Pilihanku untuk Sisa Hidupku

02 Januari 2023

Oleh Saudara Xiao Yong, Tiongkok

Saat masih anak-anak, keluargaku terbilang miskin dan kami sering dirundung oleh penduduk desa lain. Aku selalu merasa sedih setiap kali melihat ibuku menangis karena hal itu. Tampaknya semua orang meremehkan kami karena perbedaan status dan kami tak pernah bisa maju. Selama masa tersebut, orang tuaku sering berkata, "'Orang miskin selalu sendiri meski berada di kota terbesar, tapi orang kaya akan memiliki pengunjung meski berada di pegunungan tertinggi,' jadi saat besar nanti, kau harus membangun reputasi dan menjadi lebih bersinar daripada rekan-rekanmu agar keluarga kita dihormati." Aku berpegang pada perkataan itu dan bekerja keras memperoleh status serta rasa hormat dari orang lain.

Tahun 1986, aku mengikuti rekrutmen program pelatihan untuk perusahaan nasional yang besar. Sepanjang pelatihan, aku belajar dengan tekun dan mendapatkan hasil terbaik untuk nilai dan perilaku hampir setiap bulan. Namun tiba-tiba, aku ditempatkan di posisi rendah yang tak memerlukan kompetensi tinggi, sedangkan orang lain dengan nilai yang lebih rendah dariku tapi merupakan keturunan keluarga terpandang, ditempatkan di posisi manajerial. Aku sangat terpukul dengan hasil ini, dan aku pun sadar, jika ingin unggul, keterampilan mumpuni saja tak cukup, aku juga harus belajar menjilat atasan. Jadi setelah itu, aku sering membantu pekerjaan bos di rumahnya dan saat dia sakit dan dirawat di rumah sakit, aku selalu siap menuruti perintah dan memenuhi panggilannya. Demi mendapatkan pengakuan bos, aku membeli segala jenis buku dan mencurahkan diri untuk belajar demi meningkatkan kemampuan manajemenku. Setelah kerja keras bertahun-tahun, akhirnya aku dipromosikan ke manajemen puncak. Di pabrik, semua pekerja menyapaku sambil mengangguk dan membungkuk, dan saat pulang, para tetangga mengunjungiku. Dalam sekejap, aku menjadi orang terpandang di desa kami. Makin banyak orang yang datang meminta bantuan, bahkan orang-orang yang dahulu meremehkan kami memperlakukan kami dengan berbeda dan kini mereka cukup ramah terhadapku. Dalam kesombonganku, aku sangat puas menjadi pusat perhatian dan dihujani kekaguman.

Tahun 1998, saat berusia 35 tahun, aku dipromosikan menjadi direktur pabrik. Meski telah memperoleh status dan otoritas, aku masih merasa gelisah. Karena kekurangan koneksi pribadi, aku khawatir jika kinerjaku buruk, aku tak akan bisa mempertahankan statusku. Jadi, seperti berjalan di atas lapisan es tipis, aku menangani pekerjaanku dengan sangat hati-hati, dengan kekhawatiran akan diberhentikan jika terjadi kesalahan. Demi melebarkan sayap bisnis kami, aku sering mengajak para klien kami makan malam mewah, mengajak mereka minum-minum dan berkaraoke. Aku sadar bahwa beberapa manajer bahkan menyuap klien mereka dengan uang dan pelacur. Aku membenci cara menjalankan bisnis seperti ini, tapi setelah berulang kali menimbang pilihanku, akhirnya aku menerima kenyataan. Selama waktu itu, aku berjuang menghadapi gangguan kecemasan dan memiliki masalah tidur. Akibat stress dari pekerjaan dan kecemasanku sendiri, aku mengidap diabetes, hipertensi, dan hiperlipidemia, selain penyakit lain. Setelah itu, perusahaanku berubah dari badan usaha milik negara menjadi milik swasta. Dua ratus atau tiga ratus karyawan membeli saham di perusahaan dan mengambil alih kepemilikan. Tiga tahun kemudian, untuk memaksimalkan penghasilan, kami membeli pemegang saham minoritas agar rencana ketua terus berlangsung, dan dalam sekejap, aku serta beberapa pemegang saham mayoritas lainnya menjadi jutawan dan perusahaan kami menjadi sumber penghasilan pajak utama di wilayah kami. Aku sering menghadiri rapat penting di daerah dan bahkan tampil di televisi. Kesombonganku benar-benar terpuaskan. Dari luar, aku terlihat berada di puncak dunia dan memiliki gaya hidup layaknya kaum elite, tapi di dalam hati aku merasa hampa dan gelisah. Setiap malam saat berbaring di kasur, aku berpikir: "Belakangan ini, aku mencurahkan hati dan jiwa pada pekerjaanku dan memperoleh status serta reputasi, tapi aku kehilangan harga diri dan kesehatanku terganggu. Apakah hidupku memang harus seperti ini? Apa artinya menjalani hidup seperti ini?"

Tapi kesibukanku tak membiarkanku merenung. Akibat terikat oleh status dan reputasi, aku hanya bisa terus maju.

Tapi tak disangka, saat akan mencapai puncak karierku, salah satu produk kami mengalami masalah kualitas akibat kelalaianku dalam manajemen, dan akhirnya merugikan perusahaan senilai jutaan yuan. Saat itu, aku merasa sangat bersalah. Selama bekerja di perusahaan itu, aku selalu memberikan perbaikan yang stabil hampir setiap tahun, tapi meski bekerja banting tulang selama enam bulan terakhir, aku merusak reputasiku sendiri. Aku seperti jatuh dari puncak tertinggi ke relung terdalam. Di tengah pergolakan rasa sakit dan derita, beberapa saudara-saudari menghampiriku untuk membagikan injil akhir zaman dari Tuhan Yang Mahakuasa kepadaku. Aku melihat firman yang berbunyi: "Nasib manusia dikendalikan oleh tangan Tuhan. Engkau tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri: meskipun manusia selalu terburu-buru dan menyibukkan diri mewakili dirinya sendiri, dia tetap tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Jika engkau dapat mengetahui prospekmu sendiri, jika engkau mampu mengendalikan nasibmu sendiri, apakah engkau akan tetap menjadi makhluk ciptaan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Memulihkan Kehidupan Normal Manusia dan Membawanya ke Tempat Tujuan yang Mengagumkan"). "Hati dan roh manusia berada di tangan Tuhan, segala sesuatu dalam kehidupannya berada dalam pengamatan mata Tuhan. Entah engkau memercayainya atau tidak, setiap dan segala hal, apakah hidup atau mati, akan berganti, berubah, diperbarui, dan lenyap sesuai dengan pemikiran Tuhan. Begitulah cara Tuhan memimpin segala sesuatu" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Tuhan adalah Sumber Kehidupan Manusia"). Setelah membacanya, aku sadar bahwa nasib hidup kita berada di tangan Tuhan. Kita tak punya kendali atas kesuksesan atau kegagalan karier kita. Setelah memikirkannya, aku sadar bahwa itu benar. Awalnya aku berniat meningkatkan karier dengan usahaku sendiri, tapi aku justru gagal total. Ini menunjukkan bahwa kita tak punya kendali atas nasib kita. Bagiku, firman tersebut sangat nyata dan benar. Berkat membaca firman Tuhan Yang Mahakuasa selama beberapa waktu, aku menjadi yakin bahwa ini adalah pekerjaan Tuhan dan menerima Tuhan Yang Mahakuasa.

Setelah itu, aku menemukan kutipan lain dari firman Tuhan: "Aku mendorong orang dari segala bangsa, dari semua negara, dan bahkan industri untuk mendengarkan suara Tuhan, untuk mengamati pekerjaan Tuhan dan memperhatikan nasib umat manusia, untuk menjadikan Tuhan menjadi yang paling kudus, paling terhormat, paling tinggi, dan satu-satunya Tuhan yang disembah di antara umat manusia, dan membuat seluruh umat manusia hidup dalam berkat Tuhan, sama seperti keturunan Abraham yang hidup dalam janji Yahweh, dan seperti Adam dan Hawa, yang pada mulanya diciptakan oleh Tuhan, hidup di dalam Taman Eden" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Lampiran 2: Tuhan Mengendalikan Nasib Seluruh Umat Manusia"). Firman tersebut meninggalkan kesan mendalam di diriku. Aku menghabiskan separuh hidupku berjuang untuk sukses dan meski sudah berhasil melampaui rekan-rekanku, mendapatkan reputasi dan hasrat kesombonganku telah terpuaskan, di dalam hati aku merasa hampa dan menderita. Aku sadar bahwa menghadap Tuhan untuk mencari kebenaran dan menyembah-Nya adalah jalan yang benar dan dapat membuatku menerima berkat Tuhan. Jadi, aku bersumpah kepada Tuhan akan melakukan yang terbaik untuk beriman dan mengikuti Tuhan ke depannya.

Dua bulan kemudian, aku menjadi pemimpin kelompok di gerejaku dan bertugas mengadakan pertemuan. Aku sangat senang dan merasa siap mengindahkan kehendak Tuhan dan melaksanakan tugasku. Karena tempat pertemuan kami dekat dengan tempat kerjaku, aku sering bertemu rekan kerjaku saat hendak menghadiri pertemuan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa gugup. Jika bosku tahu aku orang yang percaya kepada Tuhan, setidaknya aku akan dikritik dan dipermalukan, tapi kemungkinan terburuknya, aku akan dipecat dari perusahaan. Lalu, aku akan kehilangan reputasi dan status yang kuperjuangkan separuh hidupku. Tapi kemudian aku berpikir, "Setelah beriman kepada Tuhan, setelah memahami beberapa kebenaran, aku berhasil menghindari banyak kejahatan. Aku sangat yakin bahwa mengimani Tuhan, mencari kebenaran, dan melaksanakan tugasku adalah jalan yang benar, dan itu hal paling berharga dan bermakna di hidupku, jadi apa pun yang terjadi, aku tak boleh melepaskannya." Setelah itu, aku berhenti terkekang dan melanjutkan perkumpulan serta tugasku. Sesuai prediksi, setelah beberapa saat, bos mengetahui bahwa aku memercayai Tuhan dan menghadiri pertemuan. Suatu kali, aku tak hadir dalam rapat perusahaan, jadi ketua mengutus orang untuk mencariku, bahkan mencari tahu tempat pertemuanku. Di lain waktu, saat aku akan menghadiri pertemuan dan ketua mengetahuinya, dia sengaja mengadakan rapat manajer tingkat menengah dan duduk di sebelahku agar aku tak bisa pergi. Seluruh situasi ini sangat menyulitkanku dan setiap kali menghadiri pertemuan aku selalu merasa terkekang. Selama masa itu, aku merasa tercekik dan sadar bahwa situasiku saat itu menghalangiku memercayai Tuhan dan melaksanakan tugasku, jadi aku berdoa kepada Tuhan untuk meminta bimbingan-Nya.

Setelah itu, aku melihat kutipan firman Tuhan yang berbunyi: "Engkau harus tahu bagaimana engkau seharusnya memuaskan-Ku sekarang, dan bagaimana engkau harus menapaki jalur yang benar dalam imanmu kepada-Ku. Yang Kuinginkan adalah kesetiaan dan ketaatanmu sekarang, kasih dan kesaksianmu sekarang. Sekalipun pada saat ini engkau tidak tahu apa arti kesaksian atau apa arti kasih, engkau harus membawa segenap dirimu kepada-Ku dan menyerahkan kepada-Ku satu-satunya harta yang kaumiliki: kesetiaan dan ketaatanmu. Engkau harus tahu bahwa kesaksian mengenai kalahnya Iblis oleh-Ku terletak dalam kesetiaan dan ketaatan manusia, begitu juga kesaksian mengenai tuntasnya penaklukkan-Ku terhadap manusia" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Apa yang Kauketahui tentang Iman?"). Melalui firman itu, aku menyadari bahwa apa pun yang kita alami selama hidup sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kita harus selalu menerapkan saat teduh dan ketaatan kepada Tuhan dan memberi kesaksian tentang-Nya. Saat itu, aku baru beriman selama dua tahun, dan meski dari luar aku tampak melaksanakan tugas, aku terkekang oleh pekerjaanku dan selalu khawatir akan dipecat dan kehilangan status, jadi aku tak bisa memfokuskan diri pada tugasku, dan terkadang membiarkan pekerjaanku memengaruhi pertemuan serta tugasku. Di mana kesaksianku? Setelah itu, aku mengingat kutipan lain dari firman Tuhan. "Dalam kepercayaannya kepada Tuhan, Petrus berusaha memuaskan Tuhan dalam segala hal, dan berusaha menaati segala sesuatu yang berasal dari Tuhan. Tanpa keluhan sedikit pun, ia sanggup menerima hajaran dan penghakiman, juga pemurnian, kesengsaraan, dan kekurangan dalam hidupnya, tak satu pun dari hal-hal itu yang dapat mengubah kasihnya kepada Tuhan. Bukankah inilah kasih kepada Tuhan yang sesungguhnya? Bukankah inilah pemenuhan tugas makhluk ciptaan Tuhan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Keberhasilan atau Kegagalan Tergantung pada Jalan yang Manusia Jalani"). Dalam imannya, Petrus berusaha tunduk dan mengasihi Tuhan. Saat Tuhan Yesus memanggil, dia langsung meninggalkan kapal pemancingnya untuk mengikuti-Nya, dan saat dia menghadapi ujian serta kesusahan, dia tetap berusaha memenuhi kehendak Tuhan. Akhirnya, dia disalib terbalik dan memperoleh kasih terbaik Tuhan dan ketaatan hingga ajal, menjadi kesaksian yang menakjubkan dan bergema bagi Tuhan, dan menjalani hidup penuh nilai dan makna. Karena aku telah memutuskan untuk mengimani dan mengikuti Tuhan, aku harus meniru Petrus dengan berusaha mengasihi dan memenuhi kehendak Tuhan—hanya ini keputusan terbaik. Aku mengingat bahwa di separuh hidupku, aku menerima dan memberi suap, berkubang dalam dekadensi dan berbohong demi status dan kuasa, serta hidup dalam kesengsaraan. Dalam sekejap, masa mudaku terlewati. Meski akhirnya aku mendapat bimbingan Tuhan menuju jalan yang benar, aku masih terkekang oleh pekerjaanku dan tak bisa fokus beriman dan melaksanakan tugasku. Jika terus seperti ini, bisakah hidupku maju? Terutama saat aku mengingat firman yang berbunyi: "Waktu tidak menunggu siapa pun!" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik X"). Aku merasakan desakan. Apalagi setelah hidup selama 50 tahun di Bumi ini, aku diberi kesempatan menerima kasih karunia Tuhan di akhir zaman, mencari kebenaran dan memperoleh penyelamatan Tuhan, semua itu berkat kebaikan Tuhan. Aku harus berhenti beriman secara sembarangan. Setelah itu, aku memiliki ide untuk keluar dari pekerjaanku agar bisa mendedikasikan seluruh waktu dan energiku untuk mencari kebenaran dan melaksanakan tugasku.

Lalu aku tersadar bahwa aku telah menghabiskan lebih dari separuh hidupku bekerja keras dan akhirnya menjadi pemegang saham besar dengan portofolio senilai jutaan yuan dan jumlah pengagum yang tak terhitung. Tapi jika aku kehilangan pekerjaan, aku akan kembali menjadi manusia biasa, lalu siapa yang akan memperhatikanku? Teman dan keluargaku, bos dan rekan kerjaku akan meremehkanku dan menyebutku bodoh. Bagaimana bisa aku percaya diri menghadapi mereka setelah kejadian itu? Saat memikirkan kemungkinan itu, aku menjadi bimbang dan akhirnya berdoa kepada Tuhan, meminta-Nya memberiku kekuatan untuk membebaskan diri dari belenggu dan tuntutan pekerjaanku. Di tengah pencarian, aku menemukan kutipan firman Tuhan berikut ini. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Iblis menggunakan ketenaran dan keuntungan untuk mengendalikan pikiran manusia, sampai satu-satunya yang orang pikirkan adalah ketenaran dan keuntungan. Mereka berjuang demi ketenaran dan keuntungan, menderita kesukaran demi ketenaran dan keuntungan, menanggung penghinaan demi ketenaran dan keuntungan, mengorbankan semua yang mereka miliki demi ketenaran dan keuntungan, dan mereka akan melakukan penilaian atau mengambil keputusan demi ketenaran dan keuntungan. Dengan cara ini, Iblis mengikat orang dengan belenggu yang tak kasat mata, dan mereka tidak punya kekuatan ataupun keberanian untuk membuang belenggu tersebut. Mereka tanpa sadar menanggung belenggu ini dan berjalan maju dengan susah payah. Demi ketenaran dan keuntungan ini, umat manusia menjauhi Tuhan dan mengkhianati Dia dan menjadi semakin jahat. Jadi, dengan cara inilah, generasi demi generasi dihancurkan di tengah ketenaran dan keuntungan Iblis. Sekarang melihat tindakan Iblis, bukankah motif jahat Iblis benar-benar menjijikkan? Mungkin hari ini engkau semua masih belum dapat memahami motif jahat Iblis karena engkau semua berpikir orang tidak dapat hidup tanpa ketenaran dan keuntungan. Engkau berpikir jika orang meninggalkan ketenaran dan keuntungan, mereka tidak akan mampu lagi melihat jalan di depan, tidak mampu lagi melihat tujuan mereka, bahwa masa depan mereka akan menjadi gelap, redup, dan suram. Namun, perlahan-lahan, engkau semua suatu hari nanti akan menyadari bahwa ketenaran dan keuntungan adalah belenggu mengerikan yang Iblis gunakan untuk mengikat manusia. Ketika hari itu tiba, engkau akan sepenuhnya menentang kendali Iblis dan sepenuhnya menentang belenggu yang Iblis gunakan untuk mengikatmu. Ketika saatnya tiba di mana engkau ingin membuang semua hal yang telah Iblis tanamkan dalam dirimu, engkau kemudian akan memutuskan dirimu sepenuhnya dari Iblis, dan engkau akan dengan sungguh-sungguh membenci semua yang telah Iblis bawa kepadamu. Baru setelah itulah, umat manusia akan memiliki kasih dan kerinduan yang nyata kepada Tuhan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik VI"). Melalui firman Tuhan, aku menyadari bahwa alasanku tak bisa berhenti dari pekerjaan dan memfokuskan energi pada tugasku adalah karena aku tak sadar bahwa ketenaran dan kekayaan adalah belenggu yang digunakan Iblis untuk mengikat dan mengendalikan manusia—ia menyiapkan jebakan untukku. Iblis menggunakan ketenaran dan kekayaan sebagai cara untuk menipu dan merusakku, membuatku mengejar keduanya, dan menjauh serta mengkhianati Tuhan. Karena keluargaku tinggal dalam kemiskinan dan dirundung serta diremehkan sejak aku kecil, dan juga karena aku teracuni oleh filosofi jahat seperti, "Jika engkau lebih menonjol dari orang lain, engkau akan membawa kehormatan bagi nenek moyangmu," dan "Manusia bergelut ke atas; air mengalir ke bawah," aku meyakini konsep tersebut sebagai kebenaran mutlak dan bersumpah akan hidup sebagai kaum elite. Demi mewujudkan hal itu, aku mengesampingkan harga diri dan menyembah serta menjilat bosku. Kemudian setelah memperoleh status, aku selalu khawatir bahwa orang lain bersekongkol melawanku, jadi untuk mengukuhkan status, aku menentang hati nurani dan menyuap klien dengan uang dan pelacur. Aku merasa takut dan gugup setiap hari, takut jika semua perbuatanku akan merugikanku. Demi memperoleh status yang lebih tinggi, aku bersusah payah membangun badan usaha kami, tapi itu seperti berenang melawan arus—tak ada waktu untuk beristirahat, dan akhirnya aku kelelahan dan menderita sakit. Saat aku belum memiliki status dan kuasa, aku berusaha mendapatkannya dengan cara apa pun, tapi setelah keinginanku terpenuhi, aku sibuk makan mewah sepanjang hari dan tak punya pilihan selain mengikuti tren duniawi yang jahat, sama sekali tak merasa seperti manusia. Aku sama sekali tak memiliki kedamaian atau kestabilan dan setiap hari aku mudah gugup dan menjalani gaya hidup yang menyiksa dan melelahkan! Iblis menggunakan ketenaran dan kekayaan untuk menyiksaku. Aku juga berpikir meski orang terkenal dan kaya memiliki harta dan reputasi, serta kesuksesan dalam karier, beberapa dari mereka menggunakan narkoba, bunuh diri atau ditahan di penjara. Ketenaran dan kekayaan mungkin memberikan prestise sesaat, tapi sebenarnya itu membawa kehampaan dan penderitaan bagi pikiran dan tubuh mereka. Saat itulah aku baru sadar bahwa keinginan untuk mencari ketenaran dan kekayaan yang ditanamkan oleh Iblis adalah hal negatif—itu adalah cara Iblis mempermainkan dan merusak manusia dan menuntun mereka pada kerusakan dan kerugian. Itu merenggut kemanusiaan manusia dan mengubah mereka menjadi monster. Setelah menikmati makanan dan siraman firman Tuhan, aku memahami bahwa mencari kebenaran, menghormati Tuhan, menjauhi kejahatan, dan melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan-Nya adalah satu-satunya cara agar aku bisa menjalani hidup yang bermakna dan bernilai. Aku tak boleh jatuh dalam perangkap yang merenggut kehidupanku demi mengejar ketenaran dan kekayaan. Aku harus mengandalkan Tuhan untuk menyingkirkan belenggu status dan reputasi, melaksanakan tugasku dengan baik, mencari kebenaran, dan menjalani hidup yang bermakna. Setelah menyadari ini, aku memutuskan untuk berhenti bekerja.

Aku sudah tahu karena posisiku di perusahaan tergolong penting, ketua tak akan setuju jika aku langsung mengundurkan diri. Jadi, aku mengajukan izin sakit yang diperpanjang kepada ketua. Tapi dia pasti sudah mengetahui motifku dan berkata, "Aku tak akan menandatanganinya. Jika aku memberikan izin sakit, setelahnya kau akan mengundurkan diri." Saat mendengar itu, aku merasa kalah. Jika ketua tak mengizinkanku mengundurkan diri dan aku terus memaksa, bukankah aku akan menyinggungnya? Modalku masih berbentuk investasi di perusahaan, bagaimana jika dia mempersulit proses penarikan uangku yang diinvestasikan ke perusahaan? Selama masa itu, pengunduran diri menjadi masalah bagiku dan aku tak tahu cara menyelesaikannya. Jadi, aku terus berdoa kepada Tuhan, meminta bimbingan-Nya.

Suatu hari, aku mendadak teringat dengan kutipan firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Ketika Abraham mengulurkan tangannya dan mengambil pisau untuk menyembelih anak laki-lakinya, apakah tindakannya itu dilihat oleh Tuhan? Ya. Keseluruhan proses—dari awal, saat Tuhan meminta agar Abraham mempersembahkan Ishak, hingga saat Abraham benar-benar mengangkat pisaunya untuk menyembelih anak laki-lakinya—menunjukkan kepada Tuhan hati Abraham, dan terlepas dari kebodohan, ketidaktahuan, dan kesalahpahaman Abraham sebelumnya akan Tuhan, pada waktu itu, hati Abraham untuk Tuhan adalah benar dan jujur, dan dia benar-benar akan mengembalikan Ishak, anak laki-laki yang diberikan kepadanya oleh Tuhan, kepada Tuhan. Di dalam dirinya, Tuhan melihat ketaatan, ketaatan yang sangat Dia inginkan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Pengalaman Abraham sangat menginspirasiku. Aku melihat bahwa Tuhan menginginkan ketulusan dan ketaatan manusia. Saat Tuhan meminta Abraham mengorbankan putra semata wayangnya, Ishak, Abraham mampu menahan sakit dan mengabaikan orang tersayangnya demi memenuhi kehendak Tuhan. Melalui hal ini, Tuhan mengetahui bahwa hati Abraham murni hanya untuk-Nya. Kemudian aku merenungkan perilakuku sendiri. Meski aku bertekad ingin menjadikan iman sebagai bagian besar di hidupku, hingga berniat mengundurkan diri agar bisa memenuhi tugasku dengan benar, semua itu hanya omong kosong dan aku belum sungguh-sungguh mencurahkan hatiku seutuhnya. Aku khawatir akan menyinggung ketua jika terus mengajukan pengunduran diri, dan berujung tak bisa menarik investasiku. Aku hanya mengkhawatirkan kepentingan pribadi. Abraham menyerahkan putra semata wayangnya kepada Tuhan, sedangkan aku hanya perlu mengundurkan diri dari pekerjaan, tapi aku tak bisa melakukannya. Aku tak sepenuhnya menyerahkan hatiku untuk Tuhan—bukankah aku hanya membohongi-Nya? Setelah menyadari ini, aku merasa bersalah. Aku berdoa kepada Tuhan: "Tuhan! Aku sudah berniat mengundurkan diri agar bisa fokus memenuhi tugasku, tapi aku tak bisa menyelesaikannya. Tuhan! Aku tak ingin membohongi-Mu lebih lama lagi. Aku siap berhenti bekerja dan memenuhi tugasku secara purna waktu." Setelah berdoa, akhirnya aku memiliki keberanian untuk mendiskusikan pengunduran diriku dengan ketua. Akhirnya, dia hanya mengizinkanku cuti selama setengah tahun, tapi aku sudah bertekad untuk mengundurkan diri.

Dalam sekejap, setengah tahun berlalu dan aku berencana menambah cuti untuk menjaga hubunganku dengan perusahaan dan mendapatkan uang yang kuinvestasikan. Tapi ketua bilang sedang berada di perusahaan penjualan di ibu kota provinsi dan memintaku menemuinya secara pribadi untuk memperpanjang cutiku. Namun, saat kami bertemu, dia sama sekali tak membahas soal cutiku dan justru mengajakku berkeliling ke seluruh divisi di perusahaan. Semua kantor dihias dengan mewah dan mengagumkan, semua orang sibuk bekerja dan manajer dari semua divisi menyapaku hangat dengan sapaan "Direktur Wang." Tanpa sadar, aku kembali terjerumus ke dalam pencobaan. Aku berpikir: "Meski telah pergi selama setengah tahun, aku masih memiliki pengaruh di perusahaan ini. Aku memiliki saham di perusahaan besar ini dan aku masih menjadi pemimpin di badan usaha ini! Keuntungan perusahaan kami meningkat selama dua tahun terakhir. Jika aku melepaskan tugasku dan terus bekerja di sini, aku bisa mendapatkan uang dalam jumlah besar dan hidup bergelimang harta—bahkan keturunanku bisa hidup bermartabat." Saat menyadari fakta tersebut, aku sedikit tergoda. Tapi aku segera sadar bahwa aku terlena dan segera menyebut nama Tuhan di hatiku. Saat itu aku teringat firman Tuhan Yesus: "Engkau tidak dapat melayani Tuhan dan melayani Mamon" (Lukas 16:13). Aku juga teringat kisah dari Alkitab tentang Iblis yang berusaha mencobai Tuhan Yesus: "Sekali lagi, Iblis membawanya ke gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan di dunia dan kemegahannya; lalu berkata kepada-Nya: 'Semua ini akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau mau sujud menyembah aku.' Lalu Yesus berkata kepadanya, 'Enyah engkau, Iblis! Sebab ada tertulis, Engkau harus menyembah Tuhan dan hanya Dia yang engkau harus layani'" (Matius 4:8-10). Bukankah ketua baru saja menggodaku untuk bertahan di perusahaan dengan memamerkan ruang kantor mereka yang mewah dan lingkungan kerja yang berkembang? Bukankah Iblis memanipulasi semua ini di balik layar? Iblis berusaha menggunakan status dan kekayaan untuk menguji dan mencobaiku, agar aku meninggalkan Tuhan serta tugasku dan membiarkan Iblis mempermainkan dan memanfaatkanku. Aku tak boleh terjerumus ke dalam rencana licik Iblis.

Setelah itu, aku menambah cuti selama tiga bulan. Saat tiga bulan hampir selesai, aku berpikir: "Aku tak bisa terus meminta cuti seperti ini. Jika ingin memutuskan hubungan dengan perusahaan ini demi melaksanakan tugasku dengan damai, aku harus menjual semua sahamku, tapi penjualan semacam itu hanya boleh dilakukan pada satu hari tertentu dalam setahun. Bagaimana jika ketua melarangku menjual sahamku? Dan dia masih memiliki modalku senilai 1,5 juta, jika dia tak mengembalikannya, aku tak akan punya harta. Aku memperoleh modal itu dengan darah, keringat, dan air mata masa mudaku!" Pada masa itu, aku selalu memikirkannya setiap hari dan kesal karena aku tak bisa memenuhi tugasku dengan baik. Jadi, aku berdoa diam-diam kepada Tuhan, meminta-Nya membuka jalan agar aku bisa membebaskan diri dari beban ini.

Setelah itu, aku bertemu ketua untuk mendiskusikan masalah penjualan sahamku, tapi dia tak mengizinkanku menarik investasiku. Dia mempersulit prosesnya dengan berkata: "Jika kau ingin meninggalkan perusahaan ini, kau harus kehilangan sebagian sahammu." Aku tak bisa kehilangan saham senilai ratusan ribu yuan, aku telah bekerja keras mendapatkan uang itu! Saat itu, akhirnya aku sadar bahwa Iblis kembali mencobaiku. Aku memikirkan kutipan firman Tuhan. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Dalam hatinya, Ayub sangat percaya bahwa semua yang dia miliki telah dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan, dan bukan berasal dari hasil kerja kerasnya sendiri. Dengan demikian, dia tidak melihat semua berkat ini sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan, melainkan melabuhkan prinsip-prinsip kelangsungan hidupnya untuk berpegang dengan segenap kekuatannya pada jalan yang seharusnya dipertahankan. Dia menghargai berkat Tuhan dan mengucap syukur atas berkat itu, tetapi dia tidak terpikat oleh berkat, dan dia juga tidak mencari berkat yang lebih banyak lagi. Seperti itulah sikapnya terhadap harta benda. Dia tidak melakukan apa pun demi mendapatkan berkat, dan dia juga tidak khawatir atau dirugikan karena kurangnya atau hilangnya berkat Tuhan; dia tidak menjadi liar, bahagia berlebihan karena berkat Tuhan, dan dia juga tidak mengabaikan jalan Tuhan atau melupakan kasih karunia Tuhan oleh karena berkat yang sering dia nikmati. Sikap Ayub terhadap harta bendanya mengungkapkan kepada orang-orang kemanusiaannya yang sejati: Pertama, Ayub bukanlah manusia yang tamak dan dia tidak banyak menuntut dalam kehidupan materielnya. Kedua, Ayub tidak pernah khawatir atau takut bahwa Tuhan akan mengambil semua yang dia miliki, yang merupakan sikap ketaatannya kepada Tuhan di dalam hatinya; artinya, dia tidak memiliki tuntutan ataupun keluhan tentang kapan atau apakah Tuhan akan mengambil darinya atau tidak, dan tidak menanyakan alasannya, tetapi hanya berusaha untuk menaati pengaturan Tuhan. Ketiga, dia tidak pernah menganggap hartanya berasal dari usahanya sendiri, tetapi semuanya dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan. Inilah iman Ayub kepada Tuhan, dan merupakan tanda keyakinannya" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Pekerjaan Tuhan, Watak Tuhan, dan Tuhan itu Sendiri II"). Firman Tuhan menunjukkan bahwa meski Ayub mengumpulkan harta dalam jumlah besar, dia tak terikat dengannya. Dia justru mengutamakan untuk tunduk dan menyembah Tuhan. Jadi, saat dia kehilangan semua harta dan propertinya, dia tetap bisa memuja dan memuji Tuhan. Kisah Ayub sangat menginspirasiku. Aku tahu harus meniru Ayub, yaitu dengan berhenti bergantung pada harta dan sebagai gantinya memilih untuk memenuhi kehendak Tuhan. Setelah membulatkan tekad, aku setuju menyerahkan saham senilai 200.000 yuan, tapi ketua berpendapat itu tak cukup dan menuntut jumlah yang lebih besar. Aku tak sanggup berpisah dari uang sebanyak itu dan akhirnya aku berdoa diam-diam kepada Tuhan. Saat itu, aku sadar bahwa Iblis berusaha menggunakan uang untuk mengikat dan mengendalikanku. Aku tak boleh menyerah pada pencobaan Iblis hanya karena tak rela berpisah dengan hartaku, aku harus berdiri teguh dalam kesaksian dan mempermalukan Iblis. Setelah itu, aku harus merelakan saham senilai 500.000 yuan agar ketua mengizinkanku meninggalkan perusahaan. Sejak saat itu, akhirnya aku bisa fokus beriman dan melaksanakan tugasku.

Setelah itu, aku dengar seorang sekretaris komite daerah dipenjara karena kasus korupsi dan suap dan akhirnya mengalami gangguan mental akibat stres dipenjara. Aku berpikir: "Ini adalah konsekuensi buruk mengejar ketenaran dan kekayaan." Aku memikirkan saat aku memberikan hadiah, serta memberi dan menerima suap, dan juga berkubang dalam dekadensi dan korupsi demi memperoleh status. Jika aku tak meninggalkan perusahaan, aku mungkin akan bernasib sama. Firman Tuhan Yang Mahakuasa membebaskanku dari belenggu ketenaran dan kekayaan serta menjauhkanku dari pencobaan Iblis. Aku berterima kasih dari hati yang terdalam kepada Tuhan atas kasih karunia dan perlindungan-Nya.

Beberapa tahun terakhir aku memenuhi tugasku dengan konsisten, dan sering bertemu serta mempersekutukan firman Tuhan bersama para saudara-saudariku. Aku akhirnya memahami banyak kebenaran dan mendapatkan wawasan mengenai hal-hal duniawi. Aku sering memikirkan firman Tuhan yang berbunyi: "Seluruh hidup manusia ada di tangan Tuhan dan jika bukan karena resolusi mereka di hadapan Tuhan, siapakah yang mau hidup sia-sia dalam dunia manusia yang kosong ini? Mengapa harus repot-repot? Bergegas masuk dan keluar dunia, jika mereka tidak melakukan sesuatu bagi Tuhan, bukankah seluruh hidup mereka akan sia-sia?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 39"). Hidup ini memang singkat. Aku menjalani separuh hidupku di bawah kekuasaan Iblis. Aku mengejar kekayaan dan ketenaran, berusaha mengungguli orang lain. Iblis mempermainkan dan memanfaatkanku hingga aku menjalani kehidupan yang hampa, menderita, dan tak bermakna. Berkat belas kasih dan kasih karunia Tuhan, aku diizinkan menerima penyelamatan-Nya di akhir zaman, dan dapat mengorbankan diri untuk-Nya dan melaksanakan tugasku sebagai makhluk ciptaan-Nya. Jika bukan karena Tuhan, aku pasti menyia-nyiakan seluruh hidupku. Dengan melaksanakan tugasku di gereja, aku mungkin tak akan memiliki status dan harta seperti sebelumnya, tapi aku menjalani hidup yang bebas dan merdeka, serta hati nuraniku merasa tenang. Aku merasa telah sedikit menjalani keserupaan dengan manusia. Ini semua karena Tuhan memanduku ke jalan yang benar. Aku berterima kasih kepada Tuhan atas kasih dan penyelamatan-Nya!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait

Pilihan yang Benar

Oleh Saudara Shun Yi, Tiongkok Aku dilahirkan di desa pegunungan terpencil, dalam keluarga dari beberapa generasi petani. Ketika masih...

Pilihan Seorang Dokter

Oleh Saudari Yang Qing, Tiongkok Ketika aku masih kecil, keluargaku sangat miskin. Ibuku lumpuh, terbaring di tempat tidur, dan minum obat...