Pelajaran yang Kupetik dari Penangkapan Putraku

28 September 2024

Suatu hari di bulan Desember 2013, seorang saudari meneleponku dan mengatakan bahwa putraku telah dibawa pergi oleh polisi. Ketika mendengar berita itu, aku terdiam dan berpikir, "Putraku belum lama percaya kepada Tuhan dan tidak punya fondasi. Dia baru saja berhenti dari pekerjaannya dan mulai melaksanakan tugasnya, bagaimana mungkin dia sudah ditangkap?" Aku teringat kembali saat aku ditangkap di masa lalu. Polisi menggunakan segala macam cara untuk menyiksaku, memaksaku agar mengkhianati para pemimpin gereja dan uang, sampai-sampai aku merasa lebih baik mati saja. Masing-masing dari polisi itu kejam dan bengis; mereka adalah setan! Mereka sangat membenci orang-orang yang percaya kepada Tuhan; mereka bisa saja memukuli kami sampai mati tanpa mendapatkan hukuman. Aku khawatir dan berpikir, "Putraku masih muda dan belum pernah mengalami penderitaan seperti itu! Jika dia tidak mampu menahan siksaan itu dan menjadi Yudas, kesempatannya untuk diselamatkan akan hilang sama sekali!" Memikirkan hal ini membuatku sangat khawatir. Selama beberapa hari berikutnya, aku tidak bisa makan dan tidak bisa tidur nyenyak. Rasanya seperti ada sebilah pisau yang menikam jantungku; aku hanya berharap supaya aku dapat menderita sebagai ganti putraku. Aku terus berdoa kepada Tuhan, memohon agar Dia menjaga dan melindungi putraku. Aku juga memendam keluhan dalam hati dan berpikir, "Putraku meninggalkan rumah untuk melaksanakan tugasnya setelah belum terlalu lama percaya kepada Tuhan; mengapa Tuhan tidak menjaga dan melindunginya? Jika polisi melukainya hingga parah, bagaimana dia bisa bertahan kelak? Dan jika mereka memukulinya sampai mati, aku tidak akan pernah bisa melihatnya lagi." Makin aku memikirkannya, makin aku merasa kesal, dan hatiku pun menjadi gelap. Aku tidak mampu menenangkan diri ketika makan dan minum firman Tuhan, dan dalam hati, aku bahkan menyalahkan para pemimpin dan pekerja karena tidak menugaskan seseorang untuk menjaga keamanan lingkungan dan menyebabkan tertangkapnya putraku. Waktu itu, aku adalah diaken penginjilan di gereja, dan aku sangat sibuk, tetapi aku tidak bisa memfokuskan pikiranku pada pekerjaan; yang dapat kupikirkan hanyalah putraku.

Di tengah kepedihan dan ketidakberdayaan, aku berdoa kepada Tuhan tanpa henti, memohon kepada-Nya agar menjaga dan melindungi putraku agar dia tidak menjadi Yudas dan mengkhianati saudara-saudarinya. Setelah berdoa, aku memikirkan firman Tuhan: "Dalam segala hal yang terjadi padamu, entah itu baik atau buruk, itu harus memberimu manfaat, dan tidak boleh membuatmu menjadi negatif. Bagaimanapun, engkau harus dapat mempertimbangkan segala sesuatu sementara berdiri di pihak Tuhan, dan tidak menganalisis atau mempelajarinya dari sudut pandang manusia (ini akan menjadi penyimpangan dalam pengalamanmu)" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Janji-Janji bagi Mereka yang Disempurnakan"). Hal-hal yang terjadi pada kita setiap hari, entah itu baik atau buruk, semuanya telah diatur oleh Tuhan dan mengandung maksud Tuhan di dalamnya. Mengenai penangkapan putraku, aku melihatnya dari sudut pandang daging, yaitu tidak ingin dia menderita. Karena itu, aku merasa bahwa penangkapannya adalah hal yang buruk dan bahkan menyalahkan Tuhan karena tidak melindunginya. Aku teringat akan pengalaman Ayub: Ketika Ayub kehilangan kekayaan serta harta bendanya dan anak-anaknya mengalami musibah, istrinya mengejeknya dan ingin agar dia meninggalkan Tuhan, tetapi Ayub menegur istrinya, berkata, "Engkau berbicara seperti perempuan bodoh. ... Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?" (Ayub 2:10). Ayub memiliki hati yang takut akan Tuhan; entah dia menerima kebaikan atau kesengsaraan, dia selalu bisa menerima bahwa itu adalah dari Tuhan, tanpa mengeluh atau berbuat dosa dengan bibirnya, dan menyinggung-Nya, dan dia mampu tunduk kepada Tuhan serta memuji nama-Nya yang kudus. Sebaliknya, ketika mendengar berita bahwa putraku ditangkap dan padahal nyawanya tidak berada dalam bahaya, aku mulai mengeluh dan bahkan membiarkan hal itu memengaruhi tugasku. Ayub bahkan jauh lebih baik dariku; aku sangat tercela! Aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan! Putraku ditangkap saat sedang melaksanakan tugasnya, dan aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Aku takut dia akan menjadi Yudas dan dihukum kelak. Ya Tuhan! Hatiku pedih, dan keadaanku terganggu saat aku melaksanakan tugasku. Tolong bimbing aku untuk merenungkan dan memahami masalahku." Setelah berdoa, aku membaca firman Tuhan: "Aku tidak akan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengungkapkan perasaan mereka, karena Aku tidak memiliki perasaan daging, dan Aku telah semakin membenci perasaan manusia sampai tingkat yang ekstrem. Ini karena perasaan di antara manusia yang telah Aku singkirkan dan karena itulah Aku menjadi 'orang lain' di mata mereka; ini karena perasaan di antara manusia yang telah Aku lupakan; karena perasaan manusia, ia menangkap peluang untuk memakai 'hati nuraninya'; karena perasaan manusia, ia selalu muak akan hajaran-Ku; karena perasaan manusia, ia menyebut-Ku tidak adil dan tidak benar, dan Aku tidak pernah mendengar perasaan manusia ketika melakukan segala sesuatu. Bukankah Aku juga punya kerabat di bumi? Siapa yang seperti Aku, bekerja siang dan malam, tanpa memikirkan makanan atau tidur, demi seluruh rencana pengelolaan-Ku? Bagaimana bisa manusia dibandingkan dengan Tuhan? Bagaimana mungkin manusia menjadi sesuai dengan Tuhan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta, Bab 28"). "Umat manusia semuanya hidup dalam keadaan perasaan—sehingga Tuhan tidak menghindarkan seorang pun dari antara mereka, dan mengungkapkan rahasia yang tersembunyi dalam hati seluruh umat manusia. Mengapa sulit sekali bagi manusia memisahkan diri dari perasaan mereka? Apakah melakukan hal ini melampaui standar hati nurani? Bisakah hati nurani memenuhi kehendak Tuhan? Bisakah perasaan membantu manusia mengatasi kesulitan? Di mata Tuhan, perasaan adalah musuh-Nya—bukankah ini sudah dinyatakan dengan jelas dalam firman Tuhan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penafsiran Rahasia 'Firman Tuhan kepada Seluruh Alam Semesta', Bab 28"). Dari firman Tuhan, aku menyadari bahwa Tuhan membenci orang-orang yang hidup menurut perasaannya. Ketika orang bertindak menurut perasaan, mereka hanya memikirkan ikatan keluarga dan kepentingan daging, tidak mencari kebenaran atau mencari maksud Tuhan sama sekali; mereka menentang Tuhan dalam segala hal yang mereka lakukan. Itulah persisnya yang kualami. Ketika mengetahui bahwa putraku telah ditangkap, yang pertama kali terpikir olehku adalah bahwa polisi pasti akan memukulinya dan memaksanya agar menyangkal Tuhan serta mengkhianati para pemimpin dan pekerja gereja. Kupikir jika putraku tidak sanggup menanggung siksaan dan menjadi Yudas, dia akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh keselamatan, dan bukan hanya dia tidak akan dapat memperoleh berkat di masa mendatang, dia juga akan dihukum di neraka. Karena putraku masih muda, aku juga bertanya-tanya bagaimana dia akan bertahan hidup kelak jika pemukulan itu membuatnya cacat. Dan jika dia dipukuli sampai mati, aku akan kehilangan putraku untuk selamanya. Memikirkan akibat yang serius ini, keluhan kepada Tuhan muncul di hatiku, dan aku menyalahkan Tuhan karena tidak menjaga serta melindungi putraku, bahkan berdebat dan berseru kepada-Nya. Di mana nalarku? Di mana kemanusiaanku? Mengingat bahwa orang-orang yang hidup berdasarkan perasaan mereka dapat menentang Tuhan kapan saja atau di mana saja, masuk akal jika Tuhan mengungkapkan kepada kita bahwa "perasaan adalah musuh-Nya".

Selama pencarianku, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Jalan yang Tuhan tunjukkan dalam menuntun kita bukanlah jalan yang lurus, melainkan jalan berliku yang penuh lubang; lebih lanjut Tuhan menyatakan bahwa makin berbatu-batu suatu jalan, makin jalan itu dapat menyingkapkan hati kita yang penuh kasih. Namun, tak seorang pun dari kita bisa membuka jalan seperti itu. Dalam pengalaman-Ku, Aku telah menempuh banyak jalan berbatu dan berbahaya, dan Aku telah menanggung penderitaan yang besar; terkadang Aku benar-benar dirundung kesedihan hingga Aku ingin menjerit, meskipun demikian Aku telah menempuh jalan ini sampai pada hari ini. Aku percaya bahwa ini adalah jalan yang dipimpin oleh Tuhan, karena itu Aku menanggung siksaan dari semua penderitaan itu dan terus maju. Karena inilah yang telah Tuhan tetapkan, jadi siapakah yang dapat menghindarinya? Aku tidak meminta untuk menerima berkat apa pun; yang Kuminta hanyalah agar Aku bisa menempuh jalan yang seharusnya Kutempuh sesuai dengan maksud-maksud Tuhan. Aku tidak berusaha untuk meniru orang lain, menempuh jalan yang mereka tempuh; yang Kuusahakan hanyalah agar Aku bisa memenuhi pengabdian-Ku untuk menempuh jalan yang telah ditetapkan bagi-Ku sampai akhir. Aku tidak meminta bantuan orang lain; tetapi sejujurnya, Aku juga tidak bisa membantu orang lain. Sepertinya Aku sangat peka dalam perkara ini. Aku tidak tahu bagaimana pendapat orang lain. Ini karena Aku selalu percaya bahwa besarnya penderitaan yang harus ditanggung seseorang dan jarak yang harus mereka tempuh di jalan mereka, semua itu ditetapkan oleh Tuhan, dan sesungguhnya tak seorang pun dapat membantu orang lain" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Jalan ... (6)"). Dari firman Tuhan, aku memahami bahwa seberapa banyak penderitaan yang ditanggung orang dan keadaan apa yang mereka alami dalam hidup mereka, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan sejak lama. Aku harus menyerahkan putraku kepada Tuhan dan tunduk pada kedaulatan serta pengaturan-Nya. Inilah nalar dan penerapan yang seharusnya kumiliki. Putraku belum lama percaya kepada Tuhan, dan dia tidak bisa memahami tentang esensi naga merah yang sangat besar yang membenci Tuhan serta kebenaran. Kini dia telah ditangkap dan akan menanggung penderitaan; ada maksud baik Tuhan di dalamnya, dan terlebih lagi, ada pelajaran yang harus dipetik oleh putraku. Aku memikirkan berapa banyak saudara-saudari yang telah ditangkap serta dianiaya oleh naga merah yang sangat besar, dan mereka semua sangat menderita, tetapi pengalaman ini membuat mereka memiliki iman sejati kepada Tuhan. Di tengah-tengah kepedihan dan kesengsaraan, mereka rela membusuk selamanya di penjara daripada mengkhianati Tuhan, menang atas daging mereka dan atas Iblis dan akhirnya memberikan kesaksian yang indah dan berkumandang bagi Tuhan. Aku juga memikirkan pengalamanku sendiri saat ditangkap. Meskipun dagingku sedikit menderita saat itu, dan kendati aku merasa takut serta lemah saat mengalami penyiksaan serta penganiayaan, ketika aku berdoa kepada Tuhan dan dibimbing serta dipimpin oleh firman-Nya, imanku kepada-Nya juga bertumbuh. Melalui pengalaman ini, aku bukan hanya belajar memahami esensi jahat dari naga merah yang sangat besar yang menentang Tuhan, aku juga memperoleh sedikit pemahaman tentang kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan. Dengan pemahaman ini, aku bersedia menyerahkan putraku kepada Tuhan dan membiarkan Dia mengatur serta menata segalanya.

Sebulan kemudian, putraku kembali, wajahnya pucat dan semangatnya lesu. Tingkat pertumbuhan putraku masih kecil, dan dia tidak berani mengakui bahwa dia percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, jadi mereka akhirnya melepaskannya. Setelah mengalami kegagalan ini, putraku memetik beberapa pelajaran dan menjadi lebih memahami naga merah yang sangat besar itu. Dia juga menyadari bahwa tingkat pertumbuhannya masih kecil dan imannya kepada Tuhan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Enam bulan kemudian, dia kembali melaksanakan tugasnya.

Suatu hari di bulan Oktober 2023, aku menerima sepucuk surat dari gereja yang menyatakan bahwa putraku telah ditangkap lagi. Lebih dari 30 orang telah ditangkap dari gereja tempat putraku berada, termasuk para pemimpin dan pekerja. Aku berpikir tentang bagaimana putraku sudah memiliki catatan penangkapan, dan bagaimana jika polisi mengetahui bahwa dia telah melasanakan tugas kepemimpinan, mereka pasti akan memaksanya untuk mengkhianati uang gereja dan para pemimpin serta pekerja, dan menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa dia akan meninggalkan imannya. Sekaranglah saatnya Tuhan menyingkapkan manusia dan memilah mereka menurut jenisnya; jika putraku dicuci otaknya oleh Partai Komunis, atau jika dia tidak sanggup menahan siksaan itu dan meninggalkan imannya serta mengkhianati Tuhan, dia akan membuka pintu neraka dan kehilangan kesempatan untuk diselamatkan. Memikirkan hal ini, aku merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di ulu hatiku, dan aku menjadi cemas tentang prospek serta nasib putraku di masa mendatang, dan tidak ingin melaksanakan tugasku. Dalam hati, aku terus berdoa untuk putraku, memohon kepada Tuhan agar Dia menunjukkan belas kasihan dan melindunginya sehingga putraku dapat melewati masa sulit ini dengan selamat. Beberapa saudara-saudari melihat bahwa aku sedang dalam suasana hati yang muram, menghela napas putus asa sepanjang hari, dan mereka bersekutu denganku tentang maksud Tuhan sambil juga mencari banyak firman-Nya untuk menolongku. Aku menyadari bahwa sekali lagi aku telah terkekang oleh perasaanku, dan karenanya aku berdoa kepada Tuhan: "Tuhan! Putraku telah dibawa pergi oleh polisi lagi. Aku tidak bisa melepaskannya dan aku takut akan keselamatannya; kumohon tuntun aku agar dapat mencari kebenaran dan tidak terkekang oleh masalah ini."

Kemudian, aku teringat akan persekutuan Tuhan tentang melepaskan pengharapan orang terhadap anak-anaknya, dan aku mencari firman tersebut lalu membacanya. Tuhan Yang Mahakuasa berfirman: "Setelah memahami sikap yang seharusnya dimiliki orang tua terhadap anak-anak mereka yang sudah dewasa, haruskah orang tua juga melepaskan pengharapan mereka terhadap anak-anak mereka yang sudah dewasa? Ada orang tua yang bodoh dan tidak bisa memahami kehidupan atau nasib, tidak mengakui kedaulatan Tuhan, dan cenderung melakukan hal-hal yang bodoh jika menyangkut anak-anak mereka. Sebagai contoh, setelah anak-anak menjadi mandiri, mereka mungkin menghadapi situasi khusus, kesukaran, atau peristiwa besar tertentu; ada yang terkena penyakit, ada yang terlibat dalam gugatan hukum, ada yang bercerai, ada yang ditipu, dan ada yang diculik, dilukai, dipukuli dengan kejam, ataupun menghadapi kematian. Bahkan ada orang-orang yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya. Apa yang harus dilakukan orang tua dalam situasi khusus dan penting ini? Apa reaksi khas kebanyakan orang tua? Apakah mereka melakukan hal yang seharusnya mereka lakukan sebagai makhluk ciptaan dengan identitas orang tua? Sangat jarang orang tua yang mendengar kabar seperti itu bereaksi seperti yang akan mereka lakukan jika hal itu terjadi pada orang tak dikenal. Kebanyakan orang tua begadang semalaman hingga rambut mereka beruban, kurang tidur malam demi malam, tidak nafsu makan di siang hari, memutar otak mereka, dan bahkan ada yang menangis dengan getir, hingga mata mereka memerah dan air mata mereka mengering. Mereka berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, agar Tuhan mempertimbangkan iman mereka dan melindungi anak-anak mereka, menunjukkan kebaikan kepada mereka, memberkati mereka, menunjukkan belas kasihan, dan menyelamatkan nyawa mereka. Sebagai orang tua yang berada dalam situasi seperti ini, kelemahan, kerentanan, dan perasaan manusiawi mereka terhadap anak-anak mereka semuanya tersingkap. Apa lagi yang tersingkap? Pemberontakan mereka terhadap Tuhan. Mereka memohon kepada Tuhan dan berdoa kepada-Nya, memohon agar Dia melindungi anak-anak mereka dari malapetaka. Sekalipun terjadi bencana, orang tua berdoa agar anak-anak mereka tidak mati, agar mereka dapat terhindar dari bahaya, tidak dilukai oleh orang jahat, penyakit mereka tidak bertambah parah, tetapi akan sembuh, dan seterusnya. Apa sebenarnya yang mereka doakan? (Tuhan, dengan doa-doa ini, mereka sedang mengajukan tuntutan terhadap Tuhan, dengan nada suara mengeluh.) Di satu sisi, mereka sangat tidak puas dengan keadaan buruk anak-anak mereka, mengeluh bahwa Tuhan seharusnya tidak membiarkan hal seperti itu terjadi pada anak-anak mereka. Ketidakpuasan mereka bercampur dengan keluhan, dan mereka memohon agar Tuhan mengubah pikiran-Nya, agar tidak bertindak seperti ini, agar Dia melepaskan anak-anak mereka dari bahaya, menjaga mereka tetap aman, menyembuhkan penyakit mereka, membantu mereka lolos dari gugatan hukum, menghindari bencana jika hal itu terjadi, dan seterusnya. Singkatnya, mereka memohon agar Tuhan membuat segalanya berjalan dengan lancar. Dengan berdoa seperti ini, di satu sisi, mereka mengeluh kepada Tuhan, dan di sisi lain, mereka mengajukan tuntutan terhadap-Nya. Bukankah ini merupakan perwujudan dari pemberontakan? (Ya.) Sebenarnya, mereka bermaksud berkata bahwa apa yang Tuhan lakukan tidaklah benar ataupun baik, bahwa Dia tidak seharusnya bertindak seperti ini. Karena ini adalah anak-anak mereka, dan mereka adalah orang percaya, mereka menganggap bahwa Tuhan tidak seharusnya membiarkan hal seperti itu terjadi pada anak-anak mereka. Anak-anak mereka berbeda dari anak-anak yang lain; mereka seharusnya menerima berkat istimewa dari Tuhan. Karena iman mereka kepada Tuhan, Dia seharusnya memberkati anak-anak mereka, dan jika Dia tidak memberkati anak-anak mereka, mereka menjadi tertekan, mereka menangis, mengamuk, dan tidak mau lagi mengikuti Tuhan. Jika anak mereka meninggal, mereka merasa bahwa mereka juga tidak bisa melanjutkan hidup. Apakah itu perasaan yang ada dalam benak mereka? (Ya.) Bukankah ini suatu bentuk protes terhadap Tuhan? (Ya.) Ini adalah protes terhadap Tuhan. ... Ketika Tuhan mengatur atau mengendalikan nasib orang lain, engkau menganggapnya tidak masalah selama itu tidak ada hubungannya denganmu. Namun, menurutmu Dia tidak seharusnya bisa mengendalikan nasib anak-anakmu? Di mata Tuhan, seluruh umat manusia berada di bawah kedaulatan Tuhan, dan tak ada seorang pun yang mampu melepaskan diri dari kedaulatan dan pengaturan yang ditetapkan oleh tangan Tuhan. Mengapa anak-anakmu harus dikecualikan? Kedaulatan Tuhan ditetapkan dan direncanakan oleh-Nya. Bolehkah jika engkau ingin mengubahnya? (Tidak.) Tidak boleh. Oleh karena itu, orang tidak boleh melakukan hal-hal yang bodoh atau tidak masuk akal. Apa pun yang Tuhan lakukan didasarkan pada sebab dan akibat dari kehidupan sebelumnya. Apa hubungannya itu denganmu? Jika engkau menentang kedaulatan Tuhan, berarti engkau sedang mencari kematian. Jika engkau tidak ingin anak-anakmu mengalami hal-hal ini, yang berasal dari kasih sayang, bukan keadilan, belas kasihan, ataupun kebaikan, itu hanya karena pengaruh kasih sayangmu. ... Hubungan di antara manusia sebenarnya bukanlah hubungan yang didasarkan pada ikatan darah dan daging, melainkan itu adalah hubungan antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup lain yang diciptakan oleh Tuhan. Hubungan seperti ini tidak memiliki ikatan darah dan daging; ini hanyalah hubungan antara dua makhluk hidup yang berdiri sendiri. Jika dipikir dari sudut pandang ini, sebagai orang tua, ketika anak-anakmu mengalami nasib yang cukup malang hingga jatuh sakit atau nyawa mereka berada dalam bahaya, engkau harus menghadapi hal-hal ini dengan benar. Engkau tidak boleh menyerahkan waktumu yang tersisa, tidak boleh melepaskan jalan yang harus kautempuh, ataupun tanggung jawab dan kewajiban yang harus kaupenuhi, karena kemalangan atau kematian anakmu. Engkau harus menghadapi hal ini dengan benar. Jika engkau memiliki pemikiran dan sudut pandang yang benar serta mampu memahami hal-hal ini, engkau akan mampu dengan segera mengatasi keputusasaan, kesedihan, dan kerinduan" (Firman, Vol. 6, Tentang Pengejaran akan Kebenaran I, "Cara Mengejar Kebenaran (19)"). Setelah membaca firman Tuhan, aku memahami bahwa pada awalnya, manusia adalah makhluk hidup yang bebas dan tidak memiliki hubungan satu sama lain. Hanya setelah jiwa bereinkarnasi dan memasuki dunia material ini, manusia memiliki keluarga, suami dan istri, ayah dan putra, ibu dan putri, serta hubungan-hubungan lainnya. Namun, jika berbicara tentang esensi manusia, pada awalnya tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Namun, manusia tidak dapat melihat hal-hal tersebut dengan jelas, menempatkan ikatan kekeluargaan secara fisik dan hubungan darah di atas segalanya. Ketika anak-anak mereka menghadapi kemalangan dan penyakit atau nyawa anak-anak mereka terancam, para orang tua hidup dalam perasaan mereka, dan mereka sangat menderita sehingga bahkan berharap mereka mati saja. Kenyataannya, jalan mana yang orang-orang tempuh dan penderitaan seperti apa yang mereka tanggung dalam hidup mereka telah ditetapkan oleh Tuhan sejak lama dan bukan ditentukan oleh orang tua. Misalnya adalah tetanggaku. Pasangan suami istri ini hidup hemat sepanjang hidup mereka, menghabiskan seluruh uang hasil jerih payah mereka untuk putri mereka. Mereka menyekolahkannya di sekolah elite dan memberinya pendidikan terbaik, berharap agar dia bisa memiliki pekerjaan tetap dan keamanan finansial di masa depan. Namun, putri mereka tidak mengikuti jalan yang benar dan mulai mengonsumsi narkoba di usia muda. Pada akhirnya, dia ditangkap karena perdagangan narkoba dan dijatuhi hukuman 13 tahun penjara. Orang tuanya hampir kehilangan akal sehat mereka. Aku juga teringat pada seorang saudari muda yang orang tuanya telah bekerja jauh dari rumah selama bertahun-tahun dan telah mempercayakannya kepada pamannya. Orang tuanya tidak pernah memperhatikan pendidikannya, tetapi dia akhirnya masuk universitas dan mengikuti bibi serta pamannya dalam hal percaya kepada Tuhan. Sekarang, saudari ini melaksanakan tugasnya dan mengikuti jalan hidup yang benar. Jalan yang ditempuh orang sama sekali tidak terkait dengan bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik mereka, dan itu bukanlah sesuatu yang dapat diubah oleh orang tua mereka. Namun, aku tidak dapat memahami hal-hal ini dengan jelas, selalu khawatir tentang prospek dan nasib putraku kelak serta tidak dapat melaksanakan tugasku dengan normal; bahkan makan dan minum firman Tuhan pun terganggu. Aku hanya ingin menderita menggantikan posisi putraku, bahkan menuntut agar Tuhan melindunginya dari kekejaman setan-setan itu dan memastikan bahwa dia bisa melewati masa sulit itu dengan selamat. Apakah aku punya sedikit saja nalar? Jika dipikir baik-baik, ketika putraku pertama kali ditangkap, tingkat pertumbuhannya masih kecil dan dia tidak berani mengakui bahwa dia percaya kepada Tuhan; dia tidak punya kesaksian. Sepuluh tahun kemudian, dia ditangkap lagi, dan tentu saja ini terjadi atas izin Tuhan. Tuhan memberi putraku kesempatan untuk bertobat; Tuhan mengujinya. Jika putraku dapat mengalahkan kekangan pengaruh kegelapan dari si naga merah yang sangat besar, mempertaruhkan nyawanya untuk tetap teguh dalam kesaksiannya kepada Tuhan, penangkapannya kali ini sangat berarti dan merupakan cara baginya untuk disempurnakan. Akan tetapi, aku telah bertindak berdasarkan perasaanku dan tidak mencari maksud Tuhan, berpikir bahwa lingkungan yang nyaman di mana fisik putraku tidak menderita akan bermanfaat baginya. Cara pandangku terhadap segala sesuatu sama sekali tidak sesuai dengan maksud Tuhan; sungguh tidak masuk akal! Mampu atau tidaknya putraku untuk tetap teguh dalam kesaksiannya kali ini bergantung pada esensinya, apa yang biasanya dia kejar, dan jalan yang dia tempuh. Tidak seharusnya aku terlalu cemas tentang prospek dan nasib putraku di masa mendatang, bahkan sampai menyalahkan Tuhan dan mengeluh tentang saudara-saudari. Setelah memahami hal ini, hatiku terasa sedikit lega.

Selama pencarianku, aku membaca lebih banyak firman Tuhan: "Selain melahirkan dan membesarkan anak, tanggung jawab orang tua dalam hidup anak-anak mereka hanyalah menyediakan bagi mereka lingkungan formal untuk bertumbuh, karena tidak ada hal lain selain ketetapan Sang Pencipta yang berhubungan dengan nasib seseorang. Tidak seorang pun dapat mengendalikan masa depan seperti apa yang akan orang miliki; itu telah ditentukan jauh sebelumnya, dan bahkan orang tua tidak bisa mengubah nasib seseorang. Dalam perkara nasib, setiap orang berdiri sendiri, setiap orang memiliki nasib mereka sendiri. Jadi, tidak ada orang tua yang bisa mencegah nasib seseorang dalam hidupnya atau memberi pengaruh sekecil apa pun terhadap peran yang akan orang mainkan dalam hidupnya. Dapat dikatakan bahwa keluarga tempat orang ditetapkan untuk dilahirkan dan lingkungan tempat ia bertumbuh, semuanya tak lebih dari prasyarat bagi pemenuhan misi orang itu dalam hidupnya. Semua itu sama sekali tidak menentukan nasib seseorang dalam hidupnya ataupun nasib macam apa yang orang miliki saat memenuhi misi mereka. Dengan demikian, tidak ada orang tua yang dapat membantu seseorang dalam menyelesaikan misi dalam hidupnya, demikian pula, tidak ada kerabat yang dapat membantu orang untuk mengambil peran dalam hidupnya. Bagaimana orang menyelesaikan misinya dan dalam lingkungan hidup seperti apa ia menjalankan perannya, itu ditentukan oleh nasib hidupnya. Dengan kata lain, tidak ada kondisi objektif lain yang dapat memengaruhi misi seseorang yang telah ditetapkan sejak semula oleh Sang Pencipta. Semua orang menjadi dewasa dalam lingkungan tertentu, di mana mereka bertumbuh; kemudian secara bertahap, langkah demi langkah, mereka menapaki jalan hidup mereka masing-masing dan memenuhi nasib yang telah direncanakan oleh Sang Pencipta bagi mereka. Secara alami, tanpa terkendali, mereka memasuki lautan luas manusia dan mengambil posisi mereka sendiri dalam kehidupan, di mana mereka mulai memenuhi tanggung jawab mereka sebagai makhluk ciptaan demi ketetapan Sang Pencipta, demi kedaulatan-Nya" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Tuhan itu Sendiri, Tuhan yang Unik III"). Tuhan berfirman dengan sangat jelas tentang tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak mereka. Sebagai orang tua, tanggung jawabku adalah membesarkan putraku hingga dewasa, memastikan bahwa dia tumbuh dengan sehat, membawanya ke hadapan Tuhan, mengatakan kepadanya bahwa hidupnya berasal dari Tuhan, dan membuatnya percaya kepada Tuhan serta menempuh jalan yang benar. Inilah tanggung jawab dan kewajibanku sebagai orang tua. Namun, apakah putraku tetap teguh dalam kesaksiannya setelah ditangkap atau tidak, dan apakah kesudahan serta tempat tujuannya kelak adalah memperoleh berkat atau dihukum, itu bukanlah hal yang dapat kuubah. Sebagai makhluk ciptaan, aku harus menerima dan tunduk pada kedaulatan serta pengaturan Tuhan dengan nalar. Hanya inilah yang sejalan dengan maksud Tuhan. Setelah memahami hal ini, hatiku benar-benar merasa lega. Apakah putraku tetap teguh dalam kesaksiannya atau tidak, dan apakah kelak dia menerima berkat atau kesengsaraan, aku bersedia menerima dan tunduk pada hal ini.

Sekarang, ketika memikirkan putraku, meskipun aku masih sedikit khawatir, itu tidak memengaruhi keadaanku, dan aku dapat melaksanakan tugasku seperti biasa. Aku bersyukur kepada Tuhan dari lubuk hatiku!

Penderitaan akan berakhir dan air mata akan berhenti. Percayalah kepada Tuhan bahwa Dia mendengar permohonan kita dalam penderitaan kita, dan Dia ingin menyelamatkan kita dari penderitaan. Hubungi kami untuk memahami kabar baik tentang keselamatan Tuhan.

Konten Terkait