannya dengan esensi manusia dan hanya berguna untuk mendapatkan persetujuan sesaat dari orang lain dan memuaskan kesombongan orang. Engkau merasa sangat senang ketika orang-orang memberitahumu betapa baiknya dirimu dalam mengerjakan beberapa hal untuk mereka. Saat engkau memperlihatkan bahwa engkau mampu mengasihi orang muda dan orang yang lanjut usia dengan memberikan tempat dudukmu untuk mereka di bus, dan orang lain mengatakan betapa engkau adalah anak yang baik, dan bahwa engkau adalah masa depan bangsa, engkau pun merasa senang. Engkau juga merasa senang saat engkau mengantre untuk membeli tiket dan engkau membiarkan orang di belakangmu membeli tiketnya terlebih dahulu, dan orang lain memujimu karena bersikap penuh perhatian. Setelah mengikuti beberapa aturan dan memperlihatkan beberapa tindakan perilaku baik, engkau merasa bahwa engkau memiliki karakter yang luhur. Jika engkau meyakini bahwa engkau memiliki status yang lebih tinggi daripada orang lain setelah sesekali melakukan perbuatan baik—bukankah ini bodoh? Kebodohan ini dapat membuatmu kehilangan nalar dan tersesat. Tidak ada gunanya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mempersekutukan pepatah tentang perilaku moral mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain ini. Masalah yang ada kaitanya dengan pepatah ini cukup mudah untuk dipahami, karena pepatah ini membengkokkan dan sangat merusak kemanusiaan, karakter, dan martabat orang. Hal ini menjadikan mereka makin tidak tulus, tidak masuk akal, berpuas diri, dan makin tidak mampu mengetahui bagaimana mereka seharusnya hidup, bagaimana mengenali orang, peristiwa, dan hal-hal dalam kehidupan nyata, serta bagaimana menghadapi berbagai masalah yang menimpa mereka dalam kehidupan nyata. Orang hanya mampu memberikan sedikit bantuan dan meringankan kekhawatiran dan masalah orang lain, tetapi kehilangan arah menuju jalan yang seharusnya mereka tempuh dalam hidup, dimanipulasi oleh Iblis dan menjadi bahan tertawaan Iblis—bukankah ini sebuah tanda penghinaan? Bagaimanapun juga, apa yang disebut standar moral mengorbankan kepentingan diri sendiri demi orang lain ini adalah pepatah yang tidak tulus dan menyimpang. Tentu saja, mengenai hal ini, Tuhan hanya menuntut manusia agar mereka memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan tugas yang diberikan kepada mereka, agar mereka tidak menyakiti, melukai, atau merugikan orang, dan agar mereka bertindak dengan cara di mana orang lain dapat memperoleh keuntungan dan manfaat—itu sudah cukup. Tuhan tidak menuntut agar manusia mengambil tanggung jawab atau kewajiban tambahan apa pun. Jika engkau mampu menyelesaikan semua pekerjaan, tugas, dan memenuhi kewajiban dan tanggung jawabmu, berarti keadaanmu sudah baik—bukankah sesederhana itu? (Ya.) Hal ini mudah dicapai. Mengingat bahwa hal ini sangat sederhana dan semua orang memahaminya, maka tidak perlu lagi mempersekutukannya secara lebih mendetail.
Berikutnya, Aku akan membahas mengenai pernyataan tentang perilaku moral, "Seorang wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral". Perbedaan antara pernyataan ini dan standar-standar lain yang dituntut dalam perilaku moral adalah bahwa standar ini ditujukan secara khusus bagi para wanita. "Seorang wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral" adalah tuntutan terhadap wanita yang tidak manusiawi dan tidak masuk akal yang diajukan oleh kelompok yang disebut kaum moralis. Mengapa Kukatakan demikian? Standar ini menuntut semua wanita, baik itu anak perempuan maupun para istri, bahwa mereka harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral. Agar dapat dianggap sebagai wanita yang baik dan terhormat, mereka harus menerapkan perilaku moral semacam ini dan memiliki karakter moral seperti ini. Yang tersirat dalam pernyataan ini bagi pria adalah bahwa wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral, sedangkan pria tidak perlu seperti itu—pria tidak perlu berbudi luhur atau baik hati, apalagi harus lemah lembut atau bermoral. Apa yang harus pria lakukan? Jika istri mereka tidak berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral, mereka dapat menceraikan atau menelantarkannya. Jika seorang pria tidak tega meninggalkan istrinya, apa yang harus dia lakukan? Dia harus mengubah istrinya menjadi wanita yang berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral—ini adalah tanggung jawab dan kewajibannya. Tanggung jawab sosial pria adalah menjaga, membimbing, dan mengawasi wanita secara ketat. Mereka harus sepenuhnya mewujudkan peran mereka sebagai pemimpin, mereka harus menekan wanita yang berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral, menjadi tuan mereka dan kepala rumah tangga, dan memastikan wanita melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dan memenuhi kewajiban mereka yang seharusnya. Sebaliknya, pria tidak perlu menerapkan perilaku moral semacam ini—mereka dikecualikan dari aturan ini. Mengingat bahwa pria dikecualikan dari aturan ini, pernyataan mengenai perilaku moral ini hanyalah sebuah standar yang digunakan pria untuk menilai wanita. Dengan kata lain, ketika seorang pria hendak menikahi seorang wanita yang memiliki perilaku moral yang baik, bagaimana seharusnya dia menilai wanita tersebut? Dia hanya cukup menilai apakah wanita tersebut berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral atau tidak. Jika wanita tersebut berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral, dia boleh menikahinya—jika tidak, maka pria tersebut tidak boleh menikahinya. Seandainya dia menikahi wanita yang tidak berperilaku moral seperti itu, orang lain akan memandang rendah istrinya dan bahkan berkata bahwa istrinya bukan orang yang baik. Jadi, tuntutan spesifik apa yang menurut kaum moralis harus dipenuhi oleh wanita agar dianggap berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral? Apakah kata-kata sifat tersebut memiliki arti khusus? Ada banyak makna di balik keempat kata sifat "berbudi luhur", "baik hati", "lemah lembut", dan "bermoral", dan tak satu pun dari sifat-sifat ini yang mudah untuk dipenuhi oleh siapa pun. Tidak ada pria atau kaum intelektual yang mampu memenuhi sifat-sifat ini, tetapi mereka menuntut wanita biasa untuk memenuhinya—ini sangat tidak adil bagi wanita. Jadi, apa sajakah perilaku dasar dan wujud spesifik dari perilaku moral yang harus diperlihatkan wanita agar dianggap berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral? Pertama, wanita tidak boleh berada di luar kamar rumahnya, dan mereka harus mengikat kaki mereka sehingga kaki mereka hanya berukuran sekitar 10 sentimeter, di mana panjangnya kurang dari panjang telapak tangan anak kecil. Ini mengekang wanita dan memastikan agar mereka tidak bisa pergi ke mana pun sesuka hati mereka. Sebelum menikah, wanita tidak diperbolehkan keluar dari kamar rumahnya, harus mengurung diri di kamar mereka, dan tidak boleh memperlihatkan wajah mereka di muka umum. Jika mereka mampu mematuhi aturan-aturan ini, itu berarti mereka memiliki karakter moral seorang wanita lajang yang berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral. Setelah menikah, seorang wanita harus menunjukkan bakti ketaatannya kepada mertuanya dan memperlakukan kerabat-kerabat suaminya dengan baik. Bagaimanapun keluarga suaminya memperlakukan dirinya atau menganiaya dirinya, dia harus menanggung kesukaran dan kritikan, seperti kuda beban yang setia. Dia bukan saja harus melayani seluruh anggota keluarga, baik tua maupun muda, dia juga harus melahirkan anak-anak untuk meneruskan garis keturunan, dan semua dilakukannya tanpa keluhan sedikit pun. Betapapun beratnya dia dipukuli atau diperlakukan tidak adil di tangan mertuanya, betapapun lelah dirinya dan betapapun kerasnya dia harus bekerja, dia tidak pernah boleh mengeluh kepada suaminya mengenai semua ini. Sebanyak apa pun dia ditindas oleh mertuanya, dia tidak boleh membiarkan siapa pun di luar keluarganya tahu dan menyebarkan gosip apa pun tentang keluarganya. Sekalipun dia telah diperlakukan tidak adil, dia tidak boleh angkat bicara dan harus menyimpan hinaan dan penghinaan itu dalam hatinya. Dia bukan saja harus menanggung kesukaran dan kritikan, tetapi dia juga harus belajar tunduk tanpa perlawanan pada penindasan, menahan kemarahannya, dan menanggung penghinaan dan beban tanggung jawab—dia harus belajar seni ketabahan dan kesabaran. Apa pun makanan enak yang ada di atas meja makan, dia harus terlebih dahulu membiarkan anggota keluarga lain menyantapnya; untuk menunjukkan bakti ketaatannya, dia harus terlebih dahulu membiarkan mertuanya makan, lalu suami dan anak-anaknya. Setelah semua orang makan dan semua makanan enaknya sudah habis, dia disisakan untuk mengisi perutnya dengan sisa makanan apa pun yang tersisa. Selain tuntutan yang baru saja Kubahas, pada zaman modern ini, wanita juga diharapkan untuk "cakap baik dalam berurusan dengan masyarakat maupun dalam urusan dapur". Mendengar kalimat ini, Aku bertanya-tanya, apa yang semua pria kerjakan jika wanita diharapkan untuk cakap baik dalam berurusan dengan masyarakat maupun dalam urusan dapur? Wanita harus memasak untuk seluruh keluarga, melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak-anak di rumah, lalu pergi ke ladang dan bekerja—mereka harus cakap baik di rumah maupun di luar rumah, dengan menyelesaikan semua pekerjaan ini. Sedangkan pria, mereka hanya harus pergi bekerja, lalu pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga apa pun. Jika ada sesuatu yang membuat mereka marah di tempat kerja, mereka akan melampiaskannya kepada istri dan anak-anak mereka sesampainya mereka di rumah—apakah ini adil? Apa yang telah engkau semua pahami dari hal-hal yang telah Kubahas ini? Tak seorang pun mengajukan tuntutan terhadap perilaku moral pria, sedangkan wanita dituntut untuk cakap baik dalam berurusan dengan masyarakat maupun dalam urusan dapur, selain harus mempertahankan karakter yang berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral. Berapa banyak wanita yang mampu memenuhi tuntutan semacam ini? Bukankah tidak adil untuk mengajukan tuntutan semacam itu terhadap wanita? Jika seorang wanita melakukan kesalahan sedikit saja, dia akan dipukuli, dihina, dan bahkan mungkin ditelantarkan oleh suaminya. Wanita hanya bisa menanggung semua ini, dan jika mereka benar-benar tidak tahan lagi, mereka hanya bisa memilih untuk bunuh diri. Bukankah mengajukan tuntutan yang tidak manusiawi terhadap wanita merupakan tindakan yang menindas, padahal mereka secara fisik lebih lemah, lebih tidak bertenaga, dan lebih tidak mampu secara fisik dibandingkan pria? Di antara para wanita yang hadir di sini hari ini, bukankah engkau semua akan merasa bahwa adalah berlebihan jika orang mengajukan tuntutan semacam itu terhadap dirimu di kehidupan nyata? Apakah pria memang seharusnya memiliki kendali atas wanita? Apakah mereka dimaksudkan untuk menjadi tuan atas wanita, untuk memaksa wanita menanggung kesukaran? Berdasarkan keadaan yang buruk ini, bukankah dapat kita simpulkan bahwa pepatah "Seorang wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral" sebenarnya menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat? Bukankah pepatah ini jelas sekali mengangkat status pria di tengah masyarakat dan sekaligus dengan sengaja menurunkan status wanita? Tuntutan ini menyebabkan pria dan wanita sangat yakin bahwa status sosial dan nilai wanita di mata masyarakat lebih rendah daripada pria dan bukan setara dengan pria. Oleh karena itu, wanita yang harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral, mengalami perlakuan buruk, dan didiskriminasi, dihina, dan dirampas hak asasi manusianya di tengah masyarakat. Sebaliknya, sudah menjadi hal yang lumrah jika pria harus menjadi kepala rumah tangga dan adalah wajar bagi pria untuk menuntut agar wanita berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral. Bukankah hal ini dengan sengaja menimbulkan konflik di tengah masyarakat? Bukankah hal ini dengan sengaja menciptakan perpecahan di tengah masyarakat? Akankah ada wanita yang memberontak setelah mengalami penganiayaan dalam jangka waktu yang lama? (Ya.) Di mana pun ketidakadilan terjadi, akan ada pemberontakan. Apakah pepatah tentang perilaku moral ini adil bagi wanita? Setidaknya, ini tidak adil bagi wanita—ini hanya memberikan izin kepada pria untuk bertindak jauh lebih lancang, memperdalam perpecahan di tengah masyarakat, meningkatkan status pria di tengah masyarakat dan merendahkan status wanita, sekaligus makin merampas hak wanita untuk hidup, dan secara halus memperburuk ketimpangan status antara pria dan wanita di tengah masyarakat. Aku dapat merangkum peran wanita di rumah dan di tengah masyarakat pada umumnya, serta perilaku moral yang mereka perlihatkan, dengan hanya satu istilah: wanita hanya dianggap samsak. Pepatah tentang perilaku moral bahwa "Seorang wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral" menuntut agar wanita menghormati orang yang lebih tua dalam keluarga, mencintai dan mengurus anggota keluarga yang lebih muda, khususnya bersikap hormat terhadap suami mereka, dan menyediakan segala sesuatu yang mereka butuhkan dan inginkan. Istri harus menangani semua urusan keluarga di dalam dan di luar rumah, dan sebanyak apa pun kesukaran yang mereka tanggung, mereka tidak pernah boleh mengeluh—bukankah ini merampas hak-hak wanita? (Ya.) Ini berarti merampas kebebasan wanita, merampas hak mereka untuk berpendapat, dan merampas hak mereka untuk hidup. Manusiawikah jika orang merampas seluruh hak wanita dan tetap menuntut agar mereka memenuhi tanggung jawab mereka? Ini sama saja dengan menginjak-injak wanita dan menindas mereka!
Jelas sekali bahwa kaum moralis yang mengajukan tuntutan ini terhadap wanita, dan dalam prosesnya menindas mereka, adalah pria dan bukan wanita. Wanita tidak akan memilih untuk menginjak-injak kaumnya sendiri, jadi sudah pasti tuntutan tersebut berasal dari pria. Mereka khawatir jika wanita menjadi terlalu cakap, memperoleh terlalu banyak otoritas dan memiliki terlalu banyak kebebasan, wanita akan menjadi setara dengan pria, jadi mereka harus ditempatkan di bawah pengawasan dan kendali yang ketat. Wanita yang cakap lambat laun akan memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan pria, tidak lagi menjalankan tugas mereka di rumah, dan hal ini—mereka yakini—pasti akan berdampak pada keharmonisan rumah tangga. Jika tidak ada keharmonisan di masing-masing rumah tangga, maka masyarakat secara keseluruhan akan menjadi tidak harmonis dan hal ini mengkhawatirkan para penguasa negara. Perhatikan, apa pun yang kita bahas, pembicaraannya tampak selalu kembali ke kelas penguasa. Mereka mempunyai niat jahat dan ingin menangani wanita dan mengambil tindakan terhadap mereka—ini tidak manusiawi. Mereka menuntut bahwa, baik di rumah maupun di tengah masyarakat pada umumnya, wanita harus benar-benar patuh, tunduk pada penindasan tanpa perlawanan, rendah hati dan merendahkan diri mereka sendiri, menerima semua hinaan, mereka juga harus berpendidikan tinggi dan bijaksana, lemah lembut dan penuh perhatian, dan tahan menghadapi segala kesukaran dan kritikan, dan sebagainya. Jelas sekali, mereka hanya mengharapkan wanita menjadi seperti samsak dan keset—seandainya wanita melakukan semua ini, akankah mereka tetap menjadi manusia? Jika mereka benar-benar mampu memenuhi semua tuntutan ini, mereka pasti bukanlah manusia; mereka akan menjadi seperti berhala yang disembah oleh orang tidak percaya yang tidak makan atau minum, terpisah dari hal-hal duniawi, tidak pernah marah, dan tidak memiliki kepribadian. Atau mereka mungkin seperti boneka atau mesin yang tidak berpikir atau bereaksi secara mandiri. Seseorang yang benar-benar manusia pasti memiliki pendapat dan sudut pandang terhadap pepatah dan pembatasan dari dunia luar—mereka tidak mungkin mampu tunduk tanpa perlawanan terhadap semua penindasan. Inilah sebabnya mengapa gerakan hak-hak wanita telah muncul pada zaman modern. Status wanita di tengah masyarakat telah berangsur-angsur meningkat dalam seratus tahun terakhir, dan mereka akhirnya terbebas dari belenggu yang pernah mengikat mereka. Sudah berapa tahun wanita menjadi sasaran perbudakan ini? Di Asia Timur, mereka dikekang setidaknya selama ribuan tahun. Perbudakan ini sangat kejam dan kasar—kaki mereka diikat hingga mereka tidak mampu berjalan dan tak pernah ada seorang pun yang membela para wanita ini dari ketidakadilan. Aku pernah mendengar bahwa pada abad ke-17 dan ke-18, beberapa negara dan wilayah di Barat juga menerapkan pembatasan tertentu terhadap kebebasan wanita. Bagaimana mereka membatasi wanita pada masa itu? Mereka memaksa para wanita mengenakan rok berbentuk lingkaran yang diikat di pinggang dengan jepitan logam dan disangga dengan cincin logam yang berat dan menjuntai. Rok ini membuat wanita menjadi sangat tidak nyaman untuk meninggalkan rumah atau berjalan-jalan dan mengurangi gerakan tubuh mereka secara signifikan. Oleh karena itu, wanita merasa sangat sulit untuk berjalan jauh atau meninggalkan rumah mereka. Apa yang dilakukan wanita dalam keadaan sulit ini? Yang dapat mereka lakukan hanyalah menerimanya tanpa bisa berkata apa pun dan tetap tinggal di rumah, dan mereka tidak bisa berjalan jauh. Pergi keluar untuk berjalan-jalan, melihat pemandangan, memperluas wawasan, atau mengunjungi teman adalah hal yang mustahil. Ini adalah cara yang digunakan masyarakat Barat untuk membatasi wanita—masyarakat Barat tidak ingin wanita meninggalkan rumah dan berhubungan dengan siapa pun yang mereka inginkan. Pada masa itu, pria dapat mengendarai kereta kudanya ke mana pun mereka mau tanpa batasan apa pun, sedangkan wanita harus tunduk pada segala macam batasan ketika meninggalkan rumah. Pada zaman modern, kini makin sedikit pembatasan yang diterapkan pada wanita: mengikat kaki sudah dilarang dan wanita timur bebas memilih dengan siapa mereka ingin menjalin hubungan. Kini wanita sudah cukup bebas dan perlahan-lahan keluar dari bayang-bayang perbudakan. Setelah mereka keluar dari bayang-bayang ini, mereka masuk ke tengah masyarakat dan perlahan-lahan mulai memikul tanggung jawab yang sama. Wanita telah mencapai status yang cukup tinggi di tengah masyarakat, dan menikmati lebih banyak hak dan keistimewaan daripada sebelumnya. Secara berangsur, perdana menteri dan presiden wanita mulai dipilih di negara-negara tertentu. Apakah merupakan hal yang baik atau buruk bagi manusia jika status wanita secara berangsur meningkat? Setidaknya, peningkatan status ini telah memberi wanita kebebasan dan kemerdekaan tertentu—hal ini tentu saja baik bagi wanita. Apakah bermanfaat bagi masyarakat jika wanita mempunyai kebebasan dan hak untuk berekspresi? Sebenarnya, ini bermanfaat; wanita ternyata cakap melakukan banyak hal yang tidak mampu dilakukan pria dengan baik atau yang tidak ingin dilakukan pria. Wanita unggul dalam banyak bidang pekerjaan. Pada zaman sekarang, wanita bukan saja mampu mengendarai mobil, mereka juga mampu menerbangkan pesawat. Ada wanita-wanita yang juga menjabat sebagai pejabat atau presiden yang memimpin negara, dan mereka melakukan pekerjaan mereka sama baiknya seperti pria—ini sepenuhnya mencerminkan bahwa wanita setara dengan pria. Kini hak-hak yang sudah seharusnya dinikmati wanita sedang dianjurkan dan dilindungi sepenuhnya, dan ini merupakan peristiwa yang normal. Tentu saja, adalah wajar jika wanita menikmati hak-hak mereka, tetapi baru sekaranglah, setelah keadaan menyimpang selama ribuan tahun, hal ini kembali menjadi normal, dan kesetaraan antara pria dan wanita pada dasarnya telah tercapai. Berdasarkan perspektif kehidupan nyata, keberadaan wanita secara berangsur meningkat di semua kelas sosial dan di semua industri. Apa artinya ini? Artinya, wanita dengan berbagai spesialisasi sedang secara berangsur menggunakan bakat mereka dan menyumbangkan nilai mereka bagi manusia dan masyarakat. Bagaimanapun orang memandang keadaan ini, dapat dipastikan bahwa keadaan seperti ini bermanfaat bagi manusia. Jika hak-hak dan status wanita di tengah masyarakat belum dipulihkan, pekerjaan seperti apa yang akan mereka lakukan? Mereka pasti sedang berada di rumah melayani suami mereka dan membesarkan anak-anak mereka, menangani urusan rumah tangga, dan menunjukkan perilaku yang berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral—mereka sama sekali tidak akan mampu memenuhi tanggung jawab sosial mereka. Kini, setelah hak-hak mereka dianjurkan dan dilindungi, wanita dapat memberikan kontribusinya kepada masyarakat secara normal, dan umat manusia telah menikmati manfaat dari nilai dan kontribusi yang telah wanita berikan kepada masyarakat. Dari fakta ini, dapat dipastikan bahwa pria dan wanita adalah setara, dan pria tidak boleh meremehkan atau menganiaya wanita, dan bahwa status sosial wanita harus ditingkatkan, yang semuanya menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat sedang mengalami kemajuan. Kini pemahaman manusia mengenai gender menjadi lebih mendalam, benar, dan sesuai, dan sebagai hasilnya, wanita mulai muncul dalam pekerjaan-pekerjaan yang dahulu orang anggap tidak mampu mereka lakukan. Kini para pekerja wanita bukan saja sering dipekerjakan di perusahaan swasta, tetapi sudah menjadi hal yang lumrah bagi wanita untuk mengisi jabatan di departemen penelitian ilmiah, dan proporsi wanita yang menduduki posisi kepemimpinan nasional juga meningkat. Kita juga telah mendengar tentang penulis, penyanyi, pengusaha, dan ilmuwan wanita, banyak wanita yang telah menjadi juara pertama dan juara kedua di pertandingan olahraga, bahkan ada pahlawan wanita di masa perang, yang semuanya membuktikan bahwa wanita juga sama cakapnya seperti pria. Proporsi wanita yang bekerja di setiap industri makin meningkat dan hal ini cukup normal. Di semua perdagangan dan profesi di tengah masyarakat modern, prasangka terhadap wanita makin berkurang, masyarakat menjadi lebih adil dan ada kesetaraan sejati antara pria dan wanita. Wanita tidak lagi dibatasi dan dinilai berdasarkan ungkapan dan standar perilaku moral seperti "Seorang wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral" atau "Seorang wanita harus mengurung dirinya di kamar". Kini hak-hak wanita relatif lebih terlindungi, hal ini benar-benar mencerminkan iklim sosial dari kesetaraan gender.
Kita melihat bahwa hanya pria yang menuntut wanita agar berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral, tetapi kita tidak pernah melihat wanita menuntut hal yang sama terhadap pria. Ini adalah cara yang sangat tidak adil dalam memperlakukan wanita, dan bahkan agak egois, hina, dan tidak tahu malu. Dapat juga dikatakan bahwa menganiaya wanita seperti ini adalah tindakan yang ilegal dan kejam. Di tengah masyarakat modern, banyak negara telah membuat undang-undang yang melarang kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Sebenarnya, Tuhan tidak mengatakan apa pun yang spesifik mengenai jenis kelamin manusia, karena baik pria maupun wanita adalah ciptaan Tuhan dan berasal dari Tuhan. Menggunakan ungkapan yang diucapkan oleh manusia, "Baik telapak tangan maupun punggung tangan terbuat dari daging"—Tuhan tidak memiliki diskriminasi tertentu terhadap pria atau wanita, Dia juga tidak mengajukan tuntutan yang berbeda terhadap salah satu gender atau gender lainnya, keduanya sama. Oleh karena itu, Tuhan menggunakan beberapa standar yang sama untuk menghakimimu entah engkau pria atau wanita—Dia akan melihat seperti apa esensi kemanusiaan yang kaumiliki, jalan apa yang kautempuh, bagaimana sikapmu terhadap kebenaran, apakah engkau mencintai kebenaran atau tidak, apakah engkau memiliki hati yang takut akan Tuhan atau tidak, dan apakah engkau mampu tunduk kepada-Nya atau tidak. Ketika memilih orang dan membina mereka untuk melaksanakan tugas tertentu atau memenuhi tanggung jawab tertentu, Tuhan tidak memandang apakah mereka pria atau wanita. Tuhan mempromosikan dan memakai orang, entah mereka pria atau wanita, dengan melihat apakah mereka berhati nurani dan bernalar atau tidak, apakah mereka memiliki kualitas yang dapat diterima atau tidak, apakah mereka menerima kebenaran atau tidak, dan jalan apa yang mereka tempuh. Tentu saja, ketika menyelamatkan dan menyempurnakan manusia, Tuhan tidak berhenti sejenak untuk mempertimbangkan gender mereka. Jika engkau adalah seorang wanita, Tuhan tidak akan mempertimbangkan apakah engkau berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral atau tidak, atau apakah engkau berkelakuan baik atau tidak, dan Dia tidak menilai pria berdasarkan kejantanan dan kemaskulinan mereka—hal-hal ini bukanlah standar yang berdasarkannya Tuhan menilai pria dan wanita. Namun, di antara manusia yang rusak, selalu ada orang-orang yang melakukan diskriminasi terhadap wanita, yang mengajukan tuntutan tertentu yang tidak bermoral dan tidak manusiawi terhadap wanita untuk merampas hak-hak mereka, merampas status sosial mereka yang seharusnya, nilai yang seharusnya mereka berikan bagi masyarakat, dan yang berusaha membatasi dan mengekang perkembangan positif dan keberadaan wanita di tengah masyarakat, mengubah pola pikir psikologis mereka. Hal ini menyebabkan wanita menjalani seluruh hidup mereka dalam keadaan depresi dan menderita, tidak punya pilihan selain menjalani gaya hidup yang memalukan dalam lingkungan sosial dan moral yang buruk dan tidak sehat ini. Satu-satunya alasan mengapa hal ini telah terjadi adalah karena masyarakat dan seluruh dunia dikendalikan oleh Iblis dan segala macam setan yang dengan seenaknya menyesatkan dan merusak manusia. Akibatnya, manusia tidak mampu melihat terang sejati, tidak mencari Tuhan, dan malah hanya dapat bertindak bertentangan dengan keinginan mereka atau tanpa sadar hidup di bawah tipu muslihat dan manipulasi Iblis, tidak mampu melepaskan diri mereka sendiri. Satu-satunya jalan keluar bagi mereka adalah dengan mencari firman Tuhan, penampakan-Nya, dan pekerjaan-Nya agar dapat memperoleh pemahaman akan kebenaran dan mampu melihat dengan jelas serta memiliki kemampuan mengenali berbagai kekeliruan, ajaran sesat, perkataan setan, dan pernyataan tidak masuk akal yang semuanya berasal dari Iblis dan orang jahat. Hanya dengan cara demikianlah mereka akan mampu melepaskan diri dari kekangan, tekanan, dan pengaruh ini. Dan hanya dengan memandang orang dan hal-hal serta berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan dan kebenaran, barulah orang mampu hidup dalam keserupaan dengan manusia, hidup bermartabat, hidup dalam terang, melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, memenuhi kewajiban yang seharusnya mereka penuhi dan, tentu saja, mengkontribusikan nilai mereka, dan menyelesaikan misi hidup mereka dengan pimpinan Tuhan dan dengan dituntun oleh pemikiran dan pandangan yang benar—bukankah hidup seperti ini sangat bermakna? (Ya.) Saat engkau mengingat kembali bagaimana Iblis menggunakan pepatah "Seorang wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral" untuk mengajukan tuntutan terhadap wanita dan membatasi, mengendalikan, dan bahkan memperbudak mereka selama ribuan tahun, perasaan seperti apakah yang kaumiliki? Ketika engkau semua para wanita mendengar orang mengungkit ungkapan "Seorang wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral", apakah engkau langsung merasa menentangnya dan berkata, "Jangan mengungkit hal itu! Ungkapan itu tidak ada hubungannya denganku. Meskipun aku seorang wanita, firman Tuhan berkata bahwa ungkapan ini tidak ada hubungannya dengan wanita"? Ada pria-pria yang akan berkata: "Jika itu tidak ada hubungannya denganmu, lalu kepada siapakah ungkapan ini ditujukan? Bukankah engkau seorang wanita?" Dan engkau akan menjawab: "Aku adalah seorang wanita, itulah faktanya. Namun perkataan itu bukan berasal dari Tuhan, perkataan itu bukan kebenaran. Perkataan itu berasal dari setan dan manusia, mereka menginjak-injak wanita dan merampas hak mereka untuk hidup. Perkataan tersebut tidak manusiawi dan tidak adil bagi wanita. Aku menentangnya!" Sebenarnya engkau tidak perlu menentangnya. Yang perlu kaulakukan hanyalah memperlakukan ungkapan-ungkapan semacam ini dengan benar, menolaknya, dan jangan dipengaruhi dan dikekang olehnya. Jika kelak ada orang yang berkata kepadamu, "Tampangmu tidak seperti wanita, dan cara bicaramu sangat kasar seperti pria. Siapa yang mau menikah denganmu?" bagaimana seharusnya engkau menjawabnya? Engkau bisa berkata, "Jika tidak ada yang menikahiku, tidak masalah. Apa kau bermaksud mengatakan bahwa satu-satunya jalan untuk hidup bermartabat adalah dengan menikah? Apa kau bermaksud mengatakan bahwa wanita sejati hanyalah wanita yang berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral, dan dicintai semua orang? Itu tidak benar—berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral tidak boleh kaujadikan kata-kata untuk mendefinisikan wanita sejati. Wanita tidak boleh didefinisikan berdasarkan jenis kelamin mereka, dan kemanusiaan mereka tidak boleh dinilai berdasarkan apakah mereka berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral atau tidak, melainkan mereka harus dinilai dengan menggunakan standar yang berdasarkannya Tuhan menilai kemanusiaan orang. Ini adalah cara yang adil dan objektif untuk menilai mereka." Apakah sekarang engkau memiliki pemahaman yang mendasar tentang pepatah, "Seorang wanita harus berbudi luhur, baik hati, lemah lembut, dan bermoral" ini? Persekutuan-Ku seharusnya telah memperjelas fakta yang relevan dari pepatah ini dan memperjelas sudut pandang yang seharusnya orang gunakan untuk memperlakukan pepatah ini.
Ada pepatah lain yang berbunyi: "Saat meminum air dari sumur, orang tidak boleh melupakan siapa yang telah menggalinya". Aku tidak ingin mempersekutukan pepatah ini. Mengapa Aku tidak ingin mempersekutukan pepatah ini? Pepatah ini mirip dengan ungkapan "Korbankan kepentinganmu sendiri demi orang lain", dan ada sesuatu yang agak menyimpang di dalamnya. Betapa merepotkannya jika orang harus mengingat penggali sebuah sumur setiap kali mereka pergi menimba air darinya? Ada sumur-sumur yang dihiasi dengan pita merah dan jimat—bukankah sedikit aneh jika orang juga membakar dupa dan mempersembahkan buah-buahan di sana? Dibandingkan dengan ungkapan "Saat meminum air dari sumur, orang tidak boleh melupakan siapa yang telah menggalinya", Aku lebih menyukai ungkapan, "Generasi mendatang menikmati keteduhan pepohonan yang ditanam oleh generasi sebelumnya", karena pepatah ini mencerminkan sebuah kenyataan yang benar-benar dapat orang alami dan jalani. Dibutuhkan waktu sepuluh hingga dua puluh tahun bagi pohon yang ditanam untuk bertumbuh hingga mencapai ukuran yang dapat memberikan keteduhan, jadi orang yang menanam pohon itu sendiri tidak dapat menikmati keteduhan di bawah naungannya untuk jangka waktu yang lama, dan hanya generasi berikutnya yang akan memperoleh manfaat dari pohon tersebut di sepanjang hidup mereka. Ini adalah hukum alam. Sebaliknya, ada sesuatu yang agak tidak normal tentang mengingat penggali dari sebuah sumur setiap kali orang meminum air dari sumur tersebut. Bukankah akan terasa sedikit tidak waras jika semua orang harus mengenang dan mengingat penggali sumur tersebut setiap kali mereka datang untuk menimba air? Jika terjadi kekeringan pada tahun itu dan banyak orang harus menimba air dari sumur tersebut, bukankah hal ini akan menghalangi orang untuk mendapatkan air dan memasak makanan, jika semua orang harus berdiri di sana dan mengingat penggali sumur tersebut sebelum menimba air? Perlukah ini dilakukan? Itu hanya akan memperpanjang antrean. Apakah jiwa si penggali sumur tersebut tinggal di dalam sumur tersebut? Dapatkah dia mendengar perkataan mereka? Tentu saja tidak. Jadi ungkapan, "Saat meminum air dari sumur, orang tidak boleh melupakan siapa yang telah menggalinya" adalah tidak masuk akal dan sama sekali tidak ada artinya. Budaya tradisional Tiongkok telah menganjurkan banyak pepatah semacam itu dalam hal perilaku moral, yang sebagian besar di antaranya tidak masuk akal, dan pepatah yang satu ini bahkan jauh lebih tidak masuk akal daripada kebanyakan pepatah lainnya. Siapakah yang menggali sumur itu? Untuk siapa dia menggalinya dan mengapa dia menggalinya? Apakah dia benar-benar menggali sumur demi semua orang dan generasi selanjutnya? Belum tentu. Dia melakukannya hanya untuk dirinya sendiri dan agar keluarganya memiliki sumber air untuk diminum—tidak ada pertimbangan untuk generasi selanjutnya. Jadi, bukankah kita sedang menyesatkan dan salah mengarahkan orang dengan membuat semua generasi selanjutnya mengingat dan berterima kasih kepada si penggali sumur dan membuat mereka berpikir bahwa dia menggali sumur itu untuk semua orang? Oleh karena itu, orang yang menganjurkan pepatah ini hanya memaksakan pemikiran dan sudut pandangnya sendiri kepada orang lain dan memaksa mereka untuk menerima gagasannya. Ini tidak bermoral dan akan membuat jauh lebih banyak orang merasa muak, jijik, dan benci terhadap pepatah seperti itu. Mereka yang menganjurkan pepatah semacam ini sebenarnya memiliki keterbelakangan mental tertentu yang membuat mereka mau tak mau mengatakan dan melakukan hal-hal tertentu yang menggelikan. Apa pengaruh gagasan dan pandangan budaya tradisional, seperti pepatah "Saat meminum air dari sumur, orang tidak boleh melupakan siapa yang telah menggalinya" dan "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan" terhadap orang? Apa yang diperoleh orang-orang terpelajar dan mereka yang memiliki sedikit pengetahuan dari pepatah dalam budaya tradisional ini? Apakah pepatah ini telah membuat mereka benar-benar menjadi orang baik? Apakah pepatah ini telah membuat mereka hidup dalam keserupaan dengan manusia? Sama sekali tidak. Para ahli moralitas yang memuja budaya tradisional ini, dengan menempatkan diri mereka sebagai orang yang paling bermoral, mengajukan tuntutan moral terhadap orang-orang yang sedikit pun tidak sesuai dengan keadaan hidup mereka yang sebenarnya—pepatah ini tidak bermoral dan tidak manusiawi bagi semua orang yang hidup di bumi ini. Sudut pandang moral dari budaya tradisional yang mereka anjurkan dapat mengubah orang yang memiliki akal sehat yang cukup normal menjadi orang yang memiliki akal sehat yang tidak normal, yang mampu mengatakan hal-hal yang orang lain anggap tidak terpikirkan dan tidak dapat dimengerti. Kemanusiaan orang-orang seperti itu telah menyimpang dan pikiran mereka telah diselewengkan. Jadi, tidaklah mengherankan jika banyak orang Tionghoa cenderung mengatakan hal-hal yang tidak biasa dan sulit dimengerti oleh orang-orang di pertandingan olahraga, tempat umum, dan di kalangan pejabat. Semua yang mereka katakan hanyalah teori kosong yang menggelikan, dan tidak mengandung sedikit pun ucapan yang tulus atau masuk akal. Ini adalah bukti autentik, akibat dari perusakan Iblis terhadap manusia, dan akibat dari orang-orang Tionghoa yang dididik oleh budaya tradisional selama ribuan tahun. Semua ini telah mengubah orang-orang yang hidup secara tulus dan autentik menjadi orang-orang yang munafik, pandai menyamar, dan menutupi diri mereka untuk menipu orang lain, orang-orang yang tampak sangat beradab dan mampu dengan fasih mengemukakan pendapat tentang teori, tetapi yang sebenarnya memiliki mentalitas yang menyimpang dan tidak mampu berbicara dengan akal sehat ataupun berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain—mereka semua pada dasarnya memiliki natur seperti ini. Sebenarnya, orang-orang semacam itu sedang berada di ambang menderita penyakit kejiwaan. Jika engkau tidak dapat menerima firman ini, Aku mendorongmu untuk mengalaminya. Ini mengakhiri persekutuan hari ini.
2 April 2022
Catatan kaki:
a. Dalam naskah aslinya tertulis "Pernyataan ini telah".