Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (6)
Apakah engkau semua ingat apa yang kita persekutukan pada pertemuan terakhir kita? (Tuhan pertama-tama mempersekutukan perbedaan antara apa yang orang anggap sebagai perilaku yang baik dibandingkan dengan hidup dalam kemanusiaan normal sebagaimana yang Tuhan tuntut, dan kemudian mempersekutukan perilaku moral manusia dalam budaya tradisional dan merangkum dua puluh satu pernyataan tentang perilaku moral manusia.) Dalam pertemuan terakhir kita, Aku mempersekutukan dua topik. Pertama, Aku menyampaikan persekutuan tambahan mengenai topik tentang perilaku yang baik, dan kemudian Aku menyampaikan sedikit persekutuan pendahuluan yang sederhana tentang karakter, perilaku, dan perilaku moral manusia, tanpa menjelaskannya secara mendetail. Kita telah beberapa kali mempersekutukan topik tentang apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran, dan Aku telah selesai mempersekutukan semua perilaku baik yang berkaitan dengan mengejar kebenaran yang perlu diungkapkan dan ditelaah. Sebelumnya, Aku juga telah mempersekutukan sedikit tentang beberapa topik mendasar mengenai perilaku moral manusia. Meskipun tidak menyingkapkan atau menelaah pernyataan tentang perilaku moral ini secara mendetail, kita telah menyebutkan cukup banyak contoh pernyataan tentang perilaku moral manusia—tepatnya dua puluh satu pernyataan. Kedua puluh satu contoh ini pada dasarnya adalah berbagai pernyataan yang ditanamkan oleh budaya tradisional Tiongkok ke dalam diri orang, yang didominasi oleh gagasan tentang kebajikan, keadilan, kesopanan, kebijaksanaan, dan kepercayaan. Sebagai contoh, kita telah membahas berbagai pepatah tentang perilaku moral manusia yang berkaitan dengan kesetiaan, keadilan, kesopanan, kepercayaan, serta bagaimana pria, wanita, pejabat, dan anak-anak seharusnya berperilaku, dan sebagainya. Entah kedua puluh satu pepatah ini sudah seluruhnya atau sudah mencakup semuanya, bagaimanapun juga, semua itu pada dasarnya dapat merepresentasikan esensi dari berbagai tuntutan yang dikemukakan budaya Tiongkok tradisional dalam kaitannya dengan perilaku moral manusia, baik dari sudut pandang ideologis maupun substantif. Setelah kita menyebutkan contoh-contoh ini, apakah engkau semua merenungkan dan mempersekutukannya? (Kami mempersekutukannya sedikit selama persekutuan kami dan mendapati bahwa mudah bagi kami untuk secara keliru menganggap beberapa pernyataan ini sebagai kebenaran. Misalnya, "Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan", "Aku bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman", serta "Berupayalah sebaik mungkin untuk melakukan dengan setia tugas apa pun yang telah orang lain percayakan kepadamu", adalah beberapa di antaranya.) Pepatah lainnya termasuk: "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan", "Perkataan seorang pria bermartabat harus dapat dipegang", "Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka", "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", "Saat meminum air dari sumur, orang tidak boleh melupakan siapa yang telah menggalinya", dan sebagainya. Jika diamati dengan saksama, engkau akan menyadari bahwa kebanyakan orang pada dasarnya menjadikan pernyataan tentang perilaku moral ini sebagai dasar bagi cara mereka berperilaku dan menilai perilaku moral mereka sendiri dan orang lain. Hal-hal ini ada di dalam hati semua orang sampai taraf tertentu. Salah satu penyebab utamanya adalah karena lingkungan sosial di mana orang tinggal dan didikan yang mereka terima dari pemerintah mereka, penyebab lainnya adalah karena didikan yang mereka terima dari keluarga mereka dan tradisi yang diwariskan dari leluhur mereka. Ada keluarga yang mengajar anak-anak mereka agar jangan pernah mengantongi uang yang mereka temukan, ada keluarga yang mengajar anak-anak mereka bahwa mereka harus berjiwa patriotik dan bahwa "Tiap orang sama-sama bertanggung jawab atas takdir negara mereka", karena setiap keluarga bergantung pada negara mereka. Ada keluarga yang mengajar anak mereka bahwa "Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan oleh penguasa", dan bahwa mereka tidak boleh melupakan asal-usul mereka. Ada orang tua yang menggunakan pernyataan yang jelas untuk mengajar anak mereka tentang perilaku moral, ada yang tidak mampu mengungkapkan gagasan mereka tentang perilaku moral dengan jelas, tetapi menjadikan diri mereka teladan bagi anak mereka dan mengajar melalui teladan, memengaruhi dan mendidik generasi selanjutnya melalui perkataan dan tindakan mereka. Perkataan dan tindakan ini mungkin termasuk, "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan", "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", "Kebaikan yang diterima harus dibalas dengan rasa syukur", serta pernyataan yang terdengar lebih muluk seperti, "Jadilah seperti teratai, sekalipun tumbuh di air berlumpur, bunganya berwarna bersih dan cemerlang", dan sebagainya. Tema dan esensi dari apa yang orang tua ajarkan kepada anak mereka, semua itu pada umumnya termasuk dalam lingkup perilaku moral yang dituntut oleh budaya tradisional Tiongkok. Hal pertama yang guru ajarkan kepada para siswa ketika mereka masuk sekolah adalah bahwa mereka harus bersikap baik kepada orang lain dan mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, bahwa mereka tidak boleh mengantongi uang yang mereka temukan dan mereka harus menghormati guru mereka dan menghormati ajaran mereka. Ketika para siswa belajar tentang pepatah Tiongkok kuno atau biografi para pahlawan dari zaman kuno, mereka diajari bahwa, "Aku bersedia mengorbankan diri untuk seorang teman", "Rakyat yang setia tidak boleh melayani dua raja, wanita yang baik tidak boleh menikahi dua suami", "Berusahalah sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas sampai hari kematianmu", "Tiap orang sama-sama bertanggung jawab atas takdir negara mereka", "Orang tidak boleh mengambil barang yang mereka temukan di jalan", dan sebagainya. Semua ini berasal dari budaya tradisional. Bangsa-bangsa juga menganjurkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan ini. Sebenarnya, pendidikan nasional menganjurkan hal yang kurang lebih sama dengan didikan di keluarga—semuanya berkisar pada gagasan-gagasan dari budaya tradisional. Gagasan yang berasal dari budaya tradisional pada dasarnya meliputi semua tuntutan yang berkaitan dengan karakter, perilaku moral, perilaku manusia dan sebagainya. Di satu sisi, gagasan ini menuntut agar di luarnya orang memperlihatkan bahwa mereka beretika dan sopan, agar orang berperilaku dan bersikap dengan cara yang disetujui orang lain, dan agar orang memperlihatkan perilaku dan tindakan yang baik untuk dilihat orang lain, sembari menyembunyikan sisi gelap di lubuk hati mereka. Di sisi lain, mereka meningkatkan sikap, perilaku, dan tindakan yang berkaitan dengan cara orang berperilaku, memperlakukan orang lain, dan menangani masalah; cara orang memperlakukan teman dan keluarganya; dan cara orang memperlakukan berbagai jenis orang dan hal-hal, menjadi setingkat dengan perilaku moral, sehingga memperoleh pujian dan rasa hormat dari orang lain. Tuntutan budaya tradisional terhadap orang pada dasarnya berkisar pada hal-hal ini. Baik itu gagasan yang orang anjurkan pada skala masyarakat yang lebih besar, maupun pada skala yang lebih kecil, pemikiran tentang perilaku moral yang orang anjurkan dan junjung tinggi dalam keluarga, dan tuntutan yang dibebankan terhadap orang berkaitan dengan perilaku mereka—semua ini pada dasarnya termasuk dalam ruang lingkup ini. Jadi, di antara manusia, entah itu budaya tradisional Tiongkok, atau budaya tradisional negara lain termasuk budaya Barat, gagasan tentang perilaku moral ini semuanya terdiri dari hal-hal yang dapat orang capai dan pikirkan; semua itu adalah hal-hal yang mampu orang terapkan berdasarkan hati nurani dan nalar mereka. Setidaknya, ada orang-orang yang mampu memenuhi beberapa perilaku moral yang dituntut dari mereka. Tuntutan-tuntutan ini hanya terbatas pada ruang lingkup karakter moral, temperamen dan preferensi orang. Jika engkau tidak percaya apa yang Kukatakan ini, silakan saja kauperhatikan dan lihat adakah dari tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan perilaku moral manusia ini yang diarahkan pada watak rusak mereka. Adakah dari antara tuntutan-tuntutan ini yang menyatakan fakta bahwa pada dasarnya manusia menolak kebenaran, tidak menyukai kebenaran, dan menentang Tuhan? Manakah dari tuntutan-tuntutan ini yang ada kaitannya dengan kebenaran? Manakah dari tuntutan-tuntutan ini yang dapat dianggap setara dengan kebenaran? (Tak satu pun darinya.) Seperti apa pun cara orang memandang tuntutan ini, tak satu pun darinya dapat dianggap setara dengan kebenaran. Tak satu pun darinya ada kaitannya dengan kebenaran, tak satu pun darinya yang memiliki kaitan sedikit pun dengan kebenaran. Sampai saat ini, orang yang telah lama percaya kepada Tuhan, yang memiliki beberapa pengalaman, dan yang memahami sedikit kebenaran, mereka hanya memiliki sedikit pemahaman yang benar tentang hal ini; sebaliknya kebanyakan orang masih hanya memahami doktrin, dan setuju dengan gagasan ini secara teori, dan mereka gagal mencapai taraf benar-benar memahami kebenaran. Mengapa? Ini karena kebanyakan orang hanya memahami bahwa aspek-aspek dari budaya tradisional ini tidak sesuai dengan kebenaran dan tidak berkaitan dengan kebenaran dengan membandingkan peraturan dari budaya tradisional ini dengan firman dan tuntutan Tuhan. Mereka mungkin sepenuhnya mengakui dengan mulut mereka bahwa hal-hal ini tidak ada kaitannya dengan kebenaran, tetapi di lubuk hati mereka, apa yang mereka cita-citakan, setujui, yang lebih mereka sukai, dan terima dengan mudah pada dasarnya adalah gagasan-gagasan yang muncul dari budaya tradisional manusia, yang beberapa di antaranya adalah hal-hal yang dianjurkan dan dipromosikan oleh negara mereka. Orang menganggap hal-hal ini sebagai hal-hal yang positif atau memperlakukannya sebagai kebenaran. Bukankah benar demikian? (Ya.) Seperti yang dapat kaulihat, aspek-aspek budaya tradisional ini telah berakar dalam hati manusia, dan tidak dapat disingkirkan dan dicabut dalam waktu singkat.
Meskipun kedua puluh satu tuntutan tentang perilaku moral manusia yang telah kita sebutkan hanyalah sebagian dari budaya tradisional Tiongkok, sampai taraf tertentu, kedua puluh satu tuntutan itu dapat berfungsi mewakili semua tuntutan yang diajukan oleh budaya tradisional Tiongkok berkenaan dengan perilaku moral manusia. Masing-masing dari dua puluh satu pernyataan ini dianggap oleh manusia sebagai hal yang positif, luhur, dan benar, dan orang yakin bahwa pernyataan ini memungkinkan mereka untuk hidup dengan bermartabat, dan merupakan semacam perilaku moral yang patut dikagumi dan dihargai. Untuk saat ini, kita akan mengesampingkan pepatah yang relatif dangkal seperti jangan mengantongi uang yang kautemukan atau dapatkan kesenangan dari membantu orang lain, dan sebagai gantinya, kita akan membahas tentang perilaku moral yang secara khusus sangat dihargai oleh manusia dan dianggap luhur. Misalnya, pepatah: "Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan oleh penguasa"—cara paling sederhana untuk menyimpulkan arti dari pernyataan ini adalah bahwa orang tidak boleh melupakan dari mana mereka berasal. Jika seseorang memiliki perilaku moral ini, semua orang akan menganggapnya memiliki kepribadian yang sangat luhur dan menganggapnya benar-benar telah "menjadi seperti teratai, sekalipun tumbuh di air berlumpur, bunganya berwarna bersih dan cemerlang". Orang sangat menghargai pernyataan ini. Fakta bahwa orang sangat menghargai pernyataan ini berarti mereka benar-benar menyetujui dan sependapat dengan pernyataan semacam ini. Dan tentu saja, mereka juga sangat mengagumi orang-orang yang mampu menerapkan perilaku moral ini. Ada banyak orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi masih sangat menyetujui hal-hal yang dianjurkan oleh budaya tradisional ini, dan mereka bersedia menerapkan perilaku baik tersebut. Orang-orang ini tidak memahami kebenaran: mereka menganggap percaya kepada Tuhan berarti menjadi orang yang baik, membantu orang lain, mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, tidak pernah menipu atau merugikan orang lain, tidak mengejar hal-hal duniawi, dan tidak tamak akan kekayaan atau kesenangan. Dalam hatinya, mereka semua setuju bahwa pernyataan "Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan oleh penguasa" adalah benar. Beberapa orang akan berkata: "Jika, sebelum percaya kepada Tuhan, seseorang sudah mematuhi perilaku moral seperti 'Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan oleh penguasa', jika mereka adalah orang yang hebat dan baik hati yang tidak melupakan dari mana mereka berasal, maka setelah mereka percaya kepada Tuhan, mereka akan segera mampu memperkenan Tuhan. Akan mudah bagi orang-orang seperti itu untuk masuk ke dalam Kerajaan Tuhan—mereka akan dapat memperoleh berkat-berkat-Nya." Banyak orang, ketika menilai dan memandang orang lain, mereka tidak memandang esensi orang itu berdasarkan firman Tuhan dan kebenaran; melainkan menilai dan memandang orang itu berdasarkan tuntutan budaya tradisional tentang perilaku moral manusia. Dari sudut pandang ini, bukankah kemungkinan besar orang yang tidak memahami kebenaran akan secara keliru menganggap hal-hal yang manusia anggap baik dan benar sebagai kebenaran? Bukankah kemungkinan besar mereka akan menganggap orang yang manusia anggap baik sebagai orang yang Tuhan anggap baik? Orang selalu ingin memaksakan gagasan mereka sendiri kepada Tuhan—dengan melakukannya, bukankah mereka sedang melakukan kesalahan yang bersifat prinsip? Bukankah ini menyinggung watak Tuhan? (Ya.) Ini adalah masalah yang sangat serius. Jika orang benar-benar memiliki nalar, mereka harus mencari kebenaran dalam hal-hal yang tidak mampu mereka pahami, mereka harus memahami maksud-maksud Tuhan, dan mereka tidak boleh sembarangan berbicara omong kosong. Dalam standar dan prinsip yang Tuhan gunakan untuk menilai manusia, apakah terdapat kalimat yang menyatakan: "Orang yang tidak melupakan dari mana mereka berasal adalah orang yang baik dan mereka memiliki ciri orang yang baik"? Pernahkah Tuhan berkata seperti itu? (Tidak.) Dalam tuntutan-tuntutan spesifik yang telah Tuhan ajukan terhadap manusia, pernahkah Dia berkata, "Jika engkau miskin, engkau tidak boleh mencuri. Jika engkau kaya, engkau tidak boleh melakukan seks bebas. Ketika engkau dihadapkan dengan intimidasi atau ancaman, engkau tidak boleh tunduk"? Apakah firman Tuhan mengandung tuntutan seperti itu? (Tidak.) Tentu saja tidak. Sangat jelas bahwa pernyataan "Orang tidak boleh dirusak oleh kekayaan, diubah oleh kemiskinan, atau ditundukkan oleh penguasa" diucapkan oleh manusia—itu tidak sesuai dengan tuntutan Tuhan terhadap manusia, itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan pada dasarnya itu tidak sama dengan kebenaran. Tuhan tidak pernah menuntut agar makhluk ciptaan jangan melupakan dari mana mereka berasal. Apa yang dimaksud dengan tidak melupakan dari mana engkau berasal? Aku akan memberimu sebuah contoh: jika leluhurmu adalah petani, engkau harus selalu menghargai kenangan mereka. Jika leluhurmu menekuni kerajinan tangan, engkau harus mempertahankan praktik kerajinan tangan itu dan mewariskannya dari generasi ke generasi. Bahkan setelah engkau mulai percaya kepada Tuhan, engkau tidak boleh melupakan hal-hal ini—engkau tidak boleh melupakan ajaran atau keahlian atau apa pun yang diturunkan dari leluhurmu. Jika leluhurmu adalah pengemis, maka engkau harus menyimpan tongkat yang mereka gunakan untuk memukuli anjing. Jika para leluhur itu pernah harus bertahan hidup dengan memakan dedak dan tumbuhan liar, maka keturunan mereka juga harus mencoba memakan dedak dan tumbuhan liar—itu artinya mengenang duka masa lalu untuk menikmati kebahagiaan masa kini, itulah yang dimaksud dengan orang tidak melupakan dari mana dia berasal. Apa pun yang leluhurmu lakukan, engkau harus mempertahankannya. Engkau tidak boleh melupakan leluhurmu hanya karena engkau terpelajar dan memiliki status. Orang Tionghoa sangat memperhatikan hal-hal ini. Di hati mereka, tampaknya hanya orang yang tidak melupakan dari mana mereka berasal yang memiliki berhati nurani dan bernalar, dan hanya orang semacam itu yang dapat berperilaku dengan cara yang terhormat, dan hidup dengan bermartabat. Apakah pandangan ini benar? Apakah ada yang seperti ini dalam firman Tuhan? (Tidak.) Tuhan tidak pernah mengatakan hal semacam ini. Dari contoh ini, kita dapat memahami bahwa meskipun alam perilaku moral mungkin dihargai dan dicita-citakan oleh manusia, dan meskipun itu terlihat seperti hal yang positif, sesuatu yang dapat mengatur perilaku moral manusia, dan menghalangi orang agar tidak menempuh jalan kejahatan dan menjadi bejat, dan meskipun itu disebarluaskan di antara orang-orang dan diterima oleh mereka semua sebagai hal yang positif, jika engkau membandingkannya dengan firman Tuhan dan kebenaran, engkau akan memahami bahwa pernyataan dan pemikiran dari budaya tradisional ini sama sekali tidak masuk akal. Engkau akan memahami bahwa semua itu sama sekali tidak layak disebut, bahwa semua itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran, dan bahwa semua itu bahkan jauh dari tuntutan dan maksud Tuhan. Ketika menganjurkan gagasan dan pandangan ini, dan mengajukan berbagai pernyataan tentang perilaku moral manusia, orang tidak lebih dari menggunakan hal-hal tertentu yang melampaui alam pikiran manusia untuk memamerkan betapa orisinal dan barunya gagasan mereka, untuk memamerkan betapa hebat dan tepatnya mereka, dan untuk membuat orang memuja mereka. Entah itu di Timur atau Barat, semua orang pada dasarnya berpikiran sama. Gagasan dan titik awal dari tuntutan yang orang ajukan dan kemukakan mengenai perilaku moral manusia, dan tujuan yang ingin mereka capai melaluinya pada dasarnya adalah sama. Meskipun orang-orang dari Barat tidak memiliki gagasan dan pandangan tertentu seperti "Balaslah kejahatan dengan kebaikan" dan "Sedikit kebaikan harus dibalas dengan banyak kebaikan" yang ditekankan oleh orang-orang dari Timur dan meskipun mereka tidak memiliki pepatah yang jelas seperti pepatah yang berasal dari budaya tradisional Tiongkok, budaya tradisional mereka sendiri hanya dipenuhi dengan gagasan-gagasan ini. Meskipun hal-hal yang telah kita persekutukan dan bicarakan termasuk dalam budaya tradisional Tiongkok, sampai taraf tertentu, dan dalam esensinya, pernyataan dan tuntutan tentang perilaku moral ini merepresentasikan gagasan-gagasan dominan dari semua manusia yang rusak.
Hari ini, kita terutama telah mempersekutukan pengaruh negatif seperti apa yang diberikan budaya tradisional kepada orang melalui pernyataan dan tuntutannya yang berkaitan dengan perilaku moral manusia. Setelah memahami hal ini, hal terpenting berikutnya yang sebenarnya harus orang pahami adalah apa tuntutan Tuhan, Sang Pencipta, terhadap manusia dalam hal perilaku moral, apa yang telah Dia katakan secara khusus, dan tuntutan apa yang telah Dia kemukakan. Inilah yang harus manusia pahami. Kini kita telah memahami dengan jelas bahwa budaya tradisional tidak memberikan kesaksian sedikit pun tentang apa tuntutan Tuhan terhadap manusia atau tentang firman yang telah Dia ucapkan, dan bahwa orang belum mencari kebenaran mengenai hal ini. Jadi, budaya tradisionallah yang pertama kali manusia pelajari dan yang telah menguasai mereka, yang telah tertanam dalam hati orang, dan yang telah membimbing manusia dalam cara hidup mereka selama ribuan tahun. Inilah cara utama yang telah Iblis gunakan untuk merusak manusia. Setelah menyadari fakta ini dengan jelas, hal terpenting yang harus orang dipahami sekarang adalah apa tuntutan Tuhan Sang Pencipta terhadap manusia ciptaan dalam hal kemanusiaan dan moralitas mereka—atau, dengan kata lain, standar apa yang berkaitan dengan aspek kebenaran ini. Orang juga harus sekaligus memahami yang manakah dari hal berikut ini yang merupakan kebenaran: tuntutan yang diajukan oleh budaya tradisional ataukah apa yang Tuhan tuntut dari manusia. Mereka harus memahami yang manakah dari kedua hal ini yang mampu menyucikan dan menyelamatkan manusia, dan membimbing mereka ke jalan yang benar dalam hidup; dan yang manakah di antara kedua hal ini yang merupakan kekeliruan, yang dapat menyesatkan dan merugikan manusia, dan menjerumuskan mereka ke jalan yang salah, ke dalam kehidupan yang penuh dosa. Setelah orang mampu membedakannya, mereka akan menyadari bahwa tuntutan Tuhan Sang Pencipta terhadap manusia sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, dan bahwa itu adalah prinsip kebenaran yang harus manusia terapkan. Sedangkan mengenai pernyataan tentang perilaku moral dan standar penilaian dari budaya tradisional yang memengaruhi pengejaran orang akan kebenaran, dan pandangan mereka tentang orang dan hal-hal, serta perilaku dan tindakan mereka—jika orang mampu sedikit mengenali, dan mengetahui yang sebenarnya tentang hal-hal itu serta menyadari bahwa semua itu pada dasarnya tidak masuk akal, dan menolaknya dengan segenap hati mereka, maka beberapa dari kebingungan atau masalah yang orang miliki berkenaan dengan perilaku moral akan dapat dibereskan. Bukankah membereskan hal-hal ini akan mengurangi cukup banyak rintangan dan kesulitan yang orang hadapi pada saat mereka menempuh jalan mengejar kebenaran? (Ya.) Jika orang tidak memahami kebenaran, kemungkinan besar mereka akan menyalahartikan gagasan-gagasan umum tentang perilaku moral ini sebagai kebenaran, dan mereka akan mengejar serta mematuhinya seolah-olah semua itu adalah kebenaran. Hal ini sangat memengaruhi kemampuan orang untuk memahami dan menerapkan kebenaran, serta hasil yang mereka peroleh saat mengejar kebenaran untuk mencapai perubahan watak. Ini adalah sesuatu yang pasti tidak kauinginkan untuk terjadi; tentu saja, ini juga adalah sesuatu yang tidak Tuhan inginkan untuk terjadi. Jadi, mengenai pernyataan, gagasan, dan sudut pandang tentang perilaku moral yang orang patuhi dan anggap positif ini, orang harus terlebih dahulu memahami dan mengetahui yang sebenarnya tentang semua itu berdasarkan firman Tuhan dan kebenaran, dan memahami esensi yang sebenarnya dari hal-hal tersebut, sehingga mereka akan membentuk penilaian dan pandangan yang akurat mengenai hal-hal ini di lubuk hati mereka, di mana setelah itu mereka dapat menyelidikinya, sedikit demi sedikit, menyingkirkan dan meninggalkannya. Kelak, setiap kali orang melihat pernyataan yang dianggap positif itu bertentangan dengan kebenaran, mereka harus memilih kebenaran terlebih dahulu, dan bukan pernyataan yang dianggap positif dalam gagasan manusia, karena pernyataan yang dianggap positif ini hanyalah pandangan manusia, dan semua itu sebenarnya tidak sesuai dengan kebenaran. Dari sudut mana pun kita membahasnya, tujuan utama kita dalam mempersekutukan topik-topik ini hari ini adalah untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang muncul selama proses orang mengejar kebenaran, terutama ketidakpastian yang muncul dalam pikiran orang berkenaan dengan firman Tuhan dan standar kebenaran. Ketidakpastian ini berarti bahwa ketika engkau sedang menerima dan menerapkan kebenaran, engkau tidak mampu membedakan manakah yang merupakan pepatah tentang perilaku moral yang manusia anjurkan, dan manakah yang merupakan tuntutan Tuhan terhadap manusia, dan manakah di antaranya yang merupakan prinsip dan standar yang benar. Orang tidak jelas tentang hal-hal ini. Mengapa? (Karena mereka tidak memahami kebenaran.) Di satu sisi, karena mereka tidak memahami kebenaran. Di sisi lain, karena mereka tidak mengetahui yang sebenarnya mengenai pernyataan tentang perilaku moral yang dibuat oleh budaya tradisional manusia dan mereka masih tidak dapat memahami esensi yang sebenarnya dari pernyataan-pernyataan ini. Akhirnya, dengan keadaan pikiran yang bingung, engkau akan menganggap hal-hal yang pertama kali kaupelajari, dan yang telah tertanam dalam pikiranmu ini, sebagai hal yang benar; engkau akan menganggap hal-hal yang secara umum semua orang anggap benar ini sebagai hal yang benar. Dan kemudian, engkau akan memilih hal-hal yang kausukai, yang dapat kaucapai, dan yang sesuai dengan selera dan gagasanmu ini; dan engkau akan memperlakukan, berpaut, dan mematuhi hal-hal ini seolah-olah semua itu adalah kebenaran. Dan sebagai akibatnya, perilaku dan tingkah laku orang, serta apa yang mereka kejar, pilih, dan pegang teguh, semuanya akan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran—semua itu akan termasuk dalam perilaku manusia dan moralitas yang manusia perlihatkan yang berada di luar lingkup kebenaran. Orang memperlakukan dan berpaut pada aspek-aspek budaya tradisional ini seolah-olah semua itu adalah kebenaran, sembari mengesampingkan dan mengabaikan kebenaran tentang tuntutan Tuhan dalam hal perilaku manusia. Sebanyak apa pun perilaku yang manusia anggap baik yang orang miliki, semua itu tidak akan pernah mendapatkan perkenanan Tuhan. Ini adalah kasus orang yang mengerahkan banyak upaya untuk melakukan hal-hal yang ada di luar lingkup kebenaran. Terlebih dari itu, jika orang memperlakukan hal-hal yang berasal dari manusia dan yang tidak sesuai dengan kebenaran ini sebagai kebenaran, orang itu telah tersesat. Orang terlebih dahulu memahami aspek-aspek budaya tradisional ini, sehingga mereka dikuasai oleh hal-hal tersebut; hal-hal ini menimbulkan segala macam pandangan keliru dalam diri mereka, dan menyebabkan kesulitan dan gangguan besar bagi mereka ketika mereka berusaha untuk memahami dan menerapkan kebenaran. Semua orang yakin jika mereka memiliki perilaku yang baik, Tuhan akan memperkenan mereka, dan mereka akan memenuhi syarat untuk menerima berkat dan janji-Nya, tetapi mampukah mereka menerima penghakiman dan hajaran Tuhan jika mereka memiliki pandangan dan pola pikir seperti ini? Seberapa besar hambatan yang diakibatkan mentalitas semacam ini terhadap penyucian dan penyelamatan manusia? Bukankah imajinasi dan gagasan ini akan membuat orang salah paham, memberontak, dan menentang Tuhan? Bukankah ini yang akan menjadi akibatnya? (Ya.) Pada dasarnya, Aku telah secara panjang lebar mengungkapkan pentingnya mempersekutukan topik ini.
Selanjutnya, kita akan menelaah dan menganalisis berbagai pepatah budaya tradisional Tiongkok tentang perilaku moral satu per satu, dan kemudian menarik kesimpulan darinya. Dengan cara ini, setiap orang akan memiliki konfirmasi dan jawaban mendasar tentang pepatah-pepatah ini, dan semua orang setidaknya akan memiliki pemahaman dan pandangan yang relatif akurat tentang pepatah-pepatah ini. Mari kita mulai dengan pepatah pertama: "Jangan mengantongi uang yang kautemukan". Apa penjelasan yang akurat tentang pepatah ini? (Jika engkau menemukan sesuatu, engkau tidak boleh menyimpannya dan menganggapnya sebagai milikmu. Ini mengacu pada semacam moralitas dan adat istiadat sosial yang baik.) Mudahkah melakukan hal ini? (Cukup mudah.) Bagi kebanyakan orang, melakukan hal ini mudah—jika engkau menemukan sesuatu, apa pun itu, engkau tidak boleh menganggapnya sebagai milikmu, karena barang itu adalah milik orang lain. Engkau tidak pantas memilikinya, dan engkau harus mengembalikannya pada pemiliknya yang sah. Jika engkau tidak dapat menemukan pemiliknya yang sah, engkau harus menyerahkannya kepada pihak berwenang—bagaimanapun juga, engkau tidak boleh menganggapnya sebagai milikmu. Pepatah ini ada kaitannya dengan tidak mengingini milik orang lain dan tidak mengambil keuntungan dari orang lain. Ini adalah tuntutan dalam hal perilaku moral manusia. Apa tujuan menanamkan tuntutan semacam ini sebagai perilaku moral manusia? Jika orang memiliki perilaku moral seperti ini, itu akan menciptakan iklim sosial yang baik dan positif. Tujuan menanamkan gagasan seperti itu ke dalam diri orang adalah untuk menghalangi mereka agar tidak mengambil keuntungan dari orang lain, sehingga mereka akan selalu memiliki perilaku moral yang baik. Jika semua orang memiliki perilaku moral yang baik seperti ini, iklim sosial akan membaik, dan akan mencapai taraf di mana tak seorang pun mengambil barang yang mereka temukan di jalan, dan tak seorang pun perlu mengunci pintu rumah mereka di malam hari. Dengan iklim sosial seperti ini, ketertiban umum akan membaik, dan orang dapat hidup lebih damai. Pencurian dan perampokan akan makin berkurang, perkelahian dan pembunuhan untuk membalas dendam makin berkurang; orang yang hidup di tengah masyarakat semacam ini akan memiliki rasa aman, dan kesejahteraan secara menyeluruh yang lebih besar. "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" adalah tuntutan yang diajukan dalam hal perilaku moral masyarakat di tengah lingkungan sosial dan lingkungan hidup mereka. Tuntutan ini bertujuan untuk melindungi iklim sosial dan lingkungan hidup orang. Mudahkah mencapai tujuan ini? Entah orang mampu mencapainya atau tidak, mereka yang mengemukakan gagasan dan tuntutan tentang perilaku moral manusia ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang ideal yang didambakan orang. Pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" tidak ada kaitannya dengan standar bagi cara orang berperilaku—itu hanyalah tuntutan dalam hal perilaku moral orang setiap kali mereka menemukan sesuatu di jalan. Pepatah ini hampir tidak ada kaitannya dengan esensi manusia. Manusia telah mengajukan tuntutan tentang perilaku moral manusia ini selama ribuan tahun. Tentu saja, ketika orang memenuhi tuntutan ini, suatu negara atau masyarakat mungkin akan mengalami suatu masa di mana kejahatan berkurang, dan bahkan mungkin mencapai titik di mana orang tidak perlu mengunci pintu rumah mereka di malam hari, di mana tak seorang pun mengambil barang yang mereka temukan di jalan, dan di mana mayoritas orang tidak mengantongi uang yang mereka temukan. Pada saat-saat seperti ini, iklim sosial, ketertiban umum, dan lingkungan hidup semuanya akan relatif stabil dan harmonis, tetapi iklim dan lingkungan masyarakat ini hanya mampu dipertahankan untuk sementara waktu, atau selama periode tertentu, atau selama jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, orang hanya mampu mencapai atau mematuhi perilaku moral semacam ini di tengah lingkungan masyarakat tertentu. Begitu lingkungan hidup mereka berubah, dan iklim sosial yang lama rusak, sangatlah mungkin perilaku moral seperti "jangan mengantongi uang yang kautemukan" akan berubah, seiring dengan berubahnya lingkungan sosial, iklim sosial, dan tren sosial. Lihatlah bagaimana, setelah si naga merah yang sangat besar berkuasa, mereka menyesatkan orang dengan menganjurkan segala macam pepatah untuk memastikan stabilitas masyarakat. Pada tahun 80-an, bahkan ada sebuah lagu populer dengan lirik sebagai berikut: "Di pinggir jalan, aku memungut satu sen dari tanah, dan menyerahkannya kepada polisi. Polisi tersebut mengambil satu sen itu, dan mengangguk kepadaku. Aku dengan senang hati berkata, 'Sampai jumpa lagi, Pak!'" Bahkan masalah sepele seperti menyerahkan satu sen pun tampaknya layak untuk disebutkan dan dinyanyikan—sungguh suatu moral sosial dan perilaku yang "luhur"! Namun, apakah kenyataannya akan seperti itu? Orang bisa saja menyerahkan satu sen yang mereka temukan kepada polisi, tetapi akankah mereka menyerahkan seratus yuan atau seribu yuan? Sulit untuk dikatakan. Jika seseorang menemukan emas, perak, atau barang berharga atau sesuatu yang bahkan lebih berharga di jalan, dia tidak akan mampu mengendalikan keserakahannya, monster di dalam dirinya akan dilepaskan, dan dia akan mampu menyakiti dan merugikan orang, menjebak dan menipu orang lain—dia akan mampu secara aktif merampok uang seseorang, dan bahkan membunuh seseorang. Pada saat seperti itu, masih berfungsikah budaya tradisional dan moral tradisional manusia yang luhur tersebut? Ke mana perginya standar moral "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" tersebut? Apa yang diperlihatkan hal ini kepada kita? Entah orang memiliki semangat dan perilaku moral ini atau tidak, tuntutan dan pepatah ini hanyalah sesuatu yang orang bayangkan, inginkan, dan harapkan untuk dapat mereka wujudkan dan capai. Dalam konteks sosial tertentu, dan di lingkungan yang sesuai, orang-orang yang memiliki hati nurani dan nalar tertentu mampu menerapkan perilaku moral tidak mengantongi uang yang mereka temukan, tetapi ini hanyalah perilaku baik yang sementara, ini tidak dapat menjadi standar bagi cara mereka berperilaku, atau bagi cara mereka hidup. Segera setelah lingkungan masyarakat dan konteks di mana orang-orang itu hidup berubah, prinsip dan perilaku moral yang ideal berdasarkan gagasan manusia ini akan sangat jauh dari orang. Itu tidak akan mampu memuaskan keinginan dan ambisi mereka, dan, terlebih lagi, itu tentu saja tidak akan mampu membatasi perbuatan jahat mereka. Itu hanyalah perilaku baik yang sementara, dan merupakan kualitas moral yang relatif luhur berdasarkan apa yang manusia cita-citakan. Ketika berbenturan dengan kenyataan dan kepentingan pribadi, ketika itu bertentangan dengan apa yang orang cita-citakan, moral semacam ini tidak akan dapat membatasi perilaku orang, atau menuntun perilaku dan pemikiran mereka. Pada akhirnya, orang akan memutuskan untuk melanggarnya, mereka akan melanggar gagasan moralitas tradisional ini, dan memilih kepentingan mereka sendiri. Jadi, mengenai moral "jangan mengantongi uang yang kautemukan", orang mampu menyerahkan satu sen yang mereka temukan kepada polisi. Namun, jika mereka menemukan seribu yuan, sepuluh ribu yuan, atau koin emas, akankah mereka tetap menyerahkannya kepada polisi? Mereka tidak akan mampu melakukannya. Ketika keuntungan dari mengambil uang itu melampaui jangkauan yang dapat dicapai oleh moralitas manusia, mereka tidak akan mampu menyerahkannya kepada polisi. Mereka tidak akan mampu mewujudkan moral dari pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan". Jadi, apakah "jangan mengantongi uang yang kautemukan" merepresentasikan esensi kemanusiaan seseorang? Itu sama sekali tidak dapat merepresentasikan esensi kemanusiaan mereka. Sangat jelas bahwa tuntutan tentang perilaku moral manusia ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak, dan itu tidak dapat berfungsi sebagai standar bagi cara manusia berperilaku.
Akuratkah menilai perilaku moral dan karakter dengan cara melihat terlebih dahulu apakah dia mengantongi uang yang dia temukan? (Tidak.) Mengapa tidak? (Karena orang tidak mampu untuk benar-benar mematuhi tuntutan itu. Jika mereka menemukan sedikit uang atau sesuatu yang tidak terlalu berharga, mereka akan mampu menyerahkannya, tetapi jika itu adalah sesuatu yang berharga, kemungkinan besar mereka tidak akan menyerahkannya. Jika itu adalah barang yang sangat berharga, kemungkinannya jauh lebih besar bahwa mereka tidak akan menyerahkannya—mereka bahkan mungkin akan menyimpannya dengan segala cara.) Maksudmu, tuntutan "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" tidak dapat berfungsi sebagai standar untuk menilai kemanusiaan orang karena orang tidak mampu mematuhinya. Lalu, jika orang mampu memenuhi tuntutan ini, dapatkah tuntutan ini dianggap sebagai standar untuk menilai kemanusiaan mereka? (Tidak.) Mengapa itu tidak dapat dianggap sebagai standar untuk menilai kemanusiaan orang, meskipun orang mampu mematuhinya? (Mampu atau tidak mampunya orang untuk mematuhi tuntutan "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" sebenarnya tidak mencerminkan kualitas kemanusiaannya. Ini tidak ada kaitannya dengan seberapa baik atau seberapa buruk kemanusiaannya, dan ini bukan standar untuk menilai kemanusiaan orang.) Ini adalah salah satu cara untuk memahami masalah ini. Hanya ada sedikit kaitan antara seseorang tidak mengantongi uang yang ditemukannya dan kualitas kemanusiaannya. Jadi, jika engkau bertemu seseorang yang benar-benar mampu untuk tidak mengantongi uang yang ditemukannya, bagaimana engkau akan memandang dirinya? Dapatkah engkau menganggapnya sebagai orang yang memiliki kemanusiaan, orang yang jujur, dan orang yang tunduk kepada Tuhan? Dapatkah engkau menggolongkan orang yang tidak mengantongi uang yang ditemukannya sebagai standar bahwa orang itu memiliki kemanusiaan? Kita harus mempersekutukan masalah ini. Siapa yang mau menyampaikan pendapatnya? (Kemampuan seseorang untuk tidak mengantongi uang yang ditemukannya tidak relevan untuk menentukan esensi kemanusiaan orang itu. Esensi dirinya haruslah dinilai berdasarkan kebenaran.) Apa lagi? (Ada orang yang mampu untuk tidak mengantongi uang yang mereka temukan, meskipun uang yang mereka temukan itu banyak, atau mereka melakukan banyak perbuatan baik yang seperti itu, tetapi mereka memiliki tujuan dan niat mereka sendiri. Mereka ingin dihargai atas perbuatan baik mereka dan mendapatkan reputasi yang baik, jadi perilaku baik lahiriah mereka tidak dapat menentukan kualitas kemanusiaan mereka.) Ada lagi? (Misalkan seseorang mampu untuk tidak mengantongi uang yang ditemukannya, tetapi orang itu memperlakukan kebenaran dengan sikap yang menentang, dengan sikap yang muak akan kebenaran. Jika kita menilai dirinya berdasarkan firman Tuhan, dia adalah orang yang tidak memiliki kemanusiaan. Jadi, tidaklah akurat menggunakan standar ini untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak.) Beberapa darimu telah menyadari bahwa menggunakan pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak adalah keliru—engkau tidak setuju menggunakan pepatah itu sebagai standar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak. Sudut pandang ini benar. Mampu atau tidaknya orang untuk tidak mengantongi uang yang ditemukannya, tidak ada kaitannya dengan prinsip bagi caranya berperilaku dan jalan yang dia pilih. Mengapa Kukatakan demikian? Pertama-tama, ketika seseorang tidak mengantongi uang yang ditemukannya, ini hanya merepresentasikan perilaku yang sesaat. Sulit untuk mengatakan apakah dia tidak mengantongi uang tersebut karena uang yang ditemukannya itu nilainya kecil, atau karena orang lain sedang memperhatikan dirinya, dan dia ingin mendapatkan pujian dan penghargaan dari mereka. Meskipun tindakannya murni, itu hanyalah semacam perilaku baik, dan itu tidak ada kaitannya dengan pengejaran dan perilakunya. Paling-paling, hanya dapat dikatakan bahwa orang ini memiliki sedikit perilaku baik dan karakter yang luhur. Meskipun perilaku ini tidak dapat disebut sebagai hal yang negatif, tetapi itu juga tidak dapat digolongkan sebagai hal yang positif, dan seseorang tentu saja tidak dapat dianggap positif hanya karena dia tidak mengantongi uang yang ditemukannya. Ini karena hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kebenaran, dan tidak ada kaitannya dengan tuntutan Tuhan terhadap manusia. Ada orang-orang yang berkata: "Bagaimana mungkin itu bukan hal yang positif? Bagaimana mungkin perilaku luhur seperti itu tidak dianggap positif? Jika seseorang tidak bermoral dan tidak memiliki kemanusiaan, akankah dia mampu untuk tidak mengantongi uang yang ditemukannya?" Itu bukanlah cara yang akurat untuk menjelaskan hal ini. Setan mampu melakukan beberapa hal baik—jadi dapatkah engkau menganggapnya bukan setan? Ada raja-raja setan yang melakukan satu atau dua perbuatan baik agar menjadi terkenal dan memperkuat posisi mereka dalam sejarah—jadi akankah engkau menyebut mereka orang baik? Engkau tidak dapat menentukan apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak, atau apakah karakternya baik atau buruk, hanya berdasarkan satu hal baik atau buruk yang dilakukannya. Agar suatu penilaian menjadi akurat, engkau harus mendasarkannya pada perilakunya secara keseluruhan, dan dengan melihat apakah dia memiliki gagasan dan pandangan yang benar atau tidak. Jika seseorang mampu mengembalikan barang yang sangat berharga yang ditemukannya kepada pemiliknya yang sah, ini hanya memperlihatkan bahwa dia tidak serakah, dan bahwa dia tidak mengingini milik orang lain. Dia memiliki aspek perilaku moral yang baik ini, tetapi apakah ini ada kaitannya dengan caranya berperilaku dan sikapnya terhadap hal-hal yang positif? (Tidak.) Sangatlah mungkin ada orang-orang yang tidak akan setuju dengan hal ini, mereka akan menganggap pernyataan ini sedikit subjektif dan tidak akurat. Namun, mempertimbangkan hal ini dari sudut pandang yang berbeda, jika seseorang kehilangan sesuatu yang berguna, bukankah dia akan sangat mengkhawatirkannya? Jadi, bagi orang yang menemukan barang tersebut, apa pun yang temukannya, itu bukan miliknya, oleh karena itu dia tidak boleh menyimpannya. Entah itu adalah barang atau uang, entah itu berharga atau tidak, itu bukanlah miliknya—jadi bukankah adalah kewajiban mereka untuk mengembalikan barang itu kepada pemiliknya yang sah? Bukankah ini yang seharusnya orang lakukan? Apakah nilai dari menganjurkan hal ini? Bukankah ini membesar-besarkan masalah sepele? Bukankah terlalu berlebihan memperlakukan pepatah jangan mengantongi uang yang ditemukan sebagai semacam kualitas moral yang luhur dan mengangkatnya ke dalam konteks rohani yang luhur? Apakah perilaku baik yang satu ini bahkan layak disebutkan di antara orang baik? Ada begitu banyak perilaku yang lebih baik dan lebih luhur dibandingkan dengan perilaku ini, jadi pepatah jangan mengantongi uang yang ditemukan tidak layak disebutkan. Namun, jika engkau dengan penuh semangat menyebarluaskan dan menganjurkan perilaku baik ini di antara para pengemis dan pencuri, itu barulah tepat, dan mungkin ada gunanya. Jika suatu negara dengan gencar menganjurkan pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan", itu memperlihatkan bahwa orang-orang di sana sudah sangat jahat, bahwa negara itu dikuasai oleh para perampok dan pencuri, dan negara tidak mampu melindungi dirinya dari mereka. Jadi, satu-satunya jalan keluar mereka adalah dengan menganjurkan dan menyebarluaskan perilaku semacam ini untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebenarnya, perilaku ini sudah seharusnya menjadi kewajiban manusia. Misalnya, jika seseorang menemukan lima puluh yuan di jalan dan dengan mudah mengembalikannya ke pemiliknya yang sah, bukankah itu tidak terlalu penting sehingga itu bahkan tidak layak untuk disebutkan? Apakah itu benar-benar perlu dipuji? Apakah perlu untuk membesar-besarkan sesuatu yang sepele, dan memuji orang ini, dan bahkan memujinya karena perilaku moralnya yang luhur dan terhormat, hanya karena dia mengembalikan uang yang hilang kepada pemiliknya? Bukankah mengembalikan uang yang hilang kepada pemiliknya yang sah hanyalah hal yang normal dan wajar untuk dilakukan? Bukankah ini adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang yang memiliki nalar yang normal? Bahkan seorang anak kecil yang tidak memahami moral sosial pun akan mampu melakukan hal ini, jadi perlukah sebenarnya membesar-besarkan hal ini? Apakah perilaku ini benar-benar layak untuk dianggap setara dengan moralitas manusia? Menurut pendapat-Ku, itu tidak dapat dianggap setara dengan moralitas manusia, dan tidak layak dipuji. Itu hanyalah perilaku baik sementara dan tidak ada kaitannya dengan benar-benar menjadi orang yang baik pada tingkat dasar. Tidak mengantongi uang yang ditemukan adalah masalah yang sangat sepele. Itu adalah sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan oleh orang normal mana pun, dan oleh siapa pun yang adalah manusia atau berbicara dalam bahasa manusia. Ini adalah sesuatu yang mampu orang lakukan jika mereka berusaha keras, mereka tidak memerlukan seorang guru atau cendekiawan untuk mengajari mereka melakukan hal itu. Seorang anak berusia tiga tahun mampu melakukan ini, tetapi para cendekiawan dan guru telah memperlakukannya sebagai persyaratan penting dari perilaku moral manusia, dan dengan melakukannya, mereka telah membesar-besarkan sesuatu yang sepele. Meskipun pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" adalah pernyataan yang menilai perilaku moral manusia, pernyataan tersebut pada dasarnya tidak dapat dijadikan cara untuk mengukur apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau moralitas yang luhur. Oleh karena itu, tidaklah tepat dan pantas menggunakan pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" untuk menilai kualitas kemanusiaan seseorang.
"Jangan mengantongi uang yang kautemukan" adalah yang paling dangkal di antara tuntutan budaya tradisional tentang perilaku moral. Meskipun kehidupan bermasyarakat semua manusia telah menganjurkan dan mengajarkan pemikiran semacam ini, karena manusia memiliki watak yang rusak, dan karena maraknya tren jahat manusia, sekalipun orang mampu menerapkan pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" atau memiliki perilaku moral yang baik seperti ini selama beberapa waktu, itu tidak mengubah fakta bahwa watak rusak orang selalu menguasai pemikiran dan perilaku mereka, sekaligus menguasai dan mengendalikan perilaku serta pengejaran mereka. Perilaku moral yang baik yang bersifat sesaat tidak berpengaruh pada pengejaran seseorang, dan tentu saja tidak mampu mengubah apa yang orang sanjung, kagumi, dan tren jahat yang diikuti oleh orang tersebut. Bukankah demikian? (Ya.) Jadi, lagu yang orang nyanyikan di masa lalu, "Di pinggir jalan, aku memungut satu sen dari tanah", kini menjadi tidak lebih dari sekadar lagu anak-anak. Itu telah menjadi kenangan. Orang bahkan tidak mampu mematuhi perilaku baik yang mendasar dengan tidak mengantongi uang yang mereka temukan. Orang ingin mengubah pengejaran dan watak rusak manusia dengan menganjurkan perilaku moral yang baik, dan mereka berusaha menghentikan kemerosotan manusia dan kemerosotan masyarakat yang makin menjadi-jadi setiap harinya, tetapi pada akhirnya mereka telah gagal mencapai tujuan-tujuan ini. Moral dari pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" hanya bisa ada di dunia impian manusia. Orang memperlakukan moral ini sebagai semacam impian, sebagai cita-cita untuk dunia yang lebih baik. Moral ini ada di dunia rohani manusia. Ini adalah semacam harapan yang manusia inginkan untuk terjadi di dunia yang akan datang, tetapi ini tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia dan dengan kemanusiaan orang yang nyata. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip manusia dalam berperilaku dan jalan yang orang tempuh, serta apa yang mereka kejar, dan apa yang seharusnya mereka miliki dan capai. Ini tidak sesuai dengan apa yang diwujudkan dan diperlihatkan oleh orang dengan kemanusiaan yang normal, dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam berhubungan dengan orang lain dan menangani segala sesuatu. Jadi, standar untuk menilai perilaku moral manusia ini selalu tidak sah, dari zaman kuno hingga zaman sekarang. Pemikiran dan sudut pandang "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" yang dianjurkan manusia ini benar-benar tidak ada artinya, dan kebanyakan orang mengabaikannya, karena itu tidak dapat mengubah arah perilaku mereka, atau pengejaran mereka, dan tentu saja tidak dapat mengubah kebobrokan, keegoisan, kepentingan pribadi orang, atau kecenderungan mereka yang makin menguat untuk segera melakukan kejahatan. Tuntutan yang paling dangkal yaitu "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" ini telah menjadi lelucon satir yang menggelikan. Kini, bahkan anak-anak pun tidak mau menyanyikan, "Di pinggir jalan, aku memungut satu sen dari tanah" karena itu sama sekali tidak ada artinya. Di dunia yang dipenuhi politisi korup, lagu ini telah menjadi sangat ironis. Orang-orang tahu betul kenyataan bahwa seseorang bisa saja menyerahkan satu sen yang dia temukan kepada polisi, tetapi jika dia menemukan satu juta yuan, atau sepuluh juta yuan, uang itu akan langsung masuk ke sakunya. Dari fenomena ini, kita dapat memahami bahwa upaya orang untuk menganjurkan tuntutan tentang perilaku moral ini kepada manusia telah gagal. Ini berarti bahwa orang tidak mampu menerapkan perilaku baik yang mendasar sekalipun. Apa artinya tidak mampu menerapkan perilaku baik yang mendasar sekalipun? Ini berarti bahwa orang tidak mampu menerapkan bahkan hal-hal mendasar yang seharusnya mereka terapkan, seperti tidak mengambil sesuatu yang mereka temukan jika itu adalah milik orang lain. Selain itu, ketika melakukan kesalahan, orang tidak akan mengatakan yang sebenarnya mengenai hal itu, mereka lebih memilih mati daripada mengakui kesalahan mereka. Mereka bahkan tidak mampu mematuhi sesuatu yang mendasar seperti tidak berbohong, jadi tentu saja mereka tidak pantas berbicara tentang moralitas. Mereka bahkan tidak ingin memiliki hati nurani dan nalar, jadi bagaimana mereka dapat berbicara tentang moralitas? Para pejabat dan para pemegang kekuasaan memutar otak mereka, memikirkan cara untuk memeras dan merebut lebih banyak keuntungan dari orang lain, dan merampas barang-barang yang bukan milik mereka. Bahkan hukum pun tidak mampu menahan mereka. Mengapa demikian? Bagaimana manusia bisa sampai pada titik ini? Semua ini karena watak rusak Iblis dalam diri manusia, dan karena natur Iblis yang mengendalikan dan menguasai mereka, yang mengakibatkan munculnya segala macam perilaku yang menipu dan berbahaya. Orang-orang munafik ini melakukan banyak hal tercela dan tidak tahu malu dengan kedok "melayani rakyat". Bukankah mereka sudah benar-benar tidak tahu malu? Sekarang ini, ada begitu banyak orang munafik. Di dunia di mana orang jahat merajalela dan orang baik ditindas, doktrin seperti "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" sama sekali tidak mampu mengekang watak rusak manusia, dan itu sama sekali tidak dapat mengubah esensi natur mereka, atau jalan yang mereka tempuh.
Sudahkah engkau semua memahami hal-hal yang telah Kusampaikan dalam persekutuan dengan topik tentang "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" ini? Apa arti pepatah ini bagi manusia yang rusak? Bagaimana seharusnya orang memahami moral ini? ("Jangan mengantongi uang yang kautemukan" tidak ada kaitannya dengan perilaku orang atau dengan jalan yang mereka tempuh. Itu tidak dapat mengubah jalan yang manusia tempuh.) Benar, tidaklah tepat bagi orang untuk menilai kemanusiaan seseorang berdasarkan pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan". Pepatah ini tidak dapat digunakan untuk menilai kemanusiaan seseorang, dan juga keliru untuk menggunakan pepatah ini untuk menilai moral seseorang. Pepatah ini tidak lebih dari perilaku sesaat manusia, dan sama sekali tidak dapat digunakan untuk menilai esensi seseorang. Orang-orang yang mengajukan pepatah tentang perilaku moral, "Jangan mengantongi uang yang kautemukan"—yang disebut-sebut sebagai para cendekiawan dan guru ini—adalah para idealis. Mereka tidak memahami kemanusiaan atau esensi manusia, dan mereka tidak memahami sudah sampai sejauh mana kebejatan dan kerusakan manusia. Dengan demikian, pepatah tentang perilaku moral yang mereka kemukakan ini sangat hampa, sama sekali tidak nyata, dan tidak sesuai dengan keadaan manusia yang sebenarnya. Di satu sisi, pepatah tentang perilaku moral ini tidak ada kaitannya sedikit pun dengan esensi manusia atau dengan berbagai watak rusak yang orang perlihatkan, ataupun dengan gagasan, pandangan, dan perilaku yang mungkin muncul dalam diri orang saat mereka dikuasai oleh watak yang rusak. Di sisi lain, tidak mengantongi uang yang ditemukan adalah sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan oleh orang yang normal. Sebagai contoh, orang tuamu melahirkan dan membesarkanmu, tetapi ketika engkau masih belum tahu apa-apa dan belum dewasa, yang kaulakukan hanyalah meminta makanan dan pakaian dari orang tuamu. Namun, setelah engkau menjadi dewasa dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang segala sesuatu, engkau secara alami tahu untuk sangat menyayangi orang tuamu, berusaha agar tidak membuat mereka khawatir atau marah, berusaha agar tidak menambah beban kerja atau penderitaan mereka, dan melakukan semua yang mampu kaulakukan seorang diri. Engkau secara alami mulai memahami hal-hal ini dan tidak memerlukan siapa pun untuk mengajarimu. Engkau adalah manusia, engkau memiliki hati nurani dan nalar, jadi engkau mampu dan sudah seharusnya melakukan hal-hal ini. Tak satu pun dari hal-hal ini yang bahkan perlu disebutkan. Dengan menganggap pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" setara dengan karakter moral yang luhur, orang sedang membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan bersikap terlalu berlebihan; perilaku ini tidak boleh didefinisikan dengan cara seperti itu, bukankah demikian? (Ya.) Apa yang bisa dipelajari dari hal ini? Melakukan apa yang seharusnya dan yang mampu orang lakukan dalam lingkup kemanusiaan yang normal merupakan tanda bahwa orang memiliki kemanusiaan yang normal. Artinya, jika seseorang memiliki nalar yang normal, dia akan mampu melakukan hal-hal yang akan dipikirkan oleh orang yang memiliki kemanusiaan yang normal dan yang mereka sadari bahwa itu harus dilakukan. Bukankah ini adalah fenomena yang sangat normal? Jika engkau melakukan sesuatu yang mampu dilakukan oleh orang dengan kemanusiaan yang normal, dapatkah itu benar-benar disebut perilaku moral yang baik? Apakah perlu untuk menganjurkannya? (Tidak perlu.) Apakah perilaku moral ini benar-benar dapat dianggap sebagai kemanusiaan yang luhur? Apakah berperilaku moral seperti ini berarti memiliki kemanusiaan? (Tidak.) Memperlihatkan perilaku seperti itu tidak membuat orang setaraf dengan memiliki kemanusiaan. Jika engkau berkata bahwa seseorang memiliki kemanusiaan, itu berarti sudut pandang dan pendirian dalam caranya memandang masalah relatif positif dan aktif, demikian pula cara dan metode yang digunakannya dalam menangani masalah. Apa tanda bahwa seseorang memiliki kepositifan dan keaktifan dalam dirinya? Orang itu memiliki hati nurani dan rasa malu. Tanda lain bahwa orang memiliki kepositifan dan keaktifan adalah rasa keadilan. Mungkin orang ini memiliki beberapa kebiasaan buruk seperti suka bergadang dan bangun kesiangan, suka memilih-milih makanan, atau lebih suka makanan dengan rasa yang kuat, tetapi selain kebiasaan buruk ini, dia memiliki sifat-sifat baik tertentu. Dia memiliki prinsip dan batasan dalam hal caranya berperilaku dan bertindak; dia memiliki rasa malu dan rasa keadilan; dan dia memiliki lebih banyak sifat positif dan lebih sedikit sifat negatif. Jika dia mampu menerima dan menerapkan kebenaran, itu akan jauh lebih baik dan akan mudah baginya untuk menempuh jalan mengejar kebenaran. Sebaliknya, jika seseorang menyukai kejahatan; mencari ketenaran, keuntungan, dan status; memuja uang; suka hidup mewah; dan menikmati waktu luangnya untuk mencari kesenangan, berarti seluruh sudut pandang yang digunakannya dalam memandang orang dan hal-hal, dan pandangannya tentang kehidupan serta sistem nilai akan menjadi negatif dan gelap, dan dia tidak akan memiliki rasa malu dan rasa keadilan. Orang semacam ini tidak akan memiliki kemanusiaan, dan tentu saja tidak akan mudah baginya untuk menerima kebenaran atau memperoleh keselamatan dari Tuhan. Ini adalah prinsip sederhana untuk menilai orang. Penilaian terhadap perilaku moral seseorang bukanlah standar yang digunakan untuk menilai apakah orang memiliki kemanusiaan atau tidak. Untuk menilai apakah seseorang itu baik atau buruk, engkau harus menilai dirinya berdasarkan kemanusiaannya, bukan perilaku moralnya. Perilaku moral cenderung dangkal dan dipengaruhi oleh iklim sosial, latar belakang, dan lingkungan seseorang. Beberapa tindakan dan perwujudan terus berubah, sehingga sulit untuk menentukan kualitas kemanusiaan seseorang hanya berdasarkan perilaku moralnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin sangat menghormati moral sosial, dan mengikuti aturan di mana pun dia berada. Dia mungkin memperlihatkan bahwa dia mampu menahan diri dalam segala hal yang dia lakukan, mematuhi hukum pemerintah, dan menahan diri untuk tidak membuat keributan di depan umum atau melanggar kepentingan orang lain. Dia mungkin juga bersikap hormat dan membantu, serta memedulikan orang muda dan orang lanjut usia. Apakah fakta bahwa orang ini memiliki begitu banyak sifat yang baik berarti bahwa dia sedang hidup dalam kemanusiaan yang normal dan bahwa dia adalah orang yang baik? (Tidak.) Seseorang mungkin menerapkan pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" dengan sangat baik, dia mungkin selalu mematuhi moral yang dipromosikan dan dianjurkan manusia ini, tetapi bagaimana dengan kemanusiaannya? Fakta bahwa dia menerapkan pepatah untuk tidak mengantongi uang yang ditemukannya tidak menjelaskan apa pun tentang kemanusiaannya. Perilaku moral ini tidak dapat digunakan untuk menilai apakah kemanusiaannya baik atau buruk. Jadi, bagaimana seharusnya cara untuk menilai kemanusiaannya? Engkau harus melepaskannya dari kemasan perilaku moral ini, dan jangan menilainya berdasarkan tindakan serta perilaku moral yang dianggap baik oleh manusia, dan yang merupakan hal minimal yang mampu dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kemanusiaan yang normal. Setelah itu, lihatlah perwujudan terpenting yang diperlihatkannya, seperti prinsip yang digunakannya dalam berperilaku, serta batasan yang tidak akan dia lewati dalam perilaku dan sikapnya terhadap kebenaran dan Tuhan. Inilah satu-satunya cara untuk melihat esensi kemanusiaannya, dan natur batinnya. Memandang orang dengan cara seperti ini relatif objektif dan akurat. Sekian pembahasan kita tentang pesan moral: "Jangan mengantongi uang yang kautemukan." Sudahkah engkau semua memahami persekutuan ini? (Ya.) Aku sering kali khawatir engkau semua belum benar-benar memahami apa yang telah Kusampaikan, Aku khawatir engkau hanya memahami sedikit doktrin tentang hal itu, tetapi masih belum memahami bagian-bagian yang berkaitan dengan esensinya. Jadi, yang bisa Kulakukan hanyalah menguraikan sedikit lebih lanjut tentang pemikiran itu. Aku baru akan merasa tenang jika Aku merasa bahwa engkau semua telah mengerti. Bagaimana Aku bisa tahu bahwa engkau semua telah mengerti? Jika Aku melihat ekspresi sukacita di wajahmu, engkau mungkin telah memahami apa yang Kusampaikan. Jika Aku bisa mencapai hal itu, berbicara sedikit lebih banyak tentang topik ini sepadan.
Aku kurang lebih telah menyelesaikan persekutuan-Ku tentang pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan". Meskipun Aku belum memberitahumu secara langsung bagaimana moral ini bertentangan dengan kebenaran, atau mengapa moral ini tidak dapat dianggap setara dengan kebenaran, atau apa tuntutan Tuhan terhadap tindakan dan perilaku moral manusia, bukankah Aku telah membahas semua hal ini? (Ya.) Apakah rumah Tuhan menganjurkan moral seperti "Jangan mengantongi uang yang kautemukan"? (Tidak.) Lalu bagaimana rumah Tuhan memandang pepatah ini? Engkau semua boleh menyampaikan pemahamanmu. ("Jangan mengantongi uang yang kautemukan" hanyalah sesuatu yang sudah seharusnya diperbuat dan dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kemanusiaan yang normal, jadi pepatah ini tidak perlu dianjurkan. Selain itu, pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" hanyalah perwujudan dari moralitas manusia, itu tidak ada kaitannya dengan prinsip untuk cara orang berperilaku, tidak ada kaitannya dengan pandangan yang mereka miliki tentang pengejaran mereka, tidak ada kaitannya dengan jalan yang mereka tempuh, ataupun dengan kualitas kemanusiaan mereka.) Apakah perilaku moral merupakan tanda bahwa orang memiliki kemanusiaan? (Itu tidak menandakan bahwa orang memiliki kemanusiaan. Beberapa aspek perilaku moral hanyalah hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh manusia normal.) Ketika rumah Tuhan membahas tentang kemanusiaan dan kemampuan mengenali orang, itu dilakukan dalam konteks utama mengejar kebenaran. Secara umum, rumah Tuhan tidak akan menilai bagaimana perilaku moral seseorang—setidaknya, rumah Tuhan tidak akan menilai apakah seseorang mampu atau tidak mematuhi pepatah: "Jangan mengantongi uang yang kautemukan". Rumah Tuhan tidak akan memeriksa hal ini. Sebaliknya, rumah Tuhan akan memeriksa kualitas kemanusiaan orang tersebut, apakah mereka menyukai hal-hal positif dan kebenaran atau tidak, dan sikap seperti apa yang mereka miliki terhadap kebenaran dan Tuhan. Seseorang mungkin saja tidak mengantongi uang yang ditemukannya saat dia berada di tengah masyarakat sekuler, tetapi jika dia sama sekali tidak melindungi kepentingan rumah Tuhan setelah menjadi orang percaya—jika dia mampu mencuri, memboroskan, atau bahkan menjual persembahan ketika dia diberi kesempatan untuk mengelolanya—jika dia mampu melakukan segala macam hal buruk, siapakah dia? (Orang yang jahat.) Dia tidak pernah mengambil sikap untuk melindungi kepentingan rumah Tuhan ketika masalah muncul. Bukankah ada orang-orang semacam ini? (Ya.) Jadi, tepatkah menggunakan pepatah, "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" untuk menilai kemanusiaannya? Itu tentunya tidak tepat. Ada orang-orang yang berkata: "Dahulu dia adalah orang yang baik. Dia memiliki karakter moral yang luhur dan semua orang memuji dirinya. Jadi, mengapa dia berubah setelah datang ke rumah Tuhan?" Benarkah dia telah berubah? Sebenarnya, dia tidak berubah. Dia memiliki sedikit perilaku moral dan perilaku yang baik, tetapi selain dari itu, ini selalu merupakan esensi kemanusiaannya—yang sama sekali belum berubah. Di mana pun dia berada, dia selalu berperilaku seperti ini. Hanya saja, sebelumnya orang menilai dia dengan menggunakan standar perilaku moral, bukan menggunakan kebenaran untuk menilai kemanusiaannya. Orang mengira dia mengalami semacam perubahan, tetapi sebenarnya tidak. Beberapa orang berkata, "Dahulu dia tidak seperti itu." Dahulu dia tidak seperti itu karena dia tidak dihadapkan dengan situasi ini sebelumnya dan dia tidak mendapati dirinya dalam lingkungan seperti ini sebelumnya. Selain itu, orang tidak memahami kebenaran, dan tidak mampu mengetahui yang sebenarnya tentang orang itu. Apa akibat akhir jika orang memandang dan menilai orang lain berdasarkan satu perilaku yang baik, dan bukan berdasarkan esensi kemanusiaannya? Akibatnya, orang bukan saja tidak akan dapat mengetahui yang sebenarnya tentang orang tersebut, mereka juga akan dibutakan dan disesatkan oleh perilaku moral baik yang orang itu perlihatkan di luarnya. Jika orang tidak mampu mengetahui yang sebenarnya tentang orang lain, mereka akan memercayai, menganjurkan, dan menugaskan orang yang salah, dan mereka akan disesatkan dan ditipu oleh orang lain. Ada pemimpin dan pekerja yang sering kali melakukan kesalahan ini saat memilih dan menugaskan orang. Mereka dibutakan oleh orang-orang yang di luarnya terlihat memiliki beberapa perilaku baik dan perilaku moral yang baik, dan mengatur agar mereka melakukan pekerjaan penting atau menyimpan beberapa barang penting. Akibatnya, terjadi kesalahan, dan itu menyebabkan rumah Tuhan mengalami kerugian. Mengapa terjadi kesalahan? Itu terjadi karena para pemimpin dan pekerja tidak mampu memahami esensi natur yang sebenarnya dari orang-orang ini. Mengapa mereka tidak memahami esensi natur yang sebenarnya dari mereka? Karena para pemimpin dan pekerja ini tidak memahami kebenaran, dan mereka tidak mampu menilai dan mengetahui diri orang yang sebenarnya. Mereka tidak mampu memahami esensi natur yang sebenarnya dari orang itu, dan mereka tidak tahu sikap seperti apa yang orang itu miliki terhadap Tuhan, kebenaran, dan kepentingan rumah Tuhan. Mengapa demikian? Karena para pemimpin dan pekerja ini memandang orang dan berbagai hal dari sudut pandang yang salah. Mereka hanya memandang orang berdasarkan gagasan dan imajinasi manusia, mereka tidak memandang esensi mereka berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran—sebaliknya, mereka memandang orang berdasarkan perilaku moral dan tindakan serta perwujudan yang hanya tampak di luarnya saja. Karena pandangan mereka tentang orang tidak memiliki prinsip, mereka memercayai orang yang salah, menugaskan orang yang salah, dan akibatnya mereka dibutakan, ditipu, dan dimanfaatkan oleh orang-orang itu, dan pada akhirnya kepentingan rumah Tuhan dirugikan. Inilah akibatnya jika orang tidak mampu memandang orang atau mengetahui diri mereka yang sebenarnya. Jadi, jika orang ingin mengejar kebenaran, pelajaran pertama yang harus mereka pelajari adalah bagaimana memandang dan mengetahui diri orang yang sebenarnya—pelajaran ini membutuhkan waktu yang lama untuk dipelajari, dan ini adalah salah satu pelajaran paling mendasar yang harus orang pelajari. Jika engkau ingin mengetahui yang sebenarnya tentang seseorang dan belajar mengidentifikasi orang tersebut, engkau harus terlebih dahulu memahami standar apa yang Tuhan gunakan untuk menilai orang, pemikiran dan pandangan keliru apa yang mengendalikan dan mendominasi orang tersebut dalam caranya memandang dan menilai orang lain, dan apakah standar itu bertentangan dengan standar yang Tuhan gunakan untuk menilai manusia, dan dalam hal apa standar tersebut bertentangan. Apakah metode dan standar yang kaugunakan untuk menilai orang didasarkan pada tuntutan Tuhan? Apakah semua itu didasarkan pada firman Tuhan? Apakah semua itu memiliki dasar dalam kebenaran? Jika tidak, dan engkau sepenuhnya mengandalkan pengalaman dan imajinasimu untuk menilai orang lain, atau jika engkau bahkan bertindak terlalu jauh sampai mendasarkan penilaianmu pada moral sosial yang dianjurkan dalam masyarakat, atau mendasarkan penilaianmu pada apa yang kaulihat dengan kedua matamu, maka orang yang berusaha kaukenali akan tetap tidak jelas bagimu. Engkau tidak akan dapat mengetahui diri mereka yang sebenarnya. Jika engkau memercayai mereka dan memberikan tugas kepada mereka, engkau akan mengambil risiko pada tingkat tertentu, dan mau tak mau, ada kemungkinan hal ini akan menyebabkan kerugian pada persembahan Tuhan, pekerjaan gereja, dan jalan masuk kehidupan umat pilihan Tuhan. Mampu mengetahui diri orang yang sebenarnya adalah pelajaran pertama yang harus kaupelajari jika engkau ingin mengejar kebenaran. Tentu saja, itu juga merupakan salah satu aspek paling mendasar dari kebenaran yang harus orang miliki. Belajar mengetahui diri orang yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari topik persekutuan hari ini. Engkau harus mampu membedakan antara perilaku dan kualitas moral yang baik, dan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh orang dengan kemanusiaan yang normal. Mampu membedakan kedua hal ini sangatlah penting. Hanya dengan cara demikianlah engkau akan mampu mengenali dan memahami esensi seseorang secara akurat, dan pada akhirnya memastikan siapa yang memiliki kemanusiaan dan siapa yang tidak. Dengan apa orang harus terlebih dahulu diperlengkapi untuk membedakan hal-hal ini? Orang harus memahami firman Tuhan, serta aspek kebenaran ini, dan mencapai titik di mana mereka memandang orang berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standar mereka. Bukankah ini adalah prinsip-prinsip kebenaran yang seharusnya orang terapkan dan miliki saat mengejar kebenaran? (Ya.) Jadi, sangatlah penting bagi kita untuk mempersekutukan topik-topik ini.
Aku baru saja mempersekutukan pepatah pertama, "Jangan mengantongi uang yang kautemukan", yang jelas merupakan semacam perilaku moral manusia. Perilaku moral ini adalah semacam karakter moral dan perilaku sesaat yang meninggalkan kesan baik pada orang-orang, tetapi sayangnya, perilaku moral ini tidak dapat dijadikan standar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak. Sama halnya dengan pepatah kedua, "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas bahwa ini juga adalah sesuatu yang orang sukai dan dianggap sebagai perilaku yang baik. Mereka yang memperlihatkan perilaku baik ini dipuji sebagai orang yang memiliki perilaku moral yang baik dan karakter yang luhur—singkatnya, mereka dianggap sebagai orang yang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain dan memiliki karakter moral yang sangat baik. "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" memiliki beberapa kesamaan dengan "Jangan mengantongi uang yang kautemukan". Ini juga merupakan perilaku baik yang muncul dalam diri orang-orang di tengah iklim sosial tertentu. Arti harfiah dari "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" berarti menemukan kesenangan dalam membantu orang lain. Pepatah ini tidak bermaksud mengatakan adalah kewajiban orang untuk membantu orang lain—pepatah ini bukan berbunyi "Membantu orang lain adalah tanggung jawabmu"—melainkan berbunyi "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Dari sini, kita dapat memahami apa yang memotivasi orang untuk membantu orang lain. Mereka tidak melakukannya demi orang lain, melainkan demi diri mereka sendiri. Orang dipenuhi dengan kekhawatiran dan penderitaan, jadi mereka mencari orang lain yang membutuhkan bantuan dan memberi mereka sedekah dan bantuan; mereka membantu dan melakukan hal-hal baik apa pun yang mampu mereka lakukan untuk membuat diri mereka sendiri merasa bahagia, senang, tenang, dan bersukacita, dan untuk mengisi hari-hari mereka dengan makna, sehingga mereka tidak merasa sedemikian hampa dan sedih—mereka meningkatkan perilaku moral mereka agar dapat mencapai tujuan untuk menyucikan dan memurnikan hati dan pikiran mereka. Perilaku macam apa ini? Jika engkau memandang orang yang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain dari sudut pandang penjelasan ini, berarti mereka bukanlah orang yang baik. Setidaknya, mereka tidak dimotivasi oleh moralitas, hati nurani, atau kemanusiaan mereka untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, atau untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan keluarga mereka; sebaliknya, tujuan mereka membantu orang adalah agar memperoleh kesenangan, penghiburan spiritual, kenyamanan emosional, dan untuk hidup bahagia. Bagaimana menurutmu perilaku moral semacam ini? Jika engkau menelaah naturnya, pepatah ini jauh lebih buruk daripada "Jangan mengantongi uang yang kautemukan". Setidaknya "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" tidak memiliki aspek egois di dalamnya. Lalu bagaimana dengan: "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain"? Kata "kesenangan" menunjukkan bahwa perilaku ini mengandung unsur keegoisan dan niat yang hina. Ini bukan tentang membantu orang demi mereka atau sebagai pengorbanan tanpa pamrih, tetapi orang melakukannya demi kesenangannya sendiri. Ini sama sekali tidak layak untuk dianjurkan. Sebagai contoh, katakanlah engkau melihat seseorang berusia lanjut terjatuh di jalan dan engkau berpikir: "Belakangan ini aku merasa sangat sedih. Orang tua yang jatuh ini adalah kesempatan besar—aku akan mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain!" Engkau pun menghampiri orang tua itu dan membantunya berdiri, dan setelah mampu berdiri, dia memujimu, berkata: "Kau benar-benar orang baik, Nak. Semoga kau aman, bahagia dan panjang umur!" Dia menghujanimu dengan perkataan yang menyenangkan ini, dan setelah mendengarnya, semua kekhawatiranmu lenyap dan engkau merasa senang. Engkau menganggap membantu orang adalah hal yang baik, dan bertekad untuk berjalan-jalan di sepanjang jalan di waktu luangmu dan membantu siapa pun yang terjatuh. Orang memperlihatkan beberapa perilaku baik di bawah pengaruh pemikiran semacam ini, dan masyarakat telah menggolongkan perilaku ini sebagai tradisi yang baik untuk mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, dan sebagai semacam karakter moral yang luhur yang meneruskan tradisi besar ini. Di balik mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, orang yang membantu biasanya menganggap dirinya orang yang telah mencapai puncak moralitas. Mereka ingin menjadikan diri mereka dermawan yang hebat, dan makin banyak orang memuji mereka, makin besar keinginan mereka untuk membantu, memberikan sedekah, dan berbuat lebih banyak untuk orang lain. Ini memuaskan keinginan mereka untuk menjadi pahlawan dan penyelamat manusia, serta keinginan mereka untuk mendapatkan semacam kepuasan karena dibutuhkan oleh orang lain. Bukankah semua manusia ingin merasa dibutuhkan? Ketika orang merasa dibutuhkan oleh orang lain, mereka menganggap diri mereka sangat berguna dan hidup mereka bermakna. Bukankah ini hanyalah semacam mencari perhatian? Mencari perhatian adalah satu-satunya hal yang membuat orang senang—itu adalah cara hidup mereka. Sebenarnya, dari sudut pandang mana pun kita memandang perihal mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, itu bukanlah standar untuk menilai moral manusia. Sering kali, tindakan mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain sebenarnya hanya membutuhkan sedikit upaya. Jika engkau mau melakukannya, maka engkau telah memenuhi tanggung jawab sosialmu; jika engkau tidak mau melakukannya, tak seorang pun akan meminta pertanggungjawabanmu, dan engkau tidak akan menjadi sasaran kecaman masyarakat. Dalam hal perilaku baik yang dipuji manusia, orang dapat memilih untuk melakukannya atau memilih untuk tidak melakukannya, kedua-duanya boleh. Tidak perlu mengekang orang dengan pepatah ini, atau membuat mereka belajar bagaimana mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, karena perilaku itu sendiri hanyalah perilaku baik yang sifatnya sesaat. Baik orang menerapkan perilaku baik ini karena dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi tanggung jawab sosialnya maupun karena ingin melakukan kebajikan dalam bermasyarakat, apa yang akan menjadi hasil akhirnya? Mereka hanya akan memuaskan keinginan mereka untuk menjadi orang yang baik dan sekaligus mewujudkan semangat Lei Feng; mereka akan mendapatkan kesenangan dan kenyamanan dari melakukannya, dan dengan demikian mengangkat ranah pemikiran mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Itu saja. Inilah esensi dari apa yang sedang mereka lakukan. Jadi, apa yang kaupahami tentang pepatah "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" sebelum persekutuan ini? (Sebelumnya, aku tidak menyadari niat egois dan tercela di baliknya.) Bayangkan skenario di mana engkau memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu, sebuah tanggung jawab yang tidak boleh kaulalaikan, sesuatu yang cukup sulit, dan engkau harus menanggung sedikit penderitaan, meninggalkan beberapa hal, dan membayar harga untuk mencapainya, tetapi engkau tetap mampu memenuhi tanggung jawab ini. Engkau tidak merasa begitu puas saat engkau melakukannya, dan setelah membayar harga dan memenuhi tanggung jawab ini, hasil kerjamu tidak memberimu kesenangan atau kenyamanan apa pun, tetapi karena itu adalah tanggung jawab dan tugasmu, engkau tetap melakukannya. Jika kita bandingkan ini dengan mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, manakah yang lebih memperlihatkan kemanusiaan? (Orang yang memenuhi tanggung jawab dan tugas mereka adalah yang lebih memiliki kemanusiaan.) Mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain bukanlah tentang memenuhi tanggung jawab—itu hanyalah tuntutan tentang perilaku moral dan tanggung jawab sosial orang yang ada dalam konteks sosial tertentu; itu berasal dari pendapat umum, moral sosial, atau bahkan hukum suatu negara, dan itu berfungsi untuk menilai apakah seseorang itu bermoral atau tidak dan untuk menilai kualitas kemanusiaan mereka. Dengan kata lain, "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" hanyalah sebuah pepatah yang membatasi perilaku orang, yang masyarakat anjurkan untuk mengangkat ranah pemikiran manusia. Pepatah semacam ini hanya digunakan untuk membuat orang melakukan beberapa perilaku baik, dan standar untuk menilai perilaku-perilaku baik itu adalah moral sosial, opini publik, atau bahkan hukum. Sebagai contoh, jika engkau melihat seseorang membutuhkan bantuan di tempat umum dan engkau adalah orang pertama yang seharusnya membantunya, tetapi engkau tidak melakukannya, apa pendapat orang lain tentang dirimu? Mereka akan menegurmu karena berkelakuan kurang baik—bukankah itu yang dimaksud dengan opini publik? (Ya.) Lalu, apakah yang dimaksud dengan moral sosial? Moral sosial adalah hal-hal dan kebiasaan yang positif dan dianggap tinggi yang dikemukakan dan dianjurkan oleh masyarakat. Tentu saja, moral sosial itu terdiri dari banyak tuntutan spesifik, misalnya: menyokong orang-orang yang lemah, membantu ketika orang lain menghadapi kesulitan, dan tidak hanya berpangku tangan. Orang-orang diharapkan untuk menerapkan perilaku moral semacam ini, itulah yang dimaksud memiliki moral sosial. Jika engkau melihat seseorang menderita dan engkau berpura-pura tidak melihatnya, mengabaikannya, dan tidak melakukan apa pun, itu berarti engkau tidak memiliki moral sosial. Jadi, apa tuntutan hukum dalam hal perilaku moral manusia? Tiongkok adalah kasus khusus dalam hal ini: hukum di Tiongkok tidak memiliki ketentuan tegas mengenai tanggung jawab sosial dan moral sosial. Orang hanya belajar sedikit tentang hal-hal ini melalui didikan keluarga, pendidikan sekolah, dan apa yang mereka dengar dan amati dari masyarakat. Sebaliknya, di negara-negara Barat, hal-hal ini dimasukkan ke dalam undang-undang. Sebagai contoh, jika engkau melihat seseorang terjatuh di jalan, setidaknya engkau harus menghampirinya dan bertanya, "Apakah kau baik-baik saja? Apakah kau butuh bantuan?" Jika orang itu menjawab, "Aku baik-baik saja, terima kasih," engkau tidak perlu membantu mereka, engkau tidak diharuskan memenuhi tanggung jawab itu. Jika dia berkata, "Tolong, aku butuh bantuan," maka engkau harus membantunya. Jika engkau tidak membantunya, engkau akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Ini adalah tuntutan khusus yang diajukan negara-negara tertentu berkenaan dengan perilaku moral masyarakat; negara-negara ini membebankan tuntutan ini terhadap orang melalui ketentuan tegas dalam hukum-hukum mereka. Tuntutan-tuntutan yang dibebankan pada perilaku moral orang oleh opini publik, moral sosial, dan bahkan hukum ini hanya terbatas pada perilaku orang, dan standar perilaku dasar ini adalah standar yang orang gunakan untuk menilai perilaku moral seseorang. Di luarnya, standar moral ini kelihatannya menilai perilaku orang—yang berarti menilai apakah orang telah memenuhi tanggung jawab sosialnya atau tidak—tetapi pada dasarnya, standar moral ini menilai kualitas diri seseorang. Entah itu opini publik, moral sosial, atau hukum, standar moral ini hanya menilai atau menuntut tentang hal-hal yang orang lakukan, dan penilaian serta tuntutan ini terbatas pada perilaku orang. Standar moral ini menilai kualitas dan perilaku moral seseorang berdasarkan perilaku orang tersebut—itulah ruang lingkup penilaiannya. Itulah natur dari pernyataan: "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Dalam hal mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, negara-negara Barat menuntut orang melalui ketentuan hukum, sedangkan di Tiongkok, budaya tradisional digunakan untuk mendidik dan menanamkan gagasan-gagasan ini ke dalam diri orang. Meskipun ada perbedaan antara negara-negara di Timur dan di Barat ini, keduanya pada dasarnya sama—keduanya menggunakan pepatah untuk membatasi dan mengatur perilaku dan moralitas orang. Namun, baik itu hukum di negara-negara Barat maupun budaya tradisional di negara-negara Timur, semua ini hanyalah tuntutan dan peraturan yang dibebankan terhadap tindakan dan perilaku moral manusia, dan standar-standar ini hanya mengatur tindakan dan perilaku moral manusia—tetapi adakah dari standar-standar ini yang menargetkan kemanusiaan orang? Dapatkah peraturan yang hanya menentukan perilaku apa yang seharusnya orang terapkan ini digunakan sebagai standar untuk menilai kemanusiaan mereka? (Tidak.) Jika kita melihat pepatah "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain" ini, ada orang-orang jahat yang mampu mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, tetapi mereka dimotivasi oleh niat dan tujuan mereka sendiri. Jika setan-setan melakukan beberapa perbuatan baik yang remeh sekalipun, kemungkinan besar mereka melakukannya dengan niat dan tujuan mereka sendiri. Menurutmu, apakah setiap orang yang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain adalah pecinta kebenaran yang memiliki rasa keadilan? Sebagai contoh, orang-orang yang diyakini mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain di Tiongkok, seperti para tokoh berjiwa kesatria, atau orang yang merampok dari orang kaya dan memberi kepada orang miskin, atau mereka yang sering datang untuk membantu kelompok-kelompok yang lemah dan orang cacat, dan sebagainya—apakah mereka semua memiliki kemanusiaan? Apakah mereka semua menyukai hal-hal positif dan memiliki rasa keadilan? (Tidak.) Paling-paling, mereka hanyalah orang-orang yang memiliki karakter yang relatif lebih baik. Karena mereka dikendalikan oleh semangat untuk mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain ini, mereka melakukan banyak perbuatan baik yang memberi mereka kesenangan, kenyamanan, dan memungkinkan mereka untuk sepenuhnya menikmati perasaan bahagia, tetapi menerapkan perilaku seperti itu bukan berarti mereka memiliki kemanusiaan, karena baik keyakinan mereka maupun apa yang mereka kejar secara rohani tidak jelas, semua itu adalah hal-hal yang tidak diketahui. Jadi, dapatkah mereka dianggap sebagai orang yang memiliki kemanusiaan dan berhati nurani berdasarkan perilaku moral baik tersebut? (Tidak.) Beberapa lembaga seperti yayasan dan lembaga kesejahteraan yang diyakini mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, yang membantu kelompok orang lemah dan orang cacat, paling-paling hanya memenuhi sedikit tanggung jawab sosial mereka. Mereka melakukan hal-hal ini untuk meningkatkan citra mereka di mata publik, untuk meningkatkan popularitas mereka, dan untuk memuaskan mentalitas mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain—ini sama sekali tidak dapat dianggap setara dengan "memiliki kemanusiaan". Selain itu, apakah orang-orang yang mereka bantu untuk mendapatkan kesenangan benar-benar membutuhkan bantuan? Apakah mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain itu sendiri adalah hal yang baik? Belum tentu. Jika engkau cukup lama memperhatikan semua peristiwa besar dan kecil yang terjadi di tengah masyarakat, engkau akan melihat bahwa beberapa di antaranya hanyalah tentang orang yang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, sedangkan, dalam banyak kasus lainnya, ada lebih banyak rahasia yang tidak terungkap dan aspek gelap masyarakat yang tersembunyi dalam contoh-contoh di mana orang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain. Bagaimanapun juga, ada niat dan tujuan di balik mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, entah itu untuk menjadi terkenal dan terlihat paling menonjol, atau untuk mematuhi moral sosial dan tidak melanggar hukum, atau untuk mendapatkan penilaian yang lebih positif dari masyarakat pada umumnya. Bagaimanapun orang memandangnya, mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain hanyalah salah satu dari perilaku lahiriah manusia, dan, paling-paling itu merupakan semacam perilaku moral yang baik. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kemanusiaan normal yang Tuhan tuntut. Orang yang mampu mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain mungkin adalah orang biasa tanpa ambisi yang nyata, atau mereka mungkin tokoh-tokoh penting di tengah masyarakat; mereka mungkin saja adalah orang-orang yang relatif baik hati, tetapi mungkin saja mereka juga sebenarnya adalah orang yang kejam. Mereka bisa saja orang jenis apa pun, dan semua orang mampu menerapkan perilaku ini untuk sementara waktu. Jadi, pernyataan tentang perilaku moral, "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", tentu saja tidak memenuhi syarat sebagai standar untuk menilai kemanusiaan orang.
"Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain"—pepatah tentang perilaku moral ini sebenarnya tidak merepresentasikan esensi kemanusiaan orang, dan pepatah ini tidak ada kaitannya dengan esensi natur manusia. Oleh karena itu, menggunakan pepatah ini untuk menilai kualitas kemanusiaan seseorang tidaklah tepat. Jadi, bagaimana cara yang tepat untuk menilai kemanusiaan seseorang? Setidaknya, orang yang memiliki kemanusiaan tidak boleh memutuskan apakah akan membantu seseorang atau memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan apakah itu akan membuatnya merasa senang atau tidak; sebaliknya, keputusan mereka harus didasarkan pada hati nurani dan nalar mereka, dan tidak boleh didasarkan pada apa yang akan mereka dapatkan, atau apa konsekuensi membantu orang itu terhadap dirinya, atau apa dampaknya bagi mereka di masa depan. Mereka tidak boleh mempertimbangkan hal-hal ini, dan mereka sudah seharusnya memenuhi tanggung jawab, membantu orang lain, dan menghalangi orang lain agar tidak mengalami penderitaan. Mereka harus membantu orang dengan cara yang murni, tanpa tujuan egois apa pun—itulah yang akan dilakukan oleh seseorang yang benar-benar memiliki kemanusiaan. Jika tujuan seseorang dalam membantu orang lain adalah untuk menyenangkan dirinya sendiri atau untuk membangun reputasi yang baik bagi dirinya sendiri, berarti ada sifat egois dan hina di dalamnya—orang yang benar-benar memiliki hati nurani dan nalar tidak akan bertindak dengan cara seperti ini. Orang yang benar-benar mengasihi sesama tidak bertindak semata-mata agar dapat memenuhi keinginan mereka untuk merasakan hal tertentu, sebaliknya, mereka melakukannya agar dapat memenuhi tanggung jawab mereka, dan berupaya sebaik mungkin untuk membantu orang lain. Mereka tidak membantu orang agar dapat memperoleh imbalan, dan mereka tidak memiliki niat atau motif lain apa pun. Meskipun bertindak dengan cara seperti ini mungkin sulit, dan meskipun mereka mungkin dikritik oleh orang lain atau bahkan menghadapi sedikit bahaya, mereka menyadari bahwa ini adalah tugas yang seharusnya orang lakukan, bahwa ini adalah tanggung jawab manusia, dan jika mereka tidak bertindak dengan cara seperti ini, mereka telah berutang kepada orang lain dan kepada Tuhan, dan mereka akan merasa menyesal seumur hidup. Dengan demikian, mereka akan melakukannya tanpa keraguan, mereka berusaha sekuat tenaga, mereka menaati kehendak Tuhan, dan mereka memenuhi tanggung jawab mereka. Bagaimanapun orang lain menilai mereka, atau apakah orang lain menunjukkan rasa terima kasih dan menghargai mereka atau tidak, asalkan mereka dapat membantu orang itu dengan melakukan apa pun yang perlu mereka lakukan, dan yang mampu mereka lakukan dengan segenap hati, mereka akan merasa puas. Orang yang mampu bertindak dengan cara seperti ini memiliki hati nurani dan nalar, mereka memiliki perwujudan kemanusiaan, dan bukan hanya sejenis perilaku yang dibatasi oleh ruang lingkup karakter moral dan perilaku moral. Mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain hanyalah sejenis perilaku, dan terkadang itu hanyalah perilaku yang muncul dalam konteks tertentu; keputusan seseorang untuk berperilaku sesaat semacam ini dilakukan berdasarkan suasana hati, emosi, lingkungan sosial, serta situasi pada saat kejadian, dan keuntungan atau kerugian apa yang mungkin timbul dari bertindak dengan cara seperti itu. Orang yang memiliki kemanusiaan tidak mempertimbangkan hal-hal ini ketika mereka membantu orang—mereka membuat keputusan berdasarkan standar penilaian yang lebih positif, dan lebih sesuai dengan hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal. Terkadang, mereka bahkan mampu bertekun dalam membantu orang sekalipun melakukannya bertentangan dan berlawanan dengan standar moralitas. Standar, gagasan, dan pandangan moralitas hanya mampu membatasi perilaku sesaat orang. Dan apakah orang akan berperilaku baik atau buruk, itu akan berubah tergantung pada suasana hati, emosi, kebaikan dan kejahatan di dalam diri mereka, serta niat baik atau buruk sesaat mereka; tentu saja, iklim sosial dan lingkungan juga akan memengaruhi hal ini. Ada banyak ketidakmurnian dalam perilaku ini; semua itu adalah perilaku yang terlihat di luarnya, dan orang tidak boleh menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak dengan menggunakan hal-hal ini. Sebaliknya, adalah jauh lebih akurat dan nyata untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak berdasarkan esensi kemanusiaan mereka, apa yang mereka kejar, pandangan hidup dan sistem nilai mereka, jalan yang mereka tempuh, serta apa yang mendasari perilaku dan tindakan mereka. Katakan kepada-Ku, manakah yang sesuai dengan kebenaran: dasar untuk menilai kemanusiaan ataukah dasar untuk menilai perilaku moral? Manakah yang sesuai dengan kebenaran, apakah standar untuk menilai perilaku moral, ataukah standar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak? Manakah dari standar ini yang sesuai dengan kebenaran? Sebenarnya, yang sesuai dengan kebenaran adalah standar untuk menilai apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak. Ini sudah pasti. Alasan mengapa hal-hal yang digunakan untuk menilai perilaku moral seseorang tidak dapat berfungsi sebagai standar adalah karena hal-hal tersebut tidak tetap. Semua itu dipenuhi dengan banyak ketidakmurnian, seperti sifat manusia yang suka bertransaksi, minat, preferensi, pengejaran, emosi, pemikiran yang jahat, watak rusak, dan sebagainya. Ada terlalu banyak kesalahan dan ketidakmurnian di dalamnya—semuanya rumit. Oleh karena itu, semua itu tidak dapat dijadikan standar untuk menilai orang. Semua itu penuh dengan segala macam hal yang Iblis tanamkan dalam diri manusia dan kondisi tambahan yang muncul karena watak rusak Iblis dalam diri manusia, dan dengan demikian, semua itu bukanlah kebenaran. Singkatnya, entah orang menganggap semua standar perilaku moral ini mudah atau sulit untuk dipenuhi, entah orang menganggapnya bernilai tinggi, rendah atau rata-rata, bagaimanapun juga, semua itu hanyalah pepatah yang membatasi dan mengatur perilaku orang. Semua itu hanya dianggap setara dengan kualitas moral manusia; semua itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan tuntutan Tuhan di mana kebenaran digunakan untuk menilai kemanusiaan seseorang. Di dalamnya bahkan tidak terdapat standar paling dasar yang seharusnya dimiliki dan dipenuhi oleh orang yang memiliki kemanusiaan. Saat memandang orang, manusia hanya berfokus pada menilai perilaku moralnya; mereka memandang dan menilai orang sepenuhnya berdasarkan tuntutan budaya tradisional. Tuhan tidak memandang manusia hanya berdasarkan perilaku moral mereka—Dia berfokus pada esensi kemanusiaan mereka. Apa sajakah yang termasuk dalam esensi kemanusiaan seseorang? Preferensi mereka, pandangan mereka tentang segala sesuatu, sudut pandang mereka tentang kehidupan dan sistem nilai, apa yang mereka kejar, apakah dia memiliki rasa keadilan atau tidak, apakah mereka mencintai kebenaran dan hal-hal positif atau tidak, kemampuan mereka untuk menerima dan tunduk pada kebenaran, jalan yang mereka pilih, dan sebagainya. Menilai esensi kemanusiaan seseorang berdasarkan hal-hal ini adalah akurat. Ini kurang lebih mengakhiri persekutuan-Ku tentang mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain. Dengan mempersekutukan kedua tuntutan tentang perilaku moral ini, apakah engkau semua kini telah memahami prinsip-prinsip dasar tentang cara menilai perilaku moral, serta cara membedakan standar Tuhan untuk menilai orang dan perilaku moral yang manusia bicarakan? (Ya.)
Aku baru saja mempersekutukan dua tuntutan yang diajukan budaya tradisional dalam hal perilaku moral manusia, "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Apa yang telah engkau semua pahami dari persekutuan-Ku tentang kedua pepatah ini? (Aku mengerti bahwa perilaku moral manusia tidak berkaitan dengan esensi kemanusiaan mereka. Paling-paling, orang yang memperlihatkan perilaku moral semacam ini memiliki beberapa perilaku dan perwujudan yang baik dalam hal kualitas moral mereka. Namun, ini bukan berarti mereka memiliki kemanusiaan atau mereka hidup dalam keserupaan dengan manusia. Aku telah memperoleh pemahaman yang agak lebih jelas mengenai hal ini.) Orang yang memperlihatkan perilaku moral yang baik belum tentu memiliki kemanusiaan—semua orang dapat mengenali hal ini, dan memang demikianlah adanya. Semua orang mengikuti tren jahat masyarakat dan mereka semua telah secara perlahan kehilangan hati nurani dan nalar mereka—hanya sedikit orang yang mampu hidup dalam keserupaan dengan manusia. Apakah setiap orang yang pernah menyerahkan satu sen yang mereka temukan di pinggir jalan kepada polisi ternyata adalah orang yang baik? Belum tentu. Bagaimana kesudahan orang-orang yang pernah dipuji sebagai pahlawan di kemudian hari? Di dalam hatinya, semua orang tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Menjadi seperti apakah para teladan moralitas sosial dan para dermawan yang sering mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, yang dikalungi dengan hiasan bunga-bunga merah, dan dipuji oleh manusia? Kebanyakan dari mereka ternyata bukan orang yang baik. Mereka hanya dengan sengaja melakukan beberapa perbuatan baik untuk menjadi terkenal. Sebenarnya, sebagian besar perilaku, kehidupan, dan karakter mereka di balik layar sama sekali tidak baik. Satu-satunya hal yang benar-benar pandai mereka lakukan adalah menyanjung dan menjilat orang. Ketika mereka menanggalkan kalungan bunga merah dan penutup luar mereka sebagai teladan moralitas sosial, mereka bahkan tidak tahu bagaimana cara berperilaku atau bagaimana mereka harus menjalani hidup mereka. Apa masalahnya di sini? Bukankah mereka telah terjebak oleh mahkota "teladan moral" yang disematkan masyarakat kepada mereka? Mereka sebenarnya tidak tahu siapa diri mereka yang sebenarnya—mereka telah disanjung secara berlebihan sehingga mereka mulai menganggap diri mereka sangat hebat, dan mereka tidak mampu lagi menjadi orang normal. Pada akhirnya, mereka bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk hidup, kehidupan sehari-hari mereka menjadi sangat kacau, bahkan ada yang menyalahgunakan alkohol, menjadi depresi, dan bunuh diri. Pasti ada orang-orang yang termasuk dalam kategori ini. Mereka selalu mengejar perasaan tertentu, ingin menjadi pahlawan dan teladan, ingin menjadi terkenal, atau menjadi yang tertinggi dalam hal keunggulan moral. Mereka tidak pernah dapat kembali ke dunia nyata; kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan nyata selalu menjadi sumber kejengkelan dan penderitaan bagi mereka. Mereka tidak tahu bagaimana melepaskan diri dari penderitaan ini atau bagaimana memilih jalan yang benar dalam hidup ini. Untuk mencari kesenangan, ada orang-orang yang menggunakan narkoba, sedangkan yang lain memilih bunuh diri untuk melepaskan diri dari perasaan hampa. Sering kali beberapa dari mereka yang tidak bunuh diri akhirnya meninggal akibat depresi. Bukankah ada banyak contoh yang seperti itu? (Ya.) Kerusakan seperti inilah yang orang alami akibat tuntutan budaya tradisional terhadap manusia. Budaya tradisional bukan saja membuat orang tidak mampu memperoleh pemahaman yang akurat tentang kemanusiaan atau membimbing mereka ke jalan yang benar yang seharusnya mereka tempuh—bukan itu saja—semua itu sebenarnya menyesatkan mereka, mengarahkan mereka menuju alam khayalan dan fantasi. Hal ini merusak orang dan merusak mereka dengan sangat mendalam. Ada orang-orang yang mungkin berkata: "Tidak semuanya seperti itu! Kita baik-baik saja, bukan?" Bukankah fakta bahwa engkau semua baik-baik saja sekarang adalah karena perlindungan Tuhan? Hanya karena Tuhan memilihmu dan engkau semua memiliki perlindungan-Nya sehingga engkau cukup beruntung untuk menerima pekerjaan-Nya, dan dapat membaca firman-Nya, menghadiri pertemuan, saling bersekutu, dan melaksanakan tugasmu di sini; hanya karena perlindungan-Nya engkau dapat menjalani kehidupan manusia normal, dan memiliki nalar yang normal untuk menangani semua aspek kehidupan sehari-harimu. Namun, tidak dapat disangkal bahwa di dalam alam bawah sadarmu, masih ada gagasan dan pandangan seperti: "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain". Dan demikian juga halnya, engkau semua masih terpenjara oleh standar ideologis dan moral yang berasal dari manusia ini. Mengapa Kukatakan bahwa engkau semua terpenjara oleh hal-hal ini? Karena jalan yang kaupilih untuk kautempuh dalam hidupmu; prinsip dan arah tindakan dan perilakumu; prinsip, metode, dan standar yang kaugunakan untuk memandang orang dan hal-hal; dan sebagainya, semuanya itu masih dipengaruhi, atau bahkan dibelenggu dan dikendalikan oleh standar ideologis dan moral ini, dalam taraf yang berbeda. Sedangkan firman Tuhan dan kebenaran, itu belum menjadi dasar dan standarmu dalam memandang orang dan segala sesuatu, dan bagi perilaku dan tindakanmu. Saat ini, engkau semua baru memilih arah yang benar dalam hidupmu, dan engkau semua memiliki kemauan, cita-cita, dan harapan untuk mulai menempuh jalan mengejar kebenaran. Namun sebenarnya, sebagian besar dari antaramu sama sekali belum menempuh jalan ini—dengan kata lain, engkau semua belum menginjakkan kaki di jalan yang benar yang telah Tuhan persiapkan bagi manusia. Ada orang-orang yang akan berkata: "Jika kami belum menempuh jalan yang benar, lalu mengapa kami tetap mampu melaksanakan tugas kami?" Ini adalah hasil dari pilihan, kerja sama, hati nurani, dan tekad manusia. Sekarang ini, engkau sedang bekerja sama dengan tuntutan Tuhan dan berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki diri, tetapi hanya karena engkau berusaha memperbaiki diri, bukan berarti engkau telah menginjakkan kaki di jalan mengejar kebenaran. Salah satu alasannya adalah karena engkau semua masih dipengaruhi oleh gagasan yang telah ditanamkan budaya tradisional dalam dirimu. Sebagai contoh, engkau semua mungkin memiliki pemahaman yang baik tentang esensi dari pernyataan, "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", setelah mendengar-Ku mempersekutukan dan menyingkapkan pernyataan-pernyataan itu, tetapi beberapa hari kemudian, engkau semua mungkin berubah pikiran. Engkau mungkin berpikir: "Apa yang buruk tentang 'Jangan mengantongi uang yang kautemukan'? Aku memang menyukai orang yang tidak mengantongi uang yang mereka temukan. Setidaknya mereka tidak serakah. Apa yang salah dengan 'Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain'? Setidaknya, ketika kita sedang membutuhkan pertolongan, kita dapat mengandalkan seseorang untuk membantu kita. Ini adalah hal yang baik dan ini adalah sesuatu yang dibutuhkan semua orang! Selain itu, bagaimanapun engkau memandangnya, jika orang menemukan kesenangan dengan membantu orang lain, itu adalah hal yang baik dan positif. Ini adalah tugas yang wajib kita lakukan dan itu seharusnya tidak dikritik!" Lihatlah, hanya beberapa hari setelah terbangun, tidur satu malam sudah cukup untuk mengubahmu; itu akan membawamu kembali ke posisimu yang sebelumnya, dan mengembalikanmu sekali lagi ke dalam penjara budaya tradisional. Dengan kata lain, hal-hal yang bersarang di alam bawah sadarmu ini memengaruhi pemikiran dan pandanganmu dari waktu ke waktu, serta memengaruhi jalan yang kaupilih. Dan mau tidak mau, saat hal-hal ini memengaruhimu, alam bawah sadarmu juga selalu menahanmu, menghentikanmu agar tidak memenuhi keinginanmu untuk menginjakkan kaki di jalan yang benar dalam hidupmu, untuk memulai jalan mengejar kebenaran, dan menempuh jalan dalam hidupmu di mana firman Tuhan adalah dasarmu, dan kebenaran adalah standarmu. Meskipun engkau sangat bersedia menempuh jalan ini, meskipun engkau sangat ingin menempuhnya, dan merasa gelisah karenanya, dan engkau menghabiskan hari-harimu untuk berpikir dan merencanakan, membulatkan tekad, dan mendoakannya, segala sesuatunya tetap tidak akan terjadi seperti yang kauinginkan. Alasannya adalah karena aspek-aspek budaya tradisional ini telah mengakar sedemikian dalam di lubuk hatimu. Ada orang-orang yang mungkin berkata: "Itu tidak benar! Engkau berkata budaya tradisional telah mengakar sedemikian dalam di hati orang, tetapi menurutku itu tidak benar. Aku baru berusia dua puluhan, aku belum berusia tujuh puluhan atau delapan puluhan, jadi bagaimana mungkin hal-hal ini telah mengakar sedemikian dalam di hatiku?" Mengapa Kukatakan gagasan-gagasan ini telah mengakar sedemikian dalam di hatimu? Renungkanlah: bukankah dari sejak kecil engkau selalu bercita-cita untuk menjadi orang yang berbudi luhur, meskipun orang tuamu tidak menanamkan gagasan seperti itu di dalam dirimu? Sebagai contoh, kebanyakan orang suka menonton film dan membaca novel tentang pahlawan, dan mereka sangat bersimpati dengan para korban dalam kisah-kisah ini, sembari membenci para penjahat, dan tokoh-tokoh kejam yang menyakiti orang lain. Ketika engkau bertumbuh dewasa dengan latar belakang seperti ini, engkau secara tidak sadar menerima hal-hal yang telah disepakati bersama oleh masyarakat umum. Jadi, mengapa engkau menerima hal-hal itu? Karena orang tidak dilahirkan dengan memiliki kebenaran dan mereka tidak memiliki kemampuan bawaan untuk mengenali segala sesuatu. Engkau tidak memiliki naluri ini—naluri yang manusia miliki adalah kecenderungan bawaan untuk menyukai hal-hal yang baik, positif, dan aktif. Hal-hal aktif dan positif ini membuatmu ingin menjadi lebih baik, menjadi orang yang baik, heroik, dan hebat. Hal-hal ini secara berangsur mulai terbangun di dalam hatimu ketika engkau bersentuhan dengan pepatah-pepatah yang berasal dari opini publik dan moral sosial. Setelah pernyataan-pernyataan yang berasal dari moralitas budaya tradisional menyusup ke dalam dirimu, dan memasuki dunia batinmu, semua itu menjadi berakar di dalam hatimu, dan mulai menguasai hidupmu. Ketika ini terjadi, engkau tidak mengenali, menentang, atau menolak hal-hal ini, dan sebaliknya engkau merasa sangat membutuhkannya. Tindakan pertamamu adalah menuruti pepatah-pepatah ini. Mengapa demikian? Karena pepatah-pepatah sangat sesuai dengan selera dan gagasan orang, pepatah-pepatah ini sesuai dengan kebutuhan dunia rohani orang. Akibatnya, engkau menerima pernyataan-pernyataan ini sebagai hal yang biasa dan sama sekali tidak bersikap waspada terhadapnya. Secara berangsur, melalui didikan keluargamu, pendidikan sekolah, dan pengondisian dan indoktrinasi masyarakat, disertai dengan imajinasimu sendiri, engkau akhirnya menjadi sangat diyakinkan bahwa pepatah-pepatah ini adalah hal-hal yang positif. Dengan berjalannya waktu, dan seiring bertambahnya usiamu, engkau berusaha mengikuti pepatah-pepatah ini dalam segala macam konteks dan keadaan, dan mengikuti hal-hal yang secara alami disukai dan diyakini manusia sebagai kebaikan ini. Pepatah-pepatah ini semakin terbentuk di dalam dirimu, dan menjadi semakin mengakar di dalam dirimu. Pada saat yang sama, hal-hal ini menguasai pandanganmu tentang kehidupan dan tujuan yang kaukejar, dan pepatah-pepatah ini menjadi standar yang berdasarkannya engkau menilai orang dan hal-hal. Setelah pepatah-pepatah dari budaya tradisional ini terbentuk dalam diri orang, keadaan dasar yang membuat mereka menentang Tuhan dan kebenaran semuanya ada; seolah-olah orang menemukan alasan dan dasar mereka sendiri untuk melakukannya. Jadi, ketika Tuhan menyingkapkan esensi dan watak rusak manusia, serta menghajar dan menghakimi mereka, orang-orang pun menciptakan segala macam gagasan tentang Dia. Mereka berpikir: "Orang sering berkata, 'Jika engkau memukul orang lain, jangan pukul wajah mereka; jika engkau menyingkapkan orang lain, jangan singkapkan kekurangan mereka,' dan 'Tiada gunanya memenggal kepala orang yang sudah dieksekusi; bersikaplah toleran jika memungkinkan', jadi bagaimana mungkin tuhan berbicara seperti itu? Apakah itu benar-benar tuhan? Tuhan tidak akan berbicara dengan cara seperti itu—dia seharusnya berada di posisi tertinggi, dan berbicara kepada manusia dengan nada bicara yang lembut, nada bicara Buddha yang membebaskan semua manusia dari penderitaan, nada bicara seorang Bodhisatwa. Seperti itulah tuhan—sosok luar biasa yang lembut dan agung." Serangkaian gagasan, pandangan, dan gagasan ini terus menyembur dari hatimu dalam volume yang terus meningkat, dan, pada akhirnya, engkau tidak tahan lagi dan melakukan sesuatu untuk memberontak dan menentang Tuhan meskipun engkau tidak menginginkannya. Dengan cara seperti inilah, engkau dirusak oleh gagasan dan imajinasimu. Dari hal ini, kita dapat memahami bahwa berapa pun usiamu, asalkan engkau telah menerima didikan dari budaya tradisional, dan memiliki kemampuan mental orang dewasa, hatimu akan dipenuhi oleh aspek moralitas budaya tradisional ini, dan semua itu secara berangsur akan tertanam dalam dirimu. Hal-hal ini telah menguasaimu, dan engkau telah hidup berdasarkan hal-hal ini selama bertahun-tahun. Hidup dan naturmu telah lama dipenuhi oleh aspek-aspek moralitas budaya tradisional ini. Sebagai contoh, sejak usia lima atau enam tahun, engkau belajar mendapatkan kesenangan dari membantu orang lain, dan tidak mengantongi uang yang kautemukan. Hal-hal ini memengaruhimu dan sepenuhnya menentukan caramu berperilaku. Kini, setelah berusia paruh baya, engkau telah hidup berdasarkan hal-hal ini selama bertahun-tahun; ini berarti engkau masih jauh dari standar yang Tuhan tuntut terhadap manusia. Sejak engkau menerima pepatah-pepatah tentang perilaku moral yang dianjurkan budaya tradisional ini, engkau telah menyimpang makin jauh dari tuntutan Tuhan. Kesenjangan antara standar kemanusiaanmu sendiri dan standar kemanusiaan yang Tuhan tuntut makin lama makin besar. Akibatnya, engkau telah menyimpang makin jauh dari Tuhan. Bukankah demikian? Luangkan waktumu untuk merenungkan perkataan ini.
Sekarang, mari kita persekutukan pepatah tentang perilaku moral berikutnya—"Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain"—apa arti pepatah ini? Itu berarti engkau harus membuat tuntutan yang tegas terhadap dirimu sendiri dan bersikap lunak terhadap orang lain, sehingga mereka dapat melihat betapa dermawan dan murah hatinya dirimu. Lalu mengapa orang mau melakukan hal ini? Apa yang ingin dicapai? Dapatkah orang melakukannya? Apakah ini benar-benar ungkapan alami dari kemanusiaan orang-orang? Engkau harus sangat berkorban untuk dapat melakukan hal ini! Engkau harus membebaskan dirimu dari keinginan dan tuntutan, mengharuskan dirimu merasakan lebih sedikit kegembiraan, menderita lebih banyak, membayar harga lebih mahal, dan bekerja lebih banyak agar orang lain tidak perlu kelelahan. Dan jika orang lain menggerutu, mengeluh, atau berkinerja buruk, engkau tidak boleh menuntut terlalu banyak dari mereka—rata-rata saja sudah cukup. Orang-orang yakin bahwa ini menandakan moral yang luhur—tetapi mengapa menurut-Ku itu palsu? Bukankah itu memang palsu? (Ya.) Dalam keadaan normal, ungkapan alami dari kemanusiaan orang biasa adalah bersikap toleran terhadap dirinya sendiri dan tegas terhadap orang lain. Itulah yang sebenarnya. Orang dapat memahami masalah orang lain dan berkata—"Orang ini congkak! Orang itu jahat! Orang ini egois! Orang itu asal-asalan dalam melaksanakan tugasnya! Orang ini sangat malas!"—sedangkan mengenai dirinya sendiri, dia berpikir: "Jika aku sedikit malas, tidak apa-apa. Aku memiliki kualitas yang baik. Meskipun aku malas, aku melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada orang lain!" Mereka suka mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi terhadap dirinya sendiri, dia toleran dan menyesuaikan diri sebisa mungkin. Bukankah seperti inilah ungkapan alami dari kemanusiaan mereka? (Ya.) Jika orang diharapkan untuk hidup sesuai dengan gagasan "tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", penderitaan apa yang harus mereka alami? Mampukah mereka benar-benar menanggungnya? Berapa banyak orang yang akan berhasil menanggungnya? (Tidak ada.) Dan mengapa tidak ada? (Manusia pada dasarnya egois. Mereka bertindak berdasarkan prinsip bahwa "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri.") Benar, manusia terlahir egois, manusia adalah makhluk yang egois, dan sangat berkomitmen pada falsafah Iblis: "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri". Manusia beranggapan jika mereka tidak bersikap egois dan memikirkan diri mereka sendiri ketika sesuatu menimpa mereka, itu akan menjadi bencana bagi mereka, dan itu tidak wajar. Inilah yang orang yakini dan dengan cara seperti itulah mereka bertindak. Jika orang diharapkan untuk tidak bersikap egois, dan membuat tuntutan yang tegas terhadap diri mereka sendiri, dan rela mengalami kerugian daripada mengambil keuntungan dari orang lain, apakah itu harapan yang realistis? Jika orang diharapkan untuk dengan gembira berkata, ketika seseorang memanfaatkan mereka, "Kau mengambil keuntungan dariku, tetapi aku tidak marah. Aku adalah orang yang toleran, aku tidak akan menjelek-jelekkanmu atau berusaha membalasmu, dan jika kau belum cukup mengambil keuntungan dariku, jangan ragu untuk melanjutkannya"—apakah itu harapan yang realistis? Berapa banyak orang yang mampu melakukan hal ini? Inikah cara manusia yang rusak biasanya berperilaku? Jelas sekali, jika hal seperti ini yang terjadi, itu adalah ketidakwajaran. Mengapa demikian? Karena orang yang wataknya rusak, terutama orang yang egois dan jahat, selalu memperjuangkan kepentingannya sendiri, dan memikirkan orang lain sama sekali tidak akan membuat mereka merasa puas. Jadi, fenomena ini, jika itu memang terjadi, adalah sebuah ketidakwajaran. "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain"—pernyataan tentang perilaku moral ini jelas hanya merupakan tuntutan yang tidak sesuai dengan fakta ataupun kemanusiaan, yang dituntut oleh para moralis sosial yang tidak memahami kemanusiaan, terhadap manusia. Ini sama seperti menyuruh tikus untuk tidak membuat lubang atau menyuruh kucing untuk tidak menangkap tikus. Apakah benar mengajukan tuntutan seperti itu? (Tidak. Itu menentang hukum kemanusiaan.) Tuntutan ini jelas tidak sesuai dengan kenyataan, dan sangat kosong. Apakah mereka yang mengajukan tuntutan ini mampu mematuhinya? (Tidak.) Mereka mengharapkan orang lain mematuhi tuntutan yang mereka sendiri tak mampu mematuhinya—apa masalahnya di sini? Bukankah ini sedikit tidak bertanggung jawab? Setidaknya, dapat dikatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab dan berbicara omong kosong. Selain itu, apa natur dari masalah ini? (Kemunafikan.) Benar, ini adalah contoh kemunafikan. Mereka sendiri jelas tidak mampu mematuhi tuntutan ini, tetapi mereka tetap menyatakan bahwa mereka sangat sabar, sangat bermurah hati, dan sangat bermoral—bukankah ini hanya kemunafikan? Bagaimanapun engkau mengemasnya, ini adalah pepatah kosong yang mengandung kepalsuan tertentu di dalamnya, jadi kita akan menggolongkannya sebagai pepatah munafik. Ini sama seperti pepatah yang dianjurkan oleh orang Farisi; ada motif tersembunyi di baliknya, di mana jelas sekali motifnya adalah untuk pamer, menggolongkan dirinya sendiri sebagai orang yang berbudi luhur, dan dipuji oleh orang lain sebagai teladan dan model orang yang berbudi luhur. Jadi, orang seperti apa yang mampu tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain? Apakah para guru dan dokter mampu mematuhi pepatah ini? Apakah yang disebut orang terkenal, tokoh besar, dan orang bijak seperti Konfusius, Mencius, dan Laozi mampu memenuhi pepatah ini? (Tidak.) Singkatnya, betapa pun tidak masuk akalnya pepatah yang dikemukakan manusia ini, atau apakah tuntutan ini dapat dipertahankan atau tidak, pada akhirnya itu hanyalah tuntutan dalam hal karakter dan perilaku moral orang. Setidaknya, alasan orang tidak mau mematuhi tuntutan ini dan alasan mengapa tidak mudah bagi mereka untuk menerapkannya, karena semua itu bertentangan dengan standar yang mampu dicapai oleh kemanusiaan orang yang normal. Namun, bagaimanapun juga, itu tetap merupakan standar dan tuntutan dalam hal perilaku moral manusia yang dianjurkan oleh budaya tradisional. Meskipun pepatah "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" adalah ungkapan kosong yang hanya mampu dipenuhi oleh sedikit orang, itu sama seperti pepatah "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain"—apa pun motif atau niat yang dimiliki orang yang menerapkannya, atau apakah ada orang yang bahkan mampu menerapkannya—bagaimanapun juga, hanya dengan berdasarkan fakta bahwa orang yang menganjurkan tuntutan ini menempatkan diri mereka di puncak moralitas, bukankah ini membuat mereka congkak dan merasa dirinya benar, dan memiliki nalar yang agak abnormal? Jika engkau bertanya kepada mereka apakah mereka sendiri mampu mematuhi pepatah, "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", mereka akan menjawab, "Tentu saja!" Namun, jika mereka benar-benar dipaksa untuk mematuhinya, mereka tidak akan mampu. Mengapa mereka tidak akan mampu mematuhinya? Karena mereka memiliki watak congkak Iblis dalam diri mereka. Mintalah mereka untuk mematuhi moral ini ketika orang lain sedang bersaing dengan mereka untuk mendapatkan status, kekuasaan, gengsi, dan keuntungan, dan lihatlah apakah mereka mampu mematuhinya. Mereka sama sekali tidak akan mampu mematuhinya, dan mereka bahkan akan memusuhimu. Jika engkau bertanya kepada mereka, "Mengapa engkau masih menganjurkan pepatah ini padahal engkau sendiri bahkan tak mampu mematuhinya? Mengapa engkau masih menuntut agar orang lain mematuhinya? Bukankah kau sedang bersikap munafik?" akankah mereka menerima perkataanmu ini? Jika engkau menyingkapkan mereka, mereka tidak akan menerimanya—bagaimanapun caramu menyingkapkannya, mereka tidak akan menerimanya atau mengakui kesalahan—ini memperlihatkan bahwa mereka bukan orang yang baik. Fakta bahwa mereka mengajukan tuntutan moral yang tinggi meskipun mereka sendiri tidak mampu mematuhinya hanya memperlihatkan bahwa mereka sudah sepantasnya disebut penipu ulung dan orang munafik.
"Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", dan juga ungkapan tentang "Jangan mengantongi uang yang kautemukan" dan "Dapatkan kesenangan dari membantu orang lain", adalah salah satu tuntutan budaya tradisional mengenai perilaku moral manusia. Sebenarnya dalam hal ini, entah seseorang dapat mencapai atau melakukan perilaku moral seperti itu atau tidak, itu tetaplah bukan standar atau norma untuk mengukur kemanusiaan orang itu. Mungkin engkau benar-benar mampu bersikap tegas terhadap dirimu sendiri dan toleran terhadap orang lain, dan engkau menuntut dirimu sendiri dengan standar yang sangat tinggi. Engkau mungkin memiliki moral yang sangat baik dan engkau mungkin selalu memikirkan orang lain dan menunjukkan perhatian kepada mereka, tidak bersikap egois dan mengejar kepentinganmu sendiri. Engkau mungkin tampak sangat murah hati dan tidak mementingkan diri sendiri, serta memiliki rasa tanggung jawab sosial dan moral sosial. Kepribadian dan kualitasmu yang luhur mungkin terlihat oleh orang-orang yang dekat denganmu, dan orang-orang yang kautemui dan yang dengannya engkau berinteraksi. Perilakumu mungkin tidak pernah memberi orang lain alasan untuk menyalahkanmu atau mengkritikmu, malah menimbulkan pujian yang berlebihan dan bahkan kekaguman. Orang-orang mungkin menganggapmu sebagai orang yang benar-benar tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain. Namun, ini adalah perilaku yang hanya tampak di luarnya saja. Apakah pemikiran dan keinginan di lubuk hatimu sama dengan perilaku lahiriah ini, dengan tindakan yang kaulakukan secara lahiriah ini? Jawabannya adalah tidak, tidak sama. Alasan engkau mampu bertindak seperti ini adalah karena ada motif di baliknya. Apa sebenarnya motif itu? Dapatkah engkau berkata bahwa motif itu akan terlihat jelas? Tentu saja tidak. Ini membuktikan bahwa motif ini adalah sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang gelap dan jahat. Jadi, mengapa motif ini tersembunyi dan jahat? Ini karena kemanusiaan orang dikuasai dan didorong oleh watak rusak mereka. Semua pemikiran manusia, entah orang mengungkapkannya dan memperlihatkannya atau tidak, tak dapat disangkali bahwa pemikiran mereka dikuasai, dikendalikan, dan dimanipulasi oleh watak rusak mereka. Akibatnya, motif dan niat orang semuanya licik dan jahat. Entah orang mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain atau tidak, atau entah mereka secara lahiriah mengekspresikan moral ini dengan sempurna atau tidak, tidak dapat dipungkiri bahwa moral ini tidak akan memiliki kendali atau pengaruh atas kemanusiaan mereka. Jadi, apa yang mengendalikan kemanusiaan orang? Yang mengendalikan adalah watak rusak mereka, esensi kemanusiaan mereka yang tersembunyi di balik moral "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain"—itulah natur mereka yang sebenarnya. Natur orang yang sebenarnya adalah esensi kemanusiaannya. Lalu terdiri dari apakah esensi kemanusiaan mereka? Ini terutama terdiri dari kesukaan mereka, apa yang mereka kejar, pandangan mereka tentang kehidupan dan sistem nilai mereka, serta sikap mereka terhadap kebenaran dan Tuhan, dan sebagainya. Hanya hal-hal inilah yang benar-benar merepresentasikan esensi kemanusiaan orang. Dapat dikatakan dengan pasti bahwa sebagian besar orang yang menuntut diri mereka sendiri untuk mematuhi moral "tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", terobsesi dengan status. Didorong oleh watak rusak mereka, mereka tak mampu menahan diri untuk mengejar gengsi di antara manusia, keunggulan sosial, dan status di mata orang lain. Semua hal ini berkaitan dengan keinginan mereka akan status, dan semua ini dikejar dengan memakai kedok perilaku moral baik mereka. Dan berasal dari manakah pengejaran mereka ini? Semua itu sepenuhnya berasal dari dan didorong oleh watak rusak mereka. Jadi, apa pun yang terjadi, entah seseorang mematuhi moral untuk "tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" atau tidak, dan entah dia mematuhinya dengan sempurna atau tidak, ini sama sekali tak dapat mengubah esensi kemanusiaan mereka. Dan ini berarti melakukan hal itu sama sekali tidak dapat mengubah pandangan hidup ataupun sistem nilai dirinya, ataupun menuntun sikap dan sudut pandangnya terhadap segala macam orang, peristiwa, dan berbagai hal. Bukankah itu yang terjadi? (Ya.) Makin seseorang mampu bersikap tegas terhadap dirinya sendiri dan toleran terhadap orang lain, makin baik dia dalam berpura-pura, dalam menyamarkan dirinya, dan dalam menyesatkan orang lain dengan menggunakan perilaku yang baik dan perkataan yang sedap didengar, dan pada dasarnya dia telah menjadi makin licik dan jahat. Semakin dia menjadi jenis orang seperti ini, kecintaan dan pengejarannya akan status dan kekuasaan menjadi makin mendalam. Sekalipun di luarnya, perilaku moralnya terlihat sangat hebat, mulia, dan benar, dan sekalipun orang menganggapnya menyenangkan untuk dilihat, pengejaran yang tersembunyi di lubuk hatinya, serta esensi natur dirinya, dan bahkan ambisinya dapat muncul dari dirinya setiap saat. Oleh karena itu, sebaik apa pun perilaku orang itu, itu tak bisa menyembunyikan esensi hakiki kemanusiaannya, atau ambisi dan keinginannya. Itu tidak bisa menyembunyikan esensi natur dirinya yang mengerikan yang tidak mencintai hal-hal positif dan yang muak serta membenci kebenaran. Sebagaimana diperlihatkan oleh fakta-fakta ini, pepatah "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain" bukan saja tidak masuk akal—pepatah ini juga menyingkapkan tipe orang ambisius yang berusaha menggunakan pepatah dan perilaku seperti itu untuk menutupi ambisi dan keinginan mereka yang tersembunyi. Engkau semua dapat membandingkan ini dengan beberapa antikristus dan orang jahat di gereja. Agar dapat memperkuat status dan kekuasaan mereka di dalam gereja, dan untuk mendapatkan reputasi yang lebih baik di antara anggota lainnya, mereka mampu menjalani penderitaan dan membayar harga saat melaksanakan tugas mereka, dan mereka bahkan mungkin meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka dan menjual semua yang mereka miliki untuk mengorbankan diri mereka bagi Tuhan. Dalam beberapa kasus, harga yang mereka bayar dan penderitaan yang mereka jalani ketika mengorbankan diri mereka untuk Tuhan melampaui apa yang mampu ditanggung oleh orang kebanyakan; mereka mampu mewujudkan semangat penyangkalan diri yang ekstrem agar dapat mempertahankan status mereka. Namun, sebanyak apa pun mereka menderita atau berapa pun harga yang mereka bayar, tak satu pun darinya yang menjaga kesaksian Tuhan atau melindungi kepentingan rumah Tuhan, dan mereka juga tidak melakukan penerapan berdasarkan firman Tuhan. Tujuan yang mereka kejar hanyalah untuk mendapatkan status, kekuasaan, dan upah dari Tuhan. Semua yang mereka lakukan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Seketat apa pun mereka terhadap diri mereka sendiri dan setoleran apa pun mereka terhadap orang lain, kesudahan akhir seperti apa yang akan mereka peroleh? Apa pendapat Tuhan mengenai diri mereka? Akankah Dia menentukan kesudahan mereka berdasarkan perilaku baik lahiriah yang mereka jalani? Tentu saja tidak. Orang memandang dan menilai orang lain berdasarkan perilaku dan perwujudan ini, dan karena mereka tak dapat mengenali esensi orang lain yang sebenarnya, mereka akhirnya tertipu oleh orang-orang itu. Sedangkan Tuhan, Dia tidak pernah tertipu oleh manusia. Dia sama sekali tidak akan memuji dan mengingat perilaku moral orang karena mereka mampu bersikap tegas terhadap diri mereka sendiri dan toleran terhadap orang lain. Sebaliknya, Dia akan menghukum mereka karena ambisi mereka dan karena jalan yang telah mereka tempuh dalam mengejar status. Oleh karena itu, mereka yang mengejar kebenaran harus memahami yang sebenarnya tentang standar untuk menilai orang ini. Mereka harus sepenuhnya menolak dan meninggalkan standar yang tidak masuk akal ini, dan memiliki kemampuan mengenali orang berdasarkan firman Tuhan dan prinsip-prinsip kebenaran. Mereka terutama harus melihat apakah seseorang itu mencintai hal-hal positif atau tidak, apakah dia mampu menerima kebenaran atau tidak, apakah dia mampu tunduk pada kedaulatan dan pengaturan Tuhan atau tidak, dan melihat jalan yang dia pilih dan tempuh, serta menggolongkan orang seperti apa dirinya, dan kemanusiaan seperti apa yang dia miliki berdasarkan firman Tuhan dan prinsip kebenaran. Penyimpangan dan kekeliruan sangat mudah muncul ketika orang menilai orang lain berdasarkan standar "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain". Jika engkau secara keliru mengenali dan memandang seseorang berdasarkan prinsip dan pepatah yang berasal dari manusia, engkau akan melanggar kebenaran dan menentang Tuhan dalam hal itu. Mengapa demikian? Alasannya adalah karena dasar pandanganmu tentang orang akan menjadi salah, dan tidak sesuai dengan firman Tuhan dan kebenaran—bahkan mungkin bertentangan dan berlawanan dengan firman Tuhan dan kebenaran. Tuhan tidak menilai kemanusiaan orang berdasarkan pernyataan tentang perilaku moral, "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain", jadi jika engkau tetap bersikeras menilai moralitas orang dan menentukan orang seperti apa diri mereka berdasarkan standar ini, maka engkau telah sepenuhnya melanggar prinsip kebenaran, dan engkau pasti akan melakukan kesalahan, dan menyebabkan beberapa kekeliruan dan penyimpangan. Bukankah demikian? (Ya.) Setelah orang memahami hal-hal ini, mereka setidaknya akan memiliki tingkat pemahaman tertentu tentang dasar, prinsip, dan standar yang Tuhan gunakan untuk memandang orang dan hal-hal—engkau setidaknya akan memiliki pemahaman dan penghargaan tentang bagaimana Tuhan memandang hal-hal ini. Jadi, bagaimana dengan sudut pandangmu? Engkau setidaknya harus tahu apa dasar yang benar untuk memandang seseorang, dan standar apa yang dapat kaugunakan untuk memandang orang yang sesuai dengan kebenaran dan fakta yang sebenarnya, dan yang sama sekali tidak akan mengarah pada kekeliruan atau penyimpangan. Jika engkau benar-benar memahami hal-hal ini dengan jelas, engkau akan mampu memahami yang sebenarnya mengenai aspek-aspek budaya tradisional ini, serta berbagai pernyataan, teori, dan cara pandang manusia terhadap orang, dan engkau akan mampu untuk sepenuhnya melepaskan aspek-aspek budaya tradisional ini, dan berbagai pepatah dan pandangan yang berasal dari manusia. Dengan demikian, engkau akan memandang dan mengenali orang berdasarkan prinsip kebenaran, dan, sampai taraf tertentu, engkau akan sesuai dengan Tuhan, dan engkau tidak akan memberontak, menentang, atau berlawanan dengan Dia. Saat engkau secara berangsur mencapai kesesuaian dengan Tuhan, engkau akan memiliki wawasan yang semakin jelas tentang esensi orang dan hal-hal, dan engkau akan menemukan konfirmasi tentang hal ini di dalam firman Tuhan. Engkau akan memahami bahwa berbagai pernyataan Tuhan yang menyingkapkan manusia, dan karakterisasi serta definisi-Nya tentang manusia semuanya benar, dan semuanya adalah kebenaran. Tentu saja, setelah engkau mendapatkan konfirmasi tentang hal ini, engkau akan semakin bertumbuh dalam imanmu dan pengenalanmu akan Tuhan dan firman-Nya, dan engkau akan semakin yakin bahwa firman Tuhan adalah kebenaran dan kenyataan yang seharusnya manusia jalani. Bukankah seperti inilah proses menerima dan memperoleh kebenaran itu? (Ya.) Ini adalah proses menerima dan memperoleh kebenaran.
Tujuan mengejar kebenaran adalah agar orang menerima kebenaran sebagai hidupnya. Ketika orang mampu menerima kebenaran, kemanusiaan dan kehidupan batin mereka secara perlahan mulai berubah, dan pada akhirnya, perubahan ini adalah upah mereka. Dahulu, engkau memandang orang dan hal-hal berdasarkan budaya tradisional, tetapi kini engkau telah menyadari bahwa ini salah, dan engkau tidak akan lagi memandang segala sesuatu dari sudut pandang itu, atau memandang siapa pun berdasarkan apa yang ditentukan oleh budaya tradisional. Jadi, atas dasar apa engkau sekarang memandang orang dan hal-hal? Jika engkau tidak tahu, itu membuktikan bahwa engkau masih belum menerima kebenaran. Jika engkau telah mengetahui prinsip-prinsip kebenaran mana yang seharusnya kaugunakan untuk memandang orang dan hal-hal, jika engkau mampu secara akurat dan jelas menyatakan dasar, jalan, standar, dan prinsipmu, dan jika engkau juga mampu mengenali dan memperlakukan orang berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran ini, itu berarti kebenaran telah mulai bekerja di dalam dirimu, itu membimbing pemikiranmu dan menguasai sudut pandang yang kaugunakan untuk memandang orang dan hal-hal. Ini membuktikan bahwa kebenaran telah mengakar di dalam dirimu dan menjadi hidupmu. Jadi, bagaimana pengaruh kebenaran terhadap dirimu pada akhirnya akan membantumu? Bukankah kebenaran akan memengaruhi caramu berperilaku, jalan yang kaupilih, dan arah dalam hidupmu? (Ya.) Jika kebenaran mampu memengaruhi caramu berperilaku dan jalan yang kautempuh, bukankah itu akan memengaruhi hubunganmu dengan Tuhan? (Ya.) Apa hasil yang akan kauperoleh jika kebenaranlah yang memengaruhi hubunganmu dengan Tuhan? Apakah engkau akan menjadi makin dekat ataukah makin jauh dari Tuhan? (Aku akan menjadi makin dekat dengan Tuhan.) Engkau pasti akan menjadi makin dekat dengan Dia. Jika engkau makin dekat dengan Tuhan, akankah engkau makin rela mengikuti Dia dan bersujud di hadapan-Nya, atau akankah engkau dengan enggan percaya akan keberadaan-Nya sembari dihambat oleh keraguan dan kesalahpahaman? (Aku akan rela mengikuti Tuhan dan bersujud di hadapan-Nya.) Itu pasti. Jadi, bagaimana engkau akan mencapai kerelaan ini? Engkau akan menemukan konfirmasi dari firman Tuhan dalam kehidupan nyatamu; kebenaran akan mulai bekerja di dalam dirimu, dan engkau akan menemukan konfirmasinya. Dalam proses menyingkapkan segala sesuatu, sumber tersembunyi dari semua hal ini akan dikonfirmasi di dalam dirimu dan engkau akan mendapati bahwa itu sepenuhnya sesuai dengan firman Tuhan. Engkau akan membuktikan bahwa semua firman Tuhan adalah kebenaran, dan ini akan meningkatkan imanmu kepada Tuhan. Semakin engkau beriman kepada Tuhan, semakin normal hubunganmu dengan-Nya, engkau akan makin bersedia untuk bertindak sebagai makhluk ciptaan, dan rela menjadikan Tuhan sebagai Yang Berdaulat atasmu, dan bagian dari dirimu yang tunduk kepada Tuhan akan bertambah. Apa pendapatmu tentang peningkatan dalam hubunganmu ini? Bagus, bukan? Ini adalah hasil dari perkembangan yang baik dan positif. Lalu, seperti apa akibatnya jika arah perkembanganmu buruk dan negatif? (Imanku akan keberadaan Tuhan akan menjadi makin lemah, dan aku akan memiliki kesalahpahaman dan keraguan tentang Tuhan.) Setidaknya, inilah yang akan menjadi konsekuensinya. Engkau tidak akan menerima konfirmasi dalam hal apa pun, dan engkau bukan saja akan gagal memperoleh kebenaran dalam imanmu, engkau juga akan membentuk segala macam gagasan—engkau akan salah paham, penuh keluhan terhadap Tuhan, dan bersikap waspada terhadap-Nya, dan pada akhirnya engkau akan menolak Dia. Jika engkau menolak Tuhan di dalam hatimu, akankah engkau masih mampu mengikuti-Nya? (Tidak.) Engkau tidak akan mau lagi mengikuti Dia. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Engkau akan kehilangan minat pada apa yang Tuhan lakukan dan firmankan. Ketika Tuhan berfirman, "Kesudahan manusia sudah dekat," engkau akan menjawab, "Aku tidak melihat apa pun!" Engkau tidak akan percaya kepada-Nya. Ketika Tuhan berfirman, "Engkau akan memperoleh tempat tujuan yang baik setelah mengejar kebenaran," engkau akan menjawab, "Di manakah tempat tujuan baik yang Engkau bicarakan ini? Aku tidak melihatnya!" Engkau tidak akan tertarik. Ketika Tuhan berfirman, "Engkau harus bertindak seperti makhluk ciptaan sejati," engkau akan menjawab, "Apakah ada manfaatnya bertindak seperti makhluk ciptaan sejati? Berapa banyak berkat yang dapat kuperoleh darinya? Dapatkah aku benar-benar memperoleh berkat jika kulakukan hal itu? Apakah ini ada kaitannya dengan mendapatkan berkat?" Ketika Tuhan berfirman, "Engkau harus menerima dan tunduk pada kedaulatan Tuhan!" engkau akan menjawab, "Kedaulatan apa? Mengapa aku tidak dapat merasakan kedaulatan Tuhan? Jika Tuhan benar-benar berdaulat, mengapa Dia membiarkanku hidup dalam kemiskinan? Mengapa Dia membiarkanku jatuh sakit? Jika Tuhan berdaulat, mengapa segala sesuatu selalu begitu sulit bagiku?" Hatimu akan penuh dengan keluhan, dan engkau tidak akan memercayai apa pun yang Tuhan firmankan. Ini akan menunjukkan bahwa engkau tidak memiliki iman yang sejati kepada Tuhan. Dan itulah sebabnya, saat menghadapi berbagai masalah, yang akan engkau semua lakukan hanyalah mengeluh, tanpa ketundukan sedikit pun. Dengan cara seperti itulah engkau akan sampai pada hasil yang negatif ini. Ada orang-orang yang berkata, "Karena Tuhan berdaulat, Dia seharusnya membantuku untuk segera sembuh dari penyakitku. Dia seharusnya membantuku untuk memperoleh semua yang kuinginkan. Mengapa hidupku sekarang dipenuhi dengan ketidaknyamanan dan penderitaan?" Mereka telah kehilangan iman mereka kepada Tuhan, bahkan iman samar yang sebelumnya mereka miliki pun sudah tak tersisa sedikit pun—itu sudah sepenuhnya lenyap. Inilah akibat negatif dan buruk dari semua ini. Apakah engkau semua ingin sampai ke titik ini? (Tidak.) Bagaimana engkau dapat menghindarkan dirimu agar tidak sampai ke titik ini? Engkau harus berusaha keras untuk mengejar kebenaran—kunci dan jalan untuk semua ini terletak dalam kebenaran dan firman Tuhan. Jika engkau berusaha keras mengejar firman Tuhan dan kebenaran, tanpa kausadari, engkau akan mulai melihat jalan yang telah Tuhan ajarkan kepadamu dan melihat bimbingan-Nya dengan lebih jelas, dan engkau akan melihat esensi dari orang, peristiwa, dan hal-hal yang Tuhan atur. Melalui setiap langkah dari pengalaman ini, engkau akan secara berangsur menemukan prinsip dan dasar untuk memandang orang dan hal-hal, dan untuk berperilaku dan bertindak sesuai dengan firman Tuhan. Dengan menerima dan memahami kebenaran, engkau akan menemukan prinsip dan jalan penerapan untuk kaugunakan ketika menghadapi orang, peristiwa, dan berbagai hal. Jika engkau menerapkan berdasarkan jalan-jalan ini, firman Tuhan akan masuk ke dalam dirimu dan menjadi hidupmu, dan tanpa kausadari, engkau akan mulai hidup di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan. Ketika engkau hidup di bawah kedaulatan dan pengaturan Tuhan, tanpa kausadari, engkau akan memahami bagaimana cara memandang orang dan hal-hal berdasarkan firman Tuhan, dan engkau akan memandang segala sesuatu dari sikap, perspektif, dan sudut pandang yang benar; hasil dari pandanganmu tentang segala sesuatu akan sesuai dengan firman Tuhan dan kebenaran, dan itu akan membuatmu semakin dekat dengan Tuhan dan semakin haus akan kebenaran. Namun, jika engkau tidak mengejar kebenaran, ataupun berusaha keras untuk memahami kebenaran, dan jika engkau tidak tertarik akan kebenaran, maka akan sulit mengatakan apa akibat yang pada akhirnya akan kautanggung. Pada akhirnya, hasil terburuk yang mungkin terjadi adalah, orang tak mampu melihat perbuatan Tuhan ataupun merasakan kedaulatan-Nya bagaimanapun mereka berusaha untuk percaya kepada-Nya, mereka tak mampu memahami kemahakuasaan dan hikmat Tuhan sebanyak apa pun hal-hal yang mereka alami. Dalam kasus seperti itu, orang hanya akan mengakui bahwa firman yang Tuhan ungkapkan adalah kebenaran, tetapi mereka tidak akan melihat adanya harapan untuk diri mereka diselamatkan, dan terlebih lagi, mereka tidak akan memahami bahwa watak Tuhan itu benar dan kudus, dan mereka akan selalu merasa bahwa iman mereka kepada Tuhan masih samar. Ini membuktikan bahwa mereka tidak memperoleh kebenaran ataupun keselamatan Tuhan, dan bahwa mereka tidak memperoleh apa pun setelah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun. Ini mengakhiri persekutuan-Ku tentang pepatah ketiga: "Bersikaplah tegas terhadap diri sendiri dan toleran terhadap orang lain".
Apa pernyataan keempat tentang perilaku moral? (Balaslah kejahatan dengan kebaikan.) Apakah orang memiliki niat tertentu ketika mereka membalas kejahatan dengan kebaikan? Bukankah mereka sedang mengambil langkah mundur agar segala sesuatunya menjadi lebih mudah bagi mereka sendiri? Bukankah ini cara yang damai untuk menangani segala sesuatu? Orang tidak ingin terjebak dalam siklus balas dendam yang tidak pernah berakhir, mereka ingin memuluskan segala sesuatunya agar dapat hidup dengan lebih damai. Masa hidup manusia tidak terlalu lama, dan entah mereka hidup sampai seratus tahun atau beberapa ratus tahun, mereka merasa bahwa hidup itu singkat. Jika sepanjang hari mereka sibuk dengan pemikiran ingin membalas dendam dan membunuh, batin mereka akan dipenuhi kekacauan, dan mereka akan menjalani kehidupan yang tidak bahagia. Jadi, mereka berusaha mencari cara untuk menjalani kehidupan yang lebih gembira dan bahagia, dan memperlakukan diri mereka sendiri dengan baik—yaitu dengan membalas kejahatan dengan kebaikan. Manusia pasti akan saling menyinggung dan menjadi korban dari rencana jahat satu sama lain selama hidup mereka, mereka selalu diganggu oleh emosi yang penuh dendam dan kepahitan, dan mereka menjalani kehidupan yang sangat buruk, jadi, demi iklim sosial dan stabilitas sosial dan kesatuan, dengan menjadikan hal tersebut sebagai motivasi mereka, kaum moralis menganjurkan standar moral ini kepada dunia. Mereka memperingatkan orang-orang agar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, dan menjauhkan diri dari kebencian dan pembunuhan, sebaliknya menganjurkan orang untuk belajar membalas kejahatan dengan kebaikan. Menurut mereka meskipun seseorang menyakitimu di masa lalu, engkau tidak boleh membalas dendam kepadanya, sebaliknya engkau harus membantunya, melupakan kesalahan masa lalunya, berinteraksi dengannya secara normal, dan secara perlahan mengubah dirinya, meredakan permusuhan di antara engkau dan dirinya, serta mencapai hubungan yang harmonis. Bukankah ini akan menciptakan keharmonisan di tengah masyarakat secara keseluruhan? Menurut mereka siapa pun yang telah menyinggungmu, entah itu anggota keluarga, teman, tetangga, atau rekan sekerja, engkau harus membalas kejahatannya dengan kebaikan, dan engkau tidak boleh dendam terhadapnya. Mereka menyatakan jika semua orang mampu melakukan hal ini, itu akan sama seperti yang orang katakan: "Jika semua orang memberikan sedikit kasih, dunia akan menjadi tempat yang indah." Bukankah pernyataan ini didasarkan pada imajinasi? Tempat yang indah? Itu tidak mungkin! Lihatlah siapa yang mengendalikan dunia ini dan siapa yang merusak manusia. Perubahan apa yang benar-benar dapat dicapai oleh pernyataan tentang perilaku moral, "Balaslah kejahatan dengan kebaikan"? Pernyataan itu tidak dapat mengubah apa pun. Sebagaimana pernyataan lainnya, pernyataan ini pun mengajukan tuntutan tertentu dalam hal kualitas moral orang, atau memberlakukan peraturan tertentu terhadap mereka. Pernyataan ini menuntut mereka untuk tidak menggunakan kebencian dan pembunuhan ketika menghadapi kebencian dan pembunuhan yang orang lain lakukan, dan mereka harus memperlakukan orang yang menyakiti mereka dengan tenang, dengan sikap yang sabar, dan menggunakan perilaku moral mereka untuk meredakan permusuhan dan pembunuhan itu, dan untuk mengurangi pertumpahan darah. Tentu saja, pepatah tentang perilaku moral ini efektif terhadap orang sampai taraf tertentu; pepatah ini mampu memadamkan permusuhan dan dendam, dan mengurangi pembunuhan karena balas dendam, sampai taraf tertentu; dan pepatah ini dapat mencapai tingkat pengaruh positif tertentu pada iklim sosial, ketertiban umum, dan keharmonisan sosial, tetapi prasyarat apa yang harus dipenuhi agar pepatah ini mencapai hasil tersebut? Ada prasyarat signifikan dalam hal lingkungan sosial. Prasyarat pertama, orang harus memiliki penilaian dan nalar yang normal. Orang-orang berpikir: "Apakah orang yang kepadanya aku ingin membalas dendam lebih kuat ataukah lebih lemah daripadaku? Jika aku membalas dendam kepadanya, akankah aku mampu mencapai tujuanku? Jika aku membalas dendam dan membunuhnya, apakah aku sendiri yang akan terbunuh?" Mereka pertama-tama mempertimbangkan konsekuensinya. Setelah memikirkan semuanya, kebanyakan orang menyadari: "Dia punya banyak koneksi, dia punya banyak pengaruh sosial, dan dia jahat dan kejam, jadi meskipun dia telah menyakitiku, aku tidak boleh membalas dendam kepadanya. Aku harus secara diam-diam menelan penghinaan itu. Namun, jika suatu hari aku mendapat kesempatan untuk membalas dendam kepadanya dalam hidup ini, aku akan mengambil kesempatan itu." Sebagaimana pepatah populer berbunyi, "Orang yang tidak membalas dendam bukanlah laki-laki" dan "Tidak pernah terlambat bagi pria bermartabat untuk membalas dendam". Orang masih memiliki falsafah hidup semacam ini dalam cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Falsafah tentang cara berinteraksi membalas kejahatan dengan kebaikan ini dipatuhi oleh orang, di satu sisi, karena itu berkaitan langsung dengan lingkungan sosial dan dengan dalamnya kerusakan manusia—itu muncul karena gagasan manusia dan penilaian dari nalar mereka. Ketika kebanyakan orang menghadapi situasi semacam ini, mereka hanya bisa menelan penghinaan itu dalam hati, dan di luarnya memperlihatkan sikap membalas kejahatan dengan kebaikan, mengesampingkan kebencian dan dendam mereka. Alasan lain mengapa orang mematuhi falsafah tentang cara berinteraksi dengan orang lain ini adalah, dalam beberapa kasus, karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan yang besar di antara kedua pihak yang terlibat, sehingga pihak yang diperlakukan tidak adil tidak berani membalas dendam, dan mereka terpaksa membalas kejahatan dengan kebaikan karena tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Jika mereka membalas dendam, mereka mungkin akan membahayakan nyawa seluruh keluarga mereka, dan akibat dari hal itu tidak terbayangkan. Dalam kasus seperti itu, orang merasa lebih baik hanya melanjutkan hidup dengan menelan penghinaan itu. Namun, dengan melakukannya, apakah mereka sudah mengatasi kebencian mereka? Adakah orang yang mampu melupakan dendam? (Tidak.) Khususnya dalam kasus dendam yang sangat serius, misalnya ketika seseorang telah membunuh kerabat dekatmu dan menghancurkan keluargamu, serta mempermalukan dirimu, membuatmu menyimpan kebencian yang mendalam terhadapnya—tak seorang pun mampu melepaskan dendam seperti itu. Ini adalah bagian dari kemanusiaan dan sesuatu yang tidak mampu diatasi oleh kemanusiaan. Orang secara naluriah menyimpan perasaan benci dalam keadaan semacam itu—ini sangatlah normal. Entah perasaan benci itu muncul karena kemarahan, naluri, atau hati nurani, bagaimanapun juga, itu adalah respons yang normal. Bahkan anjing pun makin akrab dengan orang yang memperlakukan mereka dengan baik dan yang secara teratur memberi mereka makan atau menolong mereka, dan mereka mulai memercayai orang tersebut, sementara membenci orang yang menyiksa dan menganiaya mereka—dan bukan itu saja, mereka bahkan akan membenci orang yang memiliki aroma tubuh atau yang suaranya terdengar seperti penyiksa mereka. Jadi, bahkan anjing pun memiliki naluri ini, apalagi manusia! Mengingat bahwa manusia memiliki pikiran yang jauh lebih kompleks daripada binatang, adalah sangat normal bagi mereka untuk merasakan kebencian ketika dihadapkan dengan pembunuhan atas dasar balas dendam atau perlakuan tidak adil. Namun, karena beberapa alasan dan karena keadaan tertentu, orang sering kali terpaksa berkompromi dan menelan penghinaan, serta menoleransi segala sesuatu untuk sementara—tetapi ini bukan berarti mereka ingin atau mampu membalas kejahatan dengan kebaikan. Yang baru saja Kukatakan didasarkan pada sudut pandang kemanusiaan dan reaksi naluriah manusia. Jika kita memandang hal ini sekarang dari sudut pandang fakta objektif tentang masyarakat—jika seseorang tidak membalas kejahatan dengan kebaikan, dan malah membalas dendam dan melakukan pembunuhan, apa akibatnya? Orang itu akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum, dia mungkin akan ditahan, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan mungkin dijatuhi hukuman mati. Berdasarkan hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa, entah itu dari sudut pandang kemanusiaan atau kekuasaan masyarakat dan hukum yang membatasi, ketika orang dihadapkan dengan perlakuan tidak adil dan pembunuhan atas dasar balas dendam, tak seorang pun mampu menyingkirkan kebencian dari pikiran atau dari lubuk hati mereka. Bahkan ketika mengalami pelecehan ringan seperti dimaki, diejek, atau diolok-olok, orang tetap tidak mampu membalas kejahatan dengan kebaikan. Apakah kemampuan untuk membalas kejahatan dengan kebaikan merupakan perwujudan kemanusiaan yang normal? (Tidak.) Jadi, ketika seseorang ditindas atau disakiti, apa yang setidaknya dibutuhkan dan dituntut oleh kemanusiaan mereka? Adakah orang yang akan dengan senang dan gembira berkata: "Silakan tindas aku! Kau berkuasa dan jahat, kau bisa menindasku sesukamu, dan aku akan membalas kejahatanmu dengan kebaikan. Kau akan benar-benar merasakan karakter dan moralitasku yang luhur, dan aku pasti tidak akan membalas dendam kepadamu atau memiliki pendapat apa pun tentang dirimu. Aku tidak akan marah kepadamu—aku hanya akan menganggap semua ini lelucon. Sekalipun hal-hal yang kaukatakan sangat menghina karakterku, sangat melukai harga diriku, atau merugikan kepentinganku, itu tidak masalah dan kau bebas untuk mengatakan apa pun yang kausuka." Adakah orang-orang semacam itu? (Tidak ada.) Sama sekali tidak ada orang yang benar-benar mampu melepaskan dendam mereka—sudah cukup baik jika mereka mampu bersikap sabar untuk sementara waktu tanpa membunuh musuh mereka sebagai balas dendam. Jadi, tak seorang pun benar-benar mampu membalas kejahatan dengan kebaikan, dan meskipun orang menerapkan perilaku moral ini, itu karena mereka terpaksa bertindak dengan cara seperti itu karena batasan keadaan tertentu pada waktu itu, atau karena semua tindakan itu sebenarnya hanya karangan dan khayalan. Dalam keadaan normal, ketika orang menjadi korban penganiayaan atau pelecehan yang serius, mereka akan menyimpan dendam dan menjadi dendam. Satu-satunya keadaan di mana seseorang mungkin tidak menyadari atau menanggapi kebenciannya sendiri adalah jika kebencian itu terlalu besar, dan dia mengalami guncangan yang sangat besar, sehingga akhirnya dia kehilangan ingatan atau akal sehatnya. Namun, siapa pun yang memiliki kemanusiaan yang normal dan yang bernalar tidak mau orang lain memperlakukan mereka dengan cara yang menghina, mendiskriminasi, meremehkan, mencemooh, mengejek, mengolok, menyakiti, dan sebagainya, atau bahkan sampai menginjak-injak dan menghina karakter dan martabat mereka; tak seorang pun akan dengan senang hati menggunakan perilaku moral untuk secara munafik membalas orang-orang yang pernah menyinggung atau menyakiti mereka—tak seorang pun mampu melakukan hal itu. Jadi, pernyataan tentang perilaku moral membalas kejahatan dengan kebaikan ini tampaknya sangat lemah, tak berdaya, kosong dan tidak bermakna bagi manusia yang rusak.
Jika kita menelaah hal ini dari sudut pandang hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal, betapa pun rusaknya seseorang, dan entah mereka adalah orang yang jahat atau orang yang memiliki kemanusiaan yang relatif baik, semua orang berharap orang lain akan memperlakukan mereka dengan baik dan dengan sikap hormat yang sekalipun hanya dasar. Jika seseorang mulai menyanjung dan menjilatmu tanpa alasan, apakah itu akan membuatmu senang? Apakah engkau suka diperlakukan seperti itu? (Tidak.) Mengapa engkau tidak menyukainya? Akankah engkau merasa seolah-olah engkau sedang dikelabui? Engkau pasti berpikir: "Apakah aku terlihat seperti anak berusia tiga tahun bagimu? Aku tidak mengerti mengapa kau merasa perlu untuk mengatakan hal-hal ini kepadaku? Apakah aku sebaik seperti yang kaukatakan? Apakah aku telah melakukan salah satu dari hal-hal yang kaukatakan? Untuk apa semua sanjungan bodoh ini? Mengapa kau tidak muak akan dirimu sendiri?" Orang tidak suka mendengar kata-kata sanjungan, dan mereka menganggapnya semacam penghinaan. Selain dengan rasa hormat yang sekalipun hanya minimal, dengan cara bagaimana orang berharap orang lain akan memperlakukan mereka? (Dengan tulus.) Meminta orang untuk memperlakukan sesamanya dengan tulus adalah tidak mungkin—jika mereka mampu untuk tidak menindas orang lain, itu sudah cukup baik. Meminta orang untuk tidak saling menindas adalah tuntutan yang agak objektif. Orang mengharapkan orang lain untuk menghormati mereka, bukan menindas mereka dan, yang terpenting, untuk memperlakukan mereka dengan adil. Mereka berharap orang lain tidak akan melecehkan mereka ketika mereka sedang lemah, atau mengucilkan mereka ketika kesalahan mereka tersingkap, ataupun selalu menyanjung dan menjilat mereka. Orang menganggap perilaku semacam ini menjijikkan dan mereka hanya ingin diperlakukan dengan adil—bukankah demikian? Memperlakukan orang lain dengan adil adalah cita-cita yang relatif positif di dunia manusia dan di alam pemikiran manusia. Mengapa Kukatakan demikian? Renungkanlah: mengapa semua orang menyukai Hakim Bao Zheng? Orang-orang suka menonton film Hakim Bao Zheng ketika dia menangani berbagai kasus meskipun kasus-kasus ini hanya fiksi dan sepenuhnya direkayasa. Mengapa orang tetap menikmati film-filmnya? Mengapa mereka tetap mau menontonnya? Karena, di dunia yang mereka cita-citakan, di alam pemikiran mereka, dan di lubuk hati mereka, mereka semua menginginkan dunia yang positif dan sedikit lebih baik. Mereka berharap manusia dapat hidup di tengah lingkungan sosial yang relatif adil dan baik, di dunia di mana semua orang dijamin memperoleh hal ini. Dengan demikian, setidaknya, jika engkau diganggu oleh kekuatan jahat, selalu ada tempat di mana keadilan ditegakkan, di mana engkau dapat mengajukan pengaduan tentang keluhanmu, di mana engkau memiliki hak untuk mengadu, dan tempat di mana pada akhirnya, keadilan akan ditegakkan atas ketidakadilan yang telah kaualami. Di tengah masyarakat dan di antara manusia yang seperti ini, akan ada tempat di mana engkau dapat membersihkan namamu, dan melindungi dirimu agar tidak pernah mengalami penghinaan atau memiliki keluhan apa pun. Bukankah ini adalah masyarakat yang manusia cita-citakan? Bukankah inilah yang semua orang dambakan? (Ya.) Ini adalah impian semua orang. Orang berharap mereka akan diperlakukan dengan adil—mereka tidak ingin menjadi sasaran dari perlakuan tidak adil apa pun, atau tidak memiliki tempat untuk mengadu jika mereka diperlakukan tidak adil, dan mereka mendapati hal itu sangat menyedihkan. Dapat dikatakan bahwa standar dan tuntutan untuk manusia berperilaku moral "Balaslah kejahatan dengan kebaikan", jauh dari kenyataan kerusakan manusia dalam kehidupan nyata. Jadi, tuntutan untuk manusia berperilaku moral seperti ini tidak mempertimbangkan manusia, dan jauh dari fakta objektif dan dari kehidupan nyata. Ini adalah pernyataan yang diajukan oleh kaum idealis yang tidak memiliki pemahaman tentang dunia batin orang-orang kurang beruntung yang telah diperlakukan tidak adil dan dipermalukan—kaum idealis ini tidak mengetahui sampai sejauh mana orang-orang ini telah diperlakukan tidak adil, dan martabat serta karakter mereka telah dihina, atau bahkan seberapa besar ancaman yang terhadap keselamatan pribadi yang telah mereka alami. Kaum idealis ini tidak memahami kenyataan itu, tetapi mereka tetap menuntut agar para korban ini berdamai dengan para penyerangnya dan menahan diri untuk tidak membalas dendam kepada mereka, dengan mengatakan hal-hal seperti: "Kau dilahirkan untuk diperlakukan tidak adil dan kau harus menerima nasibmu. Kau dilahirkan sebagai masyarakat kelas terendah dan kau sebenarnya adalah budak. Kau dilahirkan untuk diperintah oleh orang lain—kau tidak boleh membalas dendam terhadap orang yang menyakitimu, dan sebaliknya, kau harus membalas kejahatan dengan kebaikan. Kau harus melakukan bagianmu demi kebaikan iklim sosial dan keharmonisan masyarakat, dan berkontribusi kepada masyarakat dengan memperlihatkan energi positifmu dan perilaku moral terbaikmu." Semua ini jelas dikatakan agar dapat membenarkan eksploitasi yang dilakukan masyarakat kelas atas dan kelas penguasa terhadap masyarakat kelas bawah, untuk mewakili mereka memberikan kenyamanan ini, dan menenangkan hati dan emosi masyarakat kelas bawah. Bukankah inilah tujuan mereka mengatakan hal-hal semacam itu? (Ya.) Jika sistem hukum dan sosial semua negara, dan sistem serta peraturan dari semua ras dan suku ditegakkan secara adil dan tegas, masih perlukah menganjurkan pernyataan tidak objektif yang bertentangan dengan hukum kemanusiaan ini? Tentu saja tidak perlu. Pepatah "Balaslah kejahatan dengan kebaikan" jelas telah dianjurkan hanya sebagai jalan dan kenyamanan bagi kelas penguasa dan orang-orang jahat yang memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mengeksploitasi dan menginjak-injak masyarakat yang kurang beruntung. Tujuannya sekaligus agar dapat menenangkan masyarakat kelas bawah dan mencegah mereka agar tidak membalas dendam atau memusuhi orang kaya, kaum elit, dan kelas penguasa, orang-orang yang disebut para pemikir dan pendidik ini menempatkan diri mereka di puncak keunggulan moral, menganjurkan pepatah ini dengan dalih palsu bahwa semua orang sudah seharus berperilaku moral yang baik seperti itu. Bukankah ini malah menciptakan lebih banyak kontradiksi di tengah masyarakat? Makin engkau menindas orang, makin terbukti betapa tidak adilnya masyarakat. Jika masyarakat benar-benar adil, masih perlukah menilai dan menuntut orang untuk berperilaku moral dengan menggunakan pepatah ini? Ini jelas disebabkan oleh fakta bahwa tidak ada keadilan di tengah masyarakat atau di antara manusia. Jika para pelaku kejahatan dapat dihukum oleh hukum, atau jika mereka yang memiliki uang dan kekuasaan juga harus bertanggung jawab kepada hukum, maka pepatah, "Balaslah kejahatan dengan kebaikan", tidak akan berlaku dan tidak akan ada. Berapa banyak rakyat jelata yang akan mampu merugikan seorang pejabat? Berapa banyak orang miskin yang akan mampu merugikan orang kaya? Akan sulit bagi mereka untuk mencapainya. Jadi, pepatah "Balaslah kejahatan dengan kebaikan" jelas ditujukan kepada rakyat jelata, orang miskin, dan masyarakat kelas bawah—itu adalah pepatah yang tidak bermoral dan tidak adil. Sebagai contoh, jika engkau menuntut agar seorang pejabat pemerintah membalas kejahatan dengan kebaikan, dia akan berkata kepadamu: "Kejahatan apa yang harus kubalas? Siapa yang berani main-main denganku? Siapa yang berani menyinggungku? Siapa yang berani mengatakan 'tidak' kepadaku? Akan kubunuh siapa pun yang menolak permintaanku—akan kumusnahkan seluruh keluarga mereka dan semua kerabat mereka!" Oleh karena itu, tidak ada kejahatan yang harus dibalas oleh pejabat, jadi pepatah, "Balaslah kejahatan dengan kebaikan", bahkan tidak ada bagi mereka. Jika engkau berkata kepada mereka: "Kau harus menerapkan perilaku moral membalas kejahatan dengan kebaikan ini, kau harus memiliki perilaku moral ini," mereka akan menjawab: "Tentu, aku bisa melakukannya." Ini adalah kebohongan yang sepenuhnya menipu. Bagaimanapun juga, "Balaslah kejahatan dengan kebaikan" pada dasarnya hanyalah pepatah yang dianjurkan oleh kaum moralis sosial sebagai cara untuk meredakan kemarahan masyarakat kelas bawah, dan bahkan lebih dari itu, merupakan pepatah yang dianjurkan agar dapat memperbudak masyarakat kelas bawah. Pepatah ini dianjurkan untuk lebih memantapkan otoritas kelas penguasa, untuk mendapatkan dukungan kelas penguasa, dan untuk mengabadikan perbudakan masyarakat kelas bawah, sehingga mereka tidak akan mengeluh meskipun mereka diperbudak dari generasi ke generasi. Dari sudut pandang ini, kita dapat memahami bahwa di tengah masyarakat semacam ini, hukum dan sistem jelas tidak adil; masyarakat semacam ini tidak dikendalikan oleh kebenaran, dan tidak diperintah oleh kebenaran atau keadilan. Sebaliknya, masyarakat dikendalikan oleh kejahatan dan kekuasaan manusia, oleh siapa pun yang menjadi pejabatnya. Jika rakyat jelata menjadi pejabat, situasinya pasti sama saja. Inilah esensi dari sistem sosial ini. "Balaslah kejahatan dengan kebaikan" menyingkapkan fakta ini. Kalimat ini jelas mengandung kualitas politik tertentu di dalamnya—ini adalah tuntutan dalam hal perilaku moral manusia untuk memperkuat kekuasaan kelas penguasa dan perbudakan terhadap masyarakat kelas bawah.
Tuntutan agar manusia membalas kejahatan dengan kebaikan bukan saja tidak sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan normal kemanusiaan, ataupun dengan karakter dan martabat kemanusiaan, terlebih lagi, itu tentu saja bukanlah standar yang tepat untuk menilai kualitas kemanusiaan seseorang. Tuntutan ini sangat jauh dari kemanusiaan yang sebenarnya; bukan saja karena tuntutan ini tidak dapat dicapai, tetapi tuntutan ini juga seharusnya tidak pernah dianjurkan sejak awal. Tuntutan ini hanyalah sebuah pepatah dan strategi yang digunakan oleh kelas penguasa untuk memperkuat kekuasaan dan kendali mereka terhadap orang banyak. Tentu saja, Tuhan tidak pernah menganjurkan pepatah semacam ini, baik pada Zaman Hukum Taurat, Zaman Kasih Karunia, maupun pada Zaman Kerajaan saat ini, dan Tuhan tidak pernah menggunakan cara, pepatah, atau tuntutan semacam ini sebagai dasar untuk menilai kualitas kemanusiaan orang. Ini karena, entah seseorang bermoral atau tidak bermoral, dan sebaik atau seburuk apa pun perilaku moral mereka, Tuhan hanya mempertimbangkan esensi diri mereka—di mata Tuhan, pepatah-pepatah tentang perilaku moral ini tidak ada. Jadi, pepatah tentang perilaku moral, "Balaslah kejahatan dengan kebaikan", tidak berlaku di rumah Tuhan, dan tidak layak untuk dianalisis. Entah engkau membalas kejahatan dengan kebaikan, atau membalas kejahatan dengan balas dendam, bagaimana seharusnya orang yang percaya kepada Tuhan memandang masalah "membalas kejahatan"? Dengan sikap apa dan dari sudut pandang apa mereka harus memandang dan memperlakukan masalah ini? Jika seseorang melakukan kejahatan di dalam gereja, rumah Tuhan memiliki prinsip dan ketetapan administratifnya sendiri untuk menangani orang tersebut—tidak perlu bagi siapa pun untuk membalas dendam bagi korban atau membelanya dari ketidakadilan. Tidak perlu ada hal seperti itu di rumah Tuhan, dan gereja tentu saja akan menangani masalah tersebut berdasarkan prinsip. Ini adalah fakta yang manusia mampu patuhi dan hadapi. Secara sangat jelas dan tepatnya: gereja memiliki prinsip-prinsip untuk menangani orang dan rumah Tuhan memiliki ketetapan administratif. Lalu bagaimana dengan Tuhan? Bagi Tuhan, siapa pun yang melakukan kejahatan akan menerima hukuman yang setimpal, dan Tuhan akan menentukan kapan dan bagaimana mereka dihukum. Prinsip Tuhan dalam menghukum sama sekali tidak dapat dipisahkan dari watak dan esensi diri-Nya. Tuhan memiliki watak yang adil dan tidak boleh disinggung, Dia memiliki kemegahan dan murka, dan semua orang yang melakukan kejahatan akan dihukum oleh-Nya sesuai kejahatan mereka. Ini jauh lebih besar daripada hukum manusia, ini melampaui kemanusiaan dan semua hukum dunia. Ini bukan saja adil, masuk akal, dan sesuai dengan keinginan manusia, tetapi ini juga tidak membutuhkan pujian dan pengesahan semua orang. Ini tidak mengharuskanmu untuk menilai masalah dari puncak keunggulan moral. Ketika Tuhan melakukan hal-hal ini, Dia memiliki prinsip dan waktu-Nya sendiri. Terserah sepenuhnya pada Tuhan untuk bertindak sebagaimana yang Dia inginkan, dan manusia harus menahan diri untuk tidak ikut campur, karena ini tidak ada kaitannya dengan mereka. Apa tuntutan Tuhan terhadap manusia dalam hal "membalas kejahatan"? Mereka dituntut untuk tidak bertindak atau membalas dendam kepada orang lain karena kemarahan mereka. Apa yang seharusnya kaulakukan jika seseorang menyinggungmu, melecehkanmu, atau bahkan ingin menyakitimu? Apakah ada prinsip untuk menangani hal-hal seperti itu? (Ya.) Ada solusi dan prinsip untuk hal-hal ini, dan dasar di dalam firman Tuhan dan kebenaran. Apa pun yang terjadi, pepatah tentang perilaku moral, "Balaslah kejahatan dengan kebaikan" ini juga tidak boleh dijadikan standar untuk menilai kualitas kemanusiaan seseorang. Paling-paling, jika orang mampu membalas kejahatan dengan kebaikan, dapat dikatakan bahwa mereka relatif sabar, sederhana, baik hati, dan murah hati, tidak picik, dan memiliki perilaku moral yang cukup baik. Namun, dapatkah kualitas kemanusiaan orang dievaluasi dan dinilai berdasarkan satu pepatah ini? Sama sekali tidak. Orang juga harus mempertimbangkan apa yang mereka kejar, jalan yang mereka tempuh, dan sikap mereka terhadap kebenaran dan hal-hal positif, dan sebagainya. Itulah satu-satunya cara untuk menilai secara akurat apakah mereka memiliki kemanusiaan atau tidak.
Ini mengakhiri persekutuan kita hari ini.
26 Maret 2022