Apa yang Dimaksud dengan Mengejar Kebenaran (2)
Dalam pertemuan terakhir, kita bersekutu tentang apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran. Mari kita mulai dengan mengulang sedikit: Apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Apakah engkau bisa menjawab pertanyaan ini? Apakah engkau semua telah merenungkannya setelah persekutuan kita sebelumnya? Setelah kita selesai mempersekutukan topik-topik tertentu, engkau harus merenungkannya, dan kemudian mengalami dan menjalaninya secara nyata dalam kehidupanmu sehari-hari. Hanya dengan cara demikianlah engkau akan mampu mendapatkan pengetahuan yang benar; baru setelah itulah engkau akan mampu benar-benar memahami dan menghargai topik yang telah kaurenungkan; baru setelah itulah engkau akan mampu menyampaikan tentang pengalaman nyatamu dan pengetahuanmu yang benar. Bukankah demikian? (Ya.) Jadi, apakah engkau semua telah merenungkan pertanyaan itu? Apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Unsur-unsur apakah yang tercakup dalam mengejar kebenaran? Apa hal utama yang terkandung di dalamnya? Sudahkah engkau semua merangkum hal-hal ini? (Pada waktu itu, Tuhan memulai dengan mempersekutukan tentang berbagai gagasan, pandangan, dan sikap keliru yang orang miliki berkenaan dengan mengejar kebenaran, lalu Tuhan mempersekutukan secara terperinci tentang lima langkah mengejar kebenaran.) Pada dasarnya ada dua bagian utama dalam persekutuan kita yang terakhir: beberapa keadaan negatif atau pandangan keliru yang banyak orang miliki yang berkaitan dengan mengejar kebenaran, kesalahpahaman manusia tentang mengejar kebenaran, serta alasan dan pembenaran diri yang orang kemukakan untuk tidak mengejar kebenaran—itu adalah bagian utama yang pertama. Bagian utama yang kedua adalah mempersekutukan tentang bagaimana mengejar kebenaran, yang terdiri dari lima langkah. Meskipun hanya ada dua bagian, kita telah membahas banyak detail dan hal-hal spesifik di dalam masing-masing bagiannya. Aku menyingkapkan beberapa pengetahuan dan pemahaman manusia yang menyimpang tentang mengejar kebenaran, dan Aku juga mengungkapkan beberapa kesulitan yang orang alami dalam mengejar kebenaran, serta beberapa alasan, pembenaran diri, dan dalih yang dikemukakan orang yang muak akan kebenaran untuk tidak mengejar kebenaran. Sikap negatif yang pasif dan pemahaman yang orang-orang perlihatkan dalam hal mengejar kebenaran sesuai dengan gaya hidup dan pengejaran yang mereka pegang dalam kehidupan nyata mereka, serta sikap yang mereka miliki terhadap kebenaran—semuanya berkaitan dengan perilaku spesifik dan penyingkapan tertentu yang orang perlihatkan. Kemudian, berdasarkan berbagai perilaku manusia, Aku menyampaikan beberapa cara dan langkah penerapan yang spesifik dalam hal jalan untuk mengejar kebenaran. Apakah semua itu jelas bagimu? (Ya.) Benarkah sudah jelas? Lalu, mengapa engkau tidak mengatakan sesuatu? Tampaknya hal ini masih belum begitu jelas bagimu; masih ada lagi yang perlu kita persekutukan.
Hal terbesar dalam kepercayaan kepada Tuhan adalah mengejar kebenaran. Apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Dalam hal mengejar kebenaran, semua yang orang wujudkan memperlihatkan banyak masalah dan kesulitan mereka, dan orang memiliki segala macam pembenaran diri dan alasan untuk tidak mengejar kebenaran—penghalangnya benar-benar sangat besar. Karena berbagai kesulitan yang orang hadapi, mereka tampak sangat tertekan dan tidak nyaman dalam hal mengejar kebenaran, dan mereka menganggapnya sangat sulit. Sebenarnya, pertanyaan itu sendiri—"Apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran?"—adalah pertanyaan yang mudah untuk dijawab, jadi mengapa orang tidak mampu mengejar kebenaran? Apa alasannya? Semua orang membual bahwa mereka memiliki hati nurani dan akal sehat, bahwa mereka benar-benar percaya kepada Tuhan, bahwa mereka mampu melaksanakan tugas mereka, bahwa mereka rela menderita dan siap membayar harga. Lalu mengapa, meskipun memiliki perilaku baik ini sebagai landasan mereka, mereka tidak mampu memulai jalan mengejar kebenaran? Mereka memiliki kemanusiaan yang sangat baik, integritas, dan reputasi yang baik; mereka memiliki tekad, cita-cita, dan harapan tentang pengejaran mereka; mereka memiliki upaya subjektif mereka, memiliki tekad untuk menanggung kesukaran, dan sikap yang mau membayar harga; mereka memiliki sikap yang aktif, positif, dan rindu untuk menerima kebenaran. Dengan hal-hal ini sebagai landasan mereka, bagaimana mungkin mereka tidak memenuhi syarat untuk mengejar kebenaran? Mengapa mereka tidak mampu mengejar kebenaran? Di mana sumber masalahnya? (Manusia pada dasarnya tidak mencintai kebenaran dan muak akan kebenaran.) Itu adalah jawaban yang akurat. Alasan paling mendasar adalah karena manusia memiliki watak yang rusak. Watak rusak manusia berasal dari Iblis, dan segala sesuatu yang berasal dari Iblis bertentangan dengan Tuhan dan kebenaran. Oleh karena itu, meminta orang untuk mengejar kebenaran adalah sama dengan meminta mereka untuk memberontak terhadap kehidupan dan sifat bawaan mereka, serta meninggalkan cara pengejaran dan sudut pandang bawaan mereka tentang kehidupan. Meminta mereka melepaskan hal-hal yang salah ini, memberontak terhadap kesukaan daging mereka, dan sebaliknya mengejar dan menerapkan firman Tuhan dan kebenaran, yang merupakan hal yang tidak disukai daging mereka, hal yang tidak mereka miliki, dan hal yang mereka pandang remeh, yang mereka benci dan tolak—melakukan hal-hal inilah yang mereka anggap sulit. Memintamu untuk mengejar kebenaran adalah sama dengan memintamu melepaskan kehidupan bawaanmu. Bukankah itu sama dengan menyerahkan nyawamu? (Ya.) Itu berarti engkau sedang menyerahkan nyawamu sendiri. Apakah orang rela menyerahkan nyawa mereka? (Tidak.) Di lubuk hati, mereka berkata, "Aku tidak mau"—seratus kali, seribu kali, sepuluh ribu kali: "Aku tidak mau." Bagaimanapun juga, sangatlah sulit bagi orang untuk melepaskan hal-hal bawaan bersifat Iblis yang mereka miliki. Ini adalah fakta, yang telah benar-benar engkau semua alami secara mendalam. Di lubuk hatinya, orang tidak mau memberontak terhadap daging mereka; atau memberontak terhadap kehidupan mereka, yang merupakan esensi natur yang berasal dari Iblis; ataupun memberontak terhadap sifat bawaan Iblis atau natur Iblis dalam diri mereka, untuk mengejar kebenaran. Jadi, bagi mereka yang memiliki natur Iblis, yang hidup berdasarkan watak Iblis, mencintai dan mengejar kebenaran bertentangan dengan keinginan mereka, dan mereka enggan melakukannya. Apa sumber penyebab hal ini? Sumber penyebabnya adalah karena sifat-sifat dalam diri manusia berasal dari Iblis, dan sifat-sifat itu pada hakikatnya memusuhi Tuhan. Jadi, setelah orang mendengar dan memahami kebenaran, hanya mereka yang mencintai kebenaranlah yang mau berjuang mengejarnya dan membayar harga, hanya mereka yang memiliki tekad, cita-cita, dan keinginan inilah yang mampu menerapkan kebenaran segera setelah mereka memahaminya. Hanya merekalah yang mampu hidup berdasarkan kebenaran dan hidup dalam kenyataannya. Ada banyak orang yang mau menerapkan kebenaran, tetapi mereka dihalangi oleh natur dan watak Iblis mereka; mereka tidak mampu menerapkan kebenaran, meskipun mereka mungkin ingin melakukannya. Faktanya adalah bahwa dalam kehidupan nyata, menerapkan kebenaran adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Memintamu untuk melepaskan pakaian dan perhiasan favoritmu, atau hal-hal yang kaunikmati, atau pekerjaan dan karier yang kausukai, atau melepaskan kelebihan dan kegemaranmu, atau hal semacam itu adalah hal-hal yang mampu kaulakukan. Engkau mampu memberontak terhadap semua ini; semua ini mudah dilepaskan. Namun, memintamu untuk memberontak terhadap dagingmu dan watak Iblis dalam dirimu untuk menerapkan kebenaran dan tunduk kepada Tuhan—itu jauh lebih sulit. Jika menggunakan kalimat ungkapan untuk menggambarkannya, itu akan seperti memaksa bebek terbang tinggi dan hinggap di ranting pohon, atau menyuruh banteng memanjat pohon—hal-hal ini terlalu berat bagi mereka. Namun, pasti mudah menyuruh kucing memanjat pohon; itu hal yang wajar kucing lakukan. Namun, akan sangat tidak mungkin untuk meminta orang memakan jerami daripada memakan daging. Jika engkau meminta seseorang untuk menderita sedikit, membayar harga sedikit, dan hidup dengan kerendahhatian selama sisa hidupnya, itu adalah sesuatu yang dapat dicapai oleh siapa pun yang memiliki keinginan untuk melakukannya. Sebenarnya, kesulitan daging apa pun bukanlah masalah besar bagi seseorang yang benar-benar percaya kepada Tuhan dan mendambakan kebenaran. Tidak mengingini kenyamanan daging, misalnya; atau mengurangi waktu tidur mereka setiap hari; atau hidup susah selama sepuluh tahun berturut-turut; atau mencukupkan diri dengan makanan, pakaian, rumah, dan transportasi yang seadanya—kesukaran dan harga seperti itu dapat ditanggung oleh siapa pun, asalkan mereka memiliki kemauan untuk melakukannya, dan mereka mau mengejar kebenaran, serta memiliki sedikit pengendalian diri. Namun, jika engkau meminta seseorang untuk memberontak terhadap daging dan Iblis, untuk bertindak sepenuhnya sesuai dengan tuntutan Tuhan dan berdasarkan firman-Nya, untuk melakukan penerapan sesuai dengan kebenaran dan dengan demikian mencapai ketundukan kepada Tuhan, siapa pun akan merasa itu sulit dilakukan. Di situlah letak kesulitan manusia. Jadi, dalam mengejar kebenaran, itu bukan seolah-olah orang dapat bertekad begitu saja dan mencobanya, atau melakukan pengendalian diri dan mengikuti aturan, dan kemudian mampu menerapkan kebenaran dan memiliki kebenaran. Mengejar kebenaran adalah hal yang paling sulit dilakukan oleh manusia yang rusak. Dari mana sumber masalah ini berasal? (Itu berasal dari watak Iblis dalam dirinya.) Benar. Watak Iblis adalah tantangan terbesar manusia. Orang mungkin memiliki kualitas yang buruk, atau memiliki sifat mudah marah dan kepribadian yang buruk, mereka mungkin hampir tidak memiliki kelebihan, bakat, atau karunia sama sekali—tak satu pun dari hal-hal ini akan menjadi tantangan besar bagi mereka. Pada akhirnya, masalahnya berasal dari watak rusak manusia. Watak yang rusak membuat tangan dan kaki orang, pikiran dan gagasan mereka, pemikiran mereka, cara berpikir mereka, dan kedalaman jiwa mereka dikendalikan dalam cengkeraman maut watak rusak mereka, sehingga membuat mereka sulit berjalan sejengkal pun di jalan mengejar kebenaran. Orang mungkin percaya kepada Tuhan selama tiga atau lima tahun tanpa mendapatkan apa pun; bahkan ada orang-orang yang telah percaya selama sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun, dan hanya mendapatkan sedikit hasil darinya. Dan sebagian dari mereka tidak mendapatkan apa pun—betapa miskin dan menyedihkannya orang-orang bertangan kosong itu! Mereka telah percaya kepada Tuhan selama tiga puluh tahun tetapi tetap miskin dan buta, tidak mendapatkan apa pun. Ketika mereka jatuh ke dalam kenegatifan, mereka tidak tahu bagaimana keluar darinya; ketika mereka jatuh ke dalam kesalahpahaman tentang Tuhan, mereka tidak tahu bagaimana cara menyingkirkannya; ketika kesulitan menimpa mereka, mereka tidak tahu bagaimana menghadapinya, juga tidak tahu bagaimana menyelesaikan kesulitan semacam itu. Dapatkah orang menyelesaikan masalah hanya dengan menggunakan tekad subjektifnya untuk mengekang diri atau dengan mengandalkan kesabarannya untuk terus bertahan? Orang mungkin selangkah demi selangkah dengan susah payah melewati keadaan, sampai mereka telah melewatinya, tetapi watak-watak rusak mereka tetap ada. Semua itu belum dibereskan. Berapa kali pun mereka mengalami kenegatifan, atau kesalahpahaman tentang Tuhan, atau memiliki gagasan tentang Tuhan, atau gagal, dan jatuh, dan menjadi lemah, sampai hari ini pun mereka masih belum mampu memberikan sedikit pun kesaksian pengalaman, mereka juga tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun tentang pemahaman atau pengalaman mereka tentang firman Tuhan. Hati mereka hampa; jiwa mereka kosong. Mereka tidak memiliki pemahaman yang nyata akan kebenaran, dan mereka tidak memiliki pemahaman yang benar tentang firman Tuhan, dan mereka bahkan tidak memiliki pengetahuan tentang pekerjaan dan watak-Nya. Bukankah mereka miskin, buta, dan menyedihkan? (Ya.) Jika seseorang tidak mengejar kebenaran, seberapa pun lamanya dia percaya kepada Tuhan, itu tidak ada gunanya. Lalu, mengapa seseorang membiarkan dirinya sampai pada titik ini? Apa penyebabnya? Penyebabnya sama yaitu watak manusia yang rusak. Ini adalah penyebab objektif.
Kita telah membahas dengan jelas apa penyebab objektif orang tidak mengejar kebenaran. Sekarang kita akan berbicara sedikit tentang penyebab subjektif. Penyebab subjektifnya adalah, meskipun orang-orang mungkin telah memahami dari pekerjaan Tuhan dan semua firman-Nya, atau dari kehidupan nyata mereka, mereka tidak pernah membandingkan diri mereka dengan firman Tuhan dan kebenaran agar dapat mengetahui wataknya yang rusak, tidak pernah memberontak terhadap wataknya yang rusak, dan tidak pernah menerapkannya berdasarkan firman Tuhan. Meskipun orang mungkin mengerahkan upaya dan mengorbankan diri di jalan kepercayaan kepada Tuhan, meskipun mereka mungkin bekerja sangat keras, banyak menderita, dan membayar harga yang mahal untuk itu, semua ini hanyalah perilaku lahiriah. Semua itu tidak membuktikan bahwa mereka telah menempuh jalan mengejar kebenaran. Orang-orang yang paling menderita adalah mereka yang mulai mengikuti Tuhan di masa muda, yang melaksanakan tugas mereka ketika mereka berusia sekitar dua puluh tahunan. Orang-orang ini sekarang berusia sekitar lima puluh tahunan, dan masih belum menikah. Dapat dikatakan mereka telah mendedikasikan masa muda mereka untuk iman mereka kepada Tuhan, dan melepaskan keluarga dan pernikahan. Apakah itu harga yang mahal? (Ya.) Mereka menyerahkan masa muda mereka dan mempersembahkan seluruh hidup mereka, dan apa hasilnya? Harga yang mereka bayarkan memang mahal, tetapi apa yang mereka dapatkan pada akhirnya tidak sebanding atau sesuai dengan pengorbanan mereka. Apa masalahnya di sini? Berdasarkan sikap dan tekad yang dengannya mereka membayar harga, dan lamanya, banyaknya, dan tingkat pengorbanan mereka, tampaknya seakan-akan mereka seharusnya memahami kebenaran dan mampu menerapkannya. Engkau akan menganggap mereka seharusnya memiliki kesaksian dan hati yang takut akan Tuhan; bahwa mereka seharusnya memiliki pengenalan akan Tuhan; bahwa mereka seharusnya telah menempuh jalan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan; bahwa mereka seharusnya sudah masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Namun sebenarnya, itu hanyalah sebuah kesimpulan—kedua hal ini hanya memiliki hubungan yang logis, itu tidak sejalan dengan fakta atau dengan apa yang orang-orang ini jalani. Apa masalahnya di sini? Bukankah kita seharusnya menyelidiki dan mendiskusikannya? Bukankah ini adalah masalah yang membutuhkan pemikiran mendalam? (Ya.) Di antara mereka yang telah menerima tahap pekerjaan Tuhan ini selama dua atau tiga tahun, ada banyak orang yang memiliki pengalaman dan kesaksian. Mereka bersaksi tentang bagaimana firman Tuhan telah mengubah mereka dan membuat mereka menjadi orang yang jujur; mereka bersaksi tentang bagaimana firman Tuhan telah memampukan mereka untuk memahami kebenaran di jalan mengejar kebenaran; mereka bersaksi tentang bagaimana firman Tuhan telah membereskan watak rusak mereka, kecongkakan dan kelicikan mereka, pemberontakan mereka, keinginan mereka akan status, ambisi dan keinginan mereka, dan sebagainya. Orang-orang ini mampu memiliki pengalaman dan kesaksian hanya setelah dua atau tiga tahun percaya kepada Tuhan; mereka memiliki pemahaman berdasarkan pengalaman yang mendalam tentang firman Tuhan, dan mereka dapat merasakan kebenaran firman-Nya. Lalu, mengapa ada orang-orang yang percaya kepada Tuhan selama dua puluh atau tiga puluh tahun dan membayar harga yang begitu mahal, banyak menderita, dan sibuk mengerjakan begitu banyak hal, tetapi lubuk hati dan kerohanian mereka tetap hampa dan kosong? Banyak orang yang berada dalam keadaan seperti ini sering kali merasa bingung. Mereka selalu berkata, "Aku sangat bingung." Aku berkata, "Kau telah percaya kepada Tuhan selama dua puluh atau tiga puluh tahun sekarang. Mengapa kau masih bingung? Jelas terlihat bahwa kau belum mendapatkan apa pun." Sampai hari ini, ada orang yang masih berpikiran negatif dan lemah. Mereka berkata, "Aku sudah percaya kepada Tuhan selama bertahun-tahun, dan apa yang telah kudapatkan?" Sering kali, ketika mereka negatif dan lemah, atau ketika status dan keuntungan mereka dicabut, atau ketika kesombongan mereka tidak terpuaskan, mereka menyalahkan Tuhan dan menyesal telah percaya kepada-Nya selama bertahun-tahun. Mereka menyesal telah memercayai firman-Nya dari sejak awal, mereka menyesal telah bertekad untuk melepaskan pekerjaan, pernikahan dan keluarga mereka, dan kesempatan mereka untuk kuliah, agar dapat mengikuti Tuhan. Sebagian dari mereka bahkan berpikir untuk meninggalkan gereja. Sekarang, mereka begitu dipenuhi dengan penyesalan tentang iman mereka—mengapa mereka merepotkan diri dengan hal itu dari sejak awal? Mereka telah percaya kepada Tuhan selama dua puluh atau tiga puluh tahun, mereka telah mendengar begitu banyak kebenaran dan mereka telah mengalami begitu banyak pekerjaan Tuhan, tetapi lubuk hati mereka tetap hampa, dan mereka sering tenggelam dalam keadaan yang penuh kekacauan, kebingungan, penyesalan, keengganan, dan bahkan ketidakpastian tentang masa depan mereka—apa yang menyebabkan hal ini? Apakah orang-orang semacam itu pantas dikasihani? (Tidak.) Setiap kali Aku melihat orang-orang ini, setiap kali Aku mendengar kabar tentang mereka dan mengetahui apa yang terjadi baru-baru ini tentang mereka, Aku mendapat firasat tentang mereka. Suatu pemikiran muncul di benak-Ku tentang mereka. Mengapa keadaan mereka dan apa yang ada dalam batin mereka terasa begitu tak asing lagi bagi-Ku? Mereka bahkan tetap berada di rumah Tuhan, melaksanakan tugas—apakah yang sedang mereka yakini? Apakah yang mereka yakini adalah sebuah pola pikir keselamatan oleh kasih karunia? Apakah yang mereka yakini adalah pola pikir bahwa jika seseorang mengikuti Tuhan sampai akhir, ini pasti akan membawa kepada keselamatan? Atau apakah yang mereka yakini adalah mentalitas yang didasarkan pada keberuntungan dan kebetulan? Bukan semua itu. Lalu apa yang mereka yakini? Sama seperti yang Paulus katakan: "Aku sudah melakukan pertandingan yang baik. Aku sudah menyelesaikan perlombaanku, aku sudah menjaga imanku: Mulai dari sekarang sudah tersedia bagiku mahkota kebenaran" (2 Timotius 4:7-8). Singkatnya, jika dianalisis, perkataan ini bersifat transaksional, di dalamnya terkandung sikap, gagasan, dan rencana untuk bertransaksi, dan semuanya itu berasal dari keinginan dan ambisi tertentu. Fakta apa yang kaulihat dalam perkataan ini? Apa yang orang kejar dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan? (Mahkota dan berkat.) Ya. Mereka mengejar berkat dan tempat tujuan yang baik. Dan apa yang akan mereka tukarkan untuk berkat dan tempat tujuan yang baik itu? Apa yang akan mereka tukarkan untuk mendapatkan semua itu? (Kerja keras dan pekerjaan mereka, penderitaan dan harga yang mereka bayar.) Mengutip perkataan Paulus, mereka telah melakukan pertandingan yang baik, mereka sudah menyelesaikan perlombaan mereka. Mereka yakin bahwa mereka telah melakukan semua yang seharusnya mereka lakukan, dan bahwa mereka seharusnya mendapatkan tempat tujuan yang baik dan berkat yang telah Tuhan persiapkan bagi manusia. Mereka mengira sudah jelas bahwa inilah yang seharusnya Tuhan lakukan—yang harus Dia lakukan—dan jika Dia tidak melakukannya, Dia pasti bukan Tuhan. Jelas, tidak ada ketundukan kepada Tuhan dalam hal ini, tidak ada sikap yang mengejar kebenaran, tidak ada sikap atau rencana untuk memenuhi tugas sebagai makhluk ciptaan. Yang ada hanyalah keinginan untuk menukar sedikit hal yang mampu mereka lakukan dengan berkat yang telah Tuhan janjikan kepada manusia. Jadi, orang-orang yang baru saja kita bicarakan ini sering kali merasa ada kehampaan dalam batin mereka dan bahwa mereka tidak memiliki apa pun untuk diyakini di lubuk hati mereka, tetapi mereka terus melanjutkan hidup seperti biasa, membayar harga dan menderita seperti ini, bersikeras melakukan pertandingan yang baik dan menyelesaikan perlombaan mereka. Apa yang mereka yakini? Perkataan Paulus yang mereka pegang teguh dan yakini secara membabi buta itulah yang menopang "iman" mereka. Mereka mengandalkan ambisi dan keinginan mereka untuk diberi upah dan dimahkotai. Mereka mengandalkan impian mereka menggunakan pertukaran transaksional untuk menerima berkat besar. Mereka tidak mengandalkan pemahaman tentang pekerjaan Tuhan ataupun mengandalkan pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan dengan mengejar kebenaran saat mereka mengorbankan diri untuk Tuhan. Bukan itu yang mereka andalkan.
Melihat pada apa yang baru saja kita persekutukan, orang dapat memahami bahwa meskipun ada banyak tantangan nyata di jalan mengejar kebenaran, serta ada banyak penghalang dan hambatan akibat watak yang rusak, dan ada banyak sekali kesulitan dan rintangan, orang harus yakin bahwa asalkan dia memiliki iman yang sejati, maka dengan mengandalkan bimbingan firman Tuhan dan pekerjaan Roh Kudus, dia akan mampu sepenuhnya mulai menempuh jalan mengejar kebenaran. Petrus adalah teladan untuk hal ini. Dalam kepercayaan mereka kepada Tuhan, banyak orang hanya berfokus untuk bekerja bagi Tuhan, dan mereka puas hanya dengan menderita dan membayar harga, tetapi mereka sama sekali tidak mengejar kebenaran. Akibatnya, mereka tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang pekerjaan Tuhan setelah percaya kepada-Nya selama sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun, dan mereka tak mampu membicarakan pengalaman atau pengetahuan mereka tentang kebenaran atau firman Tuhan. Selama pertemuan, ketika berusaha menyampaikan sedikit kesaksian pengalaman mereka, tidak ada apa pun yang bisa mereka katakan; apakah mereka akan diselamatkan atau tidak, mereka sama sekali tidak mengetahuinya. Apa masalahnya di sini? Seperti inilah orang yang tidak mengejar kebenaran. Seberapa pun lamanya mereka telah menjadi orang percaya, mereka tidak mampu memahami kebenaran, apalagi menerapkannya. Bagaimana mungkin orang yang sama sekali tidak menerima kebenaran masuk ke dalam kenyataan kebenaran? Ada orang-orang yang tak mampu mengetahui yang sebenarnya mengenai masalah ini. Mereka mengira orang yang mengulang-ulang kata dan doktrin adalah orang yang menerapkan kebenaran, juga orang yang mampu masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Benarkah demikian? Orang yang mengulang-ulang kata dan doktrin pada dasarnya tidak mampu memahami kebenaran—jadi bagaimana mungkin mereka menerapkannya? Yang mereka terapkan tampaknya tidak melanggar kebenaran, dan merupakan perbuatan baik, perilaku yang baik, tetapi bagaimana mungkin perbuatan baik dan perilaku baik tersebut layak disebut kenyataan kebenaran? Orang yang tidak memahami kebenaran tidak tahu apa arti kenyataan kebenaran; mereka menganggap perbuatan baik dan perilaku baik orang sebagai penerapan kebenaran. Ini tidak masuk akal, bukan? Apa bedanya ini dengan pemikiran dan pandangan orang-orang beragama? Dan bagaimana masalah pemahaman yang menyimpang seperti itu dapat diluruskan? Orang harus terlebih dahulu memahami maksud Tuhan dari dalam firman-Nya, dan mereka harus tahu apa arti memahami kebenaran, dan apa arti menerapkan kebenaran, agar dapat mengetahui yang sebenarnya mengenai orang lain, dan mampu mengetahui apakah mereka memiliki kenyataan kebenaran atau tidak. Pekerjaan Tuhan dan penyelamatan manusia oleh Tuhan dimaksudkan untuk membuat orang memahami dan menerapkan kebenaran; hanya dengan cara demikianlah, orang akan mampu menyingkirkan watak rusak mereka, dan bertindak berdasarkan prinsip, dan masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Jika engkau tidak mengejar kebenaran, dan hanya puas dengan mengorbankan diri, menderita dan membayar harga untuk Tuhan sesuai dengan gagasan dan imajinasimu sendiri, akankah semua yang kaulakukan menunjukkan bahwa engkau menerapkan kebenaran dan tunduk kepada Tuhan? Akankah itu membuktikan bahwa engkau telah berubah dalam watak hidupmu? Akankah itu menunjukkan bahwa engkau memiliki pengenalan yang benar tentang Tuhan? Tidak. Jadi, menunjukkan apa semua yang kaulakukan itu? Itu hanya dapat menunjukkan pilihan, pemahaman, dan angan-anganmu sendiri. Itu hanya akan menunjukkan hal-hal yang kausukai, hal-hal yang ingin kaulakukan; semua yang kaulakukan hanyalah pemenuhan hasrat, ketetapan hati, dan cita-citamu sendiri. Jelas, itu bukanlah mengejar kebenaran. Semua tindakan atau perilakumu tidak ada kaitannya dengan kebenaran, ataupun dengan tuntutan Tuhan. Semua tindakan dan perilakumu adalah untuk dirimu sendiri; engkau hanya bekerja, berjuang, dan sibuk demi cita-cita, reputasi, dan statusmu sendiri—ini membuatmu tidak ada bedanya dengan Paulus, yang berjerih lelah dan bekerja sepanjang hidupnya semata-mata untuk mendapatkan upah, memperoleh mahkota, dan masuk ke dalam Kerajaan Surga—ini memperlihatkan bahwa engkau jelas sedang menempuh jalan Paulus. Ada orang yang berkata, "Aku berjerih lelah dan bekerja dengan sukarela. Aku belum pernah berusaha bertransaksi dengan Tuhan." Masalahnya bukan apakah engkau pernah berusaha bertransaksi dengan Tuhan atau tidak, apakah dalam pikiran atau sikapmu ada niat yang jelas atau tidak untuk bertransaksi dengan Tuhan—apakah engkau memiliki rencana dan tujuan seperti itu atau tidak—masalahnya adalah engkau sedang berusaha menukar jerih lelah dan kerja kerasmu, kesukaranmu, dan harga yang telah kaubayar dengan upah dan mahkota Kerajaan Surga. Inti dari masalah ini adalah engkau berusaha bertransaksi dengan Tuhan—hanya saja engkau tidak menyadari bahwa engkau sedang melakukannya. Apa pun alasannya, selama seseorang mengalami kesukaran dan membayar harga demi mendapatkan berkat, esensi pengejarannya sama dengan esensi pengejaran Paulus. Dalam hal apakah mereka sama? Mereka berdua berusaha menukar perilaku baik mereka—kerja keras mereka, kesukaran yang mereka alami, harga yang mereka bayar, dan sebagainya—dengan berkat Tuhan, dengan berkat yang Dia janjikan kepada manusia. Bukankah hal-hal ini pada dasarnya sama? (Ya.) Mereka berdua pada dasarnya sama; sama sekali tidak ada perbedaan. Jika engkau tidak ingin menempuh jalan Paulus, tetapi ingin menempuh jalan Petrus, dan engkau ingin mendapatkan perkenanan Tuhan, bagaimana seharusnya engkau bertindak? Tidak diragukan lagi: engkau harus belajar mengejar kebenaran. Engkau harus mampu menerima kebenaran, serta menerima penghakiman dan hajaran Tuhan, dan menerima dirimu dipangkas; engkau harus berfokus untuk mengenal dirimu sendiri, dan memunculkan perubahan dalam watakmu, dan berusaha berlatih mengasihi Tuhan. Itulah yang dimaksud dengan menempuh jalan mengejar kebenaran dan mulai menempuh jalan Petrus. Untuk menempuh jalan Petrus, engkau harus terlebih dahulu memahami apa yang Tuhan tuntut dari manusia dan jalan apa yang telah Tuhan tunjukkan kepada manusia. Engkau harus mampu membedakan jalan kepercayaan kepada Tuhan yang memimpin kepada keselamatan dan jalan yang memimpin kepada kebinasaan dan kehancuran. Engkau harus benar-benar merenungkan mengapa engkau mampu menempuh jalan Paulus, dan memastikan watak apa yang memerintahkanmu untuk menempuh jalan itu. Engkau harus memiliki kemampuan mengenali hal-hal yang paling menonjol dan jelas yang ada dalam watak rusakmu, seperti kecongkakan, kelicikan, atau kejahatan. Setelah mengenali watak-watak yang rusak ini, engkau harus mulai merenungkan, menelaah, dan mengenal dirimu sendiri. Jika engkau benar-benar mampu mengenal dan membenci dirimu sendiri, akan mudah bagimu untuk menyingkirkan watak rusakmu dan akan mudah bagimu untuk menerapkan kebenaran. Jadi secara khusus, bagaimana caranya menerapkan hal ini? Mari kita persekutukan hal ini secara singkat dengan menggunakan contoh sebuah watak yang congkak. Dalam kehidupanmu sehari-hari, ketika berbicara, bertingkah laku dan menangani masalah, ketika melaksanakan tugasmu, menyampaikan persekutuan kepada orang lain, dan sebagainya, apa pun masalah yang sedang dihadapi, atau di mana pun engkau berada, atau apa pun keadaannya, engkau harus selalu berfokus untuk memeriksa watak congkak seperti apa yang telah kauperlihatkan. Engkau harus menggali semua penyingkapan, pemikiran, dan gagasan yang berasal dari watak congkakmu yang kausadari dan dapat kaurasakan, serta maksud dan tujuanmu—khususnya, apakah engkau selalu ingin menceramahi orang lain dengan menempatkan dirimu sebagai atasan; tidak mematuhi siapa pun; menganggap dirimu lebih baik daripada orang lain; tidak menerima apa yang orang lain katakan sekalipun itu benar; memaksa orang lain mengikuti dan mematuhi apa yang kaukatakan, meskipun engkau salah; selalu punya kecenderungan mengambil alih pimpinan; tidak patuh dan membenarkan diri ketika para pemimpin dan pekerja memangkasmu, menuduh mereka sebagai pemimpin dan pekerja palsu; selalu mengutuk orang lain dan meninggikan dirimu sendiri; selalu menganggap dirimu lebih baik daripada orang lain; selalu ingin menjadi orang yang terkenal dan terkemuka; selalu suka pamer, agar orang lain mengagumi dan memujamu .... Dengan berlatih merenungkan dan menelaah penyingkapan kerusakan ini, engkau akan mulai memahami betapa buruknya watak congkakmu, dan engkau mampu membenci dan jijik terhadap dirimu sendiri, dan menjadi jauh lebih membenci watak congkakmu itu. Dengan demikian, engkau akan bersedia merenungkan apakah engkau telah memperlihatkan watak congkak dalam segala hal atau tidak. Di satu sisi, engkau harus merenungkan watak congkak dan sikap merasa diri benar seperti apa yang kauperlihatkan dalam ucapanmu—hal-hal sombong, congkak, dan tak masuk akal seperti apa yang kaukatakan. Di sisi lain, engkau harus merenungkan hal-hal tak masuk akal dan tak bernalar seperti apa yang kaulakukan saat bertindak sesuai dengan gagasan, imajinasi, ambisi, dan keinginanmu. Hanya perenungan diri semacam inilah yang dapat membuatmu mengenal dirimu sendiri. Setelah engkau benar-benar mengenal dirimu sendiri, engkau harus mencari jalan dan prinsip penerapan untuk menjadi orang yang jujur di dalam firman Tuhan, dan kemudian menerapkannya, melaksanakan tugasmu, dan memperlakukan serta berinteraksi dengan orang lain berdasarkan jalan dan prinsip yang ditunjukkan dalam firman Tuhan. Setelah engkau menerapkan dengan cara seperti ini selama beberapa waktu, mungkin selama satu atau dua bulan, engkau akan merasa hatimu dicerahkan, dan engkau akan mendapatkan sesuatu dari penerapan ini dan mulai merasakan keberhasilan. Engkau akan merasa bahwa engkau memiliki jalan untuk menjadi orang jujur yang berakal sehat, dan engkau akan merasa jauh lebih tenang. Meskipun engkau belum mampu menyampaikan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran, engkau sudah memperoleh pemahaman intuitif tentang hal itu, dan memperoleh jalan penerapannya. Meskipun engkau tidak akan mampu mengungkapkannya secara jelas dengan kata-kata, engkau sudah memiliki sedikit kemampuan mengenali bahaya yang ditimbulkan oleh watak yang congkak terhadap orang-orang dan bagaimana watak itu membuat kemanusiaan mereka menyimpang. Sebagai contoh, orang yang congkak dan sombong sering kali mengatakan hal-hal yang dibesar-besarkan dan mengucapkan perkataan setan untuk mengelabui orang lain; mereka mengucapkan perkataan yang terdengar muluk-muluk, meneriakkan slogan, dan membuat pernyataan yang muluk-muluk. Bukankah ini adalah berbagai perwujudan dari watak yang congkak? Bukankah memperlihatkan watak congkak ini sangat tidak berakal sehat? Jika engkau benar-benar mampu memahami bahwa engkau pasti telah kehilangan nalar kemanusiaanmu yang normal saat memperlihatkan watak congkak seperti itu, dan bahwa hidup dalam watak congkak berarti engkau hidup dalam kejahatan dan bukan hidup dalam kemanusiaan, maka engkau akan benar-benar menyadari bahwa watak yang rusak adalah watak Iblis, dan engkau akan mampu membenci Iblis dan watak yang rusak dengan segenap hatimu. Dengan pengalaman seperti itu selama enam bulan atau satu tahun, engkau akan benar-benar mampu mengenal dirimu sendiri, dan jika engkau kembali memperlihatkan watak yang congkak, engkau akan segera menyadarinya, dan engkau akan mampu memberontak terhadapnya dan membuangnya. Engkau akan mulai berubah, dan engkau akan mampu secara berangsur menyingkirkan watak congkakmu, dan bergaul secara normal dengan orang lain. Engkau akan mampu berbicara dengan jujur dan dari hati; engkau tidak akan lagi berbohong atau mengatakan hal-hal yang congkak. Bukankah itu berarti engkau telah memiliki sedikit nalar dan sedikit keserupaan dengan orang yang jujur? Bukankah engkau telah mendapatkan jalan masuk itu? Ini adalah saat engkau akan mulai mendapatkan sesuatu. Ketika engkau berlatih bersikap jujur dengan cara seperti ini, engkau akan mampu mencari kebenaran dan merenungkan dirimu sendiri, apa pun jenis watak congkak yang kauperlihatkan, dan setelah mengalami menjadi orang yang jujur dengan cara seperti ini selama beberapa waktu, tanpa disadari, engkau secara berangsur akan mulai memahami kebenaran dan firman Tuhan yang relevan tentang menjadi orang yang jujur. Dan ketika engkau menggunakan semua kebenaran itu untuk menganalisis watak congkakmu, akan ada pencerahan dan penerangan dari firman Tuhan di lubuk hatimu, dan hatimu akan mulai terasa makin dicerahkan. Engkau akan melihat dengan jelas kerusakan yang orang alami akibat wataknya yang congkak dan keburukan yang harus dijalaninya karena watak congkak tersebut, dan engkau akan mampu mengenali setiap keadaan rusak yang orang alami saat dia memperlihatkan watak yang congkak. Makin engkau menelaahnya, makin engkau akan melihat dengan jelas keburukan Iblis, dan makin engkau akan membenci Iblis. Dengan demikian, akan mudah bagimu untuk menyingkirkan watak congkakmu. Ketika pemahamanmu telah mencapai taraf ini, kebenaran yang relevan di dalam firman Tuhan akan menjadi sangat jelas bagimu, dan engkau akan memahami bahwa semua yang Tuhan tuntut dari manusia adalah apa yang seharusnya dimiliki dan dijalani oleh manusia yang memiliki kemanusiaan normal. Dengan pemahaman ini, menerapkan kebenaran tidak akan lagi terasa sulit bagimu. Sebaliknya, engkau akan yakin bahwa menerapkan kebenaran itu sepenuhnya wajar dan dapat dibenarkan, bahwa seperti itulah manusia seharusnya hidup. Pada saat itulah, engkau akan menerapkan firman Tuhan dan kebenaran secara spontan, positif, dan proaktif, dan pada saat yang sama, engkau akan makin mencintai kebenaran. Hal-hal positif dalam hatimu akan bertambah, dan pemahaman yang benar tentang Tuhan akan secara perlahan muncul. Itulah yang dimaksud dengan benar-benar memahami kebenaran. Engkau akan memiliki pandangan dan sudut pandang yang benar tentang segala hal, dan pemahaman yang sejati ini serta pandangan yang benar ini akan secara berangsur mengakar di dalam hatimu. Itulah yang dimaksud dengan telah masuk ke dalam kenyataan kebenaran—ini adalah sesuatu yang tak seorang pun mampu merenggut atau merampasnya darimu. Setelah engkau mengumpulkan hal-hal positif ini sedikit demi sedikit, engkau akan merasa sangat diperkaya di lubuk hatimu. Engkau tidak akan lagi merasa bahwa percaya kepada Tuhan itu tidak ada gunanya, dan perasaan hampa di hatimu akan lenyap. Setelah engkau merasakan betapa indahnya memahami kebenaran dan melihat terang dalam hidup manusia, iman yang sejati akan muncul dalam dirimu. Dan ketika engkau memiliki iman untuk mengalami pekerjaan Tuhan, dan melihat betapa nyata dan praktisnya mengejar kebenaran dan memperoleh keselamatan, engkau akan secara positif dan proaktif menerapkan dan mengalami firman Tuhan. Engkau akan mempersekutukan pengalaman dan pemahamanmu yang sebenarnya, dan dengan demikian memberi kesaksian tentang Tuhan dan membantu lebih banyak orang untuk mengetahui kuasa firman Tuhan dan manfaat kebenaran bagi manusia. Setelah itu barulah engkau akan makin yakin untuk menerapkan kebenaran dan melaksanakan tugasmu dengan baik—dan dengan melakukan itu, engkau telah benar-benar tunduk kepada Tuhan. Ketika engkau berbicara tentang kesaksian pengalamanmu yang sebenarnya, hatimu akan makin dicerahkan. Engkau akan merasa bahwa engkau memiliki lebih banyak jalan untuk menerapkan kebenaran, dan pada saat yang sama, engkau akan menyadari bahwa engkau memiliki begitu banyak kekurangan, bahwa ada begitu banyak kebenaran yang harus kauterapkan. Kesaksian pengalaman seperti itu tidak hanya bermanfaat dan mendidik kerohanian orang lain—tetapi engkau juga akan merasa bahwa engkau telah mendapatkan sesuatu ketika engkau mengejar kebenaran, dan bahwa engkau telah benar-benar menerima berkat Tuhan. Ketika seseorang mengalami pekerjaan Tuhan dengan cara seperti ini sampai dia mampu bersaksi bagi-Nya, itu bukan saja dapat membuat lebih banyak orang memahami watak rusak mereka, menyingkirkan belenggu, kendali, dan penderitaan yang diakibatkan oleh watak-watak tersebut, dan memampukan mereka untuk terlepas dari kekuasaan Iblis—tetapi itu juga dapat membuat orang makin yakin untuk menempuh jalan mengejar kebenaran dan disempurnakan. Bukankah pengalaman seperti itu menjadi kesaksian yang sejati? Itulah yang dimaksud dengan kesaksian yang sejati. Akankah orang yang mampu bersaksi bagi Tuhan seperti itu merasa bahwa percaya kepada-Nya adalah hal yang membosankan, sia-sia, atau hampa? Sama sekali tidak. Ketika seseorang mampu bersaksi bagi Tuhan dan ketika dia benar-benar mengenal Tuhan, lubuk hatinya dipenuhi dengan kedamaian dan sukacita, dan dia merasa diperkaya dan sangat tenang. Ketika orang hidup dalam keadaan dan alam seperti itu, adalah wajar jika dia tidak memaksakan dirinya untuk menderita, membayar harga, dan dikekang. Dia tidak memaksakan dirinya untuk hanya mendisiplinkan tubuhnya dan memberontak terhadap daging. Yang akan lebih banyak dilakukannya adalah dengan sungguh-sungguh mendapatkan pemahaman tentang watak rusaknya. Dia juga akan berusaha mengenal watak Tuhan, tentang apa yang Tuhan miliki dan siapa Dia, dan memahami apa yang harus orang lakukan untuk tunduk kepada Tuhan dan memuaskan-Nya. Dengan demikian, dia akan memahami maksud Tuhan dalam firman-Nya, dan menemukan prinsip untuk menerapkan kebenaran, daripada memikirkan perasaan sekilas di dalam dirinya. Misalnya, engkau tak mampu menahan diri ketika sesuatu terjadi, kehilangan kesabaran, suasana hatimu buruk, engkau marah lagi pada hari itu, engkau tidak melaksanakan tugasmu dengan baik atau tidak sesuai standar pada hari itu, atau hal-hal sepele semacam itu. Selama hal-hal ini tidak menghalangimu untuk menerapkan kebenaran, engkau tidak perlu mengkhawatirkannya. Engkau harus tetap fokus untuk membereskan watak rusakmu dan mencari cara penerapan dengan cara yang memuaskan Tuhan dan sesuai dengan maksud-Nya. Terapkanlah kebenaran dengan cara seperti ini, dan hidupmu akan bertumbuh dengan cepat, dan engkau akan memulai jalan mengejar kebenaran dan disempurnakan. Hatimu tidak lagi hampa; engkau akan memiliki iman yang sejati kepada Tuhan, dan engkau akan semakin tertarik dan semakin menghargai firman Tuhan dan kebenaran. Engkau akan semakin memahami maksud Tuhan dan tuntutan-Nya. Ketika orang mencapai taraf ini, dia telah sepenuhnya masuk ke dalam firman Tuhan dan kenyataan kebenaran.
Apa yang banyak orang sedang terapkan dan masuki saat ini bukanlah kenyataan kebenaran, melainkan mereka masuk ke dalam semacam keadaan, di mana mereka memperlihatkan perilaku yang terlihat baik di luarnya, dan mereka bersedia membayar harga, siap menderita, dan siap mengorbankan segalanya. Namun di lubuk hati, mereka tetap merasa hampa, dan tak ada apa pun dalam batin mereka yang dapat menyokong mereka. Mengapa itu tak dapat menyokong mereka? Karena mereka tidak memiliki jalan ketika sesuatu menimpa mereka; mereka mengandalkan angan-angan, dan mereka tidak memiliki prinsip untuk menerapkan kebenaran. Ketika mereka memperlihatkan watak yang rusak, mereka hanya mampu mengekang diri, mereka tidak mampu mencari kebenaran untuk membereskannya. Untungnya, daging manusia lama mereka memiliki kemampuan naluriah: daging mereka mampu menderita. Ada pepatah di kalangan orang tidak percaya yang berbunyi, "Tidak ada penderitaan yang tidak dapat ditanggung, yang ada hanyalah berkat yang tidak dapat dinikmati". Daging manusia memiliki kemampuan naluriah bawaan: dia tak mampu menikmati terlalu banyak berkat, tetapi mampu mengalami penderitaan apa pun, menanggungnya, dan mengekang diri. Apakah ini hal yang baik? Apakah ini adalah kelebihan ataukah kelemahan, kekurangan? Apakah pepatah mereka itu benar? (Tidak.) Itu tidak benar, dan jika sesuatu bukan kebenaran, itu adalah omong kosong. Pepatah itu hanyalah kata-kata kosong, itu tidak dapat membereskan masalahmu, juga tidak dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan nyatamu. Tepatnya, pepatah itu tidak dapat membereskan watak rusakmu. Jadi, tidak ada gunanya mengatakan pepatah itu. Meskipun engkau mungkin memiliki sedikit pengetahuan tentang pepatah itu, menyadarinya, dan telah mengalaminya secara mendalam, tetap saja itu tidak ada gunanya. Orang tidak percaya juga memiliki pepatah lainnya, seperti, "Aku tidak takut mati, jadi mengapa takut hidup?" dan "Jika musim dingin telah tiba, bukankah musim semi pun akan segera tiba?" Ini adalah pernyataan yang sangat bagus, bukan? Sangat inspiratif dan filosofis, bukan? Orang tidak percaya menyebut pepatah ini "sup ayam bagi jiwa kita". Apakah engkau semua menyukai pepatah-pepatah semacam ini? (Tidak.) Mengapa tidak? Ada orang-orang yang mungkin berkata, "Kami tidak menyukai pepatah-pepatah itu. Semua itu perkataan orang tidak percaya; kami menyukai firman Tuhan." Jika demikian, bagian firman Tuhan mana yang kausukai? Kalimat mana yang kauanggap sebagai kebenaran? Kalimat mana yang telah kaualami, terapkan, masuki, dan dapatkan? Tidak ada gunanya hanya tidak menyukai pepatah orang tidak percaya ini; engkau mungkin tidak menyukainya, tetapi engkau tak mampu mengenali dengan jelas esensi dari pepatah-pepatah tersebut. Apakah pepatah ini benar? (Tidak.) Benar atau tidak, perkataan orang tidak percaya tidak ada kaitannya dengan kebenaran. Meskipun orang-orang menganggap pepatah itu baik dan benar, semua itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan tidak setara dengan kebenaran. Semua pepatah itu melanggar dan memusuhi kebenaran. Orang tidak percaya tidak menerima kebenaran, jadi tak perlu berdebat dengan mereka tentang apa yang benar dan apa yang salah. Yang bisa kita lakukan hanyalah memperlakukan perkataan mereka sebagai omong kosong yang kacau, dan mengabaikannya. Apa artinya "omong kosong"? Itu artinya perkataan yang sama sekali tidak mendidik kerohanian atau berharga bagi orang, bagi kehidupan mereka, bagi jalan yang mereka tempuh, atau bagi keselamatan mereka. Semua pembicaraan seperti itu adalah omong kosong; itu juga bisa disebut kata-kata kosong. Itu tidak ada kaitannya dengan hidup dan mati manusia atau jalan yang mereka tempuh, dan itu adalah omong kosong yang sama sekali tidak dapat memberikan efek positif. Orang-orang mendengar kalimat seperti itu dan tetap menjalani hidup mereka seperti biasanya, seperti yang selalu mereka lakukan; kalimat seperti itu tidak akan mengubah fakta apa pun, karena itu bukanlah kebenaran. Hanya kebenaranlah yang mendidik kerohanian manusia; kebenaran memiliki nilai yang tak terukur. Mengapa Kukatakan ini? Karena kebenaran mampu mengubah nasib orang, dan mampu mengubah pemikiran dan pandangan mereka, dan apa yang ada dalam batin mereka. Yang terpenting, kebenaran mampu membereskan watak rusak manusia; kebenaran mampu mengubah natur seseorang, mengubah natur Iblisnya menjadi natur kebenaran—kebenaran mampu mengubah orang yang hidup berdasarkan watak rusaknya dan mengubah dirinya menjadi orang yang hidup berdasarkan kebenaran dan firman Tuhan. Ketika orang hidup dalam kenyataan kebenaran, dengan firman Tuhan sebagai landasannya, bukankah dengan demikian hidupnya berubah? Ketika hidupnya berubah, itu berarti pemikiran dan pandangannya telah berubah; itu berarti sudut pandang, sikap, dan pandangannya tentang orang dan hal-hal telah berubah; itu berarti sikap dan pandangannya terhadap peristiwa dan hal-hal berbeda dari sebelumnya. Pepatah dari orang-orang tidak percaya itu semuanya adalah kata-kata kosong dan omong kosong. Pepatah-pepatah itu tidak dapat menyelesaikan masalah apa pun. Pepatah yang baru saja Kukatakan—"Tidak ada penderitaan yang tidak dapat ditanggung, yang ada hanyalah berkat yang tidak dapat dinikmati"—bukankah itu adalah omong kosong dan kata-kata kosong? (Ya.) Engkau mampu menderita—memangnya kenapa? Engkau bukan menderita agar dapat memperoleh kebenaran; engkau menderita agar dapat menikmati gengsi dan status. Penderitaanmu tidak memiliki nilai atau tidak bermakna sama sekali. Lihatlah faktanya: engkau telah sangat menderita dan membayar harga yang begitu mahal, tetapi engkau tetap tidak mengenal dirimu sendiri, dan bahkan tidak mampu memahami pemikiran dan gagasan yang muncul dari watak rusakmu, engkau juga tidak mampu membereskannya. Jadi menurutmu, dapatkah engkau memiliki jalan masuk kehidupan? Apakah penderitaanmu bernilai? Penderitaanmu sama sekali tidak memiliki nilai. Penderitaan beberapa orang memiliki nilai. Misalnya, penderitaan yang orang alami agar dapat memperoleh kebenaran adalah penderitaan yang bernilai: setelah orang memperoleh kebenaran, dia akan mampu mendidik kerohanian dan membekali orang lain. Banyak orang menderita dan membayar harga untuk mengabarkan Injil, membantu menyebarluaskan pekerjaan gereja dan rumah Tuhan, dan mengabarkan Injil Kerajaan Surga. Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa siapa pun yang menderita dan membayar harga untuk memperoleh kebenaran dan memuaskan Tuhan akan mendapatkan sesuatu darinya. Orang-orang ini akan mendapatkan perkenanan Tuhan. Namun, ada orang-orang yang tidak mengejar kebenaran, dan meskipun mereka mengorbankan diri dan menderita bagi Tuhan, dan menerima kebaikan-Nya, kebaikan tersebut tak lebih daripada belas kasihan dan kesabaran Tuhan dan cerminan dari kebaikan yang Dia perlihatkan kepada manusia, serta kasih karunia yang Dia anugerahkan kepada manusia. Kasih karunia seperti apa? Sedikit berkat materi—tak lebih dari itu. Apakah itu yang kauinginkan? Apakah itu tujuan akhirmu ketika percaya kepada Tuhan? Kurasa tidak. Sejak hari ketika engkau mulai percaya kepada Tuhan, apakah engkau hanya mengharapkan kebaikan-Nya, perlindungan-Nya, dan sedikit berkat materi yang Dia anugerahkan? Apakah hal-hal itu yang kauinginkan? Apakah itu yang kaukejar dalam kepercayaanmu kepada Tuhan? (Tidak.) Dapatkah hal-hal ini membereskan masalah keselamatanmu? (Tidak.) Tampaknya engkau semua berpikir cukup jernih. Engkau memahami apa yang krusial dan apa yang penting. Engkau tidak bingung. Engkau tahu apa yang memiliki bobot dan apa yang tidak. Namun, apakah engkau dapat memulai jalan mengejar kebenaran atau tidak, belum bisa dipastikan.
Percaya kepada Tuhan bukanlah tentang mendapatkan kasih karunia atau kesabaran dan belas kasihan Tuhan. Lalu, tentang apakah percaya kepada Tuhan itu? Percaya kepada Tuhan adalah tentang diselamatkan. Jadi, apa tandanya orang diselamatkan? Apa standar yang dituntut oleh Tuhan? Apa syarat untuk diselamatkan? Syaratnya, orang harus membereskan watak rusaknya. Inilah inti masalahnya. Jadi, pada akhirnya, sebanyak apa pun penderitaanmu atau sebesar apa pun harga yang telah kaubayar, atau sesering apa pun engkau berkata bahwa engkau adalah orang percaya sejati—jika, pada akhirnya, watak rusakmu sama sekali belum dibereskan, itu berarti engkau bukanlah orang yang mengejar kebenaran. Atau dapat dikatakan, karena engkau tidak mengejar kebenaran, watak rusakmu belum dibereskan. Ini berarti engkau sama sekali belum mulai menempuh jalan keselamatan; ini berarti semua yang Tuhan katakan dan semua pekerjaan yang Dia lakukan untuk menyelamatkan manusia tidak menghasilkan apa pun di dalam dirimu, tidak menghasilkan kesaksian darimu, dan tidak menghasilkan buah di dalam dirimu. Tuhan akan berkata, "Karena engkau telah menderita dan membayar harga, Aku telah memberimu kasih karunia, berkat, pemeliharaan, dan perlindungan yang layak kaudapatkan dalam hidup ini dan di dunia ini. Namun, engkau tidak dapat menerima apa yang layak diterima manusia setelah diselamatkan. Mengapa demikian? Itu karena Aku telah menganugerahkan kepadamu apa yang layak kauterima dalam hidup ini dan di dunia ini; tetapi mengenai apa yang layak diterima manusia setelah keselamatan, tidak ada apa pun yang diberikan kepadamu, karena jalan yang kautempuh bukanlah jalan mengejar kebenaran." Engkau tidak termasuk di antara mereka yang akan diselamatkan, engkau belum menjadi makhluk ciptaan sejati, dan Tuhan tidak menginginkanmu. Tuhan tidak menginginkan orang yang hanya bekerja, sibuk mengerjakan banyak hal, menderita, dan membayar harga bagi-Nya, yang hanya sedikit percaya dan memiliki sedikit iman, dan tidak lebih dari itu. Orang-orang semacam itu dapat ditemukan di mana-mana di dalam kelompok orang-orang yang percaya kepada-Nya. Dengan kata lain, ada begitu banyak dari mereka yang bekerja dan berjerih lelah bagi Tuhan, yang jumlahnya tak terhitung. Jika mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan dan dipilih Tuhan dari semula, yang telah dibawa kembali ke rumah Tuhan oleh Tuhan, maka pasti tak seorang pun dari mereka akan menolak untuk bekerja dan berjerih lelah bagi-Nya. Mengapa demikian? Karena itu sangat mudah dilakukan. Inilah sebabnya ada begitu banyak orang yang berjerih lelah dan bekerja keras bagi Tuhan. Bahkan ada antikristus dan orang jahat yang juga mampu melakukannya, seperti Paulus. Bukankah ada terlalu banyak orang seperti Paulus? (Ya.) Jika engkau pergi ke sebuah gereja dan berkhotbah dengan cara seperti ini—"Asalkan kita mau sibuk mengerjakan banyak hal, menderita, dan membayar harga untuk Tuhan, maka mahkota kebenaran akan menunggu kita"—menurutmu, akan banyakkah orang yang menanggapi panggilanmu? Pasti banyak. Namun sayangnya, pada akhirnya, orang-orang ini bukanlah orang yang akan Tuhan selamatkan atau yang dapat diselamatkan. Orang-orang semacam itu hanya berlama-lama pada tahap bekerja; mereka hanya bersedia berjerih lelah bagi Tuhan. Dengan kata lain, orang-orang ini hanya bersedia menukarkan kerja keras mereka dengan keberuntungan dari Tuhan, untuk mendapatkan kasih karunia dan berkat-berkat-Nya. Mereka tidak ingin mengubah cara mereka untuk bertahan hidup, atau cara hidup mereka, atau landasan yang mereka andalkan untuk bertahan hidup; mereka tidak mau menerima penghakiman dan hajaran Tuhan untuk mengubah watak rusak mereka atau mengejar kebenaran untuk diselamatkan. Tentu saja, engkau juga dapat menganggap orang-orang ini hanya bersedia untuk menderita dan membayar harga, hanya bersedia untuk meninggalkan dan menyerahkan semua yang mereka miliki, hanya berupaya sebisa mungkin untuk mengorbankan diri mereka, berapa pun harganya, dan hanya bersedia untuk bekerja keras dengan cara apa pun—tetapi jika engkau meminta mereka untuk mengenal diri mereka sendiri, menerima kebenaran, membereskan watak rusak mereka, memberontak terhadap daging, menerapkan kebenaran, dan membuang kejahatan mereka serta berbalik kepada Tuhan, seperti yang dilakukan orang Niniwe, dan mengindahkan firman-Nya, dan hidup berdasarkan firman-Nya, itu akan sangat sulit bagi mereka. Bukankah demikian? (Ya.) Bukankah ini sangat merepotkan? Tuhan telah melakukan begitu banyak pekerjaan dan mengucapkan begitu banyak firman, jadi mengapa orang merasa bahwa mengejar kebenaran begitu sulit? Mengapa mereka selalu bersikap apatis terhadap kebenaran? Bahkan setelah mendengar khotbah selama bertahun-tahun, mereka tetap tidak berniat untuk berubah. Mereka tidak pernah sungguh-sungguh bertobat kepada Tuhan di lubuk hati mereka, mereka juga tidak pernah benar-benar mengakui atau menerima fakta bahwa mereka memiliki watak yang rusak. Baik dalam tindakan maupun pandangan mereka tentang segala sesuatu, mereka tidak pernah melepaskan sudut pandang mereka sendiri dan mencari kebenaran; mereka tidak memperlakukan setiap masalah dengan sikap yang membalikkan sudut pandang mereka dan sikap yang bertobat kepada Tuhan. Jadi, ada banyak orang yang sudah banyak mengalami dan melakukan banyak pekerjaan, yang sudah cukup lama melaksanakan tugas mereka, tetapi masih belum bisa memberikan kesaksian sedikit pun. Mereka masih belum memiliki pemahaman atau pengalaman tentang firman Tuhan, dan ketika mereka berbicara tentang pengalaman dan pemahaman mereka tentang firman Tuhan, mereka sangat malu dan tak berdaya, dan mereka tampak sangat kikuk. Alasannya adalah karena mereka tidak memiliki pemahaman tentang kebenaran atau mereka tidak tertarik pada kebenaran. Di sisi lain, bekerja keras sangat sederhana, sangat mudah. Jadi, semua orang bersedia berjerih lelah bagi Tuhan, tetapi mereka tidak memilih untuk mengejar kebenaran.
Sekarang, setelah mendengar penjelasan itu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Kita telah membahas begitu banyak; bukankah seharusnya kita mendefinisikan apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Dapatkah engkau semua mendefinisikannya? Definisinya seharusnya cukup sederhana, bukan? Akankah kaudapatkan definisinya jika engkau hanya merenungkan, memikirkan, dan mempertimbangkan kata-katanya? Mungkin ada orang-orang yang akan berkata, "Mengejar kebenaran adalah topik yang luas. Itu tidak dapat diterangkan dengan jelas hanya dalam beberapa kalimat. Aku tidak tahu harus berkata apa tentang hal itu. Kata-kata apa yang bisa menggambarkannya? Mengejar kebenaran adalah masalah besar, dan tidak ada kata-kata terhebat sekalipun yang cukup untuk menggambarkan dan mendefinisikannya dengan tepat—itulah satu-satunya cara untuk benar-benar mengesankan semua orang!" Apakah menurutmu begitulah cara mendefinisikannya? (Tidak.) Jika demikian, definisikan mengejar kebenaran dalam bahasa sehari-hari. (Mengejar kebenaran berarti menggunakan kebenaran untuk membereskan watak rusak kita.) Apakah itu memenuhi syarat sebagai definisi? Apakah engkau sedang menarik kesimpulan dengan definisi ini? Apakah mengejar kebenaran mudah untuk didefinisikan? Mendefinisikannya bukanlah tugas yang mudah; engkau harus berupaya keras untuk merenungkannya. Apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Mari kita coba mendefinisikannya, ya? Di antara bahasa manusia, bahasa yang terbaik adalah bahasa yang sederhana, bahasa sehari-hari, dan bahasa yang relevan dengan kehidupan nyata. Kita tidak akan berbicara dalam bahasa asing atau dengan kata-kata yang sulit dimengerti. Kita akan berbicara dalam bahasa sehari-hari orang biasa, dengan cara yang fasih, bahasa sehari-hari yang mudah dipahami, sehingga orang dapat segera memahami apa yang kita katakan. Selain anak di bawah umur, atau orang yang terlalu bodoh atau terganggu secara mental, setiap orang dewasa yang berpikir normal akan mampu memahami bahasa yang kita gunakan segera setelah mereka mendengarnya. Itulah yang dimaksud dengan bahasa percakapan; itulah yang disebut bahasa sehari-hari. Jadi, apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Mengejar kebenaran adalah memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, sesuai dengan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya—itulah yang dimaksud dengan mengejar kebenaran. Seperti itulah definisi yang tepat dari mengejar kebenaran. Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Jawabannya: Memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya. Itulah definisi mengejar kebenaran. Sederhana, bukan? Beberapa dari antaramu mungkin berkata, "Selama ini Engkau mempersekutukan apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran, padahal definisinya hanya satu kalimat itu. Sesederhana itukah?" Ya, sesederhana itu. Ini adalah definisi yang sangat sederhana, tetapi menyentuh begitu banyak topik terkait—dan topik terkait itu semuanya menyentuh topik tentang mengejar kebenaran. Topik-topik ini membahas kesulitan manusia, pemikiran dan sudut pandang manusia, serta semua alasan, pembenaran diri, cara, dan sikap manusia yang tak terhitung banyaknya untuk mengejar kebenaran. Ada juga topik tentang penentangan manusia untuk mengejar kebenaran dan penolakan untuk melakukannya, yang disebabkan oleh watak rusak manusia. Tentu saja, hal-hal yang telah Kuberitahukan kepadamu—beberapa jalan dan langkah untuk mengejar kebenaran, cara orang mengejar kebenaran, hasil yang dicapai dengan mengejar kebenaran, dan kenyataan kebenaran yang dapat terlihat dalam diri orang-orang yang hidup dalam kebenaran—hal-hal ini juga menyentuh topik tentang mengejar kebenaran. Hasil akhir dari mengejar kebenaran adalah kesaksian pengalaman tentang firman Tuhan dan pekerjaan Tuhan untuk menyelamatkan manusia yang muncul ketika orang mengejar kebenaran dan menerapkan serta mengalami firman-Nya. Ini adalah hasil terbaik. Salah satu ciri dari kesaksian semacam itu adalah kesaksian itu mempersaksikan hasil pekerjaan Tuhan; ciri lainnya adalah kesaksian itu mempersaksikan efek positif yang dapat dilihat dalam diri orang-orang yang telah mengejar kebenaran, yaitu watak rusak mereka telah dibereskan, dalam taraf berbeda. Misalnya, seseorang yang sebelumnya sangat congkak, sewenang-wenang, ceroboh, dan berbuat sekehendak hati dalam tindakan mereka, memahami bahwa ini adalah watak yang rusak dengan membaca firman Tuhan, dan kemudian menerimanya dan mengakuinya. Lambat laun, dia mulai memahami kerugian yang ditimbulkan oleh watak rusak ini terhadap orang lain dan terhadap dirinya sendiri: di satu sisi, itu berbahaya bagi orang, dan di sisi lain, itu mengganggu, mengacaukan, dan merugikan pekerjaan gereja. Ini adalah sebagian hasil dari watak rusak yang dibereskan; ini adalah sesuatu yang orang itu pelajari ketika dia memahami firman Tuhan. Selain itu, berdasarkan penyingkapan firman Tuhan, dia mengakui watak rusaknya, dan kemudian, dalam situasi yang diatur oleh Tuhan, dia secara berangsur mulai bertobat, dan melepaskan gaya hidup dan sudut pandang dari tingkah laku dan tindakan yang pernah dia pegang. Dia menemukan prinsip dan jalan penerapan di dalam firman Tuhan dan dia menangani masalah berdasarkan prinsip penerapan yang telah Tuhan berikan kepadanya. Ini artinya orang tersebut benar-benar telah bertobat dan berbalik. Dia mampu berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan, dan pada akhirnya, dia mulai mencari prinsip-prinsip kebenaran setiap kali dia bertindak, dan dia hidup dalam sebagian kenyataan dengan menggunakan firman Tuhan sebagai landasannya. Inilah contoh membereskan watak yang congkak. Hasil akhir yang dicapai oleh pemberesan watak ini adalah orang tersebut tidak lagi hidup dalam kecongkakan; melainkan dia sekarang memiliki hati nurani dan nalar, dia mampu mencari prinsip-prinsip kebenaran dan benar-benar tunduk pada kebenaran; apa yang dia lakukan dan kehidupan yang dijalaninya tidak lagi didominasi oleh watak rusak dirinya, sebaliknya dia menggunakan kebenaran sebagai standar, dan dia hidup dalam kenyataan firman Tuhan—itulah hasilnya. Bukankah hasil inilah yang dicapai karena mengejar kebenaran? (Ya.) Hasil seperti inilah yang terwujud dalam diri orang yang mengejar kebenaran. Dan bagi Tuhan, hidup dengan cara ini adalah kesaksian sejati tentang Dia dan pekerjaan-Nya; itu adalah hasil yang dicapai ketika makhluk ciptaan menjalani penghakiman, hajaran, dan penyingkapan firman Tuhan. Itu adalah kesaksian yang sejati, dan itu adalah hal yang mulia bagi Tuhan. Bagi manusia, tentu saja, itu bukanlah hal yang mulia; itu hanya bisa disebut sebagai hal yang terhormat dan membanggakan, dan itu adalah kesaksian yang harus dimiliki dan dihidupi oleh makhluk ciptaan setelah mengalami pekerjaan Tuhan. Ini adalah efek positif yang dicapai dalam diri seseorang yang mengejar kebenaran. Tuhan juga menghormati pengalaman dan pemahaman seperti itu, dan kehidupan yang orang-orang ini jalani sebagai hasil adalah karena pekerjaan-Nya. Bagi-Nya, kesaksianlah yang menyerang balik Iblis dengan kekuatan besar. Inilah yang Tuhan cintai dan yang Dia hargai.
Kita baru saja mendefinisikan apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran. Melalui definisi ini, sudahkah pandanganmu tentang apa artinya mengejar kebenaran semakin mendekati kenyataan? (Ya.) Sekarang kita telah mendefinisikan mengejar kebenaran dengan cara yang engkau semua pahami, bagaimana seharusnya engkau memandang pengejaranmu sebelumnya? Mungkin saja sebagian besar darimu bukanlah orang yang mengejar kebenaran. Perkataan ini mungkin agak menjengkelkan untuk kaudengar, bukan? Bacalah definisinya sekali lagi. (Apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Jawabannya: Memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya.) Kini engkau semua dapat mengucapkannya dengan akurat. Mari kita renungkan lebih lanjut, apakah definisi itu benar? (Ya.) Jika engkau mengukur pengejaran dan penerapanmu sebelumnya berdasarkan definisi ini, apa hasilnya? Engkau akan mampu memahami apakah saat ini engkau memiliki kenyataan kebenaran atau tidak, dan engkau akan mampu memverifikasi apakah tindakanmu saat ini adalah mengejar kebenaran atau bukan. Ini bukan cara yang abstrak untuk mengucapkannya, bukan? Ini adalah bahasa sehari-hari yang cukup lazim, bukan? (Ya.) Ini adalah bahasa umum yang dapat dipahami oleh orang biasa mana pun. Meskipun definisi ini tampak cukup mudah untuk dipahami, orang memiliki masalah. Masalah apakah itu? Bahwa begitu mereka memahami definisi tersebut, mereka merasa tidak nyaman dan kesal. Mengapa mereka merasa kesal? Karena mereka merasa bahwa penderitaan masa lalu mereka dan harga yang telah mereka bayar telah dikutuk, bahwa mereka telah mengerahkan diri dengan sia-sia, dan ini membuat mereka merasa tidak nyaman. Sebagian orang, setelah mendengar definisi ini, akan berkata, "Oh—jadi itu definisi mengejar kebenaran. Jika kami mengikuti definisi itu, bukankah semua harga yang telah kami bayar dan semua pengorbanan kami di masa lalu menjadi sia-sia? Jika Engkau tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran, kami pasti akan terus menganggap bahwa pengejaran kami sudah baik; sekarang setelah Engkau memberikan definisi ini, bukankah pengejaran kami dan harga yang telah kami bayar semuanya sia-sia? Bukankah semua impian kami untuk dimahkotai dan diberi upah telah hancur? Ketika kami memahami kebenaran, kami seharusnya diberkati dan impian kami menjadi kenyataan, jadi mengapa kami dihakimi setelah kami memahami kebenaran? Mengapa kami hidup tanpa harapan dalam kegelapan? Masa lalu dan masa kini kami telah dikutuk, dan tidak ada yang tahu seperti apa masa depan kami. Sepertinya kami tidak memiliki harapan untuk diberkati." Benarkah itu? Apakah benar bagi orang untuk memikirkannya dengan cara seperti ini? (Tidak.) Jadi, bolehkah orang memikirkannya dengan cara seperti ini? (Tidak.) Tidak boleh. Namun, ada satu hal yang baik tentang hal ini: engkau dapat berulang kali mendoa-bacakan definisi mengejar kebenaran ini, kemudian melihat kembali ke masa lalumu, melihat ke masa kini, dan menantikan masa depanmu. Engkau mungkin merasa kesal, tetapi dengan adanya perasaan itu berarti engkau tidak mati rasa. Engkau tahu cara memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa depanmu, dan engkau tahu cara membuat rencana untuk masa depanmu, dan memikirkannya, mengkhawatirkannya, dan gelisah karenanya. Itu adalah hal yang baik. Itu membuktikan bahwa engkau masih hidup, bahwa engkau adalah orang yang hidup, dan bahwa hatimu belum mati. Yang mengkhawatirkan adalah jika seseorang tetap apatis terhadap apa pun yang dikatakan kepadanya atau sejelas apa pun jalan mengejar kebenaran dipersekutukan kepadanya. Dia berpikir, "Inilah jati diriku; memangnya kenapa jika aku diberkati atau bencana menimpaku? Hakimilah aku, hukumlah aku—lakukan apa pun yang Kausuka!" Apa pun yang dikatakan kepadanya, dia mati rasa. Itu adalah masalah. Apa yang Kumaksud dengan masalah? Itu berarti, bagaimanapun engkau menyampaikan persekutuan tentang kebenaran kepadanya, dia tidak akan memahaminya; dia adalah orang mati yang tidak memiliki roh. Dia sama sekali tidak memahami tentang hal-hal seperti percaya kepada Tuhan, mengejar kebenaran, diselamatkan, atau pekerjaan Tuhan untuk menyelamatkan manusia, dan dia tidak memahami hal-hal semacam itu. Ini seperti berusaha mengajari orang yang buta nada untuk bernyanyi, atau mengajari orang buta warna untuk memadukan warna: itu sama sekali tidak mungkin. Mempersekutukan hal-hal ini tidak memiliki makna atau nilai apa pun baginya, karena apa pun yang kaukatakan, baik itu dalam atau dangkal, baik spesifik atau luas, tidak ada bedanya—dia tidak akan merasakan apa pun. Dia seperti orang buta yang memakai kacamata, entah dia memakai kacamata itu atau tidak, itu tidak memengaruhi penglihatannya. Ada orang-orang yang sering berkata, "Jika musim dingin telah tiba, bukankah musim semi pun akan segera tiba?" dan "Aku tidak takut mati, jadi mengapa takut hidup?" dan "Saat kujentikkan jariku, tak ada segumpal awan pun yang akan kusingkirkan". Semua ini adalah perkataan dari orang mati tanpa roh yang menganggap diri mereka sangat cerdas. Istilah rohaninya, mereka tidak memiliki pemahaman rohani. Orang yang tidak memiliki pemahaman rohani adalah orang mati, bahkan ketika mereka masih hidup. Dapatkah orang mati memahami perkataan orang yang hidup? Mereka berpikir, "Semua pembicaraan tentang mengejar kebenaran, dan pandangan orang tentang orang dan hal-hal, serta tingkah laku dan tindakan seseorang—apa kaitannya denganku? Aku tidak takut mati, jadi mengapa takut hidup?" Siapa pun yang berpikir seperti ini sudah tamat riwayatnya. Mereka adalah salah satu dari orang mati. Seperti itulah definisi mengejar kebenaran. Apa pun niat atau rencana yang kaumiliki untuk jalan masa depanmu setelah membaca definisi ini, atau bagaimanapun engkau akan berubah, semuanya tergantung pada pengejaran pribadimu. Semua ini adalah perkataan yang harus Kukatakan dan pekerjaan yang harus Kulakukan. Aku telah mengatakan semua yang perlu Kukatakan, dan aku telah mengatakan semua yang harus Kukatakan. Jika engkau benar-benar mencintai kebenaran dan memiliki keinginan untuk mengejarnya, sebaiknya engkau menggunakan definisi mengejar kebenaran yang telah Kuberikan ini sebagai tujuan dan arah bagi pengejaranmu dalam hal bagaimana engkau semua biasanya memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, atau menggunakannya sebagai sebuah referensi, sehingga dengan demikian engkau dapat secara berangsur masuk ke dalam kenyataan firman Tuhan dan kenyataan kebenaran. Jika engkau melakukannya, maka dalam waktu dekat, engkau pasti akan mendapatkan hasil di jalan mengejar kebenaran. Sebagian orang mungkin berkata, "Tidak ada kata terlambat untuk mengejar kebenaran." Ini tidak akurat—Jika pekerjaan Tuhan telah berakhir, sudah terlambat bagimu untuk mengejar kebenaran. Bagaimana seharusnya pernyataan ini dijelaskan? Mengejar kebenaran harus dilakukan sebelum pekerjaan Tuhan berakhir. Dengan kata lain, pernyataan ini berlaku sebelum Tuhan telah membunyikan bel untuk menandakan bahwa pekerjaan-Nya telah berakhir. Namun, jika pekerjaan Tuhan telah berakhir, dan Dia berkata, "Aku tidak akan lagi melakukan pekerjaan menyelamatkan manusia, dan Aku tidak akan lagi mengucapkan firman untuk membantu orang memperoleh keselamatan atau mengucapkan firman yang berkaitan dengan keselamatan manusia. Aku tidak akan lagi membicarakan hal-hal semacam itu," berarti pekerjaan-Nya sudah benar-benar berakhir. Jika engkau menunggu sampai saat itu baru mengejar kebenaran, itu akan benar-benar terlambat. Apa pun yang terjadi, jika engkau mulai mengejar kebenaran sekarang, engkau masih punya waktu—engkau masih memiliki kesempatan untuk memperoleh keselamatan. Mulai sekarang, berusahalah sekuat tenagamu untuk secara berangsur memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarmu. Berusahalah membaca dan memahami semua firman Tuhan yang menyingkapkan watak rusak manusia sesegera mungkin, dan berlatihlah merenungkan dan mengenal dirimu sendiri. Melakukan hal itu sangat bermanfaat bagi jalan masuk kehidupanmu. Misalnya, katakanlah di antara firman Tuhan yang menyingkapkan watak rusak manusia, ada yang menyinggung tentang watak antikristus. Bukankah itu firman yang paling mendasar? (Ya.) Dan apa yang seharusnya kaulakukan dengan firman itu sebagai landasanmu? Menghukum dirimu sendiri? Mengutuk dirimu sendiri? Membuang masa depan dan nasibmu? Tidak—engkau harus menggunakannya untuk memahami watak rusakmu. Jangan berusaha melarikan diri dari hal ini. Ini adalah sebuah titik waktu yang harus dilewati semua orang. Apa maksudnya semua orang harus melewatinya? Seperti halnya semua orang yang dilahirkan dari seorang ayah dan ibu, lalu bertumbuh dewasa, lalu menjadi tua, kemudian mati. Ini adalah titik-titik waktu yang harus dilewati semua orang satu per satu. Seberapa pentingnya mengejar kebenaran? Mengejar kebenaran sama pentingnya dengan makanan dan minuman sehari-hari manusia. Jika engkau berhenti makan dan minum setiap hari, tubuhmu tidak mampu tetap hidup; hidupmu tidak bisa berlanjut. "Berdasarkan firman Tuhan" artinya engkau harus memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, yang kemudian menghasilkan sudut pandang, cara, dan penerapanmu. Tentu saja, "berdasarkan firman Tuhan" juga berarti "dengan kebenaran sebagai standarnya". Jadi, dalam definisi mengejar kebenaran, "berdasarkan firman Tuhan" sebenarnya sudah cukup. Mengapa "dengan kebenaran sebagai standarnya" harus ditambahkan? Karena ada beberapa masalah khusus yang tidak disebutkan dalam firman Tuhan. Dalam kasus seperti itu, engkau harus mencari prinsip-prinsip kebenaran, dan memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, di dalam prinsip-prinsip itu. Dengan melakukan itu, engkau pasti akan mencapai akurasi mutlak. Sebelum mencapai akurasi mutlak, orang harus memahami watak rusak mereka dan mengakui penyingkapan kerusakan dan esensi kerusakannya sendiri. Setelah itu, dia harus sungguh-sungguh bertobat, dan dengan demikian sungguh-sungguh berbalik. Setiap proses dalam rangkaian ini sangat diperlukan, sama seperti ketika seseorang makan: makanan harus dimasukkan ke dalam mulutnya, dan kemudian harus melewati kerongkongannya, lalu masuk ke dalam perutnya, setelah itu dicerna dan diserap oleh tubuhnya. Baru setelah itulah makanan yang telah diserap tersebut secara berangsur dapat masuk ke dalam darahnya dan menjadi nutrisi yang tubuhnya butuhkan. Orang-orang mengejar kebenaran dan menjadikannya sebagai standar mereka, setelah itu barulah mereka mampu menerapkan kebenaran, dan hidup di dalamnya, dan masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Setiap proses normal dalam urutan ini sangat diperlukan; semuanya adalah langkah-langkah wajib yang harus dilakukan oleh semua orang yang mengejar kebenaran dalam hal mengejar unsur kebenaran apa pun. Sebagian orang mungkin berkata, "Untuk mengejar kebenaran, aku tidak membutuhkan langkah dan proses itu. Aku hanya akan langsung mencari kebenaran dan kemudian menerapkannya, lalu membuat kebenaran menjadi kenyataanku." Itu adalah pemahaman yang sederhana, tetapi jika itu dapat membuahkan hasil, maka tentu saja itu adalah cara yang lebih baik. Ini memperlihatkan bahwa engkau telah mengumpulkan banyak pemahaman dan kesuksesan tertentu sementara secara teratur mulai memahami watak rusakmu, sehingga engkau dapat melewatkan proses memeriksa, memahami, menerima, bertobat, dan sebagainya, dan langsung mencari prinsip-prinsip kebenaran. Agar seseorang dapat langsung mencari prinsip-prinsip kebenaran, dia harus memiliki tingkat pertumbuhan tertentu. Apa maksudnya memiliki tingkat pertumbuhan seperti itu? Itu berarti dia memiliki pemahaman yang benar tentang watak rusaknya, dan ketika dia tidak memahami kebenaran tentang sesuatu yang menimpanya, dia tidak perlu lagi mengenal dirinya sendiri, atau bertobat, atau berbalik. Yang perlu dia lakukan hanyalah langsung memperoleh pemahaman tentang prinsip-prinsip kebenaran, dan kemudian menerapkannya berdasarkan pemahaman itu. Itu sudah cukup. Ini bukan tingkat pertumbuhan dari orang biasa. Seseorang yang memiliki tingkat pertumbuhan seperti itu setidaknya telah mengalami proses dirinya dihakimi, dihajar, didisiplinkan, dan diuji oleh Tuhan dengan keras. Dia telah tunduk kepada-Nya dan telah berada dalam proses untuk disempurnakan. Orang-orang semacam itu tidak membutuhkan proses seperti memahami kerusakan mereka, kemudian mengakuinya, bertobat, dan berbalik. Jadi, bagaimana denganmu? Apakah sebagian besar darimu harus memulai dengan mengenal dirimu sendiri? Jika engkau tidak mengenal dirimu sendiri, engkau tidak akan diyakinkan, dan tidak akan mudah bagimu untuk menerima kebenaran, dan engkau juga tidak akan mampu sungguh-sungguh bertobat. Jika engkau tidak sungguh-sungguh bertobat, dapatkah engkau tunduk pada kebenaran? Dapatkah engkau tunduk kepada Tuhan? Tentu saja tidak, dan jika engkau tak dapat tunduk, engkau bukanlah orang yang akan diselamatkan.
Setelah persekutuan ini, apakah kini engkau semua memiliki sedikit jalan untuk mengejar kebenaran? Apakah engkau memiliki keyakinan untuk mengejarnya? (Ya.) Itu bagus; akan mengkhawatirkan jika engkau tidak memiliki keyakinan. Mungkin ada beberapa dari antaramu yang merasa negatif setelah mendengar khotbah ini. "Wah, kualitasku buruk. Aku mendengarkan khotbah, tetapi tak mampu memahaminya; Aku hanya memahami sedikit doktrin. Sepertinya pemahaman rohaniku sedikit. Aku merasa tak bersemangat dalam mengejar kebenaran. Dalam melaksanakan tugasku, yang bisa kulakukan hanyalah sedikit bekerja keras. Aku memiliki terlalu banyak kekurangan dan penuh dengan watak yang rusak. Kurasa watakku tidak bisa diubah. Memang begitulah adanya. Menjadi pekerja sudah cukup bagiku." Dapatkah seseorang dengan pikiran negatif seperti ini memulai jalan mengejar kebenaran? Tampaknya agak berbahaya, karena pemikiran negatif inilah yang membentuk penghalang besar baginya untuk mengejar kebenaran. Jika dia tidak membereskan pemikiran negatif ini, dia tidak akan mampu menempuh jalan mengejar kebenaran, betapapun baiknya jalan itu. Sebagian orang telah gagal dan jatuh berkali-kali di jalan mengejar kebenaran, dan akhirnya mereka putus asa: "Cukup—aku tak perlu lagi mengejar kebenaran. Bukan takdirku untuk diberkati. Bukankah Tuhan sendiri pernah berkata: 'Apakah engkau memiliki wajah seorang yang bisa memperoleh berkat?' Refleksi di cermin memperlihatkan kepadaku bahwa penampilanku rata-rata, dengan mata yang lesu dan bentuk wajah yang tidak proporsional, tanpa sedikit pun perbaikan. Dilihat dari sudut manapun, tetap saja aku tidak terlihat seperti orang yang diberkati. Jika Tuhan tidak menentukannya sejak semula, orang dapat mengejar sebanyak yang dia suka, dan itu tidak akan ada gunanya!" Lihatlah mentalitas orang-orang ini: dengan begitu banyaknya hal buruk di dalam hati mereka yang belum dibereskan, bagaimana mungkin mereka memulai jalan mengejar kebenaran? Mengejar kebenaran adalah hal terbesar dalam hidup, dan hal terburuk yang dapat kaulakukan adalah selalu mengaitkannya dengan mendapatkan berkat. Orang harus terlebih dahulu membereskan niatnya untuk mendapatkan berkat. Setelah itu, mengejar kebenaran akan berjalan sedikit lebih lancar. Dalam hal mengejar kebenaran, hal yang terpenting adalah tidak memandang pada apakah ada banyak orang di jalan ini atau tidak, dan tidak mengikuti apa yang dipilih mayoritas, tetapi hanya berfokus pada upaya untuk memenuhi tuntutan Tuhan, dengan meneladani Petrus. Yang terpenting adalah melihat masa kini dengan jelas dan hidup di dalamnya, memahami watak rusak apa yang saat ini diperlihatkan olehmu, dan segera mencari kebenaran untuk membereskannya, pertama-tama telaah dan pahami watak rusakmu secara menyeluruh, dan kemudian bertobatlah kepada Tuhan. Ketika engkau bertobat, menerapkan kebenaran adalah hal yang terpenting—itu adalah satu-satunya cara untuk memperoleh hasil yang nyata. Jika engkau hanya berkata kepada Tuhan, "Tuhan, aku mau bertobat. Maafkan aku. Aku salah. Kumohon maafkan aku!" dan mengira hanya inilah yang perlu kaulakukan untuk mendapatkan perkenanan Tuhan, apakah itu akan berhasil? (Tidak.) Jika engkau selalu ingin berkata kepada Tuhan, "Tuhan, maafkan aku. Aku salah," dan pada saat yang sama berharap Tuhan akan berkata, "Tidak masalah. Lanjutkan saja hidupmu"—jika engkau selalu hidup dalam keadaan seperti ini, engkau tidak akan mampu masuk ke dalam kebenaran. Jadi, bagaimana seharusnya engkau berdoa dan bertobat kepada Tuhan? Apakah ada jalannya? Siapa pun yang memiliki pengalaman ini, silakan sampaikan sedikit tentang pengalamanmu. Tidak ada yang mau bicara? Tampaknya engkau semua tidak pernah memanjatkan doa pertobatan, juga tidak pernah mengakui dosamu dan bertobat kepada Tuhan. Jadi, bagaimana seharusnya engkau melepaskan keinginan dan niatmu sendiri? Bagaimana seharusnya engkau membereskan kerusakanmu? Apakah engkau memiliki jalan penerapannya? Sebagai contoh, jika engkau tidak memiliki jalan untuk membereskan watak yang congkak, engkau harus berdoa kepada Tuhan seperti ini: "Tuhan, aku punya watak yang congkak. Kukira aku lebih baik daripada orang lain, lebih cerdas daripada orang lain, dan aku ingin agar orang lain melakukan apa yang kukatakan. Ini sangat tidak masuk akal. Mengapa aku tidak mampu melepaskannya, meskipun aku tahu itu adalah kecongkakan? Kumohon agar Engkau mendisiplinkan dan menegurku. Aku ingin melepaskan kecongkakan dan maksudku sendiri, dan sebagai gantinya, aku ingin mencari maksud-Mu. Aku mau mendengarkan firman-Mu, dan menerimanya sebagai hidupku dan menjadikan firman sebagai prinsip yang berdasarkannya aku bertindak. Aku mau hidup dalam firman-Mu. Kumohon agar Engkau membimbingku, kumohon agar Engkau membantu dan memimpinku." Apakah ada sikap tunduk dalam perkataan ini? Apakah ada keinginan untuk tunduk? (Ya.) Sebagian orang mungkin berkata, "Berdoa sekali saja tidak cukup. Ketika sesuatu menimpaku, aku masih hidup berdasarkan watak rusakku, dan aku masih ingin memegang kendali." Jika demikian, teruslah berdoa: "Tuhan, aku sangat congkak, sangat suka memberontak! Kumohon agar Engkau mendisiplinkanku, menghentikan kejahatanku, dan mengekang watak congkakku. Kumohon agar Engkau membimbing dan menuntunku, agar aku dapat hidup sesuai dengan firman-Mu, dan bertindak serta melakukan penerapan berdasarkan firman-Mu dan tuntutan-Mu." Lebih seringlah datang ke hadapan Tuhan dalam doa dan permohonan, dan biarkan Dia bekerja. Makin tulus perkataanmu, dan makin tulus hatimu, makin besar keinginanmu untuk memberontak terhadap dagingmu dan dirimu sendiri. Ketika keinginan ini menguasai keinginanmu untuk bertindak sekehendakmu sendiri, hatimu akan secara berangsur berubah dengan sendirinya—dan ketika itu terjadi, akan ada harapan bagimu untuk menerapkan kebenaran dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran. Ketika engkau berdoa, Tuhan tidak akan mengatakan apa pun kepadamu, atau menunjukkan apa pun kepadamu, atau menjanjikan apa pun kepadamu, tetapi Dia akan memeriksa hatimu dan niat di balik perkataanmu; Dia akan mengamati apakah yang kaukatakan tulus dan sungguh-sungguh atau tidak, dan apakah engkau sedang memohon dan berdoa kepada-Nya dengan hati yang jujur atau tidak. Ketika Tuhan melihat bahwa hatimu jujur, Dia akan memimpin dan membimbingmu, sesuai permohonan dan doamu kepada-Nya, dan, tentu saja, Dia juga akan menegur dan mendisiplinkanmu. Ketika Tuhan menjawab permohonanmu, hatimu akan dicerahkan dan sedikit berubah. Sebaliknya, jika doa dan permohonanmu kepada Tuhan tidak tulus, dan engkau tidak sungguh-sungguh ingin bertobat, tetapi hanya berusaha dengan asal-asalan menenangkan hati Tuhan dan mengelabui-Nya dengan kata-katamu, maka ketika Tuhan telah memeriksa hatimu, Dia tidak akan melakukan apa pun untukmu, dan Dia akan membenci dan menolakmu. Dengan keadaan ini, engkau juga tidak akan merasakan bahwa Tuhan mengatakan sesuatu kepadamu, atau melakukan sesuatu, atau mengambil tindakan apa pun, tetapi Tuhan tidak akan melakukan pekerjaan apa pun di dalam dirimu, karena hatimu tidak jujur. Dan ketika Tuhan tidak melakukan pekerjaan apa pun, apa yang akan terjadi? Sama seperti yang kauinginkan, hatimu tidak akan memiliki keinginan untuk bertobat, dan hatimu sama sekali tidak akan berbalik. Jadi, dalam lingkungan itu dan dalam peristiwa yang telah menimpamu, apa yang kaulakukan tetap akan ditentukan oleh kehendak manusia dan watak yang rusak, bukannya didasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran. Engkau akan tetap bersikap dan bertindak berdasarkan apa yang kauinginkan dan rindukan. Hasil doamu kepada Tuhan akan sama seperti sebelum engkau berdoa; tidak akan ada perubahan. Engkau akan tetap melakukan apa pun yang kausuka, tanpa sama sekali berbalik. Ini berarti, dalam proses mengejar kebenaran, upaya subjektif orang adalah penting, begitu pula dengan apakah dia memahami kebenaran atau tidak. Namun, ketika orang-orang memahami kebenaran dan ingin menerapkannya, tetapi merasa sulit melakukannya, mereka harus mengandalkan Tuhan, dan mempersembahkan hati yang tulus dan memanjatkan doa mereka yang sungguh-sungguh. Itu juga sangat penting; hal-hal ini sangat diperlukan. Jika yang kaulakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan secara sepintas lalu dan dangkal, dengan berkata: "Tuhan, aku salah. Maafkan aku," dan jika di dalam hatimu engkau acuh tak acuh kepada Tuhan seperti kata-kata dalam doamu, Tuhan tidak akan bekerja di dalam dirimu, Dia juga tidak akan memperhatikanmu. Jika engkau berkata, "Tuhan, maafkan aku. Aku salah," Tuhan pasti tidak akan berkata: "Tidak apa-apa." Karena kata-kata sepintas lalu dan dangkal yang telah kauucapkan kepada-Nya, Tuhan akan bertanya kepadamu: "Dalam hal apa engkau salah? Apa yang ingin kaulakukan? Apakah kau akan bertobat? Apakah kau akan meninggalkan kejahatanmu dan berbalik? Apakah kau akan melepaskan keinginan, niat, dan kepentinganmu sendiri, dan segera berbalik? Mampukah engkau bertekad untuk berbalik?" Engkau mungkin tidak mendengar Tuhan menanyakan sesuatu kepadamu saat hal ini terjadi, tetapi jika engkau berkata kepada Tuhan, "Tuhan, maafkan aku. Aku salah," dari sudut pandang Tuhan, sikap-Nya akan seperti yang baru saja Kukatakan: Dia akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepadamu. Bagaimana Dia akan menanyaimu? Dia akan terus mengamati apa yang kaulakukan dan pilihan yang kaubuat setelah engkau berkata: "Tuhan, maafkan aku. Aku salah." Dia akan mengamati apakah engkau memiliki pertobatan sejati yang lahir dari dirimu yang benar-benar mengakui dan membenci kerusakanmu sendiri. Tuhan akan mengamati seperti apa sikapmu terhadap-Nya, seperti apa sikapmu terhadap kebenaran, bagaimana pandanganmu terhadap watakmu yang rusak dan pandangan apa yang kaumiliki tentang watakmu yang rusak, dan apakah engkau berniat melepaskan pandangan dan cara-caramu yang keliru atau tidak; Dia akan melihat pilihanmu, apakah engkau memilih menempuh jalan mengejar kebenaran atau tidak, Dia akan melihat bagaimana engkau seharusnya bertindak dan prinsip yang seharusnya kaujunjung tinggi, Dia akan melihat apakah engkau mampu atau tidak menerapkan kebenaran dan tunduk kepada-Nya. Tuhan akan mengamati setiap gerakanmu, setiap niat dan pilihanmu, dan ketika Dia melakukannya, Dia akan mengamati apakah hal-hal yang kaulakukan setelah membuat semua pilihan itu benar-benar merupakan tindakan pertobatan dan pembalikan diri atau bukan. Itu adalah masalah yang sangat penting.
Setelah orang-orang memilih untuk bertobat, bagaimana cara mereka mulai berbalik? Caranya adalah dengan melepaskan keinginan, pemikiran dan pandanganmu, serta cara-cara lamamu dalam melakukan segala sesuatu untuk menerapkan kebenaran, dan untuk benar-benar berubah. Itulah yang dimaksud dengan berbalik. Jika engkau hanya berkata ingin berbalik, tetapi di dalam hatimu, engkau tetap berpaut pada keinginanmu sendiri, meninggalkan kebenaran, dan melanjutkan cara-cara lamamu, itu berarti engkau tidak benar-benar berbalik. Jika yang kaukatakan kepada Tuhan saat berdoa hanyalah, "Tuhan, maafkan aku. Aku salah," tetapi dalam semua perilakumu selanjutnya, engkau tetap membuat pilihan, bersikap, bertindak, dan hidup berdasarkan kehendakmu sendiri, bertentangan dengan kebenaran dalam semua hal ini, maka dari sudut pandang Tuhan, apa pendapat-Nya tentang dirimu? Dia menganggapmu belum berbalik. Setidaknya, Dia akan menganggapmu tidak berniat untuk berbalik. Engkau mungkin berkata kepada Tuhan, "Tuhan, maafkan aku. Aku salah," tetapi ini hanyalah kata-kata sepintas lalu, itu bukanlah pertobatan dan pengakuan dosa yang berasal dari lubuk hatimu. Kata-kata itu tidak mencerminkan sikap yang mengakui kesalahan dan bertobat; semua itu hanyalah kata-kata kosong. Tuhan tidak mendengarkan perkataanmu—Dia melihat apa yang kaupikirkan dan rencanakan. Dan ketika Tuhan melihat bahwa dasar dan prinsip dari tindakanmu masih bertentangan dengan kebenaran, Dia akan memberikan vonis yang benar, nyata, dan akurat kepadamu. Dia akan berkata, "Kau belum berbalik, dan kau tidak sedang berbalik." Dan ketika Tuhan mengatakan ini, ketika Tuhan menjatuhkan vonis ini kepadamu, Dia tidak akan lagi memedulikan dirimu. Dan ketika Tuhan tidak memedulikan dirimu, hatimu akan menjadi gelap di hari-hari selanjutnya, dan engkau tidak akan mendapatkan pencerahan dan penerangan dalam semua yang kaulakukan, dan engkau sama sekali tidak akan sadar saat memperlihatkan watak yang rusak, dan engkau juga tidak akan didisiplinkan karena hal itu. Engkau akan terus melanjutkan hidupmu dalam keadaan mati rasa dan bodoh, dan engkau akan merasa hampa, dan tidak ada yang dapat kauandalkan. Yang terburuk, engkau akan terus menuruti perilakumu yang semaunya dan sembrono, dan engkau akan terus membiarkan watak rusakmu semakin membesar dan bertumbuh tak terkendali. Itulah yang akan terjadi. Pada akhirnya akan seperti apa akibatnya jika orang bertindak dengan cara seperti ini? Ketika seseorang meninggalkan kebenaran, akibat yang dia timbulkan terhadap dirinya sendiri adalah bahwa Tuhan tidak akan memedulikan dirinya. Meskipun Tuhan mungkin tidak mengatakan apa pun atau dengan jelas menunjukkan apa pun kepadamu, engkau akan mampu merasakannya. Berdasarkan pemikiran dan gagasanmu, keadaanmu yang sebenarnya, dan sikapmu terhadap kebenaran, akan jelas bahwa keadaanmu secara keseluruhan adalah mati rasa, bodoh, keras kepala, dan perwujudan lainnya yang seperti itu. Hal-hal ini terlihat jelas dalam diri orang-orang. Jadi, setelah membandingkan kehidupan nyatamu dan hal-hal yang kauterapkan dengan hal ini, engkau mungkin ingin mempelajari atau menyelidiki hal-hal berikut ini: ketika engkau sama sekali belum berbalik kepada Tuhan, engkau mungkin mengatakan kepada-Nya banyak perkataan muluk-muluk yang sedap didengar, tetapi dalam keadaan dan kondisi seperti apakah dirimu saat mengatakannya? Dan ketika engkau telah benar-benar berbalik, meskipun engkau mungkin tidak berdoa kepada Tuhan dengan kata-kata yang sedap didengar atau muluk-muluk, dan hanya berbicara sedikit dari hatimu, dalam keadaan dan kondisi seperti apakah dirimu pada waktu itu? Kedua keadaan itu sama sekali berbeda. Tuhan mungkin tidak secara jelas menunjukkan apa pun kepada orang-orang dalam kehidupan sehari-hari mereka atau berbicara kepada mereka dengan kata-kata yang jelas, tetapi orang pasti mampu merasakan pekerjaan Roh Kudus, dan segala sesuatu yang Dia lakukan, dan setiap maksud yang ingin Dia ungkapkan, dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tentu saja, para pengamat juga mampu mendeteksi hal-hal ini. Seseorang yang tadinya mati rasa dan bodoh bisa tiba-tiba menjadi cerdas, atau orang yang biasanya cerdas tiba-tiba bisa menjadi mati rasa, bodoh, dan tidak berguna. Kedua kondisi atau keadaan ini dapat terjadi pada waktu yang bersamaan dalam diri seseorang, atau dalam diri berbagai orang—ini adalah sesuatu yang cukup sering terjadi. Dari sini, orang dapat memahami bahwa dalam banyak kasus, apakah seseorang itu cerdas atau bodoh bukanlah ditentukan oleh otak, pemikiran, atau kualitasnya; itu ditentukan oleh Tuhan. Apakah itu jelas? (Ya.) Engkau tidak akan pernah memahami hal-hal ini sampai engkau telah mengalaminya. Setelah engkau mengalaminya, engkau akan tahu—makin dalam pengalamanmu akan hal itu, pemahamanmu akan makin menyeluruh, dan apresiasimu terhadap pengalaman dan pemahamanmu akan makin mendalam. Maksud Tuhan ada dalam tindakan-Nya; Dia tidak akan memberimu petunjuk yang jelas tentang maksud-Nya, Dia juga tidak akan secara eksplisit memberitahumu tentang maksud-Nya atau membicarakannya kepadamu, tetapi ini bukan berarti Dia tidak memiliki pendapat tentang dirimu. Itu bukan berarti Tuhan tidak memiliki pandangan tentang pemikiran, gagasan, keadaan, atau sikap apa pun yang kaumiliki. Ketika seseorang menyimpan niat dan rencana pribadinya sendiri saat sesuatu menimpa dirinya, ketika dia dengan jelas memperlihatkan watak yang rusak—inilah saat yang tepat baginya untuk merenungkan dirinya sendiri dan mencari kebenaran, dan ini juga merupakan saat-saat penting ketika Tuhan memeriksa orang tersebut. Oleh karena itu, apakah engkau mampu atau tidak mencari kebenaran, menerima kebenaran, dan sungguh-sungguh bertobat—ini adalah saat-saat yang paling menyingkapkan diri seseorang. Pada saat-saat seperti itu, engkau harus mengakui bahwa engkau memiliki watak yang rusak dan engkau harus mau sungguh-sungguh bertobat. Engkau harus membuat pernyataan yang tulus kepada Tuhan, daripada bersikap sambil lalu kepada-Nya dengan berkata, "Tuhan, maafkan aku. Aku salah." Yang Tuhan butuhkan darimu bukanlah sikapmu yang sambil lalu, melainkan sikap pertobatan yang tulus. Jika engkau mengalami kesulitan, Tuhan akan membantu, membimbing, dan menuntunmu selangkah demi selangkah saat engkau berbalik, menuju jalan menerima dan mengejar kebenaran. Tentu saja, jika pertobatanmu hanyalah di mulut saja, atau jika engkau berniat untuk bertobat dan ingin melepaskan niat dan keinginanmu, tetapi engkau tidak tulus dengan pertobatanmu dan tidak bertekad untuk melakukannya, Tuhan tidak akan memaksamu. Jika berkenaan dengan Tuhan, tidak ada kata "harus" dalam sikap-Nya terhadap manusia; Tuhan memberimu kebebasan dan Tuhan memberimu pilihan, dan Dia sedang menunggu. Apa yang Dia tunggu? Dia sedang menunggu untuk melihat pilihan apa yang akhirnya kaubuat dan apakah engkau berniat untuk bertobat atau tidak. Jika engkau berniat untuk bertobat, kapan engkau akan melakukannya? Bagaimana pertobatanmu akan diwujudkan? Jika engkau berniat untuk bertobat dan mau melakukannya, tetapi engkau tetap berusaha melindungi kepentinganmu sendiri ketika engkau bertindak, dan engkau tetap tidak ingin kehilangan statusmu, maka jelas terlihat bahwa engkau tidak sungguh-sungguh bertobat, bahwa engkau tidak tulus tentang hal itu. Engkau hanya ingin sedikit bertobat, tetapi engkau tidak sungguh-sungguh bertobat. Akankah Tuhan bekerja dalam dirimu jika engkau hanya berniat untuk bertobat tetapi tidak sungguh-sungguh bertobat? Dia tidak akan bekerja. Dia akan berkata, "Baiklah, kapan kau berniat untuk bertobat?" Engkau tidak akan tahu. Akankah Tuhan kembali bertanya kepadamu? Tidak—Dia akan berkata, "Jadi, engkau sebenarnya tidak sungguh-sungguh bertobat. Kalau begitu, Aku tunggu saja." Engkau mungkin tidak berniat untuk bertobat, engkau mungkin tidak mau bertobat, ataupun melepaskan status dan kepentinganmu. Baiklah kalau begitu. Tuhan memberimu kebebasan, dan engkau bisa membuat pilihan apa pun yang kausuka. Tuhan tidak akan memaksamu. Namun, ada satu fakta yang harus kaupertimbangkan, seperti penduduk Niniwe, jika engkau tidak berbalik dan bertobat, apa yang akan terjadi? Engkau akan dihancurkan. Saat ini, jika engkau hanya berniat untuk bertobat, tetapi tidak mengambil tindakan nyata untuk bertobat, maka Tuhan tidak akan memedulikan dirimu. Mengapa Dia tidak akan memedulikan dirimu? Tuhan berkata, "Engkau tidak sungguh-sungguh, engkau tidak menyatakan pendirianmu, dan hatimu masih bimbang." Setelah berpikir sejenak, engkau mungkin berkata bahwa engkau mau bertobat, tetapi itu hanyalah pemikiranmu, pernyataan hampa, tanpa ada tindakan atau rencana nyata apa pun. Itulah sebabnya Tuhan berkata, "Aku hanya akan mengesampingkan orang-orang sepertimu. Aku tidak memedulikanmu. Lakukan apa saja sesukamu!" Ketika suatu hari, engkau menyadari, "Oh tidak, aku harus bertobat," bagaimana caranya engkau mulai bertobat? Tuhan tidak akan tertipu oleh kata-katamu itu lalu tanpa berpikir segera bekerja dalam dirimu, dengan berkata, "Dia berniat untuk bertobat, jadi sekarang Aku harus memberkati dia, bukan?" Tuhan tidak akan melakukan hal itu. Apa yang akan Dia lakukan? Dia akan memeriksamu. Engkau berniat untuk bertobat, engkau ingin bertobat, dan keinginanmu untuk bertobat sedikit lebih kuat daripada sebelumnya, tetapi siapa yang tahu berapa lama sebelum engkau benar-benar bertobat. Jika engkau belum mengambil langkah nyata atau tidak memiliki rencana nyata untuk bertobat, artinya itu bukan pertobatan sejati. Engkau harus melakukan tindakan nyata. Setelah engkau melakukan tindakan nyata, pekerjaan Tuhan akan mengikuti. Bukankah ada prinsip dalam pekerjaan Tuhan dan perlakuan-Nya terhadap manusia? Ketika Tuhan bekerja, orang akan mendapatkan pencerahan, matanya akan terbuka, dia akan mampu memahami kebenaran dan masuk ke dalam kenyataan, dan hasil yang diperolehnya akan seratus kali lipat, seribu kali lipat. Setelah ini terjadi, engkau telah benar-benar diberkati. Jadi, landasan apa yang harus dibangun orang untuk mencapai hal-hal ini? (Kemampuan untuk sungguh-sungguh bertobat.) Benar. Ketika orang benar-benar melepaskan kepentingan dan keinginannya sendiri, ketika dia sungguh-sungguh bertobat kepada Tuhan—artinya dia menghentikan perbuatan jahatnya; dan melepaskan kejahatan, keinginan dan niatnya; mengakui dosa-dosanya kepada Tuhan; serta menerima tuntutan Tuhan dan firman-Nya—setelah itu barulah dia akan mulai masuk ke dalam kenyataan dari pembalikan dirinya. Hanya inilah yang dimaksud dengan pertobatan sejati.
Kita baru saja mempersekutukan masalah-masalah yang sering ditemukan dalam perjalanan manusia saat mengejar kebenaran, dan mempersekutukan masalah-masalah yang dapat dikenali dan diketahui oleh orang-orang yang mengejar kebenaran. Semua itu adalah masalah yang harus dibereskan. Kita mungkin belum terlalu banyak menjelaskan atau menganalisis masalah-masalah ini di masa lalu, bahkan kita mungkin belum sampai pada kesimpulan yang jelas tentang masalah-masalah ini, tetapi mengenai setiap langkah yang manusia alami dalam proses mengejar kebenaran, dan berbagai perilaku dan keadaan yang mereka alami selama proses ini, Tuhan memiliki firman dan pekerjaan yang sesuai, dan Dia memiliki cara dan metode yang relevan untuk memperlakukan dan membereskan masalah-masalah ini. Orang-orang dapat mengalami dan memahami sedikit dari masalah-masalah ini; mereka tidak boleh salah paham terhadap Tuhan, atau menyimpan gagasan atau imajinasi apa pun tentang Tuhan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Selain itu, Tuhan memberi orang kebebasan yang cukup dan hak yang cukup untuk membuat pilihan mengenai setiap langkah, setiap cara bertindak, dan setiap cara penerapan yang berkaitan dengan mengejar kebenaran—Dia tidak memaksa orang. Dan meskipun firman dan tuntutan ini dicetak dalam tulisan dan diucapkan dengan bahasa yang jelas dan tepat, tetap saja, terserah kepada setiap orang untuk membuat pilihan bebas mereka sendiri tentang bagaimana mereka akan memperlakukan kebenaran ini. Tuhan tidak memaksa orang. Jika engkau mau mengejar kebenaran, ada harapan bagimu untuk diselamatkan. Jika engkau tidak mau mengejar kebenaran, jika engkau tidak peduli dengan kebenaran-kebenaran ini dan menolak semuanya, jika engkau sama sekali tidak tertarik dengan cara mengejar kebenaran ini—itu juga terserah kepadamu. Tuhan tidak akan memaksamu. Juga terserah kepadamu jika engkau hanya mau bekerja keras. Selama engkau tidak melanggar prinsip, rumah Tuhan akan membiarkanmu membuat pilihanmu sendiri. Meskipun mengejar kebenaran tak terpisahkan dan berkaitan erat dengan memperoleh keselamatan, tetap saja ada banyak orang yang tidak tertarik untuk mengejar kebenaran, yang tidak memikirkan atau berniat untuk mengejar kebenaran, ataupun memiliki rencana apa pun untuk mengejar kebenaran. Kalau begitu, apakah orang-orang ini dikutuk? Tidak juga. Jika orang-orang ini memenuhi tuntutan rumah Tuhan saat melaksanakan tugas, mereka dapat terus melaksanakan tugas mereka di sana. Rumah Tuhan tidak akan mencabut hakmu untuk melaksanakan tugas hanya karena engkau tidak mengejar kebenaran. Namun, melaksanakan tugas dengan cara seperti ini, sampai hari ini, telah digolongkan sebagai "bekerja keras". "Bekerja keras" adalah cara yang bagus untuk menggambarkannya, itu adalah istilah yang digunakan rumah Tuhan, tetapi sebenarnya, itu juga bisa disebut "melakukan sebuah pekerjaan". Beberapa dari antaramu mungkin berkata, "Ketika kita melakukan sebuah pekerjaan, kita mendapat upah." Ya, engkau bisa mendapatkan upah karena melakukan sebuah pekerjaan. Jadi, berapakah upahmu? Semua kasih karunia yang telah Tuhan anugerahkan kepadamu—itulah upahmu. Dan mengenai mengejar kebenaran, apa pun yang berniat kaulakukan, apa pun yang kaurencanakan, atau apa pun yang ingin kaulakukan, Kukatakan dengan jelas sekarang bahwa engkau bebas. Engkau dapat mengejar kebenaran, itu baik; jika tidak, itu juga terserah kepadamu. Namun, hal terakhir yang akan Kuberitahukan kepadamu adalah, orang hanya dapat diselamatkan dengan mengejar kebenaran. Jika engkau tidak mengejar kebenaran, harapanmu untuk diselamatkan adalah nol. Itulah fakta yang ingin Kukatakan kepadamu. Engkau semua harus diberitahukan fakta ini, sehingga hal itu dengan jelas, tegas, tepat, dan dengan mantap tertanam di dalam hatimu—agar engkau dapat mengetahui dengan jelas di dalam hatimu, di atas dasar apakah harapan akan keselamatan itu dibangun. Jika engkau puas hanya dengan bekerja keras, berpikir, "Tidak masalah bagiku asalkan aku mampu melaksanakan tugasku dan tidak diusir dari rumah Tuhan; aku tidak perlu direpotkan dengan sesuatu yang sulit seperti mengejar kebenaran," apakah pandanganmu ini masuk akal? Meskipun sekarang engkau masih percaya kepada Tuhan, atau melaksanakan sebuah tugas, apakah engkau yakin bahwa engkau mampu mengikuti Tuhan sampai akhir? Apa pun yang terjadi, mengejar kebenaran adalah hal yang besar dalam hidup, itu lebih penting daripada menikah dan memiliki anak, lebih penting daripada membesarkan putra dan putrimu, lebih penting daripada menjalani hidupmu dan menghasilkan kekayaan. Itu bahkan lebih penting daripada melaksanakan tugas dan mengejar masa depan di rumah Tuhan. Kesimpulannya, mengejar kebenaran adalah hal terpenting dalam jalan hidup seseorang. Jika engkau semua belum berminat untuk mengejar kebenaran, tak seorang pun akan menghakimimu dan berkata bahwa kelak engkau tidak akan mengejar kebenaran. Aku juga tidak akan menghakimimu dan berkata bahwa jika engkau tidak mengejar kebenaran sekarang, kelak engkau tidak akan pernah mengejar kebenaran. Bukan itu yang sedang terjadi. Tidak ada hubungan logis seperti itu; ini bukan fakta. Apa pun yang terjadi, Aku berharap dalam waktu dekat, atau bahkan saat ini juga, engkau semua dapat memulai jalan mengejar kebenaran, dan menjadi orang-orang yang mengejar kebenaran, dan termasuk di antara orang-orang yang memiliki harapan untuk diselamatkan.
Mengejar kebenaran berkaitan langsung dengan memperoleh keselamatan, jadi topik tentang mengejar kebenaran bukanlah topik yang sepele. Meskipun topik mengejar kebenaran mungkin adalah topik yang umum, topik ini menyinggung banyak kebenaran. Sebenarnya, topik ini berkaitan erat dengan masa depan dan nasib manusia, dan meskipun kita sering mempersekutukannya, orang-orang masih belum begitu jelas tentang berbagai kebenaran dan masalah yang perlu mereka pahami tentang mengejar kebenaran. Sebaliknya, dengan cara yang kacau, mereka hanya menganggap berbagai perilaku dan pendekatan yang orang anggap baik, menganggap beberapa pemikiran dan pandangan yang orang anggap relatif aktif, benar, dan positif, sebagai kebenaran dan mengejarnya sebagai kebenaran. Ini adalah kesalahan besar. Ada banyak hal yang orang anggap baik, benar, dan tepat yang sebenarnya bukan kebenaran. Beberapa di antaranya paling mungkin hanya agak sesuai dengan kebenaran, tetapi orang tidak dapat berkata bahwa hal-hal itu adalah kebenaran. Kebanyakan orang memiliki kesalahpahaman yang besar tentang masalah mengejar kebenaran, dan mereka menyimpan cukup banyak pemahaman yang keliru dan bias mengenainya. Itulah sebabnya, penting bagi kita untuk mempersekutukan hal ini dengan jelas, dan membuat orang memahami kebenaran di dalamnya yang seharusnya mereka pahami dan masalah yang harus mereka bereskan. Apakah engkau semua memiliki pendapat tentang pembahasan khusus yang berkaitan dengan mengejar kebenaran yang baru saja kita persekutukan? Apakah engkau memiliki rencana atau niat? Sekarang setelah kita memberikan definisi yang lebih spesifik tentang apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran melalui persekutuan kita, banyak orang agak bingung tentang hal-hal yang biasa mereka lakukan dan perlihatkan, serta apa yang ingin mereka lakukan di masa depan. Mereka merasa sedih, dan bahkan ada yang merasa tidak punya harapan, dan terancam akan disingkirkan. Jika kebenaran telah dipersekutukan dengan jelas, tetapi orang-orang merasa lesu, apakah keadaan mereka benar? Apakah keadaan ini normal? (Tidak, keadaan ini tidak normal.) Jika engkau telah mengejar kebenaran sebelumnya dan menerima peneguhan akan hal itu dengan mendengarkan persekutuan ini, tidakkah engkau akan merasa lebih bersemangat? (Ya.) Jadi, mengapa orang-orang merasa lesu? Apa sumber dari kelesuan itu? Makin transparan dan jelas kebenaran dipersekutukan, makin banyak jalan yang seharusnya orang miliki—jadi, jika orang-orang memiliki lebih banyak jalan, mengapa mereka malah merasa makin lesu? Bukankah ada masalah di sini? (Ya.) Apa masalahnya? (Jika seseorang tahu bahwa mengejar kebenaran itu baik tetapi tidak mau mengejarnya, itu karena dia tidak mencintai kebenaran.) Orang tidak mencintai kebenaran atau tidak berniat mengejarnya—itulah sebabnya mereka merasa lesu. Dan bagaimana dengan tindakan-tindakan mereka yang sebelumnya? (Semua itu dikutuk.) "Dikutuk" bukanlah kata yang tepat—tepatnya, tindakan mereka yang sebelumnya tidak diakui. Hasil seperti apa yang orang dapatkan ketika tindakannya tidak diakui? Apa yang sedang terjadi, ketika tindakan seseorang tidak diakui? Apa yang dimaksud dengan tidak diakui? Jawabannya sederhana—jika tindakan seseorang tidak diakui, itu memperlihatkan bahwa dia tidak mengejar kebenaran, dan malah mengejar hal-hal yang manusia anggap benar dan baik, dan bahwa dia masih hidup berdasarkan gagasan dan imajinasinya. Bukankah ini yang sedang terjadi? (Ya.) Itulah yang sedang terjadi. Ketika tindakan orang tidak diakui oleh Tuhan, mereka merasa sedih. Pada saat-saat seperti itu, bukankah mereka tidak memiliki jalan penerapan yang positif dan benar? Apakah benar bagi seseorang untuk menjadi negatif, meninggalkan tugasnya, lalu menyerah dan berputus asa hanya karena tindakannya tidak diakui? Apakah itu jalan penerapan yang benar? (Tidak.) Itu bukanlah jalan penerapan yang benar. Ketika sesuatu seperti ini menimpa seseorang, dan dia menemukan masalahnya sendiri, dia harus segera berbalik. Jika engkau mendapati, melalui persekutuan kita tentang apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran, bahwa tindakan dan perilakumu sebelumnya tidak ada kaitannya dengan mengejar kebenaran, maka entah itu membuatmu merasa sedih atau tidak, hal pertama yang harus kaulakukan adalah berbalik dari cara dan metode penerapanmu yang lama dan salah, serta berbalik dari jalan pengejaranmu yang salah. Engkau harus segera membalikkan hal-hal itu. Ketika tindakan mereka yang sebelumnya diabaikan dan tidak diakui oleh Tuhan, ketika Tuhan berkata bahwa tindakan-tindakan ini hanyalah kerja keras, dan tidak ada kaitannya dengan mengejar kebenaran, beberapa orang akan berpikir, "Oh, kami manusia memang bodoh dan buta. Kami tidak memahami kebenaran dan tak mampu memahami yang sebenarnya mengenai hal-hal yang kami lakukan—dan selama ini, kami yakin bahwa kami sedang menerapkan kebenaran, mengejar kebenaran, dan memuaskan Tuhan. Baru sekarang kami memahami bahwa hal-hal yang kami lakukan, yang kami sebut 'mengejar kebenaran' itu sebenarnya hanyalah perilaku baik manusia—semua itu hanyalah hal-hal yang orang lakukan berdasarkan berbagai kemampuan naluriah, kualitas, dan bakat lahiriah mereka. Semua itu jauh dari esensi, definisi, dan tuntutan mengejar kebenaran; hal-hal ini tidak ada kaitannya dengan mengejar kebenaran. Apa yang harus kami lakukan dengan masalah ini?" Ini adalah masalah besar, dan harus dibereskan. Bagaimana cara membereskannya? Pertanyaannya adalah: mengingat bahwa perilaku dan pendekatan yang sebelumnya dianggap baik oleh orang-orang telah ditolak, dan Tuhan tidak mengingatnya, Dia juga tidak menganggap semua itu adalah mengejar kebenaran—lalu, apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Untuk menjawab pertanyaan ini, orang harus dengan saksama mendoa-bacakan definisi mengejar kebenaran, dan menemukan cara untuk menerapkan kebenaran dari definisi itu, dan mengubahnya menjadi kenyataan hidup mereka. Karena orang sebelumnya tidak mengejar kebenaran, maka mulai sekarang mereka harus menggunakan definisi mengejar kebenaran sebagai dasar mereka, dan sebagai landasan dari tindakan mereka. Jadi, apakah definisi mengejar kebenaran? Definisinya adalah: Memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya. Ini tidak dapat dijelaskan dengan lebih jelas atau lebih eksplisit daripada definisi ini. Seperti apakah semua tindakan dan perilaku manusia sebelumnya? Apakah semuanya itu sesuai dengan firman Tuhan, dengan menjadikan kebenaran sebagai standar mereka? Renungkan kembali—sesuaikah? (Tidak.) Dapat dikatakan bahwa tindakan dan perilaku yang sesuai seperti itu sangat jarang sekali ditemukan, hampir tidak dapat ditemukan di mana pun. Jadi, apakah manusia benar-benar tidak pernah mencapai apa pun selama bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, dan membaca serta mempersekutukan firman-Nya? Apakah manusia tidak pernah melakukan satu hal pun berdasarkan firman Tuhan? Apa yang dimaksud dengan definisi, "Memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya", di sini? Masalah apa yang dimaksudkan untuk dibereskan? Masalah manusia yang mana dan aspek esensi watak manusia yang mana yang menjadi sasarannya? Sekarang orang-orang mungkin telah memahami definisi mengejar kebenaran, tetapi dalam hal mengapa tindakan mereka yang sebelumnya tidak diakui, dan mengapa tindakan mereka dianggap tidak mengejar kebenaran, hal-hal ini tetap tidak jelas, tidak dapat dipahami, dan kabur bagi mereka. Beberapa orang akan berkata, "Kami telah meninggalkan begitu banyak hal sejak kami menerima nama Tuhan: kami meninggalkan keluarga dan pekerjaan kami, dan kami meninggalkan masa depan kami. Beberapa dari kami mengundurkan diri dari pekerjaan yang baik; beberapa dari kami meninggalkan keluarga kami yang bahagia; beberapa dari kami tadinya memiliki karier yang bagus dengan gaji yang tinggi dan masa depan yang cerah, dan kami melepaskan semuanya. Semua ini adalah hal-hal yang telah kami lepaskan. Sejak percaya kepada Tuhan, kami telah belajar untuk bersikap rendah hati, sabar, dan toleran. Kami tidak berdebat dengan orang lain ketika berinteraksi dengan mereka, kami berupaya sebaik mungkin untuk menangani masalah apa pun yang muncul di gereja, dan kami berusaha sekuat tenaga untuk membantu saudara-saudari kami dengan penuh kasih setiap kali mereka mengalami kesulitan. Kami sebanyak mungkin menghindarkan diri merugikan orang lain dan kepentingan orang lain. Apakah pendekatan ini benar-benar tidak ada kaitannya dengan mengejar kebenaran?" Renungkanlah dengan saksama: berkaitan dengan apakah orang meninggalkan segala sesuatu, berkorban, mengerahkan upaya, bersabar, dan menderita? Bagaimana hal-hal ini dicapai? Didasarkan pada apakah hal-hal ini? Apa motivasi yang mendorong orang untuk melakukan hal-hal ini? Renungkanlah hal ini. Bukankah hal-hal ini layak untuk direnungkan secara mendalam? (Ya.) Jadi, karena hal-hal ini layak untuk direnungkan secara mendalam, marilah kita telusuri dan selidiki hal-hal ini sekarang; marilah kita pahami apakah hal-hal yang selalu dianggap baik, benar, dan mulia oleh manusia ini ada kaitannya dengan mengejar kebenaran.
Kita akan memulai dengan membahas tentang manusia yang meninggalkan segala sesuatu, mengerahkan upaya, dan membayar harga. Apa pun konteks atau lingkungan di mana manusia meninggalkan segala sesuatu, mengerahkan upaya, dan membayar harga, berasal dari manakah motivasi utama untuk melakukan hal-hal ini? Dalam rangkuman-Ku, ada dua sumber. Sumber yang pertama adalah ketika orang-orang, dalam ide dan gagasan mereka, berpikir, "Jika kita percaya kepada Tuhan, kita harus meninggalkan segala sesuatu, mengorbankan diri kita, dan membayar harga untuk-Nya. Tuhan suka jika orang-orang melakukan hal itu. Dia tidak suka jika orang-orang menikmati kenyamanan dan mengejar hal-hal duniawi, atau jika mereka tetap acuh tak acuh dan terus menjalani hidup mereka sendiri setelah mereka menyatakan diri menerima nama-Nya dan menjadi pengikut-Nya. Tuhan tidak suka jika orang melakukan hal itu." Dalam hal kehendak subjektif orang, pemikiran ini adalah suatu kepastian. Apa pun alasan seseorang untuk menerima Tuhan dan pekerjaan baru-Nya, kehendak subjektifnya setuju untuk bertindak dengan cara seperti ini, meyakini bahwa Tuhan hanya suka jika orang-orang bertindak seperti itu, dan bahwa dia hanya akan menerima kebahagiaan dan kepuasan Tuhan dengan bertindak seperti ini. Dia mengira asalkan orang dengan tekun berjuang dan mengerahkan upaya, dan mengerahkan segenap kemampuan tanpa meminta imbalan apa pun, dan asalkan orang mengabaikan kesejahteraan atau kesengsaraan mereka sendiri untuk membayar harga, dan terus mengerahkan segenap kemampuan, membayar harga, mengorbankan diri dan mempersembahkan diri mereka kepada Tuhan, maka Tuhan pasti akan senang. Jadi, setelah seseorang meyakini hal ini, dia menundukkan kepalanya tanpa ragu, dan apa pun keadaannya, dia meninggalkan semua yang mampu dia tinggalkan, dan mempersembahkan semua yang mampu dia persembahkan, dan menanggung penderitaan apa pun yang mampu ditanggungnya. Orang-orang melakukan pendekatan ini, tetapi adakah di antara mereka yang mengangkat kepala mereka untuk bertanya kepada Tuhan, "Tuhan, apakah hal-hal yang sedang kulakukan adalah apa yang Engkau butuhkan? Tuhan, apakah Engkau mengakui pengorbananku, pengerahan upayaku, penderitaanku, dan harga yang telah kubayar?" Orang-orang tidak pernah menanyakan hal ini kepada Tuhan, dan tanpa mengetahui apa reaksi Tuhan atau sikap-Nya, mereka terus mengerahkan upaya, mempersembahkan dan mengorbankan diri mereka berdasarkan keinginan sepihak mereka, meyakini bahwa Tuhan hanya akan bahagia dan puas jika mereka menderita dengan cara seperti ini. Ada orang-orang yang sampai berhenti makan dimsum, merasa takut Tuhan tidak akan senang jika mereka memakannya. Sebagai gantinya, mereka makan bakpao, meyakini bahwa makan dimsum artinya menikmati kenyamanan. Mereka hanya merasa tenang ketika mereka sedang makan bakpao, roti tanpa ragi, dan sayur asin, dan saat mereka merasa tenang, mereka mengira bahwa Tuhan pasti dipuaskan. Mereka secara keliru menganggap perasaan mereka sendiri—perasaan sukacita, sedih, marah, dan bahagia—sebagai perasaan Tuhan. Bukankah itu tidak masuk akal? Banyak orang memperlakukan hal-hal yang dianggap benar oleh manusia sebagai kebenaran, dan mereka memaksakannya kepada Tuhan, berkata bahwa semua itu adalah tuntutan Tuhan terhadap manusia, karena itulah yang semua orang yakini. Dan selama orang memegang keyakinan seperti itu, mereka sangat mungkin dan tentu saja akan tanpa sadar menganggap pernyataan dan perilaku serta pendekatan tersebut sebagai kebenaran. Dan ketika orang-orang telah meyakini bahwa hal-hal itu adalah kebenaran, mereka akan menganggap bahwa semua itu harus menjadi prinsip penerapan yang harus dipatuhi manusia, dan bahwa jika seseorang melakukan dan mematuhinya dengan cara seperti ini, berarti dia sedang menerapkan firman Tuhan, mengejar kebenaran, dan, tentu saja, melakukan kehendak-Nya. Dan karena orang-orang sedang "melakukan kehendak Tuhan", bukankah kesukaran mereka sudah sepantasnya? Bukankah mereka sedang membayar harga ini dengan benar? Bukankah ini adalah sesuatu yang akan memuaskan dan diingat oleh Tuhan? Orang akan berpendapat bahwa tentu saja itu akan memuaskan dan diingat Tuhan. Inilah jarak dan perbedaan antara apa yang manusia yakini sebagai "kebenaran" dan firman Tuhan. Orang-orang secara seragam menganggap segala sesuatu yang, dalam gagasan dan imajinasi mereka, sesuai dengan karakter moral manusia dan baik, mulia, benar sebagai kebenaran, dan kemudian mereka bertindak dan berupaya untuk melakukannya, sembari secara ketat menuntut diri mereka sendiri. Mereka yakin bahwa dengan melakukannya mereka sedang mengejar kebenaran, bahwa mereka adalah orang yang mengejar kebenaran, dan tentu saja, bahwa mereka juga pasti orang yang dapat diselamatkan. Faktanya adalah, firman Tuhan dan kebenaran tidak ada kaitannya dengan hal-hal yang orang anggap baik, benar, dan positif tersebut. Namun, bahkan ketika orang membaca dan memegang firman Tuhan di tangan mereka pun, mereka menganggap segala sesuatu yang—dalam gagasan mereka—baik, benar, indah, sopan, positif, dan direkomendasikan oleh manusia sebagai kebenaran, sebagai hal-hal yang positif, dan mereka tanpa lelah mengejarnya, bukan saja menuntut diri mereka sendiri untuk mengejar dan mencapainya, tetapi juga menuntut agar orang lain mengejar dan mencapainya. Orang-orang selalu secara keliru memandang hal-hal yang manusia anggap baik sebagai kebenaran, dan kemudian mereka mengejar berdasarkan standar dan petunjuk yang dituntut oleh hal-hal itu, dan dengan melakukannya mereka yakin bahwa mereka sudah mengejar kebenaran dan hidup dalam kenyataan kebenaran. Ini adalah salah satu aspek dari pemahaman keliru yang orang-orang miliki tentang mengejar kebenaran. Pemahaman yang keliru ini berarti orang-orang menggunakan apa yang mereka yakini baik, benar, dan positif—dalam gagasan mereka—sebagai standar mereka, menggantikan tuntutan Tuhan terhadap manusia, dan menggantikan tuntutan serta standar firman-Nya. Orang-orang secara keliru menganggap hal-hal yang mereka yakini benar dan baik dalam gagasan mereka sebagai kebenaran, dan bukan hanya itu—mereka juga mematuhi hal-hal ini dan mengejarnya. Bukankah ini masalah? (Ya.) Masalahnya adalah pemikiran dan pandangan manusia. Apa yang memotivasi orang ketika mereka melakukan hal-hal ini? Apa sumber penyebab yang membuat mereka memiliki gagasan dan pemahaman yang keliru ini? Sumber penyebabnya adalah orang-orang meyakini bahwa Tuhan menyukai hal-hal ini, jadi mereka memaksakan semua ini kepada-Nya. Sebagai contoh, budaya tradisional mengajarkan orang untuk menjadi rajin dan hemat; kerajinan dan penghematan adalah kebajikan manusia. "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain", yang merupakan kebajikan lainnya, sama seperti, "Lakukan apa yang tuanmu perintahkan, atau kau tidak akan mendapatkan apa pun bahkan dari usahamu yang paling sungguh-sungguh", dan ide-ide lain semacam itu. Dalam setiap ras dan kelompok, orang-orang meyakini bahwa segala sesuatu yang mereka anggap baik, benar, positif, aktif, dan jujur adalah kebenaran, dan mereka memperlakukan hal-hal ini sebagai kebenaran, menggantikan semua kebenaran yang telah Tuhan ungkapkan. Mereka secara keliru menganggap hal-hal yang manusia sangat yakini, yang berasal dari Iblis, sebagai kebenaran dan standar tuntutan Tuhan. Mereka mengarahkan pengejaran mereka menuju cita-cita, arah, dan tujuan yang mereka bayangkan dan yakini benar. Ini adalah kesalahan besar. Hal-hal yang berasal dari gagasan dan imajinasi manusia ini sama sekali tidak sesuai dengan firman Tuhan, dan semua itu sama sekali bertentangan dengan kebenaran.
Aku akan memberikan beberapa contoh tentang orang-orang yang secara keliru menganggap hal-hal yang menurut mereka baik dan benar, dalam gagasan mereka, sebagai kebenaran, sehingga hal ini tidak menjadi terlalu abstrak bagimu, dan engkau semua akan mampu memahaminya. Sebagai contoh: ada perempuan yang tidak lagi berdandan dan mengenakan perhiasan setelah percaya kepada Tuhan. Mereka membuang alat rias dan perhiasan mereka, beranggapan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan harus berperilaku baik, dan mereka tidak boleh berdandan atau merias diri. Ada orang-orang yang memiliki mobil tetapi tidak mengendarainya, mereka malah naik sepeda. Mereka beranggapan bahwa mengendarai mobil berarti menikmati kenyamanan. Ada orang-orang yang memiliki uang untuk membeli daging, tetapi tidak membelinya, beranggapan bahwa jika mereka selalu makan daging, dan tiba waktunya ketika keadaan tidak memungkinkan bagi mereka untuk memakannya lagi, mereka akan menjadi negatif dan lemah, serta mengkhianati Tuhan. Jadi, mereka belajar menderita tanpa makan daging terlebih dahulu. Ada juga orang yang beranggapan bahwa, sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, mereka harus kelihatan berkelakuan baik, jadi mereka merenungkan dengan saksama kekurangan dan kebiasaan buruk mereka, dan mereka berusaha keras untuk mengubah nada bicara mereka, menahan amarah mereka, dan berupaya sebaik mungkin untuk membuat diri mereka terlihat sopan dan tidak vulgar. Mereka beranggapan ketika seseorang telah menjadi orang yang percaya kepada Tuhan, dia harus membatasi dan mengekang dirinya, dia harus menjadi orang yang baik di mata orang lain dan berkelakuan baik. Mereka menganggap dengan melakukannya, mereka sedang membayar harga, memuaskan Tuhan, dan menerapkan kebenaran. Ada orang-orang yang sesekali merias diri dan pergi berbelanja, dan merasa bersalah saat melakukannya. Mereka mengira setelah mereka percaya kepada Tuhan, mereka tidak boleh berdandan dan merias diri, dan tidak boleh mengenakan pakaian yang bagus. Mereka beranggapan jika mereka berdandan. Merias diri, dan mengenakan pakaian bagus, Tuhan akan membenci dan tidak menyukainya. Mereka beranggapan Tuhan menyukai manusia primitif, bahwa Tuhan tidak menyukai perindustrian, atau sains modern, atau tren apa pun. Mereka berpikir bahwa mereka hanya dikatakan mengejar kebenaran jika mereka tidak lagi mengejar hal-hal ini. Bukankah ini adalah pemahaman yang menyimpang? (Ya.) Sudahkah orang-orang ini membaca firman Tuhan dengan saksama? Sudahkah mereka menerima firman-Nya sebagai kebenaran? (Tidak.) Dan karena mereka tidak menerima firman Tuhan sebagai kebenaran, apakah mereka sedang mengejar kebenaran? (Tidak.) Itulah sebabnya pendekatan dan perwujudan ini adalah karena orang-orang secara keliru menganggap hal-hal yang menurut mereka benar dan baik sebagai kebenaran, dan menggunakan hal-hal itu untuk menggantikan kebenaran. Mereka dengan optimis melakukan hal-hal ini, dan setelah melakukannya, mereka mengira bahwa mereka sedang mengejar kebenaran, dan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kenyataan kebenaran. Sebagai contoh, ada orang-orang yang tidak pernah menonton acara televisi, atau menonton berita, atau bahkan tidak pergi berbelanja sejak mereka percaya kepada Tuhan. Mereka telah menghabiskan banyak malam tidur di atas tumpukan jerami dan menghabiskan hari-hari mereka tinggal di sebelah kandang anjing karena mereka telah mengabarkan Injil dan melaksanakan tugas mereka. Mereka sering menderita sakit perut karena memakan makanan yang sudah dingin, berat badan mereka turun drastis dan sangat menderita karena kurang tidur dan pola makan yang buruk. Mereka mengetahui semua hal ini dengan sangat baik, mereka menghitungnya, satu demi satu. Mengapa mereka menyimpan catatan yang begitu jelas tentang hal-hal ini? Alasannya adalah karena mereka menganggap perilaku dan pendekatan ini sebagai tindakan menerapkan kebenaran dan memuaskan Tuhan, dan mengira jika mereka mencapai semua perilaku baik ini, Tuhan akan memperkenan mereka. Jadi, orang-orang tidak mengeluh, dan mereka melakukan hal-hal ini tanpa ragu. Di benaknya, mereka tidak pernah bosan membicarakannya, mengulangnya, dan mengingatnya, dan hati mereka terasa sangat puas. Namun, ketika mereka menghadapi ujian dari Tuhan, ketika lingkungan yang Dia atur tidak seperti yang mereka inginkan, ketika apa yang Dia tuntut dari mereka dan tindakan-Nya tidak sesuai dengan gagasan mereka, maka hal-hal yang orang-orang ini anggap benar, serta harga yang mereka bayar dan tindakan mereka, sama sekali tidak akan berguna. Hal-hal yang mereka lakukan ini tidak akan, bahkan tidak akan sedikit pun, membantu mereka untuk tunduk kepada Tuhan atau untuk mengenal-Nya dalam lingkungan yang mereka hadapi. Sebaliknya, hal-hal itu akan menjadi batu sandungan dan penghalang bagi mereka untuk masuk ke dalam kenyataan firman Tuhan dan untuk tunduk kepada Tuhan. Alasannya adalah karena orang tidak pernah memahami bahwa hal-hal yang mereka yakini benar pada dasarnya bukanlah kebenaran, dan apa yang mereka lakukan bukanlah mengejar kebenaran. Lalu, apa yang orang dapatkan dari hal-hal ini? Mereka hanya mendapatkan semacam perilaku baik. Orang-orang tidak akan memperoleh kebenaran dan hidup dari hal-hal itu. Namun, mereka secara keliru meyakini bahwa perilaku baik ini adalah kenyataan kebenaran, dan mereka merasa lebih mantap dalam tekad mereka bahwa hal-hal yang mereka anggap benar dalam gagasan mereka adalah kebenaran dan hal-hal positif, dan akibatnya, tekad itu mengakar di dalam hati mereka. Makin banyak orang memuja dan secara membabi buta menyakini hal-hal yang mereka anggap benar dalam gagasan mereka, makin mereka menolak kebenaran, dan makin jauh mereka dari tuntutan Tuhan dan firman-Nya. Dan demikian juga halnya, makin banyak harga yang orang bayar, makin mereka mengira bahwa mereka sedang mendapatkan modal, dan makin mereka yakin bahwa mereka memenuhi syarat untuk diselamatkan dan menerima janji Tuhan. Bukankah ini adalah lingkaran setan? (Ya.) Apa sumber dari masalah ini? Apa penyebab utamanya? (Orang-orang secara keliru menganggap gagasan mereka sebagai hal-hal yang positif dan menggantikan firman Tuhan dengan gagasan mereka.) Orang-orang menggantikan firman Tuhan dengan gagasan mereka sendiri, mereka mengesampingkan firman Tuhan, dan pada dasarnya mereka mengabaikannya. Dengan kata lain, mereka sama sekali tidak menerima firman Tuhan sebagai kebenaran. Dapat dikatakan bahwa setelah percaya kepada Tuhan, orang mungkin saja membaca firman Tuhan, tetapi pengejaran, pilihan, dan tindakan mereka masih didasarkan pada gagasan dan imajinasi manusia, dan mereka belum memulai di jalan percaya kepada Tuhan berdasarkan firman dan tuntutan-Nya. Sebenarnya, berasal dari manakah masalah orang percaya kepada Tuhan berdasarkan gagasan dan imajinasi mereka sendiri? Dari manakah gagasan dan imajinasi manusia muncul? Berasal dari manakah gagasan dan imajinasi itu? Dapat dikatakan bahwa semua itu terutama berasal dari budaya tradisional, dan dari warisan manusia, serta dari didikan dan pengaruh dunia keagamaan. Gagasan dan imajinasi manusia berkaitan langsung dengan hal-hal ini.
Hal-hal lain apakah yang diyakini orang, dalam pemikiran dan pandangan mereka, sebagai sesuatu yang baik, benar, dan positif? Silakan sampaikan pendapatmu dengan memberikan beberapa contoh. Orang sering berkata, "Orang yang baik memiliki kehidupan yang damai", dan "Orang jujurlah yang akan bertahan"—ini beberapa contohnya, bukan? (Ya.) Dan ada juga perkataan: "Kebaikan dibalas dengan kebaikan, dan kejahatan dibalas dengan kejahatan; hal-hal ini akan dibalas, hanya saja waktunya belum tiba", "Banyak berbuat jahat menyebabkan kehancuran diri sendiri", "Siapa yang akan tuhan hancurkan, akan terlebih dahulu dibuatnya menjadi gila", "Kau harus menanggung penderitaan yang sangat besar agar bisa unggul dari yang lain", "Mengejar hal-hal lain tidak penting, mengejar pendidikan tinggi lebih penting dari semuanya", dan sebagainya. Semua perkataan setan ini memuakkan. Aku menjadi sangat marah ketika mendengar perkataan seperti itu, tetapi orang-orang mengatakannya dengan begitu mudahnya. Mengapa mereka bisa mengucapkan perkataan ini dengan begitu mudahnya? Mengapa tampaknya Aku tak dapat mengatakannya? Aku tidak suka perkataan ini, ungkapan-ungkapan ini. Fakta bahwa engkau semua selalu siap mengatakannya, bahwa perkataan itu keluar langsung dari mulutmu, dan caramu mengatakannya dengan sangat lancar membuktikan bahwa engkau semua sangat mengagumi dan memuja ungkapan-ungkapan ini. Engkau semua memuja hal-hal kosong yang menyesatkan dan tidak nyata ini, dan pada saat yang sama, engkau menganggapnya sebagai motomu, dan sebagai prinsip, standar, dan dasar bagi tindakanmu. Dan kemudian, engkau bahkan menganggap bahwa Tuhan juga memercayai ungkapan-ungkapan ini, dan bahwa firman-Nya hanyalah pendekatan yang berbeda terhadap gagasan yang sama ini, dan bahwa ungkapan-ungkapan ini adalah makna umum dari firman-Nya: sebuah seruan agar orang-orang bisa menjadi baik. Apakah pandangan ini benar? Apakah ungkapan-ungkapan ini adalah makna firman Tuhan dan kebenaran yang Dia ungkapkan? Sama sekali tidak; yang Tuhan maksudkan tidak ada kaitannya dengan ungkapan-ungkapan ini. Oleh karena itu, sikap orang terhadap kebenaran harus dibalik, dan pengakuan mereka terhadap kebenaran harus dikoreksi—yang berarti standar yang mereka gunakan untuk memosisikan kebenaran harus dikoreksi dan dibalik. Jika tidak, akan sulit bagi mereka untuk menerima kebenaran, dan mereka tidak akan mampu memulai jalan mengejar kebenaran. Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Secara umum, semua firman Tuhan adalah kebenaran. Lalu, apa yang dimaksud dengan kebenaran—secara lebih spesifik? Aku telah memberitahumu sebelumnya. Apa yang Kukatakan? ("Kebenaran adalah standar untuk perilaku, tindakan, dan penyembahan manusia kepada Tuhan" (Firman, Vol. 4, Menyingkapkan Antikristus, Bab Delapan (Bagian Tiga)).) Benar. Kebenaran adalah standar untuk perilaku, tindakan, dan penyembahan manusia kepada Tuhan. Jadi, apakah kebenaran ada kaitannya dengan hal-hal yang orang, dalam gagasan mereka, yakini sebagai sesuatu yang benar dan baik? (Tidak.) Berasal dari manakah hal-hal manusiawi itu? (Dari falsafah hidup Iblis tentang cara berinteraksi dengan orang lain, dan dari pemikiran tertentu yang ditanamkan dalam diri manusia oleh budaya tradisional.) Benar. Tepatnya, ungkapan-ungkapan ini berasal dari Iblis. Dan siapakah orang-orang ternama dan terkenal yang menanamkan ungkapan-ungkapan ini dalam diri manusia? Bukankah mereka adalah Iblis? (Ya.) Semua leluhurmu itu adalah Iblis—mereka adalah Iblis yang hidup dan bernafas. Lihat saja pepatah-pepatah yang dianut oleh orang Tionghoa itu: "Betapa senangnya ketika seorang teman datang dari jauh", "Setelah kau tiba, kau sebaiknya tinggal", "Jangan bepergian jauh saat orang tuamu masih hidup", "Bakti anak kepada orang tua adalah kebajikan yang harus diutamakan di atas segalanya", "Dari ketiga perilaku tidak berbakti, tidak memiliki keturunan adalah yang terburuk", "Orang mati dianggap yang paling penting", "Saat seseorang mendekati kematian, perkataannya benar dan baik". Analisislah pepatah-pepatah ini dengan saksama—apakah ada di antaranya yang benar? (Tidak.) Semua itu adalah kekeliruan dan perkataan setan. Katakan kepada-Ku, betapa bodohnya orang-orang telah secara keliru menganggap semua kekeliruan dan perkataan setan ini sebagai kebenaran setelah mereka menerima pekerjaan Tuhan? Apakah orang-orang ini memiliki kemampuan untuk memahami kebenaran? (Tidak.) Orang-orang semacam itu adalah jenis orang yang tidak masuk akal dan mereka sama sekali tidak mampu memahami kebenaran. Dan engkau semua—setelah membaca begitu banyak firman Tuhan, bukankah engkau memiliki sedikit pemahaman tentang kebenaran? (Ya.) Berasal dari manakah kebenaran itu? (Kebenaran berasal dari Tuhan.) Kebenaran berasal dari Tuhan. Jangan memercayai perkataan apa pun yang bukan diucapkan oleh Tuhan. Falsafah hidup Iblis tentang cara berinteraksi dengan oran lain dan gagasan dari budaya tradisional itu bukanlah kebenaran, dan orang tidak boleh memandang orang dan hal-hal, atau berperilaku dan bertindak berdasarkan semua itu, atau menjadikan hal-hal semacam itu sebagai standar mereka, karena semua itu bukan berasal dari Tuhan. Selama sesuatu itu berasal dari manusia, entah itu berasal dari budaya tradisional atau orang terkenal, atau entah itu berasal dari produk pembelajaran atau masyarakat, atau berasal dari dinasti atau ras apa pun—itu bukanlah kebenaran. Namun, justru hal-hal inilah yang dianggap orang sebagai kebenaran, yang mereka kejar dan terapkan sebagai pengganti kebenaran. Dan sementara melakukannya, mereka mengira bahwa mereka sedang menerapkan kebenaran dan bahwa itu hampir sama artinya mereka sedang memenuhi maksud Tuhan, padahal sebenarnya yang terjadi justru sebaliknya: ketika engkau mengejar dan melakukan penerapan berdasarkan hal-hal ini, engkau akan semakin jauh dari tuntutan Tuhan dan semakin jauh dari kebenaran.
Pada dasarnya tidak masuk akal orang sampai dapat secara keliru menganggap hal-hal yang manusia anggap baik dan positif ini sebagai kebenaran, dan mengejarnya seolah-olah semua itu adalah kebenaran. Mengapa orang-orang yang telah menerima pekerjaan Tuhan dan membaca banyak firman-Nya masih dapat terus secara keliru menganggap hal-hal yang manusia anggap baik ini sebagai kebenaran, dan mengejarnya seolah-olah itu adalah kebenaran? Apa masalahnya di sini? Ini cukup untuk memperlihatkan bahwa orang-orang tidak memahami apa yang dimaksud dengan kebenaran, dan mereka tidak memiliki pemahaman yang benar tentang kebenaran. Ini adalah salah satu faktor dalam pertanyaan yang baru saja Kutanyakan: "Mengingat bahwa hal-hal ini bukanlah kebenaran, mengapa orang-orang terus menerapkannya dan menganggap bahwa mereka sedang menerapkan kebenaran?" Aku akan berbicara tentang faktor lainnya, faktor yang menyinggung watak rusak manusia. Orang-orang meyakini bahwa hal-hal yang mereka anggap baik, benar, dan positif dalam gagasan mereka adalah kebenaran, dan di atas dasar ini, mereka membuat sebuah rencana, meyakini bahwa jika mereka telah memuaskan Tuhan dan Tuhan senang, Dia akan menganugerahkan kepada mereka berkat yang Dia janjikan kepada manusia. Bukankah rencana ini merupakan upaya untuk bertransaksi dengan Tuhan? (Ya.) Di satu sisi, orang-orang menjunjung tinggi dan mengejar hal-hal ini sembari memiliki pemahaman yang keliru dan tidak masuk akal, dan di sisi lain, mereka berusaha bertransaksi dengan Tuhan dengan keinginan dan ambisi mereka sendiri. Bukankah itu faktor lainnya? (Ya.) Kita telah sering bersekutu tentang faktor ini di masa lalu, jadi kita tidak akan membicarakannya secara mendetail sekarang. Jadi, Aku bertanya kepadamu: ketika seseorang yang percaya kepada Tuhan melepaskan segalanya, menderita, mengorbankan dirinya, dan membayar harga demi Tuhan, bukankah mereka memiliki niat dan tujuan ketika melakukannya? (Ya.) Adakah orang yang berkata, "Aku tidak menginginkan apa pun dan tidak meminta apa pun. Aku akan melepaskan segalanya, mengorbankan diriku, dan membayar harga, bagaimanapun keadaannya. Itu saja. Aku tidak punya keinginan dan ambisi pribadi. Bagaimanapun Tuhan memperlakukanku tidak masalah. Dia mungkin memberiku upah, mungkin saja tidak—bagaimanapun juga, aku telah bertindak sesuai dengan tuntutan-Nya, aku telah mempersembahkan diriku, aku telah meninggalkan segalanya, aku telah membayar harga dan menderita"? Adakah orang yang seperti itu? (Tidak.) Hingga saat ini, orang yang seperti ini belum pernah dilahirkan. Beberapa orang mungkin berkata, "Orang seperti itu pasti hidup sendirian tanpa berinteraksi dengan orang lain." Meskipun seseorang hidup sendirian tanpa berinteraksi dengan orang lain, dia tidak akan menjadi seperti ini: dia pasti tetap memiliki watak rusak, ambisi, dan keinginan, dan dia akan tetap berusaha bertransaksi dengan Tuhan. Jadi, faktor kedua dalam pertanyaan ini adalah bahwa begitu orang-orang menganggap hal-hal yang mereka yakini benar sebagai kebenaran, mereka membuat sebuah rencana. Dan apa rencananya? Rencananya adalah menerapkan hal-hal ini untuk menukarkannya dengan berkat yang telah Tuhan janjikan kepada manusia, dan untuk tempat tujuan yang indah. Mereka meyakini bahwa asalkan sesuatu dianggap positif oleh manusia, itu pasti benar, jadi mereka melakukan dan mengejar apa pun yang mereka yakini benar, dan mereka mengira dengan bertindak dengan cara seperti ini, mereka pasti akan diberkati oleh Tuhan. Itulah rencana manusia. Faktor kedua ini murni berkenaan dengan orang yang berusaha memuaskan ambisi dan keinginan pribadi mereka dan berusaha bertransaksi dengan Tuhan. Jika engkau tidak memercayainya, coba saja larang orang agar tidak bertransaksi, lalu suruhlah mereka menyingkirkan keinginan dan ambisi mereka—suruhlah mereka melepaskan keinginan dan ambisi mereka. Mereka akan segera kehilangan minat untuk menderita dan membayar harga. Mengapa mereka kehilangan minat untuk menderita dan membayar harga? Karena mereka akan merasa bahwa mereka telah kehilangan masa depan dan nasib mereka, bahwa tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk diberkati, dan bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa pun. Yang mereka lakukan bukanlah kebenaran, dan yang mereka kejar bukanlah kebenaran, melainkan hal-hal yang mereka bayangkan sebagai hal yang positif, tetapi, ketika keinginan dan ambisi mereka pupus, mereka bahkan tidak mau lagi membayar harga untuk hal-hal ini. Katakan kepada-Ku, apa yang orang miliki? Apakah mereka memiliki iman yang sejati? (Tidak.) Selain itu, apakah orang-orang itu setia? Beberapa orang mungkin berkata, "Apa pun yang Tuhan katakan sekarang, kami mengikuti Dia. Apa pun yang Dia katakan, kami tidak menjadi negatif atau patah semangat, dan kami tidak mundur, apalagi menyerah. Meskipun Tuhan tidak menginginkan kami, dan Dia berkata bahwa kami adalah orang yang berjerih lelah dan bekerja keras, bahwa kami bukanlah orang yang mengejar kebenaran, dan bahwa kami tidak memiliki harapan untuk diselamatkan, kami akan tetap mengikuti Dia tanpa ragu dan bertahan dalam melaksanakan tugas kami. Bukankah itu arti kesetiaan? Bukankah itu arti beriman? Bukankah menjadi setia dan beriman sama dengan mengejar kebenaran? Bukankah itu berarti kami sedang mengejar kebenaran sampai taraf tertentu?" Katakan kepada-Ku, apakah itu yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? (Bukan.) Apa maksudnya mengatakan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Ini berarti bahwa semua "jalan kehidupan" manusia telah ditutup, bahwa mereka bahkan tidak dapat diselamatkan. Lalu, apa yang harus dilakukan? Apakah ada yang bisa dilakukan? Entah ada yang bisa mereka lakukan atau tidak, bagaimana perasaan orang-orang setelah mendengar hal ini? Mereka merasa sangat kecewa: "Apakah ini berarti aku sama sekali tak punya harapan untuk diberkati? Apa yang sedang terjadi?" Orang benar-benar menjadi bingung dalam keadaan ini. Sekarang setelah firman-Ku menyingkirkan semua "jalan kehidupan"-mu, akan Kulihat apa yang akan kaulakukan setelah ini. Beberapa orang berkata, "Bekerja keras, atau berusaha bertransaksi, atau memiliki pemahaman yang menyimpang, atau menderita dan membayar harga itu tidak benar—jadi apa yang benar untuk dilakukan? Apa pun yang Tuhan katakan, kami tidak akan meninggalkan Dia. Kami akan tetap melaksanakan tugas kami. Bukankah itu berarti kami sedang menerapkan kebenaran?" Pertanyaan ini harus dipahami dengan jelas. Karena orang-orang tidak memahami kebenaran dan selalu memiliki pemahaman yang menyimpang tentang apa yang dimaksud dengan menerapkan kebenaran, mereka yakin bahwa meninggalkan segalanya, mengorbankan diri, menderita, dan membayar harga berarti menerapkan kebenaran dan tunduk kepada Tuhan. Ini adalah kesalahan besar. Menerapkan kebenaran berarti menerapkan firman Tuhan, tetapi orang-orang harus menerapkannya dengan prinsip—mereka sama sekali tidak boleh menerapkan firman Tuhan berdasarkan gagasan dan imajinasi manusia. Yang Tuhan inginkan adalah hati yang tulus, hati yang mengasihi Tuhan, dan hati yang memuaskan Dia. Hanya menerapkan firman Tuhan dengan cara seperti inilah yang dimaksud dengan menerapkan kebenaran. Jika orang selalu ingin bertransaksi dengan Tuhan ketika dia mengorbankan dirinya untuk Dia, dan untuk memuaskan ambisi dan keinginannya sendiri, berarti dia tidak sedang menerapkan kebenaran, dia sedang bermain-main dengan kebenaran dan menginjak-injaknya, dan dia adalah orang munafik. Jadi, jika seseorang mampu menerima firman penghakiman Tuhan, dan tidak meninggalkan Tuhan dan tetap melaksanakan tugasnya meskipun niat dan keinginannya untuk mendapatkan berkat telah pupus, dan meskipun tidak memiliki apa pun untuk dinantikan dan tidak ada yang memotivasi dirinya, apakah ini berarti dia sedang mengejar dan menerapkan kebenaran? Menurut pandangan-Ku, jika kita mengukur hal ini berdasarkan definisi tentang apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran, maka ini masih belum mengejar kebenaran, dan ini sama sekali jauh dari standar mengejar kebenaran. Sekarang setelah kita memiliki definisi yang akurat tentang mengejar kebenaran, kita harus benar-benar mengikuti definisi tersebut secara ketat saat menilai tindakan, perilaku, dan perwujudan orang. Penilaian seperti apa yang bisa didapatkan berdasarkan kemampuan seseorang untuk tetap mengikuti Tuhan dan bertahan dalam melaksanakan tugasnya, meskipun tanpa harapan untuk diberkati? Bahwa sebagai makhluk ciptaan, manusia dilahirkan dengan dua hal yang berharga dalam kemanusiaan mereka, dan jika engkau dapat memanfaatkan keduanya, itu setidaknya akan memastikan dirimu untuk tetap mengikuti Tuhan. Tahukah engkau semua apa kedua hal itu? (Hati nurani dan nalar.) Benar. Ada dua hal yang paling berharga dalam diri manusia—ketika orang-orang tidak memahami kebenaran, ketika mereka memiliki kualitas yang sangat buruk, dan mereka sama sekali tidak memiliki pemahaman atau jalan masuk sehubungan dengan tuntutan Tuhan dan kebenaran, dan mereka masih mampu untuk tetap teguh di posisi mereka, apa prasyarat dasar yang memampukan mereka untuk tetap teguh? Mereka harus memiliki hati nurani dan nalar manusia normal. Jadi, jawabannya jelas. Karena orang-orang tidak mengejar kebenaran, dan tidak memiliki keinginan atau ambisi untuk diberkati, karena keinginan mereka untuk diberkati telah dilucuti, jika mereka tetap mampu mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugas mereka, atas dasar apa mereka melakukannya? Apa yang memotivasi mereka? Tidak ada dasar atau motivasi untuk tindakan mereka—asalkan manusia memiliki hati nurani dan nalar manusia normal, mereka mampu mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugas mereka. Beginilah keadaannya sekarang: engkau tidak memahami kebenaran, itu adalah fakta—dan pemahamanmu tentang doktrin tidak berguna, itu bukan berarti engkau telah masuk ke dalam kenyataan kebenaran. Engkau tahu bahwa berusaha bertransaksi dengan Tuhan untuk mengejar masa depan dan nasib bagi dirimu sendiri adalah salah, tetapi yang benar-benar luar biasa adalah jika engkau tetap senang mengikuti Tuhan dan melaksanakan tugasmu setelah pengejaranmu akan masa depan dan nasib, dan keinginanmu untuk diberkati telah dikutuk dan dilucuti darimu. Jika engkau mampu mengikuti Tuhan tanpa memperoleh kebenaran, apa yang membuat dirimu mampu mengikuti Tuhan? Itu akan tergantung pada hati nurani dan nalarmu. Hati nurani dan nalar seseorang mampu menyokong keberadaan, kehidupan, dan perlakuan normal dirinya terhadap orang dan hal-hal. Jadi, apa perbedaan antara melaksanakan tugasmu berdasarkan hati nurani dan nalarmu dan menerapkan kebenaran? Perwujudan dari seseorang yang mengejar kebenaran adalah dia memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standar mereka, sedangkan orang-orang yang hanya bertindak berdasarkan hati nurani dan nalar mereka mungkin tidak mengejar kebenaran, tetapi mereka tetap mampu bekerja keras, melaksanakan tugas mereka, dan tetap berada di rumah Tuhan, tanpa catatan buruk apa pun. Hal itu bergantung pada apa? Mereka memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, berdasarkan standar hati nurani dan nalar mereka, dan bukan melakukannya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standar mereka. Jadi, dari sudut pandang ini, jika engkau hanya melaksanakan tugasmu berdasarkan hati nurani dan nalarmu, bukankah ada perbedaan antara melaksanakan tugas dan mengejar kebenaran? (Ya.) Melaksanakan tugas berdasarkan hati nurani dan nalar berarti merasa puas hanya dengan bekerja keras; itu berarti standarnya hanya bekerja keras dengan baik, tidak menyebabkan gangguan atau kekacauan, patuh dan tunduk, memiliki perilaku yang baik dan hubungan yang baik dengan orang lain, dan tidak memiliki catatan buruk. Apakah standar itu cukup untuk mengejar kebenaran? Tidak. Sebanyak apa pun perilaku baik yang seseorang miliki, jika dia sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang watak rusaknya, ataupun pemahaman tentang pemberontakan, gagasan, kesalahpahamannya tentang Tuhan, dan berbagai keadaan negatif dalam dirinya; dan jika tidak mungkin baginya untuk membereskan hal-hal ini; jika tidak mungkin baginya untuk memahami prinsip untuk menerapkan kebenaran; dan jika tak satu pun dari penyingkapan watak rusaknya telah dibereskan; dan jika dia tetap congkak dan merasa dirinya benar, bertindak semaunya dan ceroboh, bengkok dan curang, dan ada kalanya dia malah menjadi semakin negatif dan lemah serta meragukan Tuhan, dan sebagainya—jika hal-hal ini masih ada di dalam dirinya, dapatkah dia mencapai ketundukan kepada Tuhan? Jika watak-watak rusak ini masih ada di dalam dirinya, apakah dia dapat benar-benar mengalami pekerjaan Tuhan? Jika seseorang hanya memiliki perilaku yang baik, apakah itu perwujudan dari mengejar kebenaran? (Bukan.) Apa hal-hal terbaik dalam diri manusia? Hanya hati nurani dan nalar manusia; hanya kedua hal inilah yang positif, dan itulah yang berharga dalam diri manusia. Namun, tak satu pun dari keduanya berkaitan dengan kebenaran; keduanya tak lebih daripada prasyarat paling dasar dalam hal mengejar kebenaran, yang berarti jika engkau memiliki hati nurani dan nalar manusia normal, dan engkau mampu memahami kebenaran, engkau akan mampu membuat pilihan yang benar ketika sesuatu menimpamu. Hati nurani dan nalar yang manusia miliki adalah ini: Tuhan adalah Tuhan atas ciptaan, dan engkau adalah makhluk ciptaan; Tuhan telah memilihmu, jadi memang sudah sewajarnya engkau mengabdikan dirimu dan mengorbankan dirimu untuk Tuhan, dan memang sudah sewajarnya engkau mendengarkan firman-Nya. "Sudah sewajarnya" ini ditentukan oleh hati nurani dan nalarmu—tetapi sudahkah engkau mendengarkan firman Tuhan? Apa prinsip dan metode di balik tindakanmu? Engkau memiliki watak yang rusak—apakah engkau telah memberontak terhadap watak rusakmu? Sudahkah engkau membereskannya? Hal-hal seperti itu tidak ada kaitannya dengan apa yang "sudah sewajarnya". Jika engkau tidak melangkah lebih jauh daripada landasan tentang apa yang sudah sewajarnya dilakukan dan bagaimana bertindak sudah sewajarnya ini, dan engkau hidup di dalam lingkup dari apa yang "sudah sewajarnya" ini, bukankah itu pengaruh dari hati nurani dan nalarmu? (Ya.) Hati nuranimu berkata, "Tuhan telah menyelamatkanku, jadi aku harus mengorbankan diriku untuk Dia. Tuhan telah menyelamatkan hidupku dan memberiku hidup yang kedua, jadi sudah sewajarnya aku membalas kasih-Nya. Tuhan adalah Tuhan atas ciptaan, dan aku adalah makhluk ciptaan, jadi aku harus tunduk pada pengaturan-Nya." Bukankah ini pengaruh dari hati nurani dan nalarmu? (Ya.) Berbagai perilaku, cara bertindak, sikap, dan pandangan yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengaruh hati nurani dan nalar mereka, hanya berada di dalam lingkup kemampuan hati nurani dan nalar mereka secara alami, dan mereka gagal menerapkan kebenaran. Bukankah demikian? (Ya.) Beberapa orang mungkin berkata, misalnya, "Rumah Tuhan telah meninggikanku dengan mengizinkanku melaksanakan tugas, dan rumah Tuhan memberiku makanan, pakaian, dan mengatur tempat tinggalku. Rumah Tuhan mengurus setiap aspek hidupku. Aku telah menikmati begitu banyak kasih karunia Tuhan, jadi aku harus membalas kasih-Nya; aku tidak boleh memperlakukan Tuhan dengan bersikap asal-asalan dalam tugasku, apalagi melakukan sesuatu yang mengacaukan atau mengganggu. Aku bersedia tunduk pada apa pun yang rumah Tuhan atur untukku. Apa pun yang rumah Tuhan minta untuk kulakukan, aku tidak akan mengeluh." Pernyataan semacam ini baik; bukankah sangat mudah bagi seseorang yang memiliki hati nurani dan nalar untuk melakukan hal ini? (Ya.) Dapatkah itu disamakan dengan standar menerapkan kebenaran? (Tidak bisa.) Itu jauh dari menerapkan kebenaran. Oleh karena itu, betapapun mulianya hati nurani atau nalar seseorang, atau apakah dia mampu melakukan segala sesuatu di bawah kendali hati nurani dan nalarnya, dan betapapun pantas dan baiknya tindakannya, atau betapapun banyaknya orang lain yang mengagumi tindakan tersebut, semua itu tak lebih daripada perilaku baik manusia. Semua itu hanya dapat digolongkan ke dalam ranah perilaku baik manusia; semua itu pada dasarnya jauh dari standar menerapkan kebenaran. Ketika engkau berinteraksi dengan orang lain berdasarkan nalarmu, engkau akan sedikit lebih lembut dalam berbicara, dan engkau tidak akan menyerang orang lain, atau menjadi marah, engkau tidak akan menekan, atau mengendalikan, atau menindas, atau berusaha memiliki pengaruh atas orang lain, dan sebagainya—semua ini adalah hal-hal yang dapat dicapai oleh nalar manusia normal—tetapi apakah semua itu berkaitan dengan menerapkan kebenaran? Tidak, semua itu tidak ada kaitannya. Semua itu adalah hal-hal yang dapat dicapai oleh nalar manusia, dan ada perbedaan tertentu antara hal-hal itu dan kebenaran.
Mengapa Kukatakan bahwa bertindak berdasarkan hati nurani dan nalar tidak ada kaitannya dengan menerapkan kebenaran? Akan Kuberikan contohnya. Katakanlah seseorang telah bersikap baik kepadamu, dan engkau memiliki hubungan yang baik dengannya, dan dia menerima pekerjaan Tuhan pada akhir zaman, dan kemudian mengabarkan Injil kepadamu—dan ini sama saja dengan Tuhan memakai dia untuk mengabarkan Injil kepadamu. Setelah engkau menerima pekerjaan baru Tuhan, engkau merasa makin berterima kasih kepadanya, dan selalu ingin membalas kebaikannya. Jadi, engkau memberinya sedikit kelonggaran dalam apa pun yang kaulakukan, dan dalam apa pun yang kaukatakan kepadanya, engkau selalu bersikap sopan. Engkau sangat sopan, hormat, dan sabar terhadapnya, dan hal buruk apa pun yang dia lakukan, atau seperti apa pun karakternya, engkau sabar dan menyesuaikan diri terhadapnya, sampai-sampai kapan pun dia meminta bantuanmu saat sedang menghadapi kesulitan, engkau membantunya tanpa syarat. Mengapa engkau melakukan hal ini? Apa yang memengaruhi tindakanmu? (Hati nuraniku.) Ini dilakukan karena pengaruh dari hati nuranimu. Pengaruh hati nuranimu ini tidak dapat disebut positif atau negatif; yang dapat dikatakan hanyalah bahwa engkau memiliki hati nurani dan sedikit kemanusiaan, dan bahwa ketika seseorang bersikap baik kepadamu, engkau berterima kasih dan membalas kebaikannya. Dari sudut pandang itu, engkau adalah orang yang baik. Namun, jika kita mengukur hal ini dengan menggunakan kebenaran, kita mungkin akan memiliki kesimpulan yang berbeda. Misalkan suatu hari, orang itu melakukan kejahatan dan dia akan dikeluarkan oleh gereja, dan engkau tetap mengukur dirinya dengan menggunakan hati nuranimu, dan berkata, "Dialah yang mengabarkan Injil kepadaku. Aku tidak akan melupakan kebaikannya selama aku hidup; jika bukan karena dia, aku tidak akan berada di posisiku sekarang. Meskipun dia melakukan kejahatan hari ini, aku tidak dapat menyingkapkan dirinya. Meskipun aku melihat bahwa apa yang dia lakukan itu salah, aku tidak dapat mengatakannya, karena dia telah banyak membantuku. Aku mungkin tidak dapat membalas kebaikannya, tetapi aku tidak boleh menyerang dirinya. Jika orang lain ingin melaporkannya, silakan, tetapi aku tidak akan melakukannya. Aku tidak mau mempersulit keadaannya—jika aku melakukannya, orang macam apa aku ini? Bukankah itu akan membuatku menjadi orang yang tidak berhati nurani? Bukankah orang yang tidak berhati nurani hanyalah binatang buas?" Bagaimana menurutmu? Apa pengaruh hati nurani dalam keadaan seperti itu? Bukankah pengaruh hati nurani itu dalam hal ini melanggar kebenaran? (Ya.) Dari hal ini, kita dapat memahami bahwa terkadang, pengaruh hati nurani seseorang dibatasi dan dipengaruhi oleh perasaan mereka, dan akibatnya, keputusan mereka bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Dengan demikian, kita dapat melihat satu fakta dengan jelas: pengaruh hati nurani orang lebih rendah dari standar kebenaran, dan terkadang orang melanggar kebenaran saat bertindak berdasarkan hati nurani mereka. Jika engkau percaya kepada Tuhan, tetapi tidak hidup berdasarkan kebenaran, dan malah bertindak berdasarkan hati nuranimu, dapatkah engkau melakukan kejahatan dan menentang Tuhan? Engkau akan benar-benar mampu melakukan beberapa hal yang jahat—sama sekali tidak dapat dikatakan bahwa bertindak berdasarkan hati nurani tidak pernah salah. Ini memperlihatkan bahwa jika orang ingin memuaskan Tuhan dan menjadi sesuai dengan maksud-Nya, bertindak berdasarkan hati nurani saja sangat tidak cukup. Orang harus bertindak berdasarkan kebenaran agar dapat memenuhi tuntutan Tuhan. Ketika engkau memperlakukan hati nuranimu sebagai kebenaran dan menganggapnya lebih tinggi dari segalanya, lalu di manakah engkau menempatkan kebenaran? Engkau telah mengganti kebenaran dengan hati nuranimu; bukankah itu menentang kebenaran? Bukankah itu melawan kebenaran? Jika engkau hidup berdasarkan hati nuranimu, engkau dapat melanggar kebenaran, dan melanggar kebenaran berarti menentang Tuhan. Ada banyak orang yang menjadikan hati nurani mereka sebagai standar dalam ucapan dan tindakan mereka setelah percaya kepada Tuhan, dan mereka juga berperilaku berdasarkan hati nurani mereka. Apakah bertindak berdasarkan hati nurani berarti menerapkan kebenaran, ataukah tidak? Dapatkah hati nurani menggantikan kebenaran? Dalam hal apa, tepatnya, perbedaan antara bertindak berdasarkan hati nurani dan bertindak berdasarkan kebenaran? Sebagian orang selalu bersikeras untuk bertindak berdasarkan hati nurani mereka, dan mengira mereka adalah orang yang mengejar kebenaran. Apakah pandangan itu benar? (Tidak.) Dapatkah perasaan hati nurani seseorang menggantikan kebenaran? (Tidak.) Kesalahan apa yang sedang orang-orang ini lakukan? (Mereka sedang menentang kebenaran, yang berarti menentang Tuhan.) Benar. Mereka menyamakan perasaan hati nurani mereka dengan kebenaran, yang membuat mereka cenderung melanggar kebenaran. Orang semacam ini selalu memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan standar hati nuraninya, dengan hati nuraninya sebagai tolok ukur dirinya. Dia terjerat dan dikendalikan oleh hati nuraninya, dan pada saat yang sama, nalarnya juga dikendalikan oleh hati nuraninya. Jika seseorang dikendalikan oleh hati nuraninya, dapatkah dia tetap mencari kebenaran dan melakukan penerapan berdasarkan kebenaran? Tidak. Jadi, dapatkah hati nurani menggantikan kebenaran? Tidak. Beberapa orang mungkin bertanya, "Karena kita tidak dapat menggunakan hati nurani kita untuk mengukur bagaimana kita memperlakukan orang lain, dan karena kita tidak boleh menganggap hati nurani kita sebagai kebenaran, bolehkah kita menggunakan standar hati nurani kita untuk mengukur bagaimana kita memperlakukan Tuhan?" Pertanyaan ini layak untuk dipertimbangkan. Bagaimanapun juga, hati nurani seseorang tidak dapat menggantikan kebenaran. Jika engkau tidak memiliki kebenaran dan engkau memperlakukan Tuhan berdasarkan hati nuranimu, itu bisa dianggap baik menurut standar manusia, tetapi engkau tidak akan mampu mencapai kasih atau ketundukan kepada Tuhan dengan mengandalkan standar hati nurani ini—paling-paling engkau hanya akan dapat menghindarkan dirimu melanggar kebenaran atau menentang Tuhan. Beberapa orang mungkin berkata, "Engkau tidak perlu menggunakan hati nuranimu terhadap orang lain, dan engkau juga tidak perlu menggunakan hati nuranimu terhadap Tuhan." Apakah itu benar, ataukah salah? Dari sudut pandang doktrin dan teori, itu sepertinya salah, bukan? Jadi, gunakanlah kebenaran untuk mengukurnya—apakah itu terdengar benar bagimu? Apakah Tuhan meminta orang-orang untuk memperlakukan diri-Nya dengan menggunakan hati nurani mereka? Apa yang Tuhan tuntut dari manusia? Bagaimana Dia menuntut manusia untuk memperlakukan diri-Nya? Engkau mungkin memiliki hati nurani, tetapi apakah engkau tulus? Jika engkau memiliki hati nurani tetapi tidak tulus, itu tidak dapat diterima. Yang Tuhan tuntut adalah manusia memperlakukan Dia dengan tulus. Ada tertulis dalam Alkitab, "Hendaklah engkau mengasihi Tuhanmu, dengan seluruh hatimu, dan dengan seluruh jiwamu, dan dengan seluruh pikiranmu, dan dengan seluruh kekuatanmu" (Markus 12:30). Apa yang Tuhan tuntut? (Agar orang-orang mengasihi Tuhan dengan segenap hati mereka, dan dengan segenap pikiran mereka, dan dengan segenap jiwa mereka.) Apa yang Tuhan inginkan dari manusia? (Ketulusan mereka.) Benar. Pernahkah Tuhan berkata, "Engkau semua harus mengasihi-Ku dengan hati nurani dan nalarmu, dan nalurimu"? Apakah Tuhan mengatakan itu? (Tidak.) Mengapa Tuhan tidak mengatakan itu? (Karena hati nurani bukanlah kebenaran.) Apa yang dimaksud dengan hati nurani? (Hati nurani adalah standar kemanusiaan yang terendah.) Benar, hati nurani dan nalar adalah standar kemanusiaan yang terendah dan paling dasar. Bagaimana engkau bisa tahu apakah seseorang itu baik atau tidak, dan apakah mereka memiliki kemanusiaan atau tidak? Bagaimana engkau bisa mengukur hal ini? Dengan apa engkau mengukur hal ini? Standar terendah dan paling dasar adalah apakah orang itu memiliki hati nurani dan nalar. Itulah standar yang dapat engkau gunakan untuk mengukur apakah seseorang memiliki kemanusiaan atau tidak. Lalu, apa standar untuk mengukur apakah seseorang mengejar kebenaran atau tidak? Engkau dapat mengetahui apakah seseorang mengejar kebenaran atau tidak berdasarkan apakah mereka memiliki hati nurani dan nalar atau tidak—apakah perkataan ini adalah kebenaran? Apakah pernyataan ini benar? (Tidak.) Lalu, apa yang Tuhan inginkan dari manusia? (Ketulusan.) Tuhan menginginkan ketulusan manusia. Terdiri dari apakah ketulusan itu? Apa yang harus orang lakukan untuk memperlihatkan ketulusan? Jika orang hanya berkata bahwa pada saat berdoa dia mempersembahkan ketulusannya kepada Tuhan, tetapi setelah itu, dia tidak dengan tulus mengorbankan dirinya untuk Tuhan atau melaksanakan tugasnya dengan setia, apakah itu ketulusan? Itu bukanlah ketulusan—itu adalah penipuan. Jadi, perilaku apa yang merupakan perwujudan dari ketulusan? Secara spesifik seperti apakah bersikap tulus itu? Apakah engkau tahu? Bukankah bersikap tulus berarti bersikap tunduk kepada Tuhan? (Ya.) Seseorang hanya tulus jika dia memiliki sikap yang tunduk. Bukankah ini jauh lebih tinggi daripada hati nurani? Hati nurani dan nalar manusia bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan ketulusan, ada perbedaan di antara keduanya. Hati nurani dan nalar orang tidak lebih daripada kondisi paling dasar untuk mempertahankan keberadaan diri mereka, kehidupan normal mereka, dan hubungan mereka dengan orang lain. Jika orang tidak memiliki hati nurani dan nalar, mereka tidak akan mampu hidup, atau memiliki kehidupan yang normal, atau memiliki hubungan dengan orang lain bahkan pada tingkat terdasar sekalipun. Lihat saja orang-orang yang tidak berhati nurani ataupun bernalar, orang-orang jahat itu—apakah ada orang dalam sebuah kelompok yang mau berinteraksi dengan mereka? (Tidak ada.) Tak seorang pun mau berinteraksi dengan mereka. Apa yang orang-orang rasakan saat berinteraksi dengan mereka? Orang-orang merasa jijik, benci—bahkan mungkin merasa takut, terkekang, dan terikat oleh mereka. Orang-orang semacam itu bahkan tidak memiliki hati nurani dan nalar kemanusiaan yang normal, dan tak seorang pun mau berinteraksi dengan mereka. Katakan kepada-Ku, akankah Tuhan menyelamatkan orang-orang ini? (Tidak.) Jika seorang yang jahat menanggapi siapa pun yang menyinggung perasaannya dengan berkata: "Jika ada kesempatan, akan kubunuh kau—akan kuhancurkan kau!" maka entah dia benar-benar mampu melakukan hal-hal itu atau tidak, bukankah fakta bahwa dia mampu mengatakan hal-hal seperti itu membuatnya menjadi orang yang jahat? (Ya.) Jadi, orang macam apakah dia, yang perkataannya menimbulkan rasa takut pada orang lain? Apakah dia adalah seseorang yang berhati nurani dan bernalar? (Tidak.) Dan apakah orang-orang yang tidak memiliki hati nurani dan nalar memiliki kemanusiaan? (Tidak.) Siapa yang berani berinteraksi dengan sejenis orang jahat yang tidak memiliki kemanusiaan? Apakah orang-orang jahat itu memiliki hubungan yang normal dengan orang lain? (Tidak.) Bagaimana keadaan hubungan mereka dengan orang lain? Semua orang takut kepada mereka, semua orang dibatasi dan dikekang oleh mereka—mereka ingin menindas semua orang yang mereka temui, dan menghukum semua orang. Apakah orang-orang semacam itu memiliki kemanusiaan yang normal? Tak seorang pun berani berinteraksi dengan orang semacam ini, yang tidak memiliki hati nurani dan nalar. Dia bahkan tidak mampu menjalani kehidupan manusia normal, jadi dia tidak ada bedanya dengan setan-setan dan binatang buas. Dalam kelompok, dia selalu mengkritik orang lain, menghukum satu orang lalu menghukum yang lainnya. Pada akhirnya, semua orang menjaga jarak darinya, semua orang menghindarinya. Dia tentunya sangat menakutkan! Dia bahkan tidak mampu membina hubungan antarpribadi yang normal dan kedudukannya dalam kelompok tidak akan stabil dan bertahan lama—orang macam apakah dia? Orang-orang semacam itu bahkan tidak memiliki kemanusiaan—dapatkah mereka mengejar kebenaran? (Tidak.) Orang macam apakah yang tidak memiliki kemanusiaan? Binatang buas, setan. Tuhan menganugerahkan kebenaran yang Dia ungkapkan kepada manusia, bukan kepada binatang buas dan setan. Hanya orang-orang yang memiliki hati nurani dan nalar yang layak disebut manusia. Katakan kepada-Ku sekali lagi: apakah hanya dibutuhkan hati nurani dan nalar untuk seseorang sepenuhnya hidup dalam kemanusiaan yang normal? Orang mungkin berkata bahwa masih ada celah, karena manusia memiliki watak yang rusak. Mereka harus mengejar kebenaran sebelum mereka mampu menyingkirkan watak rusak mereka dan hidup dalam kemanusiaan yang normal. Beberapa orang mungkin berkata, "Aku memiliki hati nurani dan nalar. Asalkan aku bisa memastikan diriku tidak melakukan kejahatan, aku akan memiliki kenyataan kebenaran." Apakah pernyataan itu benar? Jika seseorang memiliki hati nurani dan nalar, itu bukan berarti dia telah mengejar kebenaran—dan sekalipun dia hidup berdasarkan hati nurani dan nalarnya tersebut, bukan berarti dia telah mengejar kebenaran. Jadi, apa sebenarnya hati nurani dan nalar itu? Hati nurani dan nalar manusia hanyalah tanda dan kualitas kemanusiaan yang paling mendasar yang harus orang miliki untuk mengejar kebenaran. Hidup berdasarkan kedua hal ini bukan berarti seseorang sedang mengejar kebenaran, apalagi membuktikan bahwa dia memiliki kenyataan kebenaran. Dari contoh yang baru saja Kubicarakan, dapat dipahami bahwa ketika seseorang memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan hati nurani dan nalarnya, dia akan cenderung melanggar kebenaran dan prinsip. Dia jauh dari standar melakukan hal-hal tersebut berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya. Oleh karena itu, sebanyak apa pun hati nurani yang kaumiliki, dan senormal apa pun nalarmu, jika engkau tidak mampu memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarmu, engkau tidak sedang mengejar kebenaran. Demikian pula, sebanyak apa pun engkau menderita dan bekerja keras dalam lingkup naluri dari hati nurani dan nalarmu, tidak dapat dikatakan bahwa engkau sedang mengejar kebenaran.
Kita baru saja menelaah tiga hal, yang semuanya adalah prasangka dan kesalahpahaman yang orang-orang miliki tentang mengejar kebenaran. Katakan kepada-Ku, apakah ketiga hal itu? (Yang pertama adalah, orang-orang secara keliru menganggap hal-hal yang mereka anggap baik, benar, dan positif sebagai kebenaran, dan menggunakannya sebagai standar mereka—menggantikan tuntutan Tuhan terhadap manusia, dan menggantikan tuntutan dan standar firman-Nya—yang mana setelah itu, mereka mengejar dan melakukan hal-hal itu. Yang kedua adalah, dengan berlandaskan pada pemahaman mereka yang keliru, orang-orang berusaha bertransaksi dengan Tuhan sembari menyimpan keinginan dan ambisi mereka sendiri. Orang-orang meyakini bahwa setelah mereka memuaskan Tuhan dan Tuhan senang, Tuhan akan menganugerahkan janji-Nya kepada mereka. Yang ketiga adalah, orang-orang meyakini bahwa dengan berperilaku baik dan bertindak berdasarkan hati nurani dan nalar mereka, mereka telah menerapkan kebenaran.) Mengesampingkan ketiga hal itu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Mari kita kembali kepada definisi kita tentang mengejar kebenaran: "Memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya." Kata-kata ini cukup untuk membuat orang mengerti apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran dan bagaimana melakukannya. Kita telah berbicara banyak tentang apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran. Lalu, bagaimana cara orang mengejarnya? Kita telah bersekutu banyak tentang hal itu, baik saat ini maupun sebelumnya: dalam caramu memandang orang dan hal-hal, atau berperilaku dan bertindak, semua itu harus berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarmu. Itulah yang dimaksud dengan mengejar kebenaran. Hal lainnya yang tidak berkaitan dengan definisi ini bukanlah mengejar kebenaran. Tentu saja, jika, "memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya", tidak ditujukan pada watak rusak manusia, itu ditujukan pada beberapa pemikiran, pandangan, dan gagasan manusia. Dan jika itu ditujukan pada hal-hal ini, dan itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan agar memampukan manusia melakukan penerapan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran, dan tunduk pada firman Tuhan dan kebenaran, maka tentu saja, itu akan menjadi efek utama yang akan dicapai. "Memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya", cukup jelas dan eksplisit. Mengejar kebenaran pada akhirnya akan memberi jalan yang memampukan orang untuk menyingkirkan prasangka dalam tindakan mereka, dan untuk melepaskan keinginan dan ambisi mereka. Namun, orang-orang tidak boleh hidup bersembunyi di balik keyakinan bahwa mereka lebih unggul, bahwa mereka memiliki kemanusiaan, hati nurani, dan nalar, dan menggunakan ini untuk menggantikan prinsip penerapan yaitu menggunakan firman Tuhan sebagai dasar, dan kebenaran sebagai standar. Apa pun pembenaran diri yang kaumiliki, apa pun kelebihan dan keuntungan yang kaumiliki, semua itu tidak cukup untuk menggantikan memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarmu. Itu adalah kepastian yang mutlak. Sebaliknya, jika titik awalmu adalah engkau memandang orang dan hal-hal, serta engkau berperilaku dan bertindak sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai prinsip penerapanmu, itu berarti engkau sedang menerapkan kebenaran. Jika tidak, itu berarti engkau tidak sedang menerapkan kebenaran. Singkatnya, orang-orang yang hidup dalam gagasan dan imajinasi manusia, bertindak dengan niat untuk bertransaksi, atau selalu menggantikan mengejar kebenaran dan penerapannya dengan keyakinan bahwa mereka memiliki banyak perilaku moral yang baik—semua pendekatan semacam itu bodoh. Tak satu pun darinya adalah perwujudan dari mengejar kebenaran, dan pada akhirnya, hasil dari pendekatan yang bodoh ini adalah, orang tidak akan memahami kebenaran, mereka tidak akan mampu memahami maksud Tuhan, dan tidak akan mampu memulai jalan menuju keselamatan. Apakah engkau mengerti? (Ya.) Tentu saja, di antara mereka yang tidak mengejar kebenaran—selain dari mereka yang tidak dapat diselamatkan—ada sebagian orang yang bersedia menjadi pekerja yang akan bertahan hidup. Ini cukup bagus, ini bisa dianggap sebagai alternatif yang baik untuk tidak mengejar kebenaran. Jalan mana yang kaupilih secara khusus terserah kepadamu. Mungkin beberapa orang akan berkata, "Setelah semua persekutuan itu, Engkau masih belum memberi tahu kami cara memandang orang dan hal-hal, atau cara berperilaku dan bertindak." Bukankah sudah Kuberitahukan? (Ya.) Berdasarkan apa seharusnya orang memandang orang dan hal-hal, dan berperilaku dan bertindak? (Berdasarkan firman Tuhan.) Dan dengan apa sebagai standarnya? (Dengan kebenaran sebagai standarnya.) Lalu, apa arti firman Tuhan? Di manakah kebenaran itu? (Firman Tuhan adalah kebenaran.) Ada begitu banyak firman Tuhan, yang memberi tahu orang-orang tentang setiap aspek tentang cara memandang orang dan hal-hal, dan cara berperilaku dan bertindak, jadi kita tidak akan merinci tentang hal-hal ini sekarang. Sebutkan sekali lagi apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran. (Apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran? Memandang orang dan hal-hal, serta berperilaku dan bertindak, sepenuhnya berdasarkan firman Tuhan, dengan kebenaran sebagai standarnya.) Engkau semua harus menyimpan definisi ini di dalam hatimu, dan menggunakannya sebagai moto hidupmu. Sering-seringlah engkau memikirkan dan merenungkannya; bandingkanlah perilakumu, sikapmu dalam hidup, pandanganmu tentang segala sesuatu, dan niat serta tujuanmu dengan definisi ini. Setelah itu engkau akan mampu merasakan dengan jelas seperti apakah keadaanmu yang sebenarnya, dan esensi watak apa yang kauperlihatkan. Bandingkan perilakumu, sikapmu dalam hidup, pandanganmu tentang segala sesuatu, dan niat serta tujuanmu dengan definisi ini, dan jadikanlah definisi ini sebagai prinsip penerapanmu, dan sebagai jalan dan arah untuk penerapanmu. Ketika engkau mengejar dengan cara seperti ini, ketika engkau mampu sepenuhnya masuk dan hidup dalam definisi ini, engkau akan memahami apa yang dimaksud dengan mengejar kebenaran. Tentu saja, ketika engkau masuk ke dalam kenyataan definisi ini, engkau telah memulai jalan mengejar kebenaran. Ketika engkau memulai jalan mengejar kebenaran, apa yang akan terjadi? Kesulitan yang disebabkan oleh gangguan, kendali, dan kekangan dari watak rusakmu akan menjadi makin ringan. Mengapa demikian? Karena engkau akan merasa bahwa engkau memiliki jalan untuk membereskan watak rusakmu, dan ada harapan bagimu untuk diselamatkan. Hanya dengan cara demikianlah engkau akan merasa bahwa kehidupan yang benar-benar percaya kepada Tuhan dan makan serta minum firman-Nya adalah hal yang memuaskan, damai, dan sukacita. Setelah bertahun-tahun percaya kepada Tuhan, mereka yang tidak mencintai kebenaran tetap merasa bahwa hidup ini sangat hampa, dan tidak ada yang bisa mereka andalkan. Seringkali, mereka bahkan merasa sangat menyakitkan untuk hidup dalam watak yang rusak, dan meskipun mereka ingin menyingkirkannya, mereka tidak mampu. Mereka selamanya terkekang, terbelenggu, dan terikat oleh watak rusak mereka, yang menyebabkan mereka sangat menderita, tetapi mereka sama sekali tidak memiliki jalan untuk diikuti. Hari-hari getir mereka tidak ada habisnya. Jika mereka mampu menerima kebenaran dan memperoleh keselamatan, maka hari-hari getir ini pasti berlalu. Namun, hasil dari semua ini bergantung pada pengejaran dan jalan masukmu di masa depan.
29 Januari 2022