Penyakit dan Derita Menunjukkan Watak Asliku

09 Februari 2022

Oleh Saudari Ting Ting, Guangzhou

Sejak kecil, aku mudah sakit kepala, dan kadang, saking sakitnya, aku sampai berguling-guling di kasur. Saat remaja, kuperiksakan sakit kepalaku ke dokter, katanya ini akibat vasospasme serebral dan harus diobati, tetapi saat melihat efek samping obat-obatannya, aku jadi takut. Kutahan saja rasa sakitku. Setelah menerima pekerjaan Tuhan Yang Mahakuasa, tiba-tiba kondisiku membaik. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan. Setelah itu, aku rajin menghadiri pertemuan dan menjalankan tugasku, pikirku karena kini aku orang percaya, Tuhan pasti menjagaku. Ia akan memudahkan jalanku, melindungi keluargaku, dan menjauhkanku dari penyakit. Kemudian aku berhenti dari pekerjaanku dan meninggalkan rumah demi menjalankan tugasku sepenuhnya. Tak terasa beberapa tahun berlalu seperti itu, sembari aku menjalankan tugasku tanpa lelah. Namun beberapa tahun lalu, kesehatanku mulai memburuk, aku mudah letih, dadaku terasa sesak, dan napasku tersengal-sengal. Kadang di pagi hari, aku bahkan tak mau membuka mulutku, bicara sedikit saja membuatku lelah dan aku akan letih sepanjang pagi. Awalnya tak kugubris, pikirku, "Kesehatanku ada di tangan Tuhan. Aku harus terus menjalankan tugasku dan nantinya aku pasti akan membaik." Namun, setelah dua tahun kesehatanku malah makin memburuk. Selain lelah, terkadang tiba-tiba jantungku berdebar kencang, atau aku merasa gelisah dan berkeringat dingin, aku pun harus segera berbaring. Aku bahkan tak bisa bicara. Parahnya, sakit kepalaku muncul lagi dan kadang rasanya seolah-olah pembuluh darahku mau pecah. Aku minum beberapa obat Tiongkok, tetapi tak ada yang berhasil. Aku periksakan ke dokter, dan katanya aku mengidap Iskemia miokardium dan vasopasme serebral akut. Katanya kalau pembuluh darahku sampai pecah, aku bisa mati. Mendengar vonis ini aku jadi ingat kakekku yang meninggal akibat pembekuan darah di otak, ayahku juga mengalami perdarahan otak akut saat usianya 40, beliau pun wafat tiga hari kemudian. Kini aku selalu menderita sakit kepala akut. Apakah suatu hari nanti pembuluh darahku akan pecah, seperti ayahku? Bertahun-tahun, aku meninggalkan keluarga dan karierku demi menjalankan tugasku, lantas kenapa aku malah tambah sakit? Aku merasa seharusnya Tuhan melindungiku. Beberapa hari kemudian, aku masih menjalankan tugasku, tetapi aku selalu muram karena penyakitku ini. Meski telah berdoa, mencari kehendak Tuhan, dan membaca firman-firmannya tentang cara melewati penyakit ini, aku kehilangan dorongan untuk berdoa dan mencari kehendak-Nya kala kondisiku tidak kian membaik. Aku menemui keluargaku untuk meminta bantuan dana pengobatan, tetapi kata ibu mertuaku, pabrik tempat suamiku bekerja pailit dan belum membayar gajinya. Aku sedih mendengarnya. Aku sakit, suamiku di-PHK, dan dia bahkan tidak digaji. Jangankan mau berobat—bagaimana kami bisa bertahan hidup? Saat itu, memikirkan kesehatanku yang memburuk dan suamiku yang pengangguran sungguh menyakitkan. Aku berpikir, "Aku sudah berkorban banyak demi tugasku. Kenapa Tuhan tidak menjagaku?" Namun lalu terbersit, "Aku tak bisa menyalahkan Tuhan, aku harus tunduk. Siapa tahu nanti suamiku dapat pekerjaan bagus dan bisa menutupi gaji yang tak pernah dia dapatkan." Aku pun berdoa, "Tuhan, Engkaulah yang menentukan pekerjaan suamiku Kuserahkan nasib pekerjaan suamiku kepada-Mu ...." Muncul sedikit harapan saat aku berdoa, dan aku berharap suamiku akan segera bekerja. Namun, beberapa bulan berlalu dan suamiku masih juga menganggur. Aku sangat kecewa dan lemah. Aku mungkin tampak seolah menjalankan tugas, tetapi saat memikirkan kesehatanku atau keluargaku, aku langsung sedih. Ada kalanya aku bisa bekerja lebih baik, andai saja aku berusaha lebih keras, lalu aku berpikir, "Ini sudah cukup. Apa gunanya berusaha lebih keras?" Semangatku dalam menjalankan tugas pun luntur. Progres pekerjaanku sangat lambat dan aku tak lagi bersemangat. Saat melihat saudara-saudari lain kesulitan saat bertugas, aku enggan membantu. Upayaku yang minim usaha memengaruhi pekerjaan gereja, tetapi pada titik itu aku sudah mati rasa, aku tak memikirkannya. Aku begitu sengsara atas apa yang menimpa keluargaku, maka aku berdoa kepada Tuhan, "Tuhan, sudah lama aku sengsara, aku selalu menuntut-Mu dan aku menjalankan tugasku setengah hati. Aku tahu seharusnya aku tunduk, tetapi aku tak bisa mengabaikannya begitu saja, dan aku tak tahu bagaimana harus melewati ini semua. Bimbinglah aku agar memahami kehendak-Mu."

Satu hari setelah berdoa, aku teringat kutipan firman Tuhan ini: "Di sepanjang pekerjaan-Nya, sejak awal, Tuhan telah menetapkan ujian untuk setiap orang—atau bisa engkau katakan untuk setiap orang yang mengikuti-Nya—dan ujian ini datang dalam bermacam-macam ukuran. Ada orang yang telah mengalami ujian ditolak oleh keluarga mereka, ada yang telah mengalami ujian berada dalam lingkungan berbahaya, ada yang mengalami ujian ditahan dan disiksa, ada yang telah mengalami ujian dihadapkan dengan sebuah pilihan; dan ada yang telah menghadapi ujian dalam bentuk uang dan status. Secara umum, engkau masing-masing telah menghadapi segala jenis ujian. Mengapa Tuhan bekerja seperti ini? Mengapa Dia memperlakukan setiap orang seperti ini? Hasil seperti apa yang dicari-Nya? Inilah poin yang ingin Kusampaikan kepadamu: Tuhan ingin melihat apakah orang ini adalah tipe orang yang takut akan Dia dan menjauhi kejahatan, atau tidak. Maksud dari ini adalah ketika Tuhan memberimu sebuah ujian dan menghadapkanmu pada beberapa keadaan atau yang lain, maksud-Nya adalah untuk menguji apakah engkau adalah orang yang takut akan Dia dan menjauhi kejahatan, atau bukan" (Firman, Vol. 2, Tentang Mengenal Tuhan, "Bagaimana Mengetahui Watak Tuhan dan Hasil yang Akan Dicapai Pekerjaan-Nya"). Aku pun sadar kalau cara kerja Tuhan berbeda dan Ia mempersiapkan kondisi yang berbeda bagi semua orang. Dia ingin melihat bagaimana sikap mereka dalam berbagai situasi berbeda, apakah mereka akan takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Ini menyadarkanku. Selama ini kesehatanku memburuk, suamiku di-PHK dan tak punya sumber pemasukan. Semua ini terjadi atas izin Tuhan. Aku harus tunduk, mencari kebenaran, dan belajar. Namun, aku tak mencari kehendak Tuhan atau memikirkan bagaimana supaya aku bisa menjadi saksi. Aku malah depresi dan mengeluh. Bukankah itu memberontak dan menolak Tuhan? Aku teringat akan Ayub, seluruh ternak dan kekayaannya dicuri, lalu sekujur tubuhnya dipenuhi bisul. Namun, dia tetap tak pernah menyalahkan Tuhan. Dia malah bersujud dan bilang, "Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub 1:21). Sungguh sejati iman Ayub. Merenungkan kisah Ayub membuatku malu. Dia tak membaca banyak firman Tuhan, lalu kala dihadapkan ujian besar, dia tetap menjaga imannya dan menjadi saksi bagi Tuhan. Padahal aku bisa menikmati bimbingan dan nikmat firman Tuhan setiap hari, tetapi tetap saja aku tak memiliki iman sejati atau ketundukkan kepada Tuhan. Aku depresi dan selalu menggerutu kala menghadapi penyakitku dan pengangguran suamiku. Aku sungguh pemberontak!

Saat itu juga aku berdoa kepada Tuhan dalam ketundukkan, niat bertobat, dan aku memohon pencerahan kepada-Nya, supaya aku bisa memahami diriku. Setelah itu, aku membaca beberapa kutipan firman Tuhan, Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Hal yang engkau kejar adalah agar bisa memperoleh kedamaian setelah percaya kepada Tuhan, agar anak-anakmu bebas dari penyakit, suamimu memiliki pekerjaan yang baik, putramu menemukan istri yang baik, putrimu mendapatkan suami yang layak, lembu dan kudamu dapat membajak tanah dengan baik, cuaca bagus selama satu tahun untuk hasil panenmu. Inilah yang engkau cari. Pengejaranmu hanyalah untuk hidup dalam kenyamanan, supaya tidak ada kecelakaan menimpa keluargamu, angin badai berlalu darimu, wajahmu tak tersentuh oleh debu pasir, hasil panen keluargamu tidak dilanda banjir, terhindar dari bencana, hidup dalam dekapan Tuhan, hidup dalam sarang yang nyaman. Seorang pengecut sepertimu, yang selalu mengejar daging—apa engkau punya hati, apa engkau punya roh? Bukankah engkau adalah binatang buas? Aku memberimu jalan yang benar tanpa meminta imbalan apa pun, tetapi engkau tidak mengejarnya. Apakah engkau salah satu dari orang-orang yang percaya kepada Tuhan?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Pengalaman Petrus: Pengetahuannya tentang Hajaran dan Penghakiman"). "Bagaimana dengan kepercayaanmu kepada Tuhan? Sudahkah engkau benar-benar mempersembahkan hidupmu? Jika engkau semua mengalami ujian yang sama seperti yang dialami Ayub, tak seorang pun dari engkau semua yang mengikuti Tuhan sekarang ini yang akan mampu berdiri teguh, engkau semua pasti jatuh. Dan, ada perbedaan yang sangat besar antara engkau semua dan Ayub. Sekarang, jika separuh dari milikmudirampas, engkau semua pasti berani menyangkali keberadaan Tuhan; jika putra atau putrimu diambil, engkau semua akan berlarian di jalan sambil menyumpah; jika satu-satunya sumber penghasilanmu menghadapi jalan buntu, engkau pasti berusaha membahasnya dengan Tuhan; engkau akan bertanya mengapa Aku menyampaikan begitu banyak firman pada awalnya untuk menakut-nakutimu. Di saat-saat seperti itu, engkau semua berani melakukan apa pun. Ini menunjukkan bahwa engkau semua belum mendapatkan wawasan sejati apa pun, dan tidak memiliki tingkat pertumbuhan yang sejati" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Penerapan (3)"). Firman Tuhan mengungkap keadaanku. Aku sangat yakin. Setiap hari aku datang untuk menjalankan tugas, tetapi hatiku menyimpan motif tercela. Aku berpikir karena aku bertugas di gereja, Tuhan harus menjaga kesehatanku dan keluargaku, dan semuanya harus berjalan lancar. Saat tuntutan dan keinginanku tak terpenuhi, saat kepentinganku dilanggar, aku mulai menyalahkan Tuhan atas kesehatanku yang tidak kunjung membaik, atas suamiku yang tidak kunjung mendapat pekerjaan. Apa bedanya itu dengan keinginan untuk "membahasnya dengan Tuhan"? Saat itu aku sadar kalau selama ini imanku didorong oleh harapanku akan berkat-Nya. Aku hanya beriman demi mendapat berkat. "Tidak pernah bekerja tanpa imbalan," "Tiap orang memperjuangkan kepentingannya sendiri," adalah racun iblis yang selama ini kuhirup. Aku memikirkan timbal-balik dengan Tuhan, memanfaatkan-Nya dan tugasku demi meraih tujuan tercelaku, mendapatkan berkat-Nya. Aku tawar-menawar dengan Tuhan, menipu dan menentang-Nya Tuhan membawaku ke dalam rumah-Nya, senantiasa menyirami dan menguatkanku dengan firman-Nya, agar aku bisa meraih kebenaran, terbebas dari watak iblisku, dan diselamatkan oleh Tuhan. Namun, bukannya berpikir bagaimana aku bisa mengejar kebenaran dan menjalankan tugasku untuk membalas kasih-Nya, aku malah hitung-hitungan, menipu Tuhan. Aku coba berdalih dan menyalahkan-Nya saat keinginanku tidak dipenuhi. Aku mengerikan, tercela, dan tidak layak hidup di hadapan-Nya Dalam hati, aku sangat membenci diriku dan bertanya-tanya, bisa-bisanya aku begitu kehilangan nurani dan nalar. Aku teringat akan bani Israel, mereka mengeluh saat berada di padang gurun. Mereka tidak bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari cengkeraman Firaun dari Mesir. Mereka malah menyalahkan Tuhan karena mereka tidak bisa mendapatkan daging di padang gurun, Tuhan pun murka, dan berkata, "Mereka tidak akan masuk ke dalam tempat perhentian-Ku" (Mazmur 95:11). Pada akhirnya mereka mati di padang gurun. Berdasarkan watak benar Tuhan, seharusnya aku dihukum karena mengeluh. Namun, Tuhan tidak merenggut hidupku. Alih-alih, Dia menghakimi, menyingkap, mencerahkan, dan membimbingku dengan firman, agar aku melihat pandanganku yang salah akan iman, dan niatku yang tercela demi mendapatkan berkat-Nya. Dia memberiku kesempatan untuk bertobat dan berubah. Inilah kasih dan penyelamatan Tuhan bagiku!

Setelah itu, aku membaca lebih banyak firman Tuhan yang membantuku bahkan jauh lebih memahami diriku. Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Meskipun mulut mereka mungkin tidak mengatakannya, ketika orang pertama kali mulai percaya kepada Tuhan, dalam hatinya, mereka mungkin berpikir, 'Aku ingin pergi ke surga, bukan ke neraka. Aku ingin bukan hanya aku yang diberkati, tetapi seluruh keluargaku. Aku ingin makan makanan yang enak, mengenakan pakaian yang bagus, menikmati hal-hal yang baik. Aku menginginkan keluarga yang baik, suami (atau istri) yang baik dan anak-anak yang baik. Pada akhirnya, aku ingin memerintah sebagai raja.' Semua ini adalah tentang apa yang mereka inginkan. Watak mereka ini, hal-hal yang mereka pikirkan di dalam hati mereka ini, keinginan-keinginan yang berlebihan ini—semuanya melambangkan natur manusia yang congkak. Apa yang membuat-Ku mengatakan hal ini? Itu tergantung pada status orang. Manusia adalah makhluk ciptaan yang berasal dari debu; Tuhan membentuk manusia dari debu tanah, dan menghembuskan nafas kehidupan ke dalam dirinya. Seperti itulah rendahnya status manusia, tetapi tetap saja manusia datang ke hadapan Tuhan dengan menginginkan ini dan itu. Status manusia sangat hina, tidak seharusnya dia membuka mulutnya dan menuntut apa pun dari Tuhan. Jadi apa yang harus manusia lakukan? Mereka harus membanting tulang dan bersedia untuk taat tanpa mengeluh. Ini bukanlah pertanyaan tentang bersedia menerima kerendahhatian; ini adalah tentang status yang manusia miliki sejak lahir; secara bawaan, sudah seharusnya mereka taat dan rendah hati karena status mereka rendah, dan karena itu, mereka tidak boleh menuntut segala sesuatu dari Tuhan, ataupun memiliki keinginan yang berlebihan terhadap Tuhan" ("Natur Manusia yang Congkak adalah Akar dari Perlawanannya kepada Tuhan" dalam "Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Penghakiman Tuhan benar-benar menyingkapku. Benar—Tuhan adalah Mahapencipta, Penguasa akan segala sesuatu. Dia Mahaterhormat, Mahaagung, dan aku hanyalah makhluk yang Dia ciptakan dari debu. Intinya, aku hina dan tak berharga, aku pun telah begitu dirusak oleh Iblis dan dipenuhi watak iblis tanpa ada sedikit pun rasa kemanusiaan. Aku tak layak menuntut apa pun kepada Tuhan. Bisa hidup hingga saat ini, bernapas dengan napas pemberian Tuhan, ini saja sudah merupakan kasih karunia Tuhan. Namun, aku sombong, keras kepala, dan selalu menuntut Tuhan, menganggap karena imanku, seharusnya Tuhan memberkatiku dan selalu melindungiku, sehingga aku bisa tetap sehat, jauh dari malapetaka, suamiku bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus, dan semuanya bisa berjalan lancar. Jika tidak, aku mengeluh dan menyalahkan Tuhan. Aku benar-benar tak tahu diri, sama sekali tak punya nalar atau rasa malu! Saat itu, aku benar-benar membenci diriku. Aku merenungkan firman Tuhan ini: "Jika engkau selalu sangat setia kepada-Ku dan sangat mengasihi-Ku, tetapi engkau menanggung siksaan penyakit, kemiskinan, dan ditinggalkan teman-teman dan saudaramu, atau jika engkau menanggung kemalangan lain dalam hidupmu, akankah kesetiaanmu dan kasihmu kepada-Ku tetap berlanjut?" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Masalah yang Sangat Serius: Pengkhianatan (2)"). Aku juga membaca kutipan lainnya: "Dalam kepercayaannya kepada Tuhan, Petrus berusaha memuaskan Tuhan dalam segala hal, dan berusaha menaati segala sesuatu yang berasal dari Tuhan. Tanpa keluhan sedikit pun, ia sanggup menerima hajaran dan penghakiman, juga pemurnian, kesengsaraan, dan kekurangan dalam hidupnya, tak satu pun dari hal-hal itu yang dapat mengubah kasihnya kepada Tuhan. Bukankah inilah kasih kepada Tuhan yang sesungguhnya? Bukankah inilah pemenuhan tugas makhluk ciptaan Tuhan? Baik dalam hajaran, penghakiman, ataupun kesengsaraan—engkau selalu mampu mencapai ketaatan sampai mati, dan inilah yang harus dicapai oleh makhluk ciptaan Tuhan, inilah kemurnian kasih kepada Tuhan. Jika manusia dapat mencapai sejauh ini, dialah makhluk ciptaan Tuhan yang memenuhi syarat, dan tak ada yang lebih memuaskan keinginan Sang Pencipta" (Firman, Vol. 1, Penampakan dan Pekerjaan Tuhan, "Keberhasilan atau Kegagalan Tergantung pada Jalan yang Manusia Jalani"). Firman ini sungguh menginspirasiku, dan aku merasa Tuhan ada tepat di hadapanku, bertanya, "Jika penyakitmu tak kunjung sembuh hingga akhir hayatmu dan kau menghadapi lebih banyak masalah finansial, akankah kau masih berbakti terhadap tugasmu?" Rasanya pada saat itu, Tuhan menanti jawabanku. Aku teringat akan Petrus si nelayan. Terkadang dia bekerja sepanjang hari tanpa hasil, tetapi dia tak pernah mengeluhkan kekurangannya kepada Tuhan, karena dia tak mengejar kekayaan duniawi, tetapi dia berusaha mengenal dan mencintai Tuhan. Pada akhirnya, Tuhan menyempurnakannya. Namun, aku menginginkan kenyamanan ragawi tanpa penyakit atau kesulitan, bahkan jika ragaku terpenuhi, aku takkan mendapatkan kebenaran. Aku takkan menerima persetujuan Tuhan. Bukankah itu sia-sia? Lihatlah orang-orang yang tidak percaya. Mereka mengejar uang dan kenikmatan ragawi, dan meskipun mendapatkan semua keinginan mereka, mereka tak memiliki iman atau kebenaran, mereka menjalani hidup yang hampa dan penuh penderitaan. Saat bencana besar datang, mereka akan takluk, menangis, dan marah. Meski hidupku tidak mewah, Tuhan ada bersamaku, dan firman-Nya senantiasa membimbing dan menguatkanku. Kalau aku memahami kebenarannya, hidup dalam gambaran manusia, dan pada akhirnya dapatkan perkenanan Tuhan, hal itu akan membuatku lebih bahagia ketimbang uang sebanyak apa pun. Maka, dalam sunyi aku berdoa kepada Tuhan: "Tuhan, entah aku membaik atau tidak, entah apakah aku akan mendapatkan jalan keluar dari ujian ini, aku rela tunduk pada aturan dan penataan-Mu dan menjalankan tugasku. Aku tidak akan tawar-menawar dengan-Mu lagi. Tuhan, berilah aku kekuatan agar aku bisa menjadi saksi bagi-Mu." Hatiku terasa ringan dan bahagia setelah berdoa, dan aku bisa merasakan Tuhan begitu dekat denganku.

Kemudian aku membaca kutipan lain dari firman Tuhan yang memberiku jalan pengamalan. Tuhan Yang Mahakuasa berkata: "Pencobaan apa pun yang menimpamu, engkau harus memperlakukannya sebagai beban yang diberikan Tuhan kepadamu. Misalkan beberapa orang diserang penyakit parah dan penderitaan yang tak tertahankan, beberapa orang bahkan menghadapi kematian. Bagaimana seharusnya mereka menangani situasi seperti ini? Dalam banyak kasus, ujian Tuhan adalah beban yang Dia berikan kepada manusia. Seberat apa pun beban yang Tuhan berikan kepadamu, engkau harus memikulnya karena Tuhan memahamimu, dan tahu bahwa engkau akan sanggup menanggungnya. Beban yang Tuhan berikan kepadamu tidak akan melebihi tingkat pertumbuhan atau batas ketahananmu, jadi tidak diragukan bahwa engkau pasti akan sanggup menanggungnya. Apa pun jenis beban atau ujian yang Tuhan berikan kepadamu, ingatlah satu hal: setelah berdoa, entah engkau memahami kehendak Tuhan atau tidak, entah engkau memperoleh pencerahan dan penerangan Roh Kudus atau tidak, dan apakah ujian ini adalah Tuhan yang sedang mendisiplinkan atau memberimu peringatan, tidak masalah jika engkau tidak memahaminya. Selama engkau tidak berhenti melaksanakan tugas yang harus kaulaksanakan, dan dapat melaksanakan tugasmu dengan setia, Tuhan akan dipuaskan dan engkau akan berdiri teguh dalam kesaksianmu. ... Jika, dalam imanmu kepada Tuhan dan pengejaran kebenaran, engkau dapat berkata, 'Apa pun penyakit atau kejadian tidak menyenangkan yang Tuhan ijinkan untuk menimpaku—apa pun yang Tuhan lakukan—aku harus taat dan tetap pada posisiku sebagai makhluk ciptaan. Pertama dan terutama, aku harus menerapkan aspek kebenaran ini—ketaatan—aku menerapkannya dan hidup dalam kenyataan ketaatan kepada Tuhan. Selain itu, aku tidak boleh mengesampingkan apa yang telah Tuhan amanatkan kepadaku dan tugas yang harus kulaksanakan. Bahkan di akhir napasku, aku harus mempertahankan tugasku.' Bukankah ini arti menjadi kesaksian? Ketika engkau memiliki jenis tekad dan keadaan seperti ini, masih bisakah engkau mengeluh terhadap Tuhan? Tidak" ("Hanya dengan Sering Merenungkan Kebenaran Engkau Dapat Memiliki Jalan untuk Maju" dalam "Pembicaraan Kristus Akhir Zaman"). Merenungkan firman ini membuatku sadar kalau penyakit dan kesialanku di rumah merupakan hal-hal yang harus kupatuhi. Entah apakah kesehatanku membaik, atau malah justru memburuk, aku harus terus melanjutkan tugasku dan menjadi saksi bagi Tuhan.

Setelah itu, aku masih memiliki masalah kesehatan, dan kondisi di rumah tidak berubah, tetapi aku tak merasakan kebencian apa pun. Kadang, saat kondisiku memburuk, dadaku sesak, aku sulit bernapas, dan kepalaku sangat sakit, aku akan berdoa kepada Tuhan, "Ya Tuhan, apa pun yang terjadi dengan kesehatanku, aku rela patuh. Meski ini adalah napas terakhirku, aku akan menjalankan tugasku dan menjadi saksi untuk memuaskan-Mu." Setelah berdoa, aku merasakan kekuatan di hatiku, dan rasa sakitku mereda. Yang hebatnya, begitu aku memetik hikmahnya, tak lama kemudian kesehatanku berangsur membaik dan aku semakin jarang kambuh. Suamiku juga akhirnya dapat pekerjaan. Pengalaman ini mengajarkanku, entah yang Tuhan lakukan sesuai dengan pemahaman kita atau tidak, semua itu demi mentahirkan dan menyucikan kita. Jatuh sakit berarti aku menderita secara fisik, tetapi ini sungguh bermanfaat bagi kehidupanku. Aku bisa memperbaiki kesalahpahamanku terhadap pengejaran. Aku bersyukur atas penyelamatan Tuhan!

Sebelumnya: Iman: Sumber Kekuatan

3. Jika Anda bersedia menyerahkan kekhawatiran Anda kepada Tuhan dan mendapatkan bantuan Tuhan, klik tombol untuk bergabung dalam kelompok belajar.

Konten Terkait